Status Stok Ikan Swanggi (Priacanthus Tayenus, Richardson 1864) Di Lamongan, Jawa Timur

STATUS STOK SUMBERDAYA IKAN SWANGGI
(Priacanthus tayenus, Richardson 1846) DI PERAIRAN
LAMONGAN, JAWA TIMUR

MINDIA MARDININGTYAS

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Parameter Status Stok
Sumberdaya Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus, Richardson 1846) di Perairan
Lamongan, Jawa Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.


Bogor, September 2015
Mindia Mardiningtyas
NIM C24110048

ABSTRAK
MINDIA MARDININGTYAS. Status Stok Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus,
Richardson 1864) di Lamongan, Jawa Timur. Dibimbing oleh YONVITNER dan
ACHMAD FAHRUDIN.
Ikan swanggi (Priacanthus tayenus) merupakan ikan demersal yang
memiliki nilai ekonomis penting. Tujuan penelitian ini adalah menentukan status
stok ikan swanggi dan pengelolaan yang lestari dan berekelanjutan. Penelitian ini
dilakukan pada bulan Januari hingga April 2015. Analisis data terdiri atas:
sebaran frekuensi panjang, rasio kelamin, hubungan panjang bobot, tingkat
kematangan gonad, ukuran pertama kali matang gonad, identifikasi kelompok
umur, pendugaan parameter pertumbuhan, mortalitas dan laju eksploitasi, model
produksi surplus, dan indeks musim penangkapan ikan. Hasil penelitian
menunjukkan ikan swanggi memiliki pola pertumbuhan alometrik negatif. Laju
eksploitasi telah melebihi laju eksploitasi optimum sehingga ikan swanggi di Laut
Utara Jawa diduga telah mengalami tangkap lebih. Kajian stok ikan swanggi di Laut

Utara Jawa diperoleh upaya optimum 9 759 unit per tahun dan hasil tangkapan
maksimum lestari 11 110 ton per tahun. Puncak musim penangkapan terjadi pada
bulan Mei.
Kata kunci: ikan swanggi, kajian stok, pertumbuhan, PPN Brondong

ABSTRACT
MINDIA MARDININGTYAS. Fish Stock Status of Purple spotted bigeye
(Priacanthus tayenus, Richardson 1864) in Lamongan, East Java. Guided by
YONVITNER and ACHMAD FAHRUDIN.
Purple spotted bigeye (Priacanhtus tayenus) is a demersal fish it have
important economic value. The purpose of this research is to determine the status
of Purple spotted bigeye (Priacanthus tayenus) stocks and its sustainable
management. This research was carried out from January to April 2015. Data
analysis consisted of: length frequency distribution, sex ratio, length weight
relationship, gonad maturity level, the size of the first ripe gonads, age group
identification, parameter estimation of growth, mortality and the rate of
exploitation, surplus production models, and index fishing season. The results
showed that purple spotted bigeye has negative alometric growth. The
exploitation rate has exceeded the optimum exploitation rate in the East Java Sea
alleged to have been overexploited. Purple spotted bigeye stock assessment in the

East Java Sea with optimum efforts amount 9 759 units per year and MSY 11 110
tonnes per year. The peak fishing season of purple spotted bigeye occurs on Mei.
Keywords: growth, PPN Brondong, purple spotted bigeye, stock assessment

STATUS STOK SUMBERDAYA IKAN SWANGGI
(Priacanthus tayenus, Richardson 1846) DI PERAIRAN
LAMONGAN, JAWA TIMUR

MINDIA MARDININGTYAS

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
pada
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2015

PRAKATA
Puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat serta karunia-Nya
Penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Status Stok Sumberdaya
Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus) di Lamongan, Jawa Timur. Skripsi ini
disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan untuk
menempuh studi di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan.
2. Beasiswa BBM yang telah memberikan bantuan dana selama perkuliahan.
3. Dr Yonvitner, SPi MSi yang telah memberikan bantuan dana penelitian
4. Dr Ir Majariana Krisanti, MSi selaku pembimbing akademik.
5. Dr Yonvitner, SPi MSi dan Dr Ir Achmad Fahrudin, MSi selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan masukan dan arahan dalam penulisan
karya ilmiah ini.
6. Zulhamsyah Imran, SPi MSi PhD selaku Komisi Pendidikan Program S1
dan Dr Ir Rahmat Kurnia, MSi selaku dosen penguji tamu yang telah

memberikan arahan dan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Staf Tata Usaha Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan (Mas Alya
dan Mba Widar)
8. Mama, Papa, Fio Alfiandi, kakek dan seluruh keluarga yang telah
memberikan doa, kasih sayang dan dukungannya selama ini.
9. Pak Dedy, Pak Suyitno, Bu Ririn, Pak Harijanto, Mas Fani, Mas Gilang,
Mas Jefry, serta staf KKP PPN Brondong dan staf Syah Bandar PPN
Brondong
10. Sahabat Penulis (Nesia, Santi, Ira, Ika, Salis, Irma, Oky, dan Angga), serta
teman-teman MSP 48 atas doa, semangat, dukungan, motivasi, doa dan
bantuannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2015
Mindia Mardiningtyas

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengumpulan Data
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vi
vi

vi
1
1
1
2
2
2
3
5
12
12
23
27
27
27
27
30
36

DAFTAR TABEL

1
2
3
4
5
6
7
8
9

Klasifikasi tingkat kematangan gonad (TKG)
Pengumpulan data PPN Brondong
Rasio kelamin ikan swanggi pada setiap pengambilan contoh
Rasio kelamin ikan swanggi matang gonad setiap pengambilan contoh
Sebaran kelompok umur ikan swanggi jantan dan betina
Parameter pertumbuhan ikan swanggi berdasarkan model von
Bertalanffy
Mortalitas dan laju eksploitasi ikan swanggi
Hasil tangkapan (ton) dan upaya penangkapan (trip)
Parameter pertumbuhan ikan swanggi dari berbagai penelitian


4
4
13
13
17
20
21
21
25

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8

9
10
11
12
13
14
15

Kerangka pemikiran penelitian
Peta lokasi penelitian
Penentuan panjang total (A-B) ikan swanggi (Priacanthus tayenus)
Komposisi tangkapan per jenis ikan di PPN Brondong
Tingkat kematangan gonad ikan swanggi jantan
Tingkat kematangan gonad ikan swanggi betina
Faktor kondisi ikan swanggi
Hubungan panjang bobot ikan swanggi betina (A) dan jantan (B)
Sebaran frekuensi panjang total ikan swanggi
Pergeseran modus frekuensi ikan swanggi betina
Pergeseran modus frekuensi ikan swanggi jantan
Kurva pertumbuhan von Bertalanffy ikan swanggi jantan

Kurva pertumbuhan von Bertalanffy ikan swanggi betina
Model produksi surplus (Fox)
Indeks musim penangkapan ikan swanggi

2
3
12
13
14
14
15
16
17
18
19
20
20
22
22

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Tingkat kematangan gonad ikan swanggi
Ukuran pertama kali matang gonad
Faktor kondisi ikan swanggi
Hubungan panjang dan bobot ikan swanggi (Priacanthus tayenus)
Sebaran frekuensi ikan swanggi
Pendugaan pertumbuhan ikan swanggi
Pendugaan mortalitas ikan swanggi
Model produksi surplus
Pendugaan indeks musim penangkapan

