Pola Musiman Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus Richardson, 1846) di Labuan, Kabupaten Pandeglang, BantenPola Musiman Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus Richardson, 1846) di Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten
1
1.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ikan swanggi termasuk ke dalam kelompok ikan demersal, yang mana perikanan demersal merupakan tipe perikanan multi spesies yang dieksploitasi menggunakan berbagai jenis alat tangkap (multi gears) (Badrudin 1991). Ikan swanggi memiliki beberapa sifat sumberdaya seperti aktivitas ruaya yang tidak jauh serta laju pertumbuhan individu yang tidak terlalu tinggi. Sifat tersebut menyebabkan rendahnya daya tahan terhadap tekanan penangkapan dan terbatasnya daerah penangkapan sehingga bila intensitas penangkapan tersebut ditingkatkan maka kematian karena penangkapan akan meningkat pula.
Salah satu daerah yang potensial untuk pemanfaatan sumberdaya ikan swanggi adalah di Perairan Selat Sunda di antaranya adalah di Labuan Banten. Berdasarkan data statistik perikanan Labuan, produksi tangkapan ikan swanggi dari awal tahun 2011 sampai pada saat ini masih menduduki posisi ke-5 dari total produksi tangkapan ikan demersal, yaitu sebesar 6866.3 kg atau sebesar 8.25 %.
Variasi iklim dan musim di Selat Sunda dan sekitarnya dapat mempengaruhi ketersediaan sumberdaya sehingga menyebabkan terjadinya fluktuasi produksi karena daerah penangkapan dan aktivitas penangkapan tergantung kepada kemampuan nelayan melakukan aktivitas penangkapan. Kelimpahan ikan yang rendah menyebabkan nelayan terus mencari daerah penangkapan ikan yang menguntungkan, apabila daerah penangkapan semakin jauh maka biaya operasional yang dikeluarkan semakin tinggi, sehingga harga semakin mahal, begitu juga sebaliknya. Pola musiman dan sebaran daerah penangkapan ikan swanggi secara spasial dan temporal dapat membantu ketepatan aktivitas penangkapan. Status pemanfaatan terhadap ikan swanggi juga perlu diketahui untuk pengendalian terhadap upaya penangkapan dan produksi ikan swanggi agar dapat menghasilkan keuntungan yang kemudian dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
(2)
2
1.2. Perumusan Masalah
Ikan swanggi merupakan ikan demersal memiliki sifat rentan terhadap penangkapan, migrasi yang tidak jauh, dan daerah penangkapan yang terbatas. Musim memiliki variasi sepanjang tahun sehingga mempengaruhi kelimpahan produksi penangkapan. Kelimpahan ikan yang rendah menyebabkan nelayan terus mencari daerah penangkapan ikan yang menguntungkan, bila daerah penangkapan semakin jauh biaya yang dikeluarkan semakin tinggi, sehingga harga semakin mahal, begitu sebaliknya. Hal tersebut mempengaruhi ketidakpastian dalam aktivitas perikanan.
Identifikasi pola musiman dan sebaran daerah penangkapan secara spasial dan temporal penting dilakukan untuk mengetahui pola sebaran ikan swanggi secara spasial dan temporal. Kontrol terhadap sumberdaya pun akan lebih tepat dilakukan bila mengetahui bagaimana pola sebaran spasial dan temporalnya. Ketepatan penangkapan yang dimaksud di sini adalah ketepatan waktu dan ukuran hasil tangkapan, karena immature fish tidak baik untuk ditangkap.
Sumberdaya ikan memiliki sifat common property yang pemanfaatannya
dapat digunakan pada waktu bersamaan oleh lebih dari satu individu atau satuan ekonomi (open acces). Status pemanfaatan ikan swanggi perlu diketahui karena jika eksplorasi tidak terkendali, dikhawatirkan akan mengganggu keberlanjutan populasi ikan swanggi. Maximizing the net economic yield or rent adalah yang diinginkan sejumlah besar pakar ekonomi, tanpa melihat kenyataan sumberdaya yang ada. Jika effort meningkat, maka Maximum Economic Rent akan dicapai sebelum titik maximum sustainable yield (MSY) dan pada saat itu the marginal cost per unit of yield menjadi lebih tinggi daripada MSY yang diinginkan. Maka pada titik C, Yield turun secara jelas dengan effort dan cost meningkat (Nuitja 2010).
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola musim kelimpahan dan
penangkapan ikan swanggi berdasarkan daerah penangkapannya, serta
(3)
3
2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ikan Swanggi
2.1.1. Klasifikasi dan tata nama
Menurut Richardson (1846) taksonomi ikan swanggi (Gambar 1) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Subkelas : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Subordo : Percoidei
Famili : Priacanthidae
Genus : Priacanthus
Spesies : Priacanthus tayenus
Nama FAO : Purple-spotted bigeye
Nama Lokal : Ikan Swanggi, Ikan Raja Gantang, Ikan Mata Goyang, Ikan
Mata Besar
Gambar 1. Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus) (Dokumentasi pribadi)
2.1.2. Karakter biologi
Ikan Swanggi memiliki badan agak tinggi, agak memanjang, dan tipis secara lateral. Profil anterior sedikit asimetrik, ujung rahang bawah biasanya sedikit di atas tingkat garis tengah yang menonjol tubuh. Gigi kecil terdapat pada
(4)
4
dentaries, vomer, palatines, dan premaxillaries. Spesies yang lebih kecil kemungkinan memiliki panjang total maksimum 29 cm (FAO 1999).
Tulang belakang pada sudut preoperkulum berkembang dengan baik. Jumlah tulang saring insang pada lengkung insang pertama 21 sampai 24. Duri sirip punggung dengan X dan 11 sampai 13 jari lemah. Duri sirip dengan III dan 12-14 jari lemah. Sirip ekor truncate biasanya terdapat pada spesimen yang lebih kecil, tetapi menjadi lunate pada beberapa (mungkin jantan) tapi tidak semua terdapat pada spesimen lebih besar. Jari sirip dada 17-19. Sisik-sisik menutupi terutama bagian badan, kepala, dan dasar sirip kaudal (FAO 1999).
Sisik-sisik termodifikasi, sisik-sisik pada bagian tengah lateral dengan bagian posterior atas hilang dan sedikit duri kecil pada spesimen yang lebih besar. Sisik-sisik pada seri lateral 56 sampai 73, sisik-sisik linear lateralis berpori 51 sampai 67. Sisik pada baris vertikal (dari awal sirip dorsal sampai anus) 40 sampai 50. Swimbladder dengan penampang anterior dan posterior, bentuk terkait dengan lubang yang termodifikasi dalam tengkorak. Warna tubuh, kepala, dan iris mata adalah merah muda kemerah-merahan atau putih keperak-perakan dengan merah muda kebiruan, sirip berwarna kemerah mudaan, sirip perut mempunyai karakteristik bintik kecil ungu kehitam-hitaman dalam membran dengan 1 atau 2 titik lebih besar di dekat perut (FAO 1999)
2.1.3. Distribusi
Tinggal di perairan pantai di antara bebatuan karang dan terkadang di area yang lebih terbuka pada kedalaman kurang lebih 20 sampai 200 meter. Kumpulan ikan dewasa sering tertangkap oleh perikanan trawl pada waktu yang sama dan relatif secara berkala di Laut Cina Selatan dan Andaman. Rekruitmen secara berkala ke dalam kumpulan kira-kira memiliki total panjang sekitar 12 cm dan mencapai 24 cm sampai tahun depan. Distribusi ikan ini meliputi wilayah pesisir utara Samudera Hindia dari Teluk Persia bagian Timur dan wilayah Pasifik Barat dari Australia bagian Utara dan Pulau Solomon bagian utara sampai Provinsi Taiwan di China (FAO 1999).
(5)
5
2.2. Alat tangkap 2.2.1. Cantrang
Cantrang dapat diklasifikasikan menurut cara pengoperasiannya, bentuk konstruksi serta fungsinya, mempunyai banyak kemiripan dengan pukat harimau. Menurut Subani dan Barus (1989): Cantrang, Dogol, Payang dan Bundes diklasifikasikan ke dalam alat tangkap “danish seine” berbentuk panjang tetapi penggunaannya untuk menangkap Ikan Demersal terutama udang.
Pengoperasiannya dilakukan dengan melingkarkan tali slambar dan jaring pada dasaran yang dituju. Cantrang terdiri dari (1) kantong (codend); bagian tempat berkumpulnya hasil tangkapan yang pada ujungnya diikat dengan tali hasil tangkapan yang pada ujungnya diikat dengan tali hasil tangkapan tidak lolos. (2) Badan; bagian terbesar dari jaring yang terletak diantara kantong dan kaki jaring, terdiri dari bagian kecil–kecil dengan ukuran mata jaring yang berbeda–beda. (3) Kaki (sayap); terbentang dari badan hingga slambar yang berguna sebagai penghalang ikan masuk ke dalam kantong. (4) Mulut; pada bagian atas jaring relatif sama panjang dengan bagian bawah. Alat tangkap cantrang dioperasikan dengan kapal berukuran 8,5 – 11 m x 1,5 – 2,5 m x 1 – 1,5 m dengan kekuatan mesin 18 – 27 PK (Budiman 2006).
Menurut Subani dan Barus (1989); Daerah penangkapan (fishing ground) cantrang tidak jauh dari pantai, pada bentuk dasar perairan berlumpur atau lumpur berpasir dengan permukaan dasar rata. Daerah tangkapan yang baik kelompok alat tangkap “danishseine” harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Dasar perairan rata dengan substrat pasir, lumpur atau tanah liat berpasir. b. Arus laut cukup kecil (< 3 knot).
c. Cuaca terang tidak ada angin kencang.
2.2.3. Jaring insang dasar (Bottom Gillnet)
Jaring insang dasar atau bottom gillnet yaitu alat tangkapyang terbuat dari bahan jaring. Jaring insang dasar berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran mata jaring yang sama. Jaring insang dasar (bottom gillnet) termasuk dalam klasifikasi jaring insang (gillnet). Menurut Martasuganda (2002), bagian-bagian bottom gillnet yaitu pelampung (float), berfungsi untuk mengapungkan alat
(6)
6
tangkap. Tali pelampung (float line), adalah tali yang berfungsi untuk menyambungkan antar pelampung. Tali ris atas dan bawah, berfungsi untuk dipakai memasang atau menggantungkan badan jaring. Tali penggantung badan jaring bagian atas dan bawah (upper bolch line and under bolch line), adalah tali yang berfungsi untuk menyambungkan atau menggantungkan badan jaring pada tali ris. Srampad atas dan bawah (upper selvedge and under selvedge), adalah susunan mata jaring yang ditambahkan pada badan jaring bagian atas dan bagian bawah. Badan jaring atau jaring utama (main net), adalah bagian dari jaring yang digunakan untuk menangkap ikan, Tali pemberat (sinker line), adalah tali yang berfungsi untuk memasang pemberat yang bahannya terbuat dari bahan sintetis seperti haizek, vinylon, polyvinyl chloride, saran atau bahan lainnya yang bisa dijadikan untuk tali pemberat. Pemberat (sinker), berfungsi untuk menghasilkan gaya berat pada bottom gillnet.
Ukuran per tinting: panjang 50 m sebelum diikat (37,5 m setelah diikat); lebar 2,94 m sebelum diikat (1,94 m setelah diikat); bahan nilon monofilamen No. 25; Selvedge PE d/3 (Subani dan Barus 1989). Kapal bottom gillnet termasuk ke dalam kelompok kapal dengan metode pengoperasian static gear. Ada dua jenis kapal yang digunakan dalam pengoperasian bottom gillnet, yaitu: a) motor tempel (12-25 PK), ukuran: panjang 6,7 m, lebar 1,5 m, dalam 0,5 m, jaring 14 tinting (pieces); b) motor dalam (6,5-18 PK), ukuran: panjang 7,5 m, lebar 2 m, dalam 1 m, jaring 20-25 tinting (pieces) (Subani dan Barus 1989).
