Uji Resistensi Malathion dan Sipermethrin Terhadap Nyamuk Aedes aegypti di Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue Kota Medan Tahun 2016

(1)

Lampiran 1. Form Pengisian Hasil Uji Resistensi di Laboratorium

Form Pengisian Hasil Uji Resistensi di Laboratorium

Nama Kecamatan :

Tanggal Terakhir Penyemprotan :

Spesies Nyamuk :

Sumber Jentik :

Tempat Peristirahatan Nyamuk : Tanggal Pengujian di Laboratorium :

Metode Pengukuran :

Jenis insektisida :

Dosis yang Digunakan :

Suhu

- Periode Paparan (1jam) : - Periode Holding (1hari) : Kelembaban

- Periode Paparan (1jam) : - Periode Holding (1hari) :


(2)

Tabel Hasil pengujian Kel. uji Jlh Pengulangan Nyamuk Kontrol Eksp erim en Nyamuk Kontrol Eksp erim en Nyamuk Kontrol Eksp erim en Nyamuk Kontrol Eksp erim en Jumlah nyamuk yang diuji Jumlah nyamuk yang pingsan Jumlah nyamuk yang mati % kematian Keterangan :

% kematian = x 100%

dan apabila persentase kematian pada kelompok kontrol 5-20% maka data dikoreksi denga rumus Abbort, yaitu :


(3)

Lampiran 2. Lembar Observasi Pengambilan Jentik

Lembar Obervasi Pengambilan Jentik

Kota : Kecamatan : Tanggal :

No

Nama Kepala Keluarga Sekolah/Kantor

/Yayasan

Di dalam rumah Di luar rumah Penyemprotan Tgl

terakhi r disemp

rot

Drum Bak Mandi Ember Lain2 Drum Bak Mandi Ember Lain2

Perna h

Belum pernah

A J A J A J A J A J A J A J A J

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12


(4)

Tabel Lanjutan 13

14 15 16 17 18 19 20

Keterangan :

A = Jumlah tempat yang berisi air


(5)

Lampiran 3. Lembar Informasi Insektisida

Lembar Informasi Insektisida

No

Nama

Kecamatan

Jenis

Insektisida

Tahun

Produksi Formulasi Dosis Frekuensi

Tanggal kadalwarsa


(6)

(7)

(8)

(9)

(10)

Lampiran 5. Output Hasil Uji Statistik

MEDAN SELAYANG

Tests of Normalityb

jenis pestisida

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Jumlah Nyamuk Mati

Malathion 0,8% ,250 4 . ,927 4 ,577

Sipermethrin 0,75%

,215 4 . ,946 4 ,689

a. Lilliefors Significance Correction

b. Jumlah Nyamuk Mati is constant when jenis pestisida = Kontrol. It has been omitted.

Test of Homogeneity of Variances Jumlah Nyamuk Mati

Levene Statistic df1 df2 Sig.

3,900 2 9 ,060

ANOVA

Jumlah Nyamuk Mati

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 88,667 2 44,333 11,400 ,003

Within Groups 35,000 9 3,889


(11)

Post Hoc Tests

Multiple Comparisons Jumlah Nyamuk Mati

LSD

(I) jenis pestisida (J) jenis pestisida

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound

Upper Bound

Malathion 0,8% Sipermethrin 0,75%

-4,500* 1,394 ,010 -7,65 -1,35

Kontrol 2,000 1,394 ,185 -1,15 5,15

Sipermethrin 0,75%

Malathion 0,8% 4,500* 1,394 ,010 1,35 7,65

Kontrol 6,500* 1,394 ,001 3,35 9,65

Kontrol Malathion 0,8% -2,000 1,394 ,185 -5,15 1,15

Sipermethrin 0,75%

-6,500* 1,394 ,001 -9,65 -3,35

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

MEDAN MAIMUN

Tests of Normalityb

jenis pestisida

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Jumlah Nyamuk Mati

Malathion 0,8% ,192 4 . ,971 4 ,850

Sipermethrin 0,75%

,382 4 . ,801 4 ,103

a. Lilliefors Significance Correction

b. Jumlah Nyamuk Mati is constant when jenis pestisida = Kontrol. It has been omitted.

Test of Homogeneity of Variances Jumlah Nyamuk Mati

Levene Statistic df1 df2 Sig.


(12)

ANOVA Jumlah Nyamuk Mati

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 253,167 2 126,583 48,479 ,000

Within Groups 23,500 9 2,611

Total 276,667 11

Post Hoc Tests

Multiple Comparisons Jumlah Nyamuk Mati

LSD

(I) jenis pestisida (J) jenis pestisida

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

Malathion 0,8% Sipermethrin 0,75%

-5,500* 1,143 ,001 -8,08 -2,92

Kontrol 5,750* 1,143 ,001 3,17 8,33

Sipermethrin 0,75%

Malathion 0,8% 5,500* 1,143 ,001 2,92 8,08

Kontrol 11,250* 1,143 ,000 8,67 13,83

Kontrol Malathion 0,8% -5,750* 1,143 ,001 -8,33 -3,17

Sipermethrin 0,75%

-11,250* 1,143 ,000 -13,83 -8,67


(13)

(14)

(15)

(16)

(17)

Lampiran 9. Lokasi Penelitian

Gambar 1 : Peta Kecamatan Medan Selayang


(18)

Lampiran 10. Dokumentasi Penelitian

Gambar 1. Proses pengambilan Jentik


(19)

Gambar 3. Kurungan Nyamuk


(20)

Gambar 5. Nyamuk yang Mati Ketika diberi Perlakuan


(21)

Gambar 7. Proses Pemindahan Nyamuk dari Tabung Uji ke dalam Tabung Holding


(22)

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, U.F., 2008. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Universitas Indonesia Pers. Jakarta.

--- 2011. Dasar-dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Edisi Revisi. Cetakan ke-2. Rajawali Pers. Jakarta.

--- 2014. Dasar-dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Edisi Revisi. Cetakan ke-4, Rajawali Pers. Jakarta.

Ahmad, I. dkk., 2009. Status Kerentanan Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) pada Tahun 2006-2007 Terhadap Malation di Bandung, Jakarta, Surabaya, Palembang dan Palu. Bandung.

Ambarita, L.P., 2014. Tingkat Kerentanan Aedes aegypti Terhadap Malathion di Provinsi Sumatera Selatan. Loka Litbang Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang. Baturaja. Vol 8-13.

Balitbangkes, 2002. Rumus Abbot. Dirjen PPM dan PLP Depkes RI. Jakarta. Bina Kimia, 2001. Mustang 25 EC. PT. Bina Guna Kimia. Jakarta.

Crosskey, 1993. Classification. http://www.museums.org.za/bio/insect.flies /index.htm. 7 Februari 2008.

Dahlan, M.S., 2011. Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan. Salemba Medika. Jakarta.

Darmono, 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran. Universitas Indonesia. Jakarta.

Depkes RI., 2000. Inventarisasi Tanaman Obat. Direktorat Jenderal Bina

Kefarmasian. Jakarta.

--- 2001. Petunjuk Teknis Pemberantasan Nyamuk Penular penyakit DBD.

Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI. Jakarta.

--- 2003. Pedoman Penanggulangan Demam Berdarah Dengue., Depkes RI, Jakarta.

--- 2004. Perilaku Hidup Nyamuk Aedes aegypti Sangat Penting

Diketahui Dalam Melakukan Kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk Termasuk Pemantauan Jentik Berkala. Buletin Jendela. Jakarta.

--- 2005. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Dirjen PP dan PL, Depkes RI. Jakarta.


(23)

--- 2007. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Depkes RI. Jakarta.

--- 2008. Profil Kesehatan Indonesia. Depkes RI. Jakarta.

--- 2010. Demam Berdarah Dengue. Buletin Jendela Epidemiologi. Depkes RI. Jakarta

--- 2014., Perkembangan Kasus Demam Berdarah di Indonesia.

http://www.depkes.go.id. 5 Juni 2014.

Diana, W. 2009. Dampak Negatif Penggunaan Pestisida di Lingkungan. Skripsi Online (http://repository.usu.ac.id) Diakses Juni 2012.

Dinas Kesehatan Kota Medan, 2015. Profil Kesehatan Kota Medan. Medan. Djojosumarto, P., 2004. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian. Cetakan ke-4,

Kanisius. Yogyakarta.

--- 2008. Pestisida dan Aplikasinya. Agromedia Pustaka. Jakarta. Erna, K., 2013. Uji Resistensi Sipermetrin dan Malathion Pada Aedes aegypti di

Daerah Endemis DBD Kabupaten Lombok Barat. Poltekkes Kemenkes

Mataram. Jurnal Kesehatan.

Ginanjar, G., 2006. Demam Berdarah. Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. Bandung.

Hadinegoro, S.R.H. dan Satari H.I., 2004. Demam Berdarah Dengue. Fakiultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Hadi, U.K., 2006. Hama Pemukiman Indonesia. Fakultas Kedokteran Hewan. IPB. Bogor.

Hamid, H., 2014. Bahan Ajar Pestisida. Fakultas Pertanian Agroekoteknologi. Universitas Andalas. Sumatera Barat.

Haryati, S., 2006. Optimalisasi Penggunaan Bawang Putih Sebagai Pengawet Alami Dalam Pengolahan Ikan Asin Jambal Roti. Thesis-IPB. Bogor. Jumar, 2000. Entomologi Pertanian. PT. Rineka Cipta. Jakarta.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia., 2012. Pedoman Penggunaan Insektisida

(Pestisida) dalam Pengendalian Vektor. Jakarta.

Kusnoputranto, H., 2000. Kesehatan Lingkungan. Fakultas Kesehatan Masyarakat


(24)

Magallona, E.D., 1980. Pesticide Management. Business day Corp. Inc – Philipiness.

Muchlastriningsih, E. dkk., 2004. Beberapa Pemeriksaan Yang Dapat Dilakukan Pada Kasus DBD, Berita Epidemiologi. Edisi Januari.

Notoatmodjo, S., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan.Rineka Cipta. Jakarta. Peraturan Menteri Kesehatan RI, 2010. Pengendalian Vektor. Dirjen PP dan PL

Kemenkes RI. Jakarta.

Rozendall, A., 1997. Vektor Control Methoda for Use by Individuals and Communities. WHO-Geneva. USA.

Salim, M. dkk,., 2009. Efektivitas Malathion dalam Pengendalian Vektor DBD dan Uji Kerentanan Larva Aedes aegypti Terhadap temephos di Kota Palembang. Loka Litbang P2B2. Baturaja. Vol 9.

Sembel, D.T.. 2009. Entomologi Kedokteran. ANDI. Yogyakarta.

Sembiring, O., 2009. Thesis : Efektivitas Beberapa Jenis Insektisida Terhadap Nyamuk Aedes aegypti. Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Medan.

Shinta, Supratman S. dan Asri F., 2006. Kerentanan Nyamuk Aedes aegypti di Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Bogor terhadap Insektisida Malathion dan Lambdacyhalothrin. Jurnal Kesehatan.

Siswanto, H., 2003. Kamus Populer Kesehatan Lingkungan. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Sitio A., 2008. Hubungan Perilaku Tentang Pemberantasan Sarang Nyamuk dan Kebiasaan Keluarga dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Medan Perjuangan Kota Medan Tahun 2008. Thesis. Universitas Dipenogoro. Semarang.

Soegijanto, S., 2006. Demam Berdarah Dengue. Airlangga University Press. Surabaya.

