Status Resistensi Aedes Aegypti Terhadap Insektisida Dan Hubungan Iklim Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue Di Kota Sukabumi

STATUS RESISTENSI Aedes aegypti TERHADAP INSEKTISIDA
DAN HUBUNGAN IKLIM DENGAN KEJADIAN DEMAM
BERDARAH DENGUE DI KOTA SUKABUMI

LISA HIDAYATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Status Resistensi Aedes
aegypti Terhadap Insektisida dan Hubungan Iklim dengan Kejadian Demam
Berdarah Dengue di Kota Sukabumi adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2016
Lisa Hidayati
B252140131

RINGKASAN
LISA HIDAYATI. Status Resistensi Aedes aegypti Terhadap Insektisida dan
Hubungan Iklim dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Sukabumi.
Dibimbing oleh UPIK KESUMAWATI HADI dan SUSI SOVIANA.
Kejadian demam berdarah dengue (DBD) di Kota Sukabumi sampai sekarang
masih tinggi dengan angka kasus pada tahun 2011 terdapat 531 kasus (IR = 149.12),
2012 tercatat penderita DBD sebanyak 922 kasus (IR = 252.88), 597 kasus (IR =
174.52) pada tahun 2013, dan sekitar 801 kasus (IR = 254.28) di tahun 2014.
Pengendalian Aedes aegypti sebagai vektornya lebih difokuskan pada pengasapan
(fogging) menggunakan beberapa insektisida. Penggunaan insektisida kimia lebih
praktis tetapi penggunaan satu jenis insektisida dalam jangka waktu yang lama dan
frekuensi yang tinggi dapat menimbulkan masalah baru yaitu munculnya populasi
nyamuk yang resisten terhadap insektisida yang digunakan. Tujuan penelitian ini
untuk mengukur dan memetakan status resistensi nyamuk Ae. aegypti, dan
menganalisis hubungan faktor iklim (curah hujan, kelembapan udara, dan suhu udara)

terhadap kejadian DBD di Kota Sukabumi. Penelitian dilakukan dengan metoda uji
kerentanan standar WHO (1975) dengan impragnated paper berbahan aktif malathion
0.8%, bediokarb 0.1% dan deltamethrin 0.025%. Ae. aegypti diperoleh dengan cara
mengumpulkan telur menggunakan ovitrap pada 14 Kelurahan endemis DBD di Kota
Sukabumi. Telur-telur tersebut ditetaskan dan dipelihara hingga generasi kedua (F2)
lalu diujikan terhadap insektisida.
Hasil penelitian menunjukan hampir semua isolat Ae. aegypti yang berasal dari
14 Kelurahan telah resisten terhadap malathion, bendiocarb dan deltamethrin.
Berdasarkan pengukuran status resistensi dapat dinyatakan bahwa semua isolat Ae.
aegpti di Kota Sukabumi telah resisten terhadap malathion baik berdasarkan
persentase kematian maupun Lethal time (RR95 > 10). Enam dari 14 isolat Ae. aegypti
di Kota Sukabumi resisten terhadap bendiocarb dan selebihnya (8 isolat Ae. aegypti)
toleran terhadap bendiocarb. Waktu terlama yang dibutuhkan untuk mematikan 95%
populasi Ae. aegypti oleh bendiocarb adalah 70.03 jam pada isolat Gunung Puyuh
dan waktu tersingkat adalah 8.67 jam pada isolat Nanggeleng. Pengujian kerentanan
pada isolat Ae. aegypti terhadap deltamethrin diperoleh hasil bahwa isolat yang telah
resisten sebanyak 12 isolat. Dua isolat dari Kelurahan Babakan dan Cikundul masih
toleran terhadap deltamethrin. Waktu terlama yang dibutuhkan untuk mematikan 95
% Ae. aegypti adalah 153.43 jam pada isolat Lembur Situ, sedangkan waktu
tersingkat adalah 10,63 jam pada isolat Cikundul.

Hasil uji korelasi pearson menunjukkan bahwa suhu (r = 0.253 dan p = 0,032)
memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian DBD dengan nilai positif dan
berkekuatan sangat lemah. Kenaikan suhu sejalan dengan peningkatan kejadian DBD
di Kota Sukabumi (6.4%). Hubungan curah hujan dan kelembapan udara di Kota
Sukabumi menunjukan p value > 0.05 yang artinya kedua faktor tersebut tidak
berpengaruh terhadap kejadian DBD. Status resistensi Ae. aegypti terhadap
insektisida dan pengaruh iklim penting diperhatikan dalam merencanakan program
pengendalian secara efektif dan efisien di masa depan.
Kata kunci: Aedes aegpti, demam berdarah dengue, faktor iklim, Kota Sukabumi,
status resistensi

SUMMARY
LISA HIDAYATI. Resistance Status of Aedes aegypti Against Insecticides and
Correlation of Climate with Dengue Hemorrhagic Fever Incidence in the
Sukabumi City. Supervised by UPIK KESUMAWATI HADI and SUSI
SOVIANA .
The incidence of dengue hemorrhagic fever (DHF) in the Sukabumi City is
still high with the number of cases in 2011 there were 531 cases (IR = 149.12),
2012 was recorded dengue fever patients about 922 cases (IR = 252.88), 597
cases (IR = 174.52) in 2013, and approximately 801 cases (IR = 254.28) in 2014.

Ae. aegypti control currently depends on the application of fogging focus using
some chemical insecticides. Although the using of chemical insecticide inside and
around homes continues to be the the principal control tool, but insecticide
resistance is widespread and has been responsible for failures in control. The
objective of this study are to measure susceptibility status of Aedes aegypti against
insecticide and create a map on susceptibility status of Ae. aegypti in Sukabumi
City and also to analysis the correlation of climatic factors with DHF incidence in
Sukabumi City. The research was carried out by using the method of
susceptibility test (WHO 1975) which contained malathion 0.8%, bendiocarb
0.1% and deltamethrin 0.025% impragnated paper. Ae. aegypti was collected by
ovitrap from 14 endemic regions in Sukabumi City. The eggs were hached and
reared in laboratory until F2 generations, then treated by those insecticides.
The result showed that almost of Sukabumi City isolates were resistant to
malathion, bendiocarb and deltamethrin. According the measurement of
susceptibility status can be found that all of isolates in Sukabumi were resistant to
malathion which were calculated by the percentage of mortality and lethal time
(RR95 > 10). Six of the 14 isolates were resistant to bendiocarb and 8 isolates
mosquito were tolerant to bendiocarb. The longest time killed 95 % of mosquitoes
in bendiocarb was 70.03 hours on Gunung Puyuh isolates and the shortest time
was 8.67 hours at Nanggeleng isolates. Susceptibility status of Ae. aegypti to

deltamethrin showed that the 12 isolates were resistant. Two isolates from
Babakan village and Cikundul were still tolerant to deltamethrin. The longest time
killed 95% of mosquitoes was 153.43 hours at the Lembur Situ isolates, while the
shortest time was 10.63 hours to killed 95% of the Cikundul isolates.
Results of pearson correlation test showed that air temperature (r = 0253
and p = 0.032) has been a significant relationship with positive direction and very
weak of strength. The increasing of air temperature was accompanied by rising of
DHF cases (6.4%). The correlation between rainfall and air humidity showed p
value > 0.05 which means that there was no significant relationship between
rainfall and air humidity with DHF cases. The susceptibility status of Ae. aegypti
and affecting of climatic factor are necessary to considered for planning Ae.
aegypti control programs effectively and eficiently in the future.
Keywords: Aedes aegypti, climatic factors, dengue hemorrhagic fever, insecticide
resistance, Sukabumi City

