Analisis Pengaruh Non-Tariff Measures terhadap Ekspor Komoditi Crude Palm Oil (CPO) Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor Utama

ANALISIS PENGARUH NON-TARIFF MEASURES TERHADAP
EKSPOR KOMODITI CRUDE PALM OIL (CPO) INDONESIA
KE NEGARA TUJUAN EKSPOR UTAMA

AYU RENITA SARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Pengaruh NonTariff Measures terhadap Ekspor Komoditi Crude Palm Oil (CPO) Indonesia ke
Negara Tujuan Ekspor Utama adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.


Bogor, Februari 2015
Ayu Renita Sari
NRP H151120231

RINGKASAN
AYU RENITA SARI. Analisis Pengaruh Non-Tariff Measures terhadap
Ekspor Komoditi Crude Palm Oil (CPO) Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor
Utama. Dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM dan LUKYTAWATI
ANGGRAENI.
Sejak berdirinya World Trade Organization (WTO) pada tahun 1995 dan
adanya liberalisasi dalam perdagangan, terjadi penurunan tarif bahkan sampai
dengan nol persen. Hal ini membuat negara-negara anggota melakukan
tindakan/kebijakan non tarif (non-tariff measures/NTM). Salah satu tujuannya
adalah sebagai proteksi pada produsen domestik dalam menghadapi persaingan
impor dengan produk asing. Penerapan NTM akan berdampak pada penurunan
ekspor negara-negara yang melakukan perdagangan. Sektor pertanian yang
memiliki keunggulan dan potensial di Indonesia khususnya subsektor perkebunan
adalah komoditi kelapa sawit yang kemudian diolah menjadi crude palm oil
(CPO).

Kelapa sawit dianggap sebagai tanaman penghasil minyak (CPO) yang
paling efisien dan sangat produktif dibandingkan dengan tanaman penghasil
minyak lainnya. Adanya ekspansi lahan secara besar-besaran dan muncul
kampanye negatif dari LSM (lembaga sosial masyarakat) lingkungan hidup
internasional yang menyoroti isu pelanggaran lingkungan dan isu produk yang
mengganggu kesehatan, kemudian diformulasikan menjadi suatu regulasi yang
sifatnya menghambat perdagangan. Selain itu dalam beberapa tahun belakangan
ini tren nilai ekspor CPO cenderung mengalami penurunan dan di beberapa negara
tujuan ekspor menunjukkan nilai yang negatif. Banyak negara terutama negara
maju yang memproteksi industri domestiknya dengan memberlakukan kebijakan
NTM yang dapat menghambat masuknya suatu produk ke negara tujuan ekspor.
Akibatnya, industri CPO terkena dampak dari implementasi NTM dan
akan kesulitan melakukan ekspansi atau mengalami penurunan daya saing jika
hambatan tersebut tidak dihilangkan.
Penelitian ini menyajikan gambaran mengenai arus perdagangan ekspor
komoditi CPO Indonesia dan implementasi NTM di negara tujuan ekspor
utamanya. Tujuan utama penelitian ini untuk menganalisis pengaruh NTM
terhadap arus perdagangan ekspor komoditi CPO Indonesia ke negara tujuan
ekspor utama. Analisis Revealed Comparative Advantage (RCA) digunakan untuk
mengestimasi daya saing CPO, pemberlakuan NTM dengan binary variable, serta

analisis ekonometrika digunakan untuk mengestimasi model gravity dengan data
panel. Data yang digunakan adalah data sekunder. Data panel yang digunakan
dalam penelitian ini merupakan time series tahunan 2003 – 2013 dan cross section
dua puluh negara tujuan ekspor utama CPO Indonesia. NTM yang akan diestimasi
pada penelitian ini dikhususkan pada sanitary and phytosanitary (SPS) dan
technical barriers to trade (TBT) serta instrumen trade remedy (antidumping,
subsidy, dan safeguard).
Hasil estimasi nilai RCA seluruhnya menunjukkan bahwa komoditi CPO
Indonesia ke negara tujuan ekspor utama memiliki keunggulan komparatif.
Indonesia sebagai salah satu penghasil hasil bumi terbesar dunia menjadi salah
satu pemasok utama dalam memenuhi kebutuhan mereka terhadap komoditi CPO.

Pemberlakuan NTM (incidence of NTM) masing-masing adalah sebanyak 34
kebijakan untuk SPS, 102 kebijakan untuk TBT, serta 4 kebijakan untuk trade
remedy. Kebijakan SPS yang banyak diberlakukan antara lain terkait dengan
labeling dan packaging yang berhubungan langsung dengan food safety
requirements, food additives, dan terkait certification. Kebijakan TBT yang
banyak diberlakukan antara lain berkaitan dengan food standard, labeling (terkait
informasi nutrisi), conformity assessment, dan quality requirements. Sementara itu
pada penerapan NTM jenis trade remedy yang banyak diberlakukan adalah

dumping. Negara tujuan ekspor yang paling banyak memberlakukan NTM untuk
komoditi CPO Indonesia adalah Amerika Serikat.
Hasil empiris menunjukkan bahwa secara keseluruhan NTM dari negaranegara tujuan ekspor utamanya menghambat arus perdagangan ekspor komoditi
CPO Indonesia, tetapi pengaruhnya tidak signifikan. Namun jika NTM
didisagregasi berdasarkan jenisnya berupa SPS, TBT dan trade remedy, hasilnya
menunjukkan bahwa peningkatan jumlah kebijakan SPS dan trade remedy tidak
menghambat arus ekspor komoditi CPO Indonesia, sedangkan peningkatan
jumlah kebijakan TBT akan menghambat arus ekspor komoditi CPO Indonesia.
Pemerintah harus lebih concern dengan kebijakan TBT yang lebih banyak
menghambat ekspor komoditi CPO Indonesia dengan memperhatikan standar dan
persyaratan teknis lainnya untuk meningkatkan ekspor komoditi CPO Indonesia.
Kata Kunci : ekspor, non-tariff measures (NTM), sanitary and phytosanitary
(SPS), trade barriers to trade (TBT), trade remedy, crude palm oil (CPO)