Sutanto, I. dkk., 2008. Parasitologi Kedokteran. Cetakan ke-4. Departemen Parasitologi fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

--- 2012. Demam Berdarah Dengue. Edisi Kedua. Airlangga University Press. Surabaya

Soemirat, J., 2009. Toksikologi Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.


(25)

Sudarmo, S., 2007. Pestisida. Kanisius. Yogyakarta.

Sumantri, A., 2011. Metodologi Penelitian Kesehatan. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.

Tabashnik, B.E., (2011). Pesticide Resistance - History and Extent of Insecticide Resistance, Genetics and Biochemistry of Resistance, Delaying Evolution of Resistance".

Tarumingkeng, R., 1992. Insektisida. Ukrida. Jakarta.

Tarumingkeng, 2008. Pestisida dan Penggunaannya. IPB. Bogor

Untung, K., 2004. Manajemen Resistensi Pestisida Sebagai Penerapan Pengelolaan Hama Terpadu. Universitas Gajahmada. Yogyakarta.

Widiarti, dkk., 2000. Peta Resistensi Vektor DBD Aedes aegypti Terhadap Insektisida Kelompok Organofosfat, Karbamat, dan Piretroid di Provinsi Jawa Tengan dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit Salatiga.

--- 2011. Studi Resistensi Nyamuk Aedes aegypti terhadap Berbagai Kelompok Insektisida di Berbagai Wilayah di Indonesia. Salatiga. Vol 39 World Health Organization (WHO)., 1992. Insect and Rodent Control Through Environmental Management. Geneva.

--- 2004. Climate Change and Human Health. Geneva.

--- 2013. Panduan Lengkap Pencegahan dan

Pengendalian Dengue dan Demam Berdarah Dengue. Buku Kedokteran

EGC. Jakarta.

--- 2013. Test Procedures for Insecticide Resistance Monitoring in Malaria vector Mosquitoes. ISBN. Geneva.

Yudhastuti, Ririh dan Anny Vidiyani, 2005. Hubungan Kondisi Lingkungan, Kontainer, dan Perilaku Masyarakat dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes aegypti di Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue Surabaya. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.1, No.2, Januari 2005. Surabaya


(26)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen yang bersifat eksperimen semu (quasi eksperiment). Uji resistensi ini dilakukan untuk mengetahui status kerentanan nyamuk Aedes aegypti di daerah endemis DBD Kota Medan terhadap Malathion dan Sipermethrin sebagai bahan aktif pengendali vektor yang di aplikasikan dengan metode pengasapan atau thermal fogging. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah post test only control group design yaitu melakukan pengukuran atau observasi sesudah perlakuan diberikan tanpa melakukan tes awal. Percobaan dilakukan dengan tiga perlakuan yaitu perlakuan kontrol (tanpa insektisida) dan 2 perlakuan lainnya diberi kontak antara nyamuk Aedes aegypti dengan Insecticide impregnated paper (Malathion 0,8% dan Sipermethrin 0,75%). Semua perlakuan tersebut diberi pengulangan sebanyak 4 kali untuk mendapatkan hasil yang akurat.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Laboratorium Entomologi Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Kelas I Medan.


(27)

Lokasi pengambilan sampel dilakukan di daerah endemis DBD Kota Medan yaitu Kecamatan Medan Selayang dan Kecamatan Medan Maimun. Adapun alasan pemilihan lokasi pengambilan sampel adalah :

1. Menurut data penyakit DBD dari Dinas Kesehatan Kota Medan tahun 2015 Kecamatan Medan Selayang adalah daerah endemis tertinggi dari 21 Kecamatan yang berada di Kota Medan

2. Kecamatan Medan Maimun adalah daerah endemis terendah di Kota Medan.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari-Mei 2016.

3.3 Objek Penelitian dan Sampel

3.3.1 Objek Penelitian

Objek penelitian adalah nyamuk Aedes aegypti dewasa. Proses memperoleh nyamuk dewasa dengan mengoleksi jentik dari lingkungan rumah warga yang sudah pernah di fogging (hanya pada tahun 2015 dan 2016) yang berada di Kecamatan Medan Selayang dan Kecamatan Medan Maimun. Kemudian dilakukan proses rearing (perkembangbiakan) sampai diperoleh nyamuk dewasa. Jumlah nyamuk yang dibutuhkan untuk penelitian ini adalah sebanyak 240 ekor nyamuk Aedes aegypti dewasa dari setiap Kecamatan dengan perincian 3 kelompok perlakuan diberi ulangan sebanyak 4 kali. Setiap ulangan membutuhkan nyamuk sebanyak 20 ekor.


(28)

3.3.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah jentik nyamuk yang diambil dari lingkungan rumah warga yang sudah pernah di fogging (hanya pada tahun 2015 dan 2016) yang berada di Kecamatan Medan Selayang dan Kecamatan Medan Kota. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling dengan kriteria jentik yang diambil adalah jentik yang berada di seluruh penampungan air yang tidak beralaskan tanah dan barang-barang bekas yang berada di lingkungan rumah warga.

3.4 Metode Pengumpulan Data

3.4.1 Data Primer

Data primer diperoleh dari hasil uji Susceptibility Malathion dan Sipermethrin terhadap nyamuk Aedes aegypti di Laboratorium Entomologi Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Kelas I Medan. Resistensi nyamuk Aedes aegypti digambarkan oleh banyaknya nyamuk Aedes aegypti yang mati, knockdown (pingsan) dan yang bertahan hidup akibat pemaparan Malathion dan Sipermethrin .

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari Kantor Dinas Kesehatan Kota Medan, penelitian terdahulu, buku dan literatur-literatur serta jurnal kesehatan yang mendukung penelitian ini.


(29)

3.5 Defenisi Operasional

1. Malathion adalah insektisida yang berasa dari golongan organophospat yang digunakan sebagai bahan aktif fogging untuk pengendalian nyamuk Aedes aegypti.

2. Sipermethrin adalah insektisida yang berasal dari golongan pyrethroid yang digunakan sebagai bahan aktif fogging untuk pengendalian nyamuk Aedes aegypti.

3. Uji Susceptibility adalah uji di Laboratorium untuk mengetahui status resistensi nyamuk Aedes aegypti terhadap Malathion dan Sipermethrin dengan menggunakan impregnated paper.

4. Status resistensi adalah tingkat ketahanan hidup nyamuk Aedes aegypti yang telah terpapar Malathion dan Sipermethrin.

5. Kematian nyamuk Aedes aegypti adalah nyamuk dewasa yang tidak dapat terbang lagi akibat apa saja yang merobohkan nyamuk seperti kehilangan kaki atau sayap.

6. Suhu adalah keadaan udara ruangan yamg diukur dengan thermometer pada saat penelitian dilaksanakan dengan satuan derajat celcius.

7. Kelembaban adalah kelembaban udara di lokasi penelitian yang diukur dengan hygrometer dengan satuan persen.

3.6 Metode Pengukuran

Metode pengukuran pada penilitian ini adalah menggunakan uji susceptibility sesuai standar WHO (World Health Organization) dengan menggunakan impregnated paper (lembaran yang sudah mengandung insektisida).


(30)

Kematian setiap unit uji insektisida dihitung persentase kematiannya dengan

rumus : % kematian = x 100%

dan apabila persentase kematian pada kelompok kontrol 5-20% maka data dikoreksi denga rumus Abbort, yaitu :

% kematian = x 100%

Data persentase kematian nyamuk Aedes aegypti selanjutnya dengan kriteria susceptibility terhadap insektisida menurut WHO (World Health Organization, 1975) untuk menentukan status resistensinya, yaitu kebal/resistensi bila kematian <80%, toleran bila kematian antara 80%-98%, dan rentan bila kematian antara 99%-100%.

3.7 Instrumen Penelitian

3.7.1 Alat Penelitian

1. Sepuluh buah tabung plastik (125mm dan 44mm diameter) dengan masing-masing tabung ditutup di salah satu ujung dengan kasa. Empat tabung ditandai dengan titik merah untuk digunakan sebagai tabung paparan yang akan diisi dengan kertas insektisida (impregnated paper), yaitu untuk mengekspos nyamuk terhadap insektisida, empat tabung ditandai dengan titik hijau untuk digunakan sebagai pre-test penyortiran dan pasca-paparan pengamatan. Dua tabung lainnya digunakan sebagai tabung kontrol.


(31)

Gambar 3.Tabung Plastik Untuk Uji Resistensi

2. Empat unit slide, masing-masing dilengkapi dengan sekrup-cap di kedua sisi sebagai penutup dan pembuka lobang pada tabung.


(32)

3. Aspirator digunakan untuk memindahkan nyamuk dari dalam kurungan nyamuk kedalam tabung tersebut.

Gambar 5.Aspirator 4. Pencatat waktu.


(33)

Gambar 6.Kurungan Nyamuk

6. Kain kasa terbuat dari bahan seperti kelambu halus yang digunakan untuk mencegah nyamuk dewasa lepas.


(34)

7. Lembar form isian hasil uji. 8. Masker dan sarung tangan.

3.7.2 Bahan Penelitian

1. Delapan lembar kertas bersih/HVS (12 x15cm) untuk melapisi tabung holding. 2. Empat lembar kertas uji berinsektisida Malathion 0,8%.

3. Empat lembar kertas uji berinsektisida Sipermethrin 0,75%. 4. Nyamuk Aedes aegypti dewasa.

5. Larutan glukosa 10%.

3.8 Tata Cara Penelitian

3.8.1 Cara Pengambilan Jentik

Cara pengambilan jentik pada penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1. Mengumpulkan jentik sebanyak 300 dari lingkungan rumah warga yang sudah pernah di fogging (hanya pada tahun 2015 dan 2016) yang berada di Kecamatan Medan selayang dan Kecamatan Medan Kota. Nyamuk yang dibutuhkan dalam penelitian di Laboratorium adalah 240 ekor nyamuk dewasa Aedes aegypti, tetapi jentik yang diambil sebanyak 300 sebagai antisipasi di Laboratorium jika proses rearing terhadap jentik ada yang gagal atau mati. 2. Jentik yang diambil dari lingkungan rumah warga minimal nya 20 rumah. 3. Jentik diambil dengan menggunakan pipet kemudian dimasukkan ke dalam

botol yang berisi air dengan volume setengah dari besar botol tersebut.

4. Jentik yang sudah dikoleksi kemudian di rearing di Laboratorium hingga jentik berubah menjadi nyamuk dewasa.


(35)

5. Kemudian nyamuk dewasa tersebut yang akan dijadikan objek dalam penelitian ini.

3.8.2 Prosedur Penelitian di Laboratorium

1. Enam lembar kertas putih bersih (12x15cm), digulung menjadi bentuk silinder, yang dimasukkan ke dalam enam tabung dengan perincian dua tabung untuk perlakuan Sipermethrin, dua tabung untuk Malathion dan dua tabung lagi untuk tabung kontrol. Kemudian pada tabung diletakkan klip tembaga untuk mencegah nyamuk terjepit diselah-selah kertas tersebut.

2. Kemudian 20 ekor nyamuk Aedes aegypti yang kenyang gula diambil menggunakan aspirator dari kandang nyamuk dipindahkan ke dalam 4 tabung yang bertanda titik hijau.

3. Kemudian tabung hijau dan tabung merah direkatkan menggunakan slide dengan sekrup cup.

4. Nyamuk dipindahkan ke dalam tabung bertanda titik merah yang telah diisi dengan kertas uji berinsektisida dengan cara membuka slide penutup dan setelah seluruh nyamuk berpindah slide ditutup kembali.

