Dampak Non Tariff Measures (NTMS) Terhadap Ekspor Rempah-Rempah Indonesia Ke Negara Tujuan Ekspor

DAMPAK NON TARIFF MEASURES (NTMs) TERHADAP
EKSPOR REMPAH-REMPAH INDONESIA
KE NEGARA TUJUAN EKSPOR

NUR ARIYANI

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul berjudul Dampak
Non Tariff Measures (NTMs) terhadap Ekspor Rempah-Rempah Indonesia ke
Negara Tujuan Ekspor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor

Bogor, Januari 2016

Nur Ariyani
NIM H14110092

ABSTRAK
NUR ARIYANI. Dampak Non Tariff Measures (NTMs) terhadap Ekspor
Rempah-Rempah Indonesia Ke Negara Tujuan Ekspor. Dibimbing oleh IDQAN
FAHMI.
Indonesia merupakan negara tropis yang berpotensi besar dalam
menghasilkan tanaman rempah. Tanaman rempah yang menjadi komoditas
unggulan Indonesia yakni lada, kayu manis, dan pala. Berdasarkan nilai
ekspornya, ketiga jenis rempah tersebut memiliki nilai yang tinggi dibandingkan
jenis rempah lainnya. Namun, saat ini berbagai macam bentuk tarif sudah semakin
dibatasi dan semakin berkurang. Adanya batasan tarif tersebut menyebabkan
negara-negara mulai memberlakukan tindakan-tindakan non tarif (NTM).
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kinerja ekspor dan dampak NTM

terhadap ekspor rempah-rempah Indonesia dengan periode penelitian 2009-2013.
Cakupan penelitian meliputi 7 negara tujuan ekspor utama rempah Indonesia yaitu
Amerika Serikat, China, Jepang, Kanada, Korea Selatan, Singapura, dan Thailand.
Metode yang digunakan adalah analisis deskriptif melalui pendekatan inventory
(frequency index dan coverage ratio) dan model gravity. Hasil estimasi
menunjukkan variabel GDP perkapita negara pengimpor, jarak ekonomi,
frequency index dan coverage ratio untuk SPS dan TBT berpengaruh nyata
terhadap nilai ekspor rempah-rempah Indonesia. Variabel frequency index dan
coverage ratio SPS dan TBT menunjukkan nilai koefisien yang positif.
Kata kunci: ekspor, gravity model, inventory approach, NTM, rempah-rempah

ABSTRACT
Nur Ariyani. Impact of Non-Tariff Measures (NTMs) on Indonesia’s Spices
Export to The Export Destination Countries. Supervised by IDQAN FAHMI.
Indonesia is a tropical country that has great potential in generating plants
and spices. Herbal plants which became Indonesia's main commodities namely
pepper, cinnamon, and nutmeg seen from the value of its exports are higher than
other types of spices. However, these various forms of tariffs has been
increasingly restricted and diminishing. Limits on the rates lead countries began
imposing non-tariff measures (NTMs). This study aims to analyze the

performance of exports and the impact of NTMs on exports of spices Indonesia by
2009-2013 study period. The scope of research covers 7 major export destinations
of Indonesian spices, namely the United States, China, Japan, Canada, South
Korea, Singapore, and Thailand. The method used is descriptive analysis through
inventory approach (frequency index and coverage ratio) and gravity models. The
result indicates the variable GDP per capita of the importing country, the
economic distance, frequency index and the coverage ratio for the SPS and TBT
significantly affect the value of Indonesian exports of spices. Variable frequency
index and the coverage ratio of the SPS and TBT shows a positive coefficient.
Keywords: export, gravity models, inventory approach, NTMs, spices

DAMPAK NON TARIFF MEASURES (NTMs) TERHADAP
EKSPOR REMPAH-REMPAH INDONESIA
KE NEGARA TUJUAN EKSPOR

NUR ARIYANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi

pada
Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Dampak Non
Tariff Measures (NTMs) terhadap Ekspor Rempah-Rempah Indonesia ke Negara
Tujuan Ekspor (diambil sebagai judul oleh penulis yang fokus pada konsentrasi
perdagangan internasional.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak mungkin terselesaikan tanpa
dukungan, bimbingan, bantuan, serta doa dari berbagai pihak selama penyusunan
skripsi. Pada kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan hati mengucapkan
terima kasih kepada :
1.

Bapak Dr. Ir. Idqan Fahmi, M.Ec selaku dosen pembimbing skripsi
atas segala bimbingan dan saran-sarannya yang sangat bermanfaat,
serta bantuannya kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
2.
Bapak Dr. Syamsul Hidayat Pasaribu, M.Si selaku dosen penguji
utama dan Ibu Ranti Wiliasih, M.Si selaku dosen komisi pendidikan
yang telah memberikan ilmu, saran, dan motivasi kepada penulis
untuk perbaikian skripsi ini.
3.
(Alm.) Rokip dan (Almh.) Rusda selaku kedua orang tua penulis,
Irawan dan Achmad Syaichu selaku kakak penulis serta keluarga
besar atas do’a, motivasi, dan dukungan moril maupun materiil yang
telah diberikan kepada penulis.
4.
Seluruh dosen dan staf Fakultas Ekonomi dan Manajemen,
Departemen Ilmu Ekonomi, dan Tingkat Persiapan Bersama atas
segala bantuan, dukungan, dan ilmu-ilmu yang diberikan selama
penulis menyelesaikan pendidikannya di kampus IPB.
5.
Teman-teman satu bimbingan, Ira Miranti, Siti Khamila, Cahyaning

Rosy, Dhia Adhiati, dan Sri Subakti atas semangat, kebersamaan, dan
bantuannya selama menyelesaikan skripsi.
6.
Sahabat terbaik, Nabila, Ririn, Khairani, Dhieta, DC, dan Kiki atas
kebersamaan, semangat, dan doa yang telah diberikan kepada penulis.
7.
Sahabat-sahabat seperjuangan, Marsella, Anne, Ririn Indah,
Iswahyuni, Dian Asti, dan Carla Sheila, terima kasih atas keceriaan,
semangat, dan arahan kalian selama ini.
8.
Oktavina Widya, Isti Rahmadhani, Nurul Rahmadhani, atas saran dan
arahan dalam penyusunan skripsi ini.
9.
Teman-teman terbaik Ilmu Ekonomi 48 yang senantiasa berjuang
bersama dan telah memberikan momen-momen terbaik selama
menjalani perkuliahan bersama.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam skripsi
ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik guna perbaikan di
masa yang akan datang. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, Januari 2016
Nur Ariyani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN
Latar Belakang

1

1

Perumusan Masalah

4

Tujuan Penelitian

5

Manfaat Penelitian

5

Ruang Lingkup Penelitian

5

TINJAUAN PUSTAKA
Teori Perdagangan Internasional


6
6

Teori Hambatan Perdagangan

6

Hambatan Tarif

6

Hambatan Non Tarif

7

Non Tariff Measures (NTM)
Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan
Technical Barriers to Trade (TBT)
Kajian Terdahulu


