Pengaruh komponen manajemen modal kerja terhadap profitabilitas perusahaan sektor pertambangan di bursa efek indonesia

PENGARUH KOMPONEN MANAJEMEN MODAL KERJA
TERHADAP PROFITABILITAS PERUSAHAAN SEKTOR
PERTAMBANGAN DI BURSA EFEK INDONESIA

RINO RINALDY WINSRIZAL ARIFIN

PROGRAM SARJANA ALIH JENIS MANAJEMEN
DEPARTEMEN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Komponen
Manajemen Modal Kerja terhadap Profitabilitas Perusahaan Sektor Pertambangan
di Bursa Efek Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2014
Rino Rinaldy Winsrizal Arifin
NIM H24124012

ABSTRAK
RINO RINALDY WINSRIZAL ARIFIN. Pengaruh Komponen Manajemen
Modal Kerja terhadap Profitabilitas Perusahaan Sektor Pertambangan di Bursa
Efek Indonesia. Dibimbing oleh FARIDA RATNA DEWI.
Pertambangan menjadi salah satu penentu perekonomian Indonesia karena
berperan strategis dan berpengaruh besar terhadap hajat hidup orang banyak. Hal
tersebut tentunya menuntut perusahaan pertambangan agar mampu berproduksi
secara optimal termasuk mengelola modal kerja dengan baik yang nantinya akan
berdampak pada profitabilitas. Penelitian ini menggunakan laporan keuangan
tahun 2012-2013 seluruh perusahaan yang tergabung ke dalam sektor
pertambangan dan terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan menggunakan
analisis rasio keuangan dan analisis regresi linier berganda sebagai metode
penelitian. Variabel independen dalam penelitian ini adalah komponen

manajemen modal kerja yang terdiri dari cash conversion cycle (CCC), average
collection period (ACP), average age of inventory (AAI), dan average payment
period (APP). Sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah
profitabilitas yang diproksikan oleh net profit margin (NPM). Hasil analisis secara
simultan maupun parsial menunjukkan bahwa komponen manajemen modal kerja
tidak berpengaruh terhadap profitabilitas perusahaan sektor pertambangan di BEI.
Kata kunci: komponen manajemen modal kerja, profitabilitas, perusahaan
pertambangan, bursa efek indonesia

ABSTRACT
RINO RINALDY WINSRIZAL ARIFIN. The Effect of Working Capital
Management Components to the Profitability of Mining Sector Company in
Indonesia Stock Exchange. Supervised by FARIDA RATNA DEWI.
Mining sector has become one of those which determines Indonesia’s
economy due to the strategic role and has a big power of impact to many peoples.
So that mining company has to produce optimal and manage the working capital
properly consider to the profitability. This research using 2012-2013 financial
report of all the mining sector companies in Indonesia Stock Exchange with
financial ratio analysis and multiple linear regression analysis as the research
method. The independent variable in this research is working capital management

components that are consist of cash conversion cycle (CCC), average collection
period (ACP), average age of inventory (AAI), dan average payment period
(APP). The dependent variable is profitability that is proxy by net profit margin
(NPM). The result simultaneously and partially is working capital management
components don’t have any impact to the profitability of mining sector companies
in Indonesia Stock Exchange.
Keywords: working capital management components, profitability, mining
company, indonesia stock exchange

PENGARUH KOMPONEN MANAJEMEN MODAL KERJA
TERHADAP PROFITABILITAS PERUSAHAAN SEKTOR
PERTAMBANGAN DI BURSA EFEK INDONESIA

RINO RINALDY WINSRIZAL ARIFIN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Program Sarjana Alih Jenis Manajemen


PROGRAM SARJANA ALIH JENIS MANAJEMEN
DEPARTEMEN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PRAKATA
Alhamdulillah. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang
selalu senantiasa memberikan karunia dan nikmatNya yang tak terhingga,
sehingga penelitian dan karya tulis ini dapat rampung dengan cukup lancar.
Penulis ucapkan terima kasih kepada Ibu Farida Ratna Dewi, SE, MM
selaku dosen pembimbing yang sudah begitu baik meluangkan waktu dan
membimbing penulis selama melakukan penelitian dan mengerjakan karya tulis
ini. Terima kasih juga untuk orang tua, adik, seluruh anggota keluarga lainnya,
sahabat, dan teman-teman khususnya teman-teman sekolah, teman-teman D3, dan
teman-teman ekstensi yang selalu senantiasa mendo’akan, memberi motivasi, dan
memberi dukungan untuk penulis sehingga selalu bersemangat untuk
menyelesaikan karya tulis ini dengan baik. Tak ketinggalan penulis ucapkan

terima kasih juga kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam
melaksanakan penelitian, yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Semoga karya tulis ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2014
Rino Rinaldy Winsrizal Arifin

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

3

Tujuan Penelitian

3

Manfaat Penelitian

3


Ruang Lingkup Penelitian

4

TINJAUAN PUSTAKA

4

Modal Kerja

4

Manajemen Modal Kerja

5

Rasio Profitabilitas

5


Penelitian Terdahulu

6

METODE

6

Kerangka Pemikiran Penelitian

6

Lokasi dan Waktu Penelitian

8

Jenis dan Sumber Data

8


Metode Pengumpulan Data

8

Metode Analisis Data

8

HASIL DAN PEMBAHASAN

13

Gambaran Umum Perusahaan Sektor Pertambangan di BEI

13

Analisis Rasio Keuangan

13


Uji Asumsi Klasik

18

Uji F

19

Uji T

20

Uji Koefisien Determinasi

20

Implikasi Manajerial

21


SIMPULAN DAN SARAN

22

DAFTAR PUSTAKA

23

LAMPIRAN

DAFTAR TABEL
1
2
3

Data kontribusi sektor pertambangan dan penggalian pada total produk
domestik bruto (PDB) Indonesia atas dasar harga berlaku (miliar rupiah
dan %) tahun 2009-2013
Laju pertumbuhan kontribusi masing-masing sektor usaha terhadap
total produk domestik bruto Indonesia (%) tahun 2009-2013
Jumlah perusahaan pertambangan di Bursa Efek Indonesia pada tahun
2012-2013 berdasarkan sub-sektor

1
2
8

DAFTAR GAMBAR
1
2

Kerangka pemikiran penelitian
Analogi cash conversion cycle

7
10

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Penelitian terdahulu
Gambaran umum perusahaan sektor pertambangan di Bursa Efek
Indonesia tahun 2012-2013
Daftar hasil perhitungan rasio keuangan pada perusahaan sektor
pertambangan di Bursa Efek Indonesia tahun 2012
Daftar hasil perhitungan rasio keuangan pada perusahaan sektor
pertambangan di Bursa Efek Indonesia tahun 2013
Analisis average collection period
Analisis average age of inventory
Analisis average payment period
Analisis cash conversion cycle
Analisis net profit margin
Uji asumsi klasik multikolinieritas
Uji asumsi klasik heteroskedastisitas
Uji asumsi klasik normalitas
Uji asumsi klasik autokorelasi
Uji F & Uji T
Uji koefisien determinasi

