Komposisi Kimia dan Aktivitas Inhibitor Topoisomerase I dari Kablang (Nerita albicilla)

(1)

INHIBITOR TOPOISOMERASE I

DARI KABLANG (Nerita albicilla)

DANI SJAFARDAN ROYANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Komposisi kimia dan aktivitas inhibitor topoisomerase I dari Kablang (Nerita albicilla)” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Desember 2007

Dani Sjafardan Royani NRP C351050031


(3)

Inhibitor Activity of Kablang (Nerita albicilla). Supervised by LINAWATI HARDJITO and JOKO SANTOSO.

DNA topoisomerases (topo) I and II are molecular targets of several potent anticancer agents. Thus, inhibitors of these enzymes are potential candidates or model compounds for anticancer development. This paper reported the chemical composition of Nerita albicilla and its topo I inhibitor of hexane, ethyl acetate, and methanol extracts. Proximate and amino acid composition of Nerita albicilla dried powder were investigated using standar analytical techniques. The determination of topo I inhibitor activity was conducted using topo I drug screening kit from TopoGen. Inhibition of DNA topo I activity was analysed by gel electrophoresis. The composition of Nerita albicilla included moisture of 12.44%; ash of 9.17%; protein of 62.05%; fat of 5.58%; crude fibre of 6.60%, and carbohydrate (by difference) of 4.16%. The amino acid analysis revealed that the Kablang was superior with respect to glutamate compared to Thunnus sp. and other clams. Yield of hexane, ethyl acetate and methanol extracts of Nerita albicilla were 2.05%, 1.56%, and 6.99%; respectively. All extracts showed topoisomerase I inhibitor activities. The hexane extract described catalytic activity of topo I, while ethyl acetate and methanol extract acted as topo I poison. Minimum inhibitory concentration (MIC) of methanol extracts were 2.5 µg/ml. Phytochemical screening of the extracts showed that they contained steroid. In adition, the methanol extract also contained alkaloid.


(4)

ABSTRAK

DANI SJAFARDAN ROYANI. Komposisi Kimia dan Aktivitas Inhibitor Topoisomerase I dari Kablang (Nerita albicilla). Dibimbing oleh LINAWATI HARDJITO dan JOKO SANTOSO.

DNA topoisomerase I dan II adalah enzim inti sel esensial untuk proliferasi sel dan merupakan target dalam pengembangan obat antikanker. Dalam penelitian ini dipelajari kadar proksimat dan komposisi asam amino serta aktivitas inhibisi dari ekstrak Kablang (Nerita albicilla) terhadap kerja dari enzim DNA topoisomerase I.

Tahapan penelitian meliputi penentuan kadar proksimat dan asam amino Kablang, ekstraksi sampel dengan pelarut heksana, etil asetat dan metanol, penentuan aktivitas inhibitor topoisomerase I dengan menggunakan drug screening kit topoisomerase I dari TopoGen. Aktivitas inhibisi DNA topoisomerase I dianalisis dengan menggunakan gel elektroforesis.

Komposisi kimia Nerita albicilla terdiri dari kadar air 12,44%; abu 9,17%; protein 62,05%; lemak 5,58%; serat kasar 6,60%, dan karbohidarat (by diference) 4,16%. Kandungan asam amino terbesar yaitu asam glutamat 8,89 % dan terkecil adalah serin 1,07%. Rendemen ekstrak heksana, etil asetat dan metanol masing-masing 2,05%, 1,56%, dan 6,99%. Ketiga ekstrak menunjukkan aktivitas sebagai inhibitor topoisomerase I. Ekstrak heksana menunjukkan mekanisme katalitik terhadap topoisomerase I, sedangkan ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol bersifat poison. Minimum inhibitory concentration (MIC) dari ekstrak metanol adalah 2,5 μg/ml. Ekstrak aktif metanol mengandung golongan senyawa alkaloid dan steroid.


(5)

@ Hak cipta milik IPB, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan, karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(6)

KOMPOSISI KIMIA DAN AKTIVITAS

INHIBITOR TOPOISOMERASE I

DARI KABLANG (Nerita albicilla)

DANI SJAFARDAN ROYANI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Hasil Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(7)

NRP : C351050031

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Linawati Hardjito, M.Sc Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Hasil Perairan

Dr. Ir. Sri Purwaningsih, M.Si Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Nopember 2006 ini adalah Inhibitor topoisomerase I dengan judul “Komposisi kimia dan aktivitas inhibitor topoisomerase I dari Kablang (Nerita albicilla)”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Linawati Hardjito, M.Sc sebagai pembimbing I dan Bapak Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si sebagai pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan saran sehingga penelitian dan penulisan ini dapat diselesaikan. Juga kepada Ibu Prof.Dr.drh. Maria Bintang, MS, sebagai penguji luar komisi yang telah banyak memberikan masukan dalam penyempurnaan tesis ini. Ucapan terima kasih tak lupa penulis sampaikan juga kepada :

1. Direktur Politeknik Perikanan Negeri Tual Maluku Tenggara yang telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk melanjutkan studi di IPB Bogor.

2. Dekan Pascasarjana dan pengelola Program Studi Teknologi Hasil Perairan IPB atas kesempatan yang telah diberikan untuk mengikuti pendidikan pascasarjana.

3. Kepada ketua tim Program Hibah Penelitian Tim Pasacasarjana-HPTP (Hibah Pasca) dengan judul: ”Screening, Isolasi dan Identifikasi Inhibitor topoisomerase untuk target penemuan anti kanker dari organisme pesisir/laut yang telah digunakan sebagai obat tradisional” (2006-2007) yang telah mendanai penelitian ini.

4. Hasil karya ini juga penulis persembahkan kepada istri tercinta Nyai Hanubun, SE dan kedua anakku yaitu Muhammad Farhan Royani dan Muhammad Haidar Abyan atas segala pengertian, ketabahan, kesabaran serta pengorbanan yang diberikan selama Penulis menjalani studi S-2.

5. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Maad Yusuf Royani dan Ibunda Muhannah serta Bapak Mertua Nassarudin Hanubun dan Mama Nurhayati, bibi Amba/Om Cen, kakak dan adik-adik atas dukungan moril dan materiil.


(9)

kerjasamanya selama perkuliahan serta semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung.

8. Rekan-rekan seperjuangan di Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan (kang cecu, bu Niken, bu Dewi, mas Agus dan mas Fajar) atas segala bantuan dan kerjasama yang kompak.

9. Teman-teman dari Tual (Usman, Beni, Yula) atas segala bantuan dan kerjasama yang solid.

Semoga bimbingan, dorongan dan bantuan yang diberikan mendapat balasan dari Allah SWT.

Bogor, Desember 2007


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ambon-Maluku pada tanggal 7 April 1970 dari ayah Maad Yusuf Royani dan ibu Muhannah, dan merupakan putra kedua dari lima bersaudara.

Tahun 1990 penulis lulus SMA Negeri 3 Ambon dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Pattimura Ambon melalui jalur Penerimaan Siswa-Siswi Berbakat (PSSB). Penulis memilih Program Studi Pengolahan Hasil Perikanan, Jurusan Pengolahan Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan lulus pada tahun 1996.

Tahun 1997 sampai sekarang penulis bekerja sebagai dosen pada Politeknik Perikanan Negeri Tual, Maluku Tenggara. Pada tahun 2005 penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan studi di Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan.


(11)

ix

DAFTAR TABEL ...

xi

DAFTAR GAMBAR ...

xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

1. PENDAHULUAN ...

1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ...

3

1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ...

4

1.3 Hipotesis Penelitian ...

4

2. TINJAUAN PUSTAKA ...

5

2.1 Deskripsi Kablang (

Nerita

albicilla

) ...

5

2.2 Bahan Aktif Siput Laut Kablang (

Nerita albicilla

)...

6

2.3 Asam Amino ...

7

2.4 Ekstraksi Bahan Aktif ...

9

2.5 Kanker, Antikanker dan Uji Antikanker ...

10

2.6 Topoisomerase dan Inhibitor Topoisomerase I ...

12

2.7 Elektroforesis ...

15

2.5 Alkaloid dan Steroid ... 16

3. METODOLOGI PENELITIAN ...

20

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ...

20

3.2 Bahan dan Peralatan ...

20

3.2.1 Bahan ...

20

3.2.2 Peralatan ...

20

3.3 Prosedur Penelitian...

21

3.3.1 Penentuan kadar proksimat dan asam amino Kablang ...

21

3.3.2 Ekstraksi bahan aktif Kablang (

Nerita albicilla

) ...

26

3.3.3 Uji aktivitas inhibitor topoisomerase I (TopoGen 2006) ...

28

3.3.4 Karakterisasi ekstrak aktif inhibitor topoisomerase I ...

30


(12)

x

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ...

35

4.1 Kandungan Gizi Kablang ...

35

4.1.1 Analisis proksimat ...

35

4.1.2 Komposisi asam amino ...

39

4.2 Ekstraksi Bahan Aktif ...

42

4.3 Aktivitas Inhibitor Topoisomerase I ...

43

4.4 MIC Inhibitor Topoisomerase I dari Ekstrak Metanol ...

44

4.5 Karakterisasi Ekstrak Aktif Inhibitor Topoisomerase I ...

45

4.6 Isolasi Senyawa Aktif Inhibitor Topoisomerase I ...

48

4.6.1 Isolasi alkaloid ...

49

4.6.2 Isolasi steroid ...

50

5. KESIMPULAN DAN SARAN ...

53

DAFTAR PUSTAKA ...

54


(13)

xi

Halaman

1 Hasil analisis proksimat daging kering Kablang dibandingkan dengan produk

perikanan lainnya ...

35

2 Hasil analisis komposisi asam amino Kablang dan ikan tuna, kerang sebagai

pembanding ...

39

3 Analisis asam amino esensial dan nonesensial dari

Nerita albicilla

(mg/g

protein) ...

41

4 Skor kimia asam amino Kablang ...

41

5 Rendemen hasil ekstraksi Kablang (

Nerita albicilla

) ...

42

6 Hasil elektroforesis uji inhibisi enzim DNA toposiomerase I dari ekstrak

Kablang. ...

43

7 Hasil uji inhibisi ekstrak metanol terhadap enzim topoisomerase I pada

berbagai konsentrasi ...

44

8 Hasil uji kimiawi ekstrak aktif inhibitor topoisomerase I dari Kablang (

Nerita

albicilla

) ...

46

9 Hasil isolasi alkaloid ekstrak aktif metanol (Metode Harborne) ...

49

10 Rendemen isolasi steroid Kablang ...

50


(14)

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kablang

(

Nerita albicilla

) ...

5

2 Struktur fulvoplumierin (Sanduja

et al.

1985) ...

6

3 Sruktur lamellarin D (Facompre

et al.

2003) ...

7

4 Struktur

beberapa

topoisomerase poison (Ammon dan Osheroff 1995) ...

14

5 Perbedaan antara inhibitor katalitik dan poison (TopoGen 2006) ...

14

6 Kerangka inti steroid (Litwack dan Schmidt 2002) ...

18

7 Struktur

7-dehidrokolesterol dan ergosterol ...

18

8 Diagram alir penelitian komposisi kimia dan aktivitas inhibitor

topoisomerase I dari siput laut

Nerita

albicilla

...

21

9 Diagram alir proses ekstraksi bahan aktif Kablang ...

27

10 Tahapan dalam uji inhibitor topoisomerase I ...

29

11 Bagan alir ekstraksi alkaloid (Harborne 1987) ...

33

12 Bagan alir ekstraksi steroid (Bahti

et al.

1983) ...

34

13 Kandungan asam amino Kablang (

Nerita albicilla

) ...

40

14 Hasil elektroforesis uji inhibisi ekstrak terhadap enzim DNA topoisomerase

I pada konsentrasi 50µg/ml ... 44

15 Hasil elektroforesis uji inhibisi ekstrak terhadap enzim DNA topoisomerase I

ekstrak metanol

Nerita albicilla

pada berbagai konsentrasi ...

45

16 Hasil uji alkaloid ekstrak aktif inhibitor topo I Kablang (

Nerita albicilla

) ...