7
8
9

Kerangka Pemikiran

10

Hipotesis Penelitian

11

METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data

12
12

Metode Penelitian


12

Pendekatan Inventory

12

Model Gravitasi (Gravity Model)

13

Model Penelitian

14

Pemilihan Model Estimasi

15

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kinerja Perdagangan Rempah-Rempah Indonesia

18
18

Pemberlakuan Non Tariff Measures (NTM) pada Rempah-Rempah Indonesia 20
Faktor-faktor yang Memengaruhi Ekspor Rempah-Rempah Indonesia

26

Dampak NTM pada Ekspor Rempah Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor

29

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

30
30
31

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

31
35

RIWAYAT HIDUP

44

DAFTAR TABEL
1 Volume dan nilai ekspor rempah-rempah Indonesia ke sembilan negara
tujuan ekspor utama tahun 2011-2013
2 Volume produksi, volume ekspor, dan nilai ekspor rempah-rempah
Indonesia tahun 2009-2013
3 Klasifikasi baru non tariff measures
4 Kerangka identifikasi autokorelasi
5 Ekspor lada Indonesia tahun 2009-2013 ke negara tujuan utama
6 Ekspor kayu manis Indonesia tahun 2009-2013 ke negara tujuan utama
7 Ekspor pala Indonesia tahun 2009-2013 ke negara tujuan utama
8 Jumlah NTMs SPS dan TBT yang diberlakukan pada komoditi rempahrempah Indonesia di negara tujuan ekspor tahun 2000-2013
9 Jumlah NTMs SPS dan TBT yang diberlakukan pada komoditi rempahrempah Indonesia di negara tujuan ekspor tahun 2009-2013
10 Hasil estimasi model dampak NTM

2
4
8
17
18
19
19
21
22
27

DAFTAR GAMBAR
1 Nilai ekspor rempah-rempah Indonesia tahun 2009-2013
2 Kerangka pemikiran
3 Frequency index SPS pada ekspor rempah-rempah ke
utama tahun 2009-2013
4 Frequency index TBT pada ekspor rempah-rempah ke
utama tahun 2009-2013
5 Coverage ratio SPS pada ekspor rempah-rempah ke
utama tahun 2009-2013
6 Coverage ratio TBT pada ekspor rempah-rempah ke
utama tahun 2009-2013

1
11
negara tujuan
23
negara tujuan
24
negara tujuan
25
negara tujuan
25

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Neraca perdagangan rempah-rempah Indonesia ke negara-negara
tujuan utama tahun 2009-2013 (usd)
Neraca perdagangan rempah-rempah Indonesia ke negara-negara
tujaun utama berdasarkan kelompok komoditi 2009-2013 (usd)
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian
Uji normalitas
Matriks korelasi antar variabel
Uji heteroskedastisitas
Cross section effect
Penetapan model terbaik
Penghitungan Nilai Elastisitas Permintaan Rempah-rempah Indonesia

35
36
37
38
39
39
40
41
43

45

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Nilai Ekspor (juta USD)

Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang
melimpah dan memiliki potensi besar untuk produk pertaniannya. Pertanian
merupakan sektor yang penting dalam memacu pertumbuhan dan pembangunan
ekonomi Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap pendapatan
nasional, peranannya dalam penyerapan tenaga kerja, dan kontribusinya dalam
menghasilkan devisa (Anggriawan dan Indrawati, 2013). Salah satu sektor
pertanian yang memiliki potensi adalah sektor perkebunan. Indonesia memiliki
beragam tanaman perkebunan yang bernilai tinggi dan mampu bersaing di pasar
dunia.
Rempah-rempah merupakan salah satu jenis tanaman perkebunan
Indonesia dan merupakan salah satu dari 10 komoditas ekspor potensial yang
dapat meningkatkan perekonomian Indonesia (Kemendag 2014). Tanaman
rempah yang menjadi komoditas unggulan Indonesia yakni lada, kayu manis, dan
pala dimana nilai ekspor komoditi tersebut cukup tinggi. Tingginya nilai ekspor
rempah-rempah Indonesia menunjukkan bahwa sektor ini memiliki prospek untuk
dikembangkan sebagai penghasil devisa negara dari sektor nonmigas. Pada zaman
yang semakin modern dan seiring dengan berkembangnya seni kuliner di seluruh
dunia, rempah-rempah juga akan semakin banyak digunakan pada industri
makanan sebagai bumbu dan bahan penyedap yang alami. Selain sebagai pemberi
cita rasa dan aroma, rempah-rempah dapat dimanfaatkan sebagai bahan farmasi
untuk pengobatan dan perawatan kecantikan (kosmetik), serta sebagai sumber
makanan dan minuman fungsional seiring dengan perubahan gaya hidup dan
kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan. Perkembangan ekspor rempahrempah Indonesia mengalami mengalami perubahan setiap tahunnya, khususnya
lada, kayumanis, dan pala. Perkembangan nilai ekspor rempah-rempah Indonesia
dapat dilihat pada Gambar 1.
500
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0

2009
2010
2011
2012
2013

Lada

Kayu
Manis

Cengkeh

Pala

142.12
252.08
223.4
435.44
356.62

30.5
48.41
60.79
49.59
49.59

5.58
12.58
16.3
24.76
25.39

60.42
97.78
153.14
158.82
133.48

Jahe,
Kunyit,
Temulawak
42.46
39.83
31.05
22.76
22.76

Panili

Lainnya

5.08
4.59
4.99
5.36
7.27

1.8
1.63
0.43
17.26
10.94

Sumber: UN COMTRADE 2015 (diolah)

Gambar 1 Nilai Ekspor Rempah-Rempah Indonesia tahun 2009-2013

2

Gambar 1 menunjukkan bahwa tanaman rempah yang menjadi komoditas
unggulan dan berkontribusi terhadap ekspor Indonesia adalah lada, kayu manis,
pala, serta jahe, kunyit, dan temulawak. Nilai ekspor lada, kayu manis, dan pala
mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Nilai ekspor lada mengalami kenaikan di
tahun 2010 dan di tahun 2012 yang mencapai nilai sebesar 435.44 juta USD,
namun di tahun 2013 nilainya menurun menjadi 356.62 juta USD. Sementara itu,
nilai ekspor kayu manis mengalami peningkatan di tahun 2009 hingga 2011
dengan nilai 30.50 juta USD menjadi 60.79 juta USD, sedangkan di tahun 2012
mengalami penurunan dan nilainya konsisten hingga tahun 2013 yakni sebesar
49.59 juta USD. Begitu pula dengan nilai ekspor pala yang mengalami perubahan
setiap tahunnya dimana pada tahun 2009 mencapai 60.42 juta USD dan terus
mengalami kenaikan hingga mencapai 158.82 juta USD di tahun 2012, kemudian
di tahun 2013 nilainya kembali menurun menjadi 133.48 juta USD. Berbeda
halnya dengan nilai ekspor jahe, kunyit dan temulawak yang cenderung menurun
selama tahun 2009-2013 dimana nilai ekspor pada tahun 2009 sebesar 42.46 juta
USD terus mengalami penurunan hingga mencapai 22.76 juta USD pada tahun
2013.
Rempah-rempah Indonesia memiliki potensi ekspor yang cukup tinggi ke
beberapa negara tujuan utama diantaranya Amerika Serikat, Kanada, Jepang,
Korea Selatan, China, Thailand, dan Singapura. Perkembangan ekspor rempahrempah Indonesia ke negara tujuan utama dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1