Nelayan yang diperlukan untuk mengoperasikan jaring insang dasar yaitu 4 orang nelayan. Nelayan terdiri dari 1 orang nakhoda, 1 orang pengemudi dan 2 orang anak buah kapal (ABK). Nakhoda bertugas menentukan daerah pengoperasian, pengemudi bertugas mengemudikan kapal dan ABK bertugas untuk membantu dalam operasi penangkapan ikan (setting dan hauling) (Krisnandar 2001). Alat bantu pada bottom gillnet berupa net hauler atau net drum, berfungsi untuk menarik jaring pada saat hauling (Sainsburry 1971).
2.3. Pengetahuan tentang Stok
Dalam pengelolaan sumberdaya ikan, pengetahuan tentang stok dan dinamikanya merupakan hal yang sangat penting. Gulland (1982) dalam Sparre &
(7)
7
Venema (1999), menyatakan bahwa untuk keperluan pengelolaan perikanan, suatu sub kelompok dari satu spesies dapat dikatakan sebagai suatu stok jika perbedaan–
perbedaan dalam kelompok tersebut dan “pencampuran” dengan kelompok lain
dapat diabaikan.
Sehingga stok dapat diartikan sebagai suatu sub gugus dari satu spesies yang mempunyai parameter pertumbuhan dan mortalitas yang sama, dan menghuni suatu wilayah geografis tertentu. Pengetahuan tentang stok berguna dalam memberikan saran tentang pemanfaatan sumberdaya ikan sehingga sumberdaya tersebut dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Konsep maximum sustainable yield (MSY), merupakan konsep pengelolaan sumberdaya ikan secara bertanggung jawab (responsible fisheries) dengan mempertahankan kelestarian atau keberlanjutan sumberdaya yang ada.
Dalam Sparre & Venema (1999) disebutkan bahwa tujuan pengkajian stok ikan dari stok yang dieksploitasi adalah untuk meramalkan apa yang akan terjadi dalam hal hasil di masa depan, tingkat sustainabilitas biomassa dan nilai dari hasil tangkapan jika upaya penangkapan tetap sama atau berubah karena faktor lain. Faktor yang mempengaruhi jumlah stok ikan di suatu daerah adalah :
1. Rekrutmen (R)
Rekrutmen merupakan penambahan individu dalam suatu populasi. Rekrutmen bersifat positif atau menambah jumlah stok. Rekrutmen akan menambah jumlah dan biomassa suatu populasi. Rekrutmen berasal dari kelahiran (natalitas). Rekrutmen juga dimungkinkan dengan datangnya atau masuknya individu sejenis yang berasal dari daerah lain, misalnya pada ikan–ikan peruaya. Secara buatan (campur tangan manusia), rekrutmen dilakukan dengan penebaran benih ke suatu daerah perairan (restocking) yang telah mengalami kekurangan stok suatu jenis ikan.
2. Pertumbuhan (Growth = G)
Pertumbuhan adalah pertambahan berat suatu individu. Parameter pertumbuhan yaitu panjang dan berat individu. Pertumbuhan mempengaruhi stok ikan di suatu daerah. Pertumbuhan bersifat positip terhadap stok. Pertumbuhan tidak menambah jumlah stok, tetapi menambah biomassa suatu stok ikan.
(8)
8 3. Kematian alami (Mortalitas = M)
Kematian alami merupakan kematian yang tidak disebabkan oleh campur tangan manusia (penangkapan). Mortalitas alami disebabkan oleh kematian karena pemangsaan (predasi), penyakit, stress, pemijahan, kelaparan dan usia tua. Spesies yang sama yang berada di daerah berbeda mungkin mempunyai tingkat kematian alami yang berbeda, tergantung dari kepadatan pemangsaan dan kepadatan pesaing. Kematian alami bersifat negatif atau mengurangi stok ikan.
4. Penangkapan (catch = C)
Penangkapan bersifat negatif atau mengurangi jumlah stok suatu jenis ikan di daerah tertentu. Faktor penangkapan lebih mudah dimonitor dibandingkan faktor lainnya. Sehingga pengkajian stok ikan lebih mudah dilakukan dengan menggunakan parameter hasil tangkapan suatu jenis ikan dan upaya penangkapannya, misalnya jumlah kapal, jumlah alat tangkap dan jumlah trip penangkapan.
2.4. Model Bioekonomi Perikanan
Model bioekomi perikanan pertama kali ditulis oleh Gordon (1954) dalam artikelnya menyatakan bahwa sumberdaya perikanan pada umumnya bersifat terbuka (open acces) sehingga setiap orang dapat memanfaatkannya atau tidak seorangpun memiliki hak khusus untuk memanfaatkan sumberdaya alam ataupun melarang orang lain untuk ikut memanfaatkan (common property). Pendekatan bioekonomi diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya karena selama ini permasalahan perikanan terfokus pada maksimalisasi penangkapan dengan mengabaikan faktor produksi dan biaya yang dipergunakan dalam usaha perikanan.
Selain itu menurut Clark (1985) dalam Purwanto (2006) bahwa pendekatan
bioekonomi adalah pendekatan yang memadukan kekuatan ekonomi yang mempengaruhi industri penangkapan dan faktor biologis yang menentukan produksi dan suplai.
Gordon melakukan analisis berdasarkan konsep produksi biologi berdasarkan permasalahan tersebut, kemudian dikembangkan oleh Schaefer (1957), kemudian konsep dasar bioekonomi ini dikenal dengan teori Gordon-Schaefer. Konsep dasar biologi perlu dikemukakan terlebih dulu untuk memahami teori Gordon-Schaefer.
(9)
9
Dimisalkan bahwa pada suatu daerah tertentu tidak ada penangkapan ikan, maka laju netto biomasa ikan (dx/dt) adalah :
...(1) F (x) adalah laju biomassa yang merupakan fungsi dari ukuran biomassa. Jika diasumsikan bahwa daerah tersebut terbatas, secara rasional dapat kita asumsikan bahwa populasi tersebut tumbuh secara proporsional terhadap populasi awal, secara matematis dapat ditulis :
...(2) r dalam istilah biologi perikanan sering disebut intristic growt rate yaitu pertumbuhan alamiah (natalitas dikurangi mortalitas) atau yang sering disebut laju pertumbuhan tercepat yang dimiliki oleh suatu jenis ikan. Dalam kondisi yang ideal, laju pertumbuahan ikan dapat terjadi secara eksponensial, namun karena keterbatasan daya dukung lingkungan maka ada titik maksimum dimana laju pertumbuhan akan mengalami penurunan atau berhenti. Pada titik maksimum ini disebut carrying capacity. Dalam model kuadratik (logistik), maka fungsi logistik tersebut secara matematis ditulis sebagai berikut :
- ...(3) r adalah laju pertumbuhan intristik (intistik growth rate) dan K adalah carrying capacity. Dari persamaan (3) di atas terlihat bahwa dalam kondisi kesimbangan (ekuilibrium) laju pertumbuhan sama dengan nol (dt/dx=0) maka populasi sama
dengan carrying capacity sedangkan pertumbuhan masimum akan terjadi pada
setengah dari carrying capacity. Pada kondisi ini disebut juga sebagai Maximum Sustainable Yield (MSY) (Gambar 2).
(10)
10
Gambar 2. Kurva Pertumbuhan Logistik (Nabunome 2007)
Bila pada suatu daerah tertentu dilakukan penangkapan ikan maka laju perubahan netto biomassa ikan (dx/dt) ditentukan oleh kemampuan reproduksi alamiah dan jumlah ikan yang ditangkap dari stok ikan tersebut. Secara matematis, laju perubahan netto biomassa dapat dirumuskan sebagai berikut :
...(4) F (x) adalah laju pertumbuhan alami dari stok ikan, x dan C adalah jumlah ikan yang ditangkap pada waktu tertentu (C = c(t)) memiliki hubungan yang proposional dengan upaya penangkapan (E). Bila E merupakan indeks dari sarana produksi termasuk kapal dan alat tangkap, maka jumlah ikan yang ditangkap dalam kurun waktu tertentu (C) dapat dihitung dengan persamaan :
...(5) Adanya aktivitas penangkapan ikan tersebut, maka persamaan (4) dapat dituliskan sebagai berikut :
...(6) Persamaan (6) dapat diilustrasikan pada Gambar 3. Gambar 3, menunjukan bahwa jika kegiatan penangkapan tetap bertambah, ternyata tidak menghasilkan produksi yang lebih besar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat eksploitasi seperti ini tidak efisien secara ekonomis, karena tingkat eksploitasi yang sama dilakukan dengan upaya yang lebih besar. Hal ini disebabkan karena biaya yang dikeluarkan pada saat melakukan penangkapan ikan C3 lebih besar dibandingkan dengan biaya C1. Berdasarkan hal tersebut perlu dijelaskan dengan aspek ekonomi mengenai tingkat efisiensi dan optimasi penangkapan. Lambang C (catch) sama halnya dengan h (harvest atau yield).
(11)
11
Gambar 3. Hubungan Tangkapan (Catch) dengan Upaya (Effort) (Seijo et al. 1998) Sebelum menjelaskan aspek ekonomi perikanan, sebelumnya perlu dijelaskan penurunan kurva tangkap lestari pada Gambar 3. Dalam kondisi kesimbangan jangka panjang (long run) maka persamaan (6) berubah menjadi :
- ...(7) sehingga kalau kita pecahkan persamaan diatas untuk x, akan diperoleh persamaan sebagai berikut
...(8) kemudian dengan mensubsitusikan persamaam (8) ke dalam persamaan (5) maka akan diperoleh fungsi tangkap lestari (sustainable yield) :
...(9)
...(10) Persamaan di atas (9) merupakan persamaan kuadratik. C (catch) atau h (yield)
kuadratik terhadap effort dan jika digambarkan menunjukan sebuah parabola yang
menggambarkan fungsi prouksi perikanan dalam jangka panjang, dimana yield tergantung dari tingkat fishing effort dalam sebuah kesimbangan populasi yang disebut Sustainable Yield. Kurva produksi lestari dapt digambarkan pada gambar berikut :
(12)
12
Gambar 4. Kurva Statis Schaefer (Clark et al.1985)
Bila diasumsikan α = qK dan β = maka persamaan (10) dapat dituliskan : C = αE –βE2
...(11) Titik MSY pada Gambar 4 dapat diperoleh dengan menurunkan persamaan hasil tangkapan lestari (11) terhadap upaya tangkap, sehingga :
EMSY=α/2β, CMSY= α2/4β...(12) Koefisien parameter lestari (α dan β) dapat diestimasi dengan regresi sederhana model Shaefer berikut :
= αE –βE2
...(13) Pada Gambar 4 terlihat bahwa jika tidak ada aktivitas perikanan (Upaya=0) produksi juga nol. Ketika upaya terus dinaikan pada titik EMSY akan diperoleh
produksi maksimum. Produksi pada titik ini disebut Maximum Sustaianable Yield.
Karena sifat kurva Yield-Effort yang berbentuk kuadratik, maka peningkatan upaya yang terus menerus melewati titik EMSY maka produksi akan turun kembali, bahkan mencapai nol (pada titik upaya maximum EMSY). Berdasarkan nilai MSY yang diperoleh dari model Schaefer maka Gordon menambahkan faktor ekonomi dengan memasukan harga dan biaya.
