^aAnalisis Dampak Non-Tariff Measures (NTMs) terhadap Ekspor Ikan Tuna Indonesia ke Negara Tujuan Utama
ANALISIS DAMPAK NON-TARIFF MEASURES (NTMs)
TERHADAP EKSPOR IKAN TUNA INDONESIA KE NEGARA
TUJUAN UTAMA
OKTAVINA WIDYA KRISTRIANA
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Dampak NonTariff Measures (NTMs) Terhadap Ekspor Ikan Tuna Indonesia ke Negara Tujuan
Utama adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, April 2015
Oktavina Widya Kristriana
NIM H14110033
ABSTRAK
OKTAVINA WIDYA KRISTRIANA. Analisis Dampak Non Tariff
Measures (NTMs) Terhadap Ekspor Tuna Indonesia ke Negara Tujuan Utama.
Dibimbing oleh WIWIEK RINDAYATI.
Dewasa ini, perdagangan internasional mengalami hambatan baik tarif
maupun non tarif. Negara- negara pelaku perdagangan cenderung memberlakukan
tindakan non tarif (NTM). Kebijakan NTM yang paling banyak diberlakukan
adalah Sanitary and Phitosanitary (SPS) dan Technical Barrier to Trade (TBT).
Salah satu ekspor potensial Indonesia yang menghadapi hambatan NTM yaitu
komoditi ikan tuna. Beberapa negara tujuan utama ekspor ikan tuna antara lain
China, Jepang, Thailand, Amerika Serikat, Korea Selatan, Singapura, dan Vietnam.
Penelitian ini bertujuan menganalisis kinerja ekspor serta dampak NTM terhadap
ekspor komoditi tuna Indonesia. Metode yang digunakan yakni pendekatan
inventory (coverage ratio dan frequency index) dan model gravity. Hasil
pendekatan inventory menunjukkan Amerika Serikat sebagai negara yang
memberlakukan NTM terbanyak dan kelompok komoditi tuna yang paling banyak
terkena NTM adalah tuna beku. Hasil estimasi menunjukkan SPS dan TBT
berpengaruh nyata terhadap ekspor ikan tuna dengan koefisien positif sebesar 0,011
dan 0,015.
Kata kunci: ikan tuna, model gravity, NTM, SPS, dan TBT
ABSTRACT
OKTAVINA WIDYA KRISTRIANA. Impact Analysis of The Major
Destination Countries’ Non Tariff Measures (NTM) on The Indonesian Tuna
Exports. Supervised by WIWIEK RINDAYATI
Currently, International trading is hampered in both tariff and non-tariff.
Non-Tariff Measures (NTM) is likely applied by some major trading countries.
Sanitary and Phytosanitary (SPS) and Technical Barrier to Trade (TBT) are the
most widely applied NTM policy. Tuna commodities is one of Indonesian potential
exports facing NTM barriers. Some of Indonesian tuna export major destinations
are China, Japan, Thailand, United States, South Korea, Singapore, and Vietnam.
This study aims to analyze the export performance and NTM impact on the
Indonesian tuna export commodities. The methods used are descriptive analysis
through inventory approach (coverage ratio and frequency index) and gravity
model. The results show that United States as a country imposing highest NTM and
frozen tuna as the most affected commodity group by NTM effects. The estimation
results SPS and TBT affect tuna fish exports with positive coefficient of each 0,011
and 0,015
Keywords: gravity model, NTM, SPS, TBT, and tuna fish.
ANALISIS DAMPAK NON-TARIFF MEASURES (NTMs)
TERHADAP EKSPOR IKAN TUNA INDONESIA KE
NEGARA TUJUAN UTAMA
OKTAVINA WIDYA KRISTRIANA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
karunianya sehingga skripsi yang berjudul Analisis Dampak Non- Tariff Measures
(NTMs) Terhadap Ekspor Ikan Tuna Indonesia ke Negara Tujuan Utama ini dapat
diselesaikan. Penyusunan tulisan ini sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan
program Strata-1 pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu
dalam proses penyelesaian tugas akhir ini. Ucapan terima kasih disampaikan
kepada:
1. Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan bimbingan baik secara teknis, teoritis, dan moril selama proses
penyelesaian skripsi sehingga dapat diselesaikan dengan baik.
2. Dr. Alla Asmara, S.Pt, M.Si dan Dr. Eka Puspitawati selaku penguji atas
kritik dan masukan yang diberikan untuk perbaikan skripsi ini.
3. Orang tua dan keluarga penulis Tri Imam H. (Ayah) dan Kristintien Mulyani
(Ibu), dan Yusril W. Mahendra (Adik) atas doa dan dukungan baik secara
moril maupun materil yang diberikan kepada penulis dalam proses
penyelesaian tugas akhir ini.
4. Ibu Darmiati Dahar alumni Pasca Sarjana Ilmu Ekonomi FEM IPB yang
telah memberikan ilmu dan bantuan mengenai informasi Non-Tariff
Measures (NTMs) kepada penulis.
5. Teman- teman satu bimbingan yaitu Annisa Meidianty, Dian Rahmadhani,
Khairunnisa, dan Selamet Widodo yang senantiasa mendukung dan saling
membantu dalam penyusunan skripsi. Sahabat- sahabat terbaik yaitu
Chintia A.M, Anggun Tina, Indah Hardiyanti, Seftiyana, Aurora Fathyaa,
Octavianne D. M, Ika Fauziah, Rusy Laytifah M, Latifa Dinna P, Danu
Pramudia, Dani Arwan, dan Kemal Akbar, sebagai partner bertukar pikiran
dalam berbagai hal dan juga berbagi semangat. Keluarga Power Rangers
Astri Septiani, Khairunnisa M, Diana F.L, Asma Zakiyah, Desy S, Soleha,
Puti H, Nurul Hikmah, Panny W, yang senantiasa berbagi keceriaan dan doa.
6. Teman- teman Ilmu Ekonomi FEM IPB Angkatan 48 yang telah sama- sama
berproses dalam dunia kampus dan berbagi pengalaman selama hampir
empat tahun.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, April 2015
Oktavina Widya Kristriana
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
ix
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
4
Tujuan Penelitian
6
Manfaat Penelitian
6
Ruang Lingkup Penelitian
6
TINJAUAN PUSTAKA
7
METODE PENELITIAN
14
Jenis dan Sumber Data
14
Metode Analisis
14
HASIL DAN PEMBAHASAN
17
Gambaran Umum Subsektor Perikanan dan Industri Ikan Tuna Indonesia
17
Kinerja Perdagangan Komoditi Ikan Tuna Indonesia
18
Pemberlakuan Non Tariff Measures (NTM) pada Komoditi Ikan Tuna
Indonesia
21
Dampak NTMs Pada Ekspor Komoditi Tuna Indonesia ke Negara Tujuan
Utama
27
SIMPULAN DAN SARAN
32
Simpulan
32
Saran
32
DAFTAR PUSTAKA
33
LAMPIRAN
35
RIWAYAT HIDUP
42
DAFTAR TABEL
1
2
Tabel 1 Nilai PDB menurut lapangan usaha tahun 2011- 2013
2
Tabel 2 Volume dan nilai ekspor hasil perikanan menurut komoditas utama
dan negara tujuan 2011-2012
3
3
Tabel 3 Jenis dan sumber data
14
4
Tabel 4 Produksi perikanan tangkap di laut menurut komoditas utama
2008-2013
18
5
Tabel 5 Perkembangan ekspor ikan tuna segar Indonesia tahun 2009-2013
ke negara tujuan utama
19
6
Tabel 6 Perkembangan ekspor ikan tuna beku Indonesia tahun 2009-2013
ke negara tujuan utama
19
7
Tabel 7 Perkembangan ekspor ikan tuna olahan Indonesia tahun 20092013 ke negara tujuan utama
20
8
Tabel 8 Jumlah NTMs SPS dan TBT yang diberlakukan pada komoditi
ikan tuna di negara tujuan utama tahun 2002- 2013
21
9
Tabel 9 Hasil Uji Chow dan Hausman
28
10 Tabel 10 Hasil estimasi model dampak SPS dan TBT
28
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Gambar 1 Kontribusi perikanan terhadap PDB sektor pertanian 2013
Gambar 2 Klasifikasi baru NTM
Gambar 3 Kerangka Pemikiran
Gambar 4 PDB sektor pertanian atas dasar harga berlaku 2008-2013
Gambar 5 Nilai ekspor ikan tuna Indonesia ke negara tujuan utama tahun
2013 (000 USD)
Gambar 6 Frequency index SPS pada ekspor komoditi tuna ke negara
tujuan utama tahun 2009- 2013
Gambar 7 Frequency index TBT pada ekspor komoditi tuna ke negara
tujuan utama tahun 2009- 2013
Gambar 8 Frequency index SPS pada ekspor komoditi tuna ke negara
tujuan utama tahun 2013 berdasarkan kelompok komoditi
Gambar 9 Frequency index TBT pada ekspor komoditi tuna ke negara
tujuan utama tahun 2013 berdasarkan kelompok komoditi
Gambar 10 Coverage ratio SPS pada ekspor komoditi tuna ke negara
tujuan utama tahun 2009- 2013
Gambar 11 Coverage ratio TBT pada ekspor komoditi tuna ke negara
tujuan utama tahun 2009- 2013
Gambar 12 Coverage ratio SPS pada ekspor komoditi tuna ke negara
tujuan utama tahun 2013 berdasarkan kelompok komoditi
Gambar 13 Coverage ratio TBT pada ekspor komoditi tuna ke negara
tujuan utama tahun 2013 berdasarkan kelompok komoditi
2
9
13
17
20
22
23
24
24
25
26
26
27
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Lampiran 1 Cakupan Kode HS Ikan Tuna
Lampiran 2 Cakupan Kode HS Ikan Tuna
Lampiran 3 Neraca perdagangan tuna Indonesia ke negara- negara tujuan
utama tahun 2009- 2013 (000 USD)
Lampiran 4 Neraca perdagangan tuna Indonesia ke negara- negara tujuan
utama berdasarkan kelompok komoditi tahun 2010- 2013 (000 USD)
Lampiran 5 Cross sections effect
Lampiran 6 Hasil uji normalitas
Lampiran 7 Hasil uji multikolinearitas
Lampiran 8 Hasil uji heteroskedastisitas
Lampiran 9 Klasifikasi SPS dan TBT
35
35
36
37
37
38
38
38
40
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ekspor merupakan mesin penggerak bagi percepatan pertumbuhan ekonomi.
Dalam rangka mencapai pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, ekspor
merupakan salah satu bagian penting yang harus diperhatikan kelangsungannya.
Peranan ekspor menjadi semakin penting seiring dengan perubahan strategi
industrialisasi dari industri substitusi impor menuju industri promosi ekspor.
Perdagangan yang dilakukan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekspor
mengalami hambatan baik tarif maupun non tarif. World Trade Organization
(WTO) telah menetapkan tingkat tarif yang diberlakukan untuk komoditas di
seluruh dunia, baik untuk negara maju maupun berkembang. Melalui perjanjian
preferensi dalam perdagangan global, berbagai macam bentuk tarif telah semakin
berkurang. Adanya batasan tarif ini membuat negara memberlakukan tindakan non
tarif (non tariff measures/ NTMs) sebagai bentuk proteksi pada produsen domestik
dalam menghadapi persaingan impor dengan produk asing (Dahar 2014).
Dewasa ini terdapat dua kecenderungan dalam sektor pertanian, yaitu
peningkatan konsumsi masyarakat dan persoalan mengenai keaslian produk serta
komposisinya. Masyarakat akan lebih memperhatikan keamanan produk serta
keberlanjutan lingkungan dalam sebuah proses produksi sehingga nantinya akan
berdampak pada keputusan konsumen untuk membeli sebuah produk pertanian.
Akan tetapi keputusan membeli tentu saja tidak dapat ditentukan oleh masyarakat
sendiri, sehingga dalam hal ini, peran non tariff measures menjadi sangat penting
(Boza 2013). Tujuan diberlakukannya NTMs yakni melakukan tindakan untuk
melindungi manusia, hewan, dan tumbuhan pada suatu negara dari penyakit, serta
untuk menjamin kesejahteraan nasional yang berkelanjutan dengan memperbaiki
kegagalan pasar.
Saini (2009) mendefinisikan NTMs sebagai tindakan selain tarif yang
berkaitan dengan aktivitas administratif negara dan mempengaruhi harga, kuantitas,
struktur dan/ atau arah dari arus perdagangan internasional berupa barang atau jasa
serta sumberdaya yang digunakan untuk memproduksi produk atau jasa tersebut.
UNCTAD mengklasifikasikan NTMs secara mendetail, dimana klasifikasi tersebut
merupakan taksonomi dari semua langkah tindakan yang dianggap relevan dalam
perdagangan internasional saat ini (Rahmaniar 2013). Secara garis besar, regulasi
teknis dibagi menjadi dua kategori besar, yakni sanitary or phytosanitary (SPS) dan
technical barriers to trade (TBT). Kedua regulasi ini dimaksudkan sebagai bentuk
proteksi terhadap manusia, hewan atau tumbuhan pada suatu negara dari penyakit,
dan juga mencakup segala macam regulasi teknis, standar, serta prosedurnya
(UNCTAD 2013).