30
30
32
32
32
33
33
35
35

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sumberdaya ikan yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN)
Brondong sangatlah melimpah, karena merupakan PPN terbesar di Jawa Timur.
Hasil tangkapan nelayan selama satu tahun dapat mencapai rata-rata 78 876 ton
dengan nilai sebesar Rp 990 milyar (lamongankab.go.id 2009). Hasil tangkapan
ikan yang terdapat di PPN ini sangatlah beraneka ragam diantaranya adalah ikan
kembung, alu-alu, kakap merah, layur, kurisi, dan swanggi.
Salah satu sumberdaya ikan ekonomis penting yang terdapat di Laut Jawa
adalah ikan swanggi (Priacanthus tayenus). Ikan swanggi menjadi ikan ekonomis
penting karena harganya yang murah serta mudah untuk didapatkan (Peristiwady
2006).
Data statistik KKP Tahun 2013 menunjukkan jumlah produksi
penangkapan ikan swanggi terus meningkat dikarenakan banyaknya permintaan
dari masyarakat akan ikan ini. Ikan swanggi banyak ditangkap di perairan
Masalembu dan Bawean, yang memiliki daya tampung yang sangat tinggi
terhadap struktur biodiversitas habitat, seperti mangrove, terumbu karang, dan
daerah upwelling yang menjadi penopang sumberdaya ikan dengan nilai ekonomis
tinggi. PPN Brondong merupakan basis utama perikanan laut di wilayah utara
Jawa Timur karena daerah tangkapnya menjangkau perairan laut lepas pantai yang
sangat potensial (Aswanah et al. 2013). Alat tangkap yang banyak digunakan
untuk menangkap ikan swanggi adalah dogol dan cara collecting (bisnisukm.com
2015)
Sumberdaya ikan swanggi diambil secara terus menerus tanpa ada upaya
pengelolaan yang berkelanjutan akan mempengaruhi keberadaan dan kondisi stok
ikan tersebut di perairan Laut Jawa. Stok merupakan Stok menggambarkan
kelimpahan suatu ikan yang terdapat di perairan tertentu. Hal inilah yang menjadi
dasar perlunya pengkajian stok terhadap ikan swanggi di Perairan Laut Jawa yang
didaratkan di PPN Brondong agar diperoleh informasi mengenai kondisi stok
yang berguna untuk menunjang pengelolaan sumberdaya ikan swanggi demi
mewujudkan pemanfaatan sumberdaya ikan swanggi yang lebih tepat dan
berkelanjutan.

Perumusan Masalah
Ikan swanggi merupakan ikan demersal yang memiliki nilai ekonomis
penting dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.
Kegiatan
penangkapan ikan swanggi di Laut Jawa dilakukan secara terus-menerus dan
dalam jumlah yang banyak. Penurunan kelimpahan jenis ikan ini juga disebabkan
oleh faktor ekologi, sosial, ekonomi, dan teknologi penangkapan akibat dari
pengelolaan sumberdaya perikanan yang diterapkan.
Keberadaan ikan swanggi yang begitu melimpah ini dikhawatirkan akan
mengalami overfishing jika tidak adanya upaya dalam pengelolaan penangkapan
dengan baik. Informasi mengenai kegiatan penangkapan ikan swanggi di perairan
selama ini masih sangat sedikit. Oleh sebab itu diperlukan analisis kajian stok
ikan swanggi yang didaratkan di PPN Brondong agar dapat dijadikan sebagai

2
acuan dalam upaya perencanaan pengelolaan yang baik untuk menjaga
keberlangsungan stok ikan swanggi di perairan ini. Skema diagram alir dalam
penyelesaian masalah penelitian disajikan pada gambar 1.
Penangkapan
terus-menerus
Upaya yang
makin tinggi

Stok populasi ikan
swanggi

Kurangnya
informasi
penangkapan ikan
swanggi

Pengkajian stok
ikan

Tingginya tingkat
konsumsi
masyarakat
Tingkat
pemanfaatan
Belum ada upaya
pengelolaannya

Perencanaan
pengelolaan
penangkapan ikan

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji parameter dinamika populasi ikan
swanggi (Priacanthus tayenus)) berdasarkan data tangkapan yang didaratkan di
PPN Brondong, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur.

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengambilan contoh ikan swanggi dilakukan di PPN Brondong terletak di
Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Lamongan, Kecamatan Brondong, Kelurahan
Brondong. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan
sekunder. Pengamatan dilakukan setiap kali pengambilan contoh, yaitu selama
satu minggu, dimulai pada Bulan Januari 2015 hingga April 2015 dengan interval

3
waktu pengambilan contoh lebih kurang 30 hari. Gambar 2 menunjukkan lokasi
penelitian dan daerah penangkapan dari ikan yang didaratkan.

Lamongan, Jawa Timur

Gambar 2 Peta lokasi penelitian

Pengumpulan Data
Pengumpulan data primer ikan swanggi diperoleh dari metode penarikan
contoh acak berlapis (PCAB), yaitu ikan swanggi diambil secara acak pada
keranjang ikan yang telah dipisahkan ukurannya, yaitu kecil, sedang dan besar.
Ikan yang akan diamati hanya ikan yang didaratkan di PPN Brondong. Ikan
contoh yang diambil berjumlah >100 ekor tergantung kelimpahan ikan pada setiap
waktu pengambilan dengan selang waktu pengambilan contoh 1 bulan. Ikan
contoh yang telah diambil kemudian diukur panjang total dan ditimbang bobot
basahnya di lokasi pelelangan. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi penyusutan
atau penambahan bobot ikan akibat diawetkan didalam cool box. Pengukuran
panjang total ikan dimulai dari mulut terdepan ikan hingga ujung ekor terakhir
dengan menggunakan penggaris yang memiliki tingkat ketelitian 1 mm.
Penimbangan bobot basah total tubuh ikan meliputi bobot tubuh serta air
yang terkandung didalamnya dengan menggunakan timbangan yang memiliki
ketelitian 10 gram. Ikan-ikan yang telah diukur panjang total dan ditimbang bobot
basahnya kemudian dibawa ke laboratorium yang terdapat di KKP PPN Brondong
untuk dibedah kemudian dianalisis jenis kelamin dan Tingkat Kematangan Gonad.
Jenis kelamin ikan swanggi dapat diketahui dengan penentuan Tingkat
Kematangan Gonad (TKG) yang dilakukan berdasarkan pengamatan terhadap
ciri-ciri morfologi kematangan gonad berdasarkan Cassie (Tabel 1).

4
Tabel 1 Klasifikasi tingkat kematangan gonad (TKG)
TKG
I

II

III

IV

V

Betina
Ovari seperti benang, berwarna putih
gelap dan butiran telur belum dapat
dibedakan. Panjang gonad bervariasi
antara 1/3-1/2 dari panjang rongga tubuh.
Ukuran lebih besar, telur masih menyatu
belum dapat dibedakan, berwarna lebih
gelap (abu-abu), panjang gonad bervariasi
antara 1/2-1/3 dari panjang rongga tubuh
Pada bagian anterior melebar dan
posterior meruncing, telur dapat terlihat,
masih terdapat butiran minyak telur
berwarna putih kekuningan.
Panjang
gonad bervariasi antara 1/3-2/3 dari
panjang rongga tubuh.
Diameter telur semakin membesar , telur
berwarna kuning, sangat jelas terlihat
butiran telurnya, butiran minyak hilang,
bagian anterior lebih lebar dan posterior
meruncing, panjang gonad bervariasi
antara 2/3-3/4 dari panjang rongga tubuh
Ovarium berkerut, bagian telur sisa
mengumpul di bagian posterior, ovarium
berwarna kemerah-merahan.