47

17 Hasil uji steroid ekstrak aktif inhibitor topo I Kablang ...

48

18 Struktur

5

α

-cholestane-hexaol

...

51


(15)

xiii

Halaman

1

Road map

penelitian penapisan dan uji aktivitas inhibitor topoisomerase I

dari Kablang (

Nerita albicilla

) ...

60

2 Contoh perhitungan rendemen ekstrak Kablang (

Nerita albicilla

) ...

61

3 Contoh perhitungan asam amino Kablang (

Nerita albicilla

) ...

62

4 Kurva standar analisis asam amino ...

63

5 Hasil analisis asam amino Kablang (

Nerita albicilla

) ...

64


(16)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kabupaten Maluku Tenggara yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas lautan (± 87%) dan memiliki 123 pulau, mempunyai potensi sumberdaya laut dan keanaekaragaman hayati yang cukup tinggi. Berdasarkan Data Statistik Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Maluku Tenggara (2004) jumlah produksi perikanan pada tahun 2003 sebesar 94.599,3 ton, terdiri dari komoditas perikanan tuna, pelagis besar, pelagis kecil, demersal dan komoditas perikanan lainnya. Hasil analisis potensi sumberdaya ikan di Kabupaten Maluku Tenggara pada wilayah pengelolaan 4 mil laut adalah sebesar 13.379,7 ton dengan nilai maximum sustainable yield (MSY) sebesar 6.689,8 ton dan total allowable catch (TAC) sebesar 5.351,9 ton. Dengan demikian, ikan yang masih dapat dieksploitasi lagi sebesar 781,6–2.265,6 ton per tahun. Keanekaragaman hayati perairan pesisir pada tingkat spesies terdiri atas filum moluska : 160 spesies (kelas gastropoda), kelas bivalvia (41 spesies), kelas holothuridae (8 spesies), kelas ekinoidea (3 spesies), 9 spesies ekinodermata, 14 spesies alga, 256 spesies ikan karang, 69 spesies terumbu karang.

Organisme hidup tidak terkecuali biota laut menghasilkan berbagai produk alami yang terdiri atas metabolit primer dan sekunder. Senyawa ini dihasilkan oleh organisme berupa metabolit primer yaitu yang dihasilkan bersamaan dengan tumbuhnya organisme dan metabolit sekunder yang dihasilkan ketika organisme sudah memasuki fase stasioner (non-growth associated product). Pemanfaatan metabolit sekunder dari laut sebagai zat aktif dalam obat belum banyak diteliti khususnya di Indonesia. Banyak zat-zat berdaya obat dari beberapa organisme laut telah diketahui ratusan tahun, tetapi eksplorasi sumberdaya hayati laut sebagai sumber obat-obatan hampir tidak pernah berlanjut. Untuk mengekstraksi komponen bioaktif dari sumberdaya hayati laut, diperlukan berbagai cara yang tepat, agar dapat dihasilkan produk secara efisien dan berdaya guna. Aplikasi bioteknologi dalam pengembangan sumberdaya pesisir dan lautan akan memungkinkan untuk memproduksi bahan aktif.


(17)

Menurut Darusman et al. (1995) umumnya obat yang berasal dari produk alam hasil laut merupakan metabolit sekunder dari berbagai kelompok alkaloid, terpenoid, flavonoid dan juga berasal dari senyawa pembangun metabolit primer seperti dipeptida. Faulkner (2000) menjelaskan bahwa senyawa hasil laut tersebut dapat larut dalam pelarut organik (organic soluble) atau pelarut air (water soluble). Banyak upaya pencarian obat baru yang ditujukan khusus untuk kanker baik dari sumberdaya laut maupun darat. Aneka sumberdaya laut yang menjadi obyek riset di negara-negara maju berupa invertebrata laut seperti spons, tunicate, dan moluska menempati urutan pertama dengan target utama sebagai antikanker (Russel 2003 diacu dalam Purwaningsih 2007). Prospek penemuan obat dan produk farmasi dari biota laut diperkirakan 300 sampai dengan 400 kali lebih besar dibanding dengan isolasi dari eksosistem darat (Bruckner 2002 diacu dalam Purwaningsih 2007).

Salah satu moluska laut yang dimanfaatkan sebagai obat adalah siput laut

Nerita albicilla (Kablang). Secara tradisional masyarakat Desa Sather di Kepulauan Kei, Kabupaten Maluku Tenggara, memanfaatkan Kablang sebagai bahan pangan lauk (pengganti ikan pada musim paceklik) dan untuk mengobati penyakit hati dengan cara dimakan dagingnya dan air rebusannya diminum. Hasil penelitian Martin et al. (1986) menyatakan bahwa Nerita albicilla mengandung oksiindol alkaloid yang dikenal sebagai isopteropodin. Selanjutnya Lee et al. (1999) melaporkan bahwa isopteropodin dari tanaman Uncaria tamentosa dapat menghambat topoisomerase I.

Topoisomerase adalah enzim yang terdapat dalam inti sel yang berperan dalam replikasi DNA. Enzim ini ditemukan dalam jumlah yang berlebihan pada sel kanker dibandingkan sel sehat/normal. Oleh karena itu inhibitor topoisomerase menjadi salah satu target penemuan antikanker baru oleh berbagai industri obat dunia (Yanagihara et al. 2005). Enzim DNA Topoisomerase digunakan sebagai molekul target untuk pencarian dan penemuan obat antikanker yang rasional dan lebih selektif. Cara ini sangat baik untuk mengevaluasi senyawa bioaktif antikanker yang positif dan pada pengujian in-vivo menunjukkan aktivitas antikanker (Pommier 1993).


(18)

3

Penyakit kanker masih menjadi salah satu penyakit yang paling ditakuti masyarakat dan merupakan salah satu penyakit mematikan. Di Indonesia, penyakit ini telah menduduki peringkat kelima penyebab kematian. Padahal dekade sebelumnya hanya di peringkat sembilan. Bahkan di negara-negara maju, kanker menjadi penyebab kematian nomor dua. Di dunia, setiap tahun ada penambahan 6 - 10 juta orang yang menderita kanker, sedangkan di Indonesia jumlah penderita kanker mencapai 6% dari populasi. Lima besar penyakit kanker yang sering terjadi di Indonesia adalah kanker leher rahim, payudara, kelenjar getah bening, nasofaring, dan kulit (Supari 2007).

Menurut Siswandono dan Soekardjo (1995) sampai saat ini masih sedikit sekali obat antikanker yang bekerja secara selektif untuk pengobatan jenis kanker tertentu. Berbagai usaha telah dilakukan untuk menanggulangi penyakit kanker seperti pembedahan, terapi radiasi dan kemoterapi. Namun hingga kini masih belum ditemukan cara yang dapat mengatasi penyakit tersebut secara memuaskan. Cara lain yang dipilih sebagian penderita penyakit ini adalah dengan memanfaatkan bahan alam yaitu dengan menggunakan tanaman obat dan hewan. Hal ini disebabkan adanya keinginan masyarakat sendiri untuk kembali menggunakan bahan dari alam (back to nature).

Penelitian ini difokuskan pada aktivitas ekstrak yang dapat menghambat kerja dari enzim topoisomerase I serta karakteristik dari senyawa aktif inhibitor topoisomerase yang dihasilkan oleh ekstrak Kablang. Pengetahuan akan kandungan nutrisi dan senyawa bioaktif dari Kablang adalah penting karena berkaitan dengan pengembangan dan pemanfaatannya di bidang pangan dan farmasi. Road map penelitian Kablang (Nerita albicilla) dapat dilihat pada Lampiran 1.

1.2 Perumusan Masalah

Di Indonesia berbagai hasil laut berupa alga laut, vertebrata maupun invertebrata laut telah berabad-abad digunakan sebagai obat untuk meningkatkan kesehatan (promotif), memulihkan kesehatan (rehabilitatif), pencegahan penyakit (preventif) dan penyembuhan (kuratif). Namun eksistensinya belum dapat disetarakan dengan pelayanan pengobatan modern dengan menggunakan obat


(19)

kimia, karena memang belum teruji keamanan dan manfaatnya. Selama ini kebanyakan manfaat dan pengembangannya hanya dari data empiris dan dari pengalaman yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Dalam usaha mengembangkan obat tradisional, salah satu biota laut yang menarik perhatian dan diduga mempunyai aktivitas antikanker adalah Kablang (Nerita albicilla) yang berasal dari Kepulauan Kei Provinsi Maluku. Penelitian antikanker dari Kablang belum dilakukan secara ilmiah. Untuk itu perlu dilakukan penelitian mengenai aktivitas enzim topoisomerase I terhadap ekstrak Kablang (Nerita albicilla).

1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan adalah untuk:`

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada bidang perikanan khususnya pengembangan produk alam dari laut yang berkhasiat obat.

1.4 Hipotesis Penelitian

Ekstrak dari Kablang (Nerita albicilla) mengandung senyawa inhibitor topoisomerase I.

(1) Mengetahui komposisi kimiawi termasuk asam amino dari Kablang. (2) Mendapatkan ekstrak yang memiliki aktivitas sebagai inhibitor

topoisomerase I.

(3) Mengetahui golongan senyawa ekstrak aktif inhibitor topoisomerase I. (4) Mendapatkan isolat golongan senyawa inhibitor topoisomerase I.


(20)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Kablang (Neritia albicilla)

Kablang merupakan nama lokal untuk siput laut Nerita albicilla di daerah Kei Besar Kabupaten Maluku Tenggara. Selanjutnya Wilson (1993) mengklasifikasikan Kablang (Nerita albicilla) sebagai berikut :

Kingdom : Animal

Filum : Molusca

Klas : Gastropoda

Subklas : Prosobranchia Ordo : Neritimorpha

Superfamili : Neritoidea Famili : Neritidae Genus : Nerita

Spesies : Nerita albicilla

Nerita mempunyai cangkang kecil sampai sangat kecil, membulat sampai bentuk mangkuk memipih. Pada siput dewasa dinding bagian dalam membentuk ruangan membulat yang tidak melingkar di dalam cangkang. Operkulum mengapur, sedikit terpilin, agak bulat dengan tempat gantungan lateral pada sisi bagian dalam. Habitat berkisar dari laut, payau dan air tawar. Kebanyakan marga dari famili ini hidup di atas dasar yang keras, kecuali Smaragdia yang hidup di atas tanaman laut (Matsuura et al. 2000). Gambar 1 menunjukkan siput laut Kablang (Nerita albicilla).


(21)

2.2 Bahan Aktif Siput Laut Kablang (Nerita albicilla)

Selain dikonsumsi sebagai sumber makanan di daerah Kei Besar, Kablang (Nerita albicilla) dapat dimanfaatkan sebagai sumber senyawa bioaktif. Goad (1978) menyatakan bahwa Nerita peloronta mengandung sterol yang umumnya dari jenis kolesterol. Senyawa sterol dari jenis moluska telah banyak dianalisis kandungan dan komposisi kimianya, bahkan lebih banyak daripada sterol dari filum yang lain. Lebih lanjut Sanduja et al. (1985) melaporkan bahwa Nerita albicilla mengandung pigmen antibakteri fulvoplumierin (Gambar 2).

Gambar 2 Struktur fulvoplumierin(Sanduja et al. 1985).

Martin et al. (1986) telah berhasil mengisolasi suatu senyawa oksiindol alkaloid yang disebut isopteropodin dari moluska laut Nerita albicilla. Selanjutnya Laus dan Keplinger (1994) melaporkan bahwa isopteropodin pada tanaman Uncaria tomentosa menunjukkan efek sitotoksik pada fibroblast tikus dan manusia (nonmikroseluler karsinoma paru-paru, karsinoma serviks dan karsinoma prostat). Kandungan isopteropodin pada tanaman Uncaria tomentosa

terutama pada akar, dan dalam jumlah yang kecil pada batang dan kulit. Isopteropodin juga dapat ditemukan pada beberapa spesies yang lain dari famili

Rubiaceae. Isopteropodin dari Uncaria tomentosa juga diketahui mempunyai aktivitas inhibitor topoisomerase I (Lee et al. 1999) .