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

STATUS RESISTENSI Aedes aegypti TERHADAP INSEKTISIDA
DAN HUBUNGAN IKLIM DENGAN KEJADIAN DEMAM
BERDARAH DENGUE DI KOTA SUKABUMI

LISA HIDAYATI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:

drh Fadjar Satrija, MSc, PhD

Judul Tesis : Status Resistensi Aedes aegypti Terhadap Insektisida dan
Hubungan Iklim dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue
di Kota Sukabumi
Nama
: Lisa Hidayati
NIM
: B252140131

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof drh Upik Kesumawati Hadi, MS, PhD
Ketua


Dr drh Susi Soviana, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof drh Upik Kesumawati Hadi, MS, PhD

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:
28 Juni 2016

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2015 ini ialah
Demam Berdarah Dengue dengan Judul Status resistensi Aedes aegypti terhadap
Insektisida dan Hubungan Iklim dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di
Kota Sukabumi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof drh Upik Kesumawati Hadi,
MS, PhD dan Ibu Dr drh Susi Soviana, MSi selaku pembimbing yang telah
banyak memberikan bimbingan, arahan dan saran kepada penulis serta Bapak drh
Fajar Satrija, MSc PhD yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi dalam
ujian tesis. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Badan
Meteorologi Klimatologi Geofisika Darmaga Bogor, Kepala Kesatuan Bangsa dan
Politik (Kesbangpol) Kota Sukabumi, Kepala Badan Pengelolaan Sumber Daya
Air (BPSDA) Kota Sukabumi dan Kepala Dinas Kesehatan Kota Sukabumi, serta
Kepala Puskesmas di Kota Sukabumi yang telah memberi izin penelitian dan
membantu selama pengumpulan data penelitian. Ucapan terima kasih disampaikan
penulis kepada dosen Parasitologi dan Entomologi Kesehatan (PEK) atas
bimbingan dan ilmu pengetahuan yang diberikan selama menempuh pendidikan
pascasarjana di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima
kasih kepada ibu Juju, Bapak Heri, Bapak Taofik, Bapak Nanang, Bapak Edi, Ibu

Wiwik dan juga teman-teman Pascasarjana PS PEK atas bantuan, motivasi, dan
keceriaannya selama ini.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada mama tercinta, abangabang (Yulfauzer, Yomendra, Dodi Siwanto, Hendri Donal, khususnya
Defprimal) dan satu-satunya kakak (Desi Andriani) serta seluruh keluarga, atas
segala doa dan kasih sayangnya. Penulis juga berkesempatan mengucapkan terima
kasih kepada anggota Karona cantik dan GaGaCa Minang atas dukungan moril
selama menempuh studi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis
berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2016
Lisa Hidayati

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR


vi

DAFTAR LAMPIRAN

v

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Demam Berdarah Dengue (DBD)
Aedes aegypti sebagai Vektor Demam Berdarah Dengue
Mekanisme Penularan Demam Berdarah Dengue
Resistensi Aedes aegypti terhadap Insektisida
Faktor Iklim

3
3
4
6
7
9

3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Pengumpulan Telur Aedes aegypti
Pemeliharaan Aedes aegypti
Uji Kerentanan (Susceptibility Test) Aedes aegypti terhadap Insektisida
Pengumpulan Data Kejadian Demam Berdarah Dengue dan Iklim
di Kota Sukabumi
Pemetaan dengan Software Arc. GIS
Analisis Data

11
11
12
12
12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Sukabumi
Angka Indeks Ovitrap di Kota Sukabumi
Status Resistensi Aedes aegypti terhadap Insektisida
Hubungan Iklim dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota
Sukabumi

15
15
16
18
25

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

32
32
32

DAFTAR PUSTAKA

33

LAMPIRAN

39

RIWAYAT HIDUP

52

13
13
13

DAFTAR TABEL
No.
Teks
Halaman
1 Uji normalitas data
14
2 Indeks ovitrap di dalam dan diluar rumah di 14 kelurahan di Kota
Sukabumi
17
3 Rata- rata telur per-ovitrap di dalam dan luar rumah di Kota
Sukabumi tahun 2015
18
4 Status resistensi isolat Ae. aegypti terhadap malathion di Kota
Sukabumi tahun 2015
19
5 Status resistensi isolat Ae. aegypti terhadap bendiocarb di Kota
Sukabumi tahun 2015
21
6 Status resistensi isolat Ae. aegypti terhadap deltamethrin di Kota
Sukabumi tahun 2015
23
7 Hasil uji korelasi variabel iklim terhadap kejadian DBD di Kota
Sukabumi tahun 2010-2015
25
8 Hasil analisis regresi linear sederhana variabel iklim terhadap
kejadian DBD di Kota Sukabumi tahun 2010-2015
25

DAFTAR GAMBAR
No.
Teks
Halaman
1 Titik lokasi pengumpulan isolat Ae. aegypti di Kota Sukabumi,
Indonesia.
11
2 Peta distribusi kejadian DBD di Kota Sukabumi tahun 2014 (kiri)
dan 2015 (kanan)
15
3 Distribusi status resistensi pada 14 kelurahan di Kota Sukabumi
terhadap malathion tahun 2015
19
4 Distribusi status resistensi dari 14 kelurahan di Kota Sukabumi
terhadap bendiocarb tahun 2015
22
5 Distribusi status resistensi dari 14 kelurahan di Kota Sukabumi
terhadap deltamethrin tahun 2015
24
6 Peta overlay persebaran kasus DBD dan suhu udara di Kota
Sukabumi tahun 2014 - 2015
26
7 Hubungan suhu udara dengan fluktuasi incidence rate DBD di
Kota Sukabumi
27
8 Hubungan curah hujan 3 pos pengamatan dengan fluktuasi
incidence rate DBD di Kota Sukabumi
29
9 Hubungan kelembapan udara terhadap fluktuasi incidence rate
DBD di Kota Sukabumi
31

