Analisis Keterkaitan Penggunaan Lahan, Rencana Pola Ruang Dan Hirarki Wilayah Di Kota Cilegon
ANALISIS KETERKAITAN PENGGUNAAN LAHAN,
RENCANA POLA RUANG DAN HIRARKI WILAYAH DI
KOTA CILEGON
ANGELA PURNAMASARI
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Keterkaitan
Penggunaan Lahan, Rencana Pola Ruang dan Hirarki Wilayah di Kota Cilegon
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2015
Angela Purnamasari
NIM A14100030
ABSTRAK
ANGELA PURNAMASARI. Analisis Keterkaitan Penggunaan Lahan, Rencana
Pola Ruang dan Hirarki Wilayah di Kota Cilegon. Dibimbing oleh SANTUN R.P.
SITORUS dan SETYARDI PRATIKA MULYA.
Penelitian ini bertujuan untuk 1) menganalisis tingkat perkembangan wilayah
(hirarki wilayah), 2) menganalisis penggunaan lahan eksisting Kota Cilegon dan
inkonsistensinya terhadap rencana pola ruang RTRW, 3) mengidentifikasi faktor –
faktor penyebab inkonsistensi penggunaan lahan terhadap rencana pola ruang serta, 4)
menganalisis keterkaitan antara penggunaan lahan dengan rencana pola ruang RTRW
dan penggunaan lahan dengan hirarki wilayah. Penggunaan lahan eksisting
diinterpretasi dengan menggunakan citra Google Earth dan diverifikasi dengan
pengecekan lapang. Penelitian ini menggunakan QGIS, Arc View, dan Statistica 7.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat perkembangan wilayah Kota Cilegon
terbagi menjadi 3 hirarki wilayah, yaitu 6 desa di hirarki 1, 11 desa di hirarki 2, dan
26 desa lainnya sebagai hirarki 3. Penggunaan lahan eksisting tahun 2013 di Kota
Cilegon didominasi dengan permukiman yang terdiri atas permukiman tidak teratur
dan permukiman teratur, diikuti oleh luas penggunaan lahan hutan dan emplasemen.
Walaupun Kota Cilegon berkembang pesat dengan kegiatan perindustriannya,
penggunaan lahan Kota Cilegon konsisten 92,60% terhadap rencana pola ruang dan
inkonsisten hanya sebesar 7,40% didominasi oleh bentuk inkonsistensi penggunaan
lahan permukiman di kawasan perindustrian. Penggunaan lahan yang lebih awal
berkembang sebelum adanya penetapan RTRW merupakan salah satu faktor utama
yang mempengaruhi luas inkonsistensi penggunaan lahan terhadap rencana pola
ruang. Menurut hasil analisis korelasi, ada kecenderungan keterkaitan antara
penggunaan lahan hutan, lahan terbuka, dan rumput, semak, ilalang dengan
inkonsistensi penggunaan lahan terhadap rencana pola ruang. Penggunaan lahan tidak
memiliki korelasi yang kuat dengan hirarki wilayah namun adanya keterkaitan yang
lemah antara hirarki tinggi dengan penggunaan lahan permukiman teratur. Secara
umum, dapat disimpulkan bahwa penggunaan lahan yang sifatnya tidak produktif
memiliki keterkaitan dengan perkembangan wilayah yang relatif rendah karena
kurangnya aktivitas ekonomi yang diperoleh melalui penggunaan lahan tersebut.
Kata kunci: Analisis Korelasi, Kota Industri, RTRW, Skalogram
ABSTRACT
ANGELA PURNAMASARI. Correlation Analysis Between Existing Land Use,
Spatial Plan and Regional Hierarchy in Cilegon. Supervised by SANTUN R.P.
SITORUS and SETYARDI PRATIKA MULYA.
This study was conducted 1) to analyze regional development level by
hierarchy in Kota Cilegon, 2) to analyze existing land use of Kota Cilegon in 2013
and its inconsistency to land use plan, 3) to identify the driving factors of land use
inconsistency, and 4) to analyze how land use, land use plan, and regional
development correlated to each other. Existing land use of Kota Cilegon was
mapped by interpreting Google Earth Imagery and was verified by ground check.
The study employed QGIS, Arc View, and Statistica 7. Based on the number of
facilities and accessibility, Cilegon was divided into 3 hierarchy. In the first
hierachy, there are 6 desa, while 11 desa are in the second hierarchy and the
remaining 26 desa are in the last hierarchy. Settlements that consist of irregular
settlement and regular settlement are the largest share of land use, then followed
by forest and built – up area for industry. Although Kota Cilegon is a rapidly
developing city due to its industrial activity, land use of Kota Cilegon has 92,60%
consistency to its land use plan. The 7,40% of land use inconsistency is dominated
by existing land use of settlements in industrial area. The main driving factor of
inconsistency is historical land use of Kota Cilegon that had already developed
before the plan existed. Land use of forest, open spaces, shrubbery have positive
correlation to land use inconsistency. There is no signifant correlation between
land use and regional development in Kota Cilegon. Therefore, regular settlement
shows the tendency of more developed area. In general, it can be concluded that
less productive land use correlate positively to less developed area due to its low
economic activities.
Keywords: Correlation Analysis, Industrial City, RTRW, Skalogram
ANALISIS KETERKAITAN PENGGUNAAN LAHAN,
RENCANA POLA RUANG DAN HIRARKI WILAYAH DI
KOTA CILEGON
ANGELA PURNAMASARI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Puji syukur penulis atas segala nikmat dan karunia dari Allah subhanahu wa
ta’ala sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 ini adalah Analisis
Keterkaitan Penggunaan Lahan, Rencana Pola Ruang dan Hirarki Wilayah di Kota
Cilegon.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr Ir Santun R.P. Sitorus dan
Bapak Setyardi Pratika Mulya, S.P., MSi selaku pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan saran dalam penelitian ini.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr Ir Widiatmaka, DAA selaku dosen penguji yang telah memberikan
saran dan masukan bagi penulis dalam penyempurnaan skripsi ini.
2. Kepala Bappeda Kota Cilegon bidang prasarana dan pengembangan
wilayah, Pak Edi Sabri, Pak Irfan Fahlevi, beserta staf lainnya atas
bantuan, penerimaan, dan kerjasamanya dengan baik.
3. La Ode Syamsul Iman, S.P., MSi dan Dyah Retno Panuju, S.P., MSi serta
seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
yang telah memberikan ilmu dan bimbingannya.
4. Mama tercinta Ari Dwi Yanti atas kasih sayang dan pengorbanan yang
begitu besar kepada penulis serta Papa yang selalu memberikan dukungan
dan motivasi selama ini.
5. Tante Ita, Om Bachrul, serta Ocean atas bantuan selama pengecekan
lapang dan motivasi selama penelitian.
6. Enci sekeluarga, Nenek, Adik - Adik serta seluruh keluarga yang telah
membantu selama penelitian, memberikan doa dan kepercayaan sehingga
penulis dapat menyelesaikan pendidikan S1 ini.
7. Nia dan Teman – teman di Divisi Perencanaan Pengembangan Wilayah 47
Zulfa, Lutfia, Emi, Dwi, Salimah, Andang, Aeni dan Ardy atas
kebersamaan dan dukungan semangat selama penelitian.
8. Siti Rohmah, Rina, Tatu, Yekti, Keluarga besar ITSL 47, ITSL 46, dan
ITSL 48 atas kebersamaannya selama kegiatan perkuliahan di IPB.
9. Seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam penelitian yang tidak
dapat disebutkan satu persatu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2015
Angela Purnamasari
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
x
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
3
Penggunaan Lahan Perkotaan
3
Penataan Ruang
4
Pengembangan Wilayah
5
Sistem Informasi Geografis
6
BAHAN DAN METODE
7
Waktu dan Lokasi Penelitian
7
Prosedur Analisis Data
8
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
17
Administrasi, Geografi, dan Iklim
18
Penduduk
18
Pembagian Wilayah Kota
19
Perkembangan Ekonomi Kota Cilegon
21
Pola Ruang berdasarkan RTRW Kota Cilegon 2010 – 2030
23
HASIL DAN PEMBAHASAN
25
Tingkat Perkembangan Wilayah di Kota Cilegon
25
Penggunaan lahan di Kota Cilegon
28
Inkonsistensi Penggunaan Lahan terhadap Rencana Pola Ruang RTRW
36
Keterkaitan penggunaan lahan, rencana pola ruang dan hirarki wilayah
40
Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang
42
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
43
43
Saran
43
DAFTAR PUSTAKA
44
LAMPIRAN
46
RIWAYAT HIDUP
56
DAFTAR TABEL
1. Jenis dan Sumber Data Penelitian
2. Tujuan Penelitian, Jenis Data, Teknik Analisis dan Output yang
diharapkan
3. Variabel yang digunakan dalam analisis skalogram
4. Padanan Jenis Penggunaan Lahan terhadap Peruntukan Ruang
5. Matrik Logika Inkonsistensi Penggunaan Lahan di Kota Cilegon
6. Interval Nilai Koefisien Korelasi dan Kekuatan Hubungan
7. Jumlah penduduk dan kepadatan penduduk per kecamatan tahun 2013
8. BWK, Pemanfaatan Ruang, serta Pengembangan Fungsi Kawasan
9. PDRB Kota Cilegon Tahun 2012 Atas Dasar Harga Konstan 2000
Menurut Lapangan Usaha
10. Luas dan Proporsi Peruntukan Ruang Kota Cilegon Menurut RTRW
Kota Cilegon Tahun 2010 - 2030
11. Hirarki, IPD, Jumlah Jenis, dan Jumlah Fasilitas di Kota Cilegon tahun
2012
12. Luas dan Proporsi Penggunaan Lahan Eksisting Kota Cilegon tahun
2013
13. Luas dan Proporsi Bentuk Inkonsistensi dalam Urutan 5 terbesar
8
8
12
14
15
16
19
19
21
25
27
30
38
DAFTAR GAMBAR
1. Lokasi Penelitian
2. Peta Sebaran Titik Cek Lapang
3. Persentase setiap sektor untuk PDRB tahun 2009 – 2012 tanpa sektor
industri pengolahan
4. Persentase Sektor Industri Pengolahan untuk PDRB tahun 2009 – 2012
5. Peta Pola Ruang Kota Cilegon
6. Peta Hirarki Wilayah Kota Cilegon Tahun 2012
7. Peta Penggunaan Lahan Eksisting Kota Cilegon Tahun 2013
8. Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra
Permukiman Tidak Teratur
9. Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra
Permukiman Teratur
10. Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra Hutan
11. Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra
Emplasemen
7
10
22
22
24
26
29
31
31
32
32
12. Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra Lahan
Terbuka
13. Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra Kebun
Campuran
14. Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra
Kompleks Olahraga
15. Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra Tanaman
Pertanian Lahan Basah
16. Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra Tanaman
Pertanian Lahan Kering
17. Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra Rumput,
Semak, Ilalang
18. Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra Badan
Air
19. Peta Inkonsistensi Penggunaan Lahan terhadap Rencana Pola Ruang
20. Luas dan Proporsi Inkonsistensi Tiap Kecamatan
21. Keterkaitan Penggunaan Lahan dengan Rencana Pola Ruang
22. Keterkaitan Penggunaan Lahan dengan Luas Inkonsistensi
23. Keterkaitan Penggunaan Lahan dengan Hirarki Wilayah dan IPD
33
33
34
34
35
35
35
37
38
40
41
42
DAFTAR LAMPIRAN
1. Luas dan Proporsi Kecamatan di Kota Cilegon yang Teranalisis
2. Keterangan Setiap Padanan Jenis Penggunaan Lahan dengan
Peruntukan Ruang
3. Luas (hektar) penggunaan lahan eksisting dengan rencana pola ruang
4. Luas dan Proporsi Bentuk Inkonsistensi
5. Luas bentuk inkonsistensi di setiap kecamatan
6. Hasil analisis korelasi penggunaan lahan dengan rencana pola ruang
7. Hasil analisis korelasi penggunaan lahan dengan luas inkonsistensi,
hirarki dan IPD
8. Hasil Analisis Skalogram
46
46
49
49
50
51
52
53
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penggunaan lahan dan tutupan lahan merupakan gambaran penting untuk
memahami interaksi manusia dengan lingkungannya. Adanya pembangunan dan
industrialisasi berimplikasi pada pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk perkotaan
serta aktivitasnya yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan sumberdaya.
Semakin maju ekonomi suatu daerah maka kebutuhan infrastruktur fisiknya akan
semakin berkembang. Perkembangan kota sangat tergantung pada ketersediaan dan
kualitas fasilitas yang secara signifikan mempengaruhi pola perkembangan
penggunaan lahan. Semakin banyak jumlah sarana pelayanan dan jumlah jenis
sarana berkorelasi kuat dengan jumlah penduduk di suatu wilayah (Rustiadi et al.
2011). Hirarki wilayah dapat menggambarkan perkembangan wilayah berdasarkan
jumlah dan jenis fasilitas serta aksesibilitasnya. Rencana tata ruang dibutuhkan
dalam mengalokasikan penggunaan lahan yang optimal. Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) disamping sebagai “guidance of future actions”, pada dasarnya
merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup
dengan lingkungannya dengan dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk
tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan
keberlanjutan (Direktorat Jenderal Penataan Ruang 2003). Pemanfaatan ruang kota
berubah dengan cepat mengarah pada pemanfaatan yang lebih menguntungkan
secara ekonomi sehingga diperlukan adanya upaya untuk menjaga konsistensi
pemanfaatan ruang yang tearah dan terkendali terhadap rencana tata ruang wilayah.
Ketidaksesuaian antara penggunaan lahan dengan rencana tata ruang wilayah
seringkali menyebabkan kerusakan pada lingkungan.