Sakai (1995) menjelaskan bahwa umumnya isopteropodin dicirikan oleh beberapa aktivitas biologi yang khas dan banyak digunakan di dalam pengobatan atau diharapkan memecahkan masalah pengobatan. Garcia et al. (2004) melaporkan bahwa isopteropodin dari Uncaria tomentosa diketahui mempunyai aktivitas antibakteri terhadap bakteri Gram positif.

Olivera (1995) melaporkan siput laut dari jenis Conus geographus


(22)

7

dibanding morfin dan telah dipatenkan pada Desember 2004 dan diberi nama Prialt (ziconotide intratechal infusion).

Facompre et al. (2003) melaporkan telah mengidentifikasi dan mengkarakterisasi potensi inhibitor topoisomerase I yang baru yang diberi nama lamellarin D (Gambar 3). Lamellarin D (LAM-D) diisolasi dari moluska laut subklas Prosobranchia yaitu Lamellaria sp dan merupakan senyawa alkaloid. Alkaloid ini diketahui memiliki aktivitas terhadap sel lestari tumor yang resisten terhadap berbagai obat dan sitotoksik yang sangat tinggi terhadap sel kanker prostat.

Gambar 3 Struktur lamellarin D(Facompre et al. 2003).

2.3 Asam Amino

Asam amino merupakan komponen utama penyusun protein dan dibagi dalam dua kelompok utama yaitu asam amino esensial dan nonesensial. Asam amino esensial tidak dapat diproduksi oleh tubuh sehingga harus disuplai lewat makanan, sedangkan asam amino nonesensial dapat diproduksi dalam tubuh.

Menurut Belitz dan Grosch (1999) asam amino dibedakan menjadi tiga grup, yaitu (1) asam amino netral tidak bermuatan (glisin, serin, treonin, aspargin, glutamin) dan asam amino yang mengandung sulfur (sistin,sistein dan metionin); (2) asam amino dengan rantai samping asam (asam aspartat dan asam glutamat) dan asam amino dengan rantai samping gugus alifatik (alanin, valin, leusin, isoleusin dan prolin); (3) asam amino dengan rantai samping gugus aromatik (fenilalanin, tirosin dan triptofan) dan asam amino dengan rantai samping basa (lisin, arginin dan histidin). Asam amino umumnya berbentuk serbuk dan mudah


(23)

larut dalam air, namun tidak larut dalam pelarut organik. Menurut Lehninger (1997), berdasarkan polaritasnya asam amino dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu asam amino hidrofilik (asam aspartat, asam glutamat, asparagin, glutamin, lisin, arginin dan histidin), asam amino hidrofobik (fenilalanin, leusin, isoleusin, metionin, valin dan triptofan), dan asam amino antara (prolin, treonin, serin, sistin, alanin, glisin dan tirosin). Asam amino hidrofilik adalah asam amino yang pada struktur protein globular terdapat di permukaan luar. Asam amino yang disebut hidrofobik adalah asam amino yang terdapat di bagian dalam struktur pada struktur globular, sedangkan yang disebut asam amino dengan polaritas antara adalah asam amino yang dapat ditemukan baik pada bagian luar maupun dalam pada struktur protein globular (Lehninger 1997).

Dari sekitar 20 jenis asam amino yang dibutuhkan tubuh, sembilan diantaranya disebut sebagai asam amino esensial atau penting karena tubuh tidak bisa membentuknya dan harus didapat dari makanan. Histidin penting untuk pertumbuhan fisik dan mental yang sempurna dan dilaporkan dapat menanggulangi penyakit rematik. Isoleusin penting bagi pertumbuhan bayi dan keseimbangan nitrogen bagi orang dewasa. Leusin, penting untuk pertumbuhan. Lisin dapat menolong menyembuhkan penyakit herpes kelamin. Metionin diperlukan bagi produksi sulfur, menjaga kenormalan metabolisme, dan merangsang serotonin sehingga dapat menghilangkan kantuk. Metionin juga berperan sebagai antioksidan, membantu menguraikan lemak dan mengurangi kemorosotan otot serta baik untuk kesehatan kulit dan kuku. Fenilalanin dibutuhkan untuk produksi tirosin yang penting bagi pertumbuhan. Treonin dan valin, menyeimbangkan nitrogen, triptofan untuk produksi serotonin pada otak (Anonim 2004). Asam amino yang berperan sebagai antioksidan adalah asam amino metionin, triptofan, histidin, sistein, sistin dan arginin.

Asam amino yang lain disebut sebagai nonesensial karena tubuh dapat membentuknya. Fungsinya antara lain untuk menjaga fungsi ginjal dan fungsi seksual pria seperti arginin, berguna menjaga fungsi hati seperti alanin, pengaturan tekanan darah dan fungsi seksual pria. Asam glutamat dan kolin menjaga fungsi kesehatan otak. Prolin untuk pembentukan kolagen dan penyerapan zat-zat gizi bagi tubuh (Anonim 2004).


(24)

9

2.4 Ekstraksi Bahan Aktif

Ekstraksi merupakan salah satu cara pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu bahan yang merupakan sumber komponen tersebut. Komponen yang dipisahkan dengan ekstraksi dapat berupa padatan atau cairan. Metode ekstraksi yang digunakan tergantung pada beberapa faktor antara lain (1) tujuan dilakukan ekstraksi, (2) skala ekstraksi, (3) sifat-sifat komponen yang akan diekstrak, dan (4) sifat-sifat pelarut yang akan digunakan. Ada beberapa metode umum ekstraksi yang dapat dilakukan yaitu ekstraksi dengan pelarut, distilasi, supercritical fluid extraction (SFE), pengepresan mekanik dan sublimasi. Diantara metode-metode yang telah diaplikasikan, metode yang banyak digunakan adalah distilasi dan ekstraksi menggunakan pelarut (Hougton dan Raman 1998).

Prinsip metode ekstraksi menggunakan pelarut organik adalah bahan yang akan diekstrak kontak langsung dengan pelarut pada waktu tertentu, kemudian diikuti dengan pemisahan dari bahan yang telah diekstrak (Hougton dan Raman 1998).

Metode ekstraksi tergantung pada polaritas senyawa yang akan diekstrak. Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang berbeda. Hasil ekstraksi yang diperoleh akan tergantung pada kandungan komponen yang terdapat pada sampel dan jenis pelarut yang dipakai. Prinsip kelarutan yang dipakai dalam metode ekstraksi ini adalah like dissolve like artinya pelarut polar akan melarutkan senyawa polar, sedangkan pelarut nonpolar akan melarutkan senyawa nonpolar (Khopkar 1990).

Hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah selektivitas, kemampuan untuk mengekstrak, toksisitas, kemudahan untuk diuapkan dan harga pelarut. Ketaren (1986) menyatakan bahwa jenis dan mutu pelarut yang digunakan sangat menentukan keberhasilan proses ekstraksi. Pelarut yang digunakan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : harus dapat melarutkan zat yang diinginkan, mempunyai titik didih yang cukup rendah, titik didihnya seragam, murah, tidak toksik dan tidak mudah terbakar.

Menurut Suryandri (1981), semakin besar volume pelarut maka jumlah bahan yang akan terekstrak akan semakin besar sampai larutan menjadi jenuh kemudian penambahan pelarut tidak akan menambah hasil ekstraksi. Dalam


(25)

pemisahan pelarut harus diperhatikan titik didihnya. Pelarut bertitik didih rendah biasanya banyak hilang karena penguapan, sedangkan pelarut bertitik didih tinggi baru dapat dipisahkan pada suhu tinggi (Sabel dan Warren 1973).

Secara umum ekstraksi bertingkat dilakukan berturut-turut dimulai dengan pelarut nonpolar (kloroform atau heksana), lalu dengan pelarut yang kepolarannya menengah (etil asetat), kemudian dengan pelarut polar (metanol atau etanol). Dengan demikian akan diperoleh ekstrak awal (crude extract) yang mengandung berturut-turut senyawa nonpolar, kepolaran menengah dan polar (Hostettmann et al. 1997).

2.5 Kanker, Antikanker dan Uji Antikanker

Kanker adalah pertumbuhan jaringan yang baru sebagai akibat dari proliferasi (pertumbuhan berlebihan) sel abnormal secara terus menerus yang memiliki kemampuan untuk menyerang dan merusak jaringan lainnya. Kanker digolongkan berdasarkan jaringan dan jenis sel asal : (1) Sarkoma, yang tumbuh dari jaringan penyambung dan penyokong, seperti tulang, tulang rawan, saraf, pembuluh darah, otot dan lemak; (2) Karsinoma, bentuk kanker yang paling umum menyerang manusia, tumbuh dari jaringan epitelial (jaringan bersel yang menutupi permukaan), seperti kulit dan lapisan rongga dan organ tubuh, dan jaringan kelenjar, seperti jaringan payudara dan prostat. Karsinoma dengan struktur berlapis-lapis yang menyerupai kulit disebut sebagai karsinoma sel skuamosa (sel tanduk), sedangkan yang menyerupai jaringan kelenjar disebut sebagai adenokarsinoma; (3) Leukemia dan limfoma, merupakan bentuk kanker yang menyerang jaringan pembentuk darah dan dicirikan oleh pembesaran kelenjar getah bening, penyerangan terhadap limpa dan sumsum tulang, dan produksi sel darah putih yang belum matang secara berlebihan (Anonim 2006).

Menurut Mulyadi (1997) sel kanker mempunyai sistem enzim yang berbeda yaitu jumlah dan macam enzim pada sel kanker lebih sedikit jika dibandingkan dengan sel normal, dan enzim – enzim untuk pertumbuhan pada sel kanker aktivitasnya lebih besar dibandingkan dengan sel normal. Dalam keadaan normal, sel hanya akan membelah diri bila tubuh membutuhkannya seperti mengganti sel yang rusak atau mati. Sebaliknya sel kanker akan membelah diri meskipun tidak dibutuhkan sehingga terjadi kelebihan sel-sel baru.


(26)

11

Faktor-faktor penyebab kanker belum diketahui secara pasti. Pola makan dan gaya hidup yang salah dapat memicu pertumbuhan sel kanker yang meningkat. Selain itu, faktor seperti radiasi serta adanya virus disinyalir dapat turut berkontribusi terhadap pertumbuhan sel kanker (Dalimartha 1999).

Antikanker adalah zat yang dapat menghambat atau membunuh sel kanker. Penelitian untuk pengobatan penyakit kanker telah banyak dilakukan. Hasil penelitian yang telah digunakan pada terapi kanker antara lain terapi radiasi, pembedahan dan terapi dengan bahan kimia (kemoterapi). Terapi kanker dapat dilakukan dengan satu macam terapi atau dikombinasikan. Kesulitan pada kemoterapi terutama untuk menghasilkan dosis letal yang bersifat sitotoksik pada sel tumor tapi tidak merusak sel normal (Mycek et al. 2000).

Akhir-akhir ini kemoterapi menjadi salah satu terobosan dalam pengendalian kanker. Meskipun penemuan dan pemakaian kemoterapi menunjang hasil yang bagus tetapi toksisitas dan efek sampingnya sangat besar (Siswandono 1993). Terapi kanker seperti kemoterapi maupun radiasi kerap membuat sel yang sehat ikut terbunuh, sehingga daya tahan tubuh bisa melemah. Upaya pendukung yang banyak dilakukan oleh penderita kanker adalah menggunakan obat-obatan alami. Obat-obatan tersebut mempunyai kemampuan meningkatkan sistem imun.

Rivory (2002) menyatakan bahwa kerja obat anti antikanker dibagi dalam beberapa mekanisme yaitu :

a) Merusak DNA secara langsung (agen pengkelat), melalui protein (misalkan topoisomerase poison) dan kehilangan siklus basa (nukleusida analog).

b) Mengganggu sintesis kofaktor penting dan prekusor protein/DNA/RNA (antimetabolit, asparginase).

c) Mengganggu struktur seluler dan proses (obat antimikrotubul seperti

docetaxel, paclitaxel dan vinca alkaloid)

d) Penghambatan pertumbuhan/penanda antikematian (inhibitor tirosin kinase seperti imatinib mestylate, trastuzumab).