25
26
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Barang tambang merupakan kekayaan alam berupa sumber daya mineral
yang tidak dapat diperbaharui dan memiliki jumlah yang terbatas. Jika digunakan
terus-menerus, cepat atau lambat Bumi akan kehabisan sumber daya mineralnya.
Sementara itu barang tambang merupakan barang yang berhubungan dengan hajat
hidup orang banyak dan diperlukan untuk kelangsungan hidup manusia, seperti
bahan bakar untuk kendaraan bermotor, bahan dasar aspal, bahan bakar
pembangkit listrik, bahan bakar pembuatan semen, bahan dasar kabel, bahan dasar
industri baterai, bahan dasar industri korek api, dan lain sebagainya. Oleh karena
itu, aktivitas pertambangan yang dimulai dari prospeksi, eksplorasi, eksploitasi,
sampai dengan pengilangan atau pengolahan ini harus berjalan dengan efektif dan
efisien, sehingga seluruh sumber daya mineral yang ada digunakan dengan tepat.
Indonesia sendiri kaya akan sumber daya mineral yang melimpah, seperti
batubara, minyak bumi, gas alam, logam, dan mineral lainnya. Untuk batubara
saja, pemerintah memperkirakan bahwa produksi batubara di dalam negeri selama
tahun 2014 dapat mencapai 368.899.464 ton. Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM) Republik Indonesia, Jero Wacik, juga telah mengajukan
anggaran untuk produksi minyak di tahun 2015 sebanyak 830.000-870.000 barel
per hari (www.esdm.go.id 2014). Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa industri
pertambangan dalam negeri merupakan industri yang sangat besar, vital, dan turut
mempengaruhi perekonomian Indonesia.
Tabel 1 Data kontribusi sektor pertambangan dan penggalian pada total produk
domestik bruto (PDB) Indonesia atas dasar harga berlaku (miliar rupiah
dan %) tahun 2009-2013
Tahun
2009
2010
2011
2012
2013

Kontribusi Sektor Pertambangan dan
Penggalian (miliar rupiah)
592.060,9
719.710,1
876.983,8
970.823,8
1.020.773,2

Kontribusi Pada Total
PDB Seluruh Sektor (%)
10,56
11,16
11,82
11,80
11,24

Sumber: Badan Pusat Statistik (2014)

Dari Tabel 1 di atas, dapat dilihat bahwa kontribusi sektor pertambangan
dan penggalian pada produk domestik bruto (PDB) Indonesia atas dasar harga
berlaku dalam satuan miliar rupiah selalu mengalami peningkatan dari tahun 2009
sampai dengan tahun 2013. Hal ini menandakan bahwa peran sektor
pertambangan dan penggalian di dalam negeri semakin besar terhadap hajat hidup
orang banyak dan juga bagi negara. Dari tabel di atas juga dapat disimpulkan
bahwa kebutuhan akan hasil produksi pertambangan dan penggalian semakin
tinggi. Oleh karena itu, pemerintah dan seluruh perusahaan pertambangan di
Indonesia harus bersama-sama mengelola seluruh sumber daya mineral yang ada

2

dan saling berkordinasi dengan baik agar kekayaan alam di dalam negeri ini dapat
digunakan secara optimal dan tidak ada pihak yang dirugikan.
Akan tetapi, meningkatnya kontribusi suatu sektor pada total produk
domestik bruto belum tentu sejalan dengan laju pertumbuhan sektor tersebut.
Seperti yang dapat dilihat di Tabel 2 berikut:
Tabel 2 Laju pertumbuhan kontribusi masing-masing sektor usaha terhadap
total produk domestik bruto Indonesia (%) tahun 2009-2013
Sektor Usaha
2009 2010 2011 2012 2013
1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan, & Perikanan 3,96 3,01 3,37 4,20 3,54
2. Pertambangan & Penggalian
4,47 3,86 1,60 1,56 1,34
3. Industri Pengolahan
2,21 4,74 6,14 5,74 5,56
4. Listrik, Gas, & Air Bersih
14,29 5,33 4,71 6,25 5,58
5. Konstruksi
7,07 6,95 6,07 7,39 6,57
6. Perdagangan, Hotel, & Restoran
1,28 8,69 9,24 8,15 5,93
7. Pengangkutan & Komunikasi
15,85 13,41 10,70 9,98 10,19
8. Keuangan, Real Estate, & Jasa Perusahaan
5,21 5,67 6,84 7,15 7,56
9. Jasa-jasa
6,42 6,04 6,80 5,25 5,46
Sumber: Badan Pusat Statistik (2014)

Berdasarkan Tabel 2 di atas, nilai persentase laju pertumbuhan kontribusi
sektor pertambangan dan penggalian pada total PDB Indonesia selalu mengalami
penurunan dalam lima tahun terakhir, yaitu dari tahun 2009-2013. Bahkan, sektor
pertambangan dan penggalian merupakan sektor dengan laju pertumbuhan
kontribusi terkecil dari seluruh sektor yang ada selama tiga tahun terakhir, yaitu
dari tahun 2011-2013. Dari hal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa jika
secara nominal kontribusi sektor pertambangan dan penggalian pada total PDB
Indonesia mengalami peningkatan, belum tentu hal serupa juga terjadi pada laju
pertumbuhan kontribusi pada total PDB Indonesia di sektor yang sama, karena
ternyata nilai persentase laju pertumbuhan kontribusi sektor pertambangan dan
penggalian pada total PDB Indonesia selalu mengalami penurunan dari tahun
2009-2013.
Terkait dengan sektor pertambangan dan penggalian, suatu perusahaan
tentunya membutuhkan kas setiap harinya untuk membiayai produksinya seharihari. Kas yang merupakan bagian dari modal kerja tersebut dapat diperoleh dari
berbagai sumber pendanaan, salah satunya yaitu dari hutang lancar atau hutang
jangka pendek. Akan tetapi, hutang lancar merupakan suatu kewajiban yang
secara otomatis meningkatkan tingkat resiko pada suatu perusahaan. Jika tidak
dikelola dengan baik, maka hutang lancar justru dapat menjadi ancaman bagi
perusahaan tersebut, bahkan sampai dapat mengakibatkan kebangkrutan. Oleh
karena itu, suatu perusahaan memerlukan manajemen modal kerja yang baik.
Manajemen modal kerja yang baik juga diperlukan oleh suatu perusahaan
agar proses produksi dapat berjalan dengan baik dan perusahaan mampu
memperoleh tingkat profitabilitas yang diinginkan. Menurut Mardiyanto (2009),
hasil akhir dari seluruh kebijakan keuangan dan keputusan produksi pada suatu
perusahaan mencerminkan tingkat profitabilitasnya. Tingkat resiko yang dimiliki
oleh suatu perusahaan juga sebanding dengan tingkat profitabilitasnya. Semakin
tinggi tingkat resiko yang dihadapi oleh suatu perusahaan, maka semakin tinggi