Jumlah penduduk di Kota Cilegon mengalami pertambahan yang semakin
besar setiap tahunnya. Kota Cilegon merupakan Pusat Kegiatan Wilayah (PKW)
yang berperan sebagai pusat jasa, pengolahan, dan simpul transportasi dari
beberapa kabupaten. Menurut Perda Kota Cilegon Nomor 3 Tahun 2011 tentang
RTRW 2010-2030, penataan ruang Kota Cilegon bertujuan untuk mewujudkan
Kota Cilegon sebagai kota industri, perdagangan dan jasa terdepan di Pulau Jawa
yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Peningkatan ekonomi Kota
Cilegon sebagian besar merupakan efek dari aktivitas sektor perindustrian yang
merupakan penopang utama ekonomi Kota Cilegon, terutama industri kimia dan
industri baja. Lahan yang telah dialokasikan di Kota Cilegon dalam rencana tata
ruang dipersiapkan untuk pengembangan industri hingga mampu menjadi pusat
pertumbuhan ekonomi nasional di ujung barat Pulau Jawa.
Perumusan Masalah
Cilegon sebagai Kota Industri yang berkembang dipengaruhi oleh
perkembangan industri, khususnya industri baja dan industri kimia. Permintaan
akan lahan untuk industri serta fasilitas penunjang lainnya yang semakin meningkat
seiring waktu merupakan salah satu alasan untuk memahami distribusi penggunaan
lahan di Kota Cilegon. Selain itu, sebagai salah satu Kota dengan kepadatan
penduduk yang relatif meningkat setiap tahunnya maka perlu diimbangi dengan
ketersediaan sarana dan prasarana untuk mendukung kebutuhan penduduk di
2
sekitarmya. Ketersediaan sarana dan prasarana dapat digambarkan dengan tingkat
perkembangan wilayah (hirarki wilayah). Pemerintah Kota Cilegon telah berupaya
untuk mengalokasikan penggunaan lahan agar efisien, efektif, dan terpadu dalam
rencana pola ruang Kota Cilegon. Selain itu diperlukan adanya evaluasi
kekonsistenan penggunaan lahan terhadap rencana pola ruangnya karena seringkali
ketidaksesuaian antara penggunaan lahan dengan rencana pola ruang menyebabkan
kerusakan lingkungan dan permasalahan lainnya seperti kemacetan. Berdasarkan
permasalahan tersebut maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian, yaitu:
1. Bagaimana tingkat perkembangan wilayah Kota Cilegon berdasarkan
hirarki wilayahnya?
2. Bagaimana penggunaan lahan eksisiting di Kota Cilegon dan apakah
konsisten dengan rencana pola ruang?
3. Apa faktor penyebab inkonsistensi penggunaan lahan terhadap rencana
pola ruang jika ada inkonsistensi?
4. Bagaimana keterkaitan antara penggunaan lahan dengan rencana pola
ruang dan keterkaitan penggunaan lahan dengan hirarki wilayah di Kota
Cilegon?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk:
1. Menganalisis tingkat perkembangan wilayah (hirarki wilayah) di Kota
Cilegon,
2. Menganalisis penggunaan lahan eksisting Kota Cilegon dan
inkonsistensinya terhadap rencana pola ruang RTRW,
3. Mengidentifikasi faktor – faktor penyebab inkonsistensi penggunaan lahan
dengan rencana pola ruang RTRW Kota Cilegon,
4. Menganalisis keterkaitan antara penggunaan lahan dengan rencana pola
ruang RTRW dan penggunaan lahan dengan hirarki wilayah.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi untuk pemerintah
maupun pihak lainnya yang berkepentingan mengenai penggunaan lahan, alokasi
ruang, hirarki wilayah, serta konsistensi penggunaan lahannya terhadap tata ruang
Kota Cilegon.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Penggunaan Lahan Perkotaan
Jumlah penduduk di daerah perkotaan menunjukkan kecederungan
pertumbuhan yang semakin meningkat dan cepat karena daerah perkotaan
mempunyai daya tarik yang kuat, yaitu menjanjikan kesempatan kerja yang besar,
memberikan pendapatan yang lebih tinggi, memberikan peluang pengembangan
karir dan kemampuan profesional, serta penyediaan berbagai kemudahan lainnya
(Adisasmita 2006). Pertumbuhan ekonomi seringkali disertai dengan mobilitas
sosial. Migrasi ke pusat – pusat pertumbuhan yang tinggi menjanjikan jalan untuk
keluar dari kemiskinan dengan meningkatkan keuntungan ekonomi pada investasi
sumberdaya manusia (Liu et al. 2014). Hai et al. (2011) berpendapat bahwa
pertumbuhan populasi perkotaan yang pesat terjadi sebagai respons atas
meningkatnya penduduk bermigrasi ke kota untuk mencari pekerjaan yang lebih
baik dan memperbaiki kondisi hidup. Peningkatan jumlah penduduk memiliki
konsekuensi terhadap perkembangan ekonomi yang menuntut kebutuhan lahan
untuk permukiman, industri, infrastruktur dan jasa (Munibah et al. 2009). Liu et al.
(2014) menyatakan bahwa kepadatan penduduk di Indonesia lebih tinggi di daerah
perkotaan dan semakin meningkat membentuk urbanisasi. Keberhasilan
industrialisasi dalam merelokasi tenaga kerja ke aktivitas yang lebih produktif,
melalui migrasi desa-kota serta evolusi industri non – pertanian di perdesaan,
merupakan fenomena umum yang secara luas diteliti di sebagian besar negara –
negara berkembang di Asia.
Permukiman perkotaan merupakan habitat paling penting bagi manusia.
Hampir 50-60% dari populasi dunia hidup di daerah perkotaan membentuk hingga
80% dari output ekonomi global. Metabolisme dari aktivitas perkotaan
menimbulkan ancaman bagi lingkungan global (Pauleit et al. 2000). Kelemahan
dalam penerapan manajemen tanah perkotaan tampak dari meningkatnya harga
tanah yang mendorong timbulnya spekulasi, kelangkaan pengembangan tanah
perkotaan untuk permukiman, serta menjamurnya permukiman liar. Pada umumnya,
tanah perkotaan itu diperoleh melalui proses alih fungsi tanah pertanian, baik yang
dilakukan oleh pemerintah maupun pihak swasta (Sumardjono 2008). Sebagai salah
satu sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui, lahan di pusat perkotaan
menghadapi tekanan yang semakin meningkat yang berasal dari ruang, lalu lintas,
dan lanskap (Junyan et al. 2012). Isu – isu kunci dari perkembangan lahan di
Indonesia termasuk buruknya koordinasi dalam manajemen lahan perkotaan,
peraturan dan kebijakan lahan yang tidak fleksibel, pajak lahan yang tidak sesuai,
kurangnya keamanan dalam kepemilikan lahan, dan kurangnya informasi dan data
mengenai lahan perkotaan (Firman 2004). Akar permasalahan perkotaan yang
terkait dengan lahan perkotaan adalah: (1) semakin pesatnya pertumbuhan
penduduk perkotaan sebagai implikasi pembangunan dan industrialisasi; (2)
semakin terbatasnya lahan perkotaan serta masih belum terpenuhinya secara
memadai pelayanan prasarana dan sarana perkotaan (Pontoh et al. 2008).
Penelitian Willannisa (2014) menunjukkan bahwa penggunaan/penutupan
lahan di Kota Cilegon pada tahun 2005 didominasi secara berurutan oleh hutan
(33%), sawah (20%), semak/belukar (17%), lahan terbuka (10%), pertanian lahan
4
kering (7%) dan permukiman (6%). Bagian barat dan timur Kota Cilegon
didominasi oleh perubahan penggunaan lahan sawah menjadi permukiman pada
tahun 2011 karena topografinya yang datar sehingga menjadi tempat
terkonsentrasinya penduduk.
Penataan Ruang
Berdasarkan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang, penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk
mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan :
(a) terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; (b)
terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya
buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia; dan (c) terwujudnya
pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan
akibat pemanfaatan ruang. Rencana Tata Ruang memiliki peranan penting dalam
perkembangan perkotaan. Ada empat tingkat dalam perencanaan: kebijakan
nasional, rencana regional, rencana umum untuk provinsi atau kota dan rencana
rinci daerah (meliputi permukiman, lingkungan, atau industri). Penyusunan rencana
rinci daerah merupakan langkah awal dalam proyek pengembangan wilayah dan
merupakan prasyarat untuk persetujuan alokasi lahan dan pembangunan dari tingkat
pemerintahan yang lebih tinggi (Phuc et al. 2014).
Perencanaan pembangunan wilayah sering disalahartikan sebagai suatu proses
dimana perencana mengarahkan masyarakat untuk melakukan. Lahirnya pandangan
seperti tersebut sebenarnya terutama sebagai akibat proses pendekatan perencanaan
wilayah yang selama ini umumnya bersifat top-down. Perencanaan wilayah
umumnya dilakukan secara asimetrik, dimana pihak pemerintah dianggap memiliki
kewenangan secara legal karena memegang amanat yang legitimate. Padahal
dibalik amanat yang diterimanya, pemerintah berfungsi melayani/memfasilitasi
masyarakat yang berkepentingan secara langsung di dalam pemanfaatan
sumberdaya ruang yang ada (Rustiadi 2001). Rencana Tata Ruang disusun dengan
perspektif menuju keadaan masa depan yang diharapkan, bertitik tolak dari data,
informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang dapat digunakan (Mirsa 2012).
Pemanfaatan lahan di area perkotaan harus berdasarkan perencanaan tata ruang.
Masalah Rencana Tata Ruang Wilayah di Indonesia yaitu tata ruang didesain dan
dimaksudkan untuk mengendalikan perkembangan kota secara rinci. Hal ini jelas
tidak dapat diimplementasikan oleh pemerintah daerah karena keterbatasan
sumberdaya yang tersedia untuk mengimplementasikan rencana tersebut. Rencana
tata ruang harus lebih memberikan pedoman yang fokus pada komponen strategis
jangka panjang dari pengembangan kota, dibandingkan dengan mencoba untuk
menyediakan desain fisik kota yang detail (Firman 2004).
Berdasarkan Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2003), dalam rangka
mewujudkan konsep pengembangan wilayah yang di dalamnya memuat tujuan dan
sasaran yang bersifat kewilayahan di Indonesia, maka ditempuh melalui upaya
penataan ruang yang terdiri dari 3 (tiga) proses utama, yakni:
(a) Proses perencanaan tata ruang wilayah, yang menghasilkan rencana tata
ruang wilayah (RTRW). Disamping sebagai “guidance of future actions”
RTRW pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar
5
interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dengan dapat
berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan
manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan
pembangunan (development sustainability).
(b) Proses pemanfaatan ruang, yang merupakan wujud operasionalisasi
rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri.
(c) Proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas mekanisme
perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar sesuai
dengan RTRW dan tujuan penataan ruang wilayahnya.
Penataan ruang merupakan instrumen legal untuk mewujudkan tujuan dan
sasaran pengembangan wilayah melalui pemanfaatan sumberdaya secara efektif,
efisien, dan terpadu, sekaligus mewujudkan ruang yang berkualitas. Dengan
memanfaatkan berbagai teori dan konsep pengembangan wilayah, penataan ruang
merupakan instrumen yang digunakan untuk memahami interaksi antara 4 (empat)
unsur utama pembentuk ruang (sumberdaya alam, manusia, buatan, dan sistem
aktivitas) secara komprehensif.
Timbulnya agenda “sustainability” selama tiga dekade akhir ini membawa
pertimbangan ke depannya untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan
lingkungan dan sosial (Karadimitrou 2013). Urgensi atas penataan ruang timbul
sebagai akibat dari tumbuhnya kesadaran akan pentingnya intervensi publik atau
collective action terhadap kegagalan mekanisme pasar (market failure) dalam
menciptakan pola dan struktur ruang yang sesuai dengan tujuan bersama (Rustiadi
et al. 2011). Pembedahan permasalahan produktivitas penyelenggaraan penataan
ruang perlu dilakukan secara sistematis dan bertahap. Berdasarkan kondisi
produktivitas saat ini, ada kecenderungan penilaian dari masyarakat bahwa terjadi
kelambanan proses penataan ruang di daerah. Terdapat pula prasangka bahwa
lambatnya proses penyusunan RTRW di daerah adalah upaya untuk menghindari
pertanggungjawaban pemanfaatan ruang terkait sanksi yang telah terakomodasi
dalam UUPR. Menurut Kepmen Kimpraswil No 327/KTPS/M/2002, pengendalian
pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban
terhadap pemanfaatan ruang berdasarkan mekanisme perizinan, pemberian insentif
dan disinsentif, pemberian kompensasi, mekanisme pelaporan, mekanisme
pemantauan, mekanisme evaluasi, dan mekanisme pengenaan sanksi. Permasalahan
dalam pengendalian tata ruang antara lain disebabkan karena: pemberian izin tidak
sesuai dengan RTRW; kurangnya sosialisasi RTRW; sistem informasi spasial
belum memadai (tidak jelas batas – batas koordinat setiap peruntukan lahan),
didukung minimnya jumlah benchmark, sehingga sulit untuk mengetahui
kesesuaian ketepatan lokasi di lapangan dengan peta.
Pengembangan Wilayah
Terdapat beberapa teori konsep pengembangan wilayah di Indonesia. Salah
satunya adalah Walter Isard yang mengkaji terjadinya hubungan sebab-akibat dari
faktor – faktor utama pembentuk ruang wilayah, yakni faktor fisik, sosial-ekonomi,
dan budaya. Kemudian Friedmann (era 1960-an) yang lebih menekankan pada
pembentukan hirarki guna mempermudah pengembangan sistem pembangunan
yang kemudian dikenal dengan teori pusat pertumbuhan (Direktorar Jenderal
Penataan Ruang 2003). Konsep wilayah nodal adalah salah satu konsep wilayah
6
fungsional/sistem yang sederhana karena memandang suatu wilayah secara
dikotomis (terbagi atas dua bagian). Secara operasional, pusat – pusat wilayah
mempunyai hierarki yang spesifik yang hierarkinya ditentukan oleh kapasitas
pelayanannya. Sumberdaya yang paling mudah dinilai dalam penghitungan
kapasitas pelayanan adalah sumberdaya buatan (sarana dan prasarana pada pusat –
pusat wilayah). Secara sederhana, kapasitas pelayanan infrastruktur atau prasarana
wilayah dapat diukur dari: (1) jumlah sarana pelayanan, (2) jumlah jenis sarana
pelayanan yang ada, serta (3) kualitas sarana pelayanan. Semakin banyak jumlah
sarana pelayanan dan jumlah jenis sarana berkorelasi kuat dengan jumlah penduduk
di suatu wilayah. Dengan demikian, pusat – pusat berorde tinggi seringkali
mempunyai kepadatan penduduk yang lebih tinggi. Pusat – pusat yang berhierarki
tinggi melayani pusat – pusat dengan hierarki yang lebih rendah disamping juga
melayani hinterland di sekitarnya (Rustiadi et al. 2011).