Mekanisme ini menyebabkan kematian sel-sel akut (nekrosis), kematian sel terprogram (apoptosis), penghentian pertumbuhan atau diferensiasi.

Ada empat jenis uji daya antikanker suatu senyawa, yaitu prescreen test, screen test, monitor test, dan secondary test (Sufness dan Pezzuto 1991).


(27)

Prescreen digunakan untuk mengetahui apakah suatu senyawa merupakan senyawa bioaktif. Uji ini harus memiliki kapasitas yang tinggi dengan biaya yang rendah dan waktu yang cepat. Dalam screen test dipilih ekstrak untuk digunakan pada secondary test, sedangkan monitor test berguna sebagai panduan pada pemisahan ekstrak pekat melalui isolasi ekstrak murni sebagai senyawa bioaktif. Uji ini harus cepat, murah, berkapasitas tinggi, dan mudah diperoleh. Secondary test dilakukan untuk menguji ekstrak murni yang diperoleh pada beberapa model dan kondisi untuk memilih ekstrak yang akan dikembangkan sebagai obat pada terapi antikanker. Uji ini berkapasitas rendah, lambat dan mahal. Prescreen test

dilakukan untuk mendapatkan nilai LC50, yaitu konsentrasi yang dapat mematikan

50% hewan uji dalam waktu 24 jam. Uji yang paling sering dilakukan adalah uji kematian larva udang (BSLT= brine shrimp lethality test).

Uji antikanker dapat dilakukan secara in vivo dan in vitro. Uji in-vivo

secara spesifik dapat dilakukan secara mekanik maupun seluler, untuk mencari kemampuan sitotoksik, antimitotik dan antimetastatik. Uji ini juga dapat dilakukan dengan melihat interaksinya dengan DNA (Suffnes dan Pezzuto 1991). Salah satu uji yang didasarkan pada interaksi dengan DNA adalah dengan cara melihat kemampuan senyawa uji untuk menghambat topoisomerase I dan II yang digunakan pada replikasi DNA.

2.6 Topoisomerase dan Inhibitor Topoisomerase I

Topoisomerase adalah enzim yang mengatur perubahan topologi DNA yang dilakukan dengan cara meningkatkan atau menurunkan jumlah pilinan pada heliks ganda. Terdapat dua jenis topoisomerase yaitu topoisomerase I yang membuat pilinan positif atau meningkatkan jumlah pilinan heliks, dan topoisomerase II yang membuat pilinan negatif atau menurunkan pilinan heliks ganda (Jusuf 2001). Lebih lanjut dijelaskan bahwa peningkatan atau penurunan jumlah pilinan tersebut dilakukan topoisomerase dengan cara memotong rantai fosfodiester antara dua nukleutida dari salah satu heliks ganda. Hengstler et al.

(2002) mengelompokkan enzim topoisomerase ke dalam dua klas utama yaitu topoisomerase I yang berperan pada pemotongan DNA utas tunggal dan topoisomerase II yang memotong DNA utas ganda.


(28)

13

Enzim DNA topoisomerase (topo) I dan II adalah target molekuler dari beberapa zat antikanker yang potensial, dengan demikian inhibitor dari enzim ini potensial untuk obat antikanker. Pertumbuhan tumor dapat dihambat dan dijinakkan ke tahap dorman melalui pemblokiran proses angiogenesisnya. Angiogenesis adalah proses terbentuknya pembuluh darah baru dari pembuluh darah yang telah ada. Komponen antiangiogenesis mampu menurunkan laju pertumbuhan tumor/kanker. Dengan dihambatnya aktivitas enzim DNA topoisomerase oleh senyawa inhibitor, maka proses terjadinya ikatan antara enzim dengan DNA sel kanker semakin lama. Hal ini menyebabkan terbentuknya

Protein Linked DNA Breaks (PLDB), akibatnya terjadi kerusakan DNA sel kanker dan selanjutnya berpengaruh terhadap proses dalam sel khususnya proses replikasi, yang diakhiri dengan kematian sel kanker (Hsiang 1989, Joseph 1989 diacu dalam Sukardiman et al. 2002).

Enzim topoisomerase adalah enzim yang berperan dalam proses replikasi, transkripsi dan rekombinasi DNA dan juga proses proliferasi dan diferensiasi sel normal dan sel kanker. Enzim ini merupakan target bahan bioaktif yang memiliki aktivitas antikanker, karena dengan dihambatnya enzim DNA topoisomerase maka proses dalam sel akan terhenti dan akhirnya akan terjadi kematian sel tersebut (Andreas et al. 1995).

Aplikasi untuk pencarian bahan-bahan aktif antikanker dari alam dapat menggunakan molekul target enzim DNA Topoisomerase. Enzim tersebut digunakan sebagai molekul target, karena mempunyai fungsi cukup penting dalam proses intraseluler dari sel kanker yang berperan dalam proses replikasi, transkripsi, rekombinasi DNA dan proses proliferasi dari sel kanker (Pommier 1993). Dewasa ini telah banyak senyawa dari bahan alam yang telah diisolasi yang bersifat antikanker dan memiliki molekul target enzim DNA topoisomerase antara lain camptothecin dari tanaman Camptotheca acuminata (Famili

Nyssaceae), andriamycin, doxorubicin, mitoxantron dan etoposide VP-16), teniposide (V-26) (Gambar 4).


(29)

Gambar 4 Struktur beberapa topoisomerase poison (Ammon dan Osheroff 1995).

Aktivitas inhibisi terhadap kerja dari enzim DNA topoisomerase sebagai target obat antikanker melalui dua mekanisme yaitu penghambatan katalitik (catalytic inhibitor) dan poison (cleavable complex). Perbedaan mekanisme keduanya ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5 Perbedaan antara inhibitor katalitik dan poison (Topogen 2006).


(30)

15

Pada Gambar 5 reaksi normal sekuen (diagram tengah) melibatkan pengikatan DNA diikuti oleh pembelahan DNA (untai tunggal maupun ganda), pelekatan kembali dan pelepasan enzim. Inhibitor (diagram kiri) memblokir tahap pengikatan awal atau dengan kata lain mengganggu kemampuan enzim untuk menggunakan DNA dalam pembelahan. Dalam hal ini, tidak ada relaksasi DNA atau dekantanasi DNA (hanya topo 2) ketika aktivitas katalitik diblok oleh obat. Topo poison (diagram kanan) bekerja pada tahap pembelahan yang menstabilkan kompleks pembelahan dan menghambat tahap pelekatan kembali. Dengan kata lain agen ini bertujuan “meracuni” reaksi melalui penstabilan pembelahan intermediet dan pemanjangan umur dari kompleks pembelahan (normalnya sangat pendek).

Inhibisi dari kerja topoisomerase mungkin melibatkan penghambatan “konvensional” dimana aktivitas enzim dihambat atau diperlambat. Sebagai contoh pengikatan inhibitor pada sisi aktif atau perubahan sifat pengikatan dari enzim dengan substrat. Tipe penghambatan ini umumnya ditunjukkan sebagai aktivitas penghambatan katalitik (relaksasi) (Webb dan Ebeler 2004).

2.7 Elektroforesis

Elektroforesis dengan gel agarosa merupakan metode yang sederhana dan sangat efektif untuk memisahkan, mengidentifikasi dan memurnikan fragmen DNA dengan panjang 0,5 hingga 25 kilo pasang basa (pb). Metode elektroforesis ini meliputi tiga langkah : persiapan gel agarosa dengan konsentrasi agarosa yang disesuaikan dengan ukuran DNA fragmen yang akan dipisahkan; DNA sampel dimasukkan ke dalam sumur gel dan gel ditaruh di bak elektroforesis yang dialiri listrik dengan tegangan dan waktu tertentu sehingga menghasilkan pemisahan yang baik; gel direndam dalam etidium bromida atau etidium bromida yang telah digunakan pada gel dan penyangga elektroforesis. Hasil elektroforesis ini dapat dilihat langsung pada penyinaran dengan UV (Ausubel et al. 1990)

Menurut Muladno (2002) pada prinsipnya DNA dapat berintegrasi di dalam gel dalam bentuk padat yang diletakkan dalam penyangga yang dialiri arus listrik. Salah satu gel yang biasa digunakan adalah gel agarosa. Gel agarosa dapat dicetak dengan memanaskan agarosa yang dilarutkan dalam larutan


(31)

penyangga sampai jernih. Larutan yang masih cair (dengan temperatur sekitar 60 oC) dituangkan ke dalam pencetak gel. Segera setelah itu, sisir ditempatkan didekat tepian gel dan gel dibiarkan mengeras. Apabila telah mengeras, sisir diangkat sehingga akan membentuk lubang-lubang yang digunakan untuk menempatkan larutan DNA. Jika gel ditempatkan ke dalam bak elektroforesis yang mengandung larutan penyangga dan bak tersebut dialiri listrik, molekul DNA yang bermuatan negatif pada pH netral akan bergerak (bermigrasi) ke arah positif (anoda). Kecepatan migrasi DNA ditentukan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah ukuran molekulnya. Migrasi molekul DNA berukuran besar lebih lambat daripada migrasi molekul berukuran kecil.

2.8 Alkaloid dan Steroid 2.8.1 Alkaloid

Alkaloid adalah senyawa organik berbasis nitrogen yang banyak ditemui pada tumbuhan tetapi juga dapat ditemui dalam jumlah yang sedikit pada mikroorganisme dan hewan. Nama alkaloid berarti menyerupai alkali, tingkat kebasaannya bergantung pada struktur molekul serta keberadaan dan lokasi gugus fungsinya (Dewick 2001 diacu dalam Putri 2004). Menurut Suradikusumah (1989) alkaloid umumnya dinyatakan sebagai senyawa basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen yang merupakan bagian dari sistem siklik. Atom nitrogennya hampir selalu dalam bentuk nitro atau diazo. Subtituen oksigen umumnya dalam bentuk gugus fenol, metoksil atau metilendioksida.

Klasifikasi alkaloid atas dasar struktur molekul sulit dilakukan, hal ini dikarenakan terlalu banyak struktur yang ada. Penggolongan lain berdasarkan jumlah cincin nitrogen dan biosintesis yang terjadi dibagi atas tiga golongan yaitu (1) alkaloid sejati, (2) protoalkaloid dan (3) pseudoalkaloid (Pelletier 1983; Bruneton 1993).

Alkaloid sejati merupakan senyawa nitrogen yang memiliki struktur yang kompleks dan bersifat basa. Atom nitrogen yang terdapat di dalam struktur merupakan bagian dari sistem heterosiklik yang menentukan aktivitas farmakologis. Untuk alkaloid jenis ini terbentuk secara biosintesis dari asam amino dan pada tumbuhan ditemukan dalam bentuk garam.


(32)

17

Protoalkaloid merupakan senyawa amina sederhana yang memiliki atom nitrogen bukan merupakan bagian dari sistem heterosiklik. Senyawa ini juga bersifat basa dan dapat terbentuk secara in vivo dari asam amino. Senyawa yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah senyawa amina sederhana seperti serotonin dan betain.

Pseudoalkaloid memiliki atom nitrogen yang merupakan bagian dari sistem heterosiklik tetapi bukan merupakan turunan dari asam amino. Senyawa-senyawa yang termasuk dalam golongan ini antara lain Senyawa-senyawa isoprenoid, senyawa alkaloid terpenoid dan senyawa nitrogen heterosiklik yang muncul dari metabolisme asetat.

Alkaloid memiliki bobot molekul antara 100-900. Umumnya alkaloid tidak mengandung atom oksigen, berbentuk cair pada suhu kamar, sedangkan alkaloid yang memiliki atom oksigen berbentuk kristal padat (Harborne 1987). Hampir seluruh senyawa yang berbentuk kristal memiliki titik leleh dibawah 200

o

C. Alkaloid umumnya tidak berwarna, tetapi alkaloid yang lebih kompleks terutama yang mengandung gugus aromatis akan berwarna (Robinson 1995).