DAFTAR LAMPIRAN
No.
Teks
Halaman
1 Uji kerentanan di Divisi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan
IPB
41
2 Incidence rate DBD dan suhu udara di Kota Sukabumi tahun 20142015
41
3 Angka kejadian infeksi virus di Kota Sukabumi pada tahun 2012
sampai bulan November menurut alamat penderita per kelurahan
dan bulan saat kejadian (Widawati et al. 2013)
42
4 Data iklim di Kota Sukabumi tahun 2010-2015
43
5 Titik koordinat lokasi pemasangan ovitrap di 14 kelurahan di Kota
Sukabumi
45
6 Data perolehan telur nyamuk melalui media ovitrap
48
7 Perolehan total telur Ae. aegypti (dalam rumah / D) dan Aedes
albopictus (luar rumah / L) di Kota Sukabumi dengan * sebagai
nilai ekstrim dan o sebagai outlier. Keterangan: GP = Gunung
Puyuh, SH = Sudajaya Hilir, DL = Dayeuh Luhur, LS = Lembur
Situ, CH = Cibeureum Hilir
49
8 Rataan Perolehan Telur Aedes sp per-ovitrap positif pada masingmasing Kelurahan di Kota Sukabumi dengan * sebagai nilai
ekstrim dan o sebagai outlier. Keterangan: GP = Gunung Puyuh,
SH = Sudajaya Hilir, DL = Dayeuh Luhur, LS = Lembur Situ, CH
= Cibeureum Hilir
50
9 Lethal time dan resistance ratio isolat Aedes aegypti yang
berpengaruh terhadap bendiocarb 0.1%
51
10 Lethal time dan resistance ratio isolat Aedes aegypti yang
berpengaruh terhadap malathion 0.8%
52
11 Lethal time dan resistance ratio isolat Aedes aegypti yang
berpengaruh terhadap deltamethrin 0.025 %
53

1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Demam berdarah dengue (DBD) disebabkan oleh virus dari famili
Flaviridae yang ditularkan oleh serangga (arthropod borne virus = arbovirus)
(Gubler 1998, WHO 2014). Virus tersebut mempunyai 4 serotype yaitu DEN - 1,
DEN - 2, DEN - 3 dan DEN - 4 (Gubler 1998). Serangga yang diketahui menjadi
vektor utama adalah Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) (Hadi dan Koeharto
2006). Ae. aegypti ditemukan di seluruh wilayah Indonesia kecuali pada
ketinggian di atas 1000 di atas permukaan laut (Gubler 2002).
World health organization (WHO) melaporkan lebih dari 2.4 miliar orang
dari 7.2 miliar (sekitar 40 % dari penduduk dunia) saat ini terinfeksi virus dengue
dan Indonesia masih menduduki urutan tertinggi kejadian DBD di Asia Tenggara
(WHO 2014). Kejadian DBD di Indonesia muncul sejak tahun 1968 di Surabaya
dan Jakarta (Ditjen PP & PL 2011). Pada tahun 2013, jumlah penderita DBD di
Indonesia yang dilaporkan sebanyak 112 511 kasus dengan jumlah kematian 871
orang (Incidence Rate/Angka kesakitan = 45.85 per 100 000 penduduk dan
CFR/angka kematian = 0,77%). Jumlah kasus pada tahun 2013 meningkat
dibandingkan tahun 2012 dengan total kasus sebesar 90 245 kasus dengan IR
37.27 (Kemenkes RI 2012, 2014a). Kejadian DBD di 34 provinsi tercatat pada
tahun 2014 sebesar 71 668 orang, 641 di antaranya meninggal dunia (Kemenkes
RI 2014b).
Kota Sukabumi menduduki peringkat pertama se-provinsi Jawa Barat untuk
kasus DBD dari tahun 2010 - 2013 setelah kota Bandung dan Cimahi (Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Barat 2015). Penderita DBD di Kota Sukabumi dari
tahun 2011 - 2014 masih tinggi walaupun telah terjadi penurunan kasus pada
tahun 2011 terdapat 531 kasus (IR = 149.12), 2012 tercatat penderita DBD
sebanyak 922 kasus (IR = 252.88), 597 kasus (IR = 174.52) pada tahun 2013, dan
sekitar 801 kasus (IR = 254.28) di tahun 2014 (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Barat 2015, DKK Sukabumi 2015).
Satu cara yang sering digunakan untuk mengendalikan Ae. aegypti adalah
pengasapan (fogging focus) dengan insektisida, terutama dalam keadaan darurat /
kejadian luar biasa (KLB). Sejak tahun 1972 dan sampai saat ini fogging masih
menjadi pilihan utama untuk mengendalikan vektor DBD saat KLB (Kemenkes RI
2014b).
Menurut Kepala Seksi Pencegahan Penyakit (P2) Dinas Kesehatan Kota
Sukabumi upaya utama yang dapat dilakukan dalam pengendalian vektor DBD di
Kota Sukabumi adalah memutus rantai penularan dengan cara melakukan fogging
focus di daerah endemis DBD. Sejarah pemakaian insektisida di Kota Sukabumi
dimulai dengan penggunaan malathion sebelum tahun 1980, kemudian malathion
digantikan dengan deltamethrin pada tahun 1980 dan digunakan hingga 2014,
selanjutnya deltamethrin digantikan dengan cypermethrin pada tahun 2014 dan
masih digunakan hingga sekarang.
Beberapa laporan penelitian menyatakan bahwa penggunaan insektisida
dalam jangka waktu lama menimbulkan masalah baru yaitu munculnya populasi
nyamuk yang resisten. Resistensi adalah kemampuan peningkatan daya tahan

2
suatu populasi serangga terhadap insektisida yang semula mematikan dan sifat
resistensi dapat diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya yang merupakan
masalah dalam pengendalian vektor DBD (Selvi et al. 2006; Rong et al. 2012).
Sementara itu, faktor iklim juga merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian
DBD. Iklim dapat berpengaruh terhadap pola penyakit infeksi karena agen
penyakit (virus, bakteri, atau parasit lainnya) dan vektor (serangga atau rodensia)
bersifat sensitif terhadap suhu, kelembapan dan kondisi lingkungan ambien
lainnya. Iklim berpengaruh terhadap penyakit yang berbeda dengan cara yang
berbeda. Penyakit yang ditularkan melalui nyamuk seperti DBD, malaria dan
demam kuning berhubungan dengan kondisi iklim yang hangat (Jetten dan Focks
1997).
Beberapa penelitian menunjukan KLB DBD yang terjadi setiap tahun
hampir seluruh wilayah di Indonesia terkait erat dengan pola iklim di Asia
Tenggara. Penyebaran virus diperkirakan mengalami peningkatan pada peralihan
musim yang ditandai oleh curah hujan dan suhu udara yang tinggi. (Hale et al
2002). Penelitian-penelitian terkait hubungan faktor iklim dan kejadian DBD telah
banyak dilakukan. Satu di antaranya kasus DBD tertinggi di daerah Jakarta Timur,
secara berurutan diikuti Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Jakarta
Pusat. Curah hujan dan angka hinggap per jam Ae. aegypti bersama-sama
mempengaruhi jumlah kasus DBD secara bermakna (Sintorini 2007). Sementara
itu, peningkatan kelembapan udara berpengaruh terhadap peningkatan kejadian
DBD di daerah Jakarta Timur (Yuniarti 2009).
Pemetaan resistensi vektor DBD Ae. aegypti di Kota Sukabumi penting
dilakukan agar diperoleh data resistensi vektor DBD terhadap insektisida,
sehingga akan menjadi dasar kebijakan program untuk merotasi, mengganti dan
menentukan insektisida yang tepat untuk pengendalian DBD dan oleh karena itu
perlu adanya penelitian keterkaitan antara status resistensi dan faktor iklim
terhadap kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Sukabumi
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah 1) menganalisis dan memetakan status resistensi Ae.
aegypti terhadap insektisida malathion, bendiocarb dan deltamethrin, dan 2)
menganalisis hubungan faktor iklim (curah hujan, kelembapan udara, dan suhu
udara) dengan kejadian DBD di Kota Sukabumi tahun 2010-2015.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat 1) memberikan data acuan status resistensi
vektor terhadap beberapa insektisida yang digunakan di kota Sukabumi, 2)
memperediksi waktu terbaik untuk melakukan pengendalian vektor, dan 3)
sebagai rekomendasi mengambil kebijakan program pengendalian yang akan
dilakukan agar lebih efektif dan efisien.