Indonesia merupakan salah satu negara anggota yang tergabung dalam
sebuah organisasi yang disebut World Trade Organization (WTO). Dengan menjadi
anggota WTO, berarti Indonesia harus bersedia membuka pasar dalam negeri bagi
negara lain dan menerima segala konsekuensi perdagangan bebas. Kebijakan
perdagangan internasional setiap negara berbeda antara negara satu dengan yang
lainnya, sehingga sebagai negara pengekspor, Indonesia berusaha untuk memenuhi
2
persayaratan kebijakan yang diberlakukan oleh negara pengimpor serta
memaksimalkan potensi ekspornya dalam rangka mendorong surplus neraca
perdagangan nasional
Tabel 1 Nilai PDB menurut lapangan usaha tahun 2011- 2013
Lapangan Usaha
Atas Dasar Harga Berlaku
(triliun rupiah)
2011
Pertanian, Peternakan,
Kehutanan, dan Perikanan
Pertambangan dan Penggalian
Industri Pengolahan
2012
1 091.4 1 193.5
2013
Atas Dasar Harga Konstan
2000 (triliun rupiah)
2011
2012
2013
1 311.0
315.0
328.3
339.9
970.8
1 020.8
190.1
193.1
195.7
1 806.1 1 972.5
2 152.6
633.8
670.2
707.5
877.0
Listrik, Gas, dan Air Bersih
55.9
62.2
70.1
18.9
20.1
21.2
Bangunan
Perdagangan, Hotel, dan
Restoran
Pengangkutan dan
Komunikasi
Keuangan, Persewaan, dan
Jasa Perusahaan
753.6
844.1
907.3
159.1
170.9
182.1
1 023.7 1 148.7
1 301.5
437.5
473.1
501.2
Jasa- jasa
491.3
549.1
636.9
241.3
265.4
292.4
535.2
598.5
683.0
236.2
253.0
272.1
785.0
890.0
1 000.8
232.7
244.8
258.2
Produk Domestik Bruto (PDB)
7 419.2 8 229.4
9 048.0 2 464.6 2 618.9 2 770.3
PDB Tanpa Migas
Sumber: BPS 2013
6 785.9 7 588.3
8 416.0 2 322.7 2 481.8 2 637.0
Terdapat sembilan sektor utama pilar perekonomian nasional, dimana sektor
pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan merupakan satu dari sembilan
sektor utama penopang perekonomian Indonesia. Tabel 1 memperlihatkan kinerja
sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan terhadap nilai PDB yang
mengalami tren peningkatan sepanjang tahun 2011- 2013. Nilai PDB sektor
pertanian, peternakan, kehutanan atas dasar harga konstan meningkat dari 315
triliun rupiah pada tahun 2011 menjadi 328,3 triliun rupiah pada 2012 dan 339.9
triliun rupiah pada 2013.
Tanaman
Perkebunan
13%
Peternakan
dan Hasilhasilnya
12%
Kehutanan
4%
Perikanan
21%
Tanaman
Bahan
Makanan
50%
Sumber: Dirjen Kelautan dan Perikanan, 2013
Gambar 1 Kontribusi perikanan terhadap PDB sektor pertanian 2013
3
Gambar 1 menunjukkan kontribusi masing- masing subsektor dalam PDB
sektor pertanian. Kontribusi terbesar yakni tanaman bahan makanan (tabama)
sebesar 50% dan disusul oleh subsektor perikanan sebesar 21%. Dalam periode
2009-2012, capaian PDB sub sektor perikanan berdasarkan harga berlaku
mengalami peningkatan rata- rata sebesar 13.07%, dan pada periode yang sama
PDB nasional mengalami peningkatan sebesar 13.95%.
Dirjen Kelautan dan Perikanan (2013) mencatat bahwa pada tahun 2013,
volume ekspor hasil perikanan sebesar 802 ribu ton dengan nilai total USD 2.6
milyar. Salah satu komoditas penyumbang nilai ekpor terbesar yaitu ikan tuna,
dengan nilai USD 515 juta.
Tabel 2 Volume dan nilai ekspor hasil perikanan menurut komoditas utama dan
negara tujuan 2011-2012
Tahun
Negara Tujuan
Jepang
Udang
Tuna/ Cakalang
Kepiting
Lainnya
Amerika Serikat
Udang
Tuna/ Cakalang
Kepiting
Lainnya
China
Udang
Tuna/ Cakalang
Kepiting
Lainnya
Negara Lainnya
Udang
Tuna/ Cakalang
Kepiting
Lainnya
Total
Udang
Tuna/ Cakalang
Ikan lainnya
Kepiting
Lainnya
Sumber: KKP 2012
2011
2012
Volume
Nilai
Volume
Nilai
(ton)
(USD 000)
(ton)
(USD 000)
123 830
806 060
118 732
842 118
37 897
427 301
33 521
372 825
44 604
174 060
38 526
171 203
1 149
12 892
383
2 763
5 601
23 611
2 900
27 414
126 931 1 070 484
133 476 1 147 191
70 059
615 055
62 194
500 307
15 062
71 374
14 545
91 357
10 016
198 319
4 976
91 236
4 032
14 614
29 376
298 299
242 397
220 998
295 486
284 664
5 920
25 432
6 136
39 804
711
1 518
6 640
5 684
4 379
16 033
6 950
41 622
110 961
93 549
147 176
116 041
563 858
963 626
594 304 1 133 795
27 527
97 652
43 858
279 302
51 263
154 159
113 645
358 242
6 386
23 756
14 642
181 477
79 593
184 346
105 847
1 896
1 159 349 3 521 091 1 229 114 3 853 658
158 062 1 309 674
162 068 1304 149
141 774
498 591
201 159
749 992
618 294 1 075 401
538 723
965 062
23 089
262 321
28 212
329 724
218 130
375 105
298 952
504 731
Perubahan
2011/2012
Volume Nilai
%
%
-4.12
4.47
-11.55 -12.75
-13.63
-1.64
-66.67 -78.57
-48.22
16.11
5.16
7.17
-11.23 -18.66
-3.43
28.00
-50.32 -54.00
628.57 1941.19
21.90
28.81
3.65
56.51
833.90 274.44
58.71 159.60
32.64
24.04
5.40
17.66
59.33 186.02
121.69 132.39
129.28 663.92
32.99 -98.99
6.02
9.44
2.53
-0.42
41.89
50.42
-12.87 -10.26
22.19
25.69
37.05
34.56
Dari empat komoditas terbesar sektor perikanan, tabel 2 memperlihatkan
potensi nilai ekspor tuna ke beberapa negara tujuan utama seperti Jepang, China,
4
dan Amerika Serikat. Perubahan nilai komoditas tuna untuk semua negara kecuali
Jepang menunjukkan angka yang positif dengan persentase terbesar jika
dibandingkan dengan komoditas lain. Persentase nilai perubahan terbesar pada
tahun 2011-2012 adalah ekspor ke China yang mencapai 274.44%.
Ikan tuna merupakan salah satu dari sepuluh komoditas potensial Indonesia
(Kemendag 2015). Beberapa negara tujuan utama ekspor ikan tuna antara lain
China, Jepang, Thailand, Amerika Serikat, Korea Selatan, Singapura, dan Vietnam.
Adanya pertumbuhan nilai ekspor yang positif ke negara tujuan utama serta pasar
yang terus berkembang di negara- negara tersebut memberikan peluang besar bagi
Indonesia untuk meningkatkan volume ekspor ikan tunanya. Peluang ini pun
semakin diperkuat dengan keanggotaan Indonesia dalam berbagai asosiasi dunia
berkaitan dengan ikan tuna, diantaranya Komisi Perikanan Wilayah Pasifik Barat
dan Tengah (Western and Central Pacific Fisheries Commission/ WCPFC), Komisi
untuk Konservasi Tuna Sirip Biru (Commisssion for the the Conservation of
Southern Bluefin Tuna/ CCSBT) dan Komisi Tuna Samudera Hindia (Indian Ocean
Tuna Commission/ IOTC). Keanggotaan Indonesia dalam berbagai asosiasi tersebut
semakin memperkuat posisi tawar Indonesia sebagai eksportir tuna di pasar dunia.
Maraknya isu non tarif seperti SPS dan TBT yang telah banyak ditetapkan
oleh negara pengimpor sebagai bentuk proteksi dapat menjadi hambatan bagi
ekspor tuna Indonesia. Akan tetapi, peranan asosiasi tuna domestik seperti Asosiasi
Tuna Longline Indonesia (ATLI), Asosiasi Tuna Indonesia (ASTUIN), Asosiasi
Perikanan Pole and Line and Hand Line (AP2HI), serta Komisi Tuna Indonesia
(KTI) agaknya menjadi salah satu kunci penting dalam industri tuna dalam
menghadapi isu tersebut, yakni dalam rangka menekan biaya perdagangan
sekaligus mendorong daya saing tuna Indonesia melalui peningkatan standar mutu
dan kualitas. Adanya dukungan asosiasi dalam rangka menghadapi kebijakan non
tarif pada komoditi tuna Indonesia membuat hal ini menjadi menarik untuk diteliti,
yakni dengan menganalisis apakah dampak kebijakan non tariff tetap menjadi
hambatan atau justru menciptakan peluang baru bagi komoditi ikan tuna Indonesia.
Selain itu, penelitian ini juga diharapkan menghasilkan implikasi kebijakan sebagai
upaya dalam rangka meningkatkan kinerja ekspor ikan tuna Indonesia ke negaranegara tujuan utama.
Perumusan Masalah
Perdagangan internasional yang dilakukan oleh negara- negara di seluruh
dunia seharusnya dapat dilakukan secara leluasa sehingga menguntungkan dua
belah pihak yang melakukan perdagangan. Berbagai macam bentuk perjanjian
preferensial baik regional maupun bilateral dilakukan semata untuk dapat
mengurangi tingkat tarif demi mempermudah arus ekspor dan impor. Dengan tetap
memperhatikan standar- standar tertentu untuk menjamin keamanan dan kualitas
produk, NTMs merupakan satu bentuk pengawasan perdagangan yang mulai
banyak diterapkan di negara- negara pelaku perdagangan internasional. Sebuah
studi dilakukan oleh OECD berfokus pada NTMs yang berlaku di negara- negara
berkembang. Hasil penelitian menunjukkan rasio frekuensi dari kuantitas dan
tindakan pengendalian harga yang cenderung lebih tinggi di negara- negara dengan
tingkat pendapatan perkapita dan keterbukaan lebih rendah (Rahmaniar 2013).
5
Terlepas dari tujuan penerapan kebijakan perdagangan sebagai proteksi atau
mengatasi kegagalan pasar, NTMs diperkirakan memiliki efek distorsi pada
perdagangan internasional. Kebijakan non tarif yang ditetapkan oleh negara- negara
pengimpor komoditas justru memberikan hambatan baru dalam perdagangan
internasional dan membatasi akses pasar menggantikan kebijakan tarif pada periode
sebelumnya. Hal ini dijelaskan melalui studi yang dilakukan oleh International
Trade Centre (2010). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanpa intensi proteksi
sekalipun, NTMs dapat meningkatkan biaya perdagangan, mengalihkan perhatian
manajerial, serta menekan eksportir kecil terutama pada negara berkembang
dimana akses hukum dan informasi regulasi cenderung sulit dilakukan. Adanya
regulasi teknis dan standar produk misalnya, dapat meningkatkan biaya
perdagangan melalui dua cara. Pertama, meningkatkan beban biaya tetap bagi
eksportir yang harus menyesuaikan produk dengan standar dan regulasi yang
diberlakukan oleh negara pengimpor. Kedua, prosedur penilaian kesesuaian seperti
pengujian untuk menunjukkan bahwa suatu produk telah sesuai dengan regulasi
teknis juga dapat menjadi biaya tambahan.
Sanitary and Phytosanytary (SPS) dan Technical Barrier to Trade (TBT)
merupakan dua bentuk penerapan NTMs yang paling banyak diberlakukan untuk
subsektor perikanan khususnya komoditas tuna. UNCTAD (2013) menyatakan SPS
dan TBT sebagai kebijakan non tarif yang paling banyak diberlakukan oleh seluruh
negara di dunia, dengan nilai permberlakuan regulasi 15- 30% dari komoditas yang
diperdagangkan. Hal ini menjadi penting untuk diperhatikan oleh negara
pengekspor dalam mencapai kualitas dan keamanan produk untuk memenuhi
ketentuan- ketentuan tersebut dan memperluas akses pasar di negara tujuan ekspor.
Berdasarkan data Dirjen Kelautan dan Perikanan (2014) total produksi
perikanan Indonesia tahun 2013 mencapai 11.06 juta ton dengan total nilai sebesar
Rp 126 triliun. Sub sektor perikanan tangkap mengalami pertumbuhan sebesar
3.53% dalam kurun waktu lima tahun terakhir, dan didominasi oleh komoditas tuna
dan cakalang masing masing 269.5 ton dan 381 ton. Total volume ekspor hasil
perikanan Indonesia pada tahun 2013 tumbuh sebesar 3.51%. Komoditas tuna,
tongkol, dan cakalang (TTC) merupakan salah satu penyumbang terbesar nilai hasil
ekspor perikanan dengan nilai USD 515 juta.
Angka pertumbuhan baik dalam segi nilai ekspor maupun produksi
menunjukkan potensi ekspor yang besar untuk komoditas ikan tuna. Akan tetapi,
penerapan hambatan non tariff pada komoditas tuna oleh negara pengimpor NTMs
mengharuskan Indonesia untuk memperhatikan persyaratan yang harus dipenuhi
dan secara tidak langsung berdampak bagi peningkatan biaya perdagangan
komoditas tersebut. Peranan berbagai asosiasi tuna Indonesia seperti ATLI,
ASTUIN, AP2HI, dan KTI menjadi penting. Keanggotaan nelayan serta eksportir
tuna Indonesia dalam asosiasi- asosiasi tersebut merupakan salah satu upaya
menekan biaya perdagangan yang harus ditanggung dalam memenuhi persyaratan
dan standar yang diberlakukan oleh negara- negara pengimpor, terlebih karena
masing- masing negara memiliki standar yang berbeda- beda sehingga biaya yang
dibutuhkan akan menjadi lebih besar.