Alkaloid lebih mudah diekstrak oleh pelarut polar seperti air yang diasamkan, atau pada kondisi basa menggunakan natrium karbonat dan basa bebas. Filtrat yang diperoleh selanjutnya diekstrak dengan pelarut organik seperti eter dan pelarut yang bersifat polar (Maldoni 1991 diacu dalam Robinson 1995). Umumnya alkaloid dapat diendapkan dengan pereaksi Meyer (kalium raksa II iodida). Pereaksi Wagner (iodium dalam kalium iodida), asam silikotungstat 5%, asam tanat 5%, pereaksi Dragendorff (kalium tetraiodobismutat), iodopainat dan larutan asam pikrat jenuh juga dapat digunakan untuk mengetahui keberadaan senyawa alkaloid.

2.8.2 Steroid

Steroid adalah salah satu jenis asam lemak yang merupakan turunan perihidroksiklopentanofenantrena, yang terdiri atas 3 cincin sikloheksana terpadu seperti bentuk fenantrena (cincin A, B dan C) dan sebuah cincin siklopentana yang tergabung pada ujung sikloheksana (cincin D) (Gambar 6).


(33)

A B

C D

Gambar 6 Kerangka inti steroid (Litwack dan Schmidt 2002).

Menurut Fahi et al. (2005) sterol atau steroid alkohol merupakan bagian dari steroid dengan group hidroksil pada posisi 3 dari cincin A. Sterol dari tumbuhan disebut fitosterol dan sterol dari hewan disebut zoosterol. Zoosterol yang utama adalah kolesterol dan beberapa hormon steroid. Sedangkan Poejiadi dan Supriyanti (2006) menggolongkan senyawa steroid ke dalam kolesterol, 7 dehidrokolesterol, ergosterol, asam-asam empedu dan hormon steroid.

Menurut Linder (2006) kolesterol adalah senyawa golongan steroid dan hanya terdapat dalam lemak hewan, mempunyai peranan penting sebagai penyusun plasma sel, lipoprotein plasma dan merupakan prekusor pembentukan asam empedu, hormon-hormon dan vitamin D. Selanjutnya Poejiadi dan Suryanti (2006) menyatakan bahwa senyawa 7-dehidrokolesterol terdapat di bawah kulit dan hanya berbeda sedikit dari kolesterol. Sedangkan ergosterol mempunyai struktur inti sama dengan 7-dehidrokolesterol, tetapi berbeda pada rantai samping (Gambar 7). Senyawa 7-dehidrokolesterol dan ergosterol dapat membentuk vitamin D bila dikenai sinar ultra violet sehingga kedua steroid ini disebut juga provitamin D.

Gambar 7 Struktur dari 7-dehidrokolesterol dan ergosterol. (http://www.cyberlipid.org/accueil.htm)


(34)

19

Evans (2002) menyatakan bahwa asam empedu dibuat dalam hati dan dikumpulkan dalam empedu yang merupakan hasil degradasi kolesterol menjadi C24-karboksil. Asam empedu utama yang dihasilkan hati yaitu asam kholat dan asam khenodeoksikholat. Sedangkan asam empedu yang tidak dihasilkan hati, namun dalam usus dengan bantuan mikroba yaitu asam deoksikholat (dari asam kholat) dan asam lithokholat (dari asam khenodeoksikholat).

Davlin (1993) menyatakan bahwa hormon steroid dibentuk dari jaringan tertentu di dalam tubuh dan dibagi ke dalam dua klas yaitu hormon adrenal dan hormon seks (testosteron, estrogen dan progesteron). Antara ketiga hormon seks ini saling berhubungan, testosteron berperan dalam pengaturan perilaku seksual jantan, sedangkan estrogen dan progesteron berperan dalam pengaturan perilaku seksual betina.

Sterol dari organisma laut terdiri atas campuran yang sangat kompleks. Lebih dari 200 monohidroksi sterol telah dilaporkan dan lebih dari 70 sterol berasal dari satu spesies organisme laut (Riccio et al. 1993). Sedangkan Menurut Kanazawa (2001) komposisi sterol dari hewan invertebrata laut telah menunjukkan campuran kompleks yang mencakup banyak jenis sterol baru dengan inti steroid yang tidak biasa atau rantai samping yang tidak konvensional.

Sterol dapat ditemukan baik sebagai sterol bebas (lanosterol, vitamin D3/

cholecalciferol, desmosterol/24-dehydrocholesterol, stigmasterol, fukosterol), sterol ester (cholesterol glucuronide), teralkilasi (steryl alkil ethers), sterol sulfat (squalamine, annosterol) atau separuh glikosida (steryl glycosides) yang dapat terasilasi sendiri (acylated sterol glycosides) (www.cyberlipid.org/accueil.htm).


(35)

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Nopember 2006 sampai dengan Juni 2007 bertempat di Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, FPIK. Analisis proksimat di lakukan di Laboratorium Kimia Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan analisis asam amino dilakukan di Laboratorium Kimia Pangan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Cimanggu Bogor.

3.2. Bahan dan Peralatan 3.2.1 Bahan

Bahan baku yaitu Kablang (Nerita albicilla) kering diperoleh dari Desa Sather Kabupaten Maluku Tenggara, Propinsi Maluku. Bahan kimia untuk ekstraksi yaitu heksana, etil asetat dan metanol. Bahan untuk uji inhibitor topoisomerase I yaitu drug screening kit topoisomerase I dari TopoGen (Port Orange/USA) yang tersedia di Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan. Bahan untuk uji proksimat dan asam amino antara lain H2SO4, HCl, KOH, NaOH, Na2S2O3, H3BO3, asetonitril 60%, asam amino standar. Bahan untuk karakterisasi ekstrak aktif inhibitor topoisomerase I antara lain pereaksi ninhidrin, Molish, Lieberman Burchard, NH4OH, pereaksi Dragendorff, Meyer dan Wagner. Bahan untuk isolasi senyawa target antara lain CHCl3, dietil ater, NaHCO3, NaCl, Na2SO4.

3.2.2. Peralatan

Alat-alat yang digunakan untuk menyiapkan bahan baku adalah blender, timbangan digital, sudip, botol timbang. Alat untuk ekstraksi adalah magnetic stirrer, gelas piala, corong, vacumrotary evaporator dan aerator. Peralatan lain untuk uji aktivitas inhibitor topoisomerase I yaitu elektroforesis gel, mikropipet, UV iluminator dan kamera. Peralatan untuk analisis kimiawi antara lain tabung reaksi, papan uji (spot plate), cawan porselin, labu Kjeldahl, Soxhlet, oven, desikator, HPLC merk Waters dan seperangkat peralatan gelas.


(36)

21

3.3. Prosedur Penelitian

Penelitian ini meliputi: penentuan kadar proksimat dan komposisi asam amino dari siput laut kering, ekstraksi bahan aktif, pengujian inhibitor topoisomerase I, karakterisasi ekstrak aktif inhibitor topoisomerase I untuk mengetahui kelompok senyawa yang terdapat pada ekstrak aktif, isolasi senyawa target dengan metode spesifik. Gambar 8 menunjukkan diagram alir penelitian komposisi kimia dan aktivitas inhibitor topoisomerase dari Kablang.

Gambar 8 Diagram alir penelitian komposisi kimia dan aktivitas inhibitor topoisomerase I dari Kablang (Nerita albicilla)

3.3.1 Penentuan kadar proksimat dan asam amino Kablang 3.3.1.1 Analisis proksimat Kablang (Nerita albicilla)

Analisis proksimat yang dilakukan meliputi penentuan kadar air, abu, protein, lemak, serat kasar dan karbohidrat.

Analisis proksimat : - Air

- Abu - Protein - Lemak - Serat kasar - Karbohidrat

Siput laut Nerita sp kering

Analisis komposisi asam amino

Uji Inhibitor Topoisomerase

Isolasi senyawa ekstrak aktif

Isolat senyawa aktif Ekstraksi dengan pelarut non polar, semipolar dan polar

Ekstrak aktif Ekstrak kasar

Karakterisasi ekstrak aktif : - Uji Ninhidrin - Uji Molish - Uji L Burchard - Uji Bradford

Uji Fitokimia ekstrak aktif :

- Alkaloid - Flavonoid

- Steroid/triterpenoid - Saponin


(37)

Analisis kadar air (AOAC 1995)

Cawan kosong yang digunakan dikeringkan dalam oven selama 15 menit atau sampai diperoleh berat tetap, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang. Sampel sebanyak 2 g ditimbang dan diletakkan dalam cawan kemudian dipanaskan dalam oven sampai berat tetap pada suhu 105 – 110 o

C. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator dan setelah dingin ditimbang kembali. Persentase kadar air dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Keterangan :

B = berat sampel (g)

B1 = berat (sampel + cawan) sebelum dikeringkan (g) B2 = berat (sampel + cawan) setelah dikeringkan (g)

Analisis kadar abu (AOAC 1995)

Pengukuran kadar abu ditentukan dengan gravimetri. Cawan porselin dipanaskan dalam oven kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3 – 5 g sampel dimasukkan dalam cawan porselin lalu dibakar sampai tidak berasap lagi lalu diabukan pada suhu 600 oC sampai berwarna putih (semua contoh menjadi abu) dan berat konstan. Setelah itu didinginkan dalam desikator dan ditimbang.

Perhitungan kadar abu adalah sebagai berikut :

Analisis kadar protein (AOAC 1995)

Ditimbang sejumlah kecil contoh (1 - 2 g) lalu dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl. Setelah itu ditambahkan 1,9 g K2SO4: 40 mg HgO dan 2,0 ± 0,1 ml H2SO4 dan kemudian contoh dididihkan sampai cairan jernih. Larutan jernih ini lalu dipindahkan ke dalam alat destilasi. Labu Kjeldahl dicuci dengan air (1 – 2) ml kemudian air cucian dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan 8 – 10 ml larutan NaOH-Na2S2O3. Di bawah kondensor diletakkan erlenmeyer yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2 - 4 tetes indikator (campuran 2 bagian metil merah 0,2 % dan

% 100 x B B B (%) air

Kadar = 1− 2

100% x (g) sampel berat (g) abu berat (%) abu Kadar =


(38)

23

1 bagian metilen biru 0,2 % dalam alkohol). Ujung tabung kondensor harus terendam dalam larutan H3BO3. Setelah itu isi erlenmeyer diencerkan sampai 50 ml dan dititrasi dengan HCl 0,02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Proses yang sama dilakukan terhadap blanko. Kadar nitrogen ditentukan sebagai berikut :

% Protein = % N x 6,25 Keterangan:

14,007 = berat atom Nitrogen

6,25 = faktor konversi protein-nitrogen untuk ikan dan produk sampingannya

Analisis kadar lemak (AOAC 1995)

Metode yang digunakan dalam analisis lemak adalah metode ekstraksi soxhlet. Pertama kali labu lemak yang akan digunakan dikeringkan di dalam oven, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang beratnya. Contoh sebanyak 5 g dibungkus dengan kertas saring, setelah itu kertas saring yang berisi contoh tersebut dimasukkan dalam alat ekstraksi soxhlet. Alat kondensor diletakkan di atasnya dan labu lemak diletakkan di bawahnya. Pelarut heksana dimasukkan ke dalam labu lemak secukupnya. Selanjutnya dilakukan refluks selama minimal 5 jam sampai pelarut yang turun kembali ke dalam labu lemak berwarna jernih.