SUMMARY
AYU RENITA SARI. Analysis of Non-Tariff Measures on Export of
Indonesian Crude Palm Oil (CPO) to the Main Export Destinations. Supervised by
DEDI BUDIMAN HAKIM and LUKYTAWATI ANGGRAENI.
Since the establishment of the World Trade Organization (WTO) in 1995
and liberalization exist, a tariff has decline even up to zero percent. It makes the

member states shifted to non-tariff measures/NTM. The main purpose is to protect
the domestic producers in the face of import competition with foreign products.
The impact of NTM is reducing or losing the potential export trade between
countries. The agricultural sector which has advantages and potential in Indonesia
especially subsector of plantation is palm oil then processed into crude palm oil
(CPO).
Palm oil is considered as oil-producing plant called CPO which is the most
efficient and highly productive compared to other oil-producing plants. The largescale land expansion and the rise of negative campaigns from NGOs (nongovernment organizations) which focusing to the international environmental
issues and concern with health issues, are formulated into a regulation that
inhibiting trade. In recent years, trend shows that the export value of CPO tend to
decrease and in some export destinations indicates a negative value. Many
countries especially developed countries had protected their domestic industries
by imposing the NTM that could impede a product to entry the export destinations.
Consequently, the CPO industry affected by the implementation of NTM and
would be difficult to expand or lose the competitiveness if these barriers are not
removed.
This study provides an overview of the export trade flow of Indonesian
CPO and the implementation of NTM in the main export destinations. The main
objective of this study is to analyze the effect of NTM on export trade flow of
Indonesian CPO to the main export destinations. Analysis of Revealed

Comparative Advantage (RCA) is used to estimate the competitiveness of CPO,
the incidence of NTM with binary variables, also the econometric analysis is used
to estimate gravity models with panel data. The data used is secondary data. Panel
data used in this study is an annual time series 2003 - 2013 and the cross section
of twenty major export destinations of Indonesia's CPO. NTM that have to be
estimated in this study is devoted to the sanitary and phytosanitary (SPS) and
technical barriers to trade (TBT) also trade remedy instruments (anti-dumping,
subsidy, and safeguard).
The estimation results show that the entirely value RCA of Indonesian
CPO to main export destination countries have a comparative advantage.
Indonesia as one of the world's largest producer of agricultural products is also
one of the major suppliers to meet their needs for CPO. In calculating the
imposition of NTM (incidence of NTM) found that there are 34 measures for SPS,
102 measures for TBT, and 4 measures for trade remedy. SPS measures that
enforced are related to labeling and packaging in direct contact with food safety
requirements, food additives, and certification. TBT measures that enforced are
related to food standards, labeling (information related to nutrition), conformity
assessment, and quality requirements. Meanwhile, trade remedy that mostly

imposed is dumping. The most imposing export destination country of NTM for

Indonesian CPO is the United States.
The empirical results show that the overall NTM of main export
destination countries impede the export trade flow of Indonesian CPO, but the
effect is not significant. However, if NTM are disaggregated into SPS, TBT and
trade remedy, the results showed that the increase in SPS measures and trade
remedy did not impede the export trade flow of Indonesian CPO, while the
increase in TBT measures would impede the export trade flow of Indonesian CPO.
The government should be more concerned with policy TBT measures which
more impede Indonesian CPO exports by focusing to the standards and other
technical requirements to improve and expand the export of Indonesian CPO.
Keywords: export, non-tariff measures (NTM), sanitary and phytosanitary (SPS),
trade barriers to trade (TBT), trade remedy, crude palm oil (CPO)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS PENGARUH NON-TARIFF MEASURES TERHADAP
EKSPOR KOMODITI CRUDE PALM OIL (CPO) INDONESIA
KE NEGARA TUJUAN EKSPOR UTAMA

AYU RENITA SARI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc.Agr

Judul Tesis : Analisis Pengaruh Non-Tariff Measures terhadap Ekspor Komoditi
Crude Palm Oil (CPO) Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor Utama
Nama
: Ayu Renita Sari
NIM
: H151120231

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Dedi Budiman Hakim, M.Ec
Ketua

Dr Lukytawati Anggraeni, SP, M.Si
Anggota

Diketahui oleh


Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir R. Nunung Nuryartono, M.Si

Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr

Tanggal Ujian: 28 Januari 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini adalah kebijakan perdagangan internasional dengan
judul Analisis Pengaruh Non-Tariff Measures terhadap Ekspor Komoditi Crude
Palm Oil (CPO) Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor Utama, dan disusun sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu

Ekonomi Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
pelaksanaan penelitian ini. Apresiasi dan ucapan terima kasih penulis sampaikan
secara khusus kepada:
1. Dr Ir Dedi Budiman Hakim, M.Ec selaku ketua komisi pembimbing dan Dr
Lukytawati Anggraeni, SP, M.Si selaku anggota komisi pembimbing, yang
telah meluangkan waktu dan kesabaran untuk memberikan bimbingan, arahan,
dan masukan yang bermanfaat dalam penyusunan tesis ini.
2. Dr Ir Yeti Lis Purnamadewi, MSc.Agr sebagai penguji utama dan Dr Ir Wiwiek
Rindayati, M.Si sebagai penguji dari Komisi Akademik yang telah memberikan
masukan untuk kesempurnaan thesis ini.
3. Dr Ir Nunung Nuryartoro, M.Si selaku Ketua Program Studi beserta
jajarannya selaku pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi SPs IPB dan semua
dosen yang telah mengajar penulis.
4. Dr Ir Sri Mulatsih, MSc.Agr sebagai Pimpinan Redaksi Jurnal Ekonomi dan
Kebijakan Pembangunan, Departemen Ilmu Ekonomi FEM.
5. Biro Organisasi dan Kepegawaian (Roganpeg) Kementerian Perdagangan
Republik Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi
di Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB.
6. Bapak Oke Nurwan, Bapak Donny Tamtama, Bapak Sugih Rahmansyah, dan
rekan-rekan di Direktorat Pengamanan Perdagangan Kementerian
Perdagangan Republik Indonesia yang telah memberikan saran dan masukan
yang bermanfaat dalam penyusunan tesis ini.
7. Teman-teman kuliah kelas khusus IPB-Kemendag Batch-1 atas segala
bantuannya selama penulis menyelesaikan pendidikan di IPB.
8. Orang tua dan keluarga besar penulis yang senantiasa mendoakan sehingga
penulis mampu menyelesaikan pendidikan ini. Kepada suami tercinta Reiza
Nova Pratama dan anak tercinta Marqueezava Rafaelo Alfathian Gaffar atas
segala doa, kasih sayang, dukungan, dan kesabaran yang telah diberikan.
Besar harapan penulis bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi dalam
proses pembangunan dan bermanfaat untuk pengembangan penelitian di masa
mendatang.
Bogor, Februari 2015
Ayu Renita Sari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori dan Konsep
Tinjauan Empiris
Kerangka Pemikiran Penelitian
Hipotesis Penelitian
3 METODE
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis
Analisis Revealed Comparative Advantage (RCA)
Binary Variable
Analisis Data Panel Model Gravity
Spesifikasi Model
Definisi Operasional
4 GAMBARAN UMUM
Perdagangan Komoditi CPO Indonesia
Identifikasi Tingkat Daya Saing CPO Indonesia
Non-Tariff Measures pada Komoditi CPO Indonesia
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian Data Panel Model Gravity
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Arus Perdagangan Ekspor CPO
Indonesia
Dampak Non-Tariff Measures terhadap Arus Perdagangan Ekspor CPO
Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor Utama
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Implikasi Kebijakan
Saran Penelitian Lanjutan