3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Demam Berdarah Dengue (DBD)
Demam berdarah dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue dari genus
Flavivirus, famili Flaviviridae. DBD ditularkan ke manusia melalui gigitan Aedes
sp yang terinfeksi virus dengue (Gubbler 1998). Demam berdarah dengue (DBD)
dan dengue shock syndrome (DSS) termasuk dalam kelompok B Arthropod Virus
(Arbovirosis) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviride,
dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: Den - 1, Den - 2, Den - 3, Den - 4 (Gubler
2002).
Persebaran kejadian DBD dilaporkan sepanjang abad kesembilan belas dan
awal abad keduapuluh di Amerika, Eropa selatan, Afrika Utara, Mediterania
timur, Asia dan Australia dan pada beberapa pulau di Samudra India, Pasifik
selatan dan tengah serta Karibia (WHO 1999). Kejadian luar biasa (KLB) DBD
pertama ditemukan di Manila pada tahun 1954 dan dilaporkan oleh Quintas.
Tahun 1958 terjadi KLB DBD yang disebut dengan istilah Thai yang ditemukan
di Bangkok-Thonburi dan sekitarnya. Tahun 1960 di Singapura ditemukan kasus
DBD dalam jumlah yang lebih banyak dengan virus serotipe 1 dan 2. Tahun 1968,
empat belas tahun sesudah KLB pertama di Manila, DBD dilaporkan untuk
pertama kalinya di Indonesia (Jakarta dan Surabaya) tercatat sebanyak 58 kasus.
Sampai saat ini kejadian DBD masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia. Kejadian DBD meningkat dan menyebar ke seluruh kabupaten di
wilayah Republik Indonesia setiap tahunnya. Pengamatan selama kurun waktu 20
sampai 25 tahun sejak awal ditemukan kasus DBD menyatakan bahwa angka
KLB DBD mengalami peningkatan setiap lima tahun (Soegianto, 2004).
Angka kesakitan dan kematian DBD di berbagai negara sangat bervariasi
dan bergantung pada berbagai faktor, seperti status kekebalan inang, kepadatan
vektor dan frekuensi penularan virus dengue oleh vektor, prevalensi serotipe virus
dan keadaan iklim. Perkembangan kasus DBD sampai tahun 2010
memperlihatkan bahwa Indonesia masih menduduki peringkat kedua setelah
Brazil dan urutan selanjutnya diikuti oleh Vietnam, Mexico, Venezuela, dan
Thailand (WHO 2012).
Penyebab meningkatnya jumlah kasus DBD dan semakin bertambahnya
wilayah yang terjangkit dikarenakan semakin padatnya penduduk, tingginya
mobilitas penduduk, banyaknya sarana transportasi dari suatu daerah ke daerah
lain, dan adanya permukiman baru. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya
DBD adalah penyimpangan pola hujan, musim, perilaku masyarakat dalam
menyimpan air, kurangnya partisipasi masyarakat dalam Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN), kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gejala DBD,
keterlambatan membawa penderita ke tempat pelayanan kesehatan, kurangnya
koordinasi lintas sektor, tersebarnya vektor Ae. aegypti di seluruh tanah air
(khususnya di daerah urban), adanya empat serotipe virus yang bersikulasi
sepanjang tahun, dan keterlambatan penanggulangan kasus di lapangan turut
berperan dalam KLB (Gubbler 2002).
Pengembangan diagnostik DBD dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang, pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan

4
hematokrit. Diagnosis konfirmatif diperoleh melalui pemeriksaan laboratorium,
yaitu isolasi virus, deteksi antibodi dan deteksi antigen atau RNA virus.
Imunoglobulin M (Ig M) biasanya dapat terdeteksi dalam darah mulai hari ke - 5
onset demam, meningkat sampai minggu ke - 3 kemudian kadarnya menurun. Ig
M masih dapat terdeteksi hingga hari ke - 60 sampai hari ke - 90. Pada infeksi
primer, konsentrasi Ig M lebih tinggi dibandingkan pada infeksi sekunder. Pada
infeksi primer, Imunoglobulin G (Ig G) dapat terdeteksi pada hari ke - 14 dengan
titer yang rendah (< 1 : 640), sementara pada infeksi sekunder Ig G sudah dapat
terdeteksi pada hari ke - 2 dengan titer yang tinggi (> 1 : 2560) dan dapat bertahan
seumur hidup (Sudjana 2010).
Akhir-akhir ini dikembangkan pemeriksaan Antigen protein NS - 1 Dengue
(Ag NS - l) yang diharapkan memberikan hasil yang lebih cepat dibandingkan
pemeriksaan serologis lainnya karena antigen ini sudah dapat terdeteksi dalam
darah pada hari pertama onset demam. Selain itu pengerjaannya cukup mudah,
praktis, dan tidak memerlukan waktu lama. Adanya pemeriksaan Ag NS - l yang
spesifik terdapat pada virus dengue ini diharapkan diagnosis infeksi dengue sudah
dapat ditegakkan lebih dini (Dussart et al. 2006). Dussart et al. (2002)
menggunakan sampel darah penderita dengue di Guyana menunjukkan Ag NS - l
dapat terdeteksi mulai hari ke - 0 (onset demam) hingga hari ke - 9 dalarn jumlah
yang cukup tinggi. Pada penelitian ini didapatkan sensitivitas deteksi Ag NS - l
sebesar 88.7% dan 91% sedangkan spesifisitas mencapai 100%, dibandingkan
terhadap pemeriksaan isolasi virus dan RT - PCR dengan kontrol sampel darah
infeksi non-dengue. Penelitian lainnya di Singapura dengan cara pemeriksaan
NS1- antigen melalui Elisa memberikan sensitivitas sampai 93.3% (Kumarasamy
et. al 2007). Hingga saat ini telah dikembangkan diagnostik dengue baru
menggunakan Complement Fixation Test dan Hemaglutination Inhibition Test.
Aedes aegypti sebagai Vektor Demam Berdarah Dengue
Vektor adalah hewan arthropoda yang dapat berperan sebagai penular
penyakit. DBD di Indonesia ditularkan oleh Ae. aegypti sebagai vektor utama dan
Ae. albopictus sebagai vektor sekunder, sedangkan Ae. polynesiensis, Ae.
scutellaris dan Ae. (Finlaya) niveus sebagai vektor di negara lain (WHO 2000,
Hadi & Koesharto 2006, Sukowati 2010).
Genus Aedes memiliki karakteristik ujung abdomen meruncing, sersi
menonjol, bagian lateral dadanya terdapat rambut post-spiracular dan tidak
memiliki rambut spiracular. Ae. aegypti memiliki tubuh bercorak belang putih
pada torax (dada), abdomen, dan tungkai kaki. Corak ini merupakan sisik yang
menempel di luar tubuh nyamuk. Corak putih pada dorsal dada (punggung) Ae.
aegypti berbentuk seperti siku yang berhadapan (lyre-shaped) (Hadi 2010). Larva
Ae. aegypti memiliki sikat ventral yang terdiri atas lima pasang rambut (Rueda
2004).
Stadium telur Ae. aegypti tahan terhadap kering, dapat bertahan selama
berbulan-bulan bahkan lebih dari satu tahun (Christophers 1960). Aedes spp. akan
bertelur setelah menghisap darah dan jumlah telur rata-rata 100 butir setiap kali
bertelur. Telur diletakan satu persatu pada dinding kontainer dekat dengan
permukaan air. Telur bewarna gelap, umumnya menetas secara bersamaan
menjadi larva pada suhu optimum (25 – 30oC) di dalam air. Larva Aedes spp.