Pada pengembangkan model Gordon-Schaefer menurut Fauzi (2010) digunakan asumsi-asumsi untuk memudahkan pemahaman yaitu :
1. Harga per satuan upaya output diasumsikan konstan atau kurva permintaan diasumsikan elastis sempurna.
2. Biaya per satuan upaya (c) dianggap konstan.
3. Spesies sumberdaya ikan bersifat tunggal (single species). 4. Struktur pasar bersifat kompetitif.
5. Hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan (tidak termasuk faktor pasca panen dan lain sebagainya).
(13)
13
Dengan menggunakan asumsi-asumsi di atas dan kurva sustainable yield effort maka dengan mengalikan harga tersebut dengan MSY (C) maka akan diperoleh kurva penerimaan sebagai total revenue (TR) = p.C, sedangkan kurva biaya kita asumsikan linear terhadap effort, sehingga fungsi biaya menjadi TC = c.E. Bila diasumsikan harga ikan dan biaya dari upaya konstan, maka akan diperoleh keuntungan (rente) bersih suatu industri perikanan, melalui persamaan berikut (Clark 1980) :
π = pCt– cEt
= (pqxt– c)Et...(14) Dalam kondisi akses terbuka, rente ekonomi sama dengan nol (π=0) atau
̅ ...(15) jika digabungkan fungsi penerimaan dan biaya tersebut dalam suatu gambar, akan diperoleh kurva seperti Gambar 5 yang akan menguraikan inti dari model Gordon - Schaefer mengenai keseimbangan ekonomi.
Gambar 5. Hubungan antara maximum economic yield (MEY), maximum
sustainable Yield (MSY) dan open acces (OA) (Nabunome 2007) Gambar 5 merupakan inti dari teori Gordon mengenai keseimbangan bioekonomi pada kondisi open acces suatu perikanan akan berada pada titik kesimbangan pada tingkat effort open acces (EOA) dimana penerimaan total (TR)
(14)
14
sama dengan biaya total (TC). Pelaku perikanan hanya menerima rente ekonomi sumberdaya sama dengan nol. Tingkat upaya pada pada posisi ini adalah tingkat upaya dalam kondisi keseimbangan yang oleh Gordon disebut sebagai ”Bioeconomic equilibrium of open acces fishery” atau keseimbangan bioekonomi dalam kondisi akses terbuka.
Pada setiap upaya lebih rendah dari EOA (sebelah kiri dari EOA) penerimaan total lebih dari biaya total. Pada kondisi ini pelaku perikanan (nelayan) akan tertarik untuk menangkap ikan karena akses yang tidak dibatasi dan bertambahnya pelaku masuk (entry) ke industri perikanan. Bila dilihat dari pendapatan rata-rata maka penerimaan marginal dan biaya marginal dari penurunan konsep penerimaan total dan biaya total seperti pada Gambar 5.
Setiap titik disebelah kiri EOA, penerimaan rata-rata setiap unit effort lebih besar dari biaya rata-rata per unit. Rente yang diperoleh dari pengelolaan sumberdaya T1 untuk titik effort maximum economic yield (EMEY). Keadaan ini
akan memungkinkan terjadinya entry atau pelaku perikanan yang sudah ada untuk
memaksimalkan manfaat ekonomi yang diperoleh. Sebaliknya pada titik-titik sebelah kanan EOA biaya rata-rata per satuan upaya lebih besar dibandingkan penerimaan rata-rata per unit. Pada kondisi ini akan menyebabkan nelayan keluar atau entry tidak ada.
Pada Gambar 5 jelas bahwa tingkat EOA terjadi kesimbangan pada
pengelolaan perikanan, maka pada kondisi ini entry dan exit tidak terjadi. Jika pada Gambar 5 keuntungan lestari (Sustainable profit) akan diperoleh secara maksimum pada tingkat effort MEY, dimana dapat dilihat pada jarak horisontal terbesar antara penerimaan dan biaya yang diperoleh (T1), dalam literatur ekonomi sumberdaya ikan, tingkat upaya ini sering disebut sebagai Maximum Economic Yield (MEY) produksi yang maksimum secara ekonomi. Pada titik EOA tingkat upaya (effort) yang dibutuhkan jauh lebih besar dari upaya MSY dan MEY untuk memperoleh
keuntungan yang optimal dan lestari. EOA memberikan tingkat upaya yang optimal
secara sosial (Social Optimum). Berdasarkan ilmu ekonomi, kesimbangan open acces menimbulkan terjadi alokasi yang tidak tepat (missallocation) karena kelebihan faktor produksi (tenaga kerja dan modal) dalam perikanan yang seharusnya bisa digunakan untuk ekonomi produktif lain.
(15)
15
Inilah sebenarnya inti prediksi Gordon bahwa perikanan open acces akan menyebabkan terjadinya kondisi economic overfishing. Selain itu juga bahwa keseimbangan open acces dicirikan dengan terlalu banyak input sehingga stok sumberdaya akan diekstraksi sampai pada titik yang terendah sebaliknya pada tingkat MEY input tidak terlalu banyak tetapi keseimbangan biomas pada tingkat yang lebih tinggi (Nabunome 2007).
2.5. Pola Musim Penangkapan
Informasi yang tepat diperlukan untuk melakukan operasi penangkapan yang efisien, seperti informasi mengenai musim penangkapan yang baik. Informasi mengenai pola musim penangkapan digunakan untuk menentukan waktu yang tepat
dalam pelaksaan operasi penangkapan (Dajan 1984 in Bahdad 2006). Penggunaan
pendekatan metode rata-rata bergerak (moving average) dapat dilakukan untuk perhitungan operasi penangkapan menggunakan data hasil penangkapan seperti halnya data lainnya yang bersifat musiman. Pendekatan tersebut bertujuan untuk menghilangkan variasi musiman, residu, dan adakalanya sebagian dari variasi siklus agar diperoleh trend yang bercampur dengan siklus.
Variasi musim adalah fluktuasi-fluktuasi di sekitar trend yang berulang secara teratur tiap tahun, residu merupakan jenis fluktuasi yang disebabkan oleh
faktor-faktor random. Trend (kecenderungan) menggambarkan gerakan deret
berkala secara rata-rata dan variasi siklus adalah variasi deret berkala yang meliputi periode setahun lebih, dengan lama dan amplitudo siklus tidak pernah sama. Nilai trend bercampur siklus ini akan digunakan sebagai pembagi deret berkala asal untuk memperoleh data berkala yang bebas dari trend dan siklus. Variasi musim murni diperoleh dengan cara merata-ratakan deret berkala yang bebas dari trend dan siklus.
Metode rata-rata bergerak (moving average) memiliki keuntungan yaitu dapat mengisolasi fluktuasi musiman sehingga dapat menetukan saat yang tepat untuk melakukan operasi penangkapan dan kecenderungan yang biasa terdapat pada metode deret waktu dapat dihilangkan. Kerugian dari metode rata-rata bergerak (moving average) adalah tidak dapat menghitung pola musim penangkapan sampai tahun terakhir data (Bahdad 2006).
(16)
16
Menurut Zacharia et al. (1991), kelimpahan maksimum Priacanthidae di pesisir Dakshina Kannada India yaitu selama musim peralihan pada bulan Februari, hasil produksi tangkapan pada bulan Januari pun terlihat bagus. Vijayakumaran & Naik (1988) melaporkan bahwa hasil tangkapan Priacanthus hamrur tertinggi yang diadaratkan di Karnataka, India didapatkan pada bulan Maret dan berasal dari kedalaman 51-100 m dan 151-200 m, sementara hasil tangkapan pada bulan
September-November tergolong rendah. Hasil tangkapan P. hamrur sangat
melimpah di Vishakhapatnam India terjadi selama bulan Maret-April dan Juli (Sivakami 2001).
Kegiatan penangkapan ikan dapat bersifat musiman, dengan kata lain kegiatan penangkapan ikan dapat berubah karena selain ada masa ketika ikan melimpah di laut dan lokasinya dapat diakses nelayan dengan mudah juga ada periode waktu lain ketika ikan jarang ada di laut dan lokasinya juga sulit dicapai nelayan. Musim penangkapan di Indonesia sangat berkaitan dengan kondisi laut yang dipengaruhi angin monsoon. Angin monsoon pertama berasal dari Australia yag sedang mengalami musim dingin dan kering. Angin monsoon kedua berasal dari arah barat lau membawa uap di Samudera Pasifik. Hal tersebut menyebabkan, kondisi perairan di bagian barat dan timur tidak selalu sama di saat yang sama. Ketika periode monsoon barat, perairan Indonesia di sebelah barat umumnya bergelombang tinggi dan hujan lebat, sedangkan perairan di sebelah timur umumnya tenang. Sebaliknya ketika periode mosoon tenggara perairan Indonesia di sebelah barat dan di sebelah timur umumnya bergelombang tinggi (Sandita 2010).
2.6. Daerah Penangkapan
Daerah penangkapan atau dalam bidang perikanan lebih dikenal dengan istilah fishing ground, yaitu tempat penangkapan. Secara umum fishing ground dapat diartikan segala tempat dimana ikan ada dan alat tangkap dapat dioperasikanMenurut Djatikusumo (1977), daerah penangkapan mempunyai syarat sebagai berikut :
1. Jumlah besar daripada ikan-ikan yang ada yang akan ditangkap (populasi besar)
(17)
17
3. Ekonomis
Fishing ground tidak selalu pasti, tetapi tergantung macam alat tangkap, bentuk-bentuk tertentu dari macam penangkapan dapat memungkinkan beroperasinya di suatu daerah dimana jenis yang lain tidak dapat digunakan. Misalnya, di perairan sekitar karang, alat tangkap sejenis trawl tidak dapat digunakan meskipun terdapat banyak ikan. Namun penangkapan akan berjalan
dengan mudah dengan menggunakan pancing (long line) (Djatikusumo 1977).
2.7. Tangkapan per Satuan Upaya
Tangkapan per Satuan Upaya (TPSU) merupakan jumlah atau bobot hasil tangkapan yang diperoleh adari satuan alat tangkap atau dalam waktu tertentu, yang merupakan indeks kelimpahan suatu stok ikan (UU No. 45 tahun 2009). TPSU dapat dipengaruhi oleh satuan waktu, besarnya stok, kegiatan penangkapan, dan kondisi lingkungan di daerah penangkapan ikan. Apabila satuan waktu yang digunakan adalah tahun, perubahan kondisi lingkungan perairan dalam satu tahun tertentu memiliki kecenderungan pola yang sama pada tahun-tahun berikutnya
(DKP DKI Pandeglang 2005 in Damayanti 2007).
2.8. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Besarnya sumberdaya ikan laut di Indonesia dapat menimbulkan persaingan dalam proses penangkapannya, karena sumberdaya ikan ini merupakan milik bersama (common property) yang setiap orang berhak memanfaatkannya (open access). Persaingan yang dilakukan pelaku perikanan terlihat dari usaha yang dilakukan menggunakan tekhnologi yang terus berkembang dan dieksploitasi secara terus-menerus hingga terjadi konflik antar pelaku perikanan saat sumberdaya ikan yang ada semakin menipis.
Dalam Undang–undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dijelaskan
bahwa pengelolaan sumberdaya ikan adalah semua upaya yang dilakukan bertujuan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan secara optimal dan terus menerus. Menurut Gulland (1982), tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan meliputi :
(18)
18
1. Tujuan yang bersifat fisik – biologik, yaitu dicapainya tingkat pemanfaatan dalam level hasil maksimum yang lestari (maximum sustainable yield = MSY). 2. Tujuan yang bersifat ekonomik, yaitu tercapainya keuntungan maksimum dari
pemanfaatan sumberdaya ikan atau maksimalisasi profit (net income) dari perikanan.