3

pula tingkat profitabilitasnya. Atau dengan kata lain, semakin tinggi imbal hasil
yang diinginkan oleh suatu perusahaan, maka akan semakin tinggi pula tingkat
resiko yang harus dihadapi.
Begitu pula perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan
dan terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Perusahaan-perusahaan tersebut
tentunya memerlukan manajemen modal kerja yang baik agar dapat mencapai
tingkat profitabilitas yang diharapkan. Berdasarkan uraian di atas, maka judul
penelitian ini adalah “Pengaruh Komponen Manajemen Modal Kerja terhadap
Profitabilitas Perusahaan Sektor Pertambangan di Bursa Efek Indonesia”.
Perumusan Masalah
Perusahaan-perusahaan yang tergabung ke dalam sektor pertambangan
dalam kegiatan produksinya membutuhkan modal kerja yang tidak sedikit. Modal
kerja tersebut digunakan untuk kegiatan seperti pengeboran, penggalian, dan
pengangkutan yang selanjutnya diolah dan dijual. Agar proses produksi berjalan
dengan baik, maka modal kerja yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan
tersebut juga harus dikelola dengan baik.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana komponen manajemen modal kerja pada perusahaan sektor
pertambangan di Bursa Efek Indonesia?
2. Bagaimana profitabilitas pada perusahaan sektor pertambangan di Bursa
Efek Indonesia?
3. Bagaimana pengaruh komponen manajemen modal kerja terhadap
profitabilitas pada perusahaan sektor pertambangan di Bursa Efek
Indonesia?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dibuat, maka tujuan dari
dilakukannya penelitian ini adalah:
1. Menganalisis komponen manajemen modal kerja pada perusahaan sektor
pertambangan di Bursa Efek Indonesia.
2. Menganalisis profitabilitas pada perusahaan sektor pertambangan di Bursa
Efek Indonesia.
3. Menganalisis pengaruh komponen manajemen modal kerja terhadap
profitabilitas pada perusahaan sektor pertambangan di Bursa Efek
Indonesia.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini diantaranya yaitu:
1. Bagi perusahaan sektor pertambangan di Bursa Efek Indonesia
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana pendukung bagi
pihak manajemen perusahaan sektor pertambangan dalam pengambilan
keputusan dan pengelolaan terkait dengan pengelolaan modal kerja yang

4

dimiliki agar dapat mencapai profitabilitas yang baik sesuai dengan
rencana atau target yang telah ditetapkan oleh perusahaan, serta agar dapat
menjaga kelangsungan usaha ke depan.
2. Bagi pembaca
Para pembaca penelitian ini diharapkan dapat menjadikan penelitian ini
sebagai suatu bahan pembelajaran atau materi pendukung yang
berhubungan dengan penelitian manajemen di bidang keuangan,
khususnya terkait dengan komponen manajemen modal kerja dan
profitabilitas pada suatu perusahaan.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini membahas tentang pengaruh komponen manajemen modal
kerja terhadap profitabilitas dengan ruang lingkup perusahaan yaitu seluruh
perusahaan yang tergabung ke dalam sektor pertambangan dan terdaftar di Bursa
Efek Indonesia pada tahun 2012-2013. Penelitian dilakukan dengan menggunakan
laporan keuangan seluruh perusahaan sektor pertambangan tahun 2012-2013,
kemudian dilakukan perbandingan pada kedua tahun tersebut.

TINJAUAN PUSTAKA
Modal Kerja
Modal kerja dibagi menjadi dua macam, yaitu modal kerja kotor (gross
working capital) dan modal kerja bersih (net working capital). Modal kerja kotor
merupakan aset lancar yang dimiliki oleh suatu perusahaan sebagai modal untuk
membiayai operasional perusahaan, sedangkan modal kerja bersih adalah selisih
antara aset lancar dengan kewajiban lancar (Mardiyanto 2009).
Menurut Jumingan (2009), secara fungsional, modal kerja adalah jumlah
dana yang digunakan selama periode akuntansi yang dimaksudkan untuk
menghasilkan pendapatan jangka pendek (current income) yang sesuai dengan
maksud utama didirikannya perusahaan tersebut. Modal kerja yang dimaksud
berupa kas, persediaan barang dagang, piutang (setelah dikurangi profit margin),
dan penyusutan aset tetap.
Modal kerja bermanfaat untuk menjaga tingkat likuiditas suatu perusahaan.
Dengan modal kerja yang memadai, suatu perusahaan akan mampu membayar
seluruh kewajiban jangka pendeknya, memiliki cadangan yang cukup untuk
menghindari kekurangan persediaan, dan memberikan piutang kepada pelanggan
sehingga hubungan dengan pelanggan dapat terus dipertahankan.
Beberapa manfaat lain dari tersedianya modal kerja yang memadai diantaranya
yaitu:
1. Melindungi perusahaan dari akibat buruk berupa turunnya nilai aset lancar,
seperti adanya kerugian karena debitur tidak membayar dan turunnya nilai
persediaan karena harganya merosot.

5

2. Memungkinkan perusahaan untuk melunasi kewajiban-kewajiban jangka
pendek tepat pada waktunya.
3. Memungkinkan perusahaan untuk dapat membeli barang dengan tunai
sehingga dapat memperoleh keuntungan berupa potongan harga.
4. Memungkinkan untuk memiliki persediaan dalam jumlah yang cukup guna
melayani permintaan konsumen.
5. Memungkinkan perusahaan dapat beroperasi dengan lebih efisien karena
tidak ada kesulitan dalam memperoleh bahan baku, jasa, dan suplai yang
dibutuhkan.
Manajemen Modal Kerja
Menurut Brigham dan Daves (2001), manajemen modal kerja adalah
manajemen yang mencakup penetapan kebijakan modal kerja dan melakukan
aplikasi terhadap kebijakan tersebut dalam kegiatan operasional sehari-hari.
Manajemen modal kerja merupakan proses perencanaan dan pengawasan terhadap
penggunaan aset lancar dan kewajiban lancar sehingga selisih dari keduanya tidak
akan menyebabkan perusahaan mengalami kesulitan likuiditas.
Secara umum, manajemen modal kerja memiliki beberapa tujuan yang
diantaranya adalah:
1. Memiliki kecukupan likuiditas (adequate liquidity)
Apabila perusahaan tidak memiliki kas atau likuiditas yang mencukupi
untuk memenuhi kewajibannya sehari-hari, maka hal tersebut akan menjadi
masalah bagi perusahaan, sehingga perusahaan memerlukan manajemen modal
kerja yang baik untuk mencapai kecukupan likuiditas dalam menjalankan kegiatan
operasionalnya sehari-hari.
2. Meminimalisasi resiko (minimization of risk)
Manajemen modal kerja yang baik akan membuat perusahaan dapat
menyeimbangkan antara kewajiban jangka pendek dengan aset lancarnya,
sehingga kewajiban jangka pendek perusahaan tidak akan melebihi aset lancar
yang dimiliki dan dengan begitu maka perusahaan sekaligus mengurangi resiko
akan kegagalan dalam membayar kewajiban lancarnya.
3. Berkontribusi untuk memaksimalkan nilai perusahaan
Dengan melakukan manajemen modal kerja, maka perusahaan turut
berinvestasi dalam modal kerja dengan alasan untuk memaksimalkan nilai saham
dan nilai perusahaan.
Rasio Profitabilitas
Laporan keuangan mencerminkan keadaan yang telah terjadi di masa lalu.
Akan tetapi, laporan keuangan juga dapat memberikan petunjuk tentang hal-hal
yang sebenarnya memiliki arti penting atau apa kemungkinan yang akan terjadi di
masa yang akan datang. Rasio likuiditas, rasio manajemen aset, dan rasio
manajemen hutang mencerminkan apa dan bagaimana kebijakan serta operasi
suatu perusahaan, sedangkan rasio profitabilitas mencerminkan hasil akhir dari
seluruh kebijakan keuangan dan keputusan operasional.