1
1
6
9
9
9
10
10
19
20
21
22
22
22
23
23
24
31
33
34
34
37
40
45
45

DAFTAR PUSTAKA

61

LAMPIRAN

66

RIWAYAT HIDUP

72

46
50
59
59
59
60

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

Negara-negara Tujuan Ekspor Utama Komoditi CPO Indonesia
Klasifikasi Non-Tariff Measures UNCTAD
Jenis dan Sumber Data yang Digunakan
Hasil Nilai RCA Komoditi CPO Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor
Utamanya
5 Non-Tariff Measures yang Diberlakukan pada Komoditi CPO Indonesia
di Negara Tujuan Ekspor Utamanya Tahun 2003-2013
6 Hasil Estimasi Dampak Non-Tariff Measures (koefisien parameter
dengan GLS) Periode 2003-2013

5
14
22
38
43
47

DAFTAR GAMBAR
1 Nilai Ekspor Terbesar Sepuluh Kelompok Hasil Industri Periode 20072011
2 Ekspor Komoditi CPO Indonesia dan Turunannya ke Dunia
3 Perbandingan Tarif dan Ad Valorem Equivalents dari non-tariff
measures yang Dikenakan terhadap Negara Pengekspor
4 Kurva Perdagangan Internasional
5 Dampak Kebijakan Pembatasan Impor terhadap Welfare
6 Klasifikasi Non-Tariff Measures berupa Core dan Non Core Measures
7 Klasifikasi Baru Non-Tariff Measures
8 Kerangka Pemikiran
9 Neraca Perdagangan Sektor Pertanian Periode 2008-2013
10 Neraca Perdagangan Sub Sektor Perkebunan Periode 2008-2013
11 Neraca Perdagangan Komoditi CPO Indonesia Periode 2008-2013

2
4
4
9
13
15
15
21
34
35
36

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil Estimasi
2 Uji Asumsi Dasar
3 Penerapan Non-Tariff Measures terhadap Komoditi CPO Indonesia
Tahun 2003-2013 oleh Negara Tujuan Ekspor Utamanya

67
68
70

1

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Liberalisasi perdagangan akan meningkatkan efisiensi penggunaan
sumberdaya domestik dan meningkatkan akses pasar ke negara lain, sehingga
suatu negara akan berusaha membuka dirinya terhadap perdagangan dengan
negara lainnya (Stephenson 1994). Selain itu, perdagangan dapat memberikan
keuntungan bagi negara-negara yang terlibat didalamnya karena negara tersebut
akan berspesialisasi untuk menghasilkan komoditi secara efisien (Salvatore 1997).
Liberalisasi melalui rangkaian kerjasama bilateral, regional maupun multilateral
merupakan kondisi yang tidak dapat dihindari lagi. Tingginya kuantitas perjanjian
liberalisasi memberikan indikasi setiap negara sangat tergantung dengan negara
tetangganya baik di tingkat bilateral, regional maupun multilateral. Liberalisasi ini
harus dilakukan Indonesia jika ingin terlibat dalam lingkup perdagangan
internasional. Hal ini menyebabkan integrasi perdagangan global dengan
ketahanan ekonomi nasional menjadi salah satu pokok strategis pembangunan
perdagangan (Departemen Perdagangan 2010).
Perdagangan antar negara-negara di dunia yang semula menyepakati
mengenai sistem tarif dalam sistem perdagangan internasional yang diwujudkan
dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) pada tahun 1947
menemukan perumusan yang lebih kompleks seiring dengan perkembangan
jaman. Pada tahun 1995 dalam Putaran Uruguay (Uruguay Round) yang
membahas mengenai implementasi praktek perdagangan dunia, para negara yang
tergabung dalam kesepakatan GATT menyepakati berdirinya suatu organisasi
yaitu World Trade Organization (WTO) yang akan mewadahi negara anggotanya
dalam menghadapi berbagai tantangan yang dihadapi dalam lingkup perdagangan
internasional.
Sejak berdirinya World Trade Organization (WTO) pada tahun 1995,
kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan di dalam forum tersebut telah
menyebabkan turunnya hambatan tarif diantara negara-negara anggota WTO
secara signifikan. Negara-negara anggota WTO sepakat untuk menurunkan bea
masuk terhadap produk-produk impor yang masuk ke negara mereka bahkan
sampai dengan nol persen.Namun demikian, penurunan bea masuk ini ternyata
tidak serta merta menghilangkan hambatan dalam perdagangan dan memberikan
kelancaran arus barang di antara negara-negara tersebut. Hal ini disebabkan
masing-masing negara anggota WTO masih berupaya melindungi pasar dalam
negerinya dan menghindari persaingan dengan produk impor. Upaya perlindungan
tersebut diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan banyak diantaranya justru
menjadi hambatan perdagangan baru (Kementerian Perdagangan 2013).
Dalam pengertian luas, hambatan perdagangan dapat diartikan sebagai
suatu bentuk tindakan (measure) yang mempengaruhi dan membatasi aliran bebas
barang dan jasa di dalam perdagangan internasional. Dalam pengertian yang lebih
sempit, hambatan perdagangan merupakan suatu bentuk tindakan (measure) yang
diterapkan oleh suatu negara atau organisasi publik yang tidak sesuai dengan
aturan-aturan internasional. Dalam praktek perdagangan internasional, terdapat
berbagai hambatan dalam perdagangan yang dapat dibagi menjadi dua kelompok,
hambatan tarif dan hambatan non tarif. Namun karena adanya batasan tarif yang

2

diberlakukan dalam perdagangan, membuat negara untuk melakukan
tindakan/kebijakan non tarif. Salah satu tujuan dari kebijakan non tarif atau nontarif measures (NTM) adalah sebagai proteksi pada produsen domestik dalam
menghadapi persaingan impor dengan produk asing.
Penerapan non-tarif measures akan berdampak pada penurunan ekspor
negara-negara yang melakukan perdagangan, sehingga akan mengurangi volume
perdagangan serta akan menimbulkan potensial ekspor yang hilang. Penggunaan
non-tarif measures oleh negara-negara di dunia meningkat tajam seiring dengan
banyaknya kerjasama ekonomi di bidang liberalisasi tarif. Menurut International
Trade Centre/ITC (2013) menyatakan bahwanon-tarif measures mendapat
perhatian khusus dari eksportir dan importir di negara berkembang. Hal ini
disebabkan non-tarif measures merupakan hambatan utama dalam perdagangan
internasional dan dapat mencegah akses pasar. Sebagai perusahaan eksportir
penting untuk mencari akses ke pasar luar negeri, dan sebagai perusahaan importir
produk penting juga mematuhi berbagai persyaratan dalam perdagangan termasuk
regulasi teknis, standar produk, dan prosedur kepabeanan.
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi pembentukan WTO melalui UU
No. 7 tahun 1994. Dalam ratifikasi ini, Indonesia memiliki kewajiban untuk
memenuhi semua perjanjian yang terkandung di dalamnya, termasuk Perjanjian
Pertanian atau Agreement on Agriculture (AoA) yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari dokumen WTO. Perjanjian pertanian yang dibentuk oleh
WTO ini semakin menunjukkan fokus dunia terhadap sektor pertanian. Karena
sifatnya yang strategis, sejak awal sektor pertanian telah menjadi perhatian utama
dalam negosiasi perdagangan WTO (Departemen Luar Negeri 2003).
Perdagangan pertanian yang banyak dilakukan oleh negara baik ekspor maupun
impor, mengharuskan setiap negara mempunyai daya saing dan proteksi pada
sektor pertanian.
Indonesia mempunyai keunggulan dan potensi sebagai negara agraris
dengan banyaknya masyarakat yang bekerja pada sektor pertanian. Sektor
pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian
di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik
Bruto (PDB) yang cukup besar yaitu sekitar 14.43% pada tahun 2013 dan
menempati urutan kedua setelah sektor industri pengolahan (industri non migas)
(BPS 2014). Pada saat krisis ekonomi, sektor pertanian merupakan sektor yang
cukup kuat menghadapi goncangan ekonomi dan ternyata dapat diandalkan dalam
pemulihan perekonomian nasional.