Volume dan Nilai Ekspor Rempah-Rempah Indonesia ke Sembilan
Negara Tujuan Ekspor Utama tahun 2011-2013
2011

Negara

Volume
(ton)

Amerika Serikat
China
Jepang
Kanada
Korea Selatan
Singapura
Thailand

2012

Nilai (USD)

Volume
(ton)

38 281
1 694
2 080
781
614

130 180 294
4 166 690
22 640 927
2 388 346
3 510 661

4 858
2 540

29 794 675
5 513 331

2013

Nilai (USD)

Volume
(ton)

Nilai (USD)

40 005
1 926
1 941
900
703

198 422 520
13 686 883
24 305 672
2 722 929
3 799 269

40 408
1 203
2 037
823
367

156 786 622
6 851 935
21 588 288
1 759 664
2 805 523

4 293
3 378

29 448 604
6 568 763

6 878
3 724

48 672 372
7 279 081

Sumber: UN Comtrade 2015 (diolah)

Tabel 1 menunjukkan bahwa volume dan nilai ekspor rempah-rempah
Indonesia ke negara-negara tujuan ekspor utama mengalami perubahan nilai setiap
tahunnya. Amerika Serikat merupakan negara tujuan ekspor terbesar untuk
rempah-rempah Indonesia dilihat dari volume ekspornya yang terus meningkat
hingga tahun 2013 sebesar 40.408 ton. Namun, untuk nilai ekspornya mengalami
fluktuasi dimana pada tahun 2012 mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya
hingga mencapai 198.42 juta USD dan di tahun 2013 menurun menjadi 156.78
juta USD. Begitu pula dengan ke enam negara tujuan ekspor lainnya yang
mengalami fluktuasi baik volume maupun nilai ekspornya. Kanada merupakan
negara tujuan ekspor dengan nilai ekspor terendah yakni hanya sebesar USD 1.75
juta USD pada tahun 2013.

3

Adanya perubahan nilai maupun volume ekspor rempah-rempah Indonesia
dari tahun ke tahun dipengaruhi oleh faktor kualitas dan standar mutu sebagai isu
utama yang membuat ekspor komoditas rempah-rempah Indonesia menghadapi
beberapa hambatan. Terkait isu mutu produk, terdapat dua aspek yang menjadi
pokok penilaian oleh bebeapa negara di dunia dalam memberikan izin impor.
Pertama, aspek kesehatan (sanitary), yang meliputi penelusuran terhadap
kandungan-kandungan yang terdapat dalam suatu produk. Kedua, aspek
keberlanjutan (sustainability) yang meliputi jaminan bahwa produk tersebut bukan
didapat dari tindakan illegal. Persyaratan yang berkaitan dengan sanitasi tersebut
dapat menjadi hambatan bagi akses pasar ekspor hasil pertanian Indonesia di
negara tujuan ekspor, termasuk rempah-rempah. Selain itu, Kementerian
Perdagangan menyatakan bahwa ekspor rempah-rempah Indonesia beberapa kali
mengalami penolakan di negara tujuan ekspor karena alasan sanitasi, terutama
karena adanya kandungan aflatoxin dalam produk atau racun yang dapat
mengakibatkan kanker hati. Pada tahun 2012 juga tercatat 21 kali terjadi
penolakan ekspor rempah-rempah Indonesia ke negara tujuan ekspor (Indonesia
Business Daily 2015).
Kebijakan non tarif atau yang lebih dikenal dengan non tariff measures
(NTMs) merupakan salah satu bentuk kebijakan perdagangan internasional yang
semakin banyak diterapkan oleh negara-negara terkait standar mutu dan
persyaratan yang berkaitan dengan aspek kesehatan (sanitary). NTMs sering
disebut juga sebagai non tariff barriers (NTBs). Akan tetapi, NTMs merupakan
tindakan yang lebih luas dibandingkan dengan NTBs yang umumnya cenderung
diskriminatif terhadap produk impor dan termasuk kebijakan yang melanggar
hukum perdagangan internasional. Pemberlakuan non tarif tersebut merupakan
bentuk kebijakan yang diterapkan sebagai pengganti kebijakan tarif yang
pemberlakuannya mulai menurun karena penetapan tingkat tarif di berbagai
negara yang semakin dibatasi.
Hambatan non tarif tersebut merupakan bentuk proteksi pada produsen
domestik, bentuk pengendalian mutu, dan persyaratan teknis dalam menghadapi
persaingan impor dengan produk asing, serta bertujuan untuk melindungi produkproduk dalam negeri, meningkatkan kualitas produk, dan melindungi hak
konsumen. NTMs mendapat perhatian khusus dari eksportir dan importir di
negara berkembang. Hal ini dikarenakan NTMs dapat menjadi hambatan utama
dalam perdagangan internasional.
Bachetta dan Beverelli (2012) mengemukakan bahwa NTM mencakup
semua instrumen kebijakan selain tarif mulai dari persyaratan pelabelan hingga
kebijakan makro yang memengaruhi perdagangan. Ada beberapa jenis NTM,
yakni Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barriers to Trade (TBT)
yang semakin banyak diberlakukan. Penggunaan kebijakan SPS lebih banyak
pada sektor pertanian dan produk yang berasal dari hewan. SPS merupakan salah
satu bentuk kebijakan yang sangat penting untuk menjamin kesehatan dan
kesejahteraan konsumen serta melindungi lingkungan. TBT, biasa diterapkan pada
sektor yang lebih luas dan memang ditemukan lebih merata pemberlakuannya
pada seluruh sektor ekonomi. Penggunaannya paling banyak pada tekstil, sepatu,
makan olahan, dan kimia.
Rempah-rempah sebagai komoditi ekspor Indonesia yang sangat potensial
dapat memberikan peluang ekspor yang besar bagi Indonesia. Namun,

4

pertumbuhan ekspornya khususnya di negara-negara tujuan ekspor selama lima
tahun terakhir mengalami fluktuasi dan cenderung mengalami penurunan. Hal ini
diduga karena adanya persyaratan terkait standar mutu dan kualitas produk berupa
penerapan NTMs seperti SPS dan TBT yang telah diberlakukan oleh negara
pengimpor sebagai bentuk proteksi dalam negeri. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penelitian mengenai dampak kebijakan non tarif terhadap perkembangan ekspor
rempah-rempah Indonesia di negara-negara tujuan ekspornya.
Perumusan Masalah
Rempah-rempah merupakan salah satu sumber kekayaan alam yang
dimiliki Indonesia yang memiliki potensi besar dalam mendorong ekspor
Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan data yang tersedia bahwa angka
produksi rempah-rempah Indonesia tergolong tinggi. Indonesia mampu
memproduksi rempah-rempah rata-rata sebesar 1 juta ton setiap tahunnya. Namun,
volume yang diekspor untuk rempah-rempah rata-rata hanya sebesar 500 ribu ton
atau setengah dari jumlah yang diproduksi dan cenderung mengalami perubahan
dari tahun ke tahun. Nilai ekspor rempah-rempah Indonesia juga cenderung
mengalami penurunan setiap tahunnya. Perkembangan nilai dan volume ekspor
serta produksi rempah-rempah Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2