Prasarana dan sarana perkotaan dan berbagai fasilitas pelayanan sosial
ekonomi untuk dapat disediakan dalam jumlah yang cukup sehingga dalam
pembangunannya, peranan pemerintah kota sangat besar dan menentukan. Di
samping peranan pemerintah kota diperlukan pula peran serta pihak swasta dan
masyarakat yang bersifat partisipatif agar mencapai tujuan pembangunan perkotaan
yang optimal dan berkelanjutan (Adisasmita 2006). Seringkali adanya campur
tangan pemerintah yang tidak efisien menyebabkan distribusi sumberdaya lahan
tidak optimal sehingga beberapa ahli kebijakan berpendapat bahwa cara terbaik
untuk mengatur penggunaan lahan dan pola perkembangan adalah dengan
bergantung pada mekanisme pasar. Namun, tanpa perencanaan dan peraturan, pasar
lahan cenderung menciptakan biaya eksternal yang tinggi dan gagal untuk
menyediakan ruang publik. Kenyataannya, tanpa campur tangan pemerintah,
fasilitas publik yang mendasar seperti taman, ruang terbuka, dan infrastruktur
utama serta pelayanan kota, tidak akan disediakan oleh pihak swasta karena tidak
menguntungkan dan memiliki nilai jual (Dowall et al. 1996).
Sistem Informasi Geografis
Informasi akan penggunaan lahan dan tutupan lahan dan potensinya untuk
pemanfaatan yang optimal merupakan hal yang penting untuk seleksi, perencanaan
dan implementasi dari skema penggunaan lahan agar dapat memenuhi permintaan
yang meningkat akan kebutuhan dasar manusia dan kesejahteraannya. Sistem
Informasi Geografis (SIG) dan penginderaan jauh menyediakan data untuk integrasi
data spasial. SIG dan penginderaan jauh telah dikenal luas sebagai alat yang efektif
untuk perencanaan dan pendukung pembuat keputusan (Oyinloye 2011). Citra
satelit menyediakan potensi untuk mendapatkan informasi tutupan lahan dengan
interval waktu yang singkat dan lebih ekonomis dibandingkan dengan metode
tradisional.
7
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Cilegon, Provinsi Banten. Analisis data
dilakukan di Studio Divisi Perencanaan Pengembangan Wilayah, Departemen Ilmu
Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB. Penelitian berlangsung
mulai dari bulan April 2014 hingga Desember 2014. Lokasi penelitian ditunjukkan
pada Gambar 1.
Gambar 1 Lokasi Penelitian
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengecekan lapang serta wawancara
terstruktur. Data sekunder berupa data spasial, dokumen perencanaan, dan pustaka
lainnya yang terkait. Jenis dan sumber data disajikan pada Tabel 1
8
Tabel 1 Jenis dan Sumber Data Penelitian
No
Sumber
Data
Data
Google
Earth
1. Citra Kota Cilegon eksisting tahun
2013
2. Cilegon dalam Angka 2013
BPS
3. Peta Administrasi Kota Cilegon
Bappeda
4. Peta RTRW Kota Cilegon 2010 2030
5. Data jumlah penduduk, fasilitas
pelayanan (fasilitas kesehatan,
fasilitas ekonomi, fasilitas
pendidikan, dan fasilitas sosial),
dan aksesibilitas fasilitas (jarak)
tahun 2012
Kegunaan
membuat peta penggunaan
lahan eksisting
mengetahui profil Kota
Cilegon
mengetahui batas wilayah
admnistrasi Kota Cilegon
per desa
Bappeda
mengetahui alokasi ruang
menurut rencana tata ruang
PODES
2012
mengetahui hirarki wilayah
Perangkat yang digunakan dalam penelitian yaitu komputer yang dilengkapi
dengan software untuk mengolah data, GPS untuk membantu menentukan titik
koordinat di lapang, kamera digital, dan alat tulis. Software yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Microsoft Office Excel untuk tabulasi data, QGIS 2.2.0
Valmiera untuk mendigitasi dan mengolah data spasial, Arc View untuk joint data
dan mengolah data spasial, dan Statistica 7 untuk mengolah data atribut.
Prosedur Analisis Data
Penelitian ini menggunakan jenis data dan teknik analisis yang berbeda untuk
setiap tujuannya. Jenis data, teknik analisis, dan output yang diharapkan dari setiap
tujuan penelitian disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Tujuan Penelitian, Jenis Data, Teknik Analisis dan Output yang diharapkan
No
1.
Tujuan Penelitian
Jenis Data
Menganalisis tingkat
perkembangan
wilayah (hirarki
wilayah) di Kota
Cilegon
Data fasilitas
pelayanan,
aksesibilitas
dan jumlah
penduduk
Teknik
Output
Analisis Data
Analisis
Tingkat
skalogram
perkembangan
wilayah dan
hirarki wilayah
Kota Cilegon
9
Tabel 2 (Lanjutan)
2.
Menganalisis
penggunaan lahan
eksisting Kota Cilegon
dan inkonsistensinya
terhadap rencana pola
ruang RTRW
Citra Google
Earth, peta pola
ruang kota
Cilegon 2010 –
2030
3.
Mengidentifikasi
faktor – faktor
penyebab
inkonsistensi
penggunaan lahan
dengan rencana pola
ruang RTRW Kota
Cilegon
Menganalisis
keterkaitan antara
penggunaan lahan
dengan rencana pola
ruang RTRW dan
penggunaan lahan
dengan hirarki wilayah
Hasil
wawancara
terstruktur
4.
Data yang telah
diperoleh
sebelumnya
Digitasi dan
interpretasi
citra,
pengecekan
lapang,
overlay peta,
deskripsi
tabel dan
grafik
Analisis
deksriptif
Jenis penggunaan
lahan dan
inkonsistensinya
terhadap rencana
tata ruang
Analisis
korelasi
Keterkaitan
antara alokasi
ruang,
penggunaan
lahan, dan hirarki
wilayah di Kota
Cilegon
Faktor - faktor
penyebab
inkonsistensi tata
ruang
Analisis Penggunaan Lahan
Peta tutupan lahan eksisting diperoleh melalui digitasi citra Google Earth
berdasarkan unsur interpretasi citra. Menurut Lillesand et al. (1990), unsur
interpretasi citra terdiri atas: bentuk ialah konfigurasi atau kerangka suatu obyek,
ukuran yang berhubungan dengan skala, pola ialah susunan spasial obyek,
bayangan yang dapat memberikan gambaran profil suatu obyek tetapi dapat
menghalangi interpretasi obyek di bawahnya, rona ialah warna atau kecerahan
relatif obyek pada citra, tekstur yaitu frekuensi perubahan rona pada citra fotografi,
situs atau lokasi obyek dalam hubungannya dengan obyek yang lain. Digitasi
dilakukan sesuai dengan klasifikasi yang telah ditentukan. Lalu peta tutupan lahan
tersebut diverifikasi dengan pengecekan lapang sehingga diperoleh peta
penggunaan lahan. Sebaran titik cek lapang disajikan pada Gambar 2.
10
Gambar 2 Peta Sebaran Titik Cek Lapang
Titik pengecekan lapang sebanyak 55 titik tersebar di seluruh kecamatan
(Gambar 2) dan diambil berdasarkan purposive sampling, yaitu pengambilan
sampel secara selektif yang masing – masing titik mewakili kondisi lapangan. Hasil
interpretasi dan pengecekan lapang, klasifikasi penggunaan lahan dalam penelitian
ini terdiri atas 11 jenis penggunaan lahan yaitu:
1. Hutan (HTN)
Hutan yang tumbuh dan berkembang di habitat lahan kering yang dapat
berupa hutan dataran rendah, jenis rumput yang tinggi serta rumput
rendah heterogen. Kawasan lahan kering yang telah ditumbuhi dengan
berbagai vegetasi alami heterogen dan homogen dengan kerapatan jarang
hingga rapat. perbukitan dan pegunungan, atau hutan tropis dataran tinggi.
2. Kebun (KBC)
Lahan yang ditanami dengan tanaman keras lebih dari satu jenis atau tidak
seragam yang menghasilkan bunga, buah, dan getah dan cara
pengambilan hasilnya bukan dengan cara menebang pohon.
3. Kompleks Olahraga (KO)
Kompleks Olahraga terdiri atas lapangan golf dan lapangan sepak bola
yang dapat teridentifikasi dengan jelas melalui citra.
4. Rumput, Semak, Ilalang (RSI)
Areal atau bidang lahan yang terbuka dan hanya ditumbuhi jenis – jenis
tanaman perdu dari keluarga rumput dan semak.
5. Tanaman Pertanian Lahan Basah (TPLB)
Areal atau bidang lahan yang diusahakan untuk kegiatan pertanian lahan
basah/lahan kering, digenangi air secara periodik atau terus menerus
11
dengan vegetasi yang diusahakan berupa : padi, tebu, tembakau, rosela,
sayur – sayuran.
6. Tanaman Pertanian Lahan Kering (TPLK)
Ladang merupakan pertanian lahan kering dengan penggarapan secara
temporer atau berpindah – pindah. Lahan yang digarap setelah tiga tahun
atau kurang kemudian ditinggalkan.
7. Permukiman Tidak Teratur (PMK)
Areal atau lahan yang digunakan sebagai lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung kehidupan
orang dengan pola yang tidak teratur, serta merupakan bagian dari
lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang merupakan
permukiman perkotaan maupun pedesaan.
8. Permukiman Teratur (PMT)
Areal atau lahan yang digunakan sebagai lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung kehidupan
orang dengan pola yang teratur, serta merupakan bagian dari lingkungan
hidup di luar kawasan lindung, baik yang merupakan permukiman
perkotaan maupun pedesaan.
9. Emplasemen (EMP)
Area yang telah mengalami subtitusi penutup lahan alami ataupun semi
alami dengan penutup lahan buatan yang biasanya bersifat kedap air dan
relatif permanen. Bangunan industri : areal lahan yang digunakan untuk
bangunan pabrik atau industri yang berupa kawasan industri atau
perusahaan.
10. Lahan Terbuka (LT)
Lahan tanpa tutupan lahan baik yang bersifat alamiah, semi alamiah
maupun artifisial. Bersifat sementara jika areal lahan tidak diusahakan
untuk kegiatan budidaya atau non budidaya, tetapi sudah ada rencana
peruntukan penggunaan lahannya.
11. Badan Air (BA)
Areal perairan di daratan dengan penggenangan air yang dalam dan
permanen, penggenangan dangkal termasuk fungsinya.
Analisis Hirarki Wilayah
Teknik analisis skalogram digunakan untuk mengidentifikasi ordo atau
hirarki relatif di suatu wilayah. Data yang digunakan adalah data fasilitas dan
aksesibilitas tahun 2012. Semua fasilitas umum dan aksesibilitas yang dimiliki oleh
setiap wilayah disusun dalam tabel. Wilayah yang memiliki hirarki tinggi (Hirarki
I) merupakan wilayah yang memiliki jumlah unit dan jenis fasilitas yang paling
banyak dan beragam serta memiliki aksesibilitas fasilitas yang relatif dekat.
Aksesibilitas dalam analisis skalogram ini merupakan variabel negatif.
Aksesibilitas adalah jarak yang dihitung apabila jumlah fasilitas tidak terdapat
dalam PODES, jarak yang dimaksud yaitu jarak dari pusat desa ke desa terdekat
lain yang memiliki fasilitas tersebut. Tingkat perkembangan wilayah dibagi atas
tiga hirarki, yaitu:
Hirarki I, jika IPD ≥ (rataan IPD total + simpangan baku IPD total)
12
Hirarki II, jika rataan IPD total < IPD < (rataan IPD total + simpangan
baku IPD total)
Hirarki III, IPD < rataan IPD
Rincian variabel yang digunakan untuk setiap fasilitas dan aksesibilitas dalam
analisis skalogram tertera pada Tabel 3.
Tabel 3 Variabel yang digunakan dalam analisis skalogram
Kelompok Indeks
Fasilitas Pendidikan
Fasilitas Kesehatan
Fasilitas Sosial
Fasilitas Ekonomi
Variabel yang digunakan
Jumlah TK
Jumlah SD
Jumlah SMP
Jumlah SMU
Jumlah SMK
Jumlah Akademi
Jumlah SLB
Jumlah pondok pesantren swasta
Jumlah madrasah diniyah swasta
Jumlah seminari swasta
Jumlah lembaga bahasa asing
Jumlah lembaga komputer
Jumlah lembaga menjahit
Jumlah lembaga kecantikan
Jumlah lembaga montir
Jumlah lembaga elektronika
Jumlah lembaga lainnya
Jumlah Rumah Sakit
Jumlah rumah sakit bersalin
Jumlah poliklinik
Jumlah puskesmas
Jumlah puskesmas pembantu
Jumlah tempat praktek dokter
Jumlah tempat praktek bidan
Jumlah poskesdes
Jumlah polindes
Jumlah posyandu
Jumlah apotek
Jumlah mesjid
Jumlah surau/langgar
Jumlah lokasi pasar tanpa bangunan
Jumlah minimarket
Jumlah toko/warung kelontong
13
Aksesibilitas (Km)
Tabel 3 (Lanjutan)
Jumlah warung/kedai makanan minuman
Jumlah restoran/rumah makan
Jumlah hotel
Jumlah penginapan/motel
Jumlah koperasi unit desa
Jumlah koperasi industri kecil dan kerajinan rakyat
Jumlah koperasi simpan pinjam
Jumlah koperasi lainnya
Jumlah bank umum
Jumlah bank perkreditan rakyat
Jarak ke TK terdekat
Jarak ke SMP terdekat
Jarak ke SMU terdekat
Jarak ke SMK terdekat
Jarak ke Rumah sakit terdekat
Jarak ke RS bersalin terdekat
Jarak ke poliklinik terdekat
Jarak ke puskesmas terdekat
Jarak ke tempat praktek dokter terdekat
Jarak ke tempat praktek bidan terdekat
Jarak ke poskesdes terdekat
Jarak ke polindes terdekat
Jarak ke apotek terdekat
Jarak ke toko obat terdekat
Jarak ke pos polisi terdekat
Jarak ke gedung bioskop terdekat
Jarak ke pub/tempat karaoke terdekat
Jarak ke kantor pos terdekat
Jarak ke kelompok pertokoan terdekat
Jarak ke pasar terdekat
Jarak ke bank umum terdekat
Jarak ke bank perkreditan rakyat terdekat
Analisis Inkonsistensi Tata Ruang
Bentuk inkonsistensi pemanfaatan ruang di Kota Cilegon diperoleh melalui
overlay peta penggunaan lahan eksisting dengan peta rencana pola ruang RTRW
Kota Cilegon. Hasil overlay tersebut menentukan konsisten dan inkonsistennya
penggunaan lahan berdasarkan matriks logika inkonsistensi sehingga menghasilkan
peta inkonsistesi penggunaan lahan Kota Cilegon terhadap rencana pola ruangnya.