Pelarut yang ada dalam labu lemak didestilasi, dan pelarut ditampung kembali. Labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi kemudian dipanaskan di dalam oven pada suhu 105 oC hingga mencapai berat tetap dan setelah itu didinginkan dalam desikator. Selanjutnya labu beserta lemak didalamnya ditimbang dan berat lemak dapat diketahui. Kadar lemak ditentukan sebagai berikut : 100% x (g) sampel berat (g) lemak berat (%) lemak Kadar =

Analisis serat kasar (AOAC 1995)

Sebanyak 1 g sampel kering dilarutkan dengan 100 ml H2SO4 1,25%, dipanaskan hingga mendidih lalu didestruksi selam 30 menit. Selanjutnya larutan disaring menggunakan kertas saring dengan bantuan corong Buchner. Residu hasil saringan dibilas dengan 20-30 ml air mendidih dan dengan 25 ml air

mg) ( sampel berat 100% x 14,007 x HCl N x blanko) HCl ml sampel ml ( (%)


(39)

sebanyak 3 kali. Residu didestruksi kembali dengan 100 ml NaOH 1,25% selama 30 menit. Larutan disaring dengan cara seperti di atas dan dibilas berturut-turut dengan 25 ml H2SO4 1,25% mendidih, 2,5 ml air sebanyak tiga kali dan 25 ml alkohol. Residu beserta kertas saring dipindahkan ke cawan porselin dan dikeringkan dalam oven 130 °C selama 2 jam. Setelah dingin residu beserta cawan porselin ditimbang (A), lalu dimasukkan dalam tanur 600 °C selama 30 menit, didinginkan dan ditimbang kembali (B). Kadar serat kasar ditentukan sebagai berikut:

100% x W2

W1 -W3 (%) kasar serat

Kadar =

Keterangan :

W1 = bobot residu setelah dibakar dalam tanur = B – (bobot cawan) ; B : bobot residu + cawan W2 = berat contoh (gram)

W3 = bobot residu sebelum dibakar dalam tanur

= A – (bobot kertas saring+cawan); A: bobot residu+kertas saring+cawan.

Analisis kadar karbohidrat (Apriyantono et al. 1989)

Perhitungan kadar karbohidrat dilakukan menggunakan metode by difference, yaitu pengurangan 100 % dengan jumlah dari hasil analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan serat kasar). Perhitungannya adalah sebagai berikut:

3.3.1.2 Analisis asam amino (AOAC 1995)

Komposisi asam amino ditentukan dengan menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Sebelum dipakai, perangkat HPLC harus dibilas dulu dengan eluen yang akan digunakan selama 2-3 jam. Begitu pula dengan syringe yang akan digunakan harus dibilas dengan akuades. Analisis asam amino dengan menggunakan HPLC terdiri atas 4 tahap, yaitu: (1) tahap pembuatan hidrolisat protein; (2) tahap pengeringan; (3) tahap derivatisasi; (4) tahap injeksi serta analisis asam amino.

Kadar karbohidrat (%) = 100% - % kadar (air + abu + protein + lemak + serat kasar)


(40)

25

(1) Tahap pembuatan hidrolisat protein

Untuk preparasi sampel yaitu tahap pembuatan hidrolisat protein, sampel ditimbang sebanyak 0,1 g dan dihancurkan. Sampel yang telah hancur ditambah dengan HCl 6 N sebanyak 5-10 ml yang kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 100 oC selama 24 jam. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan gas atau udara yang ada pada sampel agar tidak mengganggu kromatogram yang dihasilkan. Setelah pemanasan selesai, hidrolisat protein disaring dengan menggunakan milipore berukuran 45 mikron.

(2) Tahap pengeringan

Hasil saringan diambil sebanyak 10 µl dan ditambah dengan 30 µl larutan pengering. Larutan pengering dibuat dari campuran antara metanol, natrium asetat, dan trietilamin dengan perbandingan 2:2:1. Setelah ditambahkan larutan pengering, dilakukan pengeringan dengan pompa vakum untuk mempercepat proses dan mencegah oksidasi.

(3) Tahap derivatisasi

Larutan derivatisasi sebanyak 30 µl ditambahkan pada hasil pengeringan. Larutan derivatisasi dibuat dari campuran antara larutan metanol, pikoiodotiosianat, dan trimetilamin dengan perbandingan 3:3:4. Proses derivatisasi dilakukan agar detektor mudah untuk mendeteksi senyawa yang ada pada sampel. Selanjutnya dilakukan pengenceran dengan cara menambahkan 10 ml asetonitril 60% dan natrium asetat 1 M lalu dibiarkan selama 20 menit. Hasil pengenceran disaring kembali dengan menggunakan milipore berukuran 0,45 µm.

(4) Injeksi ke HPLC

Hasil saringan diambil sebanyak 20 µl untuk diinjeksikan ke dalam HPLC. Untuk perhitungan konsentrasi asam amino pada bahan, dilakukan pembuatan kromatogram standar dengan menggunakan asam amino standar yang telah siap pakai yang mengalami perlakuan yang sama dengan sampel.

Kondisi alat HPLC saat berlangsungnya analisis asam amino: Temperatur Kolom : 38 oC

Jenis kolom : Pico tag 3.9 x 150 nm column Kecepatan alir eluen : 1 ml/menit

Program : Gradien


(41)

Fase gerak : Asetonitril 60 % dan Natrium asetat 1 M 40 % Detektor : UV/ 254 nm

Merk : Waters

Kandungan asam amino pada bahan dapat dihitung dengan rumus yaitu presentase asam amino dalam 100 g sampel :

luas area sampel x 2,5 mol/ml x 5 ml x BMA x 100 luas area standar

Asam amino (%) =

Bobot sampel (0,25 g)

Keterangan :

BMA = berat molekul asam amino

3.3.2 Ekstraksi bahan aktif Kablang (Nerita albicilla)

Metode ekstraksi bahan aktif yang digunakan adalah metode bertingkat. Pelarut yang digunakan adalah heksana sebagai pelarut nonpolar, etil asetat sebagai pelarut semipolar dan metanol sebagai pelarut polar. Pekerjaan ekstraksi bahan aktif Kablang dimulai dari penghalusan sampel yang telah kering dengan blender. Diagam alir proses ekstraksi bahan aktif Kablang dapat dilihat pada Gambar 9.

Sebanyak 50 g sampel halus ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer selanjutnya diberi pelarut dengan perbandingan 1 : 2 (b/v). Semua sampel yang telah ditambah pelarut dimaserasi dengan menggunakan shaker selama 24 jam pada suhu ruang. Selama maserasi, erlenmeyer ditutup dengan menggunakan alumunium foil untuk mencegah penguapan pelarut. Setelah 24 jam sampel disaring dengan menggunakan corong kaca dan kertas saring untuk memisahkan filtrat dan residunya. Bagian residu kemudian direndam dengan pelarut kedua (etil asetat), dimaserasi kembali selama 24 jam dan disaring sehingga diperoleh filtrat dari residu kedua. Selanjutnya residu kedua direndam lagi dengan pelarut ketiga (metanol) lalu dimaserasi selama 24 jam dan disaring sehingga diperoleh filtrat ketiga. Masing-masing filtrat dievaporasi dengan menggunakan evaporator vakum (vacuum rotary evaporator) untuk menguapkan pelarut yang melarutkan sampel.


(42)

27

Gambar 9 Diagam alir proses ekstraksi bahan aktif Kablang

Penghancuran

Maserasi 24 jam dengan heksana

Filtrasi

Filtrat I Residu

Evaporasi

Ekstrak heksana

Maserasi 24 jam dengan etil asetat

Filtrasi

Filtrat II Residu

Evaporasi

Filtrasi Ekstrak etil asetat

Filtrat III Residu

Evaporasi

Ekstrak metanol

Maserasi 24 jam dengan metanol


(43)

Masing-masing filtrat yang dihasilkan dievaporasi dengan suhu yang sesuai dengan pelarut yang digunakan sampai terbentuk ekstrak yang berupa pasta, selanjutnya ekstrak dari masing-masing pelarut disebut ekstrak heksana, ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol. Masing-masing ekstrak dikerok dan dimasukkan ke dalam botol sampel, kemudian disimpan pada suhu 4 °C. Selanjutnya ketiga ekstrak tersebut dicuci untuk membersihkan ekstrak dari pengotor dengan cara melarutkan dalam pelarut masing-masing dan didiamkan selama semalam di lemari es. Bagian yang terlarut dievaporasi untuk menguapkan pelarutnya. Bila sudah tidak terbentuk endapan maka ekstrak disebut ekstrak bersih.

3.3.3 Uji aktivitas inhibitor topoisomerase I (TopoGen 2006)

Uji inhibisi enzim DNA topoisomerase dari ekstrak dan fraksi-fraksi dengan metode elektroforesis. Substrat yang digunakan adalah DNA plasmid superkoil 25 μg dalam 100 μl buffer TAE (tris base-glacial acetic acid-EDTA) yang terdiri dari 0,25 μg/μl TE (Tris HCl-EDTA) : 10 mM Tris-HCl (pH 7,5), 1 mM etilen diamin tetra asetat (EDTA), kemudian ditambah 3 μl enzim DNA topoisomerase I. Volume reaksi akhir menjadi 20 μl. Penambahan dilakukan secara berurutan, yang terakhir ditambahkan adalah enzim topoisomerase, selanjutnya aquades ditambahkan untuk mencapai volume 20 μl.

Reaksi harus dilakukan dalam tabung mikrosentrifuse dalam es. Setelah penambahan enzim, tabung diinkubasi pada suhu 37 oC selama 30 menit. Pada akhir reaksi ditambahkan dengan 1/10 volume dari 10% sodium dodecyl sulfate (SDS), penambahan SDS pada suhu 37 oC untuk menjebak enzim dalam kompleks pembelahan. Sisa enzim selanjutnya diinaktifkan dengan dengan Proteinase-K atau pronase (untuk menghancurkan protein) dan diekstrak sekali lagi dengan chloroform isoamyl alcohol (CIA) terutama untuk mengisi gel. Hasil inkubasi diencerkan dengan bufer dan dilanjutkan dengan analisis elektroforesis dengan gel agarosa. Selanjutnya dilakukan pewarnaan dengan etidium bromida, untuk penentuan kualitatif bentuk DNA nick dan superkoil. Aktivitas inhibisi enzim topoisomerase I ditentukan dengan kemampuan enzim untuk merubah bentuk DNA superkoil menjadi DNA bentuk nick/relaxed. Enzim DNA topoisomerase yang digunakan adalah human topoisomerase I dari Drug


(44)

29

Screening Kit topoGen. Kontrol positif inhibitor topoisomerase I adalah Camptothecin. Selain untuk sampel disertakan juga reaksi yang berfungsi sebagai kontrol (Lampiran 6). Gambar 10 menunjukkan tahapan dalam uji aktivitas inhibitor topoisomerase I.

Gambar 10 Tahapan dalam uji inhibitor topoisomerase I.

Diinkubasi 37 oC dalam heating block atau water bath

selama 30 menit

Ditambahkan 2µl (1/10 volume) SDS 10%

Ditambahkan 1 µl proteinase K (dari stok 20 µg/µl)

Dinkubasi 37 oC dalam heating block atau water bath

selama 30 menit

Ditambahkan 2 µl (1/10 volume) loading buffer

Ditambahkan 20 µl (volume yang sama) kloroform:isoamil alkohol (CIA)(24 : 1)

Divortex dan disentrifugasi secukupnya

Lapisan atas (berwarna biru), diambil, lalu dielektroforesis dalam

gel agarosa 1%

Akuades secukupnya sampai volume 20 µl 10 x buffer TGS 2 µl

DNA plasmid superkoil (250ng/µl) 1 µl Kontrol inhibitor atau sampel jumlah bervariasi


(45)

3.3.4 Karakterisasi ekstrak aktif inhibitor topoisomerase I

Tujuan karakterisasi adalah untuk mengetahui kelompok senyawa yang terdapat pada ekstrak aktif inhibitor topoisomerase I. Uji yang dilakukan adalah Ninhidrin, Molish, Lieberman Burchard dan Bradford (Bintang 1999). Sebanyak 0,1 g ekstrak dilarutkan dalam pelarut masing-masing. Ekstrak heksana dilarutkan dalam 5 ml heksana, ekstrak etil asetat dilarutkan dalam 5 ml etil asetat dan ekstrak metanol dilarutkan dalam 5 ml metanol.