Jantan
Testes seperti benang
berwarna putih susu

dan

Ukuran testes lebih besar, warna
putih susu, dan bentuk lebih jelas
dari TKG I
Permukaan
testes
tampak
bergerigi, warna makin putih, dan
permukaan gonad tidak merata
(berlekuk-lekuk)
Ukuran testis paling besar yang
mengisi sebagian besar rongga
perut, pejal, bentuk gerigi
semakin besar dan berwarna putih
susu.
Permukaan testesberkerut, isi
mengempis dan kurang pejal dari
sebelumya

Pengumpulan data sekunder dilakukan sejalan dengan berjalannya selama
kegiatan penelitian. Data yang diperoleh berupa data produksi hasil tangkapan
dan upaya penangkapan ikan swanggi yang didaratkan di PPN Brondong,
Lamongan, Jawa Timur. Informasi lainnya dilakukan dengan cara wawancara
terhadap nelayan yang kesehariannya menangkap ikan swanggi di perairan Utara
Jawa. Data yang diambil disajikan pada tabel 2.
Tabel 2 Pengumpulan data PPN Brondong
No

Data

Satuan

1 Panjang

mm

2 Bobot
3 TKG
Jenis
4
Kelamin
Hasil
5
Tangkapan
Upaya
6
Penangkapan

gram
Jantan/Betina

Pengumpul
Pengaruh panjang terhadap panjang
total (PT)
Perhitungan bobot total basah
Identifikasi bentuk dari gonad
Identifikasi dari klasifikasi Tingkat
Kematangan Gonad (TKG)

Lokasi
In-situ
In-situ
In-situ
In-situ

ton

Data sekunder (KKP PPN Brondong)

In-situ

trip

Data sekunder (KKP PPN Brondong)

In-situ

5
Analisis Data
Rasio kelamin
Rasio kelamin merupakan perbandingan jumlah frekuensi ikan jantan dan
betina dalam suatu populasi. Rasio jantan betina ini dihitung menggunakan rumus
sebagai berikut (Effendie 2002).
(1)
p adalah rasio kelamin (jantan atau betina), A adalah jumlah jenis ikan
tertentu jantan atau betina (ekor), dan B adalah jumalah total individu ikan yang
ada (ekor). Hubungan antara jantan dan betina dalam suatu populasi dapat
diketahui dengan menggunakan uji Chi-square (χ2):


(2)

χ2 adalah nilai peubah acak yang sebaran penarikan contohnya mengikuti
sebaran khi kuadrat (Chi-square), oi adalah frekuensi ikan jantan dan betina yang
teramati, dan ei adalah frekuensi harapan dari ikan jantan dan betina.
Ukuran pertama kali matang gonad
Metode yang digunakan untuk menduga ukuran rata-rata ikan swanggi yang
pertama kali matang gonad adalah metode Spearman-Karber (Udupa 1986):


(3)




(4)

m adalah log panjang ikan pada kematangan gonad pertama,
adalah log
nilai tengah kelas panjang yang terakhir ikan telah matang gonad, x adalah log
pertambahan panjang pada nilai tengah, pi adalah proporsi ikan matang gonad
pada kelas panjang ke-i dengan jumlah ikan pada selang panjang ke-i, ni adalah
jumlah ikan pada kelas panjang ke-i, qi adalah 1 – pi, dan M adalah panjang ikan
pertama kali matang gonad.
Faktor kondisi
Faktor kondisi adalah keadaan atau kemontokan ikan yang dinyatakan
dalam angka-angka berdasarkan pada data dan berat. Pengamatan kondisi
ikan dapat dilihat dari tiga model pengamatan yaitu:
Kt
= kondisi yang diamati berdasarkan panjang total
Ks
= kondisi yang diamati berdasarkan data panjang standar (baku)
Kf
= kondisi yang diamati berdasarkan data panjang cagak
Jika pertumbuhan yang ditemukan isometrik (b=3) atau setelah dilakukan
uji t didapat bahwa hipotesis nol adalah 3, maka model yang dipakai adalah (Bal
dan Rao, 1984):
(5)

6
Sedangkan jika pola pertumbuhan yang ditemukan allometrik setelah
dilakukan uji t, maka model yang dipakai adalah:

(6)

̂

Hubungan panjang bobot
Analisis hubungan panjang-bobot ikan swanggi dihitung menggunakan
rumus yang umum sebagai berikut (Effendie 2002).
W= ɑ Lb

(7)

W adalah bobot (gram), L adalah panjang (mm), ɑ adalah konstanta dan b
adalah penduga pola hubungan panjang-bobot. Rumus umum tersebut bila
ditransformasikan ke dalam logaritme, akan diperoleh persamaan:
(8)
Interpretasi dari hubungan panjang dan bobot dapat dilihat dari nilai
konstanta b, yaitu dengan hipotesis:
1. H0 : b = 3, dikatakan hubungan isometrik (pola pertumbuhan panjang
sama dengan pola pertumbuhan bobot)
2. H1 : b ≠ 3, dikatakan memiliki hubungan allometrik
Pola pertumbuhan allometrik ada dua macam, yaitu allometrik positif (b>3)
yang mengindikasikan bahwa pertumbuhan bobot lebih dominan dibandingkan
dengan pertumbuhan panjang dan allometrik negatif (b ttabel maka tolak
hipotesis nol (H0) dan jika thitung < ttabel berarti terima hipotesis nol (Walpole 1995).
Sebaran frekuensi panjang dan identifikasi kelompok umur
Sebaran frekuensi panjang ditentukan dengan menggunakan data panjang
total ikan swanggi (Priacanthus tayenus).
Data panjang ikan swanggi
dikelompokkan ke dalam beberapa kelas panjang, sehingga setiap kelas panjang
ke-i memiliki frekuensi (fi). Identifikasi kelompok umur dilakukan dengan

7
menganalisis frekuensi panjang melalui metode NORMSEP (Normal Separation)
(FISAT II, FAO-ICLARM Stock Assesment Tool). Sebaran frekuensi panjang
dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok umur yang menyebar dengan nilai
rata-rata panjang dan simpangan baku pada masing-masing kelompok umur
(Oktaviyani 2013). Menurut Boer (1996), jika fi adalah frekuensi ikan dalam
kelas panjang ke-i (i = 1, 2, ..., N), μj adalah rata-rata panjang kelompok umur kej dan pj adalah proporsi ikan dalam kelompok umur ke-j (j= 1, 2, ..., G), maka
fungsi objektif yang digunakan untuk menduga {μj, σj, pj} adalah fungsi
kemungkinan maksimum (maximum likelihood function):




(11)

(12)



yang merupakan fungsi kepekatan sebaran normal dengan nilai tengah μj
dan simpangan baku σj, xi adalah titik tengah kelas panjang ke-i. Fungsi objektif
L ditentukan dengan cara mencari turunan pertama L masing-masing terhadap μj,
σj dan pj, sehingga diperoleh dugaan μj, σj, dan pj yang akan digunakan untuk
menduga parameter pertumbuhan.
Parameter pertumbuhan
Pertumbuhan dapat diduga dengan menggunakan model pertumbuhan von
Bertalanffy (Sparre dan Venema 1999).
Lt = L∞ (1-e[-K(t-t0)])

(13)

Pendugaan nilai koefisien pertumbuhan (�) dan L∞ dilakukan dengan
menggunakan metode Ford Wallford yang diturunkan dari model von Bertalanffy
untuk t sama dengan t+1, sehingga persamaannya menjadi:
Lt+1

= L∞ [1- e-K] + Lt e-K

(14)