Klasifikasi penggunaan lahan berbeda dengan klasifikasi peruntukan ruang
sehingga perlu adanya padanan. Padanan ini disusun berdasarkan keterangan yang
14
diperoleh dalam Peraturan Daerah Kota Cilegon Nomor 3 Tahun 2011 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Cilegon Tahun 2010 – 2030. Padanan jenis
penggunaan lahan terhadap peruntukan ruang tertera pada Tabel 4.
Tabel 4 Padanan Jenis Penggunaan Lahan terhadap Peruntukan Ruang
No
Jenis Penggunaan Lahan
1. Hutan
2. Permukiman Tidak Teratur
3. Permukiman Teratur
4. Emplasemen
5. Tanaman Pertanian Lahan
Basah
6. Tanaman Pertanian Lahan
Kering
7. Rumput, Semak, dan
Ilalang
8. Kebun Campuran
9. Lahan Terbuka
10. Badan Air
Peruntukan Ruang Menurut Pola Ruang
RTRW
Kawasan Hutan Lindung
Kawasan Pelestarian Alam
Kawasan Perlindungan Setempat
Kawasan Ruang Terbuka Hijau
Kawasan Perumahan/Permukiman Perkotaan
Kawasan Pemerintahan dan Bangunan Umum
Kawasan Pariwisata
Kawasan Perdagangan dan Jasa
Kawasan Peruntukan lainnya
Kawasan Perumahan/Permukiman Perkotaan
Kawasan Pemerintahan dan Bangunan Umum
Kawasan Pariwisata
Kawasan Perdagangan dan Jasa
Kawasan Peruntukan lainnya
Kawasan Perindustrian
Kawasan Pariwisata
Kawasan Pelabuhan dan Pergudangan
Kawasan Terminal Terpadu
Kawasan Perdagangan dan Jasa
Kawasan TPL B3
Kawasan Peruntukan Lainnya
Kawasan Ruang Terbuka Hijau
Kawasan Ruang Terbuka Hijau
Kawasan Ruang Terbuka Hijau
Kawasan Perlindungan Setempat
Kawasan Pelestarian Alam
Kawasan Ruang Terbuka Hijau
Kawasan Perlindungan Setempat
Kawasan Pelestarian Alam
Tempat Pembuangan Akhir Sampah
Kawasan TPL B3
Kawasan Ruang Terbuka Non Hijau
Kawasan Perindustrian
Kawasan Perlindungan Setempat
Tabel 4 (Lanjutan)
11. Kompleks Olahraga
15
Kawasan Ruang Terbuka Hijau
Penggunaan lahan yang sesuai dengan peruntukannya dikategorikan sebagai
konsisten. Berdasarkan padanan jenis penggunaan lahan terhadap peruntukan ruang
tersebut maka diperoleh matrik logika inkonsistensi penggunaan lahan di Kota
Cilegon seperti pada Tabel 5.
Tabel 5 Matrik Logika Inkonsistensi Penggunaan Lahan di Kota Cilegon
Penggunaan Lahan Kota Cilegon
Pola
Ruang
KPr
KPP
KPB
KPJ
KPi
KPm
KPL
KRnH
KTT
KTPL
TPA
KHL
KPA
KPS
KRH
Tutupan Hijau
Lahan Terbangun
BA LT
HTN RSI KBC TPLK TPLB KO
PMK PMT EMP
O
O
O
O
O
O
O
O
V
V
V
O
O
O
O
O
O
X
O
X
X
V
O
O
O
O
O
O
O
O
V
V
X
O
O
O
O
O
O
O
O
V
V
V
O
O
O
O
O
O
V
O
X
X
V
O
O
O
O
O
O
O
O
V
V
X
O
O
O
O
O
O
X
O
V
V
V
O
O
O
O
O
O
V
O
X
X
X
O
O
O
O
O
O
X
O
X
X
V
O
O
O
O
O
O
V
O
X
X
V
O
O
O
O
O
O
X
V
X
X
X
V
V
X
X
X
X
X
X
X
X
X
V
V
V
X
X
X
X
X
X
X
X
V
V
V
V
V
X
V
X
X
X
X
V
V
V
V
V
V
X
X
X
X
X
Keterangan : V = Konsisten I, O = konsisten II, X = Inkonsisten
KPr = Kawasan Pariwisata, KPP = Kawasan Pelabuhan dan Pergudangan, KPB =
Kawasan Pemerintahan dan Bangunan Umum, KPJ = Kawasan Perdagangan dan Jasa,
KPi = Kawasan Perindustrian, KPm = Kawasan Perumahan/Permukiman Perkotaan,
KPL = Kawasan Peruntukan Lainnya, KRnH = Kawasan Ruang Terbuka Non Hijau,
KTT = Kawasan Terminal Terpadu, KTPL = Kawasan TPL B3, TPA = Tempat
Pembuangan Akhir Sampah, KHL = Kawasan Hutan Lindung, KPA = Kawasan
Perlindungan Alam, KPS = Kawasan Perlindungan Setempat, KRH = Kawasan Ruang
Terbuka Hijau
HTN = Hutan, PMK = Permukiman Tidak Teratur, PMT = Permukiman Teratur, EMP
= Emplasmen, TPLK = Tanaman Pertanian Lahan Kering, TPLB = Tanaman
Pertanian Lahan Basah, RSI = Rumput, Semak, Ilalang, KBC = Kebun Campuran, LT
= Lahan Terbuka, BA = Badan Air, KO = Kompleks Olahraga.
Konsisten I merupakan kondisi penggunaan lahan yang sesuai dengan
padanan jenis penggunaan lahan terhadap peruntukan ruang di Kota Cilegon pada
Tabel 4. Konsisten II yaitu penggunaan lahan sementara/temporary land use
berbeda dengan peruntukannya tetapi termasuk konsisten karena berpotensial
mengalami perubahan. Inkonsistensi yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu
penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya dan sulit atau hampir
tidak dapat dikembalikan ke fungsi lahan semula (irreversible).
16
Analisis Korelasi Berganda
Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui keeratan hubungan antara
beberapa peubah sebagai salah satu pertimbangan dalam melihat ada atau tidaknya
hubungan sebab akibat antara peubah – peubah tersebut. Analisis korelasi berganda
dalam penelitian ini digunakan untuk mengukur keeratan hubungan antara
penggunaan lahan, rencana pola ruang, dan hirarki wilayah. Data yang digunakan
dalam analisis korelasi diperoleh berdasarkan hasil yang telah diperoleh, yaitu: peta
penggunaan lahan eksisting Kota Cilegon, peta rencana pola ruang Kota Cilegon,
peta inkonsistensi penggunaan lahan terhadap rencana pola ruang, dan peta hirarki
wilayah dengan satuan wilayah per desa. Data tersebut kemudian dijoint dengan
menggunakan software Arc View. Kemudian dianalisis korelasi dilakukan dengan
menggunakan software Statistica 7. Hasil dari analisis tersebut dapat
diinterpretasikan berdasarkan interval nilai seperti tertera pada Tabel 6. Koefisien
Korelasi (KK) adalah indeks atau bilangan yang digunakan untuk mengukur derajat
hubungan, meliputi kekuatan hubungan dan bentuk/arah hubungan. Untuk kekuatan
hubungan, nilai koefisien korelasi berada di antara -1 dan +1. Untuk bentuk/arah
hubungan, nilai koefisien korelasi dinyatakan dalam positif (+) dan negatif (-) , atau
(-1 ≤ KK ≤ +1). Jika koefisien korelasi bernilai positif maka variabel – variabel
berkorelasi positif, artinya jika variabel satu naik/turun maka variabel yang lainnya
juga naik/turun. Semakin dekat nilai korelasi ke +1, semakin kuat korelasi
positifnya. Sebaliknya semakin dekat nilai korelasi ke -1, semakin kuat korelasi
negatifnya.
Tabel 6 Interval Nilai Koefisien Korelasi dan Kekuatan Hubungan
No
Interval Nilai
1. KK = 0,00
2. 0,00 < KK ≤ 0,20
3. 0,20 < KK ≤ 0,40
4. 0,40 < KK ≤ 0,70
5. 0,70 < KK ≤ 0,90
6. 0,90 < KK < 1,00
7. KK = 1,00
Sumber : Hasan (2004)
Kekuatan Hubungan
Tidak ada
Sangat rendah atau lemah sekali
Rendah atau lemah tapi pasti
Cukup berarti atau sedang
Tinggi atau kuat
Sangat tinggi atau kuat sekali, dapat diandalkan
Sempurna
Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Inkonsistensi Penggunaan
Lahan terhadap Rencana Pola Ruang Menurut RTRW
Faktor – faktor yang mempengaruhi inkonsistensi penggunaan lahan terhadap
rencana pola ruang RTRW dianalisis dengan wawancara terstruktur. Wawancara
dilakukan pertama dengan mengetahui kondisi umum Kota Cilegon, historis
penggunaan lahan di lokasi penelitian, khususnya yang mengalami inkonsistensi
dengan rencana pola ruang, serta isu pembangunan yang sedang terjadi di Kota
Cilegon. Wawancara dilakukan dengan menentukan beberapa responden yang
terkait secara langsung dalam penetapan rencana pola ruang serta pihak yang
memiliki pengetahuan akan penggunaan lahan di Kota Cilegon dalam waktu yang
17
lama. Responden yang diwawancarai yaitu Kepala bidang prasarana dan
pengembangan wilayah Bappeda Kota Cilegon (Edi Sabri), staf dari bappeda yang
terkait dalam pembuatan peta rencana pola ruang (Irfan Fahlevi), penduduk yang
sudah lama tinggal di Kota Cilegon, penduduk yang berhubungan dengan
penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan rencana pola ruang. Teknik analisis
data yang digunakan berupa analisis deskriptif. Analisis deskriptif adalah teknik
analisis yang berhubungan dengan ide, persepsi, pendapat, kepercayaan orang yang
akan diteliti dan tidak dapat diukur dengan angka. Analisis ini berkaitan dengan
pengumpulan fakta, identifikasi, dan meramalkan hubungan dalam dan antara
variabel.
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Hadirnya pabrik baja Trikora pada tahun 1962 di Cilegon merupakan awal
bagi era industri di Kota Cilegon. Perkembangan yang cepat industri baja Trikora
tersebut, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 tanggal 31 Agustus 1970
tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan
Perseroan PT. Krakatau Steel, berubah menjadi pabrik baja PT. Krakatau Steel
Cilegon berikut anak perusahaannya. Dengan perkembangan pembangunan yang
sangat cepat terutama dengan adanya sentra industri baja PT. Krakatau Steel beserta
seluruh anak perusahaannya diikuti hadirnya pabrik – pabrik seperti PLTU Suralaya,
PT. Chandra Asri dan lain – lain telah mempengaruhi kondisi budaya dan
penggunaan lahan dari daerah persawahan dan perladangan menjadi daerah industri,
perdagangan, jasa, perumahan, serta pariwisata. Berdasarkan pasal 72 ayat 4
Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok – Pokok Pemerintahan di
Daerah, Cilegon sudah memenuhi persyaratan untuk Kota administratif sehingga
diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1986 tentang Pembentukan Kota
Administratif Kota Cilegon, ditetapkan luas Kota Cilegon adalah 17.550 hektar
yang meliputi 3 (tiga) wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Pulomerak, Ciwandan,
Cilegon, dan 1 (satu) perwakilan Kecamatan Cilegon di Cibeber. Status Kota
Administratif Kota Cilegon kemudian berubah menjadi Kotamadya Cilegon dengan
ditetapkan UU No. 15 tahun 1999 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah
Tingkat II Depok dan Kotamadya Daerah Tingkat II Cilegon. Dalam
perkembangannya Kota Cilegon telah memperlihatkan kemajuan yang pesat di
berbagai bidang baik bidang fisik maupun sosial ekonomi. Hal ini tidak saja
memberikan dampak berupa kebutuhan peningkatan pelayanan di bidang
pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, tetapi juga memberikan
gambaran mengenai perlunya dukungan kemampuan dan potensi wilayah untuk
menyelenggarakan otonomi daerah. Berdasarkan Peraturan Daerah nomor 15 tahun
2002 tentang Pembentukan 4 (empat) Kecamatan Baru dan Peraturan Daerah
nomor 12 tahun 2003 tentang Perubahan Status Desa menjadi Kelurahan, struktur
administrasi wilayah Kota Cilegon mengalami pemekaran menjadi 8 (delapan)
kecamatan dan 43 (empat puluh tiga) kelurahan.
18
Administrasi, Geografi, dan Iklim
Kota Cilegon merupakan dataran rendah dengan ketinggian antara 0 – 553
meter di atas permukaan laut, terletak pada posisi 105°54’05’’ - 106°05’11’’ BT
dan 5°52’24’’ - 6°04’07’’ LS yang terdiri atas 8 kecamatan dan 43 kelurahan.