5. Dua tabung kontrol dilapisi kertas tanpa insektisida masing-masing diikat ke posisi dengan klip tembaga.

6. Nyamuk disimpan dalam tabung paparan, yang diatur dalam posisi vertikal dengan mesh layar berakhir paling atas, untuk jangka waktu 1 jam (60 menit). 7. Tabung diatur dalam posisi tegak selama satu jam. Pada akhir waktu ini, setiap


(36)

8. Pada akhir periode paparan 1 jam, nyamuk ditransfer kembali ke tabung yang bertanda titik hijau (tabung holding).

9. Nyamuk dibiarkan dalam tabung hijau selama 24 jam (pemulihan periode). Selama pemulihan ini, penting untuk menjaga tabung holding ditempat yang terlindung bebas dari temperatur yang ekstrem. Suhu dan kelembaban harus dicatat selama periode pemulihan.

10. Pada akhir periode pemulihan (24 jam pasca pajanan), jumlah nyamuk mati dihitung dan dicatat. Nyamuk dewasa dianggap hidup jika mampu terbang, terlepas dari jumlah kaki yang tersisa. Apa saja yang merobohkan nyamuk, apakah mereka telah kehilangan kaki atau sayap dihitung sebagai mati.

3.9 Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil uji di Laboratorium akan dianalisis secara statistik dengan menggunakan program statistik komputer. Program statistik yang digunakan akan ditampilkan dalam bentuk tabel.

3.9.1 Uji Shapiro Wilk

Uji Shapiro Wilk digunakan untuk mengetahui data berdistribusi normal atau tidak. Adapun hipotesis yang akan diuji adalah :

Ho : Distribusi data kematian nyamuk berdistribusi normal. Ha : Distribusi data kematian nyamuk berdistribusi tidak normal. Dengan dasar pengambilan keputusan :

Jika probabilitas > 0,05, maka Ho diterima Jika probabilitas < 0,05, maka Ho ditolak


(37)

3.9.2 Uji Levene

Uji Levene digunakan untuk mengetahui varians data homogen atau tidak. Adapun hipotesis yang akan diuji adalah :

Ho : Varians data populasi darimana data sampel ditarik seragam (homogen) Ha : Varians data populasi darimana data sampel ditarik tidak seragam (tidak

homogen)

3.9.3 Uji ANOVA

Uji ANOVA digunakan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan rerata kematian nyamuk Aedes aegypti yang berada di dalam tabung kontrol dengan kematian nyamuk yang berada di dalam tabung yang telah diisi kertas berinsektisida (Malathion dan Sipermethrin). Uji ANOVA digunakan apabila data berdistribusi normal dan datanya homogen. Apabila data yang diolah berdistribusi tidak normal maka digunakan uji Kruskal-wallis.

Jika hasil uji Anova menunjukkan adanya perbedaan rata-rata kematian nyamuk Aedes aegypti yang berada di dalam tabung kontrol dengan tabung yang telah diisi kertas berinsektisida (Malathion dan Sipermethrin) maka analisis dilanjutkan dengan uji lanjutan/post hoc test. Post hoc test digunakan karena uji Anova hanya memberikan informasi tentang ada tidaknya beda antar rata-rata dari keseluruhan perlakuan, namun belum memberikan informasi tentang ada tidaknya perbedaan antara perlakuan yang satu dengan perlakuan yang lainnya. Salah satu post hoc test yang dapat digunakan adalah prosedur uji Tukey atau metode uji LSD (Least Significance Different).


(38)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Medan merupakan salah satu daerah endemis DBD di Indonesia dengan kejadian yang memiliki risiko tinggi. Kota Medan dengan luas 26.510 Hektar (265,10 Km2) ini memiliki 21 Kecamatan. Kecamatan yang memiliki data laporan DBD paling tinggi adalah Kecamatan Medan Selayang dan yang paling rendah adalah Kecamatan Medan Maimun. Kedua Kecamatan ini dijadikan lokasi pengambilan sampel penelitian.

Kecamatan Medan Selayang secara geografis berada di wilayah Barat Daya Kota Medan. Kecamatan Medan Selayang dibagi menjadi 6 kelurahan dan 63 lingkungan dengan status kelurahan swasembada. Adapun luas wilayah Kecamatan Medan Selayang adalah ± 2.379 Ha. Wilayah-wilayah yang berdekatan dan berbatasan langsung dengan Kecamatan Medan Selayang adalah : Sebelah Utara dengan Kecamatan Medan Baru dan Medan Sunggal, Selatan dengan Kecamatan Medan Tuntungan dan Medan, Timur dengan Kecamatan Medan Polonia dan Sebelah Barat dengan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang.

Kecamatan Medan Maimun secara geografis berbatasan dengan Medan Polonia di sebelah Barat, Medan Kota di Timur, Medan Johor di Selatan, dan Medan Petisah di Utara. Luasnya adalah 2,98 km² dengan jumlah kelurahan sebanyak 6 kelurahan.


(39)

Lokasi pengujian dilakukan di Laboratorium Entomologi Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Kelas I Medan. Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) di lingkungan Kementrian Kesehatan yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. BTKLPP Medan mempunyai tugas melaksanakan surveilans epidemiologi, kajian dan penapisan teknologi, laboratorium rujukan, kendali mutu, kalibrasi, pendidikan dan pelatihan, pengembangan model dan teknologi tepat guna, kewaspadaan dini dan penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) di bidang pengendalian penyakit dan kesehatan lingkungan serta kesehatan matra.

BTKL Medan resmi didirikan pada tahun 1998 berdasarkan surat Kepmenkes 392/MENKES/SK/IV/1998 dan beroperasi pada tahun 1998. Pada tahun 2004 BTKL Medan Berubah Menjadi BTKLPP Kelas I Medan. Saat ini lokasi Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Kelas I Medan terletak di Jalan KH. Wahid Hasyim No. 15 Medan. Kepala balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Kelas I Medan saat ini adalah Dr. Dra. Indah Anggraini, M.Si.

4.2 Pengukuran Suhu dan Kelembaban

Pengukuran suhu dan kelembaban di dalam ruangan Laboratorium dapat dilihat seperti variabel di bawah ini :


(40)

4.2.1 Pengukuran Suhu

Hasil pengukuran suhu di dalam ruangan Laboratorium yang diukur menggunakan thermometer pada seluruh perlakuan dan pada setiap pengulangan

sebanyak 4 kali selama 7 hari penelitian sekitar 27˚C - 30˚C.

4.2.2 Pengukuran Kelembaban

Hasil pengukuran kelembaban di dalam ruangan Laboratorium yang diukur menggunakan hygrometer pada seluruh perlakuan dan pada setiap pengulangan sebanyak 4 kali selama 7 hari penelitian sekitar 70% - 74%.

4.3 Kematian Nyamuk Aedes aegypti dalam Uji Resistensi Malathion 0,8%

dan Sipermethrin 0,75%

Penelitian ini dilakukan untuk melihat status resistensi nyamuk Aedes aegypti terhadap Malathion dan Sipermethrin. Resistensi nyamuk Aedes aegypti terhadap Malathion dan Sipermethrin dapat dilihat dari banyaknya jumlah nyamuk yang mati setelah dikontakkan dengan insektisida tersebut. Nyamuk dikontakkan selama satu jam didalam tabung yang sudah dilapisi dengan kertas yang sudah mengandung insektisida (impregnated paper) yaitu Malathion 0,8% dan Sipermethrin 0,75%, sedangkan tabung yang dilapisi dengan kertas yang tidak mengandung insektisida sebagai kontrol. Ketiga perlakuan tersebut diujikan kepada nyamuk dewasa yang dimasukkan kedalam tabung sebanyak 20 ekor nyamuk Aedes aegypti. Jumlah nyamuk yang pingsan (knock down) dihitung setelah 1 jam perlakuan sedangkan jumlah nyamuk yang mati dihitung setelah 24 jam perlakuan.


(41)

Pada perlakuan kontrol yang dikontakkan dengan kertas yang tidak mengandung insektisida tidak didapat nyamuk yang mengalami pingsan (knock down) (setelah 1 jam perlakuan) dan juga nyamuk yang mati (setelah 24 jam perlakuan) atau jumlah kematian 0. Kematian pada nyamuk kontrol ini menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh lingkungan (suhu dan kelembaban didalam ruangan) terhadap kematian nyamuk yang berada didalam tabung uji tersebut.

Hasil pengamatan untuk uji resistensi terhadap Malathion 0,8% dapat dilihat pada tabel 4.1 :

Tabel 4.1 Jumlah Nyamuk yang Mati dalam Uji Resistensi Malathion 0,8% Terhadap Nyamuk Aedes aegypti yang berasal dari Kecamatan Medan Selayang Tahun 2016

Pengamatan Jumlah pengulangan Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4

Suhu paparan (selama 1 jam) 29˚C 29˚C 29˚C 30˚C

Suhu holding (selama 24 jam) 28˚C 28˚C 28˚C 29˚C

Kelembaban paparan(selama 1 jam)

69% 70% 72% 72%

Kelembaban holding (selama 24 jam)

70% 70% 71% 70%

Jam mulai exposure (Kontak) 11.30 11.37 11.51 12.05 Lama kontak 60 menit 60 menit 60 menit 60 menit

Jumlah nyamuk yang diuji (ekor) 20 20 20 20

Jumlah nyamuk yang knock down 4 2 2 6

Jumlah nyamuk yang mati 2 0 1 2

Persentase kematian nyamuk (%) 10% 0% 5% 10%

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa rata-rata kematian nyamuk yang berasal dari Kecamatan Medan Selayang yang dikontakkan dengan Malathion 0,8% selama 60 menit didapatkan efek knock-down (setelah 1 jam perlakuan) dengan


(42)

rata-rata nyamuk yang pingsan sebanyak 3-4 ekor, dan rata-rata kematian nyamuk setelah 24 jam adalah sebanyak 1-2 ekor nyamuk.

Tabel 4.2 Jumlah Nyamuk yang Mati dalam Uji Resistensi Malathion 0,8% Terhadap Nyamuk Aedes aegypti yang berasal dari Kecamatan Medan Maimun Tahun 2016

Pengamatan Jumlah pengulangan Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4 Suhu paparan (selama 1 jam)

Suhu holding (selama 24 jam)

27˚C

28˚C 27˚C27˚C 28˚C28˚C 28˚C28˚C

Kelembaban paparan (selama 1 jam)

69% 72% 69% 72%

Kelembaban holding (selama 24 jam)

72% 70% 71% 70%

Jam mulai exposure (Kontak) Lama kontak 12.10 60 menit 12.15 60 menit 13.14 60 menit 13.18 60 menit

Jumlah nyamuk yang diuji 20 20 20 20

Jumlah nyamuk yang knock down

2 4 6 8

Jumlah nyamuk yang mati 4 4 8 6

Persentase kematian nyamuk (%)

20% 20% 40% 30%

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa rata-rata kematian nyamuk yang berasal dari Kecamatan Medan Maimun yang dikontakkan dengan Malathion 0,8% selama 60 menit didapatkan efek knock-down (setelah 1 jam perlakuan) dengan rata-rata nyamuk yang pingsan sebanyak 5 ekor, dan rata-rata kematian nyamuk setelah 24 jam adalah sebanyak 5-6 ekor nyamuk.