Berdasarkan persamaan di atas dapat diduga dengan persamaan regresi linier
y = b0 + b1x, jika Lt sebagai absis (x) diplotkan terhadap Lt+1 sebagai ordinat (y)
sehingga terbentuk kemiringan (slope) sama dengan e-K dan titik potong dengan
absis sama dengan L∞[1 – e-K]. Dengan demikian, nilai K dan L∞ diperoleh
dengan cara:
(15)
(16)
Pendugaan terhadap nilai t0 (umur teoritis ikan pada saat panjang sama
dengan nol) diperoleh melalui persamaan Pauly (1984) in Sparre dan Venema
(1999):
(17)

8
Lt adalah panjang ikan pada saat umur t (mm),
adalah panjang asimtotik
ikan (mm), K adalah koefisien laju pertumbuhan (mm/satuan waktu), t adalah
umur ikan, dan t0 adalah umur ikan pada saat panjang ikan 0.
Mortalitas dan laju eksploitasi
Menurut Sparre dan Venema (1999) parameter mortalitas meliputi
mortalitas alami (M), mortalitas penangkapan (F), dan mortalitas total (Z). Laju
mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinearkan berdasarkan
data panjang sedemikian sehingga diperoleh hubungan:
(18)
Persamaan (16) diduga melalui persamaan regresi linear sederhana y =
b0+b1x, dengan
sebagai ordinat,
sebagai absis, dan Z =
-b1. Persamaan di atas adalah bentuk persamaan linier dengan kemiringan (b) = -Z.
Laju mortalitas alami (M) dapat diduga dengan menggunakan rumus empiris
Pauly (1980) in Sparre dan Venema (1999) sebagai berikut.
(19)
(20)
L∞ adalah panjang asimtotik (mm), K adalah koefisien pertumbuhan dari
persamaan pertumbuhan von Bertalanffy, dan T adalah rata-rata suhu permukaan
air (⁰ C). Laju mortalitas penangkapan (F) ditentukan dengan:
(21)
Laju eksploitasi ditentukan dengan membandingkan mortalitas penangkapan
(F) dengan mortalitas total (Z) Pauly (1984):
(22)
Laju mortalitas penangkapan (F) atau laju eksploitasi optimum menurut
Gulland (1971):
(23)
Model produksi surplus
Pendugaan potensi ikan tembang dapat diduga dengan model produksi
surplus Schaefer dan Fox yang menganalisis hasil tangkapan (catch) dan upaya
penangkapan (effort). Model ini dapat diterapkan apabila diketahui dengan baik
hasil tangkapan per unit upaya tangkap (CPUE) atau berdasarkan spesies dan
upaya penangkapannya dalam beberapa tahun. Upaya penangkapan harus
mengalami perubahan substansial selama waktu yang dicakup (Sparre dan

9
Venema 1999). Tingkat upaya penangkapan optimun (
maksimum lestari (MSY) dapat diduga melalui persamaan:

�)

dan tangkapan

(24)
(25)
masing-masing untuk model Schaefer dan model Fox, sehingga diperoleh
dugaan FMSY untuk Schaefer dan Fox adalah:
(26)
(27)
MSY masing-masing untuk Schaefer dan Fox:


(28)



(29)

Keterangan :
a : Perpotongan (intersept)
b : Kemiringan (slope)
e : Exponen
ct : Jumlah tangkapan
ft : Upaya tangkap
Model yang akan digunakan adalah model yang memiliki nilai korelasi dan
determinasi yang paling tinggi. Potensi lestari (PL) dan jumlah tangkapan yang
diperbolehkan atau Total Allowable Catch (TAC) dan tingkat pemanfaatan
Sumberdaya ikan dapat ditentukan dengan analisis produksi surplus dan
berdasarkan prinsip kehati-hatian (FAO 1995 dalam Oktaviyani 2013), sehingga:


(30)
(31)

Indeks musim penangkapan
Pola musim penangkapan dapat dihitung dengan menggunakan analisis deret
waktu terhadap data hasil tangkapan. Langkah-langkah telah disusun sebagai
berikut (Dajan 1986):
1. Menyusun deret CPUE dalam periode kurun waktu 5 tahun:
CPUEi = ni
Keterangan:

(32)

10
ni
i

= CPUE urutan ke-i
= 1, 2, 3, ...., 60

2. Menyusun rata-rata bergerak (moving average) CPUE selama 12 bulan
(RG):
RGi =



)

(33)

Keterangan:
RGi
= rata-rata bergerak 12 bulan ke-i
CPUEi = CPUE urutan ke-i
i
= 7, 8, ..., n-5
3. Menyusun rata-rata bergerak CPUE terpusat (RGP):
RGPi = ∑

(34)

Keterangan:
RGPi
= rata-rata bergerak CPUE terpusat ke-i
RGi
= CPUE urutan ke-i
i
= 7, 8, ..., n-5
4. Rasio rata-rata tiap bulan (Rb):
Rbi =

(35)

Keterangan:
Rbi
= rasio rata-rata bulan urutan ke-i
CPUEi = CPUE urutan ke-i
RGPi
= rata-rata bergerak CPUE terpusat urutan ke-i
i
= 7, 8, ..., n-5
5. Menyusun nilai rata-rata dalam suatu matrik berukuran i x j yang disusun
untuk setiap bulan, yang dimulai dari bulan Januari – April 2015. Selanjutnya
menghitung nilai total rasio rata-rata tiap bulan, kemudian menghitung total rasio
secara keseluruhan dan pola musim penangkapan.
(i) Rasio rata-rata untuk bulan ke-i (RBBi):
RBBi = ∑
)
(36)
Keterangan:
RBBi = rata-rata dari Rbij untuk bulan ke-i
Rbij
= rasio rata-rata bulanan dalam matriks ukuran i x j
i
= 1, 2, ..., 12
j
= 1, 2, 3, ..., n
(ii) Jumlah rasio rata-rata bulanan (JRBB):

11
JRBB = ∑

(37)

Keterangan:
JRBB = jumlah rasio rata-rata bulanan
RBB
= rata-rata RBij untuk bulan ke-i
i
= 1, 2, 3, ..., 12

(iii) Indeks Musim Penangkapan (IMP)
Idealnya jumlah rasio rata-rata bulanan (JRBB) sama dengan 1200. Namun
banyak faktor yang menyebabkan JRBB tidak selalu sama dengan 1200, oleh
karena itu nilai rasio rata-rata bulanan harus dikoreksi dengan suatu nilai koreksi
yang disebut dengan Faktor Koreksi (FK). Rumus untuk memperoleh FK, yaitu:
FK =

(38)

Keterangan:
FK
= nilai faktor koreksi
JRBB = jumlah rasio rata-rata bulanan
Indeks Musim Penangkapan (IMP) dihitung dengan menggunakan rumus:
IMPi = RBBi x FK

(39)

Keterangan:
IMPI
= indeks musim penangkapan bulan ke-i
RBB
= rasio rata-rata untuk bulan ke-i
FK
= nilai faktor koreksi
i
= 1, 2, 3, ..., 12
Asumsi yang digunakan dalam perhitungan pola musim penangkapan
adalah:
1. Jenis ikan swanggi yang didaratkan di PPN Brondong merupakan hasil
tangkapan yang berasal dari perairan Lamongan
2. Unit penangkapan yang menangkap ikan swanggi di wilayah perairan
utara Jawa berasal dari Kabupaten Lamongan
3. Alat tangkap yang beroperasi memiliki daerah penangkapan yang sama
4. Ikan swanggi yang tertangkap mempunyai kesempatan yang sama untuk
tertangkap.
Pengelolaan
Pengelolaan dilakukan berbasis data kajian yang didapatkan di lapang
dengan menggunakan pendekatan logika causal analisis. Data dikumpulkan
setelah semua kejadian yang dipersoalkan berlangsung (lewat), kemudian
mengambil satu atau lebih akibat sebagai “dependent variable” dan menguji data
itu dengan menelusuri kembali ke masa lampau untuk mencari sebab-sebab, saling
hubungan, dan maknanya. Melalui data tersebutlah kita dapat mengetahui
pengelolaan yang tepat untuk ikan swanggi yang berasa di perairan Laut Jawa.
(Badriah, 2006).