Berdasarkan Undang Undang nomor 15 tahun 1999, luas wilay
RENCANA POLA RUANG DAN HIRARKI WILAYAH DI
KOTA CILEGON
ANGELA PURNAMASARI
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Keterkaitan
Penggunaan Lahan, Rencana Pola Ruang dan Hirarki Wilayah di Kota Cilegon
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2015
Angela Purnamasari
NIM A14100030
ABSTRAK
ANGELA PURNAMASARI. Analisis Keterkaitan Penggunaan Lahan, Rencana
Pola Ruang dan Hirarki Wilayah di Kota Cilegon. Dibimbing oleh SANTUN R.P.
SITORUS dan SETYARDI PRATIKA MULYA.
Penelitian ini bertujuan untuk 1) menganalisis tingkat perkembangan wilayah
(hirarki wilayah), 2) menganalisis penggunaan lahan eksisting Kota Cilegon dan
inkonsistensinya terhadap rencana pola ruang RTRW, 3) mengidentifikasi faktor –
faktor penyebab inkonsistensi penggunaan lahan terhadap rencana pola ruang serta, 4)
menganalisis keterkaitan antara penggunaan lahan dengan rencana pola ruang RTRW
dan penggunaan lahan dengan hirarki wilayah. Penggunaan lahan eksisting
diinterpretasi dengan menggunakan citra Google Earth dan diverifikasi dengan
pengecekan lapang. Penelitian ini menggunakan QGIS, Arc View, dan Statistica 7.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat perkembangan wilayah Kota Cilegon
terbagi menjadi 3 hirarki wilayah, yaitu 6 desa di hirarki 1, 11 desa di hirarki 2, dan
26 desa lainnya sebagai hirarki 3. Penggunaan lahan eksisting tahun 2013 di Kota
Cilegon didominasi dengan permukiman yang terdiri atas permukiman tidak teratur
dan permukiman teratur, diikuti oleh luas penggunaan lahan hutan dan emplasemen.
Walaupun Kota Cilegon berkembang pesat dengan kegiatan perindustriannya,
penggunaan lahan Kota Cilegon konsisten 92,60% terhadap rencana pola ruang dan
inkonsisten hanya sebesar 7,40% didominasi oleh bentuk inkonsistensi penggunaan
lahan permukiman di kawasan perindustrian. Penggunaan lahan yang lebih awal
berkembang sebelum adanya penetapan RTRW merupakan salah satu faktor utama
yang mempengaruhi luas inkonsistensi penggunaan lahan terhadap rencana pola
ruang. Menurut hasil analisis korelasi, ada kecenderungan keterkaitan antara
penggunaan lahan hutan, lahan terbuka, dan rumput, semak, ilalang dengan
inkonsistensi penggunaan lahan terhadap rencana pola ruang. Penggunaan lahan tidak
memiliki korelasi yang kuat dengan hirarki wilayah namun adanya keterkaitan yang
lemah antara hirarki tinggi dengan penggunaan lahan permukiman teratur. Secara
umum, dapat disimpulkan bahwa penggunaan lahan yang sifatnya tidak produktif
memiliki keterkaitan dengan perkembangan wilayah yang relatif rendah karena
kurangnya aktivitas ekonomi yang diperoleh melalui penggunaan lahan tersebut.
Kata kunci: Analisis Korelasi, Kota Industri, RTRW, Skalogram
ABSTRACT
ANGELA PURNAMASARI. Correlation Analysis Between Existing Land Use,
Spatial Plan and Regional Hierarchy in Cilegon. Supervised by SANTUN R.P.
SITORUS and SETYARDI PRATIKA MULYA.
This study was conducted 1) to analyze regional development level by
hierarchy in Kota Cilegon, 2) to analyze existing land use of Kota Cilegon in 2013
and its inconsistency to land use plan, 3) to identify the driving factors of land use
inconsistency, and 4) to analyze how land use, land use plan, and regional
development correlated to each other. Existing land use of Kota Cilegon was
mapped by interpreting Google Earth Imagery and was verified by ground check.
The study employed QGIS, Arc View, and Statistica 7. Based on the number of
facilities and accessibility, Cilegon was divided into 3 hierarchy. In the first
hierachy, there are 6 desa, while 11 desa are in the second hierarchy and the
remaining 26 desa are in the last hierarchy. Settlements that consist of irregular
settlement and regular settlement are the largest share of land use, then followed
by forest and built – up area for industry. Although Kota Cilegon is a rapidly
developing city due to its industrial activity, land use of Kota Cilegon has 92,60%
consistency to its land use plan. The 7,40% of land use inconsistency is dominated
by existing land use of settlements in industrial area. The main driving factor of
inconsistency is historical land use of Kota Cilegon that had already developed
before the plan existed. Land use of forest, open spaces, shrubbery have positive
correlation to land use inconsistency. There is no signifant correlation between
land use and regional development in Kota Cilegon. Therefore, regular settlement
shows the tendency of more developed area. In general, it can be concluded that
less productive land use correlate positively to less developed area due to its low
economic activities.
Keywords: Correlation Analysis, Industrial City, RTRW, Skalogram
ANALISIS KETERKAITAN PENGGUNAAN LAHAN,
RENCANA POLA RUANG DAN HIRARKI WILAYAH DI
KOTA CILEGON
ANGELA PURNAMASARI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Puji syukur penulis atas segala nikmat dan karunia dari Allah subhanahu wa
ta’ala sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 ini adalah Analisis
Keterkaitan Penggunaan Lahan, Rencana Pola Ruang dan Hirarki Wilayah di Kota
Cilegon.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr Ir Santun R.P. Sitorus dan
Bapak Setyardi Pratika Mulya, S.P., MSi selaku pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan saran dalam penelitian ini.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr Ir Widiatmaka, DAA selaku dosen penguji yang telah memberikan
saran dan masukan bagi penulis dalam penyempurnaan skripsi ini.
2. Kepala Bappeda Kota Cilegon bidang prasarana dan pengembangan
wilayah, Pak Edi Sabri, Pak Irfan Fahlevi, beserta staf lainnya atas
bantuan, penerimaan, dan kerjasamanya dengan baik.
3. La Ode Syamsul Iman, S.P., MSi dan Dyah Retno Panuju, S.P., MSi serta
seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
yang telah memberikan ilmu dan bimbingannya.
4. Mama tercinta Ari Dwi Yanti atas kasih sayang dan pengorbanan yang
begitu besar kepada penulis serta Papa yang selalu memberikan dukungan
dan motivasi selama ini.
5. Tante Ita, Om Bachrul, serta Ocean atas bantuan selama pengecekan
lapang dan motivasi selama penelitian.
6. Enci sekeluarga, Nenek, Adik - Adik serta seluruh keluarga yang telah
membantu selama penelitian, memberikan doa dan kepercayaan sehingga
penulis dapat menyelesaikan pendidikan S1 ini.
7. Nia dan Teman – teman di Divisi Perencanaan Pengembangan Wilayah 47
Zulfa, Lutfia, Emi, Dwi, Salimah, Andang, Aeni dan Ardy atas
kebersamaan dan dukungan semangat selama penelitian.
8. Siti Rohmah, Rina, Tatu, Yekti, Keluarga besar ITSL 47, ITSL 46, dan
ITSL 48 atas kebersamaannya selama kegiatan perkuliahan di IPB.
9. Seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam penelitian yang tidak
dapat disebutkan satu persatu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2015
Angela Purnamasari
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
x
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
3
Penggunaan Lahan Perkotaan
3
Penataan Ruang
4
Pengembangan Wilayah
5
Sistem Informasi Geografis
6
BAHAN DAN METODE
7
Waktu dan Lokasi Penelitian
7
Prosedur Analisis Data
8
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
17
Administrasi, Geografi, dan Iklim
18
Penduduk
18
Pembagian Wilayah Kota
19
Perkembangan Ekonomi Kota Cilegon
21
Pola Ruang berdasarkan RTRW Kota Cilegon 2010 – 2030
23
HASIL DAN PEMBAHASAN
25
Tingkat Perkembangan Wilayah di Kota Cilegon
25
Penggunaan lahan di Kota Cilegon
28
Inkonsistensi Penggunaan Lahan terhadap Rencana Pola Ruang RTRW
36
Keterkaitan penggunaan lahan, rencana pola ruang dan hirarki wilayah
40
Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang
42
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
43
43
Saran
43
DAFTAR PUSTAKA
44
LAMPIRAN
46
RIWAYAT HIDUP
56
DAFTAR TABEL
1. Jenis dan Sumber Data Penelitian
2. Tujuan Penelitian, Jenis Data, Teknik Analisis dan Output yang
diharapkan
3. Variabel yang digunakan dalam analisis skalogram
4. Padanan Jenis Penggunaan Lahan terhadap Peruntukan Ruang
5. Matrik Logika Inkonsistensi Penggunaan Lahan di Kota Cilegon
6. Interval Nilai Koefisien Korelasi dan Kekuatan Hubungan
7. Jumlah penduduk dan kepadatan penduduk per kecamatan tahun 2013
8. BWK, Pemanfaatan Ruang, serta Pengembangan Fungsi Kawasan
9. PDRB Kota Cilegon Tahun 2012 Atas Dasar Harga Konstan 2000
Menurut Lapangan Usaha
10. Luas dan Proporsi Peruntukan Ruang Kota Cilegon Menurut RTRW
Kota Cilegon Tahun 2010 - 2030
11. Hirarki, IPD, Jumlah Jenis, dan Jumlah Fasilitas di Kota Cilegon tahun
2012
12. Luas dan Proporsi Penggunaan Lahan Eksisting Kota Cilegon tahun
2013
13. Luas dan Proporsi Bentuk Inkonsistensi dalam Urutan 5 terbesar
8
8
12
14
15
16
19
19
21
25
27
30
38
DAFTAR GAMBAR
1. Lokasi Penelitian
2. Peta Sebaran Titik Cek Lapang
3. Persentase setiap sektor untuk PDRB tahun 2009 – 2012 tanpa sektor
industri pengolahan
4. Persentase Sektor Industri Pengolahan untuk PDRB tahun 2009 – 2012
5. Peta Pola Ruang Kota Cilegon
6. Peta Hirarki Wilayah Kota Cilegon Tahun 2012
7. Peta Penggunaan Lahan Eksisting Kota Cilegon Tahun 2013
8. Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra
Permukiman Tidak Teratur
9. Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra
Permukiman Teratur
10. Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra Hutan
11. Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra
Emplasemen
7
10
22
22
24
26
29
31
31
32
32
12. Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra Lahan
Terbuka
13. Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra Kebun
Campuran
14. Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra
Kompleks Olahraga
15. Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra Tanaman
Pertanian Lahan Basah
16. Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra Tanaman
Pertanian Lahan Kering
17. Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra Rumput,
Semak, Ilalang
18. Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra Badan
Air
19. Peta Inkonsistensi Penggunaan Lahan terhadap Rencana Pola Ruang
20. Luas dan Proporsi Inkonsistensi Tiap Kecamatan
21. Keterkaitan Penggunaan Lahan dengan Rencana Pola Ruang
22. Keterkaitan Penggunaan Lahan dengan Luas Inkonsistensi
23. Keterkaitan Penggunaan Lahan dengan Hirarki Wilayah dan IPD
33
33
34
34
35
35
35
37
38
40
41
42
DAFTAR LAMPIRAN
1. Luas dan Proporsi Kecamatan di Kota Cilegon yang Teranalisis
2. Keterangan Setiap Padanan Jenis Penggunaan Lahan dengan
Peruntukan Ruang
3. Luas (hektar) penggunaan lahan eksisting dengan rencana pola ruang
4. Luas dan Proporsi Bentuk Inkonsistensi
5. Luas bentuk inkonsistensi di setiap kecamatan
6. Hasil analisis korelasi penggunaan lahan dengan rencana pola ruang
7. Hasil analisis korelasi penggunaan lahan dengan luas inkonsistensi,
hirarki dan IPD
8. Hasil Analisis Skalogram
46
46
49
49
50
51
52
53
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penggunaan lahan dan tutupan lahan merupakan gambaran penting untuk
memahami interaksi manusia dengan lingkungannya. Adanya pembangunan dan
industrialisasi berimplikasi pada pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk perkotaan
serta aktivitasnya yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan sumberdaya.
Semakin maju ekonomi suatu daerah maka kebutuhan infrastruktur fisiknya akan
semakin berkembang. Perkembangan kota sangat tergantung pada ketersediaan dan
kualitas fasilitas yang secara signifikan mempengaruhi pola perkembangan
penggunaan lahan. Semakin banyak jumlah sarana pelayanan dan jumlah jenis
sarana berkorelasi kuat dengan jumlah penduduk di suatu wilayah (Rustiadi et al.
2011). Hirarki wilayah dapat menggambarkan perkembangan wilayah berdasarkan
jumlah dan jenis fasilitas serta aksesibilitasnya. Rencana tata ruang dibutuhkan
dalam mengalokasikan penggunaan lahan yang optimal. Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) disamping sebagai “guidance of future actions”, pada dasarnya
merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup
dengan lingkungannya dengan dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk
tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan
keberlanjutan (Direktorat Jenderal Penataan Ruang 2003). Pemanfaatan ruang kota
berubah dengan cepat mengarah pada pemanfaatan yang lebih menguntungkan
secara ekonomi sehingga diperlukan adanya upaya untuk menjaga konsistensi
pemanfaatan ruang yang tearah dan terkendali terhadap rencana tata ruang wilayah.
Ketidaksesuaian antara penggunaan lahan dengan rencana tata ruang wilayah
seringkali menyebabkan kerusakan pada lingkungan.