Sumber: Kementerian Perindustrian RI, 2014
Gambar 1 Nilai Ekspor Terbesar Sepuluh Kelompok Hasil Industri Periode 20072011

3

Sektor pertanian yang menjadi keunggulan Indonesia adalah subsektor
perkebunan. Kontribusi subsektor perkebunan terhadap pembentukan Produk
Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian yaitu sebesar 1.93% pada tahun 2013 atau
merupakan urutan ketiga di sektor pertanian setelah sub sektor tanaman bahan
makanan dan perikanan (BPS 2014). Selain itu subsektor perkebunan juga
merupakan penyedia bahan baku bagi sektor industri, penyerap tenaga kerja dan
penghasil devisa. Salah satu komoditi produk pertanian yang berasal dari sub
sektor perkebunan adalah kelapa sawit.
Buah kelapa sawit terdiri dari daging dan biji. Daging kelapa sawit akan
diolah menjadi minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO),
sedangkan bijinya akan diolah menjadi minyak inti sawit atau palm kernel oil
(PKO). Pengolahan tersebut dilakukan dalam beberapa tahap yaitu penimbangan,
sortasi, pengumpulan buah, perebusan (sterilisasi), penebahan, pelumatan,
penempaan, pengutipan minyak, pemurnian minyak dan penyimpanan minyak
mentah berupa CPO. Oleh karena itu, CPO termasuk ke dalam produk pengolahan
kelapa sawit. Selama bertahun-tahun, produksi minyak sawit global dan rantai
pasokan telah dikembangkan, memasok minyak sawit dan turunannya ke berbagai
industri dan konsumen (van Gelder 2004). Terdapat peningkatan permintaan
secara signifikan dari waktu ke waktu, jumlah besar minyak sawit dikonsumsi di
seluruh dunia, didistribusikan di seluruh dunia untuk berbagai produsen sebagai
bahan untuk produk konsumen yang tak terhitung jumlahnya, seperti produk
makanan, deterjen dan kosmetik, bahan kimia serta pakan ternak.
CPO merupakan salah satu komoditi hasil perkebunan yang mempunyai
peran cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia dan merupakan
salah satu komoditi ekspor Indonesia yang cukup penting sebagai penghasil
devisa negara di luar minyak dan gas. Selain itu, peranannya membantu
perekonomian Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun dilihat dari
perkembangan ekspor minyak sawit. Pada produksi perkebunan besar di Indonesia
menurut jenis tanaman, minyak sawit menempati urutan pertama yaitu sebesar 15
420.67 ton pada tahun 2012, diikuti dengan biji sawit, gula tebu dan karet kering
(BPS 2014). Saat ini Indonesia merupakan negara produsen sekaligus eksportir
CPO terbesar di dunia (USDA 2013).
Pengembangan CPO berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi
yang ditunjukkan oleh perkembangan investasi, output dan devisa. Industri
berbasis kelapa sawit berkontribusi signifikan terhadap kesejahteraan dalam hal
pendapatan dan aset. Sekitar Rp 5 juta – 11 juta atau lebih dari 63% pendapatan
rumah tangga berasal dari usaha kelapa sawit. Peran dalam pengentasan
kemiskinan tercermin dari jumlah penduduk miskin yang kurang dari 10% dari
masyarakat yang mengusahakan kepala sawit (Susila 2004a; Oladipo 2008; World
Growth 2009). Sektor ini juga berperan dalam menyediakan kesempatan kerja
lebih dari 3.5 juta orang, menghasilkan devisa, menyediakan bahan baku
kebutuhan industri minyak goreng nasional (sekitar 5 juta ton) (GAPKI 2010).

Nilai dalam ribu US $

4

20.000.000,00
18.000.000,00
16.000.000,00
14.000.000,00
12.000.000,00
10.000.000,00
8.000.000,00
6.000.000,00
4.000.000,00
2.000.000,00
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Sumber: UN COMTRADE, 2014
Gambar 2 Ekspor Komoditi CPO Indonesia dan Turunannya ke Dunia
Pada Gambar 2 dapat diketahui bahwa nilai ekspor CPO Indonesia ratarata mengalami kenaikan setiap tahunnya, namun pada tahun 2009 dan 2013
mengalami penurunan. Menurut data Kementerian Pertanian, sepanjang tahun
2013 ini terjadi penurunan harga CPO yang disebabkan menurunnya permintaan
secara global akibat dari melambatnya pertumbuhan ekonomi di beberapa negara,
penurunan nilai tukar dan adanya beberapa kebijakan baru yang berpotensi
menghambat di negara tujuan ekspor.

Sumber: International Trade Centre, 2012
Gambar 3 Perbandingan Tarif dan Ad Valorem Equivalents dari non-tariff
measures yang Dikenakan terhadap Negara Pengekspor
Gambar 3 menunjukkan bahwa penerapan non-tariff measures lebih
banyak diterapkan pada sektor pertanian daripada sektor manufaktur, baik di
negara-negara high income, middle income maupun low income. Dari World
Trade Report (2012) diperoleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa
technical barriers to trade dan sanitary and phytosanitary measures berdampak
positif terhadap perdagangan bagi sektor yang berteknologi tinggi tetapi

5

berdampak negatif terhadap sektor pertanian. Dalam beberapa tahun terakhir
komoditi CPO Indonesia mendapatkan perlakuan yang diskriminatif dari beberapa
negara maju yang berdampak merugikan kepentingan Indonesia. Pangsa pasar
terbesar komoditi kelapa sawit Indonesia adalah di India, Uni Eropa dan Cina.
Tabel 1 Negara-negara Tujuan Ekspor Utama Komoditi CPO Indonesia
(Nilai dalam
US$)
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