(43)

Tabel 4.3 Jumlah Nyamuk yang Mati dalam Uji Resistensi Sipermethrin 0,75% Terhadap Nyamuk Aedes aegypti yang berasal dari Kecamatan Medan Selayang Tahun 2016

Pengamatan Jumlah pengulangan Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4

Suhu paparan (selama 1 jam) 28˚C 28˚C 29˚C 30˚C

Suhu holding (selama 24 jam) 28˚C 29˚C 30˚C 30˚C Kelembaban paparan (selama 1

jam)

71% 71% 70% 69%

Kelembaban holding (selama 24 jam)

70% 70% 74% 72%

Jam mulai exposure (Kontak) 10.45 12.20 13.17 13.35 Lama kontak 60 menit 60 menit 60 menit 60 menit

Jumlah nyamuk yang diuji 20 20 20 20

Jumlah nyamuk yang knock down

6 5 8 3

Jumlah nyamuk yang mati 7 10 4 5

Persentase kematian nyamuk (%)

35% 50% 20% 25%

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa rata-rata kematian nyamuk yang berasal dari Kecamatan Medan Selayang yang dikontakkan dengan Sipermethrin 0,75% selama 60 menit didapatkan efek knock-down (setelah 1 jam perlakuan) dengan rata-rata nyamuk yang pingsan sebanyak 5-6 ekor, dan rata-rata kematian nyamuk setelah 24 jam adalah sebanyak 6-7 ekor nyamuk.

Tabel 4.4 Jumlah Nyamuk yang Mati dalam Uji Resistensi Sipermethrin 0,75% Terhadap Nyamuk Aedes aegypti yang berasal dari Kecamatan Medan Maimun Tahun 2016

Pengamatan Jumlah pengulangan Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4

Suhu paparan (selama 1 jam) 28˚C 27˚C 28˚C 28˚C

Suhu holding (selama 24 jam) 28˚C 28˚C 29˚C 29˚C Kelembaban paparan (selama


(44)

Tabel 4.4 Lanjutan

Kelembaban holding (selama 24

jam) 73% 70% 71% 70%

Jam mulai exposure (Kontak) 12.15 12.25 13.45 14.00 Lama kontak 60 menit 60 menit 60 menit 60 menit

Jumlah nyamuk yang diuji 20 20 20 20

Jumlah nyamuk yang knock down 6 8 7 10

Jumlah nyamuk yang mati 13 12 8 12

Persentase kematian nyamuk (%) 65% 60% 40% 60% Tabel 4.4 menunjukkan bahwa rata-rata kematian nyamuk yang berasal dari Kecamatan Medan Maimun yang dikontakkan dengan Sipermethrin 0,75% selama 60 menit didapatkan efek knock-down (setelah 1 jam perlakuan) dengan rata-rata nyamuk yang pingsan sebanyak 7-8 ekor, dan rata-rata kematian nyamuk setelah 24 jam adalah sebanyak 11-12 ekor nyamuk.

Tabel 4.5 Rata-rata Kematian Nyamuk dalam Uji Resistensi Malathion 0,8% dan Sipermethrin 0,75% pada Nyamuk Aedes aegypti yang berasal dari Kecamatan Medan Selayang dan pada tabung Kontrol Tahun 2016 Tabung Perlakuan Jumlah nyamuk

yang diuji (ekor)

Rata-rata Kematian Nyamuk Jumlah

nyamuk(ekor)

Persentase (%)

Kontrol 80 0 0%

Malathion 0,8% 80 1,25 5%

Sipermethrin 0,75% 80 6,5 32,5%

Tabel 4.5 menunjukkan bahwa rata-rata kematian nyamuk yang berada di tabung kontrol dengan pengulangan 4 kali dan setiap pengulangan menggunakan 20 ekor nyamuk didapatkan rata-rata persentase kematian nyamuk sebesar 0%, tabung uji Malathion didapatkan rata-rata persentase kematian nyamuk sebesar 5%, dan pada tabung uji Sipermethrin 0,75 didapatkan rata-rata persentase kematian nyamuk sebesar 32,5%.


(45)

Tabel 4.6 Rata-rata Kematian Nyamuk dalam Uji Resistensi Malathion 0,8% dan Sipermethrin 0,75% pada Nyamuk Aedes aegypti yang berasal dari Kecamatan Medan Maimun dan pada tabung kontrol Tahun 2016 Tabung Perlakuan Jumlah nyamuk

yang diuji (ekor)

Rata-rata Kematian Nyamuk Jumlah

nyamuk(ekor)

Persentase (%)

Kontrol 80 0 0%

Malathion 0,8% 80 5,5 27,5%

Sipermethrin 0,75% 80 11,25 56,25%

Tabel 4.6 menunjukkan bahwa rata-rata kematian nyamuk yang berada di pada tabung kontrol dengan pengulangan 4 kali dan setiap pengulangan menggunakan 20 ekor nyamuk didapatkan didapatkan rata-rata persentase kematian nyamuk sebesar 0%, tabung perlakuan Malathion didapatkan rata-rata persentase kematian nyamuk sebesar 27,5% dan pada tabung perlakuan Sipermethrin 0,75 didapatkan rata-rata persentase kematian nyamuk sebesar 56,25%.

Gambar 8. Diagram Kematian Nyamuk yang berasal dari Kecamatan Medan Selayang pada tabung Kontrol dan yang diberi perlakuan (Malathion dan Sipermethrin)

0

2

7

0 0

10 0 1 4 0 2 5 0 2 4 6 8 10 12

Kontrol Malathion 0,8% Sipermethrin

0,75% Ju m la h k em ati an n y am u k Pengulangan 1 Pengulangan 2 Pengulangan 3 Pengulangan 4


(46)

Gambar 9. Diagram Kematian Nyamuk yang berasal dari Kecamatan Medan Maimun pada tabung Kontrol dan yang diberi perlakuan (Malathion dan Sipermethrin)

4.4. Hasil Uji Shapiro Wilk

Tabel 4.7 Uji Kenormalan Data Jumlah kematian Nyamuk di Kecamatan Medan Selayang Tahun 2016

Jenis Pestisida

Shapiro Wilk Statistik Derajat

Bebas Signifikansi Jumlah Nyamuk

yang Mati

Malathion 0,8% 0,250 4 0,577

Sipermethrin 0,75% 0,215 4 0,689

Pada tabel 4.7 hasil uji Shapiro Wilk pada jumlah kematian nyamuk yang berasal dari Kecamatan Medan Selayang yang dikontakkan dengan Malathion menunjukkan bahwa nilai signifikansi atau probabilitas adalah 0,577, p=0,577 > 0,05 artinya Ho diterima, dan Sipermethrin menunjukkan bahwa nilai signifikansi atau probabilitas adalah 0,689, p=0,689 > 0,05 artinya Ho diterima. Hal ini

0 4 13 0 4 12 0

8 8

0 6 12 0 2 4 6 8 10 12 14

Kontrol Malathion 0,8% Sipermethrin

0,75% Ju m la h k em at ia n n y am u k Pengulangan 1 Pengulangan 2 Pengulangan 3 Pengulangan 4


(47)

menunjukkan bahwa distribusi data kematian nyamuk yang berada di Kecamatan Medan Selayang berdistribusi normal.

Tabel 4.8 Uji Kenormalan Data Jumlah kematian Nyamuk di Kecamatan Medan Maimun Tahun 2016

Jenis Pestisida

Shapiro Wilk Statistik Derajat

Bebas Signifikansi Jumlah Nyamuk

yang Mati

Malathion 0,8% 0,250 4 0,850

Sipermethrin 0,75% 0,215 4 0,103

Tabel 4.8 hasil uji Shapiro Wilk pada jumlah kematian nyamuk yang berasal dari Kecamatan Medan Maimun yang dikontakkan dengan Malathion menunjukkan bahwa nilai signifikansi atau probabilitas adalah 0,850, p=0,850 > 0,05 artinya Ho diterima, dan Sipermethrin menunjukkan bahwa nilai signifikansi atau probabilitas adalah 0,103, p=0,103 > 0,05 artinya Ho diterima. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi data kematian nyamuk yang berada di Kecamatan Medan Maimun berdistribusi normal.

4.5 Hasil Uji Levene

Hasil uji Levene menunjukkan bahwa nilai signifikansi atau probabilitasnya adalah 0,60, p=0,60 > 0,05, artinya Ho diterima yang berarti data yang diperoleh dari sampel Kecamatan Medan Selayang seragam (homogen) dan hasil uji Levene untuk Kecamatan Medan Maimun menunjukkan bahwa nilai signifikansi atau probabilitasnya adalah 0,60, p=0,60 > 0,05, artinya Ho diterima yang berarti data seragam (homogen).


(48)

4.6 Hasil Uji Anova One Way

Uji Anova One Way dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan rata-rata kematian nyamuk Aedes aegypti yang berada di dalam tabung kontrol dengan tabung Malathion dan Sipermethrin. Hasil Uji Anova One Way pada kematian nyamuk yang berada di tabung kontrol dengan tabung yang sudah diisi kertas insektisida dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 4.9 Hasil uji Anova One Way Jumlah Kematian Nyamuk dalam tabung Uji (Malathion dan Sipermethrin) dan tabung kontrol yang berasal dari Kecamatan Medan Selayang Tahun 2016

Tabung Perlakuan Jumlah Kuadrat

Derajat Bebas

Kuadrat

Tengah Signifikansi

Kontrol 0,003

Malathion 0,8% 88,667 2 44,333

Sipermethrin 0,75% 35,000 9 3,889

Total 123,667 11

Berdasarkan tabel 4.9 hasil uji statistik Anova One Way diperoleh p-value = 0,003 < 0,005 artinya Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa adanya perbedaan rerata kematian nyamuk Aedes aegypti yang berada di dalam tabung kontrol dengan kematian nyamuk yang berada di dalam tabung uji (Malathion 0,8% dan Sipermethrin 0,75%) sehingga dilanjutkan dengan melakukan analisis Post Hoc. Tabel 4.10 Hasil uji Anova One Way Jumlah Kematian Nyamuk dalam tabung Uji

(Malathion dan Sipermethrin) dan tabung kontrol yang berasal dari Kecamatan Medan Maimun Tahun 2016

Tabung Perlakuan Jumlah Kuadrat

Derajat Bebas

Kuadrat

Tengah Signifikansi

Kontrol 0,0001

Malathion 0,8% 253,167 2 126,583

Sipermethrin 0,75% 23,500 9 2,611


(49)

Berdasarkan tabel 4.10 hasil uji statistik Anova One Way diperoleh p-value = 0,0001 < 0,005 artinya Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa adanya perbedaan rerata kematian nyamuk Aedes aegypti yang berasal dari Kecamatan Medan Maimun yang berada di dalam tabung kontrol dengan kematian nyamuk yang berada di dalam tabung uji (Malathion 0,8% dan Sipermethrin 0,75%) sehingga dilanjutkan dengan melakukan analisis Post Hoc.