3. Tujuan yang bersifat sosial, yaitu tercapainya keuntungan sosial yang maksimal, misalnya maksimalisasi penyediaan pekerjaan, menghilangkan adanya konflik kepentingan diantara nelayan dan anggota masyarakat lainnya.
Dwiponggo (1983) in Pranggono (2003) mengatakan, tujuan pengelolaan
sumberdaya perikanan dapat dicapai dengan beberapa cara, antara lain:
1. Pemeliharaan proses sumberdaya perikanan, dengan memelihara ekosistem penunjang bagi kehidupan sumberdaya ikan.
2. Menjamin pemanfaatan berbagai jenis ekosistem secara berlanjut.
3. Menjaga keanekaragaman hayati (plasma nuftah) yang mempengaruhi ciri–ciri,
sifat dan bentuk kehidupan.
4. Mengembangkan perikanan dan teknologi yang mampu menumbuhkan industri yang mengamankan sumberdaya secara bertanggung jawab.
Badrudin (1986) in Lembaga Penelitian UNDIP (2000) menyatakan bahwa prinsip pengelolaan sediaan ikan dapat dikategorikan sebagai berikut :
1. Pengendalian jumlah upaya penangkapan : tujuannya adalah mengatur jumlah alat tangkap sampai pada jumlah tertentu.
2. Pengendalian alat tangkap : tujuannya adalah agar usaha penangkapan ikan hanya ditujukan untuk menangkap ikan yang telah mencapai umur dan ukuran tertentu.
Berdasarkan prinsip tersebut, maka pengelolaan sumberdaya perikanan harus memiliki strategi sebagai berikut :
1. Membina struktur komunitas ikan yang produktif dan efisien agar serasi dengan proses perubahan komponen habitat dengan dinamika antar populasi.
2. Mengurangi laju intensitas penangkapan agar sesuai dengan kemampuan produksi dan daya pulih kembali sumberdaya ikan, sehingga kapasitas yang optimal dan lestari dapat terjamin.
(19)
19
3. Mengendalikan dan mencegah setiap usaha penangkapan ikan yang dapat
menimbulkan kerusakan–kerusakan maupun pencemaran lingkungan perairan
secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam Sutono (2003) disebutkan beberapa pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan, yaitu :
1. Pengaturan musim penangkapan
Pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pengaturan musim penangkapan dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada sumberdaya ikan untuk berkembang biak. Secara biologi ikan mempunyai siklus untuk memijah, bertelur, telur menjadi larva, ikan muda dan baru kemudian menjadi ikan dewasa. Bila salah satu dari siklus tersebut terpotong, misalnya karena penangkapan, maka sumberdaya ikan tidak dapat melangsungkan daur hidupnya. Hal ini dapat menyebabkan ancaman kepunahan sumberdaya ikan tersebut. Oleh karena itu diperlukan suatu pengaturan musim penangkapan ikan.
Pengaturan musim penangkapan ikan dapat efektif pada negara-negara yang sistem hukumnya dilaksanakan dengan ketat. Bila penegakan hukum tidak dapat dilaksanakan, maka pengaturan musim penangkapan ikan tidak dapat efektif, karena tentu terjadi banyak pelanggaran.
Dalam pengaturan musim penangkapan ikan juga perlu diketahui terlebih dahulu sifat biologi dari sumberdaya ikan tersebut. Sifat biologi dimaksud meliputi siklus hidup, lokasi dan waktu terdapatnya, serta bagaimana reproduksinya. Pengaturan musim penangkapan dapat dilaksanakan secara efektif bila telah diketahui antara musim ikan dan bukan musim ikan dari jenis sumberdaya ikan tersebut. Selain itu juga perlu diketahui musim ikan dari jenis ikan yang lain, sehingga dapat menjadi alternatif bagi nelayan dalam menangkap ikan. Misalnya, bila terhadap suatu jenis ikan dilarang untuk ditangkap pada waktu tertentu, maka nelayan dapat menangkap jenis lain pada waktu yang sama.
Kendala yang mungkin timbul pada pelaksanaan kebijakan pengaturan musim penangkapan ikan adalah (1) belum adanya kesadaran nelayan tentang pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya ikan yang ada, (2) lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh aparat, (3) terbatasnya sarana pengawasan.
(20)
20
2. Penutupan daerah penangkapan
Kebijakan penutupan daerah penangkapan dilakukan bila sumberdaya ikan yang ada telah mendekati kepunahan. Penutupan daerah penangkapan dimaksudkan untuk memberi kesempatan pada sumberdaya ikan yang mendekati kepunahan untuk berkembang kembali sehingga stoknya dapat bertambah. Guna menentukan suatu daerah penangkapan ditetapkan untuk ditutup, maka perlu dilakukan penelitian tentang stok sumberdaya ikan yang ada pada daerah tersebut, dimana dan kapan terdapatnya, serta karakteristik lokasi yang akan dilakukan penutupan daerah penangkapan.
Penutupan daerah penangkapan juga dapat dilakukan terhadap daerah–daerah
yang merupakan habitat vital, seperti daerah hutan bakau dan daerah terumbu karang. Seperti diketahui bahwa daerah vital tersebut merupakan daerah berpijah (spawning ground) dan daerah asuhan (nursery ground). Penutupan daerah penangkapan untuk daerah vital dimaksudkan agar telur–telur ikan, larva dan ikan yang masih kecil dapat tumbuh menjadi ikan dewasa.
Untuk mendukung kebijakan penutupan daerah penangkapan, diperlukan pengawasan yang ketat oleh pihak aparat. Demikian pula halnya dengan peraturan yang ada, perlu ditetapkan peraturan yang bersifat represif. Upaya ini dilakukan demi menjaga kelestarian sumberdaya ikan jenis tertentu yang mengalami ancaman kepunahan.
3. Selektifitas alat tangkap
Kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan selektifitas alat tangkap bertujuan untuk mencapai atau mempertahankan struktur umur atau struktur ukuran ikan dalam suatu stok pada suatu daerah. Selektifitas alat tangkap dilakukan untuk menyeleksi ikan yang akan ditangkap. Dengan demikian hanya ikan–ikan yang telah mencapai ukuran tertentu saja yang ditangkap. Sementara ikan–ikan yang lebih kecil tidak tertangkap, sehingga dapat memberi kesempatan bagi ikan–ikan kecil untuk tumbuh menjadi besar.
Contoh penerapan pengelolaan sumberdaya ikan dengan pendekatan selektifitas alat tangkap, ialah :
1) Penentuan ukuran minimum mata jaring (mesh size) pada alat tangkap gill net, purse seine dan alat tangkap tarik, misalnya payang, pukat dan sebagainya.
(21)
21 2) Penentuan ukuran mata pancing pada longline.
3) Penentuan lebar bukaan pada alat tangkap perangkap
Dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan selektifitas alat tangkap ini, peran nelayan sangat penting. Pengetahuan dan kesadaran nelayan akan pentingnya pelestarian sumberdaya ikan merupakan faktor utama keberhasilan kebijakan pengelolaan ini. Hal ini disebabkan aparat sulit untuk melakukan pengendalian dan pengawasan karena banyaknya jenis alat tangkap (multi gears) yang beroperasi di Indonesia.
Kendala pelaksanaan kebijakan dengan selektifitas alat tangkap yaitu diperlukan biaya yang tinggi untuk memodifikasi alat tangkap yang sudah ada. Sehingga peran nelayan untuk memodifikasi alat tangkapnya sangat diharapkan sesuai dengan keadaan lokasi penangkapannya.
4. Pelarangan alat tangkap
Pengelolaan sumberdaya ikan dengan pendekatan pelarangan alat tangkap didasarkan pada adanya penggunaan bahan atau alat berbahaya dalam menangkap ikan baik bagi ekosistem perairan maupun berbahaya bagi yang menggunakan, misalnya penggunaan racun ikan dan bahan peledak (bom ikan). Tujuan dari pelarangan penggunaan alat atau bahan berbahaya ini adalah melindungi sumberdaya ikan dan ekosistem yang ada yang bermanfaat bagi kehidupan biota air. Sebagai contoh penggunaan racun ikan, selain menyebabkan kematian ikan sasaran, juga menyebabkan kematian pada ikan–ikan yang masih kecil dan telur ikan. Penggunaan bahan peledak dapat menyebabkan kerusakan habitat ikan dan kematian biota air lainnya yang bukan merupakan sasaran penangkapan.
Seringkali pelanggaran terhadap peraturan pelarangan penggunaan alat atau bahan berbahaya ini tidak ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Hal ini menyebabkan pelaksanaan peraturan pelanggaran penggunaan alat atau bahan berbahaya ini tidak efektif. Oleh karena itu efektifitas pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan pelarangan alat tangkap ini sangat tergantung pada penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat.
Dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan dengan pendekatan pelarangan alat tangkap ini, kepedulian nelayan dan masyarakat pesisir menjadi faktor yang
(22)
22
pelaksanaannya sangat membantu aparat untuk menindak secara tegas pelanggaran yang terjadi.
5. Kuota penangkapan
Pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan kuota penangkapan adalah upaya pembatasan jumlah ikan yang boleh ditangkap (Total Allowable Catch = TAC). Kuota penangkapan diberikan oleh Pemerintah kepada industri atau perusahaan penangkapan ikan yang melakukan penangkapan pada suatu perairan di wilayah negara Indonesia. Untuk menjaga kelestarian sumberdaya suatu jenis ikan,
maka nilai TAC harus di bawah Maximum Sustainable Yield (MSY)–nya, sehingga
sebelum nilai TAC ditentukan, perlu diketahui terlebih dahulu nilai MSY – nya. Implementasi dari kuota penangkapan dengan TAC ialah, (1) penentuan TAC secara keseluruhan pada skala nasional atas suatu jenis ikan di perairan tertentu, kemudian diumumkan kepada semua nelayan sampai secara total mencapai TAC yang ditentukan, bila telah tercapai TAC, maka aktifitas penangkapan terhadap jenis ikan tersebut dihentikan dengan kesepakatan bersama; (2) membagi TAC kepada semua nelayan dengan keberpihakan kepada nelayan atas dasar keadilan, sehingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial akibat perbedaan pendapatan nelayan; (3) dengan membatasi atau mengurangi efisiensi penangkapan ikan sehingga TAC tidak terlampaui.
6. Pengendalian upaya penangkapan
Pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan pengendalian upaya penangkapan didasarkan pada hasil tangkapan maksimum agar dapat menjamin kelestarian sumberdaya ikan tersebut. Pengendalian upaya penangkapan dapat dilakukan dengan membatasi jumlah alat tangkap, jumlah armada, maupun jumlah trip penangkapan.
Untuk menentukan batas upaya penangkapan diperlukan data time series yang akurat tentang jumlah hasil tangkapan suatu jenis ikan dan jumlah upaya penangkapannya di suatu daerah penangkapan. Mekanisme pengendalian upaya penangkapan yang paling efektif adalah dengan membatasi izin usaha penangkapan ikan pada suatu daerah penangkapan.
Pengelolaan perikanan harus dilakukan dengan baik, dengan salah satu upaya dalam suatu pengelolaan adalah monitoring sehingga kondisi sumberdaya dapat
(23)
23
terus terpantau dengan baik. Tujuan pengelolaan sumberdaya perikanana adalah tercapainya kesejahteraan para nelayan, penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, penghasil devisa, dan mengetahui porsi optimum pemanfaatan oleh armada penangkapan ikan serta menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan berdasarkan tangkapan maksimum lestari (Boer dan Azis 2007).
(24)
24
3. BAHAN DAN
METODE
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengikuti penelitian bagian Manajemen Sumberdaya Perikanan (MSPi) dan dilaksanakan selama periode bulan Maret 2011 hingga Oktober 2011 dengan interval waktu pengambilan contoh 1 bulan. Penelitian dilakukan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten (Gambar 6).
Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian (Dinas Hidro-Oseanografi 2004)
3.2. Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, peta Labuan, daftar pertanyaan (kuesioner), dan alat dokumentasi (recorder, kamera). Jenis data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer meliputi antara lain : produksi, biaya per trip, harga ikan, biaya operasional per trip, dan
(25)
25
daerah penangkapan. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi produksi hasil tangkapan dan data upaya penangkapan ikan (trip) selama 8 tahun.
3.3. Pengumpulan Data 3.3.1. Data primer
Dalam pengumpulan data primer, teknik yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Wawancara.
Wawancara dilakukan terhadap 30 responden nelayan yang menangkap ikan swanggi dengan menggunakan media kuisioner (daftar pertanyaan). Wawancara terhadap nelayan bertujuan untuk mengetahui :
1) Rata-rata produksi hasil tangkapan per trip
2) Biaya aktual yang didapatkan dari rata-rata biaya operasi penangkapan per trip 3) Rata-rata pendapatan per trip
4) Jumlah trip selama 1 tahun
5) Musim dan daerah penangkapan
6) Strategi kebijakan Pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Labuan
Peta ditunjukkan kepada responden ketika mengajukan pertanyaan musim dan daerah penangkapan. Lama perjalanan menuju lokasi penangkapan juga perlu diketahui untuk mendapatkan informasi daerah penangkapan yang tepat.
2. Dokumentasi.
Metode ini memudahkan dalam pelaksanaan artinya apabila ada kekeliruan dalam pencatatan maka sumber datanya masih tetap atau tidak berubah. Metode ini juga digunakan untuk mendokumentasikan keadaan lokasi penelitian, deskripsi profil dan latar belakang studi.
3.3.2. Data sekunder
Data sekunder yang digunakan berupa data produksi hasil tangkapan dan data upaya penangkapan (trip) selama 8 tahun, data selang kelas panjang, dan Tingkat Kematangan Gonad (TKG). Data produksi hasil tangkapan dan data upaya penangkapan diperoleh dari UPT (Unit Pelaksana Teknis) di PPP Labuan,
(26)
26
sedangkan data selang kelas panjang dan TKG diperoleh dari penelitian reproduksi ikan swanggi yang dilakukan oleh Ballerena (2012).
3.4. Analisis Data
3.4.1. Tangkapan per satuan upaya
Data tangkapan dan upaya ikan swanggi dapat dikaji dengan menghitung nilai hasil tangkapan per upaya penangkapan, yang dapat dirumuskan sebagai berikut :
TPSU adalah jumlah tangkapan per satuan upaya, T adalah jumlah tangkapan tahunan ikan swanggi (ton) dan U adalah jumlah upaya tahunan ikan swanggi. Selanjutnya TPSU ini disajikan dalam satuan ton, sedangkan data upaya penangkapan (effort) yaitu alat tangkap jaring cantrang dan jaring rampus yang disajikan dalam satuan trip.
3.4.2. Analisis pola musim penangkapan ikan
Pola musim penangkapan dianalisis dengan menggunakan metode rata-rata bergerak (moving average) seperti yang dekemukakan oleh Dajan (1986) in Taeran (2007) dengan langkah sebagai berikut :
a) Menyusun deret TPSUi bulan Januari 2001 hingga Desember 2011
Keterangan :
i : 1, 2, 3, ... , 96
ni : TPSU urutan ke-i
b) Menyusun rata-rata bergerak TPSU selama 12 bulan (RG)
∑
Keterangan :
Rgi : Rata-rata bergerak 12 bulan urutan ke-i
TPSUi : CPUE urutan ke-i
i : 1, 2, 3, ... , 96
(27)
27
c) Menyusun rata-rata bergerak TPSU terpusat (RGP)
∑
Keterangan :
Rgi : Rata-rata bergerak 12 bulan urutan ke-i
RGPi : Rata-rata bergerak terpusat urutan ke-i
TPSUi : CPUE urutan ke-i
i : 1, 2, 3, ... , 96
j : 7, 8, 9, ... , 91
d) Rasio rata-rata bulan (Rb)
Keterangan :
Rbi : Rasio rata-rata bulan ke-i
RGPi : Rata-rata bergerak terpusat urutan ke-i
TPSUi : TPSU urutan ke-i
i : 1, 2, 3, ... , 96
e) Menyusun nilai rata-rata dalam suatu matriks berukuran i x j yang disusun
untuk setiap bulannya, dimulai dari bulan Juli. Kemudian menghitung nilai total rasio rata-rata tiap bulan, menghitung total rasio rata-rata secara keseluruhan, dan menghitung indeks musim penangkapan.
1) Rasio rata-rata untuk bulan ke-i (RRBi)
∑
Keterangan :
RRBi : Rata-rata RBij untuk bulan ke-i
RBij : Rasio rata-rata bulanan dalam matriks ukuran i x j
i : 1, 2, 3, ... , 12
j : 1, 2, 3, ... , n
2) Jumlah rasio rata-rata bulanan (JRRB) ∑
Keterangan :
JRRBi : Jumlah rasio rata-rata bulan
RRBi : Rata-rata RBij untuk bulan ke-i
(28)
28
3) Menghitung faktor koreksi :
Keterangan :
FK : Nilai faktor koreksi
JRRB : Jumlah rasio rata-rata bulanan
4) Indeks musim penangkapan
Keterangan :
IMPi : Indeks musim penangkapan bulan ke-i
RBBi : Rasio rata-rata untuk bulanan ke-i
i : 1, 2, 3, ... , 12
Kriteria Indeks Musim Penangkapan (IMP) :
IMP < 50 % : Musim paceklik
IMP 50%<IMP<100% : Bukan musim penangkapan
IMP>100% : Musim penangkapan
3.4.3. Model bioekonomi perikanan
Model bioekonomi merupakan salah satu cara pendekatan yang paling mudah
dan sederhana untuk mengetahui MSY, EMSY , EMEY ,MEY dan EOA. Ikan swanggi
yang tertangkap diasumsikan bersifat tunggal (single species), sesuai dengan pernyataan Fauzi (2010) bahwa untuk mengembangkan model Gordon-Schaefer spesies sumberdaya ikan diasumsikan bersifat tunggal (single species). Secara umum langkah-langkah yang dilakukan untuk mengimplementasikan model Gordon-Schaefer pada penelitian ini yaitu :
1. Melakukan estimasi parameter biologi K, q, dan r dari data time series produksi, upaya, dan TPSU menggunakan Algoritma Fox dengan rumus sebagai berikut :
[ | |] [ ( )]
[ ( )]
2. Melakukan pendugaan parameter ekonomi, yaitu harga per satuan output (Rp/kg) dan biaya per satuan input (Rp/trip) dari data primer atau data hasil wawancara.
(29)
29
3. Melakukan analisis bioekonomi dengan menggunakan model
Gordon-Schaefer. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Excel.
Berikut adalah rumus yang digunakan untuk melakukan analisis bioekonomi model Gordon-Schaefer :
Tabel 1. Rumus bioekonomi model Gordon-Schaefer
OA MEY MSY
h ( )
( ) ( )
E ( ) ( )
Keterangan : h = yield E = effort
p = harga
c = biaya
q =koefisien alat tangkap
K = Daya dukung
r = laju populasi intrinsik
Sesuai dengan asumsi bahwa harga ikan per kilogram (p) dikonversikan dalam rupiah dan biaya penangkapan per unit upaya (c) adalah konstan, maka total pendapatan (TR) dan total biaya (TC) dapat dihitung menggunakan rumus berikut TR = p.C
TC = c.E
Untuk menghitung keuntungan usaha penangkapan ikan (profit) dengan persamaan berikut :
π = TR – TC
3.4.4. Pola pengelolaan
Menurut Sutono (2003) dapat ditempuh dengan beberapa cara antara lain :
1) Pengaturan musim tangkap
2) Pentutupan daerah penangkapan
3) Selektifitas alat tangkap
4) Pelarangan alat tangkap
(30)
30
6) Pengendalian upaya penangkapan
Widodo dan Suadi (2006) juga menyatakan bahwa pengelolaan perikanan dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya :
1) Pengaturan ukuran mata jaring
2) Pengaturan batas ukuran ikan yang boleh ditangkap, didaratkan atau
dipasarkan
3) Kontrol terhadap musim penangkapan ikan
4) Kontrol terhadap daerah penangkapan ikan
5) Pengaturan terhadap alat tangkap serta kelengkapannya
6) Perbaikan dan peningkatan sumberdaya hayati
7) Pengaturan hasil tangkapan total per jenis, kelompok jenis, atau bila memungkinkan per lokasi atau wilayah
8) Setiap tindakan langsung yang berhubungan dengan konservasi semua jenis ikan dan sumberdaya hayati lainnya dalam wilayah tertentu.
(31)
31
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
4.1.1. Kondisi umum PPP Labuan
PPP Labuan secara administratif terletak di Desa Teluk, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang. PPP Labuan memiliki batas administratif, di sebelah barat berbatasan dengan Selat Sunda, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Labuan dan Desa Cigondang, sebelah utara berbatasan dengan Desa Caringin dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Banyumekar (Kartika 2007). Posisi PPP Labuan berada pada wilayah perairan Selat Sunda yang merupakan Alur Laut Kepulauan Indonesia 1 (ALKI-1). Lokasi PPP Labuan berada pada titik koordinat 06°24’30’’LS dan 105°49’15’’BT (Irhamni 2009).
PPP Labuan terdiri dari PPP 1 dan PPI 3 yang berada di muara sungai Cipunteun, serta PPP 2 berada di tepi pantai terbuka. Jenis kapal motor yang dioperasikan di PPP 1 dan PPP 3 berukuran 0-5 GT dan 5-10 GT yang merupakan pelabuhan bagi armada kapal obor, rampus, dan cantrang, sementara kapal motor yang dioperasikan di PPP 2 berukuran lebih dari 10 GT karena merupakan pelabuhan bagi armada kapal purse seine.
Jenis alat tangkap yang beroperasi di Labuan yaitu payang, purse seine, jaring rampus, gillnet, pancing, jaring arad, dan jaring cantrang (Tabel 2). Alat tangkap yang terbanyak yaitu jaring arad, pancing, dan gillnet masing-masing berjumlah 119 unit, 68 unit, dan 65 unit.
Nelayan Labuan biasa melakukan operasi penangkapan sepanjang tahun baik musim barat maupun musim peralihan. Kondisi daerah penangkapan yang terhalang oleh pulau-pulau kecil (contohnya Pulau Rakata) membantu nelayan melakukan operasi penangkapan karena terlindung dari pengaruh gelombang (Kartika 2007). Pada tahun 2008, jumlah nelayan terbanyak di PPP Labuan adalah 2284 atau sekitar 42.68% dari total keseluruhan jumlah nelayan di Kabupaten Pandeglang (Irhamni 2009).
(32)
32
Berikut adalah perkembangan armada penangkapan ikan di Labuan :
Tabel 2. Jumlah alat penangkapan ikan di PPP Labuan periode 2001-2008
No Alat Tangkap
Tahun
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 1 Payang 25 28 43 45 44 43 43 45 60 61 59 2 Cantrang 193 193 40 48 49 49 49 48 13 11 6 3 Arad - - 125 125 130 121 121 119 181 181 180 4 Purse seine 10 8 16 16 20 20 20 18 10 8 8 5 Rampus 68 65 32 30 32 32 32 35 41 41 41 6 Jaring Klitik 32 32 10 10 4 0 0 0 0 0 0 7 Pancing 26 28 32 32 65 68 68 68 68 68 68
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang, 2008
Kondisi curah hujan rata-rata tahunan di PPP Labuan adalah sebesar 1.814 mm, sedangkan hari hujan rata-rata tahunan sebesar 101 hari. Musim hujan pada umumnya jatuh pada bulan Januari, Februari, Maret, November, Desember dengan curah hujan rata-rata 374 mm/bulan. Musim kemarau jatuh pada bulan April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, dan Oktober dengan curah hujan 209 mm/bulan (Kartika 2007). Menurut BMKG (2011), musim kemarau di wilayah Provinsi Banten maju 4-8 dasarian (2-3 bulan).