Volume Produksi, Volume Ekspor, dan Nilai Ekspor Rempah-Rempah
Indonesia tahun 2009-2013

Tahun

Volume Produksi (ton)

Volume Ekspor (ton)

Nilai Ekspor (juta USD)

2009
2010
2011
2012
2013

1 583 831
1 519 856
1 680 279
1 858 884
1 930 382

578 508
687 996
445 324
699 745
562 388

1 017.39
936.29
813.16
685.12
488.64

Sumber: UN COMTRADE 2015, FAO 2015

Penurunan nilai dan volume ekspor rempah-rempah Indonesia
diindikasikan oleh beberapa hal. Namun, hal utama yang diduga menyebabkan
penurunan tersebut yakni adanya penerapan kebijakan non tarif berupa NTMs.
Bentuk kebijakan dalam perdagangan internasional khususnya kebijakan
NTMs yang mulai banyak diterapkan di negara-negara pelaku perdagangan
menyebabkan ekspor Indonesia, salah satunya rempah-rempah mengalami
beberapa kendala seperti terjadinya kasus penolakan ekspor rempah-rempah
Indonesia ke negara tujuan ekspor.
Menurut UNCTAD (2013), yang termasuk jenis NTMs yaitu SPS dan
TBT memiliki dampak perdagangan yang paling banyak diakui dan diberlakukan
oleh seluruh negara di dunia. Tingginya nilai SPS dan TBT yang diberlakukan
oleh suatu negara pengimpor dapat menimbulkan kekhawatiran bagi pengekspor
dari negara berkembang seperti Indonesia karena harus lebih memperhatikan
persyaratan yang telah diberlakukan untuk menjamin keamanan dan standar
kualitas dari produk atau komoditi yang diperdagangkan.
Penerapan NTMs oleh negara-negara tujuan ekspor sangat memengaruhi
ekspor Indonesia ke negara-negara tersebut. Adanya penerapan tindakan non tarif

5

tersebut pada negara tujuan ekspor rempah-rempah mengharuskan Indonesia lebih
memperhatikan persyaratan yang telah ditentukan dan harus memenuhi
persyaratan tersebut. Oleh karena itu, perlu diteliti lebih lanjut mengenai SPS dan
TBT yang diterapkan oleh negara tujuan ekspor rempah-rempah Indonesia dan
pengaruhnya terhadap perkembangan ekspor rempah-rempah Indonesia.
Berdasarkan penjabaran yang telah dipaparkan maka yang akan dikaji
lebih lanjut dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana kinerja ekspor rempah-rempah Indonesia?
2. Bagaimana pemberlakuan NTMs pada komoditas rempah-rempah Indonesia di
negara-negara tujuan ekspor?
3. Bagaimana dampak NTMs pada ekspor rempah-rempah Indonesia?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan
dari penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan kinerja ekspor rempah-rempah Indonesia.
2. Menganalisis pemberlakuan NTMs pada komoditas rempah-rempah Indonesia
di negara-negara tujuan ekspor.
3. Menganalisis dampak pemberlakuan NTMs terhadap kinerja ekspor rempahrempah Indonesia.
Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberi manfaat bagi
berbagai pihak, diantaranya sebagai berikut:
1. Bagi penulis diharapkan dapat melatih kemampuan penulis dalam menganalisis
dampak NTMs terhadap ekspor rempah-rempah dan menambah wawasan
mengenai faktor-faktor yang memengaruhi ekspor rempah-rempah Indonesia
selain pengaruh dari kebijakan NTMs.
2. Bagi pemerintah atau instansi terkait diharapkan dapat memberikan masukan
terkait dengan kebijakan perdagangan khususny NTMs.
3. Bagi masyarakat diharapkan dapat menambah wawasan serta informasi
mengenai kebijakan perdagangan dalam bentuk NTMs dan dampaknya
terhadap ekspor rempah-rempah Indonesia.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis kinerja perdagangan
komoditas rempah-rempah Indonesia di negara tujuan ekspor (Amerika Serikat,
Kanada, Singapura, Thailand, Jepang, China, dan Korea Selatan) dan dampak
diberlakukannya NTMs yang difokuskan pada SPS dan TBT di negara tujuan
ekspor tersebut terhadap ekspor rempah-rempah Indonesia. Periode waktu yang
dianalisis dalam penelitian dari tahun 2009 hingga tahun 2013. Komoditas
rempah-rempah yang diteliti berdasarkan Harmony System (HS) 1996 yaitu HS
0904 (lada), HS 0906 (kayu manis), dan HS 0908 (Pala).

6

TINJAUAN PUSTAKA

Teori Perdagangan Internasional
Perdagangan internasional merupakan kegiatan pertukaran barang dan jasa
yang dilakukan penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar
kesepakatan bersama. Faktor utama yang menjadi alasan suatu negara melakukan
perdagangan internasional adalah adanya perbedaan sumberdaya antarnegara dan
setiap negara bertujuan mencapai skala ekonomis dalam produksinya (Krugman
dan Obstfeld 2000). Perbedaan antarnegara yang mendorong terjadinya
perdagangan internasional adalah perbedaan sumberdaya alam, sumberdaya
modal, tenaga kerja, dan teknologi yang mengakibatkan perbedaan efisiensi
produksi antarnegara (Halwani 2002).
Secara umum, perdagangan internasional terdiri dari kegiatan ekspor dan
impor. Ekspor merupakan suatu kegiatan menjual barang dan jasa yang dihasilkan
oleh suatu negara ke negara lain, sebaliknya impor merupakan suatu kegiatan
dimana suatu negara membeli barang dan jasa dari negara lain. Negara yang
memproduksi lebih dari kebutuhan dalam negerinya dapat mengekspor kelebihan
produksi tersebut ke negara lain. Akan tetapi, negara yang tidak mampu
memproduksi sendiri dapat mengimpor dari negara lain. Pada dasarnya ada
beberapa faktor yang mendorong terjadinya perdagangan internasional. Pertama,
keinginan suatu negara untuk memperluas pasaran komoditinya. Kedua, suatu
negara ingin memperoleh devisa untuk membiayai pembangunan dalam negeri.
Ketiga, adanya perbedaan penawaran dan permintaan antar negara atas produk
tertentu. Keempat, adanya perbedaan biaya relatif dalam menghasilkan produk
tertentu (Salvatore, 1997).
Teori Hambatan Perdagangan
Perdagangan bebas (free trade) bertujuan untuk memaksimalkan output
dunia dan keuntungan bagi setiap negara yang terlibat di dalamnya. Namun dalam
kenyataannya hampir setiap negara menerapkan berbagai bentuk hambatan
terhadap berlangsungnya perdagangan internasional secara bebas. Bentuk
hambatan perdagangan antara lain hambatan tarif dan hambatan non tarif
(Salvatore 1997).
Hambatan Tarif
Tarif adalah pajak atau cukai yang dikenakan untuk suatu komoditi yang
diperdagangkan lintas batas teritorial. Ditinjau dari asal komoditi ada dua jenis
tarif yakni tarif impor dan tarif ekspor. Tarif impor merupakan pajak yang
dikenakan untuk setiap komoditi yang diimpor dari negara lain, sedangkan tarif
ekspor merupakan pajak untuk setiap komoditi yang diekspor. Selain itu, jika
ditinjau dari mekanisme penghitungannya, jenis tarif terbagi atas tarif ad valorem,
tarif spesifik, dan tarif campuran. Tarif ad valorem adalah pajak yang dikenakan
berdasarkan angka persentase tertentu dari nilai barang-barang yang diimpor.
Tarif spesifik dikenakan sebagai beban tetap dari setiap unit barang yang diimpor.
Tarif campuran adalah gabungan dari keduanya, yakni mengenakan pungutan
dalam jumlah tertentu dan pungutan dalam bentuk persen (Salvatore 1197).