5
hidup pada air yang jernih dan tenang serta mengandung bahan organik. Larva
akan berkembang menjadi kepompong (pupa) dalam waktu 5 - 6 hari, sedangkan
pada suhu di bawah 10oC larva akan mati. Setelah 5 - 6 hari larva Aedes sp akan
berubah menjadi pupa. Temperatur optimum untuk perkembangan berkisar 27 –
32oC. Pada temperatur tersebut pupa jantan membutuhkan waktu berkembang
rata-rata 1.9 hari, sedangkan yang betina akan membutuhkan waktu rata-rata 2.5
hari. Setelah 1 - 2 hari pupa berubah menjadi nyamuk dewasa. (Hadi dan
Koesharto 2006).
Ae. aegypti merupakan nyamuk di permukiman karena stadium
pradewasanya mempunyai habitat di tempat penampungan air / wadah yang
berada di permukiman. Ae. aegypti lebih banyak ditemukan berkembang biak di
tempat-tempat penampungan air buatan antara lain bak mandi, ember, vas bunga,
tempat minum burung, kaleng bekas, ban bekas dan sejenisnya di dalam rumah
meskipun juga ditemukan di luar rumah di wilayah perkotaan. Sementara itu, Ae.
albopictus lebih banyak ditemukan di penampungan air alami di luar rumah,
seperti axilla daun, lubang pohon, potongan bambu dan sejenisnya terutama di
wilayah pinggiran kota dan pedesaan, namun juga ditemukan di tempat
penampungan buatan di dalam dan di luar rumah. Spesies nyamuk tersebut
mempunyai sifat anthropofilik, artinya lebih memilih menghisap darah manusia
dan juga bersifat multiple feeding artinya menghisap darah beberapa kali untuk
memenuhi kebutuhan darah sampai kenyang dalam satu periode siklus gonotropik
(Sukowati 2010, Hadi dan Koesharto 2006).
Hadi et. al (2009) melaporkan bahwa air terpolusi dapat menjadi tempat
perindukan dan berkembangbiaknya Ae. aegypti. Peletakan telur Ae. aegypti
tertinggi pada media telur berisi polutan yang mengandung tanah dan terendah
pada media telur yang mengandung kaporit. Media telur berisi campuran polutan,
peletakan telur tertinggi pada campuran yang terdiri dari feses ayam, tanah dengan
detergen, dan terendah pada media air sumur. Perkembangan nyamuk pradewasa
yang cukup baik terdapat pada media telur yang mengandung feses ayam dan
campuran yang terdiri atas tanah, detergen, kaporit dan feses ayam.
Ae. aegypti dewasa lebih memilih untuk beristirahat di dalam ruangan, tidak
ada gangguan luar, dan lebih memilih untuk menggigit manusia pada siang hari.
Terdapat dua puncak aktivitas menggigit, yaitu pada pagi hari selama 2 sampai 3
jam setelah fajar dan pada sore hari selama beberapa jam sebelum gelap. Namun,
nyamuk ini akan menghisap darah sepanjang hari di dalam ruangan dan pada harihari mendung. Ae. aegypti betina adalah pemangsa yang sangat gesit, berespon
cepat jika terjadi gerakan inang, dan akan kembali pada inang yang sama atau
inang yang berbeda untuk melanjutkan proses menghisap darah. Ae. aegypti betina
yang infektif sering menghisap darah beberapa orang selama menghisap darah
tunggal (sampai kenyang di waktu yang sama) dan menularkan virus dengue ke
beberapa orang dalam waktu singkat. Hal ini yang menyebabkan beberapa
anggota rumah tangga menjadi penderita demam berdarah dalam jangka waktu 24
– 36 jam (Gubler 1998).

6
Mekanisme Penularan Demam Berdarah Dengue
Virus dengue dapat ditularkan secara horizontal dari manusia (reservoir)
kepada nyamuk vektornya maupun secara vertikal dari induk nyamuk kepada
keturunannya (transovarial) yang telah dibuktikan dari beberapa penelitian bahwa
nyamuk dapat menularkan virus dengue secara vertikal/ transovarial (Freier dan
Rosen 1988, Joshi et al. 2002). Genom virus dengue mempunyai berat molekul 11
kb yang tersusun dari protein struktural (protein E, prM dan C) dan protein non
struktural (NS1 – NS5) (Henchal dan Putnak 1990). Virus Dengue merupakan
virus RNA untai tunggal, genus Flavivirus, terdiri atas 4 serotype yaitu DEN - 1, 2,
3 dan 4. Variasi genetik yang berbeda pada ke-4 serotype ini tidak hanya
menyangkut antar serotype tetapi juga didalam serotype itu sendiri, tergantung
waktu dan daerah penyebarannya. Fenomena ini mengindikasikan munculnya
varian-varian baru hasil evolusi genetik virus, misalnya pada virus DEN - 3 di
Indonesia telah terjadi variasi genetiknya (Raekiansyah 2003). Variasi genetik
terjadi karena perubahan-perubahan pada urutan DNA yang bersumber dari
rekombinasi dan mutasi (Ayala 1982).
Sejumlah Aedes spp. seperti Ae. aegypti, Ae. albopictus, Ae. polynesiensis
dan Ae. scutellaris dapat bertindak sebagai vektor dalam penularan virus dengue,
tergantung pada daerah geografis. Siklus transmisi yang paling penting dari sudut
pandang kesehatan masyarakat adalah siklus endemik/epidemi perkotaan di
daerah tropis. Seringkali, beberapa serotipe virus yang berbeda terdapat di satu
wilayah (hiperendemisitas) dan manusia (inang) terinfeksi virus dengue melalui
gigitan nyamuk infektif (Gubler 1998).
Setelah seseorang digigit oleh nyamuk yang infektif, virus mengalami masa
inkubasi 3 - 14 hari (rata-rata 4 - 7 hari), kemudian inang tersebut mengalami
demam akut disertai dengan berbagai tanda-tanda spesifik. Selama periode demam
akut ini (minimal 2 hari dan maksimal 10 hari) virus dengue bersirkulasi dalam
darah perifer. Jika Ae. aegypti lainnya menggigit orang yang sakit selama tahap
viremic dan kemudian menularkan virus ke orang yang tidak terinfeksi lainnya,
setelah masa inkubasi ekstrinsik dari 8 – 12 hari (Gubbler 1998). Ketika nyamuk
menghisap darah yang mengandung virus, terdapat beberapa penghalang bagi
virus sebelum berkembang didalam tubuh nyamuk. Pertama, virus harus dapat
menimbulkan infeksi di dalam usus tengah nyamuk dengan menembus midgut
infection barrier. Kedua, virus harus melewati midgut escape barrier setelah
memperbanyak diri (replikasi) pada epitel usus tengah (Basio et al. 2000).
Penelitian tentang penularan virus secara vertikal pernah dilaporkan oleh
Joshi et al. (1996) di India dan oleh Ahmad et al. (1997) di Malaysia dengan
ditemukannya virus dengue pada Ae. aegypti dan Ae. albopictus baik stadium
dewasa maupun pada stadium larva. Joshi et al. (2002) melakukan injeksi virus
dengue - 3 intrathoracic pada Ae. aegypti berumur 4 - 5 hari dengan dosis
inakulasi 1.2 logs / 0.2 µl. Hasilnya adalah jumlah virus pada transmisi secara
vertikal meningkat dari generasi F1 ke F2 dan jumlah virus stabil (tetap) pada
generasi F3 - F7. Jumlah virus lebih banyak pada Ae. aegypti betina dibandingkan
dengan jantan.