4.7 Hasil Uji LSD (Least Significance Different)

Uji Anova hanya memberikan indikasi tentang ada tidaknya beda antar rata-rata dari keseluruhan perlakuan, namun belum memberikan informasi tentang ada tidaknya perbedaan signifikan antar rata-rata perlakuan yang satu dengan perlakuan yang lainnya, maka itu diperlukan uji lanjutan (post hoc test). Uji LSD (Least Significance Different) merupakan salah satu uji lanjutan yang dapat digunakan untuk menentukan apakah rata-rata dua perlakuan berbeda secara statistik atau tidak. Hasil uji LSD (Least Significance Different) dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 4.11 Hasil Uji LSD (Least Significance Different) pada Kematian Nyamuk yang berasal dari Kecamatan Medan Selayang Tahun 2016

Jenis Insektisida Beda Rerata

(I-J) p-value

Jenis Insektisida (I) Jenis Insektisida (J)

Kontrol Malathion 0,8%

Sipermethrin 0,75%

-2,000 -6,500*

0,185 0,001 Malathion 0,8% Sipermethrin 0,75%

Kontrol

-4,500* 2,000

0,010 0,185 Sipermethrin 0,75% Malathion 0,8%

Kontrol

4,500* 6,500*

0,010 0,001 Keterangan : Tanda (*) = berbeda nyata (p-value < 0,05)


(50)

Tabel 4.11 menunjukkan bahwa tabung Kontrol dengan Malathion 0,8% memiliki p-value 0,185 > 0,05, maka Ho diterima yang berarti tidak ada perbedaan kematian nyamuk yang berada di tabung Kontrol dengan tabung Malathion 0,8% disebabkan kematian pada tabung Malathion sangat rendah dan tabung Kontrol dengan Sipermetrhin 0,75% memiliki p-value 0,001 < 0,005 maka Ho ditolak yang berarti ada perbedaan nyata kematian nyamuk antara tabung Kontrol dengan tabung Sipermethrin 0,75%. Malathion 0,8% dan Sipermethrin 0,75% memiliki p-value 0,010 < 0,05, maka Ho ditolak yang berarti ada perbedaan nyata daya bunuh antara Malathion dan Sipermethrin.

Tabel 4.12 Hasil Uji LSD (Least Significance Different) pada Kematian Nyamuk yang berasal dari Kecamatan Medan Maimun Tahun 2016

Jenis Insektisida Beda Rerata

(I-J) p-value Jenis Insektisida (I) Jenis Insektisida (J)

Kontrol Malathion 0,8%

Sipermethrin 0,75%

-5,750* -11,250*

0,001 0,0001 Malathion 0,8% Sipermethrin 0,75%

Kontrol

-5,500* 5,750*

0,001 0,001 Sipermethrin 0,75% Malathion 0,8%

Kontrol

5,500* 11,250*

0,001 0,0001 Keterangan : Tanda (*) = berbeda nyata (p-value < 0,05)

Tabel 4.12 menunjukkan bahwa tabung Kontrol dengan Malathion 0,8% memiliki p-value 0,001 < 0,05, maka Ho ditolak yang berarti ada perbedaan kematian nyamuk yang berada di tabung Kontrol dengan tabung Malathion 0,8% dan tabung Kontrol dengan Sipermetrhin 0,75% memiliki p-value 0,0001 < 0,005 maka Ho ditolak yang berarti ada perbedaan nyata kematian nyamuk antara tabung Kontrol dengan tabung Sipermethrin 0,75%. Malathion 0,8% dan Sipermethrin 0,75% memiliki p-value 0,001 < 0,05, maka Ho ditolak yang berarti ada perbedaan nyata daya bunuh antara Malathion dan Sipermethrin.


(51)

BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Suhu dan Kelembaban

Suhu dan kelembaban adalah faktor yang mempengaruhi perkembangan hidup nyamuk selama di Laboratorium.

5.1.1 Suhu

Selama penelitian berlangsung dilakukan pengukuran suhu dengan menggunakan thermometer untuk mengetahui berapa suhu ruangan ketika pengujian dilakukan, dan didapatkan rata-rata suhu ruangan sekitar 29°C.

Suhu merupakan satu faktor yang dapat mempengaruhi kehidupan nyamuk. Berdasarkan standar dari WHO (2009), suhu optimal ruangan laboratorium adalah

27 ± 2˚C, dan menurut Yotopranoto, et al. dalam Yudhastuti (2005), pertumbuhan

nyamuk akan berhenti sama sekali bila suhu kurang dari 10°C atau lebih dari 40°C. Berdasarkan hasil pengukuran suhu yang didapatkan, dapat disimpulkan bahwa suhu dalam ruangan Laboratorium selama penelitian cukup ideal bagi kehidupan nyamuk sehingga faktor suhu tidak mempengaruhi kematian nyamuk dalam penelitian ini, yang dibuktikan oleh kematian nyamuk pada tabung Kontrol (tabung yang tidak mengandung kertas berinsektisida) sebesar 0% .


(52)

Selama penelitian berlangsung kelembaban udara didalam ruangan diukur dengan menggunakan hygrometer dengan hasil rata-rata didapatkan kelembaban udara ruangan sebesar 71%.

Kelembaban udara juga merupakan salah satu kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup nyamuk. Menurut Jumar (2000), kelembaban yang sesuai untuk perkembangan nyamuk dan serangga pada umumnya adalah sekitar 70% - 89%. Sedangkan menurut Mardihusodo dalam Yudhasuti (2005), kelembaban udara yang berkisar 81,5 - 89,5% merupakan kelembaban yang optimal untuk proses embriosasi dan ketahanan hidup embrio nyamuk. Standar yang diberikan WHO (2009) untuk kelembaban udara optimal ruangan Laboratorium saat penelitian adalah 80 ± 10%.

Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa kondisi kelembaban dalam ruangan Laboratorium cukup ideal untuk kebutuhan dan kelangsungan hidup nyamuk, sehingga faktor kelembaban tidak mempengaruhi kematian nyamuk dalam penelitian ini, yang dibuktikan oleh kematian nyamuk pada tabung Kontrol (tabung yang tidak mengandung kertas berinsektisida) sebesar 0% .

5.2 Status Resistensi Nyamuk Aedes aegypti Terhadap Malathion 0,8%

dan Sipermethrin 0,75% di Kecamatan Medan Selayang

Secara statistik kematian nyamuk antara tabung Kontrol dengan tabung uji Malathion 0,8% dan Sipermethrin 0,75% didapatkan bahwa ada perbedaan rerata kematian nyamuk Aedes aegypti yang berada di dalam tabung kontrol dengan kematian nyamuk yang berada di dalam tabung uji (Malathion 0,8% dan Sipermethrin 0,75%. Meskipun demikian persentase kematian nyamuk pada


(53)

tabung uji Malathion 0,8% dan Sipermethrin 0,75% dibawah 80% yang berarti nyamuk Aedes aegypti yang berasal dari Kecamatan Medan Selayang sudah resisten terhadap kedua insektisida tersebut. Persentase kematian nyamuk yang diuji dalam tabung Malathion 0,8% sebesar 5% sedangkan persentase kematian nyamuk yang diuji dalam tabung Sipermethrin 0,75% sebesar 32,5%.

Persentase kematian nyamuk pada Malathion 0,8% hampir mendekati 0 % yang berarti nyamuk Aedes aegypti hampir 100% resisten terhadap Malathion 0,8%. Hal ini disebabkan karena penggunaan Malathion secara terus menerus dan tidak pernah digunakan secara bergantian selama pemakaian puluhan tahun dengan insektisida lain. Persentase kematian nyamuk pada tabung Sipermethrin 0,75% lebih tinggi dibandingkan dengan Malathion 0,8%. Meskipun demikian Sipermethrin juga sudah dikatakan resisten karena persentase kematian nyamuk Aedes aegypti dibawah 80%. Oleh karena itu kedua bahan aktif ini harus diganti dengan bahan aktif lain yang dapat membunuh nyamuk Aedes aegypti secara efektif agar dapat menurunkan kasus DBD di Kota Medan.

Menurut Depkes RI (2007) salah satu upaya penanggulangan DBD adalah dengan cara penyemprotan insektisida yang diaplikasikan dengan pengasapan (thermal fogging). Pengasapan (fogging) yaitu suatu teknik yang digunakan untuk mengendalikan DBD dengan menggunakan insektisida tertentu yang berguna untuk mengurangi penularan sampai batas waktu tertentu. Penggunaan insektisida dalam waktu lama atau dipakai secara terus menerus dapat menimbulkan kekebalan nyamuk (resisten).


(54)

Menurut Sucipto (2015) penggunaan insektisida secara terus menerus cenderung mempercepat proses terjadinya resistensi serangga. Sementara penggunaan insektisida secara bergantian dengan insektisida dari kelompok kimia yang berbeda dan cara kerja yang berbeda akan menghambat terjadinya resistensi serangga. Menurut penelitian Ahmad (2009) bahwa resistensi serangga terhadap insektisida apapun jenisnya akan muncul ke permukaan setelah 2 -20 tahun digunakan secara terus menerus. Penggunaan insektisida dapat bertindak sebagai agen seleksi populasi secara alami yang akan membuat serangga yang mempunyai gen resisten yang tetap hidup dan akan diturunkan ke generasi berikutnya. Akibatnya persentase serangga yang resisten akan terus bertambah sedangkan serangga rentan akan tereliminasi karena insektisida. Pada akhirnya penggunaan insektisida menjadi tidak efektif karena jumlah serangga resisten jauh lebih banyak dibandingkan dengan serangga rentan.

Pada setiap pengulangan yang dilakukan sebanyak 4 kali didapatkan kematian nyamuk yang berbeda beda yang diduga disebabkan oleh ketahanan tubuh nyamuk. Menurut penelitian Hasanuddin (2012) bahwa umur 2-5 hari ketahanan tubuh nyamuk sudah kuat dan sudah produktif sehingga umur nyamuk dapat mengakibatkan tingkat kematian nyamuk yang terlalu cepat jika nyamuk masih memiliki umur 1 hari atau sudah lebih 5 hari.

Pada saat penelitian juga dilakukan pengamatan jumlah nyamuk yang pingsan (knock down) setelah 1 jam perlakuan. Dari data knock down didapatkan rata-rata jumlah kejadian knock-down pada nyamuk yang dikontakkan dengan Malathion 0,8% dan Sipermethrin 0,75% memiliki rerata 5 ekor kejadian knock


(55)

down yang berarti tidak mencapai 50% dari jumlah nyamuk yang diuji. Hal ini menunjukkan bahwa Malathion 0,8% dan Sipermethrin 0,75% memiliki daya knock-down atau daya melumpuhkan nyamuk yang cukup rendah.

Menurut penelitian Erna Kristinawati (2008) penggunaan insektisida bila digunakan terus-menerus mengakibatkan jumlah vektor peka dalam populasi menjadi semakin sedikit sehingga yang tersisa adalah yang tahan. Vektor akan kawin satu dengan lainnya sehingga menghasilkan keturunan yang tahan pula. Akhirnya populasi didominasi oleh vektor-vektor tahan yang dapat tetap hidup, berkembang biak, dan tahan terhadap insektisida yang diaplikasikan. Setiap jenis serangga seperti nyamuk Aedes aegypti mampu mempertahankan dan mewariskan sifat resistensi pada keturunannya dalam waktu yang lama.

Sipermethrin sendiri termasuk dalam golongan Piretroid. Penelitian pada insektisida rumah tangga yang beredar di masyarakat menunjukkan kebanyakan insektisida rumah tangga bahan aktifnya termasuk dalam golongan Piretroid, sehingga penggunaan insektisida rumah tangga diduga turut berperan dalam terjadinya resistensi. Berdasarkan kenyataan tersebut perlu pemikiran bersama untuk menyusun strategi mengantisipasi terjadinya resistensi vektor penular DBD dengan merotasi penggunaan insektisida untuk pengendalian vektor. Menurut David & Gilles (2002) rotasi atau pergiliran kelompok dan jenis insektisida dilakukan berdasarkan cara kerja atau mode of action dan target site yang berbeda. Menurut penelitian Ambarita (2014) migrasi dan penyebaran serangga menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan terjadinya resistensi di suatu wilayah. Apabila di suatu wilayah mengaplikasikan insektisida untuk


(56)

mengendalikan vektor dan disaat yang bersamaan dimasuki oleh serangga rentan maka proses ke arah resistensi menjadi diperlambat. Strain yang berasal dari laboratorium dan telah lama dikolonisasi diketahui secara umum bebas dari resistensi (rentan) karena tidak terpapar dengan insektisida baik yang diaplikasikan oleh pelaksana program bidang kesehatan dan pertanian termasuk aplikasi di tingkat rumah tangga. Faktor-faktor lainnya yang dapat mempengaruhi terjadinya resistensi antara lain frekuensi aplikasi, dosis pemakaian, laju reproduksi dan isolasi populasi. Laju resistensi silang meningkat khususnya pada insektisida dari kelompok yang sama dan memiliki mode of action yang sama.