4.1.2. Kondisi perikanan swanggi di PPP Labuan
PPP Labuan sebagai pelabuhan perikanan pantai terbesar di Kabupaten Pandeglang, disediakan pemerintah kepada masyarakat nelayan di sekitar Pandeglang untuk melakukan transaksi kegiatan perikanan. Ikan swanggi merupakan hasil tangkapan dominan kelima di Labuan (8.25%) setelah ikan kue (24.70%), kurisi (23.43%), kuniran (23.04%), dan kapasan (13.70%) (Gambar 7).
Gambar 7. Komposisi hasil tangkap ikan demersal kecil di Labuan Sumber: Data harian PPP Labuan tahun 2011 (diolah)
24.70%
23.43% 23.04% 13.70%
8.25% 6.89% Kue
Kurisi Kuniran Kapasan Swanggi Jolod
(33)
33
Jenis ikan swanggi yang tertangkap adalah Priacanthus tayenus. Daerah penangkapan ikan swanggi meliputi pulau-pulau kecil (P. Liwungan, P. Sebesi, P. Panaitan, P. Papole), Carita, Sumur, Tanjung Alang-alang, Tanjung Lesung, dan 15-35 km arah Barat Laut dari Labuan dengan waktu tempuh 2-3 jam. Penangkapan ikan swanggi menggunakan alat tangkap jaring cantrang yang dioperasikan dengan menggunakan kapal motor berukuran 6-24 GT dan alat tangkap jaring rampus yang dioperasikan dengan menggunakan kapal motor berukuran 2-6 GT. Jaring cantrang memiliki ukuran mata jaring bagian kantong adalah 1.5 inchi-3 inchi dan ukuran mata jaring bagian selambar adalah 8 inchi, sedangkan ukuran mata jaring rampus 2 inchi. Jenis tangkapan yang dihasilkan alat tangkap tersebut diantaranya ikan swanggi, pepetek, kurisi, kuniran, kapasan.
Aktivitas penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap cantrang biasanya dapat melakukan operasi penangkapan selama 3-4 hari termasuk
perjalanan menuju fishing ground dan kembali ke PPP. Armada kapal yang
menggunakan alat tangkap jaring rampus melakukan perjalanan menuju fishing ground selama 1-2 jams.
4.1.3. Hasil tangkapan (catch) dan harga ikan swanggi
Berdasarkan data statistik yang ada (tahun 2001-2002, 2004-2007, dan 2010-2011), maka hasil tangkapan ikan swanggi yang didaratkan di PPP Labuan berfluktuasi dalam kurun waktu tersebut. Pada tahun 2001 hasil tangkapan cenderung stabil hingga tahun 2002. Peningkatan hasil tangkapan terjadi pada tahun 2002 hingga 2005 serta 2007 hingga 2011, sedangkan pada tahun 2005 hingga 2007 mengalami penurunan (Gambar 8a). Berdasarkan Gambar 8a, hasil tangkapan tertinggi terdapat pada tahun 2005 yaitu 29602 kg, sedangkan hasil tangkapan terendah terdapat pada tahun 2007 yaitu sebesar 1536 kg.
(34)
34
Gambar 8a. Hasil tangkapan ikan swanggi (Priacanthus tayenus) yang didaratkan di PPP Labuan Tahun 2001-2002, 2004-2007, dan 2010-2011
Sumber : Data harian dan bulanan PPP Labuan (diolah)
Gambar 8b menunjukkan hasil tangkapan ikan swanggi dari bulan Januari 2011 hingga Desember 2011. Hasil tangkapan tertinggi pada tahun 2011 terdapat pada bulan Februari, sedangkan hasil tangkapan terendah terdapat pada bulan Desember. Berikut ini adalah grafik hasil tangkapan pada setiap operasi penangkapan di tahun 2011.
Gambar 8b. Hasil tangkapan ikan swanggi (Priacanthus tayenus) yang didaratkan
di PPP Labuan Tahun 2011
Sumber : Data harian PPP Labuan (diolah)
Berdasarkan Gambar 9, hasil tangkapan ikan swanggi tertinggi pada tahun 2011 terdapat pada operasi penangkapan ke-4 pada tanggal 14 Februari 2011 yaitu sebesar 237.5 kg, sementara hasil tangkapan ikan swanggi terendah terdapat pada operasi penangkapan ke-63 pada tanggal 17 Agustus 2011 yaitu sebesar 10 kg. Selain hasil tangkapan, harga ikan swanggi juga mengalami fluktuasi seperti pada Gambar 10. 0 10000 20000 30000 40000
2001 2002 2004 2005 2006 2007 2010 2011
Hasil T an g k ap an ( k g ) Tahun 0 200 400 600 800 1000 1200
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Hasil T an g k ap an ( k g ) Bulan
(35)
35
Gambar 9. Hasil tangkapan ikan swanggi (Priacanthus tayenus) di PPP Labuan Tahun 2011 berdasarkan jumlah trip
Sumber : Data harian PPP 1 Labuan (diolah)
Harga ikan ketika hasil tangkapan tertinggi pada operasi penangkapan ke-4 merupakan harga terendah yaitu Rp 4000,- (Gambar 10). Sementara harga ikan tergolong tinggi ketika hasil tangkapan terendah yaitu senilai Rp 10000,-. Fluktuasi harga dan hasil tangkapan disebabkan oleh faktor alam yang bersifat tidak menentu, sehingga harga dan produksi ikan swanggi berada dalam situasi ketidakpastian.
Gambar 10. Harga ikan swanggi (Priacanthus tayenus) di PPP Labuan Tahun 2011
Sumber : Data harian PPP 1 Labuan (diolah)
4.1.4. Upaya penangkapan (effort)
Upaya penangkapan ikan swanggi didapatkan dari data sekunder PPP Labuan yang berupa data harian dan data bulanan tahun 2001-2002, 2004-2007, dan 2010-2011 (Gambar 11). Upaya penangkapan tertinggi terdapat pada tahun 2006 yaitu 1007 trip, sementara upaya penangkapan terendah terdapat pada tahun 2007 yaitu
237.5 10 0 50 100 150 200 250
0 20 40 60 80 100 120
Has il T an g k ap an ( k g ) Jumlah trip 4000 10000 0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000
0 20 40 60 80 100 120
Har g a (R p /k g ) Jumlah trip
(36)
36
44 trip. Upaya penangkapan yang rendah terjadi pada kurun waktu terakhir, yaitu tahun 2007, 2010, dan 2011.
Gambar 11. Upaya penangkapan ikan swanggi (Priacanthus tayenus) di PPP
Labuan Tahun 2001-2004, 2005-2007, dan 2010-2011 Sumber : Data harian dan bulanan PPP Labuan (diolah)
4.1.5. Tangkapan per satuan upaya
Tangkapan per satuan upaya (TPSU) didapatkan dengan membagi hasil tangkapan ikan swanggi dengan upaya penangkapannya. Gambar 12 memperlihatkan tangkapan per satuan upaya pada tahun 2001-2002, 2004-2007, 2010-2011.
Gambar 12. Tangkapan per satuan upaya ikan swanggi (Priacanthus tayenus) di
PPP Labuan Tahun 2001-2004, 2005-2007, dan 2010-2011 0 200 400 600 800 1000 1200
2001 2002 2004 2005 2006 2007 2010 2011
Up ay a (tr ip ) Tahun 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
2001 2002 2004 2005 2006 2007 2010 2011
T P SU (k g /trip ) Tahun
(37)
37
Berdasarkan Gambar 12 dapat dilihat bahwa nilai TPSU tertinggi terdapat pada tahun 2011 dengan nilai 84.13 kg/trip, sedangkan TPSU terendah yaitu senilai 15.25 kg/trip pada tahun 2001. TPSU ikan swanggi mengalami fluktuasi pada kurun waktu tahun 2001-2006, kemudian mengalami peningkatan hingga tahun 2011.
4.1.6. Pola musim penangkapan
Indeks Musim Penangkapan (IMP) diperlukan dalam menganalisis pola musim penangkapan ikan swanggi di PPP Labuan. IMP merupakan salah satu dari
metode rata-rata bergerak (moving average), dengan menghitung IMP setiap bulan
pola musim penangkapan ikan swanggi dapat dilihat pada gambar. Perhitungan IMP dapat dilihat pada lampiran.
Gambar 13 menunjukkan bahwa musim penangkapan pada periode tahun 2001-2007, yaitu pada bulan Januari-Maret, Juni, Agustus, dan September. Bulan-bulan tersebut memiliki nilai indeks musim di atas nilai rata-rata. Dari hasil perhitungan tersebut dapat dikatakan bahwa puncak musim penangkapan periode 2001-2007 terjadi pada bulan Maret karena memiliki nilai IMP tertinggi yakni sebesar 200.05%. Nilai IMP terendah terdapat pada bulan April yaitu 35.25%.
Gambar 13. Nilai rata-rata indeks musim penangkapan ikan swanggi periode 2001-2007
Sumber : Data harian dan bulanan PPP Labuan (diolah)
57.53
163.94 171.50
35.76 65.15 59.77 105.65 143.09 200.05 35.25 60.15 102.16 0 50 100 150 200 250 Ju li Agu stu s Se p te m b e r Ok to b e r N o v e m b e r De se m b e r Jan u ar i Fe b rua ri Ma re t Ap ri l Me i Ju n i IMP ( %) Bulan Musim Penangkapan
(38)
38
Terdapat perbedaan musim penangkapan antara periode tahun 2001-2007 dan tahun 2010-2011. Gambar 14 menunjukkan bahwa musim penangkapan pada periode tahun 2010-2011 terdapat pada bulan Desember-Februari, Juli, dan Agustus. Puncak musim penangkapan terdapat pada bulan Januari dengan nilai IMP 201.84% dan nilai IMP terendah pada bulan Juni dengan nilai 42.43%.
Gambar 14. Nilai rata-rata indeks musim penangkapan ikan swanggi periode 2010-2011
Sumber : Data harian dan bulanan PPP Labuan (diolah)
4.1.7. Daerah penangkapan
Daerah penangkapan ikan swanggi berada pada perairan Selat Sunda bagian Timur, Barat Daya, dan Barat Laut. Gambar 15 menunjukkan lokasi persebaran daerah penangkapan ikan swanggi di Selat Sunda berdasarkan bulan dan jenis alat tangkap yang beroperasi. Pada musim penghujan alat tangkap jaring rampus cenderung beroperasi tidak jauh dari daratan.