Negara
tujuan
ekspor
India
Uni Eropa
Cina
Malaysia
Singapura
Banglades
Pakistan
Mesir
Ukraina
Iran
Rusia
Myanmar
Afrika Selatan
Turki
Vietnam
Tanzania
Arab Saudi
Brazil
Jordania
Amerika
Serikat
Sri Lanka

ribu

2009

2010

2011

2012

2013

3,339,967
1,861,006
1,628,648
719,443
392,602
527,923
139,938
325,373
199,660
141,327
24,820
77,921
88,245
40,836
129,306
77,614
152,671
61,894
25,767

4,340,215
2,171,735
1,866,513
1,210,757
565,577
626,734
81,160
409,238
300,103
277,439
201,496
129,303
147,033
49,005
160,477
95,050
27,659
128,330
12,253

5,256,449
2,154,473
2,109,518
1,602,954
782,521
885,753
296,846
841,271
338,750
326,556
321,656
147,148
166,857
81,022
160,808
259,675
63,856
177,676
5,709

4,838,414
2,372,884
2,599,993
1,320,836
905,281
706,137
714,274
462,601
346,489
191,035
303,164
112,360
194,833
208,628
130,423
180,043
212,494
147,521
16,263

4,281,590
2,577,549
1,794,127
372,765
650,147
501,770
814,450
563,799
443,265
251,454
306,570
252,329
183,971
215,288
74,034
125,065
185,164
148,092
11,990

Trend
(%)
20092013
6.24
7.68
5.39
-11.56
15.94
0.18
76.78
13.00
18.99
8.10
72.22
24.73
19.13
61.18
-12.39
17.27
27.44
20.73
-11.72

Trend
(%)
20112013
-9.75
9.38
-7.78
-51.78
-8.85
-24.73
65.64
-18.14
14.39
-12.25
-2.37
30.95
5.00
63.01
-32.15
-30.60
70.29
-8.70
44.92

Trend
(%)
20122013
-11.51
8.63
-30.99
-71.78
-28.18
-28.94
14.02
21.88
27.93
31.63
1.12
124.57
-5.58
3.19
-43.24
-30.54
-12.86
0.39
-26.27

67,265

32,899

33,015

38,548

297,440

36.77

200.15

671.61

3,673

9,707

29,622

10,624

23,092

45.75

-11.71

117.36

Sumber: TRADE MAP, diolah 2014
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa data yang diperoleh dari trademap
tercatat nilai ekspor komoditi kelapa sawit Indonesia ke India pada tahun 2013
mencapai nilai US$ 4.2 milyar atau merupakan negara tujuan utama ekspor
pertama, kemudian diikuti oleh Uni Eropa, Cina, Malaysia, dan negara tujuan
ekspor lainnya. Tren nilai ekspor dari beberapa tahun belakangan ini cenderung
mengalami penurunan dan di beberapa negara tujuan ekspor menunjukkan nilai
yang negatif. Salah satu penyebabnya yaitu saat ini banyak negara terutama
negara maju yang memproteksi industri domestiknya dengan memberlakukan
kebijakan atau regulasi non-tariff measures yang berpeluang untuk menjadi nontariff barrier yang dapat menghambat masuknya suatu produk ke negara tujuan
ekspor. Oleh karena itu, upaya menembus pasar ekspor CPO pun masih
mengalami hambatan dari negara tujuan ekspornya. Hal ini perlu dicermati karena
komoditi CPO dan industri turunannya sangat potensial untuk terus tumbuh dan
memiliki keunggulan komparatif bila dibandingkan dengan komoditas minyak
nabati sejenis yang tidak hanya digunakan untuk bahan pangan tetapi juga untuk
bahan bakar ramah lingkungan.
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia
(GAPKI) Fadhil Hasan menjelaskan perdagangan komoditi ekspor ini
menghadapi berbagai hambatan di beberapa negara tujuan ekspor, terutama
dikaitkan dengan isu lingkungan, kesehatan dan HAM. Salah satunya yang sampai
saat ini masih terus menjadi isu terhangat adalah dari Uni Eropa yang berpotensi

6

sangat merugikan kepentingan perdagangan Indonesia. Akibatnya, industri CPO
akan kesulitan melakukan ekspansi dan atau mengalami penurunan daya saing
jika hambatan tersebut tidak dihilangkan. Hambatan CPO Indonesia antara lain
yaitu kampanye negatif, tarif antidumping terhadap biodiesel di Eropa, pelabelan
makanan di Eropa, dan rencana tarif bea masuk khusus seperti yang diterapkan
Perancis tahun 2013. Pemerintah harus fokus menghadapi hal ini karena seluruh
negara Eropa menjadi tujuan ekspor CPO terbesar kedua Indonesia setelah India1.
Tema kampanye anti-sawit yang semakin diperkuat dengan adanya
tekanan yang diberikan kepada pelaku industri CPO, masih dikaitkan dengan isu
perubahan iklim maupun kerusakan lingkungan secara umum. Hambatan tersebut
semakin terstruktur dan sistematis, baik berupa regulasi atau kebijakan yang
bersifat non-tariff measures dan mengarah pada technical barrier to trade (TBT),
sanitary and phytosanitary (SPS), serta trade remedy (antidumping, subsidy, dan
safeguard) maupun bersifat praktis melalui upaya penggalangan opini negatif
terhadap peredaran dan penggunaannya. Hambatan-hambatan tersebut dibuat
dengan berbagai alasan yang seringkali tidak berdasar bahkan terlihat sangat
protektif dan diskriminatif terutama terhadap produk pesaing lokal (rapeseeds,
sunflower, dan sebagainya). Rangkaian kampanye anti-sawit ini akan semakin
sistematik yang tidak saja dilakukan oleh Non Government Organization (NGO)
saja melainkan oleh group consumer tertentu dan beberapa negara di Uni Eropa
serta diikuti juga oleh Amerika Serikat. Adanya peningkatan pemberlakukan
standar baru dalam perdagangan CPO dan penerapan aturan yang berbentuk nontariff measures kemudian dapat berpeluang menjadi non-tariff barrier.
Perumusan Masalah
Cikal bakal kelapa sawit di Indonesia dimulai pada tahun 1848 saat empat
bibit dibawa dari Afrika ke Kebun Raya Bogor kemudian dipindahkan ke
Deli/Sumatera dan dikembangkan tahun 1911 oleh pedagang Belanda. Terjadi
ekspansi besar-besaran perkebunan kelapa sawit di Indonesia dilakukan pada
masa pemerintahan Presiden Suharto tahun 1990-an, perluasan perkebunan kelapa
sawit ini berlanjut hingga pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Rencana Pembangunan Nasional Tahunan disusun berdasarkan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM/2010-2014) yang fokus
sektoral tahunannya disesuaikan dengan rencana besar pemerintah dalam bidang
pertanian, yaitu kelapa sawit2.
Kelapa sawit dianggap sebagai tanaman penghasil minyak (CPO) yang
paling efisien dan sangat produktif dibandingkan dengan tanaman penghasil
minyak lainnya. Menurut Hai (2004), kelapa sawit hanya membutuhkan 0.3 ha
untuk menghasilkan 1 ton minyak sementara kedelai, bunga matahari dan
rapeseed membutuhkan 2.17 ha, 1.52 ha dan 0.75 ha untuk menghasilkan jumlah
yang sama. Kelapa sawit menghasilkan tujuh kali hasil minyak per hektar lebih
tinggi dari kedelai, lima kali lebih tinggi dari bunga matahari dan 2.5 kali lebih
1
[GAPKI] Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia. 2014. Diplomasi Kelapa Sawit [Internet]. Kompas 14 Februari
2014; [diunduh 6 Mei 2014]. Tersedia pada: http://www.gapki.or.id/Page/NewsDetail?guid=8f33e88c-f7f5-49b2-ab468de6f349cb59
2