Insektisida kalau digunakan secara tepat sasaran, tepat dosis, tepat waktu dan cakupan akan mampu mengendalikan vektor dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Sebaliknya apabila penggunaannya tidak sesuai dengan kaidah tersebut, perkembangan resisten vektor terhadap insektisida dapat menjadi lebih cepat. Perkembangan nyamuk menjadi resisten terhadap insektisida mengakibatkan tindakan pengendalian vektor DBD menjadi lebih sulit karena insektisida sangat diperlukan pada saat terjadinya peningkatan kasus atau saat KLB yang berguna untuk memutus mata rantai penularan.

5.3 Status Resistensi Nyamuk Aedes aegypti Terhadap Malathion 0,8%

dan Sipermethrin 0,75% di Kecamatan Medan Maimun

Secara statistik kematian nyamuk antara tabung Kontrol dengan tabung uji Malathion 0,8% dan Sipermethrin 0,75% didapatkan bahwa ada perbedaan rerata kematian nyamuk Aedes aegypti yang berada di dalam tabung kontrol dengan kematian nyamuk yang berada di dalam tabung uji (Malathion 0,8% dan


(57)

Sipermethrin 0,75%. Meskipun demikian persentase kematian nyamuk pada tabung uji Malathion 0,8% dan Sipermethrin 0,75% dibawah 80% yang berarti nyamuk Aedes aegypti yang berasal dari Kecamatan Medan Maimun sudah resisten terhadap kedua insektisida tersebut. Persentase kematian nyamuk yang diuji dalam tabung Malathion 0,8% sebesar 27,5% sedangkan persentase kematian nyamuk yang diuji dalam tabung Sipermethrin 0,75% sebesar 56,25%.

Pada saat penelitian juga dilakukan pengamatan jumlah nyamuk yang pingsan (knock down) setelah 1 jam perlakuan. Dari data knock down didapatkan rata-rata jumlah kejadian knock-down pada nyamuk yang dikontakkan dengan Malathion 0,8% memiliki rerata kejadian knock down 8 ekor. Hal ini menunjukkan bahwa Malathion memiliki daya knock down atau daya melumpuhkan nyamuk yang cukup rendah. Sipermethrin 0,75% memiliki rerata kejadian knock down 12 ekor yang berarti mencapai 50% dari jumlah nyamuk yang diuji. Hal ini menunjukkan bahwa Sipermethrin 0,75% masih mampu melumpuhkan nyamuk Aedes aegypti yang berasal dari Kecamatan Medan Maimun.

Kematian nyamuk yang berasal dari Kecamatan Medan Selayang lebih rendah dibandingkan dengan kematian nyamuk yang berasal dari Kecamatan Medan Maimun. Hal ini menunjukkan bahwa status resistensi Malathion dan Sipermethrin terhadap nyamuk Aedes aegypti yang berasal dari Kecamatan Medan Selayang lebih tinggi dibandingkan dengan status resistensi nyamuk Aedes aegypti yang berasal dari Kecamatan Medan Maimun.

Rendahnya kematian nyamuk Aedes aegypti yang berasal dari Kecamatan Medan Selayang menunjukkan bahwa tingkat resistensinya sudah tinggi. Hal ini


(58)

disebabkan karena Kecamatan Medan Selayang adalah Kecamatan dengan kasus tertinggi di Kota Medan, sehingga fogging sangat sering dilakukan di daerah tersebut. Menurut penelitian Widiarti (2000) Insektisida apabila digunakan dalam skala luas, dalam jangka waktu cukup lama dan frekuensi tinggi dapat menimbulkan terjadinya penurunan kerentanan pada nyamuk sasaran.

Munculnya sifat serangga resisten dipicu dengan adanya pajanan yang berlangsung lama. Hal ini terjadi karena nyamuk Aedes aegypti mampu mengembangkan sistim kekebalan terhadap insektisida yang sering dipakai (Nusa dkk, 2008).

5.4 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang bersifat eksperimen semu (quasi esperiment) dengan menggunakan rancangan post test only control group design yaitu melakukan pengukuran atau observasi sesudah perlakuan diberikan tanpa melakukan tes awal. Penelitian ini dilakukan dengan uji susceptibility berdasarkan uji standard who secara in vitro/skala laboratorium. Oleh karena itu hasil penelitian yang didapatkan di Laboratorium belum tentu 100% resisten di Lapangan. Penelitian ini juga memiliki keterbatasan yaitu sebagian responden menolak untuk dilakukan pengamatan ketika proses pengambilan jentik di rumah warga.


(59)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai uji resistensi Malathion dan Sipermethrin terhadap nyamuk Aedes aegypti dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Persentase kematian nyamuk dalam uji resistensi Malathion 0,8% adalah < 80% yang berarti sudah resisten terhadap nyamuk Aedes aegypti yang berasal dari Kecamatan Medan Selayang maupun Kecamatan Medan Maimun dengan masing-masing persentase 5% dan 27,5%.

2. Persentase kematian nyamuk dalam uji resistensi Sipermethrin 0,75% adalah < 80% yang berarti sudah resisten terhadap nyamuk Aedes aegypti yang berasal dari Kecamatan Medan Selayang maupun Kecamatan Medan Maimun dengan masing-masing persentase 32,5% dan 56,25%.

3. Kecamatan Medan Selayang lebih resisten dibandingkan dengan Kecamatan Medan Maimun.

4. Ada perbedaan jumlah kematian nyamuk Aedes aegypti yang berada di dalam tabung kontrol dengan jumlah kematian nyamuk yang berada di dalam tabung yang telah diisi kertas berinsektisida (Malathion dan Sipermethrin) baik yang berada di Kecamatan Medan Selayang (p value 0,003 < 0,005) maupun Medan Maimun (p value 0,001 < 0,005).


(60)

6.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :

1. Kecamatan Medan Selayang diupayakan untuk mengganti Malathion dan Sipermethrin dengan bahan aktif lain agar program fogging dalam mengendalikan penyakit DBD menjadi efektif.

2. Kecamatan Medan Maimun diupayakan untuk mengganti Malathion dan masih menggunakan Sipermethrin sebagai bahan aktif fogging tetapi untuk satu tahun kedepan diupayakan untuk merotasi Sipermethrin dengan bahan aktif lain untuk mencegah terjadinya resistensi terhadap Sipermethrin.

3. Penggantian Malathion dan Sipermethrin sebaiknya diganti dengan bahan aktif yang berasal dari golongan yang berbeda untuk mencegah terjadinya resistensi.

4. Bagi Dinas Kesehatan Kota Medan diharapkan lebih memonitoring izin operasional untuk pelaksaan fogging di masyarakat terhadap pihak swasta maupun pihak Dinas Kesehatan itu sendiri.

5. Sebelum melakukan pengendalian dengan menggunakan insektisida lain sebaiknya dilakukan pengujian pendahuluan untuk mendapatkan dosis insektisida paling rendah dengan persentase kematian nyamuk uji paling tinggi dan dilakukan uji resistensi untuk mengetahui tingkat resistensi bahan aktif tersebut.


(61)

6. Perlunya penelitian lebih lanjut mengenai hubungan tingkat resistensi nyamuk Aedes aegypti dengan tingginya kasus DBD dan analisis faktor yang mempengaruhi tingkat resistensi nyamuk Aedes aegypti terhadap Malathion dan Sipermethrin.

7. Pencegahan DBD yang paling efektif adalah dengan program PSN yaitu dengan melaksanakan 3M Plus oleh karena itu dihimbau kepada masyarakat untuk meningkatkan program PSN yang telah ditetapkan Pemerintah.


(62)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Resistensi Nyamuk

2.1.1 Pengertian Resistensi Nyamuk

Menurut WHO (1992) dalam Sucipto (2015) resistensi terhadap insektisida adalah kemampuan individu serangga dalam populasi untuk bertahan hidup terhadap suatu dosis insektisida yang dalam keadaan normal dapat membunuh spesies serangga tersebut. Resistensi merupakan suatu fenomena evolusi yang disebabkan oleh seleksi serangga hama yang diberi perlakuan insektisida secara terus menerus. Secara prinsip mekanisme resistensi ini akan mencegah insektisida berikatan dengan titik targetnya atau tubuh serangga menjadi mampu untuk mengurai bahan aktif insektisida sebelum sampai pada titik sasaran. Jenis atau tingkatan resistensi itu sendiri meliputi tahap rentan, toleran baru kemudian tahap resisten.

Resistensi insektisida merupakan suatu kenaikan proporsi individu dalam populasi yang secara genetik memiliki kemampuan untuk tetap hidup meski terpapar satu atau lebih senyawa insektisida. Peningkatan individu ini terutama oleh karena matinya individu-individu yang sensitif insektisida sehingga memberikan peluang bagi individu yang resisten untuk terus berkembangbiak dan meneruskan gen resistensi pada keturunannya (Tabashnik, 2011).

Jenis resistensi vektor (nyamuk) terhadap insektisida dapat berupa resistensi tunggal, resistensi ganda (multiple resistance) atau resistensi silang


(63)

(cross resistance). Resistensi tunggal adalah resistensi pada populasi serangga terhadap satu jenis insektisida sedangkan resistensi ganda (silang) adalah perkembangan resistensi pada populasi serangga termasuk nyamuk akibat penekanan secara selektif insektisida lain dengan mekanisme sama/target site sama, tetapi bukan dari satu kelompok insektisida (WHO, 1992).

Menurut Herat (1997) yang dikutip oleh Sucipto (2015) bahwa status resistensi terhadap serangga, diukur menggunakan prosedur standar WHO dengan uji Susceptibility, yaitu metode standar yang tepat untuk mengukur resistensi insektisida khususnya di lapangan. Kriteria yang digunakan untuk menginterpretasi hasil Letal Concentration (LC50) atau LC100 adalah :

1. Kematian 99-100 % = Susceptible/Rentan/Peka 2. Kematian 80-98 % = Toleran

3. Kematian <80 % = Resisten

2.1.2 Jenis-jenis Resistensi

Menurut WHO (1975) penggunaan insektisida pada pengendalian populasi nyamuk, menyebabkan tekanan seleksi atas individu nyamuk yang memiliki kemampuan untuk tetap hidup bila kontak dengan insektisida dengan mekanisme berbeda. Resistensi secara umum dikenal 3 tipe, yaitu :

1. Vigour tolerance, sedikit kenaikan toleransi terhadap satu atau beberapa insektisida (penurunan kerentanan), dihasilkan dari seleksi kontinyu populasi serangga yang tidak memiliki gen spesifik untuk resistensi terhadap insektisida tertentu. Toleransi juga disebabkan oleh variasi karakteristik morfo-fisiologis


(64)

seperti, ukuran kutikula tebal dan tingginya kandungan lemak berperan dalam fenomena resistensi non spesifik.