6

Menurut Brigham dan Houston (2010), rasio profitabilitas adalah rasio
yang menunjukkan kombinasi dari pengaruh likuiditas, manajemen aset, dan
hutang pada hasil operasi. Rasio ini dapat digunakan untuk menilai sejauh mana
perusahaan mampu menghasilkan laba pada tingkat yang dapat diterima.
Penelitian Terdahulu
Penelitian serupa pernah dilakukan oleh beberapa peneliti dari berbagai
negara (Lampiran 1). Berbeda dengan penelitian-penelitian di Lampiran 1,
penelitian ini dilakukan pada perusahaan pertambangan, tepatnya pada seluruh
perusahaan yang tergabung ke dalam sektor pertambangan dan terdaftar di Bursa
Efek Indonesia tahun 2012-2013. Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh
hasil penelitian berupa kesimpulan bahwa komponen manajemen modal kerja
turut mempengaruhi profitabilitas pada perusahaan-perusahaan yang diteliti.

METODE
Kerangka Pemikiran Penelitian
Industri pertambangan yang berperan penting bagi perekonomian
Indonesia mengingat manfaat dari hasil produksinya yang berkaitan dengan hajat
hidup orang banyak dan jumlah PDB Indonesia yang sangat besar dari sektor
tersebut menuntut pemerintah agar dapat bijaksana dalam membuat keputusan,
termasuk membuat kebijakan untuk seluruh perusahaan pertambangan yang
berproduksi di Indonesia agar seluruh sumber daya mineral yang ada dapat
digunakan secara optimal. Perusahaan-perusahaan pertambangan di Indonesia
juga dihadapkan dengan situasi yang mengharuskan mereka untuk dapat
mengelola keuangan perusahaan dengan baik, termasuk mengelola modal kerja
perusahaan sehari-hari. Pengelolaan modal kerja yang baik akan membuat
perusahaan dapat mencapai profitabilitas yang diinginkan. Selain itu, pengelolaan
modal kerja dan profitabilitas juga menjadi salah dua pertimbangan bagi para
investor dalam keputusan investasi pada perusahaan-perusahaan pertambangan
terbuka. Kedua hal tersebut dapat dinilai dari laporan keuangan tahunan
perusahaan yaitu dilihat dari laporan posisi keuangan dan laporan laba/rugi.
Bagaimana perusahaan mengelola modal kerjanya dapat diketahui dari
rasio aktivitas dan bagaimana profitabilitas perusahaan dapat diketahui dari rasio
profitabilitas. Dalam penelitian ini, rasio aktivitas terdiri dari cash conversion
cycle (CCC), average collection period (ACP), average age of inventory (AAI),
dan average payment period (APP), sedangkan rasio profitabilitas dalam
penelitian ini diproksikan oleh net profit margin (NPM). Untuk mengetahui
bagaimana pengaruh dari komponen manajemen modal kerja terhadap
profitabilitas perusahaan, maka dilakukan analisis regresi linier berganda yang
terdiri dari uji asumsi klasik, uji T, dan uji F, dengan menjadikan CCC, ACP, AAI,
dan APP sebagai variabel-variabel independen dan NPM sebagai variabel

7

dependen. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi bagi
perusahaan sektor pertambangan di Bursa Efek Indonesia dan juga para investor.
Berikut merupakan kerangka pemikiran dari penelitian ini:
Sektor Pertambangan
Perusahaan pertambangan di BEI

Investor

Komponen manajemen modal kerja perusahaan pertambangan di BEI
Laporan keuangan perusahaan pertambangan di BEI
Laporan Posisi
Keuangan

Laporan
Laba/Rugi

Laporan Perubahan
Ekuitas

Komponen Manajemen Modal Kerja

CCC

ACP

AAI

Laporan
Arus Kas

Catatan atas
Lap Keu

Profitabilitas

APP

NPM

Analisis regresi linier berganda
Uji asumsi klasik, Uji F, dan Uji T
Pengaruh Komponen Manajamen Modal Kerja terhadap Profitabilitas
Rekomendasi
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka dibuat beberapa hipotesis
sebagai berikut:
H10: CCC, ACP, AAI, dan APP tidak mempengaruhi NPM
H11: CCC, ACP, AAI, dan APP mempengaruhi NPM
H20: CCC tidak mempengaruhi NPM
H21: CCC mempengaruhi NPM
H30: ACP tidak mempengaruhi NPM
H31: ACP mempengaruhi NPM
H40: AAI tidak mempengaruhi NPM
H41: AAI mempengaruhi NPM
H50: APP tidak mempengaruhi NPM
H51: APP mempengaruhi NPM

8

Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan dengan mengambil data sekunder yang terdapat di
Bursa Efek Indonesia yang bertempat di Gedung Bursa Efek Indonesia, Menara 1,
Jl. Jend. Sudirman Kav. 52-53, Jakarta Selatan. Waktu penelitian dilakukan
selama dua bulan yaitu selama bulan Juni-Juli 2014.
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang diambil pada saat penelitian adalah data sekunder. Data
sekunder diambil dari situs resmi Bursa Efek Indonesia dan sumber lainnya yang
terdiri dari:
1. Laporan keuangan perusahaan sektor pertambangan yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia pada tahun 2012-2013.
2. Data penunjang yang relevan untuk digunakan seperti data-data dari
internet, yaitu dari situs-situs resmi seperti situs Badan Pusat Statistik dan
situs Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara teknik kepustakaan, yaitu dengan
cara mencari informasi dari data-data seperti data laporan keuangan perusahaan
sektor pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2012-2013.
Cara lain yang juga dilakukan adalah dengan cara mencari informasi di internet.
Jumlah total perusahaan yang tergabung ke dalam sektor pertambangan di
Bursa Efek Indonesia pada tahun 2012-2013 ialah sebanyak 42 perusahaan, akan
tetapi terdapat satu perusahaan yang tidak memiliki kelengkapan laporan
keuangannya, sehingga perusahaan sektor pertambangan di Bursa Efek Indonesia
yang digunakan di dalam penelitian ini berjumlah 41 perusahaan dan tergabung ke
dalam empat sub-sektor, yang diantaranya terdiri dari:
Tabel 3 Jumlah perusahaan pertambangan di Bursa Efek Indonesia pada tahun
2012-2013 berdasarkan sub-sektor
Sub-Sektor
Sub-Sektor Batu-batuan
Sub-Sektor Batubara
Sub-Sektor Logam & Mineral lainnya
Sub-Sektor Minyak & Gas Bumi
Sumber: Hasil penelitian

Jumlah perusahaan
3 perusahaan
20 perusahaan
9 perusahaan
9 perusahaan

Metode Analisis Data
Metode yang digunakan untuk menganalisis data di dalam penelitian ini
ada dua, di antaranya yaitu:
1. Analisis Rasio Keuangan