Prasaja H. 2010. Kebijakan Pangan: Menyempitnya Lahan Pangan Dan Dilema Perluasan Perkebunan Sawit Besar
[Internet]. Serikat Petani Indonesia, 10 Desember 2010; [diunduh 2 September 2013]. Tersedia pada:
http://www.spi.or.id/?p=3047

7

tinggi dari rapeseed. Dengan keunggulan komparatif ini, CPO juga sedang
dipromosikan sebagai salah satu masukan penting untuk produksi biodiesel, dan
dengan demikian merupakan sumber energi alternatif untuk bahan bakar fosil (Hai
2004).
Di dalam Masterplan Perluasan dan Pengembangan Ekonomi Indonesia
(MP3EI), pemerintah mengatakan telah menyusun rencana pembangunan jangka
panjang industri CPO Indonesia yang memfokuskan pembangunan di empat
wilayah: Dumai, Sei Mangkai, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur. Empat
wilayah ini akan menjadi backbone industri perkebunan CPO dan produk
turunannya. Di wilayah-wilayah itu akan dibangun pelabuhan-pelabuhan yang
dibutuhkan agar CPO yang telah diolah dapat terjaga kualitasnya. Disisi lain,
dunia usaha menyambut pesan Presiden RI agar Menteri Perdagangan
memperhatikan CPOsebagai tulang punggung ekspor, sehingga diplomasi dan
kampanye positif untuk memperluas ekspor CPO perlu diperkuat. Menjelang
tahun 2015 seluruh negara anggota Eropa telah menyatakan hanya akan menerima
CPO yang memiliki sertifikasi sustainable dan pasar CPO di Cina diprediksi
mengecil seiring dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi Cina3.
Crude palm oil (CPO) merupakan komoditas yang mempunyai nilai
strategis. Salah satunya karena CPO merupakan bahan baku pembuatan minyak
makan, sementara minyak makan merupakan salah satu dari sembilan kebutuhan
pokok bangsa Indonesia. Permintaan pada minyak makan di dalam dan di luar
negeri yang kuat dan terus meningkat merupakan indikasi pentingnya peranan
komoditas CPO dalam perekonomian bangsa. Kebutuhan minyak nabati dan
lemak dunia juga terus meningkat sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk dan
peningkatan pendapatan domestik bruto, agar kebutuhan tersebut terpenuhi maka
pemerintah mendorong peningkatan pengusahaan kebun kelapa sawit (Pahan
2008). Industri CPO menjadi salah satu tulang punggung perekonomian
Indonesia, dimana sekitar 4.5% GDP Indonesia pada 2012 berasal dari komoditas
ini. Dengan permintaan global dan domestik yang terus meningkat yang
ditunjukkan dengan tren kenaikan permintaan CPO untuk bahan bakar nabati
selain fungsi tradisionalnya untuk bahan pangan, sehingga diperlukan praktik
agribisnis yang berkelanjutan4.
Namun, akibat adanya ekspansi besar-besaran tersebut kemudian muncul
kampanye negatif dari LSM (lembaga sosial masyarakat) lingkungan hidup
internasional, yang menyoroti isu pelanggaran lingkungan. Pada tahun 1990-an
lalu CPO juga diterpa oleh isu produk yang mengganggu kesehatan karena diduga
mengandung lemak jenuh dan kolesterol tinggi. Menurut GAPKI (2010) para
LSM tersebut tak sadar telah ditunggangi oleh para produsen minyak nabati
pesaing minyak sawit seperti minyak bunga matahari, minyak kedelai, rapeseed
oil, dan sebagainya yang khawatir karena kelapa sawit lebih efisien. Produkproduk minyak nabati pesaing kelapa sawit tak mampu berkompetisi dengan
produk minyak sawit. Pada tahun 2010 volume perdagangan CPO di dunia
mencapai 34% dari volume dunia, padahal di era tahun 1990-an pasarnya hanya
3
Wisnu D. 2013. Tugas Besar Sawit Indonesia [Internet]. Koran SINDO, 4 Desember 2013; [diunduh 20 Desember 2013].
Tersedia pada: http://economy.okezone.com/read/2013/12/04/279/906917/tugas-besar-sawit-indonesia
4
Ruzuar A. 2014. ICOPE 2014: Konferensi Internasional Pengelolaan Sawit Bertanggung Jawab [Internet]. WWF;
[diunduh 26 November 2013]. Tersedia pada: http://www.wwf.or.id/?31242/ICOPE-2014-Konferensi-InternasionalPengelolaan-Sawit-Bertanggung-Jawab