Jumlah penduduk di Kota Cilegon mengalami pertambahan yang semakin
besar setiap tahunnya. Kota Cilegon merupakan Pusat Kegiatan Wilayah (PKW)
yang berperan sebagai pusat jasa, pengolahan, dan simpul transportasi dari
beberapa kabupaten. Menurut Perda Kota Cilegon Nomor 3 Tahun 2011 tentang
RTRW 2010-2030, penataan ruang Kota Cilegon bertujuan untuk mewujudkan
Kota Cilegon sebagai kota industri, perdagangan dan jasa terdepan di Pulau Jawa
yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Peningkatan ekonomi Kota
Cilegon sebagian besar merupakan efek dari aktivitas sektor perindustrian yang
merupakan penopang utama ekonomi Kota Cilegon, terutama industri kimia dan
industri baja. Lahan yang telah dialokasikan di Kota Cilegon dalam rencana tata
ruang dipersiapkan untuk pengembangan industri hingga mampu menjadi pusat
pertumbuhan ekonomi nasional di ujung barat Pulau Jawa.
Perumusan Masalah
Cilegon sebagai Kota Industri yang berkembang dipengaruhi oleh
perkembangan industri, khususnya industri baja dan industri kimia. Permintaan
akan lahan untuk industri serta fasilitas penunjang lainnya yang semakin meningkat
seiring waktu merupakan salah satu alasan untuk memahami distribusi penggunaan
lahan di Kota Cilegon. Selain itu, sebagai salah satu Kota dengan kepadatan
penduduk yang relatif meningkat setiap tahunnya maka perlu diimbangi dengan
ketersediaan sarana dan prasarana untuk mendukung kebutuhan penduduk di
2
sekitarmya. Ketersediaan sarana dan prasarana dapat digambarkan dengan tingkat
perkembangan wilayah (hirarki wilayah). Pemerintah Kota Cilegon telah berupaya
untuk mengalokasikan penggunaan lahan agar efisien, efektif, dan terpadu dalam
rencana pola ruang Kota Cilegon. Selain itu diperlukan adanya evaluasi
kekonsistenan penggunaan lahan terhadap rencana pola ruangnya karena seringkali
ketidaksesuaian antara penggunaan lahan dengan rencana pola ruang menyebabkan
kerusakan lingkungan dan permasalahan lainnya seperti kemacetan. Berdasarkan
permasalahan tersebut maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian, yaitu:
1. Bagaimana tingkat perkembangan wilayah Kota Cilegon berdasarkan
hirarki wilayahnya?
2. Bagaimana penggunaan lahan eksisiting di Kota Cilegon dan apakah
konsisten dengan rencana pola ruang?
3. Apa faktor penyebab inkonsistensi penggunaan lahan terhadap rencana
pola ruang jika ada inkonsistensi?
4. Bagaimana keterkaitan antara penggunaan lahan dengan rencana pola
ruang dan keterkaitan penggunaan lahan dengan hirarki wilayah di Kota
Cilegon?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk:
1. Menganalisis tingkat perkembangan wilayah (hirarki wilayah) di Kota
Cilegon,
2. Menganalisis penggunaan lahan eksisting Kota Cilegon dan
inkonsistensinya terhadap rencana pola ruang RTRW,
3. Mengidentifikasi faktor – faktor penyebab inkonsistensi penggunaan lahan
dengan rencana pola ruang RTRW Kota Cilegon,
4. Menganalisis keterkaitan antara penggunaan lahan dengan rencana pola
ruang RTRW dan penggunaan lahan dengan hirarki wilayah.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi untuk pemerintah
maupun pihak lainnya yang berkepentingan mengenai penggunaan lahan, alokasi
ruang, hirarki wilayah, serta konsistensi penggunaan lahannya terhadap tata ruang
Kota Cilegon.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Penggunaan Lahan Perkotaan
Jumlah penduduk di daerah perkotaan menunjukkan kecederungan
pertumbuhan yang semakin meningkat dan cepat karena daerah perkotaan
mempunyai daya tarik yang kuat, yaitu menjanjikan kesempatan kerja yang besar,
memberikan pendapatan yang lebih tinggi, memberikan peluang pengembangan
karir dan kemampuan profesional, serta penyediaan berbagai kemudahan lainnya
(Adisasmita 2006). Pertumbuhan ekonomi seringkali disertai dengan mobilitas
sosial. Migrasi ke pusat – pusat pertumbuhan yang tinggi menjanjikan jalan untuk
keluar dari kemiskinan dengan meningkatkan keuntungan ekonomi pada investasi
sumberdaya manusia (Liu et al. 2014). Hai et al. (2011) berpendapat bahwa
pertumbuhan populasi perkotaan yang pesat terjadi sebagai respons atas
meningkatnya penduduk bermigrasi ke kota untuk mencari pekerjaan yang lebih
baik dan memperbaiki kondisi hidup. Peningkatan jumlah penduduk memiliki
konsekuensi terhadap perkembangan ekonomi yang menuntut kebutuhan lahan
untuk permukiman, industri, infrastruktur dan jasa (Munibah et al. 2009). Liu et al.
(2014) menyatakan bahwa kepadatan penduduk di Indonesia lebih tinggi di daerah
perkotaan dan semakin meningkat membentuk urbanisasi. Keberhasilan
industrialisasi dalam merelokasi tenaga kerja ke aktivitas yang lebih produktif,
melalui migrasi desa-kota serta evolusi industri non – pertanian di perdesaan,
merupakan fenomena umum yang secara luas diteliti di sebagian besar negara –
negara berkembang di Asia.
Permukiman perkotaan merupakan habitat paling penting bagi manusia.
Hampir 50-60% dari populasi dunia hidup di daerah perkotaan membentuk hingga
80% dari output ekonomi global. Metabolisme dari aktivitas perkotaan
menimbulkan ancaman bagi lingkungan global (Pauleit et al. 2000). Kelemahan
dalam penerapan manajemen tanah perkotaan tampak dari meningkatnya harga
tanah yang mendorong timbulnya spekulasi, kelangkaan pengembangan tanah
perkotaan untuk permukiman, serta menjamurnya permukiman liar. Pada umumnya,
tanah perkotaan itu diperoleh melalui proses alih fungsi tanah pertanian, baik yang
dilakukan oleh pemerintah maupun pihak swasta (Sumardjono 2008). Sebagai salah
satu sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui, lahan di pusat perkotaan
menghadapi tekanan yang semakin meningkat yang berasal dari ruang, lalu lintas,
dan lanskap (Junyan et al. 2012). Isu – isu kunci dari perkembangan lahan di
Indonesia termasuk buruknya koordinasi dalam manajemen lahan perkotaan,
peraturan dan kebijakan lahan yang tidak fleksibel, pajak lahan yang tidak sesuai,
kurangnya keamanan dalam kepemilikan lahan, dan kurangnya informasi dan data
mengenai lahan perkotaan (Firman 2004). Akar permasalahan perkotaan yang
terkait dengan lahan perkotaan adalah: (1) semakin pesatnya pertumbuhan
penduduk perkotaan sebagai implikasi pembangunan dan industrialisasi; (2)
semakin terbatasnya lahan perkotaan serta masih belum terpenuhinya secara
memadai pelayanan prasarana dan sarana perkotaan (Pontoh et al. 2008).
Penelitian Willannisa (2014) menunjukkan bahwa penggunaan/penutupan
lahan di Kota Cilegon pada tahun 2005 didominasi secara berurutan oleh hutan
(33%), sawah (20%), semak/belukar (17%), lahan terbuka (10%), pertanian lahan
4
kering (7%) dan permukiman (6%). Bagian barat dan timur Kota Cilegon
didominasi oleh perubahan penggunaan lahan sawah menjadi permukiman pada
tahun 2011 karena topografinya yang datar sehingga menjadi tempat
terkonsentrasinya penduduk.
Penataan Ruang
Berdasarkan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang, penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk
mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan :
(a) terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; (b)
terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya
buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia; dan (c) terwujudnya
pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan
akibat pemanfaatan ruang. Rencana Tata Ruang memiliki peranan penting dalam
perkembangan perkotaan. Ada empat tingkat dalam perencanaan: kebijakan
nasional, rencana regional, rencana umum untuk provinsi atau kota dan rencana
rinci daerah (meliputi permukiman, lingkungan, atau industri). Penyusunan rencana
rinci daerah merupakan langkah awal dalam proyek pengembangan wilayah dan
merupakan prasyarat untuk persetujuan alokasi lahan dan pembangunan dari tingkat
pemerintahan yang lebih tinggi (Phuc et al. 2014).
Perencanaan pembangunan wilayah sering disalahartikan sebagai suatu proses
dimana perencana mengarahkan masyarakat untuk melakukan. Lahirnya pandangan
seperti tersebut sebenarnya terutama sebagai akibat proses pendekatan perencanaan
wilayah yang selama ini umumnya bersifat top-down. Perencanaan wilayah
umumnya dilakukan secara asimetrik, dimana pihak pemerintah dianggap memiliki
kewenangan secara legal karena memegang amanat yang legitimate. Padahal
dibalik amanat yang diterimanya, pemerintah berfungsi melayani/memfasilitasi
masyarakat yang berkepentingan secara langsung di dalam pemanfaatan
sumberdaya ruang yang ada (Rustiadi 2001). Rencana Tata Ruang disusun dengan
perspektif menuju keadaan masa depan yang diharapkan, bertitik tolak dari data,
informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang dapat digunakan (Mirsa 2012).
Pemanfaatan lahan di area perkotaan harus berdasarkan perencanaan tata ruang.
Masalah Rencana Tata Ruang Wilayah di Indonesia yaitu tata ruang didesain dan
dimaksudkan untuk mengendalikan perkembangan kota secara rinci. Hal ini jelas
tidak dapat diimplementasikan oleh pemerintah daerah karena keterbatasan
sumberdaya yang tersedia untuk mengimplementasikan rencana tersebut. Rencana
tata ruang harus lebih memberikan pedoman yang fokus pada komponen strategis
jangka panjang dari pengembangan kota, dibandingkan dengan mencoba untuk
menyediakan desain fisik kota yang detail (Firman 2004).
Berdasarkan Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2003), dalam rangka
mewujudkan konsep pengembangan wilayah yang di dalamnya memuat tujuan dan
sasaran yang bersifat kewilayahan di Indonesia, maka ditempuh melalui upaya
penataan ruang yang terdiri dari 3 (tiga) proses utama, yakni:
(a) Proses perencanaan tata ruang wilayah, yang menghasilkan rencana tata
ruang wilayah (RTRW). Disamping sebagai “guidance of future actions”
RTRW pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar
5
interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dengan dapat
berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan
manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan
pembangunan (development sustainability).
(b) Proses pemanfaatan ruang, yang merupakan wujud operasionalisasi
rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri.
(c) Proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas mekanisme
perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar sesuai
dengan RTRW dan tujuan penataan ruang wilayahnya.
Penataan ruang merupakan instrumen legal untuk mewujudkan tujuan dan
sasaran pengembangan wilayah melalui pemanfaatan sumberdaya secara efektif,
efisien, dan terpadu, sekaligus mewujudkan ruang yang berkualitas. Dengan
memanfaatkan berbagai teori dan konsep pengembangan wilayah, penataan ruang
merupakan instrumen yang digunakan untuk memahami interaksi antara 4 (empat)
unsur utama pembentuk ruang (sumberdaya alam, manusia, buatan, dan sistem
aktivitas) secara komprehensif.
Timbulnya agenda “sustainability” selama tiga dekade akhir ini membawa
pertimbangan ke depannya untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan
lingkungan dan sosial (Karadimitrou 2013). Urgensi atas penataan ruang timbul
sebagai akibat dari tumbuhnya kesadaran akan pentingnya intervensi publik atau
collective action terhadap kegagalan mekanisme pasar (market failure) dalam
menciptakan pola dan struktur ruang yang sesuai dengan tujuan bersama (Rustiadi
et al. 2011). Pembedahan permasalahan produktivitas penyelenggaraan penataan
ruang perlu dilakukan secara sistematis dan bertahap. Berdasarkan kondisi
produktivitas saat ini, ada kecenderungan penilaian dari masyarakat bahwa terjadi
kelambanan proses penataan ruang di daerah. Terdapat pula prasangka bahwa
lambatnya proses penyusunan RTRW di daerah adalah upaya untuk menghindari
pertanggungjawaban pemanfaatan ruang terkait sanksi yang telah terakomodasi
dalam UUPR. Menurut Kepmen Kimpraswil No 327/KTPS/M/2002, pengendalian
pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban
terhadap pemanfaatan ruang berdasarkan mekanisme perizinan, pemberian insentif
dan disinsentif, pemberian kompensasi, mekanisme pelaporan, mekanisme
pemantauan, mekanisme evaluasi, dan mekanisme pengenaan sanksi. Permasalahan
dalam pengendalian tata ruang antara lain disebabkan karena: pemberian izin tidak
sesuai dengan RTRW; kurangnya sosialisasi RTRW; sistem informasi spasial
belum memadai (tidak jelas batas – batas koordinat setiap peruntukan lahan),
didukung minimnya jumlah benchmark, sehingga sulit untuk mengetahui
kesesuaian ketepatan lokasi di lapangan dengan peta.
Pengembangan Wilayah
Terdapat beberapa teori konsep pengembangan wilayah di Indonesia. Salah
satunya adalah Walter Isard yang mengkaji terjadinya hubungan sebab-akibat dari
faktor – faktor utama pembentuk ruang wilayah, yakni faktor fisik, sosial-ekonomi,
dan budaya. Kemudian Friedmann (era 1960-an) yang lebih menekankan pada
pembentukan hirarki guna mempermudah pengembangan sistem pembangunan
yang kemudian dikenal dengan teori pusat pertumbuhan (Direktorar Jenderal
Penataan Ruang 2003). Konsep wilayah nodal adalah salah satu konsep wilayah
6
fungsional/sistem yang sederhana karena memandang suatu wilayah secara
dikotomis (terbagi atas dua bagian). Secara operasional, pusat – pusat wilayah
mempunyai hierarki yang spesifik yang hierarkinya ditentukan oleh kapasitas
pelayanannya. Sumberdaya yang paling mudah dinilai dalam penghitungan
kapasitas pelayanan adalah sumberdaya buatan (sarana dan prasarana pada pusat –
pusat wilayah). Secara sederhana, kapasitas pelayanan infrastruktur atau prasarana
wilayah dapat diukur dari: (1) jumlah sarana pelayanan, (2) jumlah jenis sarana
pelayanan yang ada, serta (3) kualitas sarana pelayanan. Semakin banyak jumlah
sarana pelayanan dan jumlah jenis sarana berkorelasi kuat dengan jumlah penduduk
di suatu wilayah. Dengan demikian, pusat – pusat berorde tinggi seringkali
mempunyai kepadatan penduduk yang lebih tinggi. Pusat – pusat yang berhierarki
tinggi melayani pusat – pusat dengan hierarki yang lebih rendah disamping juga
melayani hinterland di sekitarnya (Rustiadi et al. 2011).