Penerapan SPS dan TBT oleh negara tujuan utama ekspor yang berpotensi
menjadi hambatan perdagangan perlu dikaji lebih lanjut, sehingga terdapat
beberapa permasalahan untuk diteliti yakni sebagai berikut:
1. Bagaimana kinerja ekspor ikan tuna Indonesia?
6
2. Bagaimana pemberlakuan NTMs pada komoditas ikan tuna di negaranegara tujuan ekspor?
3. Bagaimana dampak NTMs pada ekspor ikan tuna Indonesia?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan pada uraian sebelumnya, tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian ini yaitu:
1. Mendeskripsikan kinerja ekspor komoditas ikan tuna Indonesia.
2. Mendeskripsikan pemberlakuan NTMs pada ekspor komoditas ikan tuna
Indonesia di negara- negara tujuan utama.
3. Menganalisis dan mengestimasi dampak pemberlakuan NTMs terhadap
kinerja ekspor komoditas ikan tuna Indonesia.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharpkan dapat memberi manfaat antara lain:
1. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi serta
pertimbangan untuk mengambil kebijakan dalam rangka mendorong
potensi ekspor komoditas ikan tuna Indonesia.
2. Bagi pelaku sektor perikanan khususnya untuk komoditas ikan tuna,
penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran untuk meningkatkan
kinerja ekspor komoditas ikan tuna.
3. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan
baik secara umum maupun khusus mengenai kebijakan perdagangan Non
Tariff Measures (NTMs), serta mengetahui dampak NTMs terhadap arus
ekspor pada komoditas ikan tuna Indonesia. Hasil dari penelitian ini juga
diharapkan dapat dijadikan bahan referensi untuk penelitian lanjutan.
4. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat memperdalam ilmu
pengetahuan dan wawasan penulis tentang kebijakan perdagangan Non
Tariff Measures (NTMs), serta mengetahui dampak NTMs terhadap arus
ekspor komoditas ikan tuna Indonesia.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini mencakup arus ekspor perdagangan Indonesia
dengan negara negara tujuan ekspor (China, Jepang, Thailand, Amerika Serikat,
Korea Selatan, Vietnam, dan Singapura). Penelitian ini membahas mengenai
kinerja ekspor dan dampak pemberlakuan NTMs (SPS dan TBT) pada komoditi
ikan tuna Indonesia. Komoditas yang digunakan berdasarkan HS 96
pengelompokan 6 digit yakni 030231, 030232, 030233, 030239, 030240, dan
030250 untuk tuna segar, 030341, 030342, 030343, dan 030349 untuk tuna beku,
serta 160414 untuk tuna olahan (Lampiran 1). Metode pada penelitian ini
menggunakan model data panel dengan pendekatan gravity. Data yang digunakan
untuk analisis pada penelitian ini dengan periode tahun 2009- 2013.
7
TINJAUAN PUSTAKA
Landasan Teori
Teori Perdagangan Internasional
Perdagangan dan pertukaran secara ekonomi dapat didefinisikan sebagai proses
tukar- menukar yang didasarkan atas kehendak sukarela. Suatu perdagangan akan
terjadi apabila pihak- pihak pelaku perdagangan mendapatkan manfaat atau
keuntungan. Demikian pula dengan perdagangan internasional. Dalam arti sempit,
perdagangan internasional merupakan suatu gugusan masalah yang timbul
sehubungan dengan pertukaran komoditas antar negara. Apabila tidak ada
perdagangan internasional maka masing- masing negara harus mengkonsumsi hasil
produksinya sendiri (Salvatore 1997).
Kebijakan Perdagangan Internasional
Kebijakan perdagangan internasional merupakan tindakan atau kebijaksanaan
ekonomi pemerintah yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi
komposisi, arah, serta bentuk dari perdagangan internasional (Nopirin, 1999).
Instrumen- instrumen kebijakan perdagangan internasional yaitu:
1. Kebijakan perdagangan internasional
Meliputi tindakan pemerintah terhadap current account dari neraca
pembayaran internasional, khususnya ekspor dan impor barang dan jasa.
2. Kebijakan pembayaran internasional
Meliputi tindakan pemerintah terhadap capital account dalam neraca
pembayaran internasional.
3. Kebijakan bantuan luar negeri
Meliputi tindakan pemerintah berhubungan dengan bantuan (grants),
pinjaman (loans), bantuan yang bertujuan untuk membantu rehabilitasi
serta pembangunan, dan bantuan militer terhadap negara lain.
Non Tariff Measures (NTMs)
Semenjak berakhirnya Perang Dunia II, khususnya pada sektor manufaktur,
pemerintah berbagai negara memiliki kecenderungan untuk melindungi industriindustri domestik dengan memberlakukan berbagai macam hambatan non tariff
(Salvatore 1997). Berdasarkan hasil perundingan GATT pada putaran Uruguay,
terdapat beberapa kesepakatan mengenai jenis- jenis hambatan non tarif, antara
lain:
1. Kuota Impor
Kuota impor digunakan untuk melindungi sektor industri tertentu. Pada
negara maju, hambatan ini umumnya digunakan untuk melindungi sektor
pertanian, sementara pada negara berkembang digunakan untuk melindungi
sektor manufaktur.
2. Subsidi Ekspor
Subsidi ekspor diberikan oleh negara kepada perusahaan- persuahaan
untuk meningkatkan ekspor. Bentuk subsidi berupa pinjaman ekspor
sebenarnya telah disepakati untuk dilarang dalam perdagangan
internasional. Peningkatan pemberian subsidi yang berlebihan dapat
8
3.
4.
5.
6.
7.
menimbulkan daya saing yang berlebihan pula sehingga dapat menjadi
ancaman bagi kelangsungan perdagangan internasional. Antisipasi untuk
bentuk kecurangan ini yakni dengan menetapkan pajak atau tariff pada
produk yang diduga memperoleh subsidi ekspor dari pemerintahnya. Sari
2014).
Pembatasan Ekspor Secara Sukarela
Tindakan pembatasan ekspor secara sukarela merupakan implikasi dari
adanya pemaksaan untuk pengurangan ekspor yang dilakukan bersamaan
dengan hambatan perdagangan yang lebih keras oleh suatu negara
pengimpor. Tujuannya yakni untuk melindungi sektor tertentu yang
menurun karena adanya produk impor. Selain pembatasan produk impor,
langkah lain yang dapat ditempuh untuk menghindari ancaman produk
impor yakni dengan memaksa negara pengekspor untuk membayar
kompensasi sebagai akibat dari dampak yangditimbulkan pada industri
domestik negara tujuan ekspor (World Trade Organization 2013).
Hambatan Birokrasi
Pemerintah suatu negara memberlakukan kontrol ketat terhadap standar
kesehatan, keamanan, dan prosedur kepabeanan. Tindakan ini dinilai efisien
untuk membatasi impor. Akan tetapi, pada praktiknya pemerintah ingin
membatasi impor tanpa mengumumkannya secara formal sehingga
seringkali menimbulkan hambatan dalam perdagangan internasional.
Kartel Internasional
Kartel merupakan bentuk sebuah organisasi produsen tertentu yang
anggotanya terdiri dari beberapa negara. Tujuan pembentukan kartel yakni
untuk membatasi output serta mengendalikan kegiatan ekspor sehingga
dapat digunakan untuk memaksimalkan keuntungan bagi negara- negara
tertentu. Praktik kartel menjadi merugikan bagi negara onsumen karena
harus membeli produk yang terbayas dengan harga relatif mahal.
Tindakan Anti- Dumping
Tindakan anti-dumping merupakan langkah yang dilakukan pemerintah
sebagai respon terhadap adanya pengaduan serta keluhan produsen
domestik karena perusahaan asing tertentu menjual komoditasnya dengan
harga dibawah biaya produksi atau lebih murah dibandingkan harga pasar
negara asalnya.
Dumping secara umum diartikan sebagai diskriminasi harga secara
internasional. Keadaan tersebut terjadi ketika harga komoditas yang dijual
di negara importir lebih rendah dibandingkan harga komoditas di pasar
domestik negara eksportir. Dalam jangka panjang, dumping dapat
menyebabkan kerugian pada negara tujuan ekspor, sebab tidak selamanya
negara pengekspor akan memberikan harga murah pada negara tujuan
ekspor. Setelah negara tujuan ekspor bergantung pada komoditas negara
pengekspor, maka negara pengekspor akan menaikkan harga komoditasnya.
Sanitasi dan Fitosanitasi
Salah satu hasil kesepakatan negara- negara WTO dalam Kongres WTO
putaran Doha tahun 2001 yaitu peraturan pemerintah suatu negara dalam
menjaga kemanan makanan, kesehatan hewan dan tumbuhan (sanitary and
phytosanitary). Tujuannya adalah untuk melindungi hak- hak konsumen
akan produk yang dikonsumsi dan juga untuk melindungi produk- produk
9
yang dihasilkan oleh produsen domestik. Implikasi dari ukuran standar
kualitas yang lebih tinggi akan mampu mendorong negara lain untuk
meningkatkan kualitas produknya sehingga memiliki daya saing yang lebih
tinggi di negara tujuan ekspornya.
8. Standar Lingkungan
Isu standar lingkungan yang semakin gencar dibahas dan telah
diberlakukan oleh negara- negara maju berdampak pada perdagangan
negara- negara berkembang. Standar lingkungan yang diberlakukan oleh
negara maju dikhatarikan menjadi hambatan perdagangan terutama dalam
segi kinerja ekspor bagi negara- negara berkembang. Bagi negara maju,
standar lingkungan seringkali digunakan untuk tujuan tidak langsung yaitu
untuk melindungi industri- industri dalam negerinya (Verbruggen et al.
1995).
Non tariff measures (NTMs) sendiri didefinisikan sebagai kebijakankebijakan selain tariff yang secara potensial memiliki pengaruh ekonomi
perdagangan komoditas internasional dengan mengubah kuantitas perdagangan
atau harga atau keduanya (UNCTAD 2013). Secara garis besar, klasifikasi NTMs
terbagi menjadi import measures dan export measures (gambar 2). Pada import
measures terbagi menjadi dua bagian yakni technical measures dan non technical
measures, sementara untuk export measures hanya memiliki satu klasifikasi yaitu
export related measures.
Sumber : UNCTAD 2013
Gambar 2 Klasifikasi baru NTM
10
Pada perkembangannya, kebijakan non tariff pada perdagangan internasional
telah mengalami kemajuan sehingga dilakukan perubahan dalam metodologi,
klasifikasi, penghitungan, dan pengumpulan data NTMs. Pada tahun 2006,
UNCTAD membentuk Multi Agency Team Support dalam rangka menyusun dan
memperbaharui klasifikasi NTMs. Modifikasi dalam penyusunan NTMs dilakukan
dengan dengan penambahan beberapa cabang klasifikasi yang merefleksikan
kondisi perdagangan internasional saat ini.
Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barriers to Trade (TBT)
Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barriers to Trade (TBT)
merupakan bagian dari technical measures. Kedua kebijakan ini dimaksudkan
sebagai tindakan perlindungan terhadap manusia, hewan, dan tumbuhan, serta
mencakup berbagai regulasi teknis dan prosedur penilaian kesesuaian.
Penggunaan SPS secara spesifik banyak diberlakukan pada sektor pertanian
dan produk yang berasal dari hewan. Cadot (2012) menjelaskan SPS sebagai
kebijakan yang diaplikasikan untuk melindungi kehidupan manusia atau hewan dari
zat- zat lain, kontaminasi, racun, atau organisme penyebab penyakit dalam
makanan; untuk melindungi kehidupan manusia dari penyakit bawaan baik hewan
maupun tumbuhan; untuk mencegah atau membatasi kerusakan negara dari
masuknya hama; dan untuk melindungi biodiversitas.
Penggunaan TBT diterapkan secara lebih luas pada berbagai sektor dan
berkaitan pada regulasi teknis dan prosedur penilaian kesesuaian. Definisi TBT
menurut UNCTAD (2013) yaitu tindakan yang mengacu pada regulasi teknis, dan
prosedur penilaian kesesuaian dengan peraturan teknis dan standar, termasuk
langkah- langkah yang tercakup dalam perjanjian SPS. Regulasi teknis merupakan
dokumen yang menetapkan mengenai karakteristik produk atau yang terkait dengan
proses produksi serta ketentuan administratif. Hal ini juga mencakup symbol,
pengemasan, atau pelabelan seperti yang digunakan pada produk, proses, maupun
cara produksi. Sedangkan prosedur penilaian kesesuaian adalah prosedur yang
digunakan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk menentukan bahwa
persayaratan telah relevan atau memenujhi standar dalam peraturan teknis.
Pendekatan Inventory
Pendekatan inventory adalah inventarisasi kebijakan- kebijakan non tarif
oleh setiap negara, dilakukan dengan menghitung frequency index dan coverage
ratio pada periode waktu yang yang disesuaikan dengan ketersediaan data.
Keduanya merupakan indikator agregat yang paling sederhana dalam mengukur
pemberlakuan NTMs pada suatu negara. Frequency index merupakan share total
tariff pada satu a
tau lebih NTMs yang diberlakukan, sementara coverage ratio merupakan
persentase dari perdagangan suatu produk yang dikenakan NTMs pada negara
pengimpor. Coverage ratio memberikan ukuran pentingnya NTMs impor secara
keseluruhan.
Model Gravity
Alat analisis yang digunakan untuk menganalisa perdagangan bilateral
antarnegara adalah model data panel dengan pendekatan gravity. Model ini
11
merupakan adaptasi dari model gravitasi yang dikemukakan oleh Sir Isaac Newton,
dan kemudian berkembang sesuai dengan kebutuhannya dalam berbagai disiplin
ilmu. Pada disiplin ilmu ekomomi, model ini diperkenalkan dan dikembangkan oleh
Jan Timbergen pada 1962 dan digunakan sebagai alat analisis perdagangan
internasional antarnegara.
Pada konteks perdagangan, model gravity menyatakan bahwa intensitas
perdagangan antarnegara akan berhubungan secara positif dengan pendapatan
nasional masing- masing negara, dan berhubungan terbalik dengan jarak antar
keduanya (Yuniarti 2007).