7

Hambatan Non Tarif
Hambatan non tarif merupakan hambatan perdagangan yang terjadi di era
modern dan merupakan bentuk proteksi perdagangan yang lebih kompleks
dibandingkan dengan hambatan tarif. Bentuk hambatan non tarif yang sering
digunakan adalah kuota impor, pembatasan ekspor secara sukarela, dan anti
dumping. Pemerintah melakukan intervensi dalam perdagangan internasional
dengan menggunakan instrumen kebijakan lainnya yang lebih kompleks yaitu
kebijakan yang menyembunyikan motif proteksi. Instrument kebijakan yang
menonjol antara lain pemberian subsidi ekspor, pembatasan impor, konsep
pengekangan ekspor secara sukarela, dan persyaratan kandungan lokal.
Perkembangan hambatan non tarif ini kemudian memberi ruang bagi WTO untuk
mendisiplinkan penggunaannya. WTO mendefinisikan kebijakan-kebijakan
perdagangan non tarif dengan istilah non tariff measures (NTMs).
Non Tariff Measures (NTMs)
Non Tariff Measures (NTMs) merupakan sejumlah tindakan selain tarif
yang memiliki dampak pada arus perdagangan. NTMs terdiri dari tiga kategori.
Kategori pertama yaitu NTMs yang dikenakan pada impor. Kategori ini mencakup
antara lain kuota, larangan impor, perizinan impor, prosedur penilaian kesesuaian,
dan administrasi biaya. Kategori kedua yakni NTMs yang dikenakan pada ekspor.
Kategori ini termasuk diantaranya pajak ekspor, subsidi ekspor, kuota ekspor,
larangan ekspor, dan pembatasan ekspor secara sukarela. Kategori ketiga yaitu
NTMs yang dikenakan secara internal di dalam suatu negara. Tindakannya
termasuk legislasi domestik, meliputi tenaga kerja, standar kesehatan lingkungan,
regulasi teknis, pajak-pajak internal, atau subsidi domestik (Staiger 2012).
NTMs mencakup semua instrumen selain tarif, mulai dari persyaratan
pelabelan hingga makro yang memengaruhi kebijakan perdagangan. Tindakan ini
telah tumbuh sebagai pengurangan tarif yang besar. Di antara NTMs, khususnya
tindakan SPS dan hambatan teknis perdagangan TBT telah dikembangkan.
Tindakan ini memiliki banyak kesamaan tindakan standar yang memengaruhi
biaya dan potensi permintaan dengan mengatasi ketidaksempurnaan pasar,
pengaruh eksternal (Baccheta dan Beverelli dalam Beghin 2013).
UNCTAD juga mengklasifikasikan NTMs. Pada tahun2006, klasifikasi
NTMs dibahas dan disepakati oleh beberapa organisasi internasional yang
membentuk Multi Agency Support Team (MAST). Klasifikasi tersebut tidak
didasarkan pada kecukupan, kebutuhan, atau diskriminasi dalam bentuk intervensi
kebijakan apapun yang digunakan dalam perdagangan internasional, melainkan
didasarkan pada realitas perdagangan, metode penghitungan, dan pengumpulan
data NTMs. Terdapat enam belas klasifikasi yang dibuat oleh UNCTAD. Enam
kategori diantaranya price contol measures; finance measures; automatic
licensing measures; quantity control measures; monopolistic measures; dan
technical measures.
Hal yang baru dari klasifikasi NTMs ini yakni dengan adanya penambahan
beberapa cabang klasifikasi baru yang merupakan perluasan dari klasifikasi NTMs
yang lama seperti kebijakan terkait ekspor yakni subsidi. Klasifikasi NTMs yang
disusun oleh UNCTAD dibagi menjadi dua bagian pokok yaitu Import Measures
dan Export Measures. Pada import measures terbagi lagi menjadi dua bagian yaitu
technical measures dan non technical measures. Sementara pada export measures

8

hanya satu klasifikasi yaitu export related measures. Skema klasifikasi baru
NTMs dapat dilihat pada Tabel 3.

Import Measures

Tabel 3 Klasifikasi Baru Non Tariff Measures
 Sanitary and Phytosanitary Measures
Technical Measures  Technical Barriers To Trade
 Pre-Shipment Inspection and Other Formalities
 Contingent Trade-Protective Measures
 Non-Automatic Licensing, Quotas, Prohibitions
and Quantity Control Measures Other Than For
SPS or TBT Reasons
 Price-Control Measures, including Additional
Taxes and Charges
 Finance Measures
Non Technical
 Measures Affecting Competition
 Trade Related Investment Measures
Measures
 Distribution Restrictions
 Restrictions on Post-Sales Services
 Subsidies (Excluding Export Subsidies Under
P7)
 Government Procurement Restrictions
 Intellectual Property
 Rules of Origin
Exports Measures  Export-Related Measures
Sumber: UNCTAD, 2013

Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barriers to Trade (TBT)
Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barriers to Trade (TBT)
merupakan bagian dari technical measures. Kebijakan SPS termasuk peraturan
dan pembatasan dengan tujuan untuk melindungi manusia, hewan atau tumbuhan
hidup atau kesehatan. Sementara untuk TBT membahas mengenai semua
peraturan teknis lainnya, standar dan prosedur penilaian kesesuaian produk guna
menjamin keamanan, kualitas, dan perlindungan lingkungan.
Menurut UNCTAD (2013) definisi dari SPS adalah tindakan-tindakan
yang diterapkan untuk melindungi kehidupan manusia atau hewan dari risiko yang
timbul dari adanya zat adiktif, pencemaran, racun, atau organisme penyebab
penyakit yang terdapat dalam makanan mereka. Bertujuan untuk melindungi
manusia, tumbuhan hidup atau hewan dari hewan yang membawa penyakit, untuk
melindungi hewan atau tanaman dari hama, penyakit atau organisme penyebab
penyakit. Selain itu, untuk mencegah atau membatasi kerusakan lainnya,
pembentukan atau penyebaran hama, dan melindungi keanekaragaman hayati. Hal
ini termasuk tindakan yang diambil untuk melindungi kesehatan dari ikan dan
fauna liar, serta hutan dan tumbuhan liar.
Definisi TBT menurut UNCTAD (2013) adalah tindakan yang mengacu
pada regulasi teknis, standar, dan prosedur penilaian kesesuaian produk. Regulasi
teknis merupakan dokumen yang menetapkan karakteristik produk atau yang
terkait dengan proses dan cara produksinya, termasuk yang berlaku dalam
ketentuan administratif. Hal ini juga dapat mencakup simbol, pengemasan,