12

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Klasifikasi ikan swanggi (Priacanthus tayenus)
Menurut Richardson (1846) in www.fishbase.org (2009), taksonomi ikan
swanggi (Gambar 3) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Pisces
Subkelas
: Actinopterygii
Ordo
: Perciformes
Subordo
: Percoidei
Famili
: Priacanthidae
Genus
: Priacanthus
Spesies
: P. tayenus Richardson 1846
Nama FAO
: Purple-spotted bigeye
Nama Lokal
: Ikan raja gantang (Banten). swangi/semerah padi (PPN
Pemangkat), swanggi (Pelabuhan Perikanan Banjarmasin),
swangi (PPP Tegalsari), mata bulan (PPN Ambon),
camaul (PPN Palabuhanratu), belong (PPN Pekalongan),
capa (PPN Sibolga), swanggi (PPS Jakarta), golok sabrang
(PPN Brondong), swanggi (PPN Prigi)

5 mm
Gambar 3 Penentuan panjang total (A-B) ikan swanggi (Priacanthus tayenus)
Ikan swanggi memiliki badan tinggi, memanjang, dan tipis secara lateral.
Profil anterior sedikit asimetrik, ujung rahang bawah biasanya sedikit di atas
tingkat garis tengah yang menonjol tubuh. Gigi kecil terdapat pada dentaries,
vomer, palatines, dan premaxillaries. Spesies memiliki panjang maksimum 290
mm (FAO 1999).
Komposisi hasil tangkapan
Hasil tangkapan yang didaratkan di PPN Brondong terdapat berbagai
macam jenis ikan. Ikan-ikan tersebut di antaranya adalah ikan kurisi, kuniran,
swanggi, kakap, ayam-ayam, dan lain-lain. Ikan swanggi merupakan salah satu
ikan dominan yang paling banyak didaratkan di pelabuhan perikanan tersebut.

13
Persentasi ikan swanggi dari keseluruhannya mencapai 15%. Ikan swanggi paling
banyak ditangkap dengan menggunakan alat tangkapan dogol.
2% 2%

2%

Kurisi

10%

Kuniran
47%

15%

Swanggi
Kapas-kapas
Beloso
Manyung
Lain-lain

22%

Gambar 4 Komposisi tangkapan per jenis ikan di PPN Brondong
Rasio kelamin
Rasio kelamin merupakan perbandingan antara ikan jantan dan betina dalam
populasi ikan. Dalam statistika, konsep rasio adalah proporsi populasi tertentu
terhadap total populasi (Walpole 1993). Rasio kelamin ikan swanggi ditampilkan
pada tabel 3 dan tabel 4 untuk ikan swanggi yang telah matang gonad:
Tabel 3 Rasio kelamin ikan swanggi pada setiap pengambilan contoh
Jumlah (ekor)
Rasio (%)
Tanggal
N
Jantan
Betina
Jantan
Betina
28 Januari 15
118
48
70
41
59
25 Februari 15
110
90
20
82
18
24 Maret 15
120
66
54
55
45
22 April 15
204
98
106
48
52
Jumlah
552
302
250
56
44
Tabel 4 Rasio kelamin ikan swanggi matang gonad setiap pengambilan contoh
Betina
Proporsi
Jantan
Proporsi
n
n
(TKG)
TKG (%)
(TKG)
TKG (%)
Tanggal
TKG TKG
III
IV
III
IV
III
IV
III IV
III
IV
28 Jan 15
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
25 Feb 15
4
2
13
67
26
1
87
33
30
3
24 Mar15
2
1
13
50
14
1
88
50
16
2
22 Apr 15
14
0
38
0
23 20
62
100
37
20
Jumlah
20
3
64
117
63 22 236 183
83
25
Berdasarkan Tabel 3 diketahui jumlah ikan swanggi jantan lebih banyak
dibandingkan ikan swanggi betina. Jumlah ikan swanggi jantan sebanyak 302

14
ekor, sedangkan jumlah ikan swanggi betina sebanyak 250 ekor dengan jumlah
total sebanyak 552 ekor ikan. Secara keseluruhan rasio ikan swanggi jantan dan
betina sebesar 56% dan 44%. Uji Chi square yang dilakukan dengan selang
kepercayaan 95 % diperoleh hasil bahwa perbandingan ikan swanggi betina dan
jantan dalam suatu populasi adalah 1:1,2. Rasio ikan swanggi betina dan jantan
yang telah mengalami matang gonad pada tabel 4 adalah sebesar 1:4.

Frekuensi Relatif

Tingkat kematangan gonad dan ukuran pertama kali matang gonad
Tingkat kematangan gonad adalah tahap tertentu perkembangan gonad
sebelum dan sesudah ikan memijah (Effendie 2002). Grafik tingkat kematangan
gonad ikan swanggi jantan dan ikan swanggi betina pada setiap pengambilan
contoh disajikan pada Gambar 5, Gambar 6, dan Lampiran 1.

100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%

TKG IV
TKG III
TKG II
TKG I
28-01-15 25-02-15 24-03-15 22-04-15
Waktu Pengambilan Contoh

Frekuensi Relatif

Gambar 5 Tingkat kematangan gonad ikan swanggi jantan
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%

TKG IV
TKG III
TKG II
TKG I
28-01-15 25-02-15 24-03-15 22-04-15
Waktu Pengambilan Contoh

Gambar 6 Tingkat kematangan gonad ikan swanggi betina
Pada ikan swanggi jantan maupun betina banyak ditemukan TKG 1 dan 2.
Pada pengambilan contoh pertama ikan swanggi jantan maupun betina tidak
ditemukannya TKG 3 dan 4. Pengambilan contoh kedua, ketiga dan keempat
ditemukan TKG 3 dan 4 pada ikan swanggi jantan. TKG 3 dan 4 juga ditemukan

15
pada ikan swanggi betina pada pengambilan contoh kedua dan ketiga, namun pada
pengambilan contoh keempat tidak terdapat TKG 4. Dapat diduga bahwa ikan
swanggi jantan maupun betina mengalami pemijahan pada bulan Februari, Maret,
dan April. Berdasarkan perhitungan dengan metode Spearman-Karber (Udupa
1986) panjang ikan swanggi pertama kali matang gonad (Lm) untuk ikan jantan
adalah sebesar 247.82 mm. Ukuran pertama kali matang gonad ikan swanggi
betina adalah 250.19 mm.
Faktor kondisi
Faktor kondisi merupakan keadaan ikan yang dinyatakan dalam angkaangka berdasarkan data panjang dan berat. Faktor kondisi dihitung untuk
mengetahui kemontokkan ikan dalam bentuk angka. Faktor kondisi ikan swanggi
(Priacanthus tayenus) dapat dilihat pada Gambar 7.