Uji Ninhidrin

Uji ninhidrin dilakukan untuk menentukan adanya asam amino bebas dalam suatu bahan. Ninhidrin bereaksi dengan gugus amino pada asam amino bebas membentuk senyawa berwarna ungu, sedangkan dengan prolin dan hidroksiprolin ninhidrin berwarna kuning. Cara pengujian adalah sebagai berikut : ekstrak kasar Kablang 1 ml dalam tabung reaksi ditambah larutan ninhidrin 1 (satu) ml, lalu dipanaskan dalam penangas air mendidih selama lima menit. Bila terlihat warna ungu berarti positif. Uji ini dilakukan secara duplo.

Uji Molish

Uji ini adalah uji umum untuk menentukan adanya karbohidrat dalam suatu bahan. Karbohidrat akan dipecah oleh asam sulfat pekat menjadi gugus furfural yang akan bereaksi dengan sulfonat alfa-naftol membentuk senyawa berwarna ungu. Pereaksi molish terdiri atas alfa-naftol 5% dalam etanol 95% yang selalu dibuat segar. Uji ini dilakukan secara duplo. Cara pengujiannya dalam 1 ml ekstrak dibubuhi 2 tetes pereaksi molish lalu ditambahkan 1 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung secara hati-hati. Bila terbentuk lapisan berwarna ungu, berarti positif mengandung karbohidrat. Bila tidak ada karbohidrat akan berwarna hijau.

Uji Lieberman Burchard

Uji ini adalah uji umum untuk menentukan adanya steroid dalam suatu bahan. Cara pengujiannya adalah ekstrak 1 ml ditambahkan 1 ml kloroform, 10 tetes asam asetat anhidrat dan 2 tetes asam sulfat pekat melewati dinding tabung secara berurutan. Campuran dikocok perlahan-lahan dan dibiarkan beberapa


(46)

31

menit. Bila terbentuk warna biru, berarti positif menunjukkan adanya steroid. Uji ini dikerjakan secara duplo.

Uji Bradford

Uji ini untuk mengetahui adanya protein dalam suatu bahan. Uji Bradford menggunakan pereaksi coomassie blue yang terdapat dalam reagen bradford. Coomassie blue tersebut mengikat protein membentuk kompleks berwarna biru.

Ekstrak 0,1 ml ditambah dengan 1 ml pereaksi Bradford. Tabung ditutup rapat dengan parafilm dan dikocok dengan cara membalikkan tabung perlahan-lahan beberapa kali. Jika menghasilkan warna biru cerah berarti positif mengandung protein. Kemudian didiamkan selama lima menit atau paling lama satu jam. Bila terbentuk warna biru, berarti positif mengandung protein.

Uji alkaloid

Uji ini untuk mengetahui adanya alkaloid dalam suatu bahan dengan menggunakan pereaksi logam berat. Pereaksi didasarkan pada kesanggupan alkaloid untuk bergabung dengan logam yang memiliki berat atom tinggi seperti merkuri, bismut dan iod. Ion logam pada senyawa pereaksi cenderung berikatan koordinasi dengan nitrogen (ligan) membentuk senyawa komplek yang menyebabkan terjadi perubahan warna dan terbentuknya endapan. Sebanyak 1 g ekstrak dilarutkan dengan 10 ml kloroform dan beberapa tetes NH4OH kemudian disaring ke dalam tabung reaksi bertutup. Ekstrak kloroform dalam tabung reaksi dikocok dengan 10 tetes H2SO4 2 M dan lapisan asamnya (bagian atas) dipisahkan ke dalam tabung reaksi yang lain. Lapisan asam ini diteteskan pada papan uji (spot plate) dan ditambahkan pereaksi Dragendorf KBiI4, Meyer K2(HgI4) dan Wagner KI(I2) yang akan menimbulkan endapan dengan warna berturut-turut merah jingga, putih dan coklat menunjukkan alkaloid positif.

Uji saponin

Sebanyak 1 g ekstrak ditambahkan dengan air secukupnya selanjutnya dipanaskan pada air menidih selama 5 menit. Selesai proses pemanasan larutan didinginkan dan dikocok, jika timbul busa yang bertahan lebih dari 10 menit maka pada ekstrak menunjukkan adanya saponin.


(47)

Uji flavonoid dan hidrokuinon

Uji flavonoid dan fenolik hidrokuinon dilakukan dengan prosedur sebanyak 1 g contoh ditambah metanol 30% sampai terendam lalu dipanaskan. Selanjutnya dilakukan penyaringan dan filtrat yang diperoleh ditaruh kedalam spot plate (papan uji) dan kemudian ditambahkan NaOH 10% (b/v) atau H2SO4 pekat. Terbentuknya warna merah akibat penambahan H2SO4 menunjukkan adanya flavonoid dan fenolik hidrokuinon ditandai dengan terbentuknya warna merah karena penambahan NaOH.

Uji triterpenoid dan steroid

Uji Liebermann Burchard dilakukan berdasarkan asetilasi 3 β hidroksi oleh asam anhidrida dalam H2SO4. Ester asetil 3 β hidroksi sterol yang mengandung ikatan ganda didalam asam akan mengalami epimerisasi menjadi bentuk 3α dan reaksi eliminasi yang menimbulkan produk berwarna. Uji triterpenoid ditandai dengan warna ungu atau merah, sedangkan steroid warna hijau atau biru. Sebanyak 2 g ekstrak ditambah 25 ml etanol 30% dipanaskan (50 oC) dan disaring, filtratnya diuapkan kemudian ditambah eter. Lapisan eter dipipet dan diujikan pada spot plate dengan menambahkan pereaksi Liebermen Burchard (3 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes H2SO4 pekat) kemudian diamati warna yang terbentuk.

3.3.5 Isolasi senyawa target dengan metode spesifik

Isolasi senyawa target dengan metode spesifik dimaksudkan untuk memperoleh senyawa yang terdapat pada ekstrak aktif inhibitor topoisomerase I. Metode spesifik yang dimaksud adalah ekstraksi alkaloid dan steroid.

Ekstraksi alkaloid

Metode yang digunakan merujuk pada Harborne (1987). Metode tersebut dipilih diantara metode lain karena pertimbangan jumlah ekstrak yang dihasilkan dan tetap mengikuti pada ketentuan pemilihan pelarut untuk memperoleh senyawa target. Bagan alir ekstraksi alkaloid disajikan pada Gambar 11.


(48)

33

Gambar 11 Bagan alir ekstraksi alkaloid (Harborne 1987).

Ekstraksi steroid

Ekstraksi setroid mengacu pada Bahti et al. (1983) yang dikutip oleh Heryani (2002). Penghilangan lemak dilakukan dengan cara partisi dengan

Ekstrak

Direndam dengan metanol air (4:1) (24 jam)

Filtrat diuapkan

(sampai 1/10 volume awal, suhu 40 oC)

Diasamkan (pH 3-4) dengan H2SO4 2M

Diekstraksi dengan kloroform (3x)

diuapkan

Dibasakan sampai pH 10 (+NH4OH)

Diekstraksi dengan CHCl 3-MeOH (3:1) (2x)

Diuapkan lapisan CHCl3-MeOH

Diekstraksi dengan MeOH Ekstrak Polar

Pertengahan (EPP)

Lapisan kloroform Lapisan air

Ekstrak Basa (EB)

Ekstrak Polar (EP) Lapisan air


(49)

pelarut heksana. Diagram proses ekstraksi steroid secara skematis disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12 Bagan alir ekstraksi steroid (Bahti et al. 1983 diacu dalam Heryani 2002).

Ekstrak

Dihidrolisis dengan KOH 10% (dalam etanol) (di atas penangas air 100 oC, 3 jam)

Disaring

Rotavapor Filtrat

Diekstraksi dengan dietil eter Hidrolisat kering

Ekstrak dietil eter Ampas (dibuang) Dicuci berturut-turut dengan

(H2O, HCl 2N, H2O, NaHCO3 jenuh,

NaCl jenuh)

Fase dietil eter

Fase air (pencuci) dibuang

Dikeringkan dengan Na2SO4 anhidrat

Ekstrak dietil eter


(50)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kandungan Gizi Kablang 4.1.1 Analisis proksimat

Nilai gizi dari suatu produk merupakan parameter yang sangat penting karena merupakan salah satu pertimbangan konsumen dalam menentukan pilihan terhadap makanan. Salah satu cara untuk menentukan kandungan gizi suatu produk adalah analisis proksimat.

Analisis proksimat terhadap daging Kablang (Nerita albicilla) meliputi pengukuran kadar air, protein, lemak, abu, serat kasar dan karbohidrat (by difference). Hasil analisis proksimat daging Nerita albicilla disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Hasil analisis proksimat daging kering Kablang dibandingkan dengan produk perikanan lainnya

Komposisi Kablang (Nerita

albicilla) Bekicot (Achatina fulita)** Kerang darah (Anadara granosa)** Teripang batu (Holothuria. scabra)** Air (%) Protein (%) Lemak (%) Abu (%) Serat kasar (%) Karbohidrat * (%)

12,44 62,05 5,58 9,17 6,60 4,16 5,69 72,47 4,55 11,25 - 11,72 6,32 79,92 6,78 5,64 - 1,34 10,34 54,05 6,30 28,02 - 1,29 * by difference

** Sumber : Witjaksono (2005).

Tabel 1 memperlihatkan bahwa Kablang memiliki kadar air sebesar 12,44%, kadar protein 62,05%, kadar lemak 5,58%, kadar abu 9,17%, serat kasar 6,60% dan karbohidrat 4,16%. Walaupun dibandingkan dengan kandungan protein komoditas invertebrata perikanan lainnya yaitu bekicot (72,47%) dan kerang darah (79,92%) terlihat lebih rendah dan sedikit lebih tinggi dari kandungan protein teripang batu akan tetapi kandungan protein Kablang dapat meningkat lagi disebabkan kadar airnya yang masih cukup tinggi.

Protein adalah sumber asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat. Molekul protein juga mengandung fosfor, belerang, dan unsur logam seperti besi dan tembaga (Winarno 1997). Protein merupakan makromolekul yang paling melimpah di


(51)

dalam sel dan menyusun lebih dari setengah berat kering pada hampir semua organisme (Lehninger 1997).

Fungsi utama protein bagi tubuh yaitu membentuk jaringan baru dan mempertahankan jaringan yang sudah ada. Secara garis besar fungsi protein yaitu sebagai enzim, alat pengangkut dan penyimpan, pengatur pergerakan, penunjang mekanis, pembangun sel-sel jaringan tubuh, pertahanan tubuh, bahan bakar dan pemberi tenaga, menjaga asam basa cairan tubuh, membuat protein darah, dan media perambatan impuls saraf (Nasoetion et al. 1994).

Kekurangan protein menyebabkan malnutrisi protein pada anak saat lahir (kwashiorkor), defisiensi energi bersama protein (marasmus), atau gabungan keduanya yang dapat mengakibatkan kegagalan pertumbuhan ringan sampai suatu sindrom klinis berat yang spesifik. Keadaan tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh intake makanan, tetapi juga oleh keadaan lingkungan seperti pemukiman, sanitasi dan higiene, serta infeksi berulang yang pernah dialami tubuh (Effendi 2002). Kelebihan protein bisa menyebabkan obesitas karena makanan yang tinggi protein biasanya tinggi lemak. Selain itu, kelebihan protein menyebabkan asidosis, dehidrasi, diare, kenaikan amoniak darah, kenaikan urea darah, dan demam. Asam amino yang berlebihan akan memberatkan kerja ginjal dan hati yang harus memetabolisme dan mengeluarkan kelebihan nitrogen (Almatsier 2002).

Lemak di alam mengandung 98% sampai 99% trigliserida, 1-2% monogliserida, digliserida, asam lemak bebas dan fosfolipid. Komponen utama lemak hewan adalah palmitat, stearat dan oleat dengan sejumlah linoleat dan sedikit asam arakidonat (Poejiadi dan Supriyanti 2006). Asam-asam lemak esensial ini berperan dalam transpor lemak , metabolisme dan memelihara fungsi membran sel. Selanjutnya Childs (1987) dalam Harli (2003) menyatakan bahwa daya serap kolesterol paling rendah berasal dari diet kerang dibandingkan dengan diet ayam dan kepiting yaitu 25 persen dibandingkan dengan kolesterol ayam dan kepiting.