7
Resistensi Aedes aegypti terhadap Insektisida
Resistensi adalah kemampuan peningkatan daya tahan suatu populasi
serangga terhadap insektisida yang semula mematikan (Brown dan Pal 1971,
IRAC 2006). Munculnya galur Ae. aegypti resisten dipicu oleh adanya pajanan
yang berlangsung lama terhadap insektisida tertentu. Hal ini terjadi karena Ae.
aegypti mampu mengembangkan sistem ketahanan terhadap insektisida yang
sering dipakai. Nyamuk juga mampu meningkatkan produksi enzim detoksifikasi
seperti esterase, glutatione S - transverase dan modifikasi reseptor insektisida
(Lima et al. 2011). Beberapa penelitian menunjukkan pula adanya resistensi
silang, yaitu timbulnya resistensi terhadap suatu insektisida karena pajanan oleh
insektisida lainnya. Resistensi terhadap insektisida kimia bersifat multifaktorial
seperti dipengaruhi oleh faktor lingkungan, durasi, dosis dalam aplikasi
insektisida, dan faktor genetik (gen metabolik dan reseptor insektisida dalam
tubuh nyamuk) (Tarumingkeng 1992).
Proses resistensi suatu populasi membutuhkan waktu yang lama. Dalam
suatu populasi hama, terdapat individu-individu rentan dan individu-individu yang
mampu menangkal daya kerja suatu pestisida tertentu (individu resisten). Rasio
individu resisten terhadap individu rentan amat sangat kecil. Pada pemaparan
dengan pestisida itu, individu-individu rentan sebagian besar mati (tereliminasi
dari populasi itu), yang tertinggal adalah individu rentan yang tidak terkena
pestisida dan individu resisten. Sisa individu rentan dan individu resisten masing masing bereproduksi, tetapi populasi generasi berikutnya berubah komposisinya :
rasio resisten meningkat. Demikian seterusnya sehingga pada generasi F ke - n,
individu r dapat mencapai lebih dari 50% yang berarti populasi itu telah menjadi
resisten (Mallet 1989).
Insektisida malathion adalah salah satu insektisida yang sering digunakan
sebagai insektisida residual, setelah diketahuinya insektisida DDT resisten di
beberapa negara. Malathion termasuk ke dalam insektisida yang tidak terlalu
berbahaya bagi lingkungan. Malathion termasuk ke dalam kelompok insektisida
yang memiliki cara kerja dalam mengganggu sistem saraf pada tubuh serangga
target. Malathion bekerja dengan cara menghambat enzim asetilkolinesterase
(AChE) sehingga enzim ini tidak dapat menghidrolisis asetilkolin. ACh
merupakan suatu neurotransmitter yang menstimulasi pembukaan saluran Na+
dan K+, sedangkan AChE merupakan katalis dari reaksi hidrolisis asetilkolin
menjadi kolin inaktif dan asetat (Foley 2005). Gejala yang ditimbulkan pada
serangga sama seperti pola umum keracunan pada saraf yaitu adanya keresahan,
hiperexiability, gemetaran, kejang, lumpuh dan mati.
Beberapa penelitian tentang uji kerentanan terhadap insektisida di antaranya
malathion masih toleran pada isolat Ae. aegypti di 10 daerah di Kepulauan Karibia
(Georghiou et al. 1987), empat daerah di Thailand yaitu Surat Thani, Nakhon
Ratchasimaand, Nakhon Sawan dan Phattalung (Ponlawat et al. 2005). Isolat Ae.
aegypti juga dilaporkan telah resisten di Trinidad dan Tobago (Polson et al. 2010),
di Sudan (Husham et al. 2010) dan di Malaysia (Hamdan et al. 2005). Tahun
2013, 5 isolat di Bogor telah resisten terhadap malathion (Lawang Gintung,
Kebon Kelapa, Kebon Pedes, Kedung Waringin, dan Tegal Gundil) (Nurjanah
2013) dan masih toleran terhadap malathion 5% di Surabaya (Suwito 2009).