2. Resistensi fisiologis, populasi serangga mungkin terseleksi untuk tetap hidup terhadap tekanan insektisida tertentu oleh mekanisme fisiologis yang berbeda (enzim mendetoksifikasi timbunan insektisida dalam lemak). Contoh resistensi fisiologis adalah nyamuk yang resisten dapat meningkat akibat penggunaan insektisida seperti Malathion dan Sipermethrin. Tipe resistensi ini adalah reversible (dapat pulih seperti semula) ketika tekanan insektisida dihilangkan, tetapi kerentanannya jarang dapat kembali ke nilai sebelumnya dan menurun kembali dengan cepat manakala penggunaan insektisida dimulai lagi.

3. Resisten Perilaku (resistance behavioristic), adalah kemampuan populasi nyamuk lari/menghindar dari efek insektisida karena perilaku alamiah atau modifikasi perilaku mereka (induced behavior) akibat insektisida. Hal ini dilakukan dengan cara menghindari permukaan atau udara yang mendapat perlakuan insektisida atau memperpendek periode kontak (Sucipto 2015).

2.1.3 Mekanisme Resistensi Serangga

Pada dasarnya mekanisme resistensi insektisida pada serangga dapat dibagi menjadi tiga tahap. Pada tahap pertama terjadi peningkatan detoksifikasi insektisida, sehingga insektisida menjadi tidak beracun (hal ini disebabkan pengaruh kerja enzim tertentu). Kemudian terjadi penurunan kepekaan titik target insektisida pada tubuh. Tahap selanjutnya terjadi penurunan laju penetrasi insektisida melalui kulit, sehingga menghambat masuknya bahan aktif insektisida dan meningkatkan enzim detoksifikasi.


(65)

Menurut WHO (1980) ada 3 mekanisme dasar yang berperan dalam proses terjadinya resistensi/penurunan status kerentanan serangga terhadap insektisida, diantaranya :

1. Peningkatan metabolisme toksikan (insektisida) dalam tubuh serangga dengan enzim mixed function oxisade, hidrolase, esterase dan glutathione-S-transferase.

2. Perubahan sensitivitas tempat sasaran dalam tubuh serangga, yang berupa insensitivitas saraf dan insensitivitas enzim asetilkholinesterase (AChE). 3. Penurunan penetrasi toksikan (insektisida) ke arah tempat aktif (saraf dan

AChE).

Mekanisme resistensi serangga terhadap insektisida organofosfat dan karbamat yang dilaporkan oleh French-Constant dan Bonning (1989), Mardihusodo (1996), Mulyaningsih (2004), yaitu terjadinya peningkatan aktivitas enzim esterase nonspesifik dan insensitivitas asetilkholinesterase. Peningkatan aktivitas enzim esterase nonspesifik akan menurunkan dosis letal insektisida organofosfat menjadi subletal, sehingga tidak mematikan serangga sasaran. Kedua mekanisme tersebut berperan dalam penurunan status kerentanan pada sebagian besar serangga, baik di bidang kesehatan maupun pertanian.

Menurut Sucipto (2015) proses terjadinya penurunan kerentanan (resistensi) pada beberapa serangga termasuk nyamuk dapat dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu :

1. Faktor genetik, diketahui adanya sejumlah gen yang berperan dalam pengendali resisten (R-gen), baik dominan atau resesif, homozygote maupun


(66)

heterozygote yang terdapat pada nyamuk maupun serangga lainnya. Faktor genetik seperti gen-gen yang menjadi pembentukan enzim esterase, yang dapat menyebabkan resistensi serangga terhadap insektisida organofosfat dan pyrethroid. Faktor genetik lain seperti adanya gen knock down resistence (kdr) sehingga serangga resisten terhadap DDT dan dieldrin.

2. Faktor biologis, meliputi biotik (adanya pergantian generasi, perkawinan monogamy atau poligami dan waktu berakhirnya perkembangan setiap generasi pada serangga di alam), perilaku serangga misalnya: migrasi, isolasi, monofagi atau polifagi serta kemampuan serangga di luar kebiasaannya dalam melakukan perlindungan terhadap bahaya atau perubahan tingkah laku.

3. Faktor operasional, meliputi bahan kimia yang digunakan dalam pengendalian vektor (golongan insektisida, kesamaan target dan sifat insektisida yang pernah digunakan, persistensi residu dan formulasi insektisida yang digunakan) serta aplikasi insektisida tersebut di lapangan (cara aplikasi, frekuensi dan lama penggunaan).

Faktor operasional merupakan tekanan seleksi terhadap populasi serangga. Faktor operasional pertama adalah jenis insektisida yang digunakan. Jenis insektisida yang satu ternyata menyebabkan proses terjadinya resistensi lebih cepat dibandingkan dengan insektisida lainnya. Ada insektisida yang telah digunakan selama berpuluh tahun tidak menimbulkan resistensi, tetapi ada insektisida yang baru dipakai beberapa tahun sudah menimbulkan resistensi. Penggunaan insektisida lain sebelumnya juga memiliki pengaruh (cross resistance). Misalnya telah diketahui adanya cross resistance antara DDT dan insektisida piretroid dan


(67)

cross resistance antara insektisida organofosfat dan karbamat. Populasi serangga yang sudah resisten terhadap insektisida DDT cenderung resisten terhadap piretroid. Demikian halnya populasi serangga yang sudah kebal terhadap insektisida golongan organofosfat cenderung resisten terhadap insektisida karbamat. Penggunaan insektisida secara terus menerus cenderung mempercepat proses terjadinya resistensi serangga. Sementara penggunaan insektisida secara bergantian dengan insektisida dari kelompok kimia yang berbeda dan cara kerja yang berbeda akan menghambat terjadinya resistensi serangga.

2.1.4 Deteksi Resistensi Vektor Terhadap Insektisida

Penentuan status kerentanan spesies nyamuk vektor secara berkala sangat diperlukan untuk mendapatkan data dasar deteksi lebih lanjut dan monitoring terjadinya resistensi. Dengan mengetahui status kerentanan spesies vektor, maka akan memberikan masukan terhadap kebijakan program dalam menentukan jenis insektisida dan strategi yang akan digunakan. Disamping itu hasil uji resistensi dapat digunakan dalam memahami mekanisme terjadinya penurunan kerentanan vektor (resistensi). Pemantauan resistensi vektor terhadap insektisida pada setiap spesies vektor di setiap strata eko-epidemiologi seharusnya dilakukan secara berkala 1-2 tahun oleh sektor kesehatan tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota (Kementerian Kesehatan RI, 2012).

Deteksi resistensi vektor terhadap insektisida dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu :


(68)

1. Deteksi secara konvensional dengan metode standar WHO susceptibility test menggunakan impregnated paper. Deteksi secara susceptibility adalah uji tingkat resistensi yang digunakan oleh WHO dengan menggunakan impregnated paper (lembaran yang sudah mengandung insektisida). Uji susceptibility dilakukan menggunakan stadium dewasa dari serangga uji. Persyaratan untuk uji susceptibility yang harus dipenuhi adalah jumlah yang cukup serta kondisi fisiologis serangga yang baik. Kondisi fisiologis yang baik diantaranya keseragaman umur serangga, stadium, ukuran, harus hidup dan kenyang darah atau kenyang gula. Pada uji susceptibility kematian serangga uji dicatat setelah pemaparan insektisida dan setelah diholding (dipisahkan dari paparan insektisida) selama semalam (24 jam).

2. Deteksi secara biokimia atau enzimatis menggunakan mikroplat. Deteksi secara biokimia adalah uji resistensi nyamuk terhadap insektisida yang sangat esensial berdasarkan kuantifikasi enzim yang bertanggung jawab pada proses resistensi seperti uji mikroplat untuk insensitive asetilkholinesterase dan uji mikroplat untuk aktivitas enzim esterase non-spesifik. Keunggulan dari uji biokimia adalah informasi status kerentanan diperoleh lebih cepat dan dapat menunjukan mekanisme penurunan kerentanan (Resistensi dan toleransi) yang di ukur pada serangga secara individu (Widiarti, 2002).

3. Deteksi secara molekuler. Deteksi secara molekuler adalah dengan mengidentifikasi gen yang menjadi target kelompok insektisida secara


(69)

konvensional, yang salah satunya adalah gen voltage gated sodium channel (VGSC). Gen VGSC merupakan mekanisme resistensi serangga terhadap insektisida DDT dan golongan piretroid yang ditunjukkan dengan adanya titik mutasi. Mutasi gen VGSC pada nyamuk Aedes Aegypti terjadi pada sembilan lokus yang berbeda (Brengues, et al., 2003).

2.2 Demam Berdarah Dengue (DBD)

2.2.1 Defenisi DBD

Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan di tularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Penyakit ini dapat menyerang semua orang serta dapat mengakibatkan kematian terutama pada anak – anak dan sering menimbulkan wabah. Jika nyamuk Aedes aegypti menggigit penderita demam berdarah maka virus dengue akan masuk kedalam tubuh bersama darah yang diisapnya kemudian virus dengue berkembang biak dan menyebar ke seluruh tubuh nyamuk dan sebagian besar berada di kelenjar liur, selanjutnya apabila nyamuk menggigit orang lain maka air liur bersama virus dengue akan dilepas terlebih dahulu agar darah yang akan di hisap tidak membeku dan pada saat yang bersamaan virus dengue ditularkan ke orang lain tersebut (Soegijanto, 2006).

Demam berdarah merupakan penyakit febril (berkaitan dengan demam) akut yang di temukan di daerah tropis, dengan penyebaran geografis yang mirip dengan malaria. Nyamuk yang dapat menularkan penyakit demam berdarah dengue adalah nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Virus demam berdarah dengue terdiri dari 4 serotipe yaitu virus DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan


(70)

DEN-4 dari genus Flavivirus. Penyakit ini merupakan penyakit yang timbul di negara-negara tropis, termasuk di Indonesia (Depkes RI, 2010 ; Dantje, 2009).

2.2.2 Epidemiologi DBD

Wabah dengue pertama kali ditemukan di dunia tahun 1635 di Kepulauan Karibia dan selama abad 18, 19 dan awal abad 20, wabah penyakit yang menyerupai dengue telah digambarkan secara global di daerah tropis dan beriklim sedang. Vektor penyakit ini berpindah dan memindahkan penyakit dan virus dengue melalui transportasi laut. Seorang pakar bernama Rush telah menulis tentang dengue berkaitan dengan break bone fever yang terjadi di Philadelphia tahun 1780. Kebanyakan wabah ini secara klinis adalah demam dengue walaupun ada beberapa kasus berbentuk haemorrhargia. Penyakit DBD di Asia Tenggara ditemukan pertama kali di Manila tahun 1954 dan Bangkok tahun 1958 (Soegijanto, 2006).

Di Indonesia Demam Berdarah pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia (Angka Kematian (AK) : 41,3 %). Dan sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia. Demam Berdarah Dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara (Depkes RI 2014).