Faktor kondisi rata-rata

1.6
1.4
1.2
1
0.8

jantan

0.6

betina

0.4
0.2
0
28-01-2015

25-02-2105 24-03-2015 21-04-2015
Waktu pengambilan contoh

Gambar 7 Faktor kondisi ikan swanggi
Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa kemontokan ikan swanggi
betina semakin meningkat. Ikan jantan mengalami hal yang sama namun mulai
mengalami penurunan pada bulan April. Dapat diduga bahwa ikan swanggi
jantan dan betina sedang mengalami matang gonad.
Hubungan panjang bobot
Analisis hubungan panjang bobot ikan swanggi jantan dan betina
menghasilkan pola pertumbuhan dan hubungan panjang dan bobot. Pola
pertumbuhan ikan dapat dibedakan menjadi isometrik, allometrik negatif, dan
allometrik positif. Hubungan antara panjang dengan bobot dapat diketahui
dengan menggunakan analisis regresi seperti yang ditampilkan pada Gambar 8.

16

bobot (gr)

A
350
300
250
200
150
100
50
0

W = 0,0005L2,3295
R² = 0,7188
n = 250

0

100

200
panjang (mm)

300

400

bobot (gr)

B
350
300
250
200
150
100
50
0

W = 0,0008L2,2465
R² = 0,827
n = 302

0

100

200
panjang (mm)

300

400

Gambar 8 Hubungan panjang bobot ikan swanggi betina (A) dan jantan (B)
Analisis diatas diperoleh persamaan W = 0,0008L2,2465 dengan koefisien
determinasi sebesar 82,7% pada ikan swanggi jantan. Hubungan panjang bobot
pada ikan swanggi betina diperoleh persamaan W = 0,0005L2,3295 dengan
koefisien determinasi sebesar 71,88%. Secara umum nilai koefisien b betina lebih
besar dibandingkan dengan jantan.
Sebaran frekuensi panjang dan kelompok umur
Ikan swanggi yang diamati selama penelitian sebanyak 552 ekor dengan
302 ekor ikan jantan dan 250 ekor ikan betina. Jumlah ikan swanggi yang diambil
setiap pengambilan contoh di PPN Brondong berkisar antara 100-150 ekor.

Frekuensi

17
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0

Lm = 247,82 mm

Lm = 250,19 mm

betina
jantan

Selang Kelas

Gambar 9 Sebaran frekuensi panjang total ikan swanggi
Frekuensi panjang ikan swanggi jantan tertinggi terdapat pada selang kelas
220-227 mm dan frekuensi panjang ikan swanggi betina tertinggi terdapat pada
selang kelas 188-195 mm (Lampiran 4). Berdasarkan nilai Lm swanggi jantan
maupun betina diketahui jumlah ikan yang tertangkap banyak yang belum
mencapai matang gonad.
Analisis kelompok umur perlu dilakukan untuk mengetahui posisi dan
perubahan rata-rata ukuran kelompok panjang. Proses pemisahan kelompok umur
ikan swanggi dilakukan dengan menggunakan metode NORMSEP yang terdapat
dalam software FISAT II. Tabel 5 telah disajikan pemisahan kelompok umur ikan
swanggi betina dan jantan pada setiap pengambilan contoh.
Tabel 5 Sebaran kelompok umur ikan swanggi jantan dan betina
waktu
pengambilan
contoh
28-Jan-15

25-Feb-15

24-Mar-15

21-Apr-15

kelompok
umur
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3

panjang rata-rata (mm)
jantan
178±13,49
212,27±11,36
267,99±4
170,88±14,30
211,56±24,08
283,98±4
188,70±15,21
244±15,78
197,89±7,34
226,06±13,28
265,09±14,67

betina
177,57±5,55
205,48±9,827
236,83±12,485
181,64±4
226,95±12,19
277,67±4
221,62±19,81
261,29±14,72
303,24±4
179,01±4
208,15±8,34
238,57±17,18

index separasi
jantan
N.A
2,76
7,26
N.A
2,12
5,16
N.A
3,57
N.A
2,73
2,79

betina
N.A
3,63
2,81
N.A
5,59
6,27
N.A
2,29
4,48
N.A
4,73
2,38

Berdasarkan sebaran kelompok ukuran ( Tabel 5) menunjukkan bahwa ikan
swanggi betina dan jantan dominan memiliki 3 kelompok ukuran. Ikan swanggi
betina diketahui terdapat 3 kelompok umur setiap bulannya, sedangkan pada ikan
swanggi jantan hanya pada bulan Maret terdapat 2 kelompok umur selebihnya

18
adalah 3 kelompok umur. Hal ini menunjukkan bahwa pemisahan kelompok
umur telah berhasil dan dapat digunakan untuk analisis Ford Walford.
Gambar 1 dan 11 menyajikan hasil analisis pemisahan kelompok umur ikan
swanggi berdasarkan sebaran kelas frekuensi panjang. Analisis sebaran frekuensi
panjang dapat digunakan untuk menduga umur ikan dan kelompok umur ikan.
Hal ini dikarenakan frekuensi panjang ikan tertentu menggambarkan umur yang
sama dan cenderung membentuk sebaran normal.

frekuensi

25

Lm = 250,19 mm

Januari

20
15
10
5

25
20
15
10
5
0

Lm = 250,19 mm

frekuensi

25
20

Maret

300-307

284-291

268-275

252-259

236-243

220-227

204-211

188-195

172-179

156-163

Februari

140-147

frekuensi

0

Lm = 250,19 mm

15
10
5
0

frekuensi

25
20

April

Lm = 250,19 mm

15
10
5
0

Gambar 10 Pergeseran modus frekuensi ikan swanggi betina

19

frekuensi

25

Lm = 247,82 mm

20
15
10
5
0

frekuensi

25

Lm = 247,82 mm

20
15
10
5
0

frekuensi

25

Lm = 247,82 mm

20
15
10
5
0

frekuensi

25
20

April

Lm = 247,82 mm

15
10
5
0

Gambar 11 Pergeseran modus frekuensi ikan swanggi jantan
Berdasarkan Gambar 10 dan 11 terjadi pergeseran modus ke arah kanan
bulan Januari hingga Maret pada ikan swanggi betina. Pergeseran ke arah kanan
juga terjadi bulan Februari hingga April pada ikan swanggi jantan. Pergeseran ke
arah kanan menandakan adanya pertumbuhan populasi yang terjadi di Perairan
Lamongan tersebut. Nilai presentase ikan swanggi jantan yang sudah mengalami
matang gonad adalah sebesar 10% dan 5% pada ikan betina.

20
Parameter pertumbuhan
Metode Ford Walford digunakan untuk menduga parameter pertumbuhan.
Parameter pertumbuhan ikan swanggi adalah koefisien pertumbuhan (K), panjang
asimtotik ( L∞) dan umur teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol (t0).
Hasil perhitungan Ford Walford disajikan pada tabel 6.
Tabel 6 Parameter pertumbuhan ikan swanggi berdasarkan model von Bertalanffy
Parameter Pertumbuhan

Jantan

Betina

L max (mm)
L∞ (mm)
k
t0

305
365,56
0,21
-0,41

294
542,48
0,06
-1,33

Persamaan pertumbuhan model von Bertalanffy untuk ikan swanggi jantan
adalah Lt = 365,565 (1-e -0,2083(t+0,4071) dan untuk ikan swanggi betina adalah Lt =
542,4754 (1-e -0,0601(t+1,3280)). Gambar 12 dan Gambar 13 menyajikan kurva
pertumbuhan model von Bertalanffy.
600

panjang (mm)

500
400
300
200
100
0
-2

0

2
4
waktu (year)

6

8

Gambar 12 Kurva pertumbuhan von Bertalanffy ikan swanggi jantan
600
Panjang (mm)