Dahar (2014) menjelaskan persamaan gravitasi dapat dianggap sebagai
semacam representasi singkat penawaran dan permintaan. Jika i adalah negara asal,
maka Mi mewakili jumlah total yang bersedia dipasok ke semua pelanggan,
sementara Mj mewakili “wedge” yang memberlakukan biaya perdagangan dan
menghasilkan arus keseimbangan perdagangan yang lebih rendah. Secara
matematis, seperti yang dikemukakan oleh Anderson (2011), gravity model
dinyatakan dengan persamaan berikut:
=
��
� �
Anderson juga menjelaskan bahwa dari perkalian persamaan gravitasi dapat
diperoleh logaritma natural sehingga didapatkan hubungan linier antara arus
perdagangan dan ukuran ekonomi dan jarak:
Ln Fij = α ln Mij + β ln Mj – θ ln Dij + ρ ln Rj + ϵij
Disertakannya error term ϵij menjelaskan bahwa persamaan dapat diestimasi
oleh regresi kuadrat terkecil biasa (ordinary least square) sehingga diharapkan
dapat diperoleh estimasi dengan α= β = ρ = 1.
Tinjauan Penelitian Terdahulu
Studi yang dilakukan oleh Rastikaranty (2008) mengenai pengaruh
kebijakan tarif dan non tariff Uni Eropa terhadap ekspor tuna Indonesia
menggunakan model regresi berganda dengan dummy intersep. Hasil penelitian
menunjukkan hasil bahwa kebijakan hambatan tarif berpengaruh nyata dan bersifat
inelastis, sementaa kebijakan hambatan non tarif tidak berpengaruh nyata terhadap
model. Tidak adanya pengaruh signifikan ini didukung oleh fakta bahwa Indonesia
diijinkan untuk teris melakukan ekspor ke Uni Eropa namun harus diimbangi
dengan penyetaraan standar.
Penelitian yang dilakukan oleh Fasarella et al mengenai dampak sanitary
dan standar teknis pada ekspor daging unggas Brazil pada 2011. Model yang
digunakan adalah gravity menggunakan beberapa variabel yakni GDP perkapita
negara pengimpor, bilateral tarif, serta lima dummy NTM meliputi dummy untuk
tindakan terkait proses, dummy untuk tindakan terkait dengan pelabelan, dummy
untuk tindakan terkait dengan pengawasan dan karantina, serta dummy tindakan
terkait penilaian kesesuaian. Hasil penelitian menujukkan bahwa pemberlakuan
NTM terkait dengan penilaian kesesuaian menunjukkan pengaruh yang signifikan
dan negatif, NTM terkait tindakan pelabelan dan pengemasan menunjukkan hasil
12
positif dan signifikan, sementara NTM terkait tindakan pengawasan dan karantina
menunjukkan pengaruh yang positif dan signifikan.
Pada tahun 2014, Dahar melakukan penelitian mengenai analisis dampak
kebijakan non-tarif terhadap kinerja ekspor hortikultura Indonesia di negara
ASEAN +3. Hasil penelitian menunjukkan variabel yang berpengaruh terhadap
kinerja ekspor antara lain GDP perkapita negara pengimpor, populasi negara
pengimpor, serta jarak ekonomi. Kebijakan non tariff berupa SPS dan TBT yang
diukur dengan pendekatan variabel coverage ratio dan frequency index menujukkan
pegaruh signifikan dengan koefisien negatif.
Penelitian yang dilakukan oleh Devadason (2009) mengenai NTM di ASEAN
yang dipertanyakan sebagai hambatan perdagangan intra regional. Model yang
digunakan digunakan adalah gravity dengan variabel export coverage ratio (ECR)
yang diadaptasi dari pendekatan inventory untuk menangkap coverage ratio dari
subjek perdagangan yang terkena NTM pada hubungan perdagangan intra-regional
ASEAN. Komoditi yang diteliti mencakup 97 produk dalam HS dua digit, sehingga
dimasukkan variabel dummy untuk sektor pertanian dan industri sebagai pembeda
efek perdagangan antara kedua pasar tersebut. Hasil penelitian ternyata
menunjukkan bahwa ECR memiliki dampak yang positif baik pada produk
pertanian maupun industri. Akan tetapi, bagi beberapa negara seperti Cambodia,
Laos, Myanmar, dan Vietnam, NTM dapat menjadi hambatan apabila permasalahan
internal dalam industri domestic tidak bisa diatasi dengan baik oleh pemerintah
setempat.
Fontagne et al (2005) mengestimasi dampak SPS dan TBT pada perdagangan
internasional menggunakan model gravity. Negara yang diteliti meliputi negara
maju (developing country/ DC), negara berkembang (least developed country/
LDC), dan negara- negara OECD (Organization of Economic Co-operation and
Development). Hasil penelitian menunjukkan bahwa SPS dan TBT memiliki
dampak negatif dan signifikan pada negara- negara maju, dampak positif dan
signifikan pada negara- negara berkembang meskipun dengan elastisitas yang kecil,
sedangkan untuk negara- negara OECD tidak memiliki dampak signifikan.
Penelitian yang dilakukan oleh Bratt (2014) mengestimasi mengenai dampak
bilateral non-tariff measures pada 85 negara menggunakan gravity model yang
mencakup variabel keunggulan komparatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
secara keseluruhan NTM memiliki dampak negatif. Bagi negara eksportir
berpendapatan rendah, NTM yang diberlakukan oleh negara pengimpor
berendapatan tinggi cenderung memiliki dampak yang lebih besar dibandingkan
dengan NTM oleh negara berkembang yang diberlakukan pada eksportir negara
maju.
Kerangka Pemikiran
Kerjasama antarnegara pelaku perdagangan internasional dilakukan dalam
rangka memperluas akses pasar dan memajukan kesejahteraan antarnegara anggota
WTO. Salah satu kebijakan perdagangan internasional yang banyak diberlakukan
oleh negara- negara WTO adalah Non- Tariff Measures (NTMs). Kebijakan ini
diberlakukan sebagai bentuk proteksi terhadap produsen domestic dalam rangka
menghadapi persaingan impor. Implementasi dari NTMs yang paling banyak
13
digunakan yaitu sanitary and phytosanitary (SPS) dan technical barriers to trade
(TBT).
Salah satu komoditi potensial ekspor Indonesia yang tidak terlepas dari
pemberlakuan NTMs adalah Ikan tuna. Jumlah produksi yang memberikan
sumbangan besar pada subsektor perikanan serta pertumbuhan nilai ekspor ke
beberapa negara tujuan utama yang positif merupakan sebuah peluang besar jika
dapat dimanfaatkan dengan maksimal. Penggunaan SPS dan TBT yang banyak
diberlakukan pada komoditi ikan tuna oleh negara- negara tujuan utama
dimaksudkan sebagai upaya perlindungan terhadap manusia, hewan, dan
tumbuhan dari berbagai penyakit, serta sebagai bentuk regulasi teknis dan prosedur
penilaian kesesuaian.
Pendekatan inventory digunakan untuk menganalisis pemberlakuan SPS dan
TBT oleh negara pengimpor pada komoditi ikan tuna Indonesia, sedangkan untuk
menganalisis bagaimana dampak dari pemberlakuan kedua kebijakan tersebut
menggunakan model gravity. Hasil dari penelitian ini adalah implikasi kebijakan
terkait ekspor ikan tuna yang diharapkan dapat menjadi pertimbangan pemerintah.
Instrumen Kebijakan Perdagangan Internasional
Kebijakan Perdagangan
Hambatan Tarif
Hambatan Non Tarif
Dampak NTM pada ekspor ikan tuna
Pendekatan Inventory
(Frequency Index dan
Coverage Ratio)
Implementasi Non
Tarif (SPS dan
TBT) pada ekspor
ikan tuna
Model Panel Gravity
Implikasi Kebijakan
Gambar 3 Kerangka Pemikiran
Hipotesis
Hipotesis yang dibuat dalam penelitian ini adalah:
1. GDP per kapita suatu negara berhubungan positif dengan arus ekspor.
Pada hubungan bilateral, peningkatan GDP perkapita suatu negara
14
2.
3.
4.
5.
akan meningkatkan permintaan ekspor dan berhubungan positif
dengan GDP perkapita partner dagangnya.
Populasi negara importir berhubungan positif dengan arus ekspor
negara eksportir. Besarnya populasi akan meningkatkan GDP suatu
negara dan mendorong permintaan impornya.
Jarak ekonomi berpengaruh negatif terhadap hubungan perdagangan
antar negara. Semakin besar jarak ekonomi, maka akan semakin kecil
arus perdagangan bilateral.
Nilai tukar riil berpegaruh positif dengan arus ekspor antarnegara
dagang.
Penerapan NTMs (SPS dan TBT) oleh negara pengimpor berdampak
terhadap arus ekspor.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder timeseries tahun 2011-2013 dengan cross section negara tujuan utama meliputi China,
Jepang, Thailand, Amerika Serikat, Korea Selatan, Vietnam, dan Singapura. Data
berasal dari berbagai sumber dengan rincian pada tabel 4.
Tabel 3 Jenis dan sumber data
Jenis Data
Non Tariff Measures (NTMs)
Populasi
GDP perkapita
Ekspor dan Impor Ikan Tuna
Jarak geografis
Nilai tukar
IHK
Sumber
I- TIP WTO
World Bank
World Bank
WITS
CEPII
World Bank, OECD
World Bank
Satuan
jiwa
Juta USD
Juta USD
Km
Rp/ USD
Metode Analisis
Terdapat dua metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini, yakni
analisis deskriptif dengan pendekatan inventory dan analisis data panel dengan
model gravity.
Pendekatan Inventory
Analisis deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran umum mengenai
kinerja perdagangan ikan tuna dan kebijakan NTMs yang diberlakukan negara-
15
negara tujuan ekspor. Analisis pemberlakuan kebijakan NTMs dilakukan dengan
pendekatan inventory yang menggunakan frequency index dan coverage ratio
sebagai indikatornya.
Fugazza (2013) menjelaskan frequency index hanya digunakan untuk
mengukur ada atau tidaknya suatu NTMs, dan merangkum persentase produk
dimana satu atau lebih kebijakan NTMs diterapkan. Frequency index menunjukkan
persentase dari transaksi impor yang tercakup dalam sejumlah NTMs untuk negara
ekspor sedangkan coverage ratio merupakan persentase dari subjek perdagangan
yang dikenakan NTMs pada negara pengimpor dan memberikan ukuran pentingnya
NTMs impor secara keseluruhan. Kedua indikator tersebut dirumuskan sebagai
berikut:
�
=[
�
=[
�
�
�
�
� �
�
�
] ×
] ×
Dimana:
Fijt
= Frequency index negara pengekspor i ke negara pengimpor j pada
tahun t (%)
Dkt
= variabel dummy yang menunjukkan ada atau tidaknya satu atau
lebih NTM pada produk k pada tahun t
MkT
= jumlah produk k dengan total tahun dari jumlah yang diimpor
Cijt
= Coverage ratio negara pengekspor i ke negara pengimpor j pada
tahun t (%)
VkT
= nilai produk k dengan total tahun dari jumlah yang diimpor
j
= negara pengimpor
i
= negara pengekspor
k
= produk yang diimpor
t
= tahun diberlakukannya NTMs
T
= total tahun dari jumlah yang diimpor ke negara tujuan
Nilai frequency index dan coverage ratio berada pada rentang 0-100. Nilai
frequency index yang semakin kecil menunjukkan semakin sedikit penggunaan
NTMs oleh suatu negara, begitupun sebaliknya. Nilai coverage ratio yang semakin
kecil menunjukkan semakin sedikitnya cakupan produk yang terkena kebijakan
NTMs, sementara coverage ratio yang semakin besar menujukkan semakin luasnya
cakupan produk yang terkena kebijakan NTMs.
Model Gravity
Model gravity merupakan alat analisis untuk pendekatan ex-post yang
digunakan dalam mengukur dampak NTMs dalam ekspor suatu produk. Variabel
independen yang digunakan dalam rancangan model yakni nilai ekspor ikan tuna
Indonesia pada negara tujuan utama. Variabel bebasnya mencakup GDP perkapita
negara pengimpor, populasi negara pengimpor, jarak ekonomi bilateral antara
negara pengekspor dan pengimpor, pemberlakuan NTMs (TBT, dan SBS), dan nilai
tukar riil. Periode waktu data yang digunakan dari 2009- 2013.
16
Model yang digunakan dalam penelitian untuk melihat dampak NTMs
merujuk pada model gravity mengacu pada model penelitian Fontagne et al (2005).
Pada penelitian ini menggunakan pendekatan coverage ratio sebagai variabel
bebasnya. Model tersebut dirumuskan sebagai berikut:
ln �
�
=
Dimana:
EXijt
+
+
�
�
+
+
+
�+ �
�
�
�
+
�
= nilai ekspor ikan tuna Indonesia ke negara j pada tahun t
(juta US $)
= populasi negara pengimpor j pada tahun t (jiwa)
= GDP perkapita negara pengimpor j pada tahun t (juta USD)
= jarak ekonomi antara negara eksportir j dan Indonesia (km)
= nilai tukar riil Indonesia terhadap negara pengimpor j pada
tahun t
= coverage ratio TBT negara pengimpor j terhadap tuna
Indonesia pada tahun t (%)
= coverage ratio SPS negara pengimpor j terhadap tuna
Indonesia pada tahun t (%)
POPijt
GDPCjt
EDISTijt
RERijt
CR TBTijt
CR SPSijt
Definisi Operasional
1.
2.
3.
4.
Definisi operasioanl variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
Ekspor (EX) adalah total nilai ekspor komoditi tuna Indonesia ke negara
tujuan utama.
GDP perkapita (GDPC) merupakan jumlah pendapatan rata- rata dari
penduduk suatu negara pada periode tertentu.
Populasi (POP) yaitu total jumlah penduduk di negara tujuan ekspor dalam
satu tahun.
Jarak ekonomi (EDIST) merupakan variabel yang mewakili biaya
transportasi, diperoleh dari:
� �
� �
=
�
� �
� � ×
�
5. Real Exchange Rate (RER) merupakan nilai tukar riil negara pengekspor
terhadap negara pengimpor yang diperoleh dari:
=
�
�
� ×
� �
� �
6. Coverage Ratio TBT (CR TBT) adalah pemberlakuan NTM berupa TBT
yang dihitung dengan nilai impor suatu produk dan diukur dalam satuan
persen.
17
7. Coverage Ratio TBT (CR TBT) adalah pemberlakuan NTM berupa TBT
yang dihitung dengan nilai impor suatu produk dan diukur dalam satuan
persen.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Subsektor Perikanan dan Industri Ikan Tuna Indonesia
Perikanan merupakan salah satu dari empat subsektor dalam sektor pertanian.
Subsektor ini memiliki juga memiliki peran penting jika dilihat dengan
kontribusinya terhadap PDB. Grafik 1 memperlihatkan subsektor perikanan
memiliki kontribusi terbesar kedua setelah kelompok tanaman bahan makanan.
Berdasarkan data KKP, pada triwulan III tahun 2013, subsektor ini memberikan
kontribusi yang cukup signifikan yaitu sebesar 5.1% dibandingkan dengan share
subsektor lainnya.
PDB Harga Konstan 2000 (Milyar Rp)
180,000.00
160,000.00
140,000.00
Tanaman Bahan Makanan
120,000.00
Tanaman Perkebunan
100,000.00
80,000.00
Peternakan dan hasilhasilnya
60,000.00
Kehutanan
40,000.00
Perikanan
20,000.00
-
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Tahun
Sumber : BPS 2014
Gambar 4 PDB sektor pertanian atas dasar harga berlaku 2008-2013
Salah satu bagian dari subsektor perikanan yang memiliki peran penting
adalah ikan tuna. Tabel 5 memperlihatkan hasil produksi subsektor perikanan
selama 2008-2013. Komoditi ikan tuna memiliki kenaikan rata- rata terbesar
sepanjang enam tahun terakhir yakni tuna besar (Thunnus
TERHADAP EKSPOR IKAN TUNA INDONESIA KE NEGARA
TUJUAN UTAMA
OKTAVINA WIDYA KRISTRIANA
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Dampak NonTariff Measures (NTMs) Terhadap Ekspor Ikan Tuna Indonesia ke Negara Tujuan
Utama adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, April 2015
Oktavina Widya Kristriana
NIM H14110033
ABSTRAK
OKTAVINA WIDYA KRISTRIANA. Analisis Dampak Non Tariff
Measures (NTMs) Terhadap Ekspor Tuna Indonesia ke Negara Tujuan Utama.
Dibimbing oleh WIWIEK RINDAYATI.
Dewasa ini, perdagangan internasional mengalami hambatan baik tarif
maupun non tarif. Negara- negara pelaku perdagangan cenderung memberlakukan
tindakan non tarif (NTM). Kebijakan NTM yang paling banyak diberlakukan
adalah Sanitary and Phitosanitary (SPS) dan Technical Barrier to Trade (TBT).
Salah satu ekspor potensial Indonesia yang menghadapi hambatan NTM yaitu
komoditi ikan tuna. Beberapa negara tujuan utama ekspor ikan tuna antara lain
China, Jepang, Thailand, Amerika Serikat, Korea Selatan, Singapura, dan Vietnam.
Penelitian ini bertujuan menganalisis kinerja ekspor serta dampak NTM terhadap
ekspor komoditi tuna Indonesia. Metode yang digunakan yakni pendekatan
inventory (coverage ratio dan frequency index) dan model gravity. Hasil
pendekatan inventory menunjukkan Amerika Serikat sebagai negara yang
memberlakukan NTM terbanyak dan kelompok komoditi tuna yang paling banyak
terkena NTM adalah tuna beku. Hasil estimasi menunjukkan SPS dan TBT
berpengaruh nyata terhadap ekspor ikan tuna dengan koefisien positif sebesar 0,011
dan 0,015.
Kata kunci: ikan tuna, model gravity, NTM, SPS, dan TBT
ABSTRACT
OKTAVINA WIDYA KRISTRIANA. Impact Analysis of The Major
Destination Countries’ Non Tariff Measures (NTM) on The Indonesian Tuna
Exports. Supervised by WIWIEK RINDAYATI
Currently, International trading is hampered in both tariff and non-tariff.
Non-Tariff Measures (NTM) is likely applied by some major trading countries.
Sanitary and Phytosanitary (SPS) and Technical Barrier to Trade (TBT) are the
most widely applied NTM policy. Tuna commodities is one of Indonesian potential
exports facing NTM barriers. Some of Indonesian tuna export major destinations
are China, Japan, Thailand, United States, South Korea, Singapore, and Vietnam.
This study aims to analyze the export performance and NTM impact on the
Indonesian tuna export commodities. The methods used are descriptive analysis
through inventory approach (coverage ratio and frequency index) and gravity
model. The results show that United States as a country imposing highest NTM and
frozen tuna as the most affected commodity group by NTM effects. The estimation
results SPS and TBT affect tuna fish exports with positive coefficient of each 0,011
and 0,015
Keywords: gravity model, NTM, SPS, TBT, and tuna fish.
ANALISIS DAMPAK NON-TARIFF MEASURES (NTMs)
TERHADAP EKSPOR IKAN TUNA INDONESIA KE
NEGARA TUJUAN UTAMA
OKTAVINA WIDYA KRISTRIANA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
karunianya sehingga skripsi yang berjudul Analisis Dampak Non- Tariff Measures
(NTMs) Terhadap Ekspor Ikan Tuna Indonesia ke Negara Tujuan Utama ini dapat
diselesaikan. Penyusunan tulisan ini sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan
program Strata-1 pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu
dalam proses penyelesaian tugas akhir ini. Ucapan terima kasih disampaikan
kepada:
1. Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan bimbingan baik secara teknis, teoritis, dan moril selama proses
penyelesaian skripsi sehingga dapat diselesaikan dengan baik.
2. Dr. Alla Asmara, S.Pt, M.Si dan Dr. Eka Puspitawati selaku penguji atas
kritik dan masukan yang diberikan untuk perbaikan skripsi ini.
3. Orang tua dan keluarga penulis Tri Imam H. (Ayah) dan Kristintien Mulyani
(Ibu), dan Yusril W. Mahendra (Adik) atas doa dan dukungan baik secara
moril maupun materil yang diberikan kepada penulis dalam proses
penyelesaian tugas akhir ini.
4. Ibu Darmiati Dahar alumni Pasca Sarjana Ilmu Ekonomi FEM IPB yang
telah memberikan ilmu dan bantuan mengenai informasi Non-Tariff
Measures (NTMs) kepada penulis.
5. Teman- teman satu bimbingan yaitu Annisa Meidianty, Dian Rahmadhani,
Khairunnisa, dan Selamet Widodo yang senantiasa mendukung dan saling
membantu dalam penyusunan skripsi. Sahabat- sahabat terbaik yaitu
Chintia A.M, Anggun Tina, Indah Hardiyanti, Seftiyana, Aurora Fathyaa,
Octavianne D. M, Ika Fauziah, Rusy Laytifah M, Latifa Dinna P, Danu
Pramudia, Dani Arwan, dan Kemal Akbar, sebagai partner bertukar pikiran
dalam berbagai hal dan juga berbagi semangat. Keluarga Power Rangers
Astri Septiani, Khairunnisa M, Diana F.L, Asma Zakiyah, Desy S, Soleha,
Puti H, Nurul Hikmah, Panny W, yang senantiasa berbagi keceriaan dan doa.
6. Teman- teman Ilmu Ekonomi FEM IPB Angkatan 48 yang telah sama- sama
berproses dalam dunia kampus dan berbagi pengalaman selama hampir
empat tahun.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, April 2015
Oktavina Widya Kristriana
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
ix
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
4
Tujuan Penelitian
6
Manfaat Penelitian
6
Ruang Lingkup Penelitian
6
TINJAUAN PUSTAKA
7
METODE PENELITIAN
14
Jenis dan Sumber Data
14
Metode Analisis
14
HASIL DAN PEMBAHASAN
17
Gambaran Umum Subsektor Perikanan dan Industri Ikan Tuna Indonesia
17
Kinerja Perdagangan Komoditi Ikan Tuna Indonesia
18
Pemberlakuan Non Tariff Measures (NTM) pada Komoditi Ikan Tuna
Indonesia
21
Dampak NTMs Pada Ekspor Komoditi Tuna Indonesia ke Negara Tujuan
Utama
27
SIMPULAN DAN SARAN
32
Simpulan
32
Saran
32
DAFTAR PUSTAKA
33
LAMPIRAN
35
RIWAYAT HIDUP
42
DAFTAR TABEL
1
2
Tabel 1 Nilai PDB menurut lapangan usaha tahun 2011- 2013
2
Tabel 2 Volume dan nilai ekspor hasil perikanan menurut komoditas utama
dan negara tujuan 2011-2012
3
3
Tabel 3 Jenis dan sumber data
14
4
Tabel 4 Produksi perikanan tangkap di laut menurut komoditas utama
2008-2013
18
5
Tabel 5 Perkembangan ekspor ikan tuna segar Indonesia tahun 2009-2013
ke negara tujuan utama
19
6
Tabel 6 Perkembangan ekspor ikan tuna beku Indonesia tahun 2009-2013
ke negara tujuan utama
19
7
Tabel 7 Perkembangan ekspor ikan tuna olahan Indonesia tahun 20092013 ke negara tujuan utama
20
8
Tabel 8 Jumlah NTMs SPS dan TBT yang diberlakukan pada komoditi
ikan tuna di negara tujuan utama tahun 2002- 2013
21
9
Tabel 9 Hasil Uji Chow dan Hausman
28
10 Tabel 10 Hasil estimasi model dampak SPS dan TBT
28
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Gambar 1 Kontribusi perikanan terhadap PDB sektor pertanian 2013
Gambar 2 Klasifikasi baru NTM
Gambar 3 Kerangka Pemikiran
Gambar 4 PDB sektor pertanian atas dasar harga berlaku 2008-2013
Gambar 5 Nilai ekspor ikan tuna Indonesia ke negara tujuan utama tahun
2013 (000 USD)
Gambar 6 Frequency index SPS pada ekspor komoditi tuna ke negara
tujuan utama tahun 2009- 2013
Gambar 7 Frequency index TBT pada ekspor komoditi tuna ke negara
tujuan utama tahun 2009- 2013
Gambar 8 Frequency index SPS pada ekspor komoditi tuna ke negara
tujuan utama tahun 2013 berdasarkan kelompok komoditi
Gambar 9 Frequency index TBT pada ekspor komoditi tuna ke negara
tujuan utama tahun 2013 berdasarkan kelompok komoditi
Gambar 10 Coverage ratio SPS pada ekspor komoditi tuna ke negara
tujuan utama tahun 2009- 2013
Gambar 11 Coverage ratio TBT pada ekspor komoditi tuna ke negara
tujuan utama tahun 2009- 2013
Gambar 12 Coverage ratio SPS pada ekspor komoditi tuna ke negara
tujuan utama tahun 2013 berdasarkan kelompok komoditi
Gambar 13 Coverage ratio TBT pada ekspor komoditi tuna ke negara
tujuan utama tahun 2013 berdasarkan kelompok komoditi
2
9
13
17
20
22
23
24
24
25
26
26
27
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Lampiran 1 Cakupan Kode HS Ikan Tuna
Lampiran 2 Cakupan Kode HS Ikan Tuna
Lampiran 3 Neraca perdagangan tuna Indonesia ke negara- negara tujuan
utama tahun 2009- 2013 (000 USD)
Lampiran 4 Neraca perdagangan tuna Indonesia ke negara- negara tujuan
utama berdasarkan kelompok komoditi tahun 2010- 2013 (000 USD)
Lampiran 5 Cross sections effect
Lampiran 6 Hasil uji normalitas
Lampiran 7 Hasil uji multikolinearitas
Lampiran 8 Hasil uji heteroskedastisitas
Lampiran 9 Klasifikasi SPS dan TBT
35
35
36
37
37
38
38
38
40
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ekspor merupakan mesin penggerak bagi percepatan pertumbuhan ekonomi.
Dalam rangka mencapai pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, ekspor
merupakan salah satu bagian penting yang harus diperhatikan kelangsungannya.
Peranan ekspor menjadi semakin penting seiring dengan perubahan strategi
industrialisasi dari industri substitusi impor menuju industri promosi ekspor.
Perdagangan yang dilakukan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekspor
mengalami hambatan baik tarif maupun non tarif. World Trade Organization
(WTO) telah menetapkan tingkat tarif yang diberlakukan untuk komoditas di
seluruh dunia, baik untuk negara maju maupun berkembang. Melalui perjanjian
preferensi dalam perdagangan global, berbagai macam bentuk tarif telah semakin
berkurang. Adanya batasan tarif ini membuat negara memberlakukan tindakan non
tarif (non tariff measures/ NTMs) sebagai bentuk proteksi pada produsen domestik
dalam menghadapi persaingan impor dengan produk asing (Dahar 2014).
Dewasa ini terdapat dua kecenderungan dalam sektor pertanian, yaitu
peningkatan konsumsi masyarakat dan persoalan mengenai keaslian produk serta
komposisinya. Masyarakat akan lebih memperhatikan keamanan produk serta
keberlanjutan lingkungan dalam sebuah proses produksi sehingga nantinya akan
berdampak pada keputusan konsumen untuk membeli sebuah produk pertanian.
Akan tetapi keputusan membeli tentu saja tidak dapat ditentukan oleh masyarakat
sendiri, sehingga dalam hal ini, peran non tariff measures menjadi sangat penting
(Boza 2013). Tujuan diberlakukannya NTMs yakni melakukan tindakan untuk
melindungi manusia, hewan, dan tumbuhan pada suatu negara dari penyakit, serta
untuk menjamin kesejahteraan nasional yang berkelanjutan dengan memperbaiki
kegagalan pasar.
Saini (2009) mendefinisikan NTMs sebagai tindakan selain tarif yang
berkaitan dengan aktivitas administratif negara dan mempengaruhi harga, kuantitas,
struktur dan/ atau arah dari arus perdagangan internasional berupa barang atau jasa
serta sumberdaya yang digunakan untuk memproduksi produk atau jasa tersebut.
UNCTAD mengklasifikasikan NTMs secara mendetail, dimana klasifikasi tersebut
merupakan taksonomi dari semua langkah tindakan yang dianggap relevan dalam
perdagangan internasional saat ini (Rahmaniar 2013). Secara garis besar, regulasi
teknis dibagi menjadi dua kategori besar, yakni sanitary or phytosanitary (SPS) dan
technical barriers to trade (TBT). Kedua regulasi ini dimaksudkan sebagai bentuk
proteksi terhadap manusia, hewan atau tumbuhan pada suatu negara dari penyakit,
dan juga mencakup segala macam regulasi teknis, standar, serta prosedurnya
(UNCTAD 2013).
Indonesia merupakan salah satu negara anggota yang tergabung dalam
sebuah organisasi yang disebut World Trade Organization (WTO). Dengan menjadi
anggota WTO, berarti Indonesia harus bersedia membuka pasar dalam negeri bagi
negara lain dan menerima segala konsekuensi perdagangan bebas. Kebijakan
perdagangan internasional setiap negara berbeda antara negara satu dengan yang
lainnya, sehingga sebagai negara pengekspor, Indonesia berusaha untuk memenuhi
2
persayaratan kebijakan yang diberlakukan oleh negara pengimpor serta
memaksimalkan potensi ekspornya dalam rangka mendorong surplus neraca
perdagangan nasional
Tabel 1 Nilai PDB menurut lapangan usaha tahun 2011- 2013
Lapangan Usaha
Atas Dasar Harga Berlaku
(triliun rupiah)
2011
Pertanian, Peternakan,
Kehutanan, dan Perikanan
Pertambangan dan Penggalian
Industri Pengolahan
2012
1 091.4 1 193.5
2013
Atas Dasar Harga Konstan
2000 (triliun rupiah)
2011
2012
2013
1 311.0
315.0
328.3
339.9
970.8
1 020.8
190.1
193.1
195.7
1 806.1 1 972.5
2 152.6
633.8
670.2
707.5
877.0
Listrik, Gas, dan Air Bersih
55.9
62.2
70.1
18.9
20.1
21.2
Bangunan
Perdagangan, Hotel, dan
Restoran
Pengangkutan dan
Komunikasi
Keuangan, Persewaan, dan
Jasa Perusahaan
753.6
844.1
907.3
159.1
170.9
182.1
1 023.7 1 148.7
1 301.5
437.5
473.1
501.2
Jasa- jasa
491.3
549.1
636.9
241.3
265.4
292.4
535.2
598.5
683.0
236.2
253.0
272.1
785.0
890.0
1 000.8
232.7
244.8
258.2
Produk Domestik Bruto (PDB)
7 419.2 8 229.4
9 048.0 2 464.6 2 618.9 2 770.3
PDB Tanpa Migas
Sumber: BPS 2013
6 785.9 7 588.3
8 416.0 2 322.7 2 481.8 2 637.0
Terdapat sembilan sektor utama pilar perekonomian nasional, dimana sektor
pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan merupakan satu dari sembilan
sektor utama penopang perekonomian Indonesia. Tabel 1 memperlihatkan kinerja
sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan terhadap nilai PDB yang
mengalami tren peningkatan sepanjang tahun 2011- 2013. Nilai PDB sektor
pertanian, peternakan, kehutanan atas dasar harga konstan meningkat dari 315
triliun rupiah pada tahun 2011 menjadi 328,3 triliun rupiah pada 2012 dan 339.9
triliun rupiah pada 2013.
Tanaman
Perkebunan
13%
Peternakan
dan Hasilhasilnya
12%
Kehutanan
4%
Perikanan
21%
Tanaman
Bahan
Makanan
50%
Sumber: Dirjen Kelautan dan Perikanan, 2013
Gambar 1 Kontribusi perikanan terhadap PDB sektor pertanian 2013
3
Gambar 1 menunjukkan kontribusi masing- masing subsektor dalam PDB
sektor pertanian. Kontribusi terbesar yakni tanaman bahan makanan (tabama)
sebesar 50% dan disusul oleh subsektor perikanan sebesar 21%. Dalam periode
2009-2012, capaian PDB sub sektor perikanan berdasarkan harga berlaku
mengalami peningkatan rata- rata sebesar 13.07%, dan pada periode yang sama
PDB nasional mengalami peningkatan sebesar 13.95%.
Dirjen Kelautan dan Perikanan (2013) mencatat bahwa pada tahun 2013,
volume ekspor hasil perikanan sebesar 802 ribu ton dengan nilai total USD 2.6
milyar. Salah satu komoditas penyumbang nilai ekpor terbesar yaitu ikan tuna,
dengan nilai USD 515 juta.
Tabel 2 Volume dan nilai ekspor hasil perikanan menurut komoditas utama dan
negara tujuan 2011-2012
Tahun
Negara Tujuan
Jepang
Udang
Tuna/ Cakalang
Kepiting
Lainnya
Amerika Serikat
Udang
Tuna/ Cakalang
Kepiting
Lainnya
China
Udang
Tuna/ Cakalang
Kepiting
Lainnya
Negara Lainnya
Udang
Tuna/ Cakalang
Kepiting
Lainnya
Total
Udang
Tuna/ Cakalang
Ikan lainnya
Kepiting
Lainnya
Sumber: KKP 2012
2011
2012
Volume
Nilai
Volume
Nilai
(ton)
(USD 000)
(ton)
(USD 000)
123 830
806 060
118 732
842 118
37 897
427 301
33 521
372 825
44 604
174 060
38 526
171 203
1 149
12 892
383
2 763
5 601
23 611
2 900
27 414
126 931 1 070 484
133 476 1 147 191
70 059
615 055
62 194
500 307
15 062
71 374
14 545
91 357
10 016
198 319
4 976
91 236
4 032
14 614
29 376
298 299
242 397
220 998
295 486
284 664
5 920
25 432
6 136
39 804
711
1 518
6 640
5 684
4 379
16 033
6 950
41 622
110 961
93 549
147 176
116 041
563 858
963 626
594 304 1 133 795
27 527
97 652
43 858
279 302
51 263
154 159
113 645
358 242
6 386
23 756
14 642
181 477
79 593
184 346
105 847
1 896
1 159 349 3 521 091 1 229 114 3 853 658
158 062 1 309 674
162 068 1304 149
141 774
498 591
201 159
749 992
618 294 1 075 401
538 723
965 062
23 089
262 321
28 212
329 724
218 130
375 105
298 952
504 731
Perubahan
2011/2012
Volume Nilai
%
%
-4.12
4.47
-11.55 -12.75
-13.63
-1.64
-66.67 -78.57
-48.22
16.11
5.16
7.17
-11.23 -18.66
-3.43
28.00
-50.32 -54.00
628.57 1941.19
21.90
28.81
3.65
56.51
833.90 274.44
58.71 159.60
32.64
24.04
5.40
17.66
59.33 186.02
121.69 132.39
129.28 663.92
32.99 -98.99
6.02
9.44
2.53
-0.42
41.89
50.42
-12.87 -10.26
22.19
25.69
37.05
34.56
Dari empat komoditas terbesar sektor perikanan, tabel 2 memperlihatkan
potensi nilai ekspor tuna ke beberapa negara tujuan utama seperti Jepang, China,
4
dan Amerika Serikat. Perubahan nilai komoditas tuna untuk semua negara kecuali
Jepang menunjukkan angka yang positif dengan persentase terbesar jika
dibandingkan dengan komoditas lain. Persentase nilai perubahan terbesar pada
tahun 2011-2012 adalah ekspor ke China yang mencapai 274.44%.
Ikan tuna merupakan salah satu dari sepuluh komoditas potensial Indonesia
(Kemendag 2015). Beberapa negara tujuan utama ekspor ikan tuna antara lain
China, Jepang, Thailand, Amerika Serikat, Korea Selatan, Singapura, dan Vietnam.
Adanya pertumbuhan nilai ekspor yang positif ke negara tujuan utama serta pasar
yang terus berkembang di negara- negara tersebut memberikan peluang besar bagi
Indonesia untuk meningkatkan volume ekspor ikan tunanya. Peluang ini pun
semakin diperkuat dengan keanggotaan Indonesia dalam berbagai asosiasi dunia
berkaitan dengan ikan tuna, diantaranya Komisi Perikanan Wilayah Pasifik Barat
dan Tengah (Western and Central Pacific Fisheries Commission/ WCPFC), Komisi
untuk Konservasi Tuna Sirip Biru (Commisssion for the the Conservation of
Southern Bluefin Tuna/ CCSBT) dan Komisi Tuna Samudera Hindia (Indian Ocean
Tuna Commission/ IOTC). Keanggotaan Indonesia dalam berbagai asosiasi tersebut
semakin memperkuat posisi tawar Indonesia sebagai eksportir tuna di pasar dunia.
Maraknya isu non tarif seperti SPS dan TBT yang telah banyak ditetapkan
oleh negara pengimpor sebagai bentuk proteksi dapat menjadi hambatan bagi
ekspor tuna Indonesia. Akan tetapi, peranan asosiasi tuna domestik seperti Asosiasi
Tuna Longline Indonesia (ATLI), Asosiasi Tuna Indonesia (ASTUIN), Asosiasi
Perikanan Pole and Line and Hand Line (AP2HI), serta Komisi Tuna Indonesia
(KTI) agaknya menjadi salah satu kunci penting dalam industri tuna dalam
menghadapi isu tersebut, yakni dalam rangka menekan biaya perdagangan
sekaligus mendorong daya saing tuna Indonesia melalui peningkatan standar mutu
dan kualitas. Adanya dukungan asosiasi dalam rangka menghadapi kebijakan non
tarif pada komoditi tuna Indonesia membuat hal ini menjadi menarik untuk diteliti,
yakni dengan menganalisis apakah dampak kebijakan non tariff tetap menjadi
hambatan atau justru menciptakan peluang baru bagi komoditi ikan tuna Indonesia.
Selain itu, penelitian ini juga diharapkan menghasilkan implikasi kebijakan sebagai
upaya dalam rangka meningkatkan kinerja ekspor ikan tuna Indonesia ke negaranegara tujuan utama.
Perumusan Masalah
Perdagangan internasional yang dilakukan oleh negara- negara di seluruh
dunia seharusnya dapat dilakukan secara leluasa sehingga menguntungkan dua
belah pihak yang melakukan perdagangan. Berbagai macam bentuk perjanjian
preferensial baik regional maupun bilateral dilakukan semata untuk dapat
mengurangi tingkat tarif demi mempermudah arus ekspor dan impor. Dengan tetap
memperhatikan standar- standar tertentu untuk menjamin keamanan dan kualitas
produk, NTMs merupakan satu bentuk pengawasan perdagangan yang mulai
banyak diterapkan di negara- negara pelaku perdagangan internasional. Sebuah
studi dilakukan oleh OECD berfokus pada NTMs yang berlaku di negara- negara
berkembang. Hasil penelitian menunjukkan rasio frekuensi dari kuantitas dan
tindakan pengendalian harga yang cenderung lebih tinggi di negara- negara dengan
tingkat pendapatan perkapita dan keterbukaan lebih rendah (Rahmaniar 2013).
5
Terlepas dari tujuan penerapan kebijakan perdagangan sebagai proteksi atau
mengatasi kegagalan pasar, NTMs diperkirakan memiliki efek distorsi pada
perdagangan internasional. Kebijakan non tarif yang ditetapkan oleh negara- negara
pengimpor komoditas justru memberikan hambatan baru dalam perdagangan
internasional dan membatasi akses pasar menggantikan kebijakan tarif pada periode
sebelumnya. Hal ini dijelaskan melalui studi yang dilakukan oleh International
Trade Centre (2010). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanpa intensi proteksi
sekalipun, NTMs dapat meningkatkan biaya perdagangan, mengalihkan perhatian
manajerial, serta menekan eksportir kecil terutama pada negara berkembang
dimana akses hukum dan informasi regulasi cenderung sulit dilakukan. Adanya
regulasi teknis dan standar produk misalnya, dapat meningkatkan biaya
perdagangan melalui dua cara. Pertama, meningkatkan beban biaya tetap bagi
eksportir yang harus menyesuaikan produk dengan standar dan regulasi yang
diberlakukan oleh negara pengimpor. Kedua, prosedur penilaian kesesuaian seperti
pengujian untuk menunjukkan bahwa suatu produk telah sesuai dengan regulasi
teknis juga dapat menjadi biaya tambahan.
Sanitary and Phytosanytary (SPS) dan Technical Barrier to Trade (TBT)
merupakan dua bentuk penerapan NTMs yang paling banyak diberlakukan untuk
subsektor perikanan khususnya komoditas tuna. UNCTAD (2013) menyatakan SPS
dan TBT sebagai kebijakan non tarif yang paling banyak diberlakukan oleh seluruh
negara di dunia, dengan nilai permberlakuan regulasi 15- 30% dari komoditas yang
diperdagangkan. Hal ini menjadi penting untuk diperhatikan oleh negara
pengekspor dalam mencapai kualitas dan keamanan produk untuk memenuhi
ketentuan- ketentuan tersebut dan memperluas akses pasar di negara tujuan ekspor.
Berdasarkan data Dirjen Kelautan dan Perikanan (2014) total produksi
perikanan Indonesia tahun 2013 mencapai 11.06 juta ton dengan total nilai sebesar
Rp 126 triliun. Sub sektor perikanan tangkap mengalami pertumbuhan sebesar
3.53% dalam kurun waktu lima tahun terakhir, dan didominasi oleh komoditas tuna
dan cakalang masing masing 269.5 ton dan 381 ton. Total volume ekspor hasil
perikanan Indonesia pada tahun 2013 tumbuh sebesar 3.51%. Komoditas tuna,
tongkol, dan cakalang (TTC) merupakan salah satu penyumbang terbesar nilai hasil
ekspor perikanan dengan nilai USD 515 juta.
Angka pertumbuhan baik dalam segi nilai ekspor maupun produksi
menunjukkan potensi ekspor yang besar untuk komoditas ikan tuna. Akan tetapi,
penerapan hambatan non tariff pada komoditas tuna oleh negara pengimpor NTMs
mengharuskan Indonesia untuk memperhatikan persyaratan yang harus dipenuhi
dan secara tidak langsung berdampak bagi peningkatan biaya perdagangan
komoditas tersebut. Peranan berbagai asosiasi tuna Indonesia seperti ATLI,
ASTUIN, AP2HI, dan KTI menjadi penting. Keanggotaan nelayan serta eksportir
tuna Indonesia dalam asosiasi- asosiasi tersebut merupakan salah satu upaya
menekan biaya perdagangan yang harus ditanggung dalam memenuhi persyaratan
dan standar yang diberlakukan oleh negara- negara pengimpor, terlebih karena
masing- masing negara memiliki standar yang berbeda- beda sehingga biaya yang
dibutuhkan akan menjadi lebih besar.
Penerapan SPS dan TBT oleh negara tujuan utama ekspor yang berpotensi
menjadi hambatan perdagangan perlu dikaji lebih lanjut, sehingga terdapat
beberapa permasalahan untuk diteliti yakni sebagai berikut:
1. Bagaimana kinerja ekspor ikan tuna Indonesia?
6
2. Bagaimana pemberlakuan NTMs pada komoditas ikan tuna di negaranegara tujuan ekspor?
3. Bagaimana dampak NTMs pada ekspor ikan tuna Indonesia?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan pada uraian sebelumnya, tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian ini yaitu:
1. Mendeskripsikan kinerja ekspor komoditas ikan tuna Indonesia.
2. Mendeskripsikan pemberlakuan NTMs pada ekspor komoditas ikan tuna
Indonesia di negara- negara tujuan utama.
3. Menganalisis dan mengestimasi dampak pemberlakuan NTMs terhadap
kinerja ekspor komoditas ikan tuna Indonesia.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharpkan dapat memberi manfaat antara lain:
1. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi serta
pertimbangan untuk mengambil kebijakan dalam rangka mendorong
potensi ekspor komoditas ikan tuna Indonesia.
2. Bagi pelaku sektor perikanan khususnya untuk komoditas ikan tuna,
penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran untuk meningkatkan
kinerja ekspor komoditas ikan tuna.
3. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan
baik secara umum maupun khusus mengenai kebijakan perdagangan Non
Tariff Measures (NTMs), serta mengetahui dampak NTMs terhadap arus
ekspor pada komoditas ikan tuna Indonesia. Hasil dari penelitian ini juga
diharapkan dapat dijadikan bahan referensi untuk penelitian lanjutan.
4. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat memperdalam ilmu
pengetahuan dan wawasan penulis tentang kebijakan perdagangan Non
Tariff Measures (NTMs), serta mengetahui dampak NTMs terhadap arus
ekspor komoditas ikan tuna Indonesia.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini mencakup arus ekspor perdagangan Indonesia
dengan negara negara tujuan ekspor (China, Jepang, Thailand, Amerika Serikat,
Korea Selatan, Vietnam, dan Singapura). Penelitian ini membahas mengenai
kinerja ekspor dan dampak pemberlakuan NTMs (SPS dan TBT) pada komoditi
ikan tuna Indonesia. Komoditas yang digunakan berdasarkan HS 96
pengelompokan 6 digit yakni 030231, 030232, 030233, 030239, 030240, dan
030250 untuk tuna segar, 030341, 030342, 030343, dan 030349 untuk tuna beku,
serta 160414 untuk tuna olahan (Lampiran 1). Metode pada penelitian ini
menggunakan model data panel dengan pendekatan gravity. Data yang digunakan
untuk analisis pada penelitian ini dengan periode tahun 2009- 2013.
7
TINJAUAN PUSTAKA
Landasan Teori
Teori Perdagangan Internasional
Perdagangan dan pertukaran secara ekonomi dapat didefinisikan sebagai proses
tukar- menukar yang didasarkan atas kehendak sukarela. Suatu perdagangan akan
terjadi apabila pihak- pihak pelaku perdagangan mendapatkan manfaat atau
keuntungan. Demikian pula dengan perdagangan internasional. Dalam arti sempit,
perdagangan internasional merupakan suatu gugusan masalah yang timbul
sehubungan dengan pertukaran komoditas antar negara. Apabila tidak ada
perdagangan internasional maka masing- masing negara harus mengkonsumsi hasil
produksinya sendiri (Salvatore 1997).
Kebijakan Perdagangan Internasional
Kebijakan perdagangan internasional merupakan tindakan atau kebijaksanaan
ekonomi pemerintah yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi
komposisi, arah, serta bentuk dari perdagangan internasional (Nopirin, 1999).
Instrumen- instrumen kebijakan perdagangan internasional yaitu:
1. Kebijakan perdagangan internasional
Meliputi tindakan pemerintah terhadap current account dari neraca
pembayaran internasional, khususnya ekspor dan impor barang dan jasa.
2. Kebijakan pembayaran internasional
Meliputi tindakan pemerintah terhadap capital account dalam neraca
pembayaran internasional.
3. Kebijakan bantuan luar negeri
Meliputi tindakan pemerintah berhubungan dengan bantuan (grants),
pinjaman (loans), bantuan yang bertujuan untuk membantu rehabilitasi
serta pembangunan, dan bantuan militer terhadap negara lain.
Non Tariff Measures (NTMs)
Semenjak berakhirnya Perang Dunia II, khususnya pada sektor manufaktur,
pemerintah berbagai negara memiliki kecenderungan untuk melindungi industriindustri domestik dengan memberlakukan berbagai macam hambatan non tariff
(Salvatore 1997). Berdasarkan hasil perundingan GATT pada putaran Uruguay,
terdapat beberapa kesepakatan mengenai jenis- jenis hambatan non tarif, antara
lain:
1. Kuota Impor
Kuota impor digunakan untuk melindungi sektor industri tertentu. Pada
negara maju, hambatan ini umumnya digunakan untuk melindungi sektor
pertanian, sementara pada negara berkembang digunakan untuk melindungi
sektor manufaktur.
2. Subsidi Ekspor
Subsidi ekspor diberikan oleh negara kepada perusahaan- persuahaan
untuk meningkatkan ekspor. Bentuk subsidi berupa pinjaman ekspor
sebenarnya telah disepakati untuk dilarang dalam perdagangan
internasional. Peningkatan pemberian subsidi yang berlebihan dapat
8
3.
4.
5.
6.
7.
menimbulkan daya saing yang berlebihan pula sehingga dapat menjadi
ancaman bagi kelangsungan perdagangan internasional. Antisipasi untuk
bentuk kecurangan ini yakni dengan menetapkan pajak atau tariff pada
produk yang diduga memperoleh subsidi ekspor dari pemerintahnya. Sari
2014).
Pembatasan Ekspor Secara Sukarela
Tindakan pembatasan ekspor secara sukarela merupakan implikasi dari
adanya pemaksaan untuk pengurangan ekspor yang dilakukan bersamaan
dengan hambatan perdagangan yang lebih keras oleh suatu negara
pengimpor. Tujuannya yakni untuk melindungi sektor tertentu yang
menurun karena adanya produk impor. Selain pembatasan produk impor,
langkah lain yang dapat ditempuh untuk menghindari ancaman produk
impor yakni dengan memaksa negara pengekspor untuk membayar
kompensasi sebagai akibat dari dampak yangditimbulkan pada industri
domestik negara tujuan ekspor (World Trade Organization 2013).
Hambatan Birokrasi
Pemerintah suatu negara memberlakukan kontrol ketat terhadap standar
kesehatan, keamanan, dan prosedur kepabeanan. Tindakan ini dinilai efisien
untuk membatasi impor. Akan tetapi, pada praktiknya pemerintah ingin
membatasi impor tanpa mengumumkannya secara formal sehingga
seringkali menimbulkan hambatan dalam perdagangan internasional.
Kartel Internasional
Kartel merupakan bentuk sebuah organisasi produsen tertentu yang
anggotanya terdiri dari beberapa negara. Tujuan pembentukan kartel yakni
untuk membatasi output serta mengendalikan kegiatan ekspor sehingga
dapat digunakan untuk memaksimalkan keuntungan bagi negara- negara
tertentu. Praktik kartel menjadi merugikan bagi negara onsumen karena
harus membeli produk yang terbayas dengan harga relatif mahal.
Tindakan Anti- Dumping
Tindakan anti-dumping merupakan langkah yang dilakukan pemerintah
sebagai respon terhadap adanya pengaduan serta keluhan produsen
domestik karena perusahaan asing tertentu menjual komoditasnya dengan
harga dibawah biaya produksi atau lebih murah dibandingkan harga pasar
negara asalnya.
Dumping secara umum diartikan sebagai diskriminasi harga secara
internasional. Keadaan tersebut terjadi ketika harga komoditas yang dijual
di negara importir lebih rendah dibandingkan harga komoditas di pasar
domestik negara eksportir. Dalam jangka panjang, dumping dapat
menyebabkan kerugian pada negara tujuan ekspor, sebab tidak selamanya
negara pengekspor akan memberikan harga murah pada negara tujuan
ekspor. Setelah negara tujuan ekspor bergantung pada komoditas negara
pengekspor, maka negara pengekspor akan menaikkan harga komoditasnya.
Sanitasi dan Fitosanitasi
Salah satu hasil kesepakatan negara- negara WTO dalam Kongres WTO
putaran Doha tahun 2001 yaitu peraturan pemerintah suatu negara dalam
menjaga kemanan makanan, kesehatan hewan dan tumbuhan (sanitary and
phytosanitary). Tujuannya adalah untuk melindungi hak- hak konsumen
akan produk yang dikonsumsi dan juga untuk melindungi produk- produk
9
yang dihasilkan oleh produsen domestik. Implikasi dari ukuran standar
kualitas yang lebih tinggi akan mampu mendorong negara lain untuk
meningkatkan kualitas produknya sehingga memiliki daya saing yang lebih
tinggi di negara tujuan ekspornya.
8. Standar Lingkungan
Isu standar lingkungan yang semakin gencar dibahas dan telah
diberlakukan oleh negara- negara maju berdampak pada perdagangan
negara- negara berkembang. Standar lingkungan yang diberlakukan oleh
negara maju dikhatarikan menjadi hambatan perdagangan terutama dalam
segi kinerja ekspor bagi negara- negara berkembang. Bagi negara maju,
standar lingkungan seringkali digunakan untuk tujuan tidak langsung yaitu
untuk melindungi industri- industri dalam negerinya (Verbruggen et al.
1995).
Non tariff measures (NTMs) sendiri didefinisikan sebagai kebijakankebijakan selain tariff yang secara potensial memiliki pengaruh ekonomi
perdagangan komoditas internasional dengan mengubah kuantitas perdagangan
atau harga atau keduanya (UNCTAD 2013). Secara garis besar, klasifikasi NTMs
terbagi menjadi import measures dan export measures (gambar 2). Pada import
measures terbagi menjadi dua bagian yakni technical measures dan non technical
measures, sementara untuk export measures hanya memiliki satu klasifikasi yaitu
export related measures.
Sumber : UNCTAD 2013
Gambar 2 Klasifikasi baru NTM
10
Pada perkembangannya, kebijakan non tariff pada perdagangan internasional
telah mengalami kemajuan sehingga dilakukan perubahan dalam metodologi,
klasifikasi, penghitungan, dan pengumpulan data NTMs. Pada tahun 2006,
UNCTAD membentuk Multi Agency Team Support dalam rangka menyusun dan
memperbaharui klasifikasi NTMs. Modifikasi dalam penyusunan NTMs dilakukan
dengan dengan penambahan beberapa cabang klasifikasi yang merefleksikan
kondisi perdagangan internasional saat ini.
Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barriers to Trade (TBT)
Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barriers to Trade (TBT)
merupakan bagian dari technical measures. Kedua kebijakan ini dimaksudkan
sebagai tindakan perlindungan terhadap manusia, hewan, dan tumbuhan, serta
mencakup berbagai regulasi teknis dan prosedur penilaian kesesuaian.
Penggunaan SPS secara spesifik banyak diberlakukan pada sektor pertanian
dan produk yang berasal dari hewan. Cadot (2012) menjelaskan SPS sebagai
kebijakan yang diaplikasikan untuk melindungi kehidupan manusia atau hewan dari
zat- zat lain, kontaminasi, racun, atau organisme penyebab penyakit dalam
makanan; untuk melindungi kehidupan manusia dari penyakit bawaan baik hewan
maupun tumbuhan; untuk mencegah atau membatasi kerusakan negara dari
masuknya hama; dan untuk melindungi biodiversitas.
Penggunaan TBT diterapkan secara lebih luas pada berbagai sektor dan
berkaitan pada regulasi teknis dan prosedur penilaian kesesuaian. Definisi TBT
menurut UNCTAD (2013) yaitu tindakan yang mengacu pada regulasi teknis, dan
prosedur penilaian kesesuaian dengan peraturan teknis dan standar, termasuk
langkah- langkah yang tercakup dalam perjanjian SPS. Regulasi teknis merupakan
dokumen yang menetapkan mengenai karakteristik produk atau yang terkait dengan
proses produksi serta ketentuan administratif. Hal ini juga mencakup symbol,
pengemasan, atau pelabelan seperti yang digunakan pada produk, proses, maupun
cara produksi. Sedangkan prosedur penilaian kesesuaian adalah prosedur yang
digunakan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk menentukan bahwa
persayaratan telah relevan atau memenujhi standar dalam peraturan teknis.
Pendekatan Inventory
Pendekatan inventory adalah inventarisasi kebijakan- kebijakan non tarif
oleh setiap negara, dilakukan dengan menghitung frequency index dan coverage
ratio pada periode waktu yang yang disesuaikan dengan ketersediaan data.
Keduanya merupakan indikator agregat yang paling sederhana dalam mengukur
pemberlakuan NTMs pada suatu negara. Frequency index merupakan share total
tariff pada satu a
tau lebih NTMs yang diberlakukan, sementara coverage ratio merupakan
persentase dari perdagangan suatu produk yang dikenakan NTMs pada negara
pengimpor. Coverage ratio memberikan ukuran pentingnya NTMs impor secara
keseluruhan.
Model Gravity
Alat analisis yang digunakan untuk menganalisa perdagangan bilateral
antarnegara adalah model data panel dengan pendekatan gravity. Model ini
11
merupakan adaptasi dari model gravitasi yang dikemukakan oleh Sir Isaac Newton,
dan kemudian berkembang sesuai dengan kebutuhannya dalam berbagai disiplin
ilmu. Pada disiplin ilmu ekomomi, model ini diperkenalkan dan dikembangkan oleh
Jan Timbergen pada 1962 dan digunakan sebagai alat analisis perdagangan
internasional antarnegara.
Pada konteks perdagangan, model gravity menyatakan bahwa intensitas
perdagangan antarnegara akan berhubungan secara positif dengan pendapatan
nasional masing- masing negara, dan berhubungan terbalik dengan jarak antar
keduanya (Yuniarti 2007).
Dahar (2014) menjelaskan persamaan gravitasi dapat dianggap sebagai
semacam representasi singkat penawaran dan permintaan. Jika i adalah negara asal,
maka Mi mewakili jumlah total yang bersedia dipasok ke semua pelanggan,
sementara Mj mewakili “wedge” yang memberlakukan biaya perdagangan dan
menghasilkan arus keseimbangan perdagangan yang lebih rendah. Secara
matematis, seperti yang dikemukakan oleh Anderson (2011), gravity model
dinyatakan dengan persamaan berikut:
=
��
� �
Anderson juga menjelaskan bahwa dari perkalian persamaan gravitasi dapat
diperoleh logaritma natural sehingga didapatkan hubungan linier antara arus
perdagangan dan ukuran ekonomi dan jarak:
Ln Fij = α ln Mij + β ln Mj – θ ln Dij + ρ ln Rj + ϵij
Disertakannya error term ϵij menjelaskan bahwa persamaan dapat diestimasi
oleh regresi kuadrat terkecil biasa (ordinary least square) sehingga diharapkan
dapat diperoleh estimasi dengan α= β = ρ = 1.
Tinjauan Penelitian Terdahulu
Studi yang dilakukan oleh Rastikaranty (2008) mengenai pengaruh
kebijakan tarif dan non tariff Uni Eropa terhadap ekspor tuna Indonesia
menggunakan model regresi berganda dengan dummy intersep. Hasil penelitian
menunjukkan hasil bahwa kebijakan hambatan tarif berpengaruh nyata dan bersifat
inelastis, sementaa kebijakan hambatan non tarif tidak berpengaruh nyata terhadap
model. Tidak adanya pengaruh signifikan ini didukung oleh fakta bahwa Indonesia
diijinkan untuk teris melakukan ekspor ke Uni Eropa namun harus diimbangi
dengan penyetaraan standar.
Penelitian yang dilakukan oleh Fasarella et al mengenai dampak sanitary
dan standar teknis pada ekspor daging unggas Brazil pada 2011. Model yang
digunakan adalah gravity menggunakan beberapa variabel yakni GDP perkapita
negara pengimpor, bilateral tarif, serta lima dummy NTM meliputi dummy untuk
tindakan terkait proses, dummy untuk tindakan terkait dengan pelabelan, dummy
untuk tindakan terkait dengan pengawasan dan karantina, serta dummy tindakan
terkait penilaian kesesuaian. Hasil penelitian menujukkan bahwa pemberlakuan
NTM terkait dengan penilaian kesesuaian menunjukkan pengaruh yang signifikan
dan negatif, NTM terkait tindakan pelabelan dan pengemasan menunjukkan hasil
12
positif dan signifikan, sementara NTM terkait tindakan pengawasan dan karantina
menunjukkan pengaruh yang positif dan signifikan.
Pada tahun 2014, Dahar melakukan penelitian mengenai analisis dampak
kebijakan non-tarif terhadap kinerja ekspor hortikultura Indonesia di negara
ASEAN +3. Hasil penelitian menunjukkan variabel yang berpengaruh terhadap
kinerja ekspor antara lain GDP perkapita negara pengimpor, populasi negara
pengimpor, serta jarak ekonomi. Kebijakan non tariff berupa SPS dan TBT yang
diukur dengan pendekatan variabel coverage ratio dan frequency index menujukkan
pegaruh signifikan dengan koefisien negatif.
Penelitian yang dilakukan oleh Devadason (2009) mengenai NTM di ASEAN
yang dipertanyakan sebagai hambatan perdagangan intra regional. Model yang
digunakan digunakan adalah gravity dengan variabel export coverage ratio (ECR)
yang diadaptasi dari pendekatan inventory untuk menangkap coverage ratio dari
subjek perdagangan yang terkena NTM pada hubungan perdagangan intra-regional
ASEAN. Komoditi yang diteliti mencakup 97 produk dalam HS dua digit, sehingga
dimasukkan variabel dummy untuk sektor pertanian dan industri sebagai pembeda
efek perdagangan antara kedua pasar tersebut. Hasil penelitian ternyata
menunjukkan bahwa ECR memiliki dampak yang positif baik pada produk
pertanian maupun industri. Akan tetapi, bagi beberapa negara seperti Cambodia,
Laos, Myanmar, dan Vietnam, NTM dapat menjadi hambatan apabila permasalahan
internal dalam industri domestic tidak bisa diatasi dengan baik oleh pemerintah
setempat.
Fontagne et al (2005) mengestimasi dampak SPS dan TBT pada perdagangan
internasional menggunakan model gravity. Negara yang diteliti meliputi negara
maju (developing country/ DC), negara berkembang (least developed country/
LDC), dan negara- negara OECD (Organization of Economic Co-operation and
Development). Hasil penelitian menunjukkan bahwa SPS dan TBT memiliki
dampak negatif dan signifikan pada negara- negara maju, dampak positif dan
signifikan pada negara- negara berkembang meskipun dengan elastisitas yang kecil,
sedangkan untuk negara- negara OECD tidak memiliki dampak signifikan.
Penelitian yang dilakukan oleh Bratt (2014) mengestimasi mengenai dampak
bilateral non-tariff measures pada 85 negara menggunakan gravity model yang
mencakup variabel keunggulan komparatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
secara keseluruhan NTM memiliki dampak negatif. Bagi negara eksportir
berpendapatan rendah, NTM yang diberlakukan oleh negara pengimpor
berendapatan tinggi cenderung memiliki dampak yang lebih besar dibandingkan
dengan NTM oleh negara berkembang yang diberlakukan pada eksportir negara
maju.
Kerangka Pemikiran
Kerjasama antarnegara pelaku perdagangan internasional dilakukan dalam
rangka memperluas akses pasar dan memajukan kesejahteraan antarnegara anggota
WTO. Salah satu kebijakan perdagangan internasional yang banyak diberlakukan
oleh negara- negara WTO adalah Non- Tariff Measures (NTMs). Kebijakan ini
diberlakukan sebagai bentuk proteksi terhadap produsen domestic dalam rangka
menghadapi persaingan impor. Implementasi dari NTMs yang paling banyak
13
digunakan yaitu sanitary and phytosanitary (SPS) dan technical barriers to trade
(TBT).
Salah satu komoditi potensial ekspor Indonesia yang tidak terlepas dari
pemberlakuan NTMs adalah Ikan tuna. Jumlah produksi yang memberikan
sumbangan besar pada subsektor perikanan serta pertumbuhan nilai ekspor ke
beberapa negara tujuan utama yang positif merupakan sebuah peluang besar jika
dapat dimanfaatkan dengan maksimal. Penggunaan SPS dan TBT yang banyak
diberlakukan pada komoditi ikan tuna oleh negara- negara tujuan utama
dimaksudkan sebagai upaya perlindungan terhadap manusia, hewan, dan
tumbuhan dari berbagai penyakit, serta sebagai bentuk regulasi teknis dan prosedur
penilaian kesesuaian.
Pendekatan inventory digunakan untuk menganalisis pemberlakuan SPS dan
TBT oleh negara pengimpor pada komoditi ikan tuna Indonesia, sedangkan untuk
menganalisis bagaimana dampak dari pemberlakuan kedua kebijakan tersebut
menggunakan model gravity. Hasil dari penelitian ini adalah implikasi kebijakan
terkait ekspor ikan tuna yang diharapkan dapat menjadi pertimbangan pemerintah.
Instrumen Kebijakan Perdagangan Internasional
Kebijakan Perdagangan
Hambatan Tarif
Hambatan Non Tarif
Dampak NTM pada ekspor ikan tuna
Pendekatan Inventory
(Frequency Index dan
Coverage Ratio)
Implementasi Non
Tarif (SPS dan
TBT) pada ekspor
ikan tuna
Model Panel Gravity
Implikasi Kebijakan
Gambar 3 Kerangka Pemikiran
Hipotesis
Hipotesis yang dibuat dalam penelitian ini adalah:
1. GDP per kapita suatu negara berhubungan positif dengan arus ekspor.
Pada hubungan bilateral, peningkatan GDP perkapita suatu negara
14
2.
3.
4.
5.
akan meningkatkan permintaan ekspor dan berhubungan positif
dengan GDP perkapita partner dagangnya.
Populasi negara importir berhubungan positif dengan arus ekspor
negara eksportir. Besarnya populasi akan meningkatkan GDP suatu
negara dan mendorong permintaan impornya.
Jarak ekonomi berpengaruh negatif terhadap hubungan perdagangan
antar negara. Semakin besar jarak ekonomi, maka akan semakin kecil
arus perdagangan bilateral.
Nilai tukar riil berpegaruh positif dengan arus ekspor antarnegara
dagang.
Penerapan NTMs (SPS dan TBT) oleh negara pengimpor berdampak
terhadap arus ekspor.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder timeseries tahun 2011-2013 dengan cross section negara tujuan utama meliputi China,
Jepang, Thailand, Amerika Serikat, Korea Selatan, Vietnam, dan Singapura. Data
berasal dari berbagai sumber dengan rincian pada tabel 4.
Tabel 3 Jenis dan sumber data
Jenis Data
Non Tariff Measures (NTMs)
Populasi
GDP perkapita
Ekspor dan Impor Ikan Tuna
Jarak geografis
Nilai tukar
IHK
Sumber
I- TIP WTO
World Bank
World Bank
WITS
CEPII
World Bank, OECD
World Bank
Satuan
jiwa
Juta USD
Juta USD
Km
Rp/ USD
Metode Analisis
Terdapat dua metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini, yakni
analisis deskriptif dengan pendekatan inventory dan analisis data panel dengan
model gravity.
Pendekatan Inventory
Analisis deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran umum mengenai
kinerja perdagangan ikan tuna dan kebijakan NTMs yang diberlakukan negara-
15
negara tujuan ekspor. Analisis pemberlakuan kebijakan NTMs dilakukan dengan
pendekatan inventory yang menggunakan frequency index dan coverage ratio
sebagai indikatornya.
Fugazza (2013) menjelaskan frequency index hanya digunakan untuk
mengukur ada atau tidaknya suatu NTMs, dan merangkum persentase produk
dimana satu atau lebih kebijakan NTMs diterapkan. Frequency index menunjukkan
persentase dari transaksi impor yang tercakup dalam sejumlah NTMs untuk negara
ekspor sedangkan coverage ratio merupakan persentase dari subjek perdagangan
yang dikenakan NTMs pada negara pengimpor dan memberikan ukuran pentingnya
NTMs impor secara keseluruhan. Kedua indikator tersebut dirumuskan sebagai
berikut:
�
=[
�
=[
�
�
�
�
� �
�
�
] ×
] ×
Dimana:
Fijt
= Frequency index negara pengekspor i ke negara pengimpor j pada
tahun t (%)
Dkt
= variabel dummy yang menunjukkan ada atau tidaknya satu atau
lebih NTM pada produk k pada tahun t
MkT
= jumlah produk k dengan total tahun dari jumlah yang diimpor
Cijt
= Coverage ratio negara pengekspor i ke negara pengimpor j pada
tahun t (%)
VkT
= nilai produk k dengan total tahun dari jumlah yang diimpor
j
= negara pengimpor
i
= negara pengekspor
k
= produk yang diimpor
t
= tahun diberlakukannya NTMs
T
= total tahun dari jumlah yang diimpor ke negara tujuan
Nilai frequency index dan coverage ratio berada pada rentang 0-100. Nilai
frequency index yang semakin kecil menunjukkan semakin sedikit penggunaan
NTMs oleh suatu negara, begitupun sebaliknya. Nilai coverage ratio yang semakin
kecil menunjukkan semakin sedikitnya cakupan produk yang terkena kebijakan
NTMs, sementara coverage ratio yang semakin besar menujukkan semakin luasnya
cakupan produk yang terkena kebijakan NTMs.
Model Gravity
Model gravity merupakan alat analisis untuk pendekatan ex-post yang
digunakan dalam mengukur dampak NTMs dalam ekspor suatu produk. Variabel
independen yang digunakan dalam rancangan model yakni nilai ekspor ikan tuna
Indonesia pada negara tujuan utama. Variabel bebasnya mencakup GDP perkapita
negara pengimpor, populasi negara pengimpor, jarak ekonomi bilateral antara
negara pengekspor dan pengimpor, pemberlakuan NTMs (TBT, dan SBS), dan nilai
tukar riil. Periode waktu data yang digunakan dari 2009- 2013.
16
Model