Prasarana dan sarana perkotaan dan berbagai fasilitas pelayanan sosial
ekonomi untuk dapat disediakan dalam jumlah yang cukup sehingga dalam
pembangunannya, peranan pemerintah kota sangat besar dan menentukan. Di
samping peranan pemerintah kota diperlukan pula peran serta pihak swasta dan
masyarakat yang bersifat partisipatif agar mencapai tujuan pembangunan perkotaan
yang optimal dan berkelanjutan (Adisasmita 2006). Seringkali adanya campur
tangan pemerintah yang tidak efisien menyebabkan distribusi sumberdaya lahan
tidak optimal sehingga beberapa ahli kebijakan berpendapat bahwa cara terbaik
untuk mengatur penggunaan lahan dan pola perkembangan adalah dengan
bergantung pada mekanisme pasar. Namun, tanpa perencanaan dan peraturan, pasar
lahan cenderung menciptakan biaya eksternal yang tinggi dan gagal untuk
menyediakan ruang publik. Kenyataannya, tanpa campur tangan pemerintah,
fasilitas publik yang mendasar seperti taman, ruang terbuka, dan infrastruktur
utama serta pelayanan kota, tidak akan disediakan oleh pihak swasta karena tidak
menguntungkan dan memiliki nilai jual (Dowall et al. 1996).
Sistem Informasi Geografis
Informasi akan penggunaan lahan dan tutupan lahan dan potensinya untuk
pemanfaatan yang optimal merupakan hal yang penting untuk seleksi, perencanaan
dan implementasi dari skema penggunaan lahan agar dapat memenuhi permintaan
yang meningkat akan kebutuhan dasar manusia dan kesejahteraannya. Sistem
Informasi Geografis (SIG) dan penginderaan jauh menyediakan data untuk integrasi
data spasial. SIG dan penginderaan jauh telah dikenal luas sebagai alat yang efektif
untuk perencanaan dan pendukung pembuat keputusan (Oyinloye 2011). Citra
satelit menyediakan potensi untuk mendapatkan informasi tutupan lahan dengan
interval waktu yang singkat dan lebih ekonomis dibandingkan dengan metode
tradisional.
7
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Cilegon, Provinsi Banten. Analisis data
dilakukan di Studio Divisi Perencanaan Pengembangan Wilayah, Departemen Ilmu
Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB. Penelitian berlangsung
mulai dari bulan April 2014 hingga Desember 2014. Lokasi penelitian ditunjukkan
pada Gambar 1.
Gambar 1 Lokasi Penelitian
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengecekan lapang serta wawancara
terstruktur. Data sekunder berupa data spasial, dokumen perencanaan, dan pustaka
lainnya yang terkait. Jenis dan sumber data disajikan pada Tabel 1
8
Tabel 1 Jenis dan Sumber Data Penelitian
No
Sumber
Data
Data
Earth
1. Citra Kota Cilegon eksisting tahun
2013
2. Cilegon dalam Angka 2013
BPS
3. Peta Administrasi Kota Cilegon
Bappeda
4. Peta RTRW Kota Cilegon 2010 2030
5. Data jumlah penduduk, fasilitas
pelayanan (fasilitas kesehatan,
fasilitas ekonomi, fasilitas
pendidikan, dan fasilitas sosial),
dan aksesibilitas fasilitas (jarak)
tahun 2012
Kegunaan
membuat peta penggunaan
lahan eksisting
mengetahui profil Kota
Cilegon
mengetahui batas wilayah
admnistrasi Kota Cilegon
per desa
Bappeda
mengetahui alokasi ruang
menurut rencana tata ruang
PODES
2012
mengetahui hirarki wilayah
Perangkat yang digunakan dalam penelitian yaitu komputer yang dilengkapi
dengan software untuk mengolah data, GPS untuk membantu menentukan titik
koordinat di lapang, kamera digital, dan alat tulis. Software yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Microsoft Office Excel untuk tabulasi data, QGIS 2.2.0
Valmiera untuk mendigitasi dan mengolah data spasial, Arc View untuk joint data
dan mengolah data spasial, dan Statistica 7 untuk mengolah data atribut.
Prosedur Analisis Data
Penelitian ini menggunakan jenis data dan teknik analisis yang berbeda untuk
setiap tujuannya. Jenis data, teknik analisis, dan output yang diharapkan dari setiap
tujuan penelitian disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Tujuan Penelitian, Jenis Data, Teknik Analisis dan Output yang diharapkan
No
1.
Tujuan Penelitian
Jenis Data
Menganalisis tingkat
perkembangan
wilayah (hirarki
wilayah) di Kota
Cilegon
Data fasilitas
pelayanan,
aksesibilitas
dan jumlah
penduduk
Teknik
Output
Analisis Data
Analisis
Tingkat
skalogram
perkembangan
wilayah dan
hirarki wilayah
Kota Cilegon
9
Tabel 2 (Lanjutan)
2.
Menganalisis
penggunaan lahan
eksisting Kota Cilegon
dan inkonsistensinya
terhadap rencana pola
ruang RTRW
Citra Google
Earth, peta pola
ruang kota
Cilegon 2010 –
2030
3.
Mengidentifikasi
faktor – faktor
penyebab
inkonsistensi
penggunaan lahan
dengan rencana pola
ruang RTRW Kota
Cilegon
Menganalisis
keterkaitan antara
penggunaan lahan
dengan rencana pola
ruang RTRW dan
penggunaan lahan
dengan hirarki wilayah
Hasil
wawancara
terstruktur
4.
Data yang telah
diperoleh
sebelumnya
Digitasi dan
interpretasi
citra,
pengecekan
lapang,
overlay peta,
deskripsi
tabel dan
grafik
Analisis
deksriptif
Jenis penggunaan
lahan dan
inkonsistensinya
terhadap rencana
tata ruang
Analisis
korelasi
Keterkaitan
antara alokasi
ruang,
penggunaan
lahan, dan hirarki
wilayah di Kota
Cilegon
Faktor - faktor
penyebab
inkonsistensi tata
ruang
Analisis Penggunaan Lahan
Peta tutupan lahan eksisting diperoleh melalui digitasi citra Google Earth
berdasarkan unsur interpretasi citra. Menurut Lillesand et al. (1990), unsur
interpretasi citra terdiri atas: bentuk ialah konfigurasi atau kerangka suatu obyek,
ukuran yang berhubungan dengan skala, pola ialah susunan spasial obyek,
bayangan yang dapat memberikan gambaran profil suatu obyek tetapi dapat
menghalangi interpretasi obyek di bawahnya, rona ialah warna atau kecerahan
relatif obyek pada citra, tekstur yaitu frekuensi perubahan rona pada citra fotografi,
situs atau lokasi obyek dalam hubungannya dengan obyek yang lain. Digitasi
dilakukan sesuai dengan klasifikasi yang telah ditentukan. Lalu peta tutupan lahan
tersebut diverifikasi dengan pengecekan lapang sehingga diperoleh peta
penggunaan lahan. Sebaran titik cek lapang disajikan pada Gambar 2.
10
Gambar 2 Peta Sebaran Titik Cek Lapang
Titik pengecekan lapang sebanyak 55 titik tersebar di seluruh kecamatan
(Gambar 2) dan diambil berdasarkan purposive sampling, yaitu pengambilan
sampel secara selektif yang masing – masing titik mewakili kondisi lapangan. Hasil
interpretasi dan pengecekan lapang, klasifikasi penggunaan lahan dalam penelitian
ini terdiri atas 11 jenis penggunaan lahan yaitu:
1. Hutan (HTN)
Hutan yang tumbuh dan berkembang di habitat lahan kering yang dapat
berupa hutan dataran rendah, jenis rumput yang tinggi serta rumput
rendah heterogen. Kawasan lahan kering yang telah ditumbuhi dengan
berbagai vegetasi alami heterogen dan homogen dengan kerapatan jarang
hingga rapat. perbukitan dan pegunungan, atau hutan tropis dataran tinggi.
2. Kebun (KBC)
Lahan yang ditanami dengan tanaman keras lebih dari satu jenis atau tidak
seragam yang menghasilkan bunga, buah, dan getah dan cara
pengambilan hasilnya bukan dengan cara menebang pohon.
3. Kompleks Olahraga (KO)
Kompleks Olahraga terdiri atas lapangan golf dan lapangan sepak bola
yang dapat teridentifikasi dengan jelas melalui citra.
4. Rumput, Semak, Ilalang (RSI)
Areal atau bidang lahan yang terbuka dan hanya ditumbuhi jenis – jenis
tanaman perdu dari keluarga rumput dan semak.
5. Tanaman Pertanian Lahan Basah (TPLB)
Areal atau bidang lahan yang diusahakan untuk kegiatan pertanian lahan
basah/lahan kering, digenangi air secara periodik atau terus menerus
11
dengan vegetasi yang diusahakan berupa : padi, tebu, tembakau, rosela,
sayur – sayuran.
6. Tanaman Pertanian Lahan Kering (TPLK)
Ladang merupakan pertanian lahan kering dengan penggarapan secara
temporer atau berpindah – pindah. Lahan yang digarap setelah tiga tahun
atau kurang kemudian ditinggalkan.
7. Permukiman Tidak Teratur (PMK)
Areal atau lahan yang digunakan sebagai lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung kehidupan
orang dengan pola yang tidak teratur, serta merupakan bagian dari
lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang merupakan
permukiman perkotaan maupun pedesaan.
8. Permukiman Teratur (PMT)
Areal atau lahan yang digunakan sebagai lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung kehidupan
orang dengan pola yang teratur, serta merupakan bagian dari lingkungan
hidup di luar kawasan lindung, baik yang merupakan permukiman
perkotaan maupun pedesaan.
9. Emplasemen (EMP)
Area yang telah mengalami subtitusi penutup lahan alami ataupun semi
alami dengan penutup lahan buatan yang biasanya bersifat kedap air dan
relatif permanen. Bangunan industri : areal lahan yang digunakan untuk
bangunan pabrik atau industri yang berupa kawasan industri atau
perusahaan.
10. Lahan Terbuka (LT)
Lahan tanpa tutupan lahan baik yang bersifat alamiah, semi alamiah
maupun artifisial. Bersifat sementara jika areal lahan tidak diusahakan
untuk kegiatan budidaya atau non budidaya, tetapi sudah ada rencana
peruntukan penggunaan lahannya.
11. Badan Air (BA)
Areal perairan di daratan dengan penggenangan air yang dalam dan
permanen, penggenangan dangkal termasuk fungsinya.
Analisis Hirarki Wilayah
Teknik analisis skalogram digunakan untuk mengidentifikasi ordo atau
hirarki relatif di suatu wilayah. Data yang digunakan adalah data fasilitas dan
aksesibilitas tahun 2012. Semua fasilitas umum dan aksesibilitas yang dimiliki oleh
setiap wilayah disusun dalam tabel. Wilayah yang memiliki hirarki tinggi (Hirarki
I) merupakan wilayah yang memiliki jumlah unit dan jenis fasilitas yang paling
banyak dan beragam serta memiliki aksesibilitas fasilitas yang relatif dekat.
Aksesibilitas dalam analisis skalogram ini merupakan variabel negatif.
Aksesibilitas adalah jarak yang dihitung apabila jumlah fasilitas tidak terdapat
dalam PODES, jarak yang dimaksud yaitu jarak dari pusat desa ke desa terdekat
lain yang memiliki fasilitas tersebut. Tingkat perkembangan wilayah dibagi atas
tiga hirarki, yaitu:
Hirarki I, jika IPD ≥ (rataan IPD total + simpangan baku IPD total)
12
Hirarki II, jika rataan IPD total < IPD < (rataan IPD total + simpangan
baku IPD total)
Hirarki III, IPD < rataan IPD
Rincian variabel yang digunakan untuk setiap fasilitas dan aksesibilitas dalam
analisis skalogram tertera pada Tabel 3.
Tabel 3 Variabel yang digunakan dalam analisis skalogram
Kelompok Indeks
Fasilitas Pendidikan
Fasilitas Kesehatan
Fasilitas Sosial
Fasilitas Ekonomi
Variabel yang digunakan
Jumlah TK
Jumlah SD
Jumlah SMP
Jumlah SMU
Jumlah SMK
Jumlah Akademi
Jumlah SLB
Jumlah pondok pesantren swasta
Jumlah madrasah diniyah swasta
Jumlah seminari swasta
Jumlah lembaga bahasa asing
Jumlah lembaga komputer
Jumlah lembaga menjahit
Jumlah lembaga kecantikan
Jumlah lembaga montir
Jumlah lembaga elektronika
Jumlah lembaga lainnya
Jumlah Rumah Sakit
Jumlah rumah sakit bersalin
Jumlah poliklinik
Jumlah puskesmas
Jumlah puskesmas pembantu
Jumlah tempat praktek dokter
Jumlah tempat praktek bidan
Jumlah poskesdes
Jumlah polindes
Jumlah posyandu
Jumlah apotek
Jumlah mesjid
Jumlah surau/langgar
Jumlah lokasi pasar tanpa bangunan
Jumlah minimarket
Jumlah toko/warung kelontong
13
Aksesibilitas (Km)
Tabel 3 (Lanjutan)
Jumlah warung/kedai makanan minuman
Jumlah restoran/rumah makan
Jumlah hotel
Jumlah penginapan/motel
Jumlah koperasi unit desa
Jumlah koperasi industri kecil dan kerajinan rakyat
Jumlah koperasi simpan pinjam
Jumlah koperasi lainnya
Jumlah bank umum
Jumlah bank perkreditan rakyat
Jarak ke TK terdekat
Jarak ke SMP terdekat
Jarak ke SMU terdekat
Jarak ke SMK terdekat
Jarak ke Rumah sakit terdekat
Jarak ke RS bersalin terdekat
Jarak ke poliklinik terdekat
Jarak ke puskesmas terdekat
Jarak ke tempat praktek dokter terdekat
Jarak ke tempat praktek bidan terdekat
Jarak ke poskesdes terdekat
Jarak ke polindes terdekat
Jarak ke apotek terdekat
Jarak ke toko obat terdekat
Jarak ke pos polisi terdekat
Jarak ke gedung bioskop terdekat
Jarak ke pub/tempat karaoke terdekat
Jarak ke kantor pos terdekat
Jarak ke kelompok pertokoan terdekat
Jarak ke pasar terdekat
Jarak ke bank umum terdekat
Jarak ke bank perkreditan rakyat terdekat
Analisis Inkonsistensi Tata Ruang
Bentuk inkonsistensi pemanfaatan ruang di Kota Cilegon diperoleh melalui
overlay peta penggunaan lahan eksisting dengan peta rencana pola ruang RTRW
Kota Cilegon. Hasil overlay tersebut menentukan konsisten dan inkonsistennya
penggunaan lahan berdasarkan matriks logika inkonsistensi sehingga menghasilkan
peta inkonsistesi penggunaan lahan Kota Cilegon terhadap rencana pola ruangnya.