8
Insektisida bendiocarb termasuk dalam golongan karbamat yang cukup
populer digunakan dalam pengendalian nyamuk, lalat dan lipas. Insektisida ini
biasa digunakan dalam formulasi aerosol dan oil spray karena memiliki kelebihan
yaitu daya knockdown yang cepat (Ditjen PP & PL 2013). Insektisida bendiocarb
yang tergolong dalam karbamat secara umum memiliki cara kerja dan gejala
keracunan yang serupa dengan golongan organofosfat. Karbamat dan organofosfat
ini dapat menghambat kerja dari enzim kolinesterase sehingga menyebabkan
akumulasi asetilkolin pada sinaps saraf. Perbedaan yang terlihat dari insektisida
golongan karbamat terlihat dari adanya sifat selektivitas dan reversibilitas.
Aplikasi dari bendiocarb pada serangga target juga dimulai dengan pembentukan
kompleks reversibel oleh enzim asetilkolinesterase terhadap insektisida ini. Tahap
selanjutnya akan terjadi fosforilasi, asetilasi dan karbamilasi sehingga
menghasilkan kompleks enzim dan karbamat yang terinhibisi. Pada tahap akhir
akan terjadi reaksi hidrolisis yang meliputi reaksi defosforilasi, deasetilasi dan
dekarbarilasi pada enzim. Penghambatan enzim asetilkolinesterase ini tidak
bersifat tetap (reversible) sehingga dapat pulih kembali (Wirawan 2006).
Walaupun tidak dipakai dalam pengendalian Ae. aegypti, bendiocarb kerap
dilakukan pengujian status resistensinya terhadap Ae. aegypti. Hal itu dikarenakan
insektisida ini biasa digunakan dalam formulasi insektisida rumah tangga. Adapun
laporan mengenai resistensi Ae. aegypti terhadap bendiocarb antara lain Ae.
aegypti dilaporkan telah resisten terhadap bendiocarb dan propoxur (karbamat)
dengan persentase kematian > 80 % di Malaysia (Rong et al. 2012), dan masih
rentan terhadap bendiocarb 0.1% di Sudan (Husham et al. 2010). Di Indonesia,
isolat Ae. Aegypti yang resisten terhadap bendiocarb telah dilaporkan terhadap
populasi di 8 wilayah Propinsi Jawa Tengah (Kabupaten Jepara, Kabupaten Blora,
Kota Semarang, Kota Salatiga, Kota Magelang, Kota Tegal, Kota Surakarta dan
Kota Purwokerto) dan di 3 wilayah Daerah Istimewa Jogyakarta (Kota
Yogyakarta, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman) (Widiarti et al. 2011), dan
di Jawa Tengah tahun 2015 (Ikawati et al. 2015).
Penemuan piretroid merupakan terobosan penting dalam dunia insektisida,
karena memiliki sejumlah karakteristik penting yaitu bekerja cepat pada serangga
(knockdown dan flushing), repelen, aplikasi dosis rendah, toksisitas mamalia
relatif rendah, tidak berbau, non-residual, residual jangka panjang, kelarutan
dalam air rendah, dan toksik terhadap ikan. Piretroid adalah racun axonic yaitu
racun syaraf. Insektisida ini terkait pada suatu protein dalam saraf yang dikenal
sebagai voltage gated sodium channel. Keadaan normal protein ini membuka
untuk memberikan rangsangan dan menutup untuk menghentikan rangsangan,
karena piretroid terikat pada bagian ini sehingga mencegah penutupan secara
normal, oleh sebab itu menyebabkan tremor dan gerakan inkoordinasi pada
serangga. Piretroid contohnya cypermetrin sangat popular karena efektifitasnya
dan relatif murah harganya (Wirawan 2006). Senyawa ini merupakan racun
kontak dan perut yang penggunaannya sangat luas. Penggunaan cypermethrin di
Indonesia mulai dari pengendalian rayap, serangga perusak kayu, nyamuk, lalat,
dan lipas.
Resistensi Ae. aegypti terhadap insektisida golongan piretroid telah
dilaporkan di berbagai negara termasuk Indonesia. Isolat Ae. aegypti dilaporkan
resisten terhadap insektisida golongan piretroid (lambda-cyhalothrin) di Malaysia
(Hasan et al. 2015), terhadap cypermethrin dan deltamethrin di Meksiko (Aponte

9
et al. 2013). Isolat Ae. aegypti telah resisten terhadap deltamethrin dan masih
rentan terhadap cypermethrin di Costa Rica (Bisset et al. 2013), dan telah resisten
di Venezuela Barat (Alvarez et al. 2013). Sementara itu, di Indonesia, 11 isolat Ae.
aegypti dari provinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta telah resisten terhadap
deltamethrin (persentase kematian < 85 %) (Widiarti et al. 2011) dan di Jawa
Tengah kecuali Banjarnegara (masih toleran) tahun 2015 (Ikawati et al. 2015).
Faktor Iklim
Proyeksi kecenderungan aktivitas ekonomi dan dampak emisi gas kegiatan
manusia, pada tahun mendatang, tampaknya berpengaruh terhadap pergeseran
pola curah hujan dan suhu rata-rata bumi yang diperkirakan naik 1 – 3.5oC.
Perubahan pada komponen lingkungan ini akan mempengaruhi spesies-spesies
pada kelompok ekosistem dan pola penyebaran vektor serta virus penyakit.
(McMichael et al. 1996). Oleh sebab itu, ekologi, perkembangan, perilaku, dan
keberadaan nyamuk dan penularan penyakit dapat dipengaruhi oleh faktor iklim.
Suhu udara, curah hujan, dan kelembapan udara sangat berperan penting dalam
perkembangbiakan nyamuk dan penularan agen penyakit. Suhu udara berpengaruh
pada perkembangbiakan dari pathogen yang ditularkan oleh nyamuk (mosquitoborne pathogens), yang menyebabkan jumlah pathogen bertambah di dalam tubuh
nyamuk. Hal ini yang menyebabkan sekresi saliva lebih bersifat infected yang bisa
menularkan dengan cepat ke inang lain (Reiter 2001).
KLB DBD yang terjadi setiap tahun hampir di seluruh wilayah Indonesia
berkaitan erat dengan pola iklim di Asia Tenggara. Penyebaran virus diperkirakan
mengalami peningkatan pada peralihan musim yang ditandai oleh curah hujan dan
suhu udara yang tinggi (Hale et al 2002).
Curah hujan yang meninggi pada musim penghujan menghasilkan banyak
genangan air sebagai tempat perkembangan nyamuk dan suhu yang tinggi pada
musim kemarau mempercepat siklus hidup nyamuk dan memperbanyak produksi
telur yang siap berkembang ketika musim penghujan datang. Penelitian yang
dilakukan Iriani (2012) menunjukan korelasi antara curah hujan dan peningkatan
jumlah kasus DBD pada anak di Kota Palembang tahun 2004-2010. Chen et al.
(2012) melaporkan bahwa curah hujan yang ekstrim berhubungan dengan
kejadian 8 penyakit menular di Taiwan selama periode tahun 2004-2008, di
antaranya adalah penyakit DBD. Zubaidah (2012) yang menggunakan analisis
jalur (path analysis) menyebutkan bahwa curah hujan memiliki pengaruh terhadap
kasus DBD di kota Banjarbaru tahun 2005 - 2010. Sebaliknya, Admiral (2010)
menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara curah hujan dengan
kasus DBD di Jakarta Selatan tahun 2007 - 2009. Hal ini dapat disebabkan oleh
adanya perbedaan durasi data yang diambil dalam melakukan penelitian dan
perbedaan kondisi tempat melakukan penelitian.
Nyamuk dapat bertahan hidup pada suhu rendah tetapi metabolismenya
menurun atau bahkan berhenti bila suhu udara turun sampai di bawah suhu kritis.
Pada suhu yang lebih tinggi dari 35oC juga dapat mempengaruhi proses fisiologis.
Rata-rata suhu optimum untuk perkembangan nyamuk adalah 25 – 27oC dan
terhenti sama sekali bila suhu kurang dari 10 oC atau lebih dari 40oC.
Pertumbuhan larva terjadi pada suhu berkisar 25 – 30oC (McMichael 1996).
Pengaruh suhu dengan kejadian DBD dibuktikan oleh Febriyetti (2010) di DKI

10
Jakarta selama kurun waktu 2000 - 2009 dengan kekuatan sedang dan berarah
negatif dikarenakan suhu udara rata-rata DKI Jakarta selama tahun 2000 - 2009
adalah 27.76oC. Thai et. al. (2010) menyatakan bahwa variabel iklim (suhu udara)
secara signifikan berhubungan dengan kejadian DBD selama periode 2 - 3 tahun
terakhir.
Kelembapan optimal yang diperlukan untuk pertumbuhan nyamuk adalah
berkisar antara 60% - 80%. Umur nyamuk Ae. aegypti betina rata-rata mencapai
10 hari. Namun, dengan keadaan suhu udara dan kelembapan yang optimal umur
nyamuk dapat mencapai lebih dari 1 bulan. Secara tidak langsung kelembapan
dapat berpengaruh terhadap umur nyamuk dalam kesempatannya untuk menjadi
vektor. Pada kelembapan yang tinggi menyebabkan kematian. Pada kelembapan
kurang dari 60% umur nyamuk akan menjadi pendek sehingga tidak cukup untuk
siklus perkembangan virus di dalam tubuh nyamuk (McMichael 1996). Wirayoga
(2013) melaporkan bahwa terdapat hubungan bermakna sedang dengan arah
positif antara kelembapan dengan kejadian DBD di Kota Semarang tahun 2006 2011. Selain itu, Zubaidah (2012) menyebutkan bahwa kelembapan udara
memiliki pengaruh terhadap kasus DBD di kota Banjarbaru tahun 2005 - 2010.
Perubahan gaya hidup ikut berperan menambah population at risk.
Penggunaan barang non biodegradable seperti plastik yang sangat tinggi,
menyebabkan plastik menjadi komposisi sampah terbesar saat ini sehingga
berpotensi menjadi penampung air hujan sebagai tempat perkembangbiakan Ae.
aegypti (Bohra & Andrianasolo 2001).