9

penandaan atau pelabelan seperti yang digunakan pada produk, proses atau cara
produksi. Prosedur penilaian kesesuaian adalah prosedur yang digunakan baik
secara langsung maupun tidak langsung untuk menentukan bahwa persyaratan
relevan dalam peraturan teknis atau memenuhi standar, diantaranya mencakup
prosedur pengambilan sampel, pengujian dan inspeksi, serta evaluasi.
Kajian Terdahulu
Bratt (2014) meneliti mengenai dampak bilateral NTMs pada 85 negara
dengan menggunakan model gravity yang mencakup variabel keunggulan
komparatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa NTMs memiliki dampak
negatif. Bagi negara eksportir yang berpendapatan rendah, pemberlakuan NTMs
oleh negara yang berpendapatan tinggi cenderung memiliki dampak yang lebih
besar dibandingkan dengan NTMs yang diberlakukan oleh negara berkembang
kepada eksportir negara maju.
Dahar et al. (2014) menganalisis mengenai dampak pemberlakuan NTMs
pada ekspor holtikultura Indonesia ke negara ASEAN+3. Penelitian ini
menganalisis regulasi SPS dan TBT pada perdagangan hortikultura dengan
menggunakan pendekatan inventory untuk mengukur NTMs dan model gravity
untuk melihat dampak NTMs terhadap ekspor hortikultura Indonesia ke negara
tujuan ekspornya. Hasil analisis menunjukkan bahwa NTMs berupa SPS dan TBT
berpengaruh negatif pada ekspor hortikultura Indonesia ke mitra dagangnya dan
kelompok hortikultura yang paling banyak terkena NTMs adalah kelompok buahbuahan. Selain itu, negara ASEAN+3 yang paling banyak memberlakukan NTMs
adalah Jepang dan dominan SPS.
Margaretha (2012) meneliti mengenai hambatan non tarif SPS yang
diberlakukan oleh Uni Eropa terhadap ekspor udang Indonesia dengan
menggunakan model gravity. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hambatan non
tarif SPS memiliki dampak yang negatif terhadap nilai ekspor udang Indonesia ke
Uni Eropa dan kebijakan tersebut bersifat restriktif terhadap perdagangan bilateral
komoditas yang bersangkutan serta tidak sesuai dengan semangat perdagangan
bebas yang diusung oleh WTO.
Nakakeeto (2011) mengkaji dampak NTMs terhadap perdagangan
komoditi di Uganda, Mali, dan Senegal. Penelitian ini menggunakan pendekatan
inventory untuk mengukur NTMs dan model gravity untuk melihat dampak NTMs
terhadap ekspor komoditi pertanian. Pada penelitian ini digunakan tiga indikator
yang berbeda untuk mengukur NTMs yaitu variabel dummy, coverage ratio, dan
advalorem equivalent of NTMs. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan yang
berbeda untuk ketiga model. Model dengan menggunakan variabel dummy NTMs
menunjukkan bahwa NTMs memiliki dampak yang negatif terhadap ekspor.
Model dengan menggunakan indikator coverage ratio dan AVE’s of NTMs
menunjukkan bahwa NTMs memiliki dampak positif terhadap ekspor.
Rastikarany (2008) meneliti mengenai pengaruh kebijakan tarif dan non
tarif Uni Eropa terhadap ekspor tuna Indonesia menggunakan model regresi
berganda dengan dummy intersep. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan
hambatan tarif berpengaruh nyata dan bersifat inelastis, sedangkan kebijakan non
tarif tidak berpengaruh nyata terhadap model. Hal tersebut didukung oleh fakta

10

bahwa Indonesia tetap diijinkan untuk mengekspor ke Uni Eropa tetapi harus
sesuai dengan standar yang diberlakukan.

Kerangka Pemikiran
Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang
melimpah dan memiliki potensi besar pada produk pertaniannya. Salah satu hasil
dari sektor pertanian yang sangat potensial dan merupakan salah satu komoditi
ekspor potensial Indonesia adalah rempah-rempah. Rempah-rempah Indonesia
yang bernilai tinggi dan berkontribusi besar terhadap ekspor Indonesia dari sektor
non migas adalah lada, kayu manis, dan pala. Pasar utama bagi ekspor rempahrempah Indonesia adalah Amerika Serikat, Kanada, China, Jepang, Korea Selatan,
Singapura, dan Thailand.
Namun, pada tahun 2012 tercatat 21 kali terjadi penolakan ekspor rempahrempah Indonesia ke negara tujuan ekspor (Indonesia Business Daily 2015).
Tingginya standar mutu dan banyaknya persyaratan yang berkaitan dengan aspek
kesehatan (sanitary) yang diterapkan oleh negara-negara tujuan ekspor merupakan
salah satu bentuk dari NTMs. NTMs dapat berupa hambatan perdagangan teknis,
isu sanitasi, dan isu standar lingkungan terkait dengan komoditi yang
diperdagangkan dan salah satunya adalah komoditas rempah-rempah. Salah satu
bentuk NTMs yang paling banyak digunakan yaitu SPS dan TBT. Penggunaan
SPS dan TBT paling banyak pada sektor pertanian dan makanan olahan yang
bertujuan untuk melindungi manusia, hewan, dan tumbuhan hidup dari transfer
penyakit, serta pemenuhan standar mutu produk.
Secara keseluruhan dari hasil perhitungan dan estimasi yang diperoleh
diharapkan dapat memberikan masukan terkait dengan strategi pengembangan
ekspor dan peningkatan standar mutu rempah-rempah Indonesia di negara tujuan
ekspor. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.

11

Rempah-rempah termasuk 10 komoditi ekspor potensial Indonesia

Terjadi penolakan ekspor rempah-rempah Indonesia di negara tujuan
ekspor
Non Tariff Measures (SPS dan TBT)

Implementasi NTMs (SPS dan TBT) terhadap ekspor
rempah-rempah Indonesia

Dampak penerapan NTMs terhadap
ekspor rempah-rempah Indonesia

Faktor-faktor yang Memengaruhi
Ekspor Rempah-Rempah Indonesia








Pendekatan Inventory
(Frequency Index dan
Coverage ratio)

GDP per kapita
Nilai tukar riil
Populasi negara tujuan
Jarak ekonomi
Frequency Index SPS & TBT
Coverage Ratio SPS & TBT

Implikasi Kebijakan

Gambar 2 Kerangka Pemikiran

Hipotesis
Berdasarkan permasalahan dan alur kerangka pemikiran, maka hipotesis
yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain sebagai berikut:
1. GDP per kapita negara pengimpor diduga berpengaruh positif terhadap nilai
ekspor rempah-rempah Indonesia ke negara tujuan ekspor.
2. Populasi negara tujuan ekspor diduga berpengaruh positif terhadap nilai ekspor
rempah-rempah Indonesia ke negara tujuan ekspor.