Abu merupakan salah satu komponen dalam bahan makanan. Komponen ini terdiri dari kalsium, fosfor, natrium dan tembaga (Winarno 1995). Menurut Apriyantono et al. (1989), kadar abu menunjukkan besarnya jumlah mineral yang terkandung dalam bahan pangan tersebut. Mineral merupakan bagian dari unsur


(52)

37

pembentuk tubuh yang memegang peranan penting dalam pemiliharaan fungsi tubuh. Kekurangan mineral terutama kalsium pada masa pertumbuhan dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, tulang kurang kuat, mudah bengkok, dan rapuh. Semua orang dewasa, terutama sesudah usia lima puluh tahun, kehilangan kalsium dari tulangnya. Tulang menjadi rapuh dan mudah patah, hal ini dinamakan osteoporosis yang dapat dipercepat oleh keadaan stress sehari-hari (Almatsier 2002). Kalsium juga berkaitan sangat erat dengan fosfor dalam tubuh. Metabolisme kedua unsur ini berhubungan dengan sejumlah mekanisme fisiologis tubuh. Kalsium mempunyai peranan penting dalam proses kontraksi otot, menjaga normalitas kerja jantung dan merupakan aktivator enzim-enzim tertentu (Poejiadi dan Supriyanti 2006).

Fosfat penting bagi tubuh terutama fungsinya sebagai bagian dari struktur gigi dan tulang juga terdapat dalam bentuk senyawa ATP dan kreatin fosfat, koenzim dari golongan vitamin B, protein konjugasi dan fosfolipid. Fosfor dalam makanan dapat diserap oleh tubuh sekitar 70%. Penyerapan fosfor dibantu oleh Vitamin D.

Natrium pada tubuh manusia dan hewan didapatkan dalam bentuk ion terdisosiasi dan merupakan partikel-partikel utama yang berperan untuk osmolitas cairan, mempengaruhi kekuatan ionik sehingga mempengaruhi kelarutan dari protein dan komponen lainnya (Linder 2006). Selanjutnya dijelaskan bahwa Natrium (Na) dalam diet terutama dalam bentuk NACl, secara alamiah atau sengaja ditambahkan untuk meningkatkan rasa. Sedangkan mineral tembaga berperan dalam proses maturasi sel-sel darah merah dan proses pembentukan hemoglubin dan mempermudah absorbsi besi.

Karbohidrat pada hewan digolongkan dalam polisakarida yang merupakan senyawa karbohidrat kompleks. Glikogen adalah salah satu polisakarida dan merupakan "pati hewani" yang terdapat pada otot hewan, manusia dan ikan. Glikogen ini larut di dalam air dan bila bereaksi dengan lodium (I) akan menghasilkan warna merah (Poedjiadi dan Supriyanti 2006). Sebagian besar karbohidrat (2/3) yang dimakan akan disimpan didalam otot dan selebihnya disimpan didalam hati sebagai glikogen namun apabila hati (hepar) mengalami gangguan maka tugas ini tidak akan dijalankannya. Oleh karena itu, ketika tubuh


(53)

memerlukan energi maka yang seharusnya simpanan glikogen lebih dulu dimanfaatkan akan digantikan oleh lemak yang ditimbun didalam jaringan lemak, karena biasanya kelebihan karbohidrat yang tidak dapat disimpan sebagai glikogen akan diubah menjadi lemak dan disimpan di jaringan lemak.

Komponen-komponen bioaktif dalam makanan dapat terbentuk secara alami atau terbentuk selama proses pengolahan makanan. Komponen bioaktif ini meliputi senyawa yang berasal dari karbohidrat, protein, lemak, dan komponen-komponen yang terdapat secara alami di dalam pangan. Banyak komponen-komponen bioaktif pangan saat ini diketahui mempunyai efek positif terhadap kesehatan, oleh karena itu penggunaan pangan (Kablang) yang diketahui mengandung senyawa bioaktif atau pangan fungsional merupakan hal yang bermanfaat karena memiliki fungsi fisiologis bagi tubuh. Secara tradisional Kablang digunakan untuk mengobati penyakit hati dan dalam penelitian ini juga dilakukan uji terhadap ekstrak dari kablang yang memiliki aktivitas menghambat kerja dari enzim topoisomerase I yang berperan dalam pengobatan kanker.

Dari uraian di atas maka dapat dijelaskan hubungan antara komponen gizi dari Kablang dengan penyakit kanker adalah erat kaitannya dengan sel-sel imun dari penderita kanker. Kemampuan sel-sel imun sangat tergantung pada zat-zat gizi yang dibawa oleh makanan. Bila zat-zat gizi telah cukup, tambahan makanan akan lebih meningkatkan kemampuan sel-sel imun dalam usahanya melawan berbagai mikroorganisme yang masuk dalam tubuh kita, yaitu virus dan bakteri.

Lebih lanjut lagi, sel natural killer (NK) diuji secara in vitro dengan cara diadu dengan sel-sel kanker darah atau leukemia. Hasilnya menunjukkan kemampuan sel NK membunuh sel kanker dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan sel NK dari mereka yang tidak mendapat makanan yang bergizi. Sel NK adalah sel imun yang tugas utamanya adalah membasmi virus yang telah berhasil masuk dalam sel tubuh dan menghancurkan sel yang telah termutasi sehingga bahan atau senyawa yang dapat meningkatkan kemampuan sel imun ini dapat diartikan meningkatkan pencegahan terhadap bakteri, virus dan penyakit kanker.


(1)

Lampiran 1. Road map penelitian penapisan dan uji aktivitas inhibitor topoisomerase I dari Kablang ( Nerita albicilla)

Siput laut (Nerita sp)

Dani Royani, 2006 aktivitas inhibitor topoisomerase

Ekstraksi dengan 3 pelarut organik dengan tingkat kepolaran berbeda.

(Heksan, etil asetat, methanol)

Ekstrak kasar

Fraksinasi senyawa ekstrak aktif - Analisis proksimat

(air, abu, protein, lemak, karbohidrat) - Asam amino - Asam lemak

Isolasi dan identifikasi senyawa aktif

Siput Laut Nerita sp

Nerita albicilla

Martin et al. (1986) Senyawa

Isopteroprodine

Karakterisasi ekstrak aktif

- Uji Ninhidrin - Uji Molish - Uji Burchard - Uji Bradford

Uji inhibitor Topoisomerase

Uji aktivitas fraksi aktif inhibitor topoisomerase

Ekstrak aktif

Nerita albicilla

Sanduja et al. (1985) Pigmen antibakteri fulvoplumierin


(2)

Lampiran 2 Contoh perhitungan rendemen ekstrak Kablang (Nerita albicilla)

Ekstrak

Berat awal sampel (g)

Berat ekstrak kasar (g)

% rendemen (w/w)

Heksana 50,060 1,025 2,05

Etil asetat 50,060 0,780 1,56

Metanol 50,060 3,495 6,99

Rendemen ekstrak = 100%

) ( ) (

x g awal sampel Berat

g ekstrak Berat

Rendemen ekstrak heksana (%) = 100% 060

, 50

025 , 1

x g g

= 2,05 %

Rendemen ekstrak etil asetat (%) = 100% 060

, 50

780 , 0

x g g

= 1,56 %

Rendemen ekstrak metanol (%) = 100% 060

, 50

495 , 3

x g g


(3)

Lampiran 3. Contoh perhitungan asam amino Kablang (Nerita albicilla)

Untuk menghitung asam amino lisin pada contoh, tinggi puncak kromatogram asam amino lisin = 4,55 cm dan pada standar = 7,08 cm, BM lisin = 146,2

Lisin = g x x x x x ml x ml mol x cm cm 3 6 10 10 % 100 10 2 , 146 4 3 / 250 , 0 3 , 13 81 , 7 − − μ

= 2,8 %

Kemudian satuan kadar asam amino diubah ke dalam mg/g protein dengan rumus: 100

mg/g protein = x % asam amino x 10 Kadar protein

100

mg/g protein = x 2,8% x 10 = 44,8 62,05

As. Amino Bobot Molekul asam amino (µg/µ mol)

Aspartat 133,1 Glutamat 147,3 Serin 105 Glisin 75 Histidin 155,1 Arginin 174,2 Treonin 119,1 Alanin 89 Prolin 115,1 Tirosin 181,1 Valin 117,1 Metionin 149,2 Sistin 120,1 Isoleusin 131 Leusin 131,1 Fenilalanin 165,1 Lisin 146,2


(4)

Lampiran 4. Kurva standar analisis asam amino

No. Asam amino Retention

Time AREA CONC

1 Aspartat 1,14 291826 4,241 2 Glutamat 1,66 259662 3,773 3 Serin 2,81 458789 6,667 5 Glisin 4,46 303191 4,406 6 Histidin 5,30 420738 6,114 7 Arginin 6,22 396565 5,763 8 Treonin 6,92 371543 5,399 9 Alanin 7,50 440682 6,404 10 Prolin 8,48 414414 6,022 11 Tirosin 9,42 416426 6,052 12 Valin 10,26 543065 7,891 13 Metionin 11,19 371238 5,395 14 Sistin 11,63 385453 5,602 15 Isoleusin 12,79 282701 4,103 16 Leusin 13,75 467231 6,791 17 Fenilalanin 14,94 568627 8,263 18 Lisin 16,59 489076 7,107

TOTAL 6881227 100,000


(5)

Lampiran 5. Hasil analisis asam amino dari sampel Kablang (Nerita albicilla)

NO. Asam

amino

Retention

Time AREA CONC

2 Aspartat 1,15 130525 7,334

3 Glutamat 1,59 179748 10,100

6 Serin 2,90 53444 3,003

9 Glisin 4,38 107765 6,055

10 Histidin 5,33 58998 3,315

11 Arginin 6,33 50236 2,823

12 Treonin 7,00 99791 5,607

13 Alanin 7,55 127571 7,168

14 Prolin 8,48 68941 3,874

15 Tirosin 9,44 72355 4,065

16 Valin 10,36 156285 8,781

17 Metionin 11,27 68835 3,868

18 Sistin 11,70 45076 2,533

19 Isoleusin 12,70 116623 6,553

20 Leusin 13,76 163711 9,199

22 Fenilalanin 14,91 89563 5,032

24 Lisin 16,47 128250 7,206

TOTAL 1779739 100,000


(6)

Lampiran 6 Pereaksi untuk uji aktivitas inhibitor topoisomerase I

Tambahkan bahan-bahan berikut ke dalam tabung ependorf dengan berurutan : H2O = hingga volume reaksi 20 µl,

10x TGS (Tris glysine SDS) buffer = 2 µl Supercoiled DNA (250 ng/µl) = 1 µl

Sampel ekstrak = bervariasi, 1-2 µl Enzim topoisomerase I. = 2 µl (4 unit)

Selain reaksi dengan sampel, reaksi-reaksi yang disertakan yang berfungsi sebagai kontrol.:

Kontrol 1 : H2O (13 µl), buffer TGS (2 µl),DNA superkoil (1 µl), enzim topoisomerase I (1 µl)

: untuk menunjukkan aktifitas enzim, dimana akan terjadi relaksasi DNA

Kontrol 2 : H2O (15 µl), buffer TGS (2 µl), Marker DNA superkoil (1 µl), pelarut sampel (DMSO 10%) (2 µl)

: Untuk menunjukkan bahwa pelarut tidak mempengaruhi mobilitas DNA

Kontrol 3 : H2O (13 µl), buffer TGS (2 µl), DNA superkoil (1 µl), pelarut sampel (DMSO 10%) (2 µl), enzim topoisomerase I (2 µl)

: Untuk menunjukkan bahwa pelarut tidak mempengaruhi aktifitas enzim

Kontrol 4 : H2O (16 µl), buffer TGS (2 µl), DNA relaks marker (2 µl).

Kontrol 5 : H2O (11 µl), buffer TGS (2 µl), DNA superkoil (1 µl),

camptothecin (larutkan stok dalam 10% DMSO hingga 1 mM – gunakan 1/10 volume dalam reaksi) (4 µl), enzim topoisomerase I (2 µl).