9

Laporan keuangan disusun untuk membantu perusahaan dalam hal
manajemen dan pengambilan keputusan. Analisis rasio keuangan yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah analisis rasio aktivitas dan analisis
rasio profitabilitas.
a. Analisis Rasio Aktivitas
Dalam modal kerja, aset lancar meliputi kas, piutang usaha, dan
persediaan. Piutang usaha dan persediaan merupakan dua komponen
utama dalam modal kerja. Keduanya juga berkaitan dengan siklus
operasional suatu perusahaan atau operating cycle (OC), yaitu jangka
waktu yang dibutuhkan oleh suatu perusahaan mulai dari awal proses
produksi sampai dengan pengumpulan kas dari barang atau produk yang
dijual. Operating Cycle dapat dihitung dengan cara menjumlahkan
Average Collection Period (ACP) dengan Average Age of Inventory (AAI).
OC = ACP + AAI

......................... (1)

Selain itu, proses produksi dan penjualan tentunya juga disertai oleh
pembelian bahan baku yang menyebabkan munculnya hutang. Waktu yang
dibutuhkan oleh suatu perusahaan untuk membayar hutang-hutangnya
disebut dengan Average Payment Period (APP). Jika Operating Cycle (OC)
dikurangi dengan Average Payment Period (APP), maka hasilnya disebut
dengan Cash Conversion Cycle (CCC).
CCC = OC - APP
CCC = ACP + AAI - APP

....................... (2)

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa Cash Conversion Cycle (CCC)
memiliki tiga komponen utama, yaitu Average Collection Period (ACP),
Average Age of Inventory (AAI), dan Average Payment Period (APP).
1. Cash Conversion Cycle (CCC)
Siklus kas merupakan hal yang sangat penting dalam manajemen
modal kerja, karena manajemen pada masing-masing komponen
modal kerja akan tercermin pada siklus kas.
Siklus kas erat kaitannya dengan proses produksi, yaitu dimulai
dari pembelian bahan baku sampai dengan terjadinya penjualan.
Dalam hal pembelian, perusahaan dapat membayar dengan kas (tunai)
atau dengan hutang usaha. Jika pembayaran dilakukan dengan hutang
atau secara kredit, maka hal tersebut dapat mencegah keluarnya kas.
Sebaliknya, jika pembayaran dilakukan dengan kas, maka hal tersebut
akan mengakibatkan terjadinya kas keluar. Dalam hal penjualan,
perusahaan dapat menjual barang dengan tunai atau dengan
memberikan piutang usaha. Jika penjualan dilakukan secara tunai,
maka perusahaan dapat langsung menerima kas. Akan tetapi, jika
penjualan dilakukan dengan piutang usaha, maka perusahaan baru
menerima kas di saat piutang tersebut dilunasi nanti. Ketersediaan kas
akan semakin besar jika penerimaan kas dipercepat dan pengeluaran
kas diperlambat.

10

Analogi dari cash conversion cycle berdasarkan waktu dapat dilihat
di gambar berikut:
A

B
B

A

D
C
C

D

AAI
+
ACP
APP
=
CCC

Gambar 2 Analogi Cash Conversion Cycle
2. Average Collection Period (ACP)
Menghitung Average Collection Period (ACP) atau periode
penagihan rata-rata digunakan untuk mengukur seberapa cepat ratarata waktu bagi perusahaan dalam menagih piutang-piutangnya. Jika
ACP rendah, maka hal tersebut menandakan bahwa perusahaan tidak
perlu waktu yang lama dalam menagih piutang usahanya. Akan tetapi
jika ACP tinggi, berarti perusahaan membutuhkan waktu yang lama
untuk menagih piutang usahanya. Pada umumnya perusahaan
menggunakan 365 hari dalam setahun, sehingga cara perhitungannya
adalah sebagai berikut:

ACP 

Piutang Usaha
x 365 hari
Penjualan
......................... (3)

Dalam kegiatan produksi suatu perusahaan, perusahaan
memerlukan kas untuk membiayai seluruh beban produksi. Oleh
karena itu, sebaiknya perusahaan melakukan penagihan piutang
usahanya secepat mungkin.
3. Average Age of Inventory (AAI)
Rasio ini digunakan untuk mengetahui seberapa lama waktu yang
dibutuhkan oleh perusahaan untuk menjual persediaannya, atau
dengan kata lain rata-rata waktu yang dihabiskan oleh suatu
perusahaan mulai dari tahap produksi sampai dengan barang tersebut
terjual. Persamaannya adalah sebagai berikut:

AAI 

Persediaan
x 365 hari ......................... (4)
Harga Pokok Penjualan

Pada umumnya, tingkat AAI yang rendah menandakan bahwa
kinerja perusahaan terbilang baik. Begitu pula sebaliknya, jika tingkat

11

AAI tinggi, maka hal tersebut menandakan bahwa waktu yang
dibutuhkan perusahaan untuk merubah persediaan menjadi penjualan
terbilang lama, dan hal tersebut dapat membuat perusahaan harus
mengeluarkan biaya lebih seperti biaya perawatan persediaan.
4. Average Payment Period (APP)
APP atau periode pembayaran rata-rata merupakan rata-rata waktu
yang dibutuhkan oleh suatu perusahaan untuk membayar atau
melunasi hutang-hutang dan beban lainnya. Persamaannya yaitu:

APP 

Hutang Usaha
x 365 hari ......................... (5)
Harga Pokok Penjualan

Dalam kegiatan produksi suatu perusahaan, salah satu cara untuk
mempersingkat siklus kas adalah dengan memperpanjang jangka
waktu pembayaran perusahaan kepada supplier. Dengan begitu, maka
perusahaan dapat menggunakan kas yang bisa saja digunakan untuk
membayar supplier tersebut untuk pembiayaan yang lain.
b. Analisis Rasio Profitabilitas
Dalam penelitian ini, rasio profitabilitas yang digunakan adalah marjin
laba bersih (net profit margin). Rasio ini mengukur kemampuan
perusahaan dalam memperoleh laba bersih penjualan, yang
perhitungannya adalah sebagai berikut:

NPM 

Laba Bersih
x 100% .................................... (6)
Penjualan

Meningkatnya net profit margin mengindikasikan bahwa perusahaan
mampu menghasilkan laba bersih yang lebih tinggi dari aktivitas
penjualannya (Handono 2009).
2. Analisis Regresi Linier Berganda
Analisis regresi linier berganda merupakan suatu analisis yang mengukur
pengaruh dua variabel independen atau lebih terhadap satu variabel dependen
(Danang 2009).
Analisis ini dapat dilakukan dengan menggunakan software SPSS
(Statistical Package for Social Science). Bentuk persamaan dari analisis
regresi linier berganda dalam penelitian ini ialah:
Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4
Keterangan:
Y
=
a
=
b1
=
b2
=

NPM
konstanta
koefisien regresi untuk CCC
koefisien regresi untuk ACP

....................... (7)