12

3. Nilai tukar riil diduga berpengaruh positif terhadap nilai ekspor rempah-rempah
Indonesia ke negara tujuan ekspor.
4. Jarak ekonomi yang direpresentasikan oleh biaya transaksi diduga berpengaruh
negatif terhadap nilai ekspor rempah-rempah Indonesia ke negara tujuan ekspor.
5. Non Tariff Measures yang diberlakukan pada komoditas rempah-rempah di negara
pengimpor diduga berpengaruh negatif terhadap nilai ekspor rempah-rempah
Indonesia ke negara tujuan ekspor.

METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder timeseries periode 2009-2013 dan cross section negara tujuan ekspor meliputi
Amerika Serikat, Singapura, Jepang, Kanada, China, Korea Selatan, dan Thailand.
Data-data tersebut meliputi data NTMs berupa pemberlakuan SPS dan TBT, GDP
Per Kapita negara pengimpor, volume dan nilai ekspor dan impor rempah-rempah
Indonesia, populasi negara pengimpor, jarak ekonomi, nilai tukar riil Indonesia
terhadap dollar AS.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
diperoleh dari beberapa sumber, diantaranya World Trade Organization (WTO),
United Nation Commodity Trade (Un Comtrade), World Bank, International
Financial Statistic, Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Pertanian, CEPII,
Kementerian Perdagangan, dan Food and Agriculture Organization (FAO).
Metode Analisis Data
Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari dua metode
analisis yaitu analisis deskriptif dengan pendekatan inventory dan analisis data
panel dengan model gravity.
Pendekatan Inventory
Analisis deskriptif merupakan analisis yang digunakan untuk memaparkan
gambaran umum mengenai kinerja perdagangan komoditas rempah-rempah
Indonesia dan kebijakan perdagangan berupa NTMs khususnya SPS dan TBT
yang diberlakukan di negara-negara tujuan ekspor. Pada bagian ini terdapat dua
sub pokok bahasan. Pertama, membahas mengenai kinerja perdagangan
komoditas rempah-rempah Indonesia terhadap negara-negara tujuan ekspor.
Kedua, membahas kebijakan yang terkait dengan SPS dan TBT di negara-negara
tujuan ekspor pada komoditas rempah-rempah. Pada bagian ini akan dilakukan
analisis pemberlakuan SPS dan TBT dengan menggunakan pendekatan inventory
(inventory approach) yaitu melakukan inventarisasi kebijakan-kebijakan non tarif
khususnya SPS dan TBT yang dilakukan oleh setiap negara dengan menggunakan
frequency index dan coverage ratio pada periode waktu yang disesuaikan dengan
ketersediaan data sebagai indikatornya.
Frequency index menunjukkan ada atau tidaknya pemberlakuan NTMs
pada suatu komoditi dan memberikan informasi besaran indek yang dapat

13

dijadikan sebagai ukuran tingkat hambatan suatu negara. Sedangkan coverage
ratio untuk menghitung persentase besarnya cakupan komoditi impor yang
terkena NTMs pada negara pengimpor serta mengukur pentingnya NTMs pada
keseluruhan impor. Merujuk pada metodologi yang digunakan oleh Bora et al,
(2002) kedua indikator dapat dirumuskan dalam persamaan berikut:

=

x 100

=

x 100

Dimana:
= Frequency index negara pengekspor i ke negara pengimpor j pada tahun
t (%)
= Coverage ratio negara pengekspor i ke negara pengimpor j pada tahun
t (%)
= variabel dummy yang menunjukkan ada atau tidaknya NTMs pada
produk k pada tahun t (1 atau >1 = ada NTMs, 0 = tidak ada NTMs)
= jumlah produk k dengan total tahun dari jumlah yang diimpor
= volume impor komoditi dari negara i ke negara j
j
= negara pengimpor
i
= negara pengekspor
k
= produk yang diimpor
t
= tahun diberlakukannya NTMs
T
= total tahun dari jumlah yang diimpor negara tujuan
Nilai frequency index dan coverage ratio berada pada rentang nilai 0-100.
Nilai frequency index yang semakin kecil dan mendekati 0 menunjukkan semakin
sedikit penggunaan NTMs oleh suatu negara. Sebaliknya, nilai frequency index
yang semakin besar dan mendekati 100 menunjukkan semakin banyak
penggunaan NTMs oleh suatu negara. Semakin tinggi nilai frequency index
menunjukkan negara tersebut semakin protektif terhadap perdagangan. Nilai
coverage ratio yang semakin kecil menunjukkan cakupan produk yang terkena
kebijakan semakin kecil, sedangkan nilai coverage ratio yang semakin besar
menunjukkan cakupan produk yang terkena kebijakan NTMs semakin luas.
Model Gravity
Analisis model gravity digunakan untuk memperoleh model terbaik yang
menggambarkan dampak NTMs khususnya SPS dan TBT terhadap arus
perdagangan di negara-negara tujuan ekspor. Rancangan model yang diajukan
menggunakan beberapa variabel bebas yaitu GDP perkapita negara pengimpor,
populasi negara pengimpor, jarak ekonomi antara negara pengimpor dan
pengekspor, nilai tukar riil Indonesia terhadap dollar AS, dan pemberlakuan NTM
(SPS dan TBT). Variabel independennya adalah nilai ekspor rempah-rempah
Indonesia pada negara tujuan utama. Model yang digunakan dalam penelitian ini
merujuk pada model penelitian Fontagne et al, (2005). Pada penelitian ini

14

menggunakan pendekatan frequency index dan coverage ratio sebagai variabel
bebasnya. Secara ekonometrika model tersebut dirumuskan sebagai berikut:
Model 1:
ln