Daerah penangkapan ikan swanggi berdasarkan Gambar 15 dibagi menjadi 5 kelompok berdasarkan kedekatan daerah penangkapan. Operasi penangkapan paling sedikit terjadi pada bulan April dan Juni hingga September dan lebih banyak dilakukan oleh kapal motor yang memiliki alat tangkap jaring rampus. Tabel 3 menampilkan ukuran panjang ikan swanggi yang diplotkan berdasarkan bulan dan lokasi penangkapan. 174.40 112.03 87.54 64.18 77.67 110.25 201.84 120.23 76.38 54.14 78.91 42.43 0 50 100 150 200 250 Ju li Agu stu s Se p te m b e r Ok to b e r N o v e m b e r De se m b e r Jan u ar i Fe b ru ar i Ma re t Ap ri l Me i Ju n i IMP ( %) Bulan Musim Penangkapan
(39)
39
Berikut adalah matriks penyebaran selang kelas ukuran panjang ikan swanggi :
Tabel 3. Matriks sebaran spasial, temporal, dan ukuran panjang ikan swanggi di Selat Sunda periode penangkapan bulan Maret-Oktober 2011
Kriteria Bulan
3 4 5 6 7 8 9 10 Lokasi Penangkapan
1. 15-35 km ke arah Barat Laut Labuan √ √ √ √ √ √ 2. P. Papole √ √ √ √ √ 3. a. Panimbang dan P. Liwungan √ √ √ √
b. Tg. Lesung √ √ √ √
4. Sumur √ √ √
5. a. Tg. Alang-alang √
b. P. Panaitan √ √ √ √ SK Panjang (mm)
105-123 j c j
124-142 c c c c b 143-161 b c c c c c 162-180 b c c c c b c 181-199 b b c c b b b 200-218 (Lm50 betina=211) j j c c c
219-237 j c c
238-256 j j
257-275 (Lm50 jantan=268) j j
276-294 j j
Sumber : diolah dari Ballerena (2012) Ket :
√ : ada
c : betina dan jantan
b : betina
j : jantan
Ukuran ikan swanggi paling kecil terdapat pada bulan Juni hingga Agustus, dengan lokasi penangkapan 15-35 km ke arah Barat Laut Labuan, P. Papole, Panimbang dan P. liwungan, dan Sumur. Sementara ukuran paling besar terdapat pada bulan Mei dan September, dengan lokasi penangkapan pada bulan Mei yaitu 15-35 km ke arah Barat Laut Labuan, Panimbang, P. Liwungan, Tg. Sumur, Tg. Alang-alang, dan P. Panaitan, dan lokasi penangkapan bulan September yaitu 15-35 km ke arah Barat Laut Labuan , P. Papole, dan Tg. Lesung.
(40)
40
Gambar 15. Peta daerah penangkapan ikan swanggi (Priacanthus tayenus) di Selat Sunda (Sumber : Hasil wawancara)
(41)
41
Tabel berikut adalah matriks yang akan memberikan informasi mengenai ukuran TKG pada bulan Maret hingga Oktober dan persebaran penangkapannya.
Tabel 4. Matriks sebaran spasial, temporal, dan TKG ikan swanggi di Selat Sunda periode penangkapan bulan Maret-Oktober 2011
Kriteria Bulan
3 4 5 6 7 8 9 10 Lokasi Penangkapan
1. 15-35 km ke arah Barat
Laut Labuan √ √ √ √ √ √
2. P. Papole √ √ √ √ √
3. a. Panimbang dan P.
Liwungan √ √ √ √
b. Tg. Lesung √ √ √ √
4. Sumur √ √ √
5. a. Tg. Alang-alang √
b. P. Panaitan √ √ √ √ TKG jantan(%)
I (immature) 18.18 61.11 41.38 36.00 59.18 43.33 0.00 80.00 II (immature) 36.36 30.56 31.03 40.00 10.20 30.00 0.00 13.33 III (mature) 9.09 2.78 10.34 16.00 10.20 13.33 25.00 0.00 IV (mature) 27.27 5.56 13.79 8.00 8.16 6.67 16.67 0.00 V (ripe, matang gonad) 9.09 0.00 0.00 0.00 12.24 6.67 33.33 6.67 VI (ripe, matang gonad) 0.00 0.00 3.45 0.00 0.00 0.00 16.67 0.00 VII (spent) 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 8.33 0.00 TKG betina(%)
I (immature) 0.00 50.00 9.52 10.53 100.00 87.50 2.63 68.57 II (immature) 5.56 45.83 30.95 34.21 0.00 8.33 31.58 20.00 III (mature) 25.93 4.17 33.33 18.42 0.00 0.00 28.95 8.57 IV (mature) 46.30 0.00 16.67 23.68 0.00 0.00 2.63 2.86 V (ripe, matang gonad) 22.22 0.00 9.52 7.89 0.00 4.17 23.68 0.00 VI (ripe, matang gonad) 0.00 0.00 0.00 5.26 0.00 0.00 7.89 0.00 VII (spent) 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.63 0.00
Sumber : diolah dari Ballerena (2012) Ket :
√ : ada
TKG V, dan VI merupakan TKG ikan swanggi yang dapat melakukan pemijahan. Berdasarkan Tabel 4, persentase TKG tersebut merupakan nilai tertinggi pada bulan Maret dan September. Pada bulan September terdapat persentase TKG V dan VI tertinggi dengan lokasi penangkapan Pulau Papole,
(42)
42
Tanjung Lesung, dan 15-35 km ke arah Barat Laut Labuan, sedangkan pada bulan Maret terdapat persentase TKG V tertinggi kedua dengan lokasi penangkapan Tg. Lesung, P. Panaitan, dan 15-35 km ke arah Barat Laut Labuan.
TKG I, II, III, dan IV merupakan TKG ikan swanggi yang belum siap untuk melakukan pemijahan. TKG I dan II memiliki persentase yang tinggi setiap bulannya, sementara TKG III dan IV hampir selalu terdapat setiap bulannya.
4.1.8. Bioekonomi
Aspek ekonomi dari eksploitasi stok ikan sangat tergantung pada karakteristik biologi dari stok ikan itu sendiri. Produksi lestari maksimum (MSY) hanya menggunakan parameter biologi saja, sedangkan produksi lestari secara ekonomi (MEY) menggunakan parameter biologi dan ekonomi. Analisis bioekonomi
menggunakan parameter biologi r, q, K dan parameter ekonomi p dan c.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dengan model Schaefer didapatkan parameter biologi dan ekonomi pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil estimasi parameter biologi dan ekonomi
Parameter Nilai Koefisien kemampuan alat tangkap (q) (kg/trip) 0.02 Daya dukung perairan (K) (kg/tahun) 177311 Laju pertumbuhan populasi intrinsik (r) (kg/tahun) 2.16 Harga (p) (Rp/kg) 10,724 Biaya (c) (Rp/trip) 134,012
Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa koefisien kemampuan alat tangkap ikan swanggi yaitu jaring cantrang dan jaring rampus senilai 0.02 kg per trip, daya dukung ikan swanggi di perairan (K) sebesar 177311 kg per tahun, dan laju populasi intrinsik ikan swanggi senilai 2.16 kg per tahun. Harga dan biaya ikan swanggi didapatkan dari rata-rata hasil wawancara terhadap nelayan, yaitu masing-masing sebesar Rp 10,724 per kg dan Rp 134,012 per trip.
(43)
43
Setelah mengetahui parameter biologi dan ekonomi, perhitungan produksi dapat dilakukan. Tabel 6 memperlihatkan produksi lestari dari berbagai rezim atau kondisi.
Tabel 6. Hasil perhitungan bioekonomi dalam berbagai rezim
Variabel Kondisi
MEY MSY Aktual OA
Yield (h) 95,520.68 95,522.56 6,806.30 1,689.40
Effort (E) 67 67 80 135
TR (Rp) 1,024,376,943 1,024,397,148 72,991,700 18,117,351 TC (Rp) 9,058,676 9,099,086 10,842,370 18,117,351
Rente ekonomi (π) 1,015,318,267 1,015,298,062 62,149,330 0.00
Tabel 6 menunjukkan jumlah biomassa (yield), upaya (effort), total penerimaan (TR), total biaya (TC), dan rente ekonomi dalam kondisi MEY, MSY, Open Access (OA), dan kondisi sebenarnya atau aktual. Kondisi aktual memperlihatkan nilai variabel effort yang paling tinggi, namun memiliki rente ekonomi yang lebih kecil dari rente ekonomi pada kondisi MEY dan MSY.
Kondisi MEY dan MSY memiliki rente yang lebih besar dibandingkan kondisi aktual dan open access, dengan upaya yang lebih sedikit. Rente ekonomi pada rezim open access bernilai nol, dengan upaya paling besar. Rente ekonomi optimal diperoleh pada kondisi MEY dan MSY, hal ini ditunjukkan oleh jarak vertikal antara penerimaan dan biaya yang merupakan jarak terbesar. Tingkat upaya (effort) pada kondisi aktual sudah melebihi kedua rezim tersebut yaitu sebesar 80 trip dengan biomassa sebesar 6806.30 kg per tahun.
4.2. Pembahasan 4.2.1. Hasil tangkapan
Pelabuhan perikanan pantai Labuan terdiri dari tiga PPP, yaitu PPP 1, PPP 2, dan PPP 3. Pendaratan ikan swanggi dilakukan di PPP 1 Labuan, dimana armada penangkapan ikan swanggi adalah kapal berukuran 2-6 GT dengan alat tangkap jaring rampus dan kapal berukuran 6-24 GT dengan alat tangkap jaring cantrang. Hasil tangkapan dominan di PPP 1 Labuan adalah ikan-ikan demersal seperti ikan kuwe, kerapu, manyung, kurisi, kuniran, pepetek, dan ikan swanggi.
(44)
44
Keadaan hasil tangkapan yang cenderung stabil pada tahun 2001 hungga 2002 diduga disebabkan oleh perubahan jumlah alat tangkap di Labuan yang tidak terlalu signifikan (Tabel 2). Pada tahun 2002 terjadi peningkatan hasil tangkapan yang signifikan hingga tahun 2005, hal tersebut diduga disebabkan oleh peningkatan kapasitas kapal pada tahun 2003. Penurunan jumlah alat tangkap dilakukan pada tahun 2003 guna menjaga keberadaan sumberdaya ikan di Selat Sunda, namun disertai dengan peningkatan kapasitas kapal di Labuan sehingga terjadi peningkatan produksi tangkapan hingga tahun 2005. Secara alamiah, nelayan akan merespon penurunan stok ikan dengan merekayasa peningkatan kemampuan tangkap kapal, ukuran kapasitas kapal, jaring, dan taktik penangkapan (peningkatkan kemampuan tangkap dengan perlengkapan teknologi yang lebih maju).
Hasil tangkapan dan harga ikan swanggi di PPP Labuan sangat berfluktuasi, hal ini dapat disebabkan oleh faktor alami maupun faktor non-alami yang bersifat dari manusia. Faktor alami yang mempengaruhi fluktuasi hasil tangkapan dan harga ikan swanggi yaitu ukuran stok, mortalitas alami, dan migrasi. Sedangkan faktor non-alami yaitu struktur pasar, biaya operasional, perubahan teknologi, dan perilaku konsumen (Charles 2001).
Harga ikan swanggi terendah terdapat pada operasi penangkapan ke-4 pada tanggal 14 Februari 2011, yaitu Rp 4.000,-, hal ini disebabkan oleh hasil tangkapan maksimum terjadi pada tanggal tersebut (Gambar 10). Berdasarkan perhitungan indeks musim penangkapan periode 2010-2011, bulan Februari termasuk kategori musim penangkapan, dengan nilai IMP 120.23 %.
Harga ikan swanggi tertinggi terjadi pada tanggal 2 Oktober yaitu Rp 14.957,- dengan hasil tangkapan hanya sebesar 23.4 kg. Berdasarkan perhitungan indeks musim penangkapan periode 2010-2011, bulan Oktober termasuk kategori bukan musim penangkapan, dengan nilai IMP 64.18 %.
4.2.2. Upaya penangkapan
Upaya penangkapan merupakan masukan dari aktivitas penangkapan. Ikan swanggi ditangkap dengan menggunakan alat tangkap jaring cantrang dan jaring rampus. Berdasarkan Gambar 11, terlihat bahwa upaya penangkapan berfluktuasi.