Klasifikasi penggunaan lahan berbeda dengan klasifikasi peruntukan ruang
sehingga perlu adanya padanan. Padanan ini disusun berdasarkan keterangan yang
14
diperoleh dalam Peraturan Daerah Kota Cilegon Nomor 3 Tahun 2011 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Cilegon Tahun 2010 – 2030. Padanan jenis
penggunaan lahan terhadap peruntukan ruang tertera pada Tabel 4.
Tabel 4 Padanan Jenis Penggunaan Lahan terhadap Peruntukan Ruang
No
Jenis Penggunaan Lahan
1. Hutan
2. Permukiman Tidak Teratur
3. Permukiman Teratur
4. Emplasemen
5. Tanaman Pertanian Lahan
Basah
6. Tanaman Pertanian Lahan
Kering
7. Rumput, Semak, dan
Ilalang
8. Kebun Campuran
9. Lahan Terbuka
10. Badan Air
Peruntukan Ruang Menurut Pola Ruang
RTRW
Kawasan Hutan Lindung
Kawasan Pelestarian Alam
Kawasan Perlindungan Setempat
Kawasan Ruang Terbuka Hijau
Kawasan Perumahan/Permukiman Perkotaan
Kawasan Pemerintahan dan Bangunan Umum
Kawasan Pariwisata
Kawasan Perdagangan dan Jasa
Kawasan Peruntukan lainnya
Kawasan Perumahan/Permukiman Perkotaan
Kawasan Pemerintahan dan Bangunan Umum
Kawasan Pariwisata
Kawasan Perdagangan dan Jasa
Kawasan Peruntukan lainnya
Kawasan Perindustrian
Kawasan Pariwisata
Kawasan Pelabuhan dan Pergudangan
Kawasan Terminal Terpadu
Kawasan Perdagangan dan Jasa
Kawasan TPL B3
Kawasan Peruntukan Lainnya
Kawasan Ruang Terbuka Hijau
Kawasan Ruang Terbuka Hijau
Kawasan Ruang Terbuka Hijau
Kawasan Perlindungan Setempat
Kawasan Pelestarian Alam
Kawasan Ruang Terbuka Hijau
Kawasan Perlindungan Setempat
Kawasan Pelestarian Alam
Tempat Pembuangan Akhir Sampah
Kawasan TPL B3
Kawasan Ruang Terbuka Non Hijau
Kawasan Perindustrian
Kawasan Perlindungan Setempat
Tabel 4 (Lanjutan)
11. Kompleks Olahraga
15
Kawasan Ruang Terbuka Hijau
Penggunaan lahan yang sesuai dengan peruntukannya dikategorikan sebagai
konsisten. Berdasarkan padanan jenis penggunaan lahan terhadap peruntukan ruang
tersebut maka diperoleh matrik logika inkonsistensi penggunaan lahan di Kota
Cilegon seperti pada Tabel 5.
Tabel 5 Matrik Logika Inkonsistensi Penggunaan Lahan di Kota Cilegon
Penggunaan Lahan Kota Cilegon
Pola
Ruang
KPr
KPP
KPB
KPJ
KPi
KPm
KPL
KRnH
KTT
KTPL
TPA
KHL
KPA
KPS
KRH
Tutupan Hijau
Lahan Terbangun
BA LT
HTN RSI KBC TPLK TPLB KO
PMK PMT EMP
O
O
O
O
O
O
O
O
V
V
V
O
O
O
O
O
O
X
O
X
X
V
O
O
O
O
O
O
O
O
V
V
X
O
O
O
O
O
O
O
O
V
V
V
O
O
O
O
O
O
V
O
X
X
V
O
O
O
O
O
O
O
O
V
V
X
O
O
O
O
O
O
X
O
V
V
V
O
O
O
O
O
O
V
O
X
X
X
O
O
O
O
O
O
X
O
X
X
V
O
O
O
O
O
O
V
O
X
X
V
O
O
O
O
O
O
X
V
X
X
X
V
V
X
X
X
X
X
X
X
X
X
V
V
V
X
X
X
X
X
X
X
X
V
V
V
V
V
X
V
X
X
X
X
V
V
V
V
V
V
X
X
X
X
X
Keterangan : V = Konsisten I, O = konsisten II, X = Inkonsisten
KPr = Kawasan Pariwisata, KPP = Kawasan Pelabuhan dan Pergudangan, KPB =
Kawasan Pemerintahan dan Bangunan Umum, KPJ = Kawasan Perdagangan dan Jasa,
KPi = Kawasan Perindustrian, KPm = Kawasan Perumahan/Permukiman Perkotaan,
KPL = Kawasan Peruntukan Lainnya, KRnH = Kawasan Ruang Terbuka Non Hijau,
KTT = Kawasan Terminal Terpadu, KTPL = Kawasan TPL B3, TPA = Tempat
Pembuangan Akhir Sampah, KHL = Kawasan Hutan Lindung, KPA = Kawasan
Perlindungan Alam, KPS = Kawasan Perlindungan Setempat, KRH = Kawasan Ruang
Terbuka Hijau
HTN = Hutan, PMK = Permukiman Tidak Teratur, PMT = Permukiman Teratur, EMP
= Emplasmen, TPLK = Tanaman Pertanian Lahan Kering, TPLB = Tanaman
Pertanian Lahan Basah, RSI = Rumput, Semak, Ilalang, KBC = Kebun Campuran, LT
= Lahan Terbuka, BA = Badan Air, KO = Kompleks Olahraga.
Konsisten I merupakan kondisi penggunaan lahan yang sesuai dengan
padanan jenis penggunaan lahan terhadap peruntukan ruang di Kota Cilegon pada
Tabel 4. Konsisten II yaitu penggunaan lahan sementara/temporary land use
berbeda dengan peruntukannya tetapi termasuk konsisten karena berpotensial
mengalami perubahan. Inkonsistensi yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu
penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya dan sulit atau hampir
tidak dapat dikembalikan ke fungsi lahan semula (irreversible).
16
Analisis Korelasi Berganda
Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui keeratan hubungan antara
beberapa peubah sebagai salah satu pertimbangan dalam melihat ada atau tidaknya
hubungan sebab akibat antara peubah – peubah tersebut. Analisis korelasi berganda
dalam penelitian ini digunakan untuk mengukur keeratan hubungan antara
penggunaan lahan, rencana pola ruang, dan hirarki wilayah. Data yang digunakan
dalam analisis korelasi diperoleh berdasarkan hasil yang telah diperoleh, yaitu: peta
penggunaan lahan eksisting Kota Cilegon, peta rencana pola ruang Kota Cilegon,
peta inkonsistensi penggunaan lahan terhadap rencana pola ruang, dan peta hirarki
wilayah dengan satuan wilayah per desa. Data tersebut kemudian dijoint dengan
menggunakan software Arc View. Kemudian dianalisis korelasi dilakukan dengan
menggunakan software Statistica 7. Hasil dari analisis tersebut dapat
diinterpretasikan berdasarkan interval nilai seperti tertera pada Tabel 6. Koefisien
Korelasi (KK) adalah indeks atau bilangan yang digunakan untuk mengukur derajat
hubungan, meliputi kekuatan hubungan dan bentuk/arah hubungan. Untuk kekuatan
hubungan, nilai koefisien korelasi berada di antara -1 dan +1. Untuk bentuk/arah
hubungan, nilai koefisien korelasi dinyatakan dalam positif (+) dan negatif (-) , atau
(-1 ≤ KK ≤ +1). Jika koefisien korelasi bernilai positif maka variabel – variabel
berkorelasi positif, artinya jika variabel satu naik/turun maka variabel yang lainnya
juga naik/turun. Semakin dekat nilai korelasi ke +1, semakin kuat korelasi
positifnya. Sebaliknya semakin dekat nilai korelasi ke -1, semakin kuat korelasi
negatifnya.
Tabel 6 Interval Nilai Koefisien Korelasi dan Kekuatan Hubungan
No
Interval Nilai
1. KK = 0,00
2. 0,00 < KK ≤ 0,20
3. 0,20 < KK ≤ 0,40
4. 0,40 < KK ≤ 0,70
5. 0,70 < KK ≤ 0,90
6. 0,90 < KK < 1,00
7. KK = 1,00
Sumber : Hasan (2004)
Kekuatan Hubungan
Tidak ada
Sangat rendah atau lemah sekali
Rendah atau lemah tapi pasti
Cukup berarti atau sedang
Tinggi atau kuat
Sangat tinggi atau kuat sekali, dapat diandalkan
Sempurna
Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Inkonsistensi Penggunaan
Lahan terhadap Rencana Pola Ruang Menurut RTRW
Faktor – faktor yang mempengaruhi inkonsistensi penggunaan lahan terhadap
rencana pola ruang RTRW dianalisis dengan wawancara terstruktur. Wawancara
dilakukan pertama dengan mengetahui kondisi umum Kota Cilegon, historis
penggunaan lahan di lokasi penelitian, khususnya yang mengalami inkonsistensi
dengan rencana pola ruang, serta isu pembangunan yang sedang terjadi di Kota
Cilegon. Wawancara dilakukan dengan menentukan beberapa responden yang
terkait secara langsung dalam penetapan rencana pola ruang serta pihak yang
memiliki pengetahuan akan penggunaan lahan di Kota Cilegon dalam waktu yang
17
lama. Responden yang diwawancarai yaitu Kepala bidang prasarana dan
pengembangan wilayah Bappeda Kota Cilegon (Edi Sabri), staf dari bappeda yang
terkait dalam pembuatan peta rencana pola ruang (Irfan Fahlevi), penduduk yang
sudah lama tinggal di Kota Cilegon, penduduk yang berhubungan dengan
penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan rencana pola ruang. Teknik analisis
data yang digunakan berupa analisis deskriptif. Analisis deskriptif adalah teknik
analisis yang berhubungan dengan ide, persepsi, pendapat, kepercayaan orang yang
akan diteliti dan tidak dapat diukur dengan angka. Analisis ini berkaitan dengan
pengumpulan fakta, identifikasi, dan meramalkan hubungan dalam dan antara
variabel.
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Hadirnya pabrik baja Trikora pada tahun 1962 di Cilegon merupakan awal
bagi era industri di Kota Cilegon. Perkembangan yang cepat industri baja Trikora
tersebut, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 tanggal 31 Agustus 1970
tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan
Perseroan PT. Krakatau Steel, berubah menjadi pabrik baja PT. Krakatau Steel
Cilegon berikut anak perusahaannya. Dengan perkembangan pembangunan yang
sangat cepat terutama dengan adanya sentra industri baja PT. Krakatau Steel beserta
seluruh anak perusahaannya diikuti hadirnya pabrik – pabrik seperti PLTU Suralaya,
PT. Chandra Asri dan lain – lain telah mempengaruhi kondisi budaya dan
penggunaan lahan dari daerah persawahan dan perladangan menjadi daerah industri,
perdagangan, jasa, perumahan, serta pariwisata. Berdasarkan pasal 72 ayat 4
Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok – Pokok Pemerintahan di
Daerah, Cilegon sudah memenuhi persyaratan untuk Kota administratif sehingga
diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1986 tentang Pembentukan Kota
Administratif Kota Cilegon, ditetapkan luas Kota Cilegon adalah 17.550 hektar
yang meliputi 3 (tiga) wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Pulomerak, Ciwandan,
Cilegon, dan 1 (satu) perwakilan Kecamatan Cilegon di Cibeber. Status Kota
Administratif Kota Cilegon kemudian berubah menjadi Kotamadya Cilegon dengan
ditetapkan UU No. 15 tahun 1999 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah
Tingkat II Depok dan Kotamadya Daerah Tingkat II Cilegon. Dalam
perkembangannya Kota Cilegon telah memperlihatkan kemajuan yang pesat di
berbagai bidang baik bidang fisik maupun sosial ekonomi. Hal ini tidak saja
memberikan dampak berupa kebutuhan peningkatan pelayanan di bidang
pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, tetapi juga memberikan
gambaran mengenai perlunya dukungan kemampuan dan potensi wilayah untuk
menyelenggarakan otonomi daerah. Berdasarkan Peraturan Daerah nomor 15 tahun
2002 tentang Pembentukan 4 (empat) Kecamatan Baru dan Peraturan Daerah
nomor 12 tahun 2003 tentang Perubahan Status Desa menjadi Kelurahan, struktur
administrasi wilayah Kota Cilegon mengalami pemekaran menjadi 8 (delapan)
kecamatan dan 43 (empat puluh tiga) kelurahan.
18
Administrasi, Geografi, dan Iklim
Kota Cilegon merupakan dataran rendah dengan ketinggian antara 0 – 553
meter di atas permukaan laut, terletak pada posisi 105°54’05’’ - 106°05’11’’ BT
dan 5°52’24’’ - 6°04’07’’ LS yang terdiri atas 8 kecamatan dan 43 kelurahan.
Berdasarkan Undang Undang nomor 15 tahun 1999, luas wilay