11

3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap yaitu pengambilan sampel telur Ae.
aegypti di Kota Sukabumi pada bulan Mei-Juni 2015, dan pemeliharaan Ae.
aegypti serta pengukuran status resistensinya di Divisi Parasitologi dan
Entomologi Bogor IPB sejak September-November 2015.
Penentuan wilayah penelitian didasarkan pada nilai incidence rate (IR) /
Angka Insiden (AI) dengan endemisitas DBD tertinggi sesuai pedoman Kemenkes
(2010) sehingga diperoleh 14 kelurahan dari 7 kecamatan. Kelurahan tersebut
adalah Cibeureum hilir dan Babakan (Kecamatan Citamiang), Baros dan Sudajaya
Hilir (Kecamatan Baros), Lembur situ dan Cikundul (Kecamatan Lembur situ),
Nanggeleng dan Citamiang (Kecamatan Citamiang), Cisarua dan Selabatu
(Kecamatan Cikole), Keramat dan Gunung Puyuh (Kecamatan Gunung puyuh),
serta Benteng dan Dayeuh Luhur (Kecamatan Warudoyong) (Gambar 1) dan
pemasangan ovitrap minimal adalah 100 rumah di Kota Sukabumi berdasarkan
aturan Kemenkes (2013).

Gambar 1 Titik lokasi pengumpulan isolat Ae. aegypti di Kota Sukabumi,
Indonesia.

12
Pengumpulan Telur Aedes aegypti
. Pengumpulan telur dilakukan dengan cara memasang perangkap telur
(ovitrap). Ovitrap adalah bejana (kaleng, palstik atau potongan bambu) yang
dinding bagian luarnya dicat hitam dan diberi air sebanyak setengah dari bejana
tersebut, lalu bagian dalam ovitrap ditempelkan kertas saring mengelilingi dinding
yang berfungsi sebagai media untuk menempelnya telur. Ovitrap diletakkan di
dalam dan di luar rumah terutama di tempat gelap dan lembab yang merupakan
tempat persembunyian nyamuk, seperti di bawah meja, kursi, tempat tidur dan
tempat potensial lainnya. Ovitrap diperiksa apakah ada/tidaknya telur pada paddle
setelah satu minggu. Jumlah pemasangan ovitrap pada setiap rumah adalah 2 buah
dengan total sebanyak 230 buah di 115 rumah sesuai standar Kemenkes (2013).
Pemeliharaan Aedes aegypti
Telur yang diperoleh dari ovitrap yang dipasang pada setiap kelurahan
diletakan dalam wadah berisi air hingga menetas menjadi larva dalam waktu 1 - 2
hari. Larva diberi makanan rebusan hati ayam selama 6 - 8 hari sampai menjadi
pupa. Wadah yang berisi pupa dipindahkan ke dalam kandang nyamuk hingga
pupa eksklosi menjadi nyamuk dewasa. Nyamuk dewasa diberi larutan gula 10%
dan nyamuk betina diberi darah marmut setelah 3 hari untuk proses pematangan
telur. Kemudian media bertelur dimasukan ke dalam kandang dan telur yang ada
di dalam media tersebut dikembangbiakan menjadi generasi berikutnya.
Perubahan pupa menjadi nyamuk dewasa berlangsung 1 - 2 hari. Proses
pemeliharaan dilakukan sampai diperoleh nyamuk generasi kedua (F2) untuk
dilakukan uji kerentanan terhadap insektisida. Pemeliharaan Ae. aegypti terdiri
atas 14 isolat yang mewakili masing-masing kelurahan.
Uji Kerentanan (Susceptibility Test) Aedes aegypti terhadap Insektisida
Uji kerentanan terhadap insektisida dilakukan dengan menggunakan WHO
susceptibility test kit dan insektisida uji berupa impragnated paper yang terdiri
atas malathion 0.8%, bendiocarb 0.1%, dan deltamethrin 0.025%. Uji kerentanan
terhadap insektisida berdasarkan WHO (1975) yaitu nyamuk betina yang berumur
2-5 hari sebanyak 25 dimasukan ke dalam tabung kontrol (bebas insektisida) dan
didiamkan selama 20 menit. Setelah periode pre-test, nyamuk dipindahkan ke
dalam tabung uji selama 60 menit dan setiap menit dihitung persentase kematian
nyamuk. Selanjutnya, nyamuk betina tersebut dipindahkan dan dibiarkan di dalam
tabung holding (bebas insektisida) dengan diberi larutan gula 10% selama 24 jam
pada suhu 25 ± 2ºC serta kelembapan udara 80 ± 10%. Kematian nyamuk dihitung
setiap jam selama 24 jam. Nyamuk dinyatakan mati bila tidak bergerak lagi. Tiga
pengulangan pada masing-masing uji kerentanan insektisida terdiri atas satu
perlakuan lapangan dengan 3 jenis insektisida, satu kontrol negatif dari isolat
lapangan dan satu kontrol positif. Bila kematian kontrol > 20%, pengujian harus
diulang. Bila kematian pada kontrol antara 5 - 20%, dikoreksi dengan rumus
Abbot (WHO 1975).

13
% kematian nyamuk uji - % kematian kontrol x100%
100 - % kematian kontrol

Pengumpulan Data Kejadian Demam Berdarah Dengue dan Iklim di Kota
Sukabumi
Data kejadian DBD diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Sukabumi dari 7
Kecamatan di Kota Sukabumi yang merupakan data kasus dari tahun 2010 - 2015.
Data iklim Kota Sukabumi diperoleh dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika (BMKG) Balai Besar Wilayah II Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor
dan Badan Pengelolaan Sumberdaya Air Kota (BPSDA) Sukabumi. Variabel
curah hujan berasal dari 3 stasiun pengamatan di Kota Sukabumi yaitu Pos
Klimatologi Ciaul, Pos Klimatologi Situ Mekar, dan Pos Klimatologi Cimandiri.
Data kelembapan udara dan suhu udara hanya diperoleh dari 1 stasiun pengamatan
yaitu Stasiun Golpara.
Pemetaan dengan Software Arc. GIS
Pemetaan daerah dilakukan dengan cara merekam koordinat lokasi sampel
yang disimpan dalam bentuk WPT (Waypoint) dengan