12

b3
b4
X1
X2
X3
X4

=
=
=
=
=
=

koefisien regresi untuk AAI
koefisien regresi untuk APP
CCC
ACP
AAI
APP

Dalam analisis regresi linier berganda dilakukan beberapa pengujian
yang diantaranya yaitu:
a. Uji Asumsi Klasik
1. Uji Asumsi Klasik Multikolinieritas
Uji asumsi klasik jenis ini diterapkan untuk mengukur tingkat
asosiasi (keeratan) hubungan atau pengaruh antarvariabel independen
tersebut melalui besaran tolerance dan variance inflation factor (VIF).
Dikatakan terjadi multikolinieritas jika nilai tolerance > 1 dan nilai
VIF hitung > 10. Persamaan regresi yang baik adalah jika tidak terjadi
multikolinieritas.
2. Uji Asumsi Klasik Heteroskedastisitas
Dalam persamaan regresi berganda perlu juga diuji mengenai sama
atau tidaknya varians dari residual pada observasi yang satu dengan
observasi yang lain. Jika residualnya memiliki varians yang tidak
sama
atau
berbeda,
disebut
terjadi
heteroskedastisitas.
Heteroskedastisitas terjadi jika pada scatterplot titik-titiknya
mempunyai pola yang teratur, baik menyempit, melebar, maupun
bergelombang-gelombang. Persamaan regresi yang baik adalah jika
tidak terjadi heteroskedastisitas.
3. Uji Asumsi Klasik Normalitas
Selain uji asumsi klasik multikolinieritas dan heteroskedastisitas,
uji asumsi klasik yang lain adalah uji normalitas. Uji asumsi ini akan
menguji data variabel independen dan data variabel dependen pada
persamaan regresi yang dihasilkan, apakah berdistribusi normal atau
tidak. Persamaan regresi dikatakan baik jika mempunya data variabel
independen dan data variabel dependen berdistribusi mendekati
normal atau normal sama sekali.
4. Uji Asumsi Klasik Autokorelasi
Persamaan regresi yang baik adalah yang tidak memiliki masalah
autokorelasi. Jika terjadi autokorelasi maka persamaan tersebut
menjadi tidak baik atau tidak layak dipakai prediksi. Salah satu ukuran
dalam menentukan ada atau tidaknya masalah autokorelasi dengan uji
Durbin-Watson (DW).
b. Uji F
Pengujian ini melibatkan seluruh variabel independen terhadap
variabel dependen dalam menguji ada atau tidaknya pengaruh yang
signifikan secara simultan atau bersama-sama. Pengujian ini

13

menggunakan distribusi F, yaitu dengan cara membandingkan antara F
hitung dengan F tabel.
c. Uji T
Pengujian ini dilakukan untuk menentukan signifikan atau tidaknya
masing-masing nilai koefisien regresi pada masing-masing variabel
independen secara parsial atau sendiri-sendiri terhadap variabel dependen.
d. Uji Koefisien Determinasi (R²)
Uji koefisien determinasi merupakan suatu ukuran yang penting
dalam analisis regresi. Nilai koefisien determinasi menunjukkan seberapa
besar variasi dari variabel dependen dapat diterangkan oleh variabel
independen pada suatu model regresi. Jika nilai koefisien determinasi
sebesar 0 (R² = 0), artinya variasi dari variabel dependen tersebut tidak
dapat diterangkan oleh variabel independennya sama sekali. Sementara
jika nilai R² = 1, berarti variasi dari variabel dependen tersebut dapat
diterangkan secara keseluruhan oleh variabel independennya. Dengan
kata lain, maka semua titik pengamatan berada tepat pada garis regresi.
Sebagai contoh lain, misalkan nilai koefisien determinasi dari suatu
model regresi sebesar 0,75. Artinya, variasi dari variabel dependen dalam
suatu model regresi sebesar 75% dapat diterangkan oleh variabel
independennya, sementara 25% yang lain dipengaruhi oleh variabel lain
di luar dari model regresi tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Perusahaan Sektor Pertambangan Di BEI
Seluruh perusahaan yang digunakan di dalam penelitian ini merupakan
perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan dan terdaftar di Bursa Efek
Indonesia pada tahun 2012-2013. Total perusahaan yang diteliti ialah sebanyak 41
perusahaan (Lampiran 2).
Analisis Rasio Keuangan
Setelah melakukan perhitungan ACP, AAI, APP, CCC, dan NPM tahun
2012 dan 2013 (Lampiran 3 dan Lampiran 4), maka dibuat analisis sebagai berikut:
1. Analisis Average Collection Period (ACP)
Dari Lampiran 5 dapat dilihat bahwa di tahun 2012 periode perolehan
piutang rata-rata (ACP) tercepat dari seluruh sub-sektor yaitu hanya 3 hari oleh
PT Garda Tujuh Buana Tbk dari sub-sektor batubara, sedangkan ACP terlama
dari seluruh sub-sektor yaitu selama 423 hari oleh PT Sugih Energy Tbk dari
sub-sektor minyak & gas bumi. Dengan ACP rata-rata dari seluruh sub-sektor
di tahun 2012 selama 69 hari, maka dapat dikatakan bahwa ACP PT Garda
Tujuh Buana Tbk sangat baik karena jauh di bawah ACP rata-rata dan ACP PT
Sugih Energy Tbk sangat buruk karena jauh di atas ACP rata-rata. ACP PT

14

Garda Tujuh Buana Tbk yang sangat baik ini berkaitan dengan nilai piutang
usaha PT Garda Tujuh Buana Tbk yang sangat kecil yaitu US$ 822.174
dibanding dengan nilai penjualan di tahun 2012 yang mencapai US$
85.757.836. Seluruh penjualan PT Garda Tujuh Buana Tbk selama tahun 2012
merupakan kegiatan ekspor ke luar negeri. Sedangkan PT Sugih Energy Tbk
memiliki piutang usaha yang bahkan lebih besar dari penjualannya di tahun
2012. Sekitar 15% dari total piutang usahanya di tahun 2012 sudah jatuh tempo,
namun manajemen PT Sugih Energy Tbk tetap berpendapat bahwa seluruh
piutang usaha dapat ditagih sehingga manajemen perusahaan tidak membentuk
cadangan kerugian penurunan nilai atas piutang usaha perusahaan. Di sisi lain,
ACP dari PT Cakra Mineral Tbk dan PT Golden Eagle Energy Tbk tidak dapat
diperhitungkan karena kedua perusahaan tersebut tidak memiliki piutang usaha
per 31 Desember 2012 (Lampiran 3).
Cukup berbeda dengan tahun 2012, ACP tercepat dari seluruh sub-sektor
di tahun 2013 yaitu selama 15 hari oleh perusahaan yang sama-sama berasal
dari sub-sektor batubara seperti di tahun 2012, yaitu PT Toba Bara Sejahtra
Tbk, sedangkan ACP terlama dari seluruh sub-sektor yaitu mencapai 1.550 hari
oleh perusahaan yang sama seperti di tahun 2012, yaitu PT Sugih Energy Tbk
dari sub-sektor minyak & gas bumi. Dengan ACP rata-rata dari seluruh subsektor di tahun 2013 selama 101 hari, maka dapat dikatakan bahwa ACP PT
Toba Bara Sejahtra Tbk sangat baik karena jauh di bawah ACP rata-rata dan
ACP PT Sugih Energy Tbk sangat buruk karena sangat jauh di atas ACP ratarata. ACP PT Sugih Energy Tbk yang sangat lama ini masih dipicu oleh hal
yang kurang lebih sama seperti yang PT Sugih Energy Tbk alami di tahun 2012.
Tidak hanya karena jumlah piutang usaha PT Sugih Energy Tbk yang empat
kali lebih besar dari penjualannya di tahun 2013, tetapi juga karena seluruh
piutang usaha PT Sugih Energy Tbk di akhir tahun 2013 memang belum ada
yang jatuh tempo, dan manajemen perusahaan juga berkeyakinan bahwa
seluruh piutang usahanya dapat ditagih, sehingga manajemen perusahaan tidak
membentuk cadangan kerugian penurunan nilai atas piutang usahanya di tahun
2013. Penjualan yang menurun hampir tujuh kali lipat dibanding penjualan di
tahun 2012 juga menjadi salah satu penyebab lamanya ACP PT Sugih Energy
Tbk di tahun 2013. Di sisi lain, ACP dari PT J Resources Asia Pasifik Tbk, PT
Golden Eagle Energy Tbk, dan PT SMR Utama Tbk tidak dapat
diperhitungkan karena ketiga perusahaan tersebut tidak memiliki piutang usaha
per 31 Desember 2013 (Lampiran 4).
2.