(45)
45
Upaya penangkapan ikan swanggi pada tahun 2001 hingga 2006 telah melebihi upaya lestari MSY, kemudian upaya pada tahun 2007 hingga 2011 mengalami penurunan hingga sempat bernilai lebih kecil dari MSY. Penurunan upaya penangkapan hingga tahun 2002 masih diikuti dengan peningkatan hasil tangkapan, namun peningkatan upaya hingga tahun 2006 disertai dengan penurunan hasil tangkapan. Pada tahun-tahun lainnya fluktuasi produksi mengikuti fluktuasi upaya penangkapan. Penurunan upaya penangkapan pada tahun 2006 hingga 2007 diduga disebabkan oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Harga BBM pada tahun 2007 mencapai Rp 4500,-, sedangkan harga pada tahun-tahun sebelumnya berkisar antara Rp 500,- sampai dengan Rp 4000,-.
Upaya penangkapan bergerak mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi pada sumber daya dan faktor eksternal lain. Ketika biomassa tidak dapat mendukung pada tingkat upaya penangkapan yang sedang berjalan, maka upaya penangkapan akan berkurang secara alami.
4.2.3. Tangkapan per satuan upaya
Nilai TPSU yang rendah pada tahun 2001 dikarenakan upaya penangkapan dan hasil tangkapan pada tahun tersebut yang sedikit, kemudian mengalami peningkatan karena terjadinya penurunan jumlah alat tangkap cantrang dan rampus disertai dengan peningkatan kapasitas kapal sehingga hasil tangkapan yang diperoleh masih melimpah. Upaya penangkapan yang ditingkatkan kembali hingga tahun 2006 tidak menyebabkan nilai TPSU semaikin meningkat (Gambar 12), hal tersebut disebabkan oleh intensitas penangkapan yang tinggi pada tahun-tahun sebelumnya.
Nilai TPSU yang tinggi menggambarkan kelimpahan ikan yang tinggi pada tahun tersebut. Nilai TPSU yang rendah pada tahun 2006 disebabkan oleh kelimpahan ikan cenderung menurun akibat penangkapan pada tahun-tahun sebelumnya. TPSU mengalami peningkatan hingga mencapai TPSU tertinggi pada tahun 2011. Hal tersebut disebabkan oleh upaya penangkapan yang berkurang karena pengaruh kenaikan harga BBM. Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya keseimbangan stok ikan di perairan tersebut, walaupun memberikan keuntungan yang terbatas bagi nelayan.
(1)
67
Lampiran 4. Hasil wawancara terhadap biaya penangkapan dan harga ikan swanggi
No Nama Alat tangkap Biaya
(Rp)
Harga (Rp)
1 Masudi Cantrang 7185000 10000
2 Suwanda Cantrang 2045000 10500
3 Tarso Cantrang 2296000 17000
4 Wanto Cantrang 1970000 12500
5 Weni Cantrang 2296000 15000
6 Ana Rampus 135000 7000
7 Asep Rampus 135000 7000
8 Dahrum Rampus 2000000 5500
9 Danujen Rampus 1750000 10500
10 Danujen 2 Rampus 156250 4000
11 Darini Rampus 417500 12500
12 Dartam Rampus 410000 12000
13 Dul Wahid Rampus 540000 12000
14 Husim Rampus 2365000 8000
15 Jai Rampus 156250 4000
16 Kastini Rampus 231500 8000
17 Khairuddin Rampus 249500 8000
18 Mukri Rampus 2385000 15666,67
19 Rewok Rampus 249500 8000
20 Ribut Rampus 494000 12500
21 Sardani Rampus 494000 12500
22 Somilati Rampus 510000 13000
23 Supran Rampus 300000 10500
24 Supriyadi Rampus 271500 8000
25 Syamsuri Rampus 300000 16000
26 Warta Rampus 470000 8000
27 Wartini Rampus 364000 14333,33
28 Wastoni Rampus 364000 14333,33
29 Wati Rampus 300000 16000
30 Yani Rampus 300000 16000
Rata-rata 1216146 10724
(2)
68
Lampiran 5. Analisis regresi menggunakan model Algoritma Fox
SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics
Multiple R 0.84
R Square 0.71
Adjusted R Square 0.66 Standard Error 5543.61
Observations 8
ANOVA
df SS MS F Significance F
Regression 1 449617419.98 449617419.98 14.63 0.01 Residual 6 184389526.91 30731587.82
Total 7 634006946.9
Coefficients Standard
Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95.0% Upper 95.0%
Intercept 2813.72 2871.04 0.98 0.36 -4211.45 9838.90 -4211.45 9838.90
(3)
69
Lampiran 6. Perhitungan estimasi parameter stok dengan model Algoritma Fox Tahun
Produksi Aktual
(ton)
Et
(trip) CPUEt CPUEt+1 Et+1 Et* z z/Ut z/Ut+1 1/b X Y X/Y abs (X/Y)
ln
(X/Y) q abs(q)
2001 5020.58 253.89 19.77
37.78 155.87 204.88
-118.09 -5.97 -3.13 0.05 -5.92 -3.08 1.92 1.92 0.65 -0.01 0.01 2002 5888.17 155.87 37.78 27.35 669.87 412.87 -20.08 -0.53 -0.73 0.05 -0.48 -0.69 0.70 0.70 -0.35 0.02 0.02 2004 18322.00 669.87 27.35
35.79 827.22 748.54 -534.07
-19.53 -14.92 0.05 -19.48
-14.88 1.31 1.31 0.27 0.00 0.00 2005 29602.17 827.22 35.79
15.25 1006.63 916.92 -691.43
-19.32 -45.33 0.05 -19.27
-45.28 0.43 0.43 -0.85 0.00 0.00 2006 15355.00 1006.63 15.25
35.19 43.65 525.14 -870.83
-57.09 -24.75 0.05 -57.04
-24.70 2.31 2.31 0.84 0.00 0.00 2007 1536.00 43.65 35.19 69.35 60.23 51.94 92.14 2.62 1.33 0.05 2.67 1.38 1.94 1.94 0.66 0.01 0.01 2010 4176.58 60.23 69.35 84.13 80.91 70.57 75.57 1.09 0.90 0.05 1.14 0.95 1.20 1.20 0.18 0.00 0.00 2011 6806.30 80.91 84.13
0.02
Keterangan :
Et* =(Et+Et+1)/2 Z =(-a/b)-Et* X =(z/Ut)+1/b Y =(z/Ut+1) +1/b q =ln(X/Y)/z K = a/q r = q2*k/b intercept = a x var 1 = b
(4)
70
Daftar pertanyaan wawancara nelayan labuan banten
1. Identifikasi responden
Nama :
Umur :
Status :
Pendidikan : Alamat : Pekerjaan utama : Pekerjaan sampingan :
2. Keadaan usaha penagkapan A. Biaya tetap (fixed cost)
Biaya investasi
No Alat tangkap Jumlah Ukuran Harga satuan (Rp) Umur ekonomis
Biaya Sarana dan Prasarana
No Jenis sarana Jumlah Ukuran Harga satuan (Rp) Umur ekonomis
B. Biaya pemeliharaan
No Jenis alat Biaya pemeliharaan Frekuensi pemeliharaan 1 Alat tangkap
2 Kapal 3 mesin
C. Biaya Administrasi Per Tahun
No Jenis biaya Jumlah biaya (Rp) keterangan 1 Izin usaha / SIUP
2 Izin layar 3 Izin tambat labuh 4 Pajak kapal 5 Retribusi 6 Lainnya
D. Biaya Tidak Tetap (Variabel Cost) Biaya Operasional Per Tip
No Jenis biaya Jumlah Harga satuan Total 1 BBM
2 Es Batu 3 Air Bersih 4 konsumsi 5 lainnya
Pendapatan / Trip :
E. Usaha Penangkapan ikan
Dalam setahun berapa bulan tidak melaut a. 1 kali c. 3 – 5 b. 2 -3 kali d. > 5 kali Musim dalam melaut kapan saja ?
a.Musim puncak : 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 b.Musim biasa : 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 c.Musim paceklik : 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
(5)
71
3. Waktu Pengoperasian
No Jenis uraian musim
Puncak Biasa paceklik
1 Lama trip / hari 2 Jumlah trip / bulan
atau musim 3 Total trip / tahun
F. Hasil Tangkapan
No Jenis ikan Hasil tangkapan
(kg) Harga jual (Rp) Nilai Total (Rp) Alat Tangkap
1
Musim puncak a.
b. c.
2
Musim biasa a.
b. c.
3
Musim paceklik a.
b. c.
(6)
2
Ayu Siti Wulandari. C24080005. Pola Musiman dan Kajian Stok Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus) di Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten. Dibimbing oleh Achmad Fahrudin dan Zairion.
Ikan swanggi merupakan ikan yang memiliki daya tahan rendah terhadap tekanan penangkapan. Salah satu daerah yang potensial untuk pemanfaatan sumberdaya ikan swanggi di perairan Selat Sunda adalah Labuan Banten. Variasi iklim dan musim di Selat Sunda dan sekitarnya menyebabkan terjadinya fluktuasi produksi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola musim penangkapan ikan swanggi berdasarkan daerah penangkapannya, serta mengidentifikasi nilai parameter stok dan status pemanfaatannya.
Waktu pengambilan data primer dan sekunder dilakukan pada bulan Maret-Oktober 2011. Analisis data yang dilakukan adalah perhitungan TPSU, IMP, matriks sebaran penangkapan dan temporal terhadap selang kelas panjang dan TKG, serta analisis bioekonomi dengan model Gordon-Schaefer.
Hasil tangkapan tertinggi pada tanggal 14 Februari 2011 memiliki harga terendah, yaitu Rp 4000. Tangkapan dan harga ikan swanggi di PPP Labuan sangat berfluktuasi, hal ini dapat disebabkan oleh faktor alami dan non-alami.
Upaya yang ditingkatkan hingga tahun 2006 tidak meningkatkan nilai TPSU dan hasil tangkapan karena intensitas penangkapan yang tinggi pada tahun-tahun sebelumnya. Upaya penangkapan yang menurun pada tahun 2007-2011 diduga karena faktor kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sehingga volume hasil tangkapan ikan swanggi cenderung rendah.
Musim penangkapan ikan swanggi pada periode 2001-2007 terjadi pada bulan Januari-Maret, Juni, Agustus, dan September, sedangkan musim paceklik terjadi pada bulan April dan Oktober. Musim penangkapan ikan swanggi pada periode 2010-2011 terjadi pada bulan Desember-Februari, Juli, dan Agustus, sedangkan musim paceklik terjadi pada bulan Juni.
Tujuan utama daerah penangkapan menggunakan alat berupa jaring rampus atau cantrang adalah ke arah P. Rakata dengan jarak 15-35 km dari PPP Labuan. Penangkapan di daerah tersebut menggunakan jaring cantrang pada musim peralihan I, musim timur, musim peralihan II, dan sedikit pada musim barat. Sementara alat tangkap jaring rampus melakukan penangkapan pada lokasi tersebut hanya pada musim peralihan I, musim timur, dan akhir dari musim barat. Ukuran ikan swanggi terbesar terdapat pada bulan Mei dan September. Bulan Maret dan September merupakan puncak pemijahan karena terdapat persentase TKG V dan VI tertinggi, dengan lokasi penangkapan menuju arah P. Rakata, P. Papole, Tg. Lesung, dan P. Panaitan.
Kesimpulan penelitian ini adalah musim penangkapan ikan swanggi 2010-2011 terjadi pada musim peralihan I dan musim timur dengan daerah penangkapan menuju P. Rakata, Carita, dan perjalanan menuju Sumur. Berdasarkan analisis bioekonomi didapatkan nilai parameter stok (r, q, dan K) sebesar 2.16 kg/tahun, 0.02 kg/trip, dan 177311 kg/tahun. Status pemanfaatan ikan swanggi yaitu sudah