500
400
300
200
100
0
-2

0

2
4
waktu (year)

6

8

Gambar 13 Kurva pertumbuhan von Bertalanffy ikan swanggi betina

21
Mortalitas dan laju eksploitasi
Suatu stok yang telah dieksploitasi perlu dibedakan mortalistas akibat
penangkapan dan mortalitas alami. Laju mortalitas terdiri dari 2 jenis yakni
mortalitas alami dan mortalitas penangkapan. Hasil mortalitas yang didapatkan
disajikan pada tabel 7.
Tabel 7 Mortalitas dan laju eksploitasi ikan swanggi
Nilai

Parameter

Jantan
1,5512
0,2628

Betina
1,8837
0,1043

Mortalitas Tangkapan (F, %)

1.2884

1,7794

Laju Eksploitasi (E, %)

0,8306

0,9446

Mortalitas total (Z, %)
Mortalitas Alami (M, %)

Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa nilai mortalitas penangkapan ikan
swanggi lebih besar dari nilai mortalitas alami. Mortalitas penangkapan pada ikan
swanggi jantan sebesar 1,29, sedangkan pada ikan swanggi betina sebesar 1,77
lebih besar dibandingkan ikan ikan jantan. Laju eksploitasi ikan swanggi jantan
dan betina masing-masing sebesar 0,83 dan 0,94.
Model produksi surplus
Model produksi surplus dapat diterapkan bila diperkirakan dengan baik
mengenai hasil tangkapan total berdasarkan spesies per unit upaya (Sparred and
Venema 1999). Hasil tangkapan atau produksi serta upaya penangkapan ikan
swanggi berdasarkan data tahunan PPN Brondong didapatkan selama 6 tahun
sejak tahun 2008 hingga 2013 ditampilkan pada Tabel 7.
Tabel 8 Hasil tangkapan (ton) dan upaya penangkapan (trip)
Tahun

Hasil tangkapan
(ton)

Upaya
(trip)

CPUE

ln CPUE

2008

6 515,99

20 782

0,3135

-1,1598

2009

7 846,39

24 279

0,3232

-1,1296

2010

6 928,22

18 150

0,3817

-0,9631

2011

10 174,51

12 949

0,7857

-0,2411

2012

11 025,60

10 525

1,0476

0,0465

2013

12 709,82

8 309

1,5296

0,4250

Tabel 8 menunjukkan hasil tangkapan mengalami peningkatan tiap
tahunnya., namun pada tahun 2010 mengalami penurunan. Berbeda dari hasil
penangkapan, upaya penangkapan semakin menurun tiap tahunnya. Hasil
tangkapan tertinggi didapatkan pada tahun 2013 dengan poduksi mencapai 12
709,82 ton dengan upaya sebesar 8 309 trip.
Analisis potensi sumberdaya ikan swanggi dapat dilakukan menggunakan
model pendekatan Schaefer dan Fox. Dari nilai R2 yang diperoleh nilai R2 Fox
lebih besar dibandingkan R2 Schaefer mencapai 93,2%. Nilai tangkapan lestari

22
ikan swanggi berdasarkan analisis Fox sebesar 11 112,10 ton sedangkan upaya
penangkapannya sebesar 9 589 trip. Nilai jumlah tangkapan yang diperbolehkan
(TAC) sebesar 8 889,68 ton. Analisis model produksi surplus berdasarkan Fox ini
dapat dilihat pada Gambar 14.
14000
2013

Hasil tangkapan (ton)

12000

2012
2011

10000

model fox
8000

2009

2010

6000

msy (ton)
f msy

2008

C aktual

4000

F aktual
2000

tahun

0
0

10000 20000 30000 40000 50000 60000
Upaya penangkapan (trip)

Gambar 14 Model produksi surplus (Fox)

140

7000000

120

6000000

100

5000000

80

4000000

60

3000000

40

2000000

20

1000000

0

0

Bulan
Produksi

IMP

musim penangkapan

Gambar 15 Indeks musim penangkapan ikan swanggi

Produksi (ton)

IMP (%)

Indeks musim penangkapan
Indeks musim penangkapan merupakan suatu indeks untuk mengetahui di
waktu tertentu kapan saja ikan swanggi banyak ditangkap. Penangkapan ikan
swanggi dipengaruhi oleh beberapa musim, yaitu musim paceklik, musim
peralihan dan musim penangkapan. Hasil IMP ditampilkan pada gambar 15 di
bawah ini.

23
Gambar 15 menunjukkan nilai IMP yang digabugkan dengan nilai produksi
penangkapan tiap bulannya selama 6 tahun. Puncak penangkapan ikan swanggi
terjadi pada bulan Mei, namun produksi tertinggi yang didapatkan terjadi pada
bulan November. Musim paceklik penangkapan ikan terjadi pada bulan Januari,
hal ini sesuai dengan nilai produksi terendah yang didapatkan.

Pembahasan
Rasio kelamin ikan swanggi jantan dan betina yang didapatkan pada
penelitian ini adalah sebesar 1,2:1, sedangkan untuk perbandingan ikan yang teah
matang gonad sebesar 4:1. Pada penelitian Pramadika (2014) rasio kelamin ikan
swanggi betina dan jantan yang didapatkan adalah sebesar 1,3:1, berbeda dengan
hasil yang didapatkan pada penelitian ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Rahardjo (2006) yang menyatakan bahwa rasio kelamin ikan di daerah tropis
seperti Indonesia bersifat variatif dan menyimpang dari rasio 1:1 antara betina dan
jantan. Terdapat 3 faktor yang mempengaruhi rasio kelamin ikan, yaitu perbedaan
pola tingkah laku, perbedaan laju mortalitas, dan laju pertumbuhan antara ikan
jantan dan betina (Effendie 2002).
Tingkat kematangan gonad pada ikan menunjukkan tahapan
perkembangan gonad sebelum ikan memijah, baru memijah, dan setelah memijah.
Pada ikan swanggi jantan banyak terdapat TKG 1 dan 2, sedangkan TKG 3 dan 4
paling banyak ditemukan pada bulan April. Sama halnya dengan ikan swanggi
jantan, pada ikan swanggi betina juga terdapat TKG 1 dan 2 yang lebih banyak.
Pada bulan Februari ikan swanggi betina lebih banyak matang gonad,
dibandingkan pada bulan Maret. Hasil tersebut mengindikasikan ikan swanggi
melakukan pemijahan pada bulan Maret, karena pada bulan itulah ikan swanggi
jantan dan betina matang gonad. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Ballerena
(2012) yang menyatakan bahwa pucak pemijahan ikan swanggi pada bulan Maret
dan September.
Ukuran pertama kali matang gonad ikan swanggi jantan dan betina
berdasarkan perhitungan dengan metode Sperman Karber (Udupa 1986) adalah
247,82 mm dan 254,06 mm. Penelitian Siagian (2014) ukuran pertama kali
matang gonad ikan swanggi jantan dan betina berturut-turut adalah 186 mm dan
201 mm. Penelitian yang dilakukan oleh Ballerena (2012) ukuran pertama kali
matang gonad ikan swanggi jantan dan betina di PPP Labuan Banten adalah
sebesar 156 mm dan 173 mm. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ikan swanggi
banyak tertangkap sebelum mengalami matang gonad. Menurut Effendie (2002)
ada beberapa faktor yang mempengaruhi waktu ikan pertama kali matang gonad,
yaitu perbedaan spesies, umur, ukuran, sifat biologis dari kemampuan adaptasi
terhadap lingkungannya, makanan, suhu, dan arus.
Analisis pertumbuhan hubungan panjang dan bobot digunakan untuk
mengetahui pola pertumbuhan ikan. Hubungan panjang bobot ikan swanggi
jantan adalah W = 0,0008L2,2465 dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar
82,7%, untuk ikan swanggi betina didapatkan persamaan sebesar W =
0,0005L2,3295 dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 71,88%. Nilai b
untuk ikan swanggi jantan dan betina adalah sebesar 2,2465 dan 2,3295 yang
menunjukkan pola pertumbuhan alometrik negatif.