8

10%. Pangsa produksi kelapa sawit telah mencapai 34% di seluruh dunia,
sementara soyabean (minyak kedelai) 30.1% selebihnya untuk produk minyak
nabati lainnya seperti sunflower, cotton, rapeseed oil, groundnut, coconut, casto,
dan sesame. Sedangkan dari sisi areal, luas area lahan CPO hanya 4.5%
sedangkan soybean 40.5%.
Dengan adanya ekspansi besar-besaran dan munculnya kampanye negatif
tersebut maka diformulasikan menjadi suatu regulasi yang sifatnya menghambat
perdagangan. Selain itu dalam beberapa tahun belakangan ini tren nilai ekspor
CPO cenderung mengalami penurunan dan di beberapa negara tujuan ekspor
menunjukkan nilai yang negatif. Banyak negara terutama negara maju yang
memproteksi industri domestiknya dengan memberlakukan kebijakan atau
regulasi non-tariff measures yang berpeluang untuk menjadi non-tariff barrier
yang dapat menghambat masuknya suatu produk ke negara tujuan ekspor. Oleh
karena itu, upaya menembus pasar ekspor CPO pun masih mengalami hambatan
dari negara tujuan ekspor khususnya non-tariff measures yang berpotensi akan
merugikan kepentingan perdagangan Indonesia. Akibatnya, industri CPO
akan kesulitan melakukan ekspansi dan atau mengalami penurunan daya saing
jika hambatan tersebut tidak dihilangkan.
Penggunaan jenis non-tariff measures seperti technical barriers to trade
(TBT) dan sanitary and phitosanitary (SPS) memiliki dampak perdagangan yang
paling banyak diakui ataupun diterapkan oleh negara-negara maju. United Nations
Conference on Trade Development/UNCTAD (2013) mengemukakan bahwa TBT
dan SPS paling banyak diberlakukan oleh seluruh negara di dunia. Bentuk
penerapan hambatan perdagangan lainnya yang dipergunakan oleh negara-negara
WTO dalam rangka melindungi industri dalam negerinya adalah instrumen trade
remedy berupa antidumping, subsidy dan tindakan safeguard. Langkah ini dinilai
perlu dilakukan sebagai upaya strategi penyesuaian harga ekspor suatu barang
sesuai dengan harga normal di dalam negeri, serta melakukan tindakan
pengamanan untuk mencegah ancaman kerugian serius industri di dalam negeri.
Penerapan
instrumen
trade
remedy
menjadi
salah
satu
obat
penyembuhan/pemulihan terhadap industri dalam negeri yang mengalami
kemunduran sebagai akibat dari kekalahan dalam persaingan dagang dengan para
kompetiter dari negara-negara pengekspor yang diantaranya disebabkan oleh
praktek penjualan harga produk dibawah harga di dalam negeri (dumping),
penjualan produk yang mengandung subsidi dari pemerintahnya (subsidy), serta
melonjaknya produk impor di dalam negeri (safeguard) (Barutu 2007).
Hambatan-hambatan yang diterapkan oleh negara-negara tujuan ekspor
produk CPO mengharuskan Indonesia sebagai negara pengekspor memperhatikan
persyaratan yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, dampak dari non-tariff
measures pada komoditi CPO menjadi penting dan memberikan ruang bagi
peneliti untuk mengkaji lebih lanjut terkait permasalahan berikut ini:
1. Bagaimana daya saing komoditi CPO Indonesia terhadap negaranegara tujuan ekspor utamanya?
2. Bagaimana pemberlakuan non-tariff measures terhadap komoditi CPO
di negara-negara tujuan ekspor utamanya?
3. Bagaimana dampak pemberlakuan non-tariff measures terhadap
kinerja ekspor komoditi CPO dan produk turunannya?

9

Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan pada uraian sebelumnya, tujuan yang
ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Menganalisis daya saing komoditi CPO Indonesia terhadap negaranegara tujuan ekspor utamanya.
2. Menganalisis pemberlakuan non-tariff measures terhadap komoditi
CPO di negara-negara tujuan ekspor utamanya.
3. Menganalisis dan mengestimasi dampak pemberlakuan non-tariff
measures terhadap ekspor komoditi CPO dan produk turunannya.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini antara lain yaitu:
1. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan
atau pertimbangan dalam pembuatan strategi pengembangan industri
CPO nasional dan kebijakan perdagangan dalam bentuk non-tariff
measures.
2. Bagi perusahaan, penelitian ini diharapkan bisa menjadi masukan dan
pertimbangan dalam menentukan strategi kebijakan perusahaan dalam
pengembangan industri CPO.
3. Penelitian ini juga diharapkan sebagai referensi bagi penelitian
berikutnya.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dari penelitian ini yaitu daya saing dan arus ekspor
perdagangan Indonesia dengan 20 (dua puluh) negara mitra dagang tujuan ekspor
utamanya yaitu India, Uni Eropa, Cina, Malaysia, Singapura, Banglades, Pakistan,
Mesir, Ukraina, Rusia, Myanmar, Afrika Selatan, Turki, Vietnam, Tanzania, Arab
Saudi, Brazil, Jordania, Amerika Serikat dan Srilanka. Iran dikecualikan karena
belum masuk menjadi anggota WTO. Pada penelitian ini dikhususkan pada
komoditi CPO dengan kode HS 1511 (4 digit). Periode waktu yang akan
digunakan adalah tahun 2003-2013, karena CPO dinilai memiliki kinerja yang
paling baik dan pangsa pasarnya terus meningkat dari sekitar 10% pada tahun
1970-an menjadi sekitar 28% pada tahun 2000-an. Oleh karena itu, CPO di pasar
dunia memiliki daya saing untuk menggeser peran minyak nabati lainnya (Susila
1998; Basiron 2002).
Non-tariff measures yang akan diestimasi pada penelitian ini dikhususkan
pada Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barriers to Trade (TBT)
untuk technical measures karena paling banyak digunakan oleh seluruh negara di
dunia, serta instrumen trade remedy (antidumping, subsidy, dan safeguard) untuk
non technical measures karena berdasarkan data di WTO bahwa antidumping juga
paling banyak digunakan khususnya oleh negara-negara maju.

10

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori dan Konsep
Teori Perdagangan Internasional
Perdagangan merupakan suatu proses pertukaran barang dan jasa yang
dilakukan atas dasar suka sama suka, untuk memperoleh barang yang dibutuhkan.
Dalam era globalisasi, perdagangan tidak hanya dilakukan dalam satu negara saja,
bahkan dunia sudah memasuki perdagangan bebas. Hampir tidak ada satu
negarapun yang tidak melakukan hubungan dengan negara lain (Dumairy 1997).
Dalam perdagangan domestik para pelaku ekonomi bertujuan untuk memperoleh
keuntungan dari aktivitas ekonomi yang dilakukannya. Demikian halnya dengan
perdagangan internasional dimana setiap negara yang melakukan perdagangan
bertujuan mencari keuntungan dari perdagangan tersebut. Selain motif mencari
keuntungan, Krugman dan Obstfeld (2003) berpendapat bahwa pada dasarnya
perdagangan internasional terjadi karena dua alasan utama, yaitu:
a. Negara-negara berdagang karena mereka berbeda satu sama lain dan mereka
akan mendapatkan keuntungan secara relatif dengan berdagang daripada
dalam kondisi autarki (tertutup);
b. Negara-negara berdagang dengan tujuan mencari skala ekonomi sehingga
mencapai efisiensi produksi barang dan jasa.
Px/
P

Px/
P

Panel A Pasar di Negara
1 untuk komoditi X

Panel C Pasar di Negara
2 untuk komoditi X
Sx

P

A


P

Px/
P

Panel
B
Hubungan
Perdagangan Internasional
dalam komoditi X

A


Sx
E
*

Ekspor

S
B’

E’

P
B

E

B
*

Impor
D

P
A

Dx

A
*
X

X

X
0

Dx

0

0

Sumber: Salvatore, 1997
Gambar 4 Kurva Perdagangan Internasional
Proses perdagangan internasional dari sisi keseimbangan parsial sehingga
tercipta harga komoditi ekuilibrium dapat dijelaskan pada Gambar 4. Panel A
memperlihatkan bahwa dengan adanya perdagangan internasional, negara 1 akan
mengadakan konsumsi di titik A berdasarkan harga relatif komoditi X sebesar P1.
Negara 2 akan berkonsumsi di titik A’ berdasarkan harga relatif P3. Setelah hubungan
perdagangan berlangsung diantara kedua negara tersebut, harga relatif komoditi X akan
berkisar antara P1 dan P3 seandainya kedua negara tersebut cukup besar kekuatan
ekonominya. Apabila harga yang berlaku di atas P1, maka negara 1 akan memasok atau
penawaran komoditi X lebih banyak daripada tingkat permintaan (konsumsi) domestik.