Analisis Average Age of Inventory (AAI)
Dari Lampiran 6 dapat dilihat bahwa umur persediaan rata-rata (AAI)
tercepat di tahun 2012 dari seluruh sub-sektor yaitu hanya dalam waktu 2 hari
oleh PT Radiant Utama Interinsco Tbk dari sub-sektor minyak & gas bumi,
sedangkan AAI terlama di tahun 2012 dari seluruh sub-sektor yaitu selama 443
hari atau lebih dari satu tahun oleh PT Citatah Tbk dari sub-sektor batu-batuan.
AAI rata-rata dari seluruh sub-sektor di tahun 2012 yang selama 65 hari
menandakan bahwa AAI PT Radiant Utama Interinsco Tbk sangat baik karena
di bawah AAI rata-rata dan AAI PT Citatah Tbk sangat buruk karena jauh di
atas AAI rata-rata. AAI yang tinggi pada PT Citatah Tbk menandakan bahwa
PT Citatah Tbk kurang mampu mengelola tingkat persediaannya dengan baik

15

dan dapat berakibat buruk pada perusahaan seperti pengeluaran kas yang
berlebih untuk biaya penyimpanan persediaan di gudang. Pihak manajemen
perusahaan sendiri berkeyakinan bahwa cadangan persediaan bergerak lambat
per tanggal 31 Desember 2012 dan 2011, cukup untuk menutup kemungkinan
kerugian persediaan. Hal ini juga kembali kepada karakteristik perusahaan
pertambangan yang berproduksi dalam skala besar demi kepentingan jangka
panjang dan membutuhkan waktu yang tidak sedikit, sehingga selama
menyelesaikan proses produksinya, mau tidak mau perusahaan harus
menyimpan persediaan yang sudah jadi hingga proses produksi seluruhnya
tuntas dan kemudian dijual, meski menumpuk dan menambah biaya
penyimpanan dan biaya lainnya. Di sisi lain, dari seluruh sub-sektor, AAI dari
PT ATPK Resources Tbk tidak dapat diperhitungkan karena perusahaan
tersebut tidak memiliki persediaan per 31 Desember 2012 (Lampiran 3).
Kurang lebih sama dengan tahun sebelumnya. AAI tercepat dari seluruh
sub-sektor di tahun 2013 yaitu selama 4 hari oleh perusahaan yang sama seperti
di tahun 2012, PT Radiant Utama Interinsco Tbk dari sub-sektor minyak & gas
bumi, sedangkan AAI terlama yaitu selama 374 hari oleh perusahaan yang juga
sama seperti di tahun 2012, PT Citatah Tbk dari sub-sektor batu-batuan.
Dengan AAI rata-rata dari seluruh sub-sektor di tahun 2013 selama 71 hari,
maka AAI PT Radiant Utama Interinsco Tbk sangat baik karena jauh di bawah
AAI rata-rata dan AAI PT Citatah Tbk sangat buruk karena sangat jauh di atas
AAI rata-rata. PT Radiant Utama Interinsco Tbk menjadi perusahaan dengan
AAI tercepat dari seluruh sub-sektor karena pencapaian total beban pokok
penjualan perusahaan selama tahun 2013 yang sangat besar, yaitu lebih dari Rp
1,5 trilyun, sementara persediaan perusahaan di akhir tahun hanya sedikit yang
tersedia jika dibandingkan dengan beban pokok penjualannya di sepanjang
tahun, yaitu tidak lebih dari Rp 15 milyar, sedangkan PT Citatah Tbk menjadi
perusahaan dengan AAI terlama dari seluruh sub-sektor karena di akhir tahun
2013 PT Citatah Tbk masih memiliki persediaan yang bahkan nilainya lebih
besar dari nilai beban pokok penjualannya di sepanjang tahun. Hal ini
mengindikasikan dua hal, yaitu karena produksi yang berlebih, atau kurang
baiknya kinerja penjualan perusahaan. Meskipun PT Citatah Tbk memperoleh
laba di akhir tahun 2013, namun perusahaan memiliki akumulasi defisit yang
sangat besar per 31 Desember 2013 yang berasal dari rugi bersih tahun-tahun
sebelumnya. Namun perusahaan tetap mengimplementasikan beberapa langkah
untuk memperoleh profitabilitas yang diinginkan, salah satunya yaitu dengan
meningkatkan usaha untuk menurunkan tingkat perputaran persediaan. AAI
yang tinggi ini dapat berakibat buruk pada perusahaan seperti pengeluaran kas
yang berlebih untuk biaya pemeliharaan persediaan lebih lama lagi.
3.

Analisis Average Payment Period (APP)
Dari Lampiran 7 dapat dilihat bahwa periode pembayaran hutang ratarata (APP) tercepat dari seluruh sub-sektor di tahun 2012 yaitu hanya dalam
waktu 1 hari oleh PT Central Omega Resources Tbk dari sub-sektor logam &
mineral lain, sedangkan APP terlama yaitu selama 818 hari atau lebih dari dua
tahun lamanya oleh PT Sugih Energy Tbk dari sub-sektor minyak & gas bumi.
Dengan APP rata-rata dari seluruh sub-sektor di tahun 2012 selama 90 hari,
maka dapat dikatakan bahwa APP PT Central Omega Resources Tbk sangat