=α+

+

+
+

Model 2:
ln

=α+

+

+

+

+

+

+

+
+

+

Dimana:
= nilai ekspor rempah-rempah Indonesia ke negara j pada tahun t
(juta US$)
= GDP perkapita negara pengimpor j pada tahun t (juta US$)
= populasi negara pengimpor j pada tahun t (jiwa)
= jarak ekonomi antara Indonesia dengan negara tujuan (km)
= nilai tukar riil Indonesia terhadap negara pengimpor j pada tahun
t (Rp/US$)
= coverage ratio TBT negara pengimpor j terhadap rempah-rempah
Indonesia pada tahun t (%)
= coverage ratio SPS negara pengimpor j terhadap rempah-rempah
Indonesia pada tahun t (%)
= frequency index TBT negara pengimpor j terhadap rempah
rempah Indonesia pada tahun t (%)
= frequency index SPS negara pengimpor j terhadap rempah
rempah Indonesia pada tahun t (%)
Definisi Operasional
Definisi operasional variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1. Ekspor (X) adalah total nilai ekspor komoditi rempah-rempah (lada, kayu
manis, dan pala) Indonesia ke negara tujuan utama.
2. GDP perkapita (GDPC) merupakan jumlah pendapatan rata-rata dari penduduk
suatu negara pada periode tertentu.
3. Populasi (POP) adalah jumlah penduduk di negara tujuan ekspor dalam satu
tahun.
4. Real Exchange Rate (RER) merupakan nilai tukar riil negara pengekspor
terhadap negara pengimpor yang diperoleh dari:
RER = Nilai tukar nominal ×
5. Jarak ekonomi (EDIST) merupakan variabel yang merepresentasikan biaya
transportasi yang diperoleh dari:
Jarak ekonomi = Jarak geografis antar negara ×

15

6. Frequency Index SPS (FI SPS) adalah ukuran seberapa seringnya NTM berupa
SPS yang dikenakan pada suatu produk dan diukur dalam satuan persen.
7. Frequency Index TBT (FI TBT) adalah ukuran seberapa seringnya NTM berupa
TBT yang dikenakan pada suatu produk dan diukur dalam satuan persen.
8. Coverage Ratio SPS (CR SPS) adalah ukuran NTM berupa SPS yang dihitung
dengan nilai impor suatu produk dan diukur dalam satuan persen.
9. Coverage Ratio TBT (CR TBT) adalah ukuran NTM berupa SPS yang dihitung
dengan nilai impor suatu produk dan diukur dalam satuan persen.
Pemilihan Model
Terdapat tiga pengujian statistik yang digunakan dalam data panel untuk
menentukan model mana yang paling baik untuk dipilih, yaitu:
1. Uji Chow
Uji Chow atau yang biasa disebut uji F statistic merupakan pengujian
statistik yang bertujuan untuk memilih apakah menggunakan model Pooled Least
Square atau Fixed Effect. Hipotesis yang digunakan dalam pengujian ini yaitu:
H0 : model pooled square
H1 : model fixed effect
Jika nilai F-stat hasil pengujian lebih besar dari F-tabel, maka cukup bukti
untuk melakukan penolakan terhadap H0, artinya model yang dipilih adalah model
fixed effect, dan sebaliknya
2. Uji Hausman
Uji Hausman merupakan pengujian statistik sebagai dasar pertimbangan
dalam memilih apakah menggunakan model fixed effect atau menggunakan model
random effect. Hipotesis yang digunakan dalam pengujian ini yaitu:
H0 : model random effect
H1 : model fixed effect
Jika nilai Hausman test hasil pengujian lebih besar dari Chi square, maka
cukup bukti untuk menolak H0, artinya model yang dipilih adalah model fixed
effect, dan sebaliknya.
3. Uji LM
Uji LM (The Breush-Pagan LM Test) merupakan pengujian statistik yang
digunakan sebagai dasar pertimbangan statistik dalam memilih model random
effect dan pooled least square. Hipotesis dari pengujian ini yaitu:
H0 : model pooled square
H1 : model random effect
Dasar penolakan H0 yaitu dengan cara membandingkan antara nilai
statistik LM dengan nilai Chi-square. Apabila nilai LM hasil perhitungan lebih
besar dari tabel Chi-square, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan
terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah random effect, dan
sebaliknya.
Uji Kesesuaian Model
Model yang dianalisis membutuhkan pengujian terhadap hipotesishipotesis yang dilakukan. Pengujian hipotesis secara statistik bertujuan melihat
nyata atau tidaknya pengaruh peubah-peubah yang diteliti. Berikut adalah
langkah-langkah dan prosedur pengujian yang harus dilakukan:

16

a) Uji F (Uji untuk semua variabel)
Uji F bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh peubah bebas
terhadap peubah tidak bebas secara keseluruhan. Pengujian ini dilakukan dengan
cara membandingkan probabilitas nilai F statistik (p-value) dengan probabilitas
taraf nyata (α) yang digunakan. Analisa pengujian uji F adalah sebagai berikut:
1. Pengujian Hipotesis
Hipotesisnya adalah :
H0 = parameter model bernilai nol (β1 = β2 = β3 = βk = 0)
H1 = minimal ada satu nilai β yang tidak sama dengan nol.
2. Penentuan penerimaan atau penolakan H0
Apabila:
P-value > α, maka H0 diterima
P-value < α, maka H0 ditolak.
3. Apabila keputusan yang diperoleh adalah p-value < α dimana koefisien regresi
berada di luar daerah penerimaan H0, maka implikasinya tolak H0. Artinya
minimal ada salah satu dari variabel independen yang dapat memengaruhi
secara nyata terhadap variabel independennya. Apabila didapatkan p-value > α,
maka implikasinya terima H0 artinya variabel independen tidak berpengaruh
nyata terhadap variabel dependennya.
b) Uji t (Uji Parsial)
Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel independen secara
individu memiliki pengaruh yang signifikan terhadap varibel dependen. Hipotesis
yang digunakan adalah:
H0 = βi = 0
i= 1,2,3…..
H1 = βi ≠ 0
Apabila:
Probabilitas t-statistik (p-value) < taraf nyata, maka implikasinya tolak H0
Probabilitas t-statistik (p-value) > taraf nyata, maka implikasinya terima H0.
Apabila tolak H0, maka variabel independen berpengaruh nyata terhadap
variabel dependen. Sebaliknya, jika terima H0 maka variabel independen tidak
berpengaruh nyata terhadap variabel independen.
c) Uji Keberartian Model (Uji )
Uji
dilakukan untuk mengukur kebaikan (goodness of fit) dari garis
regresi. Pengujian ini digunakan untuk melihat sejauhmana variabel independen
mampu menjelaskan variabel dependen. Semakin besar nilai
(mendekati 1),
maka ketepatan dikatakan semakin baik (Gujarati, 1997). Lebih lanjut Gujarati
menjelaskan bahwa nilai selalu berada diantara 0 dan 1. Apabila
= 0, berarti
tidak ada hubungan antara variabel independen dan variabel dependen, atau model
regesi yang terbentuk tidak tepat untuk meramalkan variabel dependen. Apabila
= 1, garis regresi yang terbentuk dapat meramalkan variabel dependen secara
sempurna.
Pengujian Asumsi Klasik
a) Uji Autokolerasi
Autokorelasi mencerminkan adanya hubungan yang terjadi antara error
masa lalu dengan error saat ini yang dapat menyebabkan parameter menjadi bias
sehingga pendugaan parameter menjadi tidak efisien. Untuk mendeteksi ada
tidaknya autokorelasi adalah dengan melihat nilai dari Durbin-Watson (DW)

17

statistiknya yang dibandingkan dengan nilai dari tabel DW (Tabel 4). Berikut
merupakan kerangka identifikasi dalam menentukan ada tidaknya autokorelasi.
Tabel 4 Kerangka Identifikasi Autokorelasi
Nilai DW
Hasil
4-dl