(71)

Penyakit demam berdarah dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk ini mendapat virus dengue sewaktu mengisap darah orang yang sakit demam berdarah dengue atau tidak sakit tetapi didalam darahnya terdapat virus

dengue. Seseorang yang di dalam darahnya mengandung virus dengue merupakan

sumber penularan penyakit demam berdarah. Virus dengue berada dalam darah selama 4 - 7 hari mulai 1 - 2 hari sebelum demam. Bila penderita tersebut digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut terisap masuk kedalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan tersebar diberbagai jaringan tubuh nyamuk termasuk didalam kelenjar liurnya. Kira-kira 1 minggu setelah mengisap darah penderita, nyamuk tersebut siap untuk menularkan kepada orang lain (masa inkubasi ekstrinsik). Menurut WHO (1999) lama waktu yang diperlukan untuk inkubasi ekstrinsik tergantung pada kondisi lingkungan sekitarnya Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya (Soegijanto, 2012).

Nyamuk Aedes aegypti yang telah mengisap virus dengue itu menjadi penular (infektif) sepanjang hidupnya. Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk menusuk/mengigit, sebelum mengisap darah akan mengeluarkan air liur melalui alat tusuknya (proboscis) agar darah yang diisap tidak membeku. Bersama air liur inilah virus dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang lain (Soegijanto, 2006).

Penularan DBD dapat terjadi di semua tempat yang terdapat nyamuk penularnya, tempat yang potensial untuk penularan penyakit DBD antara lain (Sitio, 2008) :


(72)

a. Wilayah yang banyak kasus DBD atau rawan endemis DBD.

b. Tempat-tempat umum yang merupakan tempat berkumpulnya orang, orang datang dari berbagai wilayah sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran beberapa tipe virus dengue cukup besar seperti sekolah, pasar, hotel, puskesmas, rumah sakit dan sebagainya.

c. Pemukiman baru di pinggir kota, karena dilokasi ini, penduduk umumnya berasal dari berbagai wilayah, maka memungkinkan diantaranya terdapat penderita atau karier yang membawa tipe virus dengue yang berlainan dari masing-masing lokasi asal.

2.3 Nyamuk Aedes aegypti

Taksonomi nyamuk Aedes aegypti adalah sebagai berikut: Filum : Artropoda

Kelas : Hexapoda/lnsecta Subklas : Pterygota

Ordo : Diptera Familia : Culicidae Subfamilia : Culicinae

Genus : Aedes

Spesies : Aedes aegypti (C'rosskey, 1993)


(73)

Pada dasarnya siklus hidup nyamuk berawal dari peletakan telur oleh nyamuk betina. Dari telur muncul fase kehidupan air yang masih belum matang disebut larva yang berkembang melalui empat tahap kemudian bertambah ukuran hingga mencapai kepompong nyamuk dewasa membentuk diri sebagai betina atau jantan dan tahap nyamuk dewasa muncul dari pecahan di belakang kulit kepompong. Nyamuk dewasa makan, kawin dan nyamuk betina memproduksi telur untuk melengkapi siklus dan memulai generasi baru. Beberapa spesies nyamuk hanya satu generasi per tahun yang lainnya bisa mempunyai beberapa generasi selama musim dengan kondisi iklim yang menguntungkan. Mereka sangat bergantung pada iklim dari kondisi lingkungan lokal terutama suhu dan curah hujan (Achmadi, 2011).

Nyamuk Aedes aegypti mengalami metamorfosis sempurna, yaitu: telur - jentik - kepompong - nyamuk. Stadium telur, jentik dan kepompong hidup di dalam air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu ±2 hari setelah telur terendam air. Stadium jentik biasanya berlangsung 6-8 hari, dan stadium kepompong berlangsung antara 2–4 hari. Pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk dewasa selama 9-10 hari. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan (Depkes RI, 2008).


(1)

ix

2.5 Insektisida ... 31

2.5.1 Pengertian Insektisida ... 31

2.5.2 Jenis-jenis Insektisida ... 32

2.5.2.1 Organophospat ... 32

2.5.2.2 Organoklorin ... 34

2.5.2.3 Karbamat ... 35

2.5.2.4 Piretroid ... 36

2.6 Cara Masuk Insektisida ke Dalam Tubuh Serangga ... 38

2.6.1 Racun Lambung atau Racun Perut ... 38

2.6.2 Racun Kontak ... 39

2.6.3 Racun Pernapasan ... 39

2.7 Cara Kerja Insektisida dalam Tubuh Serangga ... 40

2.7.1 Mempengaruhi Sistem Saraf ... 40

2.7.2 Menghambat Produksi Energi ... 41

2.7.3 Menghambat Keseimbangan Air tubuh ... 42

2.7.4 Mempengaruhi Pertumbuhan Serangga (IGR) ... 42

2.7.5 Merusak Jaringan Pencernaan Serangga ... 42

2.8 Penyemprotan Insektisida... 43

2.8.1 Jenis-jenis Penyemprotan Insektisida ... 45

2.8.1.1 Thermal Fog/Fogging ... 45

2.8.1.2 Cold fog(Ultra Low Volume) ... 47

2.9 Kerangka Konsep ... 47

BAB III METODE PENELITIAN ... 48

3.1 Jenis Penelitian ... 48

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 48

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 48

3.2.2 Waktu Penelitian ... 49

3.3 Objek Penelitian dan Sampel ... 49

3.3.1 Objek penelitian ... 49

3.3.2 Sampel... ... 49

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 50

3.4.1 Data Primer ... 50

3.4.2 Data Sekunder ... 50

3.5 Defenisi Operasional ... 50

3.6 Metode Pengukuran ... 51

3.7 Instrumen Penelitian ... 52

3.7.1 Alat Penelitian ... 52

3.7.2 Bahan Penelitian ... 56

3.8 Tata Cara Penelitian ... 56

3.8.1 Cara Pengambilan Jentik ... 56

3.8.2 Prosedur Penelitian di Laboratorium ... 57

3.9 Analisis Data…... ... 58

3.9.1 Uji Shapiro Wilk ... 58


(2)

3.9.2 Uji Levene ... 59

3.9.3 Uji Anova ... 59

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 60

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 60

4.2 Pengukuran Suhu dan Kelembaban ... 61

4.2.1 Penggukuran Suhu ... 61

4.2.2 Pengukuran Kelembaban ... 62

4.3 Kematian Nyamuk Aedes aegypti dalam Uji Resistensi Malathion 0,8% dan Sipermethrin 0,75% ... 62

4.4 Hasil Uji Shapiro Wilk ... 68

4.5 Hasil Uji Levene ... 69

4.6 Hasil Uji Anova One Way ... 70

4.7 Hasil Uji LSD (Least Significance Different) ... 71

BAB V PEMBAHASAN ... 73

5.1 Suhu dan Kelembaban ... 73

5.2.1 Suhu…….. ... 73

5.2.2 Kelembaban ... 74

5.2 Status Resistensi Nyamuk Aedes aegypti Terhadap Malathion 0,8% dan Sipermethrin 0,75% di Kecamatan Medan Selayang ... 74

5.3 Status Resistensi Nyamuk Aedes aegypti Terhadap Malathion 0,8% dan Sipermethrin 0,75% di Kecamatan Medan Maimun ... 78

5.4 Keterbatasan Penelitian ... 80

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 81

6.1 Kesimpulan……. ... 81

6.1 Saran……….……. ... 82

DAFTAR PUSTAKA… ... 84


(3)

xi DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Jumlah Nyamuk yang Mati dalam Uji Resistensi Malathion 0,8% Terhadap Nyamuk Aedes aegypti yang berasal dari Kecamatan Medan Selayang ... 63 Tabel 4.2 Jumlah Nyamuk yang Mati dalam Uji Resistensi Malathion 0,8%

Terhadap Nyamuk Aedes aegypti yang berasal dari Kecamatan Medan Maimun ... 64 Tabel 4.3 Jumlah Nyamuk yang Mati dalam Uji Resistensi Sipermethrin 0,75%

Terhadap Nyamuk Aedes aegypti yang berasal dari Kecamatan Medan Selayang ... 65 Tabel 4.4 Jumlah Nyamuk yang Mati dalam Uji Resistensi Sipermethrin

0,75% Terhadap Nyamuk Aedes aegypti yang berasal dari Kecamatan Medan Maimun ... 65 Tabel 4.5 Rata-rata Kematian Nyamuk dalam Uji Resistensi Malathion 0,8%

dan Sipermethrin 0,75% pada Nyamuk Aedes aegypti yang berasal dari Kecamatan Medan Selayang dan pada tabung Kontrol ... 66 Tabel 4.6 Rata-rata Kematian Nyamuk dalam Uji Resistensi Malathion 0,8%

dan Sipermethrin 0,75% pada Nyamuk Aedes aegypti yang berasal dari Kecamatan Medan Maimun dan pada tabung Kontrol ... 67 Tabel 4.7 Uji Kenormalan Data Jumlah Kematian Nyamuk di Kecamatan Medan

Selayang ... 68 Tabel 4.8 Uji Kenormalan Data Jumlah Kematian Nyamuk di Kecamatan Medan

Maimun ... 69 Tabel 4.9 Hasil uji Anova One Way Jumlah Kematian Nyamuk dalam tabung

Uji (Malathion dan Sipermethrin) dan tabung kontrol yang berasal dari Kecamatan Medan Selayang ... 70 Tabel 4.10 Hasil uji Anova One Way Jumlah Kematian Nyamuk dalam tabung

Uji (Malathion dan Sipermethrin) dan tabung kontrol yang berasal dari Kecamatan Medan Maimun ... 70 Tabel 4.11 Hasil Uji LSD (Least Significance Different) pada Kematian Nyamuk

yang berasal dari Kecamatan Medan Selayang ... 71 Tabel 4.12 Hasil Uji LSD (Least Significance Different) pada Kematian Nyamuk

yang berasal dari Kecamatan Medan Maimun ... 72


(4)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti ... 19

Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian ... 47

Gambar 3. Tabung Untuk Uji Resistensi ... 53

Gambar 4. Slide dengan Sekrup Cup ... 53

Gambar 5. Aspirator ... 54

Gambar 6. Kurungan Nyamuk ... 55

Gambar 7. Kain Kasa ... 55

Gambar 8. Diagram Rerata Kematian Nyamuk yang berasal dari Kecamatan Medan Selayang pada Tabung Kontrol dan yang diberi perlakuan (Malathion dan Sipermethrin) ... 67

Gambar 9. Diagram Rerata Kematian Nyamuk yang berasal dari Kecamatan Medan Maimun pada Tabung Kontrol dan yang diberi perlakuan (Malathion dan Sipermethrin) ... 68


(5)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Form Pengisian Hasil Uji Resistensi di Laboratorium ... 88

Lampiran 2. Lembar Observasi Pengambilan Jentik ... 90

Lampiran 3. Lembar Informasi Insektisida ... 92

Lampiran 4. Laporan Uji Laboratorium ... 93

Lampiran 5. Output Hasil Uji Statistik ... 97

Lampiran 6. Surat Survey Awal ... 101

Lampiran 7. Surat Izin Penelitian ... 102

Lampiran 8. Surat Keterangan Selesai Penelitian ... 103

Lampiran 9. Lokasi Penelitian ... 104

Lampiran 10. Dokumentasi Penelitian ... 105


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Kiki Novita

Tempat Lahir : Aek Bontar

Tanggal Lahir : 20 Mei 1995

Jenis Kelamin : Perempuan

Suku Bangsa : Jawa

Agama : Islam

Nama Ayah : Suparmin

Suku Bangsa Ayah : Jawa

Nama Ibu : Laimah Sitorus

Suku Bangsa Ibu : Batak

Pendidikan Formal

1. SD Negeri No : 098162 Tanah Jawa/2006 : 2000-2006

2. MTs Negeri Tanah Jawa/2009 : 2006-2009

3. SMA Swasta Sultan Agung P.Siantar/2012 : 2009-2012