24
Uji t lanjut yang dilakukan menunjukkan hal yang sama, yaitu ikan
swanggi jantan dan betina memiliki pola pertumbuhan alometrik negatif dengan
nilai thit ikan betina sebesar 7,24 dan jantan sebesar 12,70. Hal tersebut
menunjukkan bahwa pertumbuhan panjang lebih mendominasi dibandingkan
pertumbuhan bobot. Pola pertumbuhan tersebut sama dengan hasil penelitian
Sukamto (2010) di PPN Brondong pola pertumbuhan ikan swanggi yang
didapatkan adalah alometrik negatif. Namun penelitian yang dilakukan oleh
Awong H, et al. (2011) terhadap ikan swanggi di perairan Sabah, Malaysia, yaitu
pola pertumbuhan yang didapatkan adalah alometrik positif. Nilai konstanta b
yang berbeda-beda dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain letak geografis,
kondisi lingkungan, musim, penyakit, parasit, dan tingkat kepenuhan lambung
(Effendie 2002).
Nilai faktor kondisi ikan swanggi betina lebih besar dibandingkan ikan
jantan (Lampiran 3). Menurut Novitriana (2004) hal ini dikarenakan energi yang
dimiliki oleh ikan betina digunakan untuk pertumbuhan gonad lebih besar dari
pada pertumbuan sperma ikan jantan sehingga ikan betina cenderung lebih besar.
Berdasarkan hasil yang didapatkan melalui analisis TKG, hubugan panjang bobot,
dan faktor kondisi dapat diduga bahwa ikan swanggi memijah pada bulan
Februari, Maret, dan April dengan rasio perbandingan ikan jantan sebanyak 4 ekor
dan ikan betina sebanyak 1 ekor.
Analisis sebaran frekuensi panjang digunakan untuk menduga kelompok
umur ikan, karena frekuensi panjang ikan tertentu umumnya berasal dari
kelompok umur yang sama dan cenderung bervariasi mengikuti sebaran normal
(Siagian 2014). Penentuan umur ikan diperlukan untuk mempelajari pertumbuhan,
kelimpahan, dan fluktuasi spesies ikan (El-Haweet et al. 2005). Ikan swanggi
yang tertangkap masih berada dibawah nilai Lm atau belum mengalami matang
gonad. Proporsi ikan swanggi jantan yang tertangkap dibawah nilai Lm sebesar
89% dan pada ikan betina sebesar 94%. Presentasi tersebut menunjukkan adanya
gejala bahwa ikan swanggi telah mengalami recruitment overfishing.
Ukuran panjang ikan swanggi terpanjang yang didapatkan adalah 305 mm,
sedangkan ukuran terkecilnya adalah 140 mm. Panjang ukuran ikan swanggi
yang didapatkan oleh Sukamto (2010) di PPN Brondong adalah 115 mm untuk
ukuran terkecil dan 315 mm untuk ukuran terbesar. Penelitian yang dilakukan
oleh Siagian (2014) terhadap ikan swanggi di Selat Sunda didapakan ukuran
terkecilnya adalah 64 mm dan ukuran terbesarnya adalah 281mm. Hasil
penelitian tersebut menunjukan sebaran frekuensi ikan swanggi yang berbedabeda. Perbedaan struktur data panjang disebabkan adanya faktor intrinsik dan
faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik yang mempengaruhi pertumbuhan antara lain
keturunan, umur, penyakit, dan parasite dan faktor ekstrinsik antara lain suhu,
salinitas, kandungan oksigen terlarut, dan amonia (Effendie 2002).
Gambar 10 dan 11 sebaran ukuran panjang ikan swanggi betina dan jantan
setiap pengambilan data mengalami pergeseran kearah kanan yang menunjukkan
adanya pertumbuhan. Pada bulan Maret ke April ikan swanggi betina mengalami
recruitment yang ditunjukkan oleh modus yang bergerak ke arah kiri.
Recruitment pada ikan swanggi jantan terjadi pada akhir Januari dengan adanya
pergeseran kea rah kiri. Hal ini diduga terjadi karena adanya individu baru yang
masuk ke dalam stok ikan swanggi, sehingga membentuk kelas panjang baru.

25
Parameter pertumbuhan dengan menggunakan model von Bertalanffy (K
dan L∞) diduga dengan metode Ford-Walford. Nilai L∞ dan k ikan swanggi jantan
adalah sebesar 365,57 dan 0,21 dengan persamaan Lt = 365,57 (1-e -0,2083(t+0,4071),
sedangkan untuk ikan swanggi betina nilai L∞ dan k sebesar 542,48 dan 0,06
dengan persamaan Lt = 542,4754 (1-e -0,0601(t+1,3280)). Nilai L∞ dan k ikan swanggi
jantan dan betina memiliki nilai yang berbanding terbalik. Nilai L∞ ikan swanggi
ikan betina lebih besar dibandingkan ikan swanggi jantan, namun nilai dari
koefisien pertumbuhan ikan swanggi jantan lebih besar dibandingkan koefien
pertumbuhan ikan swanggi betina.
Hal tersebut menunjukkan bahwa ikan swanggi jantan akan mencapai nilai
panjang asimtotik lebih cepat. Ikan muda yang lebih banyak tertangkap maka
koefisien pertumbuhan akan tinggi dan sebaliknya ikan berumur tua yang banyak
tertangkap, maka koefisien pertumbuhan akan rendah (Prihatiningsih, 2013).
Nilai L∞ ikan swanggi penelitian ini cukup besar bila dibandingkan dengan
penelitian lain yang telah dilakukan sebelumnya (Tabel 9).
Tabel 9 Parameter pertumbuhan ikan swanggi dari berbagai penelitian
Penelitian

Perairan

Jenis
Kelamin

Parameter Pertumbuhan

Joung et al. (1992)
Sivakami et al. (2005)

Taiwan
India

L∞
620,00
410,00

Saker et al. (2009)

Mumbai

360,00

0,69

Sukamto (2010)

Utara Jawa Timur

330.75

0,19

-0,36

Adilaviana (2012)

Selat Sunda

Betina

233,62

0,30

-0,32

Jantan
Total
Betina
Jantan
Betina
Jantan

319,09
346,40
336.60

0,15
0,17
0,20

-0,60
0,52
-

542.48
365.57

0,06
0,21

-0,41
-1,33

Siagian (2013)

Selat Sunda

Penelitian ini

Utara Jawa Timur

k
0,10
0,60

t0
-

Laju mortalitas ikan dapat dilihat dari mortalitas alami dan mortalitas
penangkapan. Ikan swanggi mengalami kematian lebih banyak diakibatkan oleh
penangkapan dibandingkan kematian secara alami, dengan mengetahui hal
tersebut kita dapat mengetahui tingkat laju eksploitasi ikan swanggi yang teradi.
Nilai laju eksploitasi didapatkan dari hasil pembagian antara mortalitas tangkapan
dengan mortalitas total.
Laju eksploitasi (E) didefinisikan sebagai bagian suatu kelompok umur
yang akan ditang