16

baik karena jauh di bawah APP rata-rata dan APP PT Sugih Energy Tbk sangat
buruk karena sangat jauh di atas APP rata-rata. APP tercepat oleh PT Central
Omega Resources Tbk berkaitan dengan nilai hutang usaha perusahaan senilai
Rp 807.670.374 yang sangat kecil jika dibandingkan dengan pencapaian total
beban pokok penjualan perusahaan selama tahun 2012 yang mencapai Rp
481.733.214.139, sedangkan APP terlama oleh PT Sugih Energy Tbk dari subsektor minyak & gas bumi dikarenakan jumlah hutang usaha PT Sugih Energy
Tbk yang besarnya lebih dari dua kali beban pokok penjualannya per 31
Desember 2012, ditambah dengan kecilnya jumlah kas yang tersedia per 31
Desember 2012. Akan tetapi, tingginya APP pada PT Sugih Energy Tbk
mengindikasikan kemungkinan adanya pengelolaan kas yang tersedia dengan
baik, seperti penggunaan kas yang sebenarnya dapat digunakan untuk melunasi
hutang-hutang usaha, namun digunakan untuk keperluan lain seperti untuk
biaya produksi. Di sisi lain, dari seluruh sub-sektor, APP dari PT Cakra
Mineral Tbk dan PT Golden Eagle Energy Tbk tidak dapat diperhitungkan
karena kedua perusahaan tidak memiliki hutang usaha per 31 Desember 2012
(Lampiran 3).
Kurang lebih sama dengan tahun 2012, APP tercepat dari seluruh subsektor di tahun 2013 yaitu selama 9 hari masih dari sub-sektor logam &
mineral lain, yaitu PT SMR Utama Tbk, sedangkan APP terlama mencapai 993
hari oleh perusahaan yang sama seperti di tahun 2012, yaitu PT Sugih Energy
dari sub-sektor minyak & gas bumi. Dengan APP rata-rata dari seluruh subsektor di tahun 2013 selama 79 hari, maka dapat dikatakan bahwa APP PT
SMR Utama Tbk sangat baik karena jauh di bawah APP rata-rata dan APP PT
Sugih Energy Tbk sangat buruk karena sangat jauh di atas APP rata-rata. APP
PT Sugih Energy Tbk yang sangat lama ini disebabkan oleh hutang perusahaan
yang mencapai lebih dari US$ 4,8 juta per akhir tahun 2013 dan tidak
diimbangi dengan beban pokok penjualan atau biaya produksi atas penjualan
selama setahun yang kurang dari US$ 1,8 juta. Jumlah kas per 31 Desember
2013 yang kecil yaitu hanya US$ 103.737 juga disinyalir menjadi salah satu
hambatan bagi perusahaan dalam melunasi hutang-hutangnya. Akan tetapi,
tingginya APP pada PT Sugih Energy Tbk ini dapat juga mengindikasikan
adanya pengelolaan kas tersedia yang memang berjalan dengan baik, seperti
menggunakan kas yang sebenarnya dapat digunakan untuk melunasi hutanghutang usaha, namun digunakan oleh perusahaan untuk keperluan lain seperti
untuk biaya produksi. Di sisi lain, dari seluruh sub-sektor yang ada, APP dari
PT Cakra Mineral Tbk, PT Central Omega Resources Tbk, dan PT Golden
Eagle Energy Tbk tidak dapat diperhitungkan karena ketiga perusahaan
tersebut tidak memiliki hutang usaha per 31 Desember 2013 (Lampiran 4).
4.

Analisis Cash Conversion Cycle (CCC)
Dari Lampiran 8 dapat dilihat bahwa siklus konversi kas tercepat atau
lamanya suatu perusahaan dalam mengkonversi kasnya yang paling cepat dari
seluruh sub-sektor di tahun 2012 berasal dari sub-sektor batubara, yaitu PT
Garda Tujuh Buana Tbk dengan CCC selama (650) hari, sedangkan CCC
terlama yaitu CCC PT Citatah Tbk dari sub-sektor batu-batuan selama 427 hari.
Dengan CCC rata-rata dari seluruh sub-sektor di tahun 2012 selama 43 hari,
maka dapat dikatakan bahwa CCC PT Garda Tujuh Buana Tbk sangat baik

17

karena sangat jauh di bawah CCC rata-rata dan CCC PT Citatah Tbk sangat
buruk karena sangat jauh di atas CCC rata-rata. CCC yang semakin rendah
bahkan sampai bernilai negatif, menandakan bahwa siklus konversi kas pada
perusahaan tersebut semakin cepat. Siklus konversi kas yang semakin cepat
menandakan bahwa kas perusahaan semakin likuid. Dengan siklus konversi kas
yang semakin likuid, maka perusahaan semakin dapat terhindar dari
permasalahan kas. Dengan kata lain, semakin cepat siklus konversi kas maka
semakin baik. Selain PT Garda Tujuh Buana Tbk, ada beberapa perusahaan
yang juga memiliki CCC negatif di tahun 2012, seperti PT Sugih Energy Tbk
selama (246) hari, PT Benakat Integra Tbk selama (75) hari, PT Toba Bara
Sejahtra Tbk selama (16) hari, PT Surya Esa Perkasa Tbk selama (8) hari, dan
PT Cita Mineral Investindo Tbk selama (5) hari. CCC yang negatif
menandakan bahwa CCC sangat cepat atau sangat likuid. CCC yang sangat
cepat pada PT Garda Tujuh Buana Tbk di tahun 2012 berkaitan dengan ACP
perusahaan yang hanya selama 3 hari, AAI perusahaan yang selama 65 hari,
namun APP perusahaan dapat sangat lama yaitu sampai 719 hari. Hal ini
menandakan bahwa perusahaan dapat menagih piutang usahanya dengan
sangat baik, sekaligus melakukan kebijakan pengeluaran kas untuk melunasi
hutang usaha selama mungkin, sehingga kedua hal ini tentunya sangat
menguntungkan bagi perusahaan karena dengan begitu maka siklus konversi
kas perusahaan menjadi sangat cepat. Lain halnya dengan CCC PT Citatah Tbk
yang sangat lama. Hal ini disebabkan oleh perpaduan rendahnya kemampuan
perusahaan dalam memperoleh piutang usaha, menjual persediaannya, dan
melunasi hutang-hutang usahanya, terutama disebabkan oleh AAI perusahaan
yang sangat lama yakni mencapai 443 hari, sedangkan ACP perusahaan juga
lama, yaitu selama 77 hari, ditambah APP perusahaan selama 93 hari. Hal ini
tentu dapat berakibat buruk pada perusahaan karena perusahaan dapat
mengalami permasalahan kas yang tidak likuid sehingga perusahaan dapat
mengalami kekurangan dalam memenuhi kebutuhan kasnya sehari-hari.
Di tahun 2013, CCC tercepat juga datang dari sub-sektor batubara, yaitu
selama (29) hari oleh PT Atlas Resources Tbk, sedangkan CCC terlama selama
568 hari oleh PT Sugih Energy Tbk dari sub-sektor minyak & gas bumi.
Dengan CCC rata-rata dari seluruh sub-sektor di tahun 2013 selama 92 hari,
maka dapat dikatakan bahwa CCC PT Atlas Resources Tbk sangat baik karena
jauh di bawah CCC rata-rata dan CCC PT Sugih Energy Tbk sangat buruk
karena sangat jauh di atas CCC rata-rata. CCC PT Atlas Resources Tbk yang
sangat cepat ini dikarenakan komposisi ACP yang selama 34 hari dan AAI
selama 32 hari, namun PT Atlas Resources Tbk dapat melonggarkan waktu
pembayaran rata-ratanya dalam melunasi hutang-hutang usahanya selama
mungkin, yaitu selama 95 hari. CCC yang semakin rendah bahkan sampai
bernilai negatif, menandakan bahwa siklus konversi kas pada perusahaan
tersebut semakin baik. Lain halnya dengan PT Sugih Energy Tbk yang
memiliki ACP dan APP sangat lama, yang berarti terjadi gabungan antara
rendahnya kemampuan perusahaan dalam menagih piutang usahanya dan
melunasi hutang usahanya. Hal ini tentu dapat berakibat buruk pada
perusahaan karena perusahaan dapat mengalami permasalahan atau kekurangan
dalam memenuhi kebutuhan kasnya sehari-hari.

18

5.

Analisis Net Profit Margin (NPM)
Marjin laba bersih yang tinggi mengindikasikan tingkat profitabili