11

Kelebihan penawaran itu selanjutnya akan diekspor (lihat panel A) ke negara 2. Di lain
pihak jika harga yang berlaku lebih kecil dari P3, maka negara 2 akan mengalami
peningkatan permintaan sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada penawaran
domestiknya. Hal ini akan mendorong negara 2 untuk mengimpor kekurangan
kebutuhannya atas komoditi X itu dari negara 1 (lihat panel C).
Negara 1 mengalami kelebihan penawaran komoditi X (Panel A) karena
Px/Py lebih besar dari P1, sehingga kurva penawaran ekspornya atau S mengalami
peningkatan (Panel B). Dilain pihak, karena Px/Py lebih rendah dari P3, maka
negara 2 mengalami kelebihan permintaan untuk komoditi X (Panel C) dan ini
mengakibatkan permintaan impor negara 2 terhadap komoditi X atau D, mengalami
kenaikan (Panel B). Panel B juga menunjukkan bahwa hanya pada tingkat harga P2
maka kuantitas impor komoditi X yang diminta oleh negara 2 akan persis sama
dengan kuantitas ekspor yang ditawarkan oleh negara 1. P2 merupakan Px/Py atau
harga relatif ekuilibrium setelah berlangsungnya perdagangan diantara kedua
negara tersebut. Tapi jika Px/Py lebih besar dari P2 maka akan terdapat kelebihan
penawaran ekspor komoditi X dan hal ini akan menurunkan harga relatifnya atau
Px/Py, sehingga pada akhirnya harga itu akan bergerak mendekati atau sama
dengan P2. Sebaliknya jika Px/Py lebih kecil daripada P2, maka akan tercipta
kelebihan permintaan impor komoditi X yang selanjutnya akan menaikkan Px/Py
sehingga akan sama dengan P2. Titik E adalah titik pertemuan antara jumlah barang
yang diekspor dan jumlah barang yang diimpor, atau jumlah barang yang
diperjualbelikan dalam perdagangan internasional.
Konsep perdagangan bebas untuk pertama kali diperkenalkan oleh
AdamSmith pada awal abad ke-19 dengan teori keunggulan absolut (absolute
comparative). Teori Adam Smith kemudian disempurnakan oleh David Ricardo
(1817) dengan model keunggulan komparatif (The Theory of Comparative
Advantage). David Ricardo mengatakan bahwa keunggulan komparatif akan
tercapai jika suatu negara mampu memproduksi barang dan jasa dengan biaya
pengorbanan yang lebih murah daripada negara lain (Salvatore 2007).
Perdagangan antara dua negara akan menguntungkan kedua belah pihak jika
masing-masing negara memproduksi dan mengekspor produk yang keunggulan
komparatifnya dikuasai. Teori klasik Ricardo tersebut selanjutnya dikembangkan
oleh Heckscher-Ohlin (H-O) dengan The Theory of Factor Proportions (1949 –
1977). Model H-O mengatakan bahwa walaupun tingkat teknologi yang dimiliki
sama, perdagangan internasional akan tetap terjadi bila ada perbedaan
kepemilikan faktor produksi (factor endowment) diantara masing-masing negara.
Satu negara dengan kepemilikan kapital berlebih akan berspesialisasi dan
mengekspor komoditi padat kapital (capital-intensive goods), dan sebaliknya
negara dengan kepemilikan tenaga kerja berlebih akan memproduksi dan
mengekspor komoditi padat tenaga kerja (labor-intensive goods).
Konsep Hambatan Perdagangan
Para ekonom berpendapat bahwa perdagangan internasional adalah
perdagangan yang baik, tetapi perdagangan bebas merupakan perdagangan yang
terbaik. Perdagangan bebas (free trade) akan dapat memaksimalkan output dunia
dan keuntungan bagi setiap negara yang terlibat di dalamnya. Namun
kenyataannya hampir setiap negara masih menerapkan berbagai bentuk hambatan
terhadap berlangsungnya perdagangan internasional secara bebas, adapun bentuk

12

hambatan perdagangan tersebut antara lain berupa hambatan tarif dan non tarif.
Tarif adalah pungutan bea masuk yang dikenakan atasbarang impor yang masuk
untuk dipakai atau dikonsumsi habis di dalam negeri (Hady 2004). Dengan kata
lain, tarif merupakan pajak atau cukai yang dikenakan untuk suatu komoditi yang
diperdagangkan lintas batas teritorial. Hambatan non tarif (non-tariff barrier)
adalah suatu regulasi perdagangan selain tarif atau otoritas kebijakan untuk
memproteksi negaranya dengan mengeluarkan batasan-batasan didalam
perdagangan internasional (Sarfati 1998).
Bentuk hambatan non tarif yang sering digunakan adalah kuota impor,
pembatasan ekspor secara sukarela dan tindakan antidumping. Praktek
perdagangan yang terjadi pada saat ini, pemerintah melakukan intervensi dalam
perdagangan internasional dengan menggunakan instrumen kebijakan lainnya
yang lebih kompleks yaitu kebijakan yang menyembunyikan motif proteksi.
Instrumen kebijakan yang menonjol antara lain pemberian subsidi ekspor,
pembatasan impor, konsep pengekangan ekspor secara sukarela (voluntary export
restrain), dan persyaratan kandungan lokal (local contain requirement). Berbagai
proteksi perdagangan non tarif ini dapat diturunkan menjadi serangkaian
negosiasi perdagangan multilateral.
Perkembangan hambatan non tarif ini kemudian memberikan ruang bagi
WTO untuk mendisiplinkan penggunaaanya. WTO kemudian mendefinisikan
kebijakan- kebijakan perdagangan non tarif dengan istilah non-tariff measures
(NTM). Hambatan perdagangan non tarif atau proteksionisme baru semakin
menonjol dan menjadi lebih penting dibanding tarif, sehingga ancamannya
terhadap arus perdagangan internasional secara bebas juga lebih membahayakan
(Salvatore 1997).
Dampak Kebijakan Hambatan Non Tarif
Kebijakan hambatan non tarif yang diberlakukan di hampir semua negara
digunakan untuk melindungi sektor tertentu. Di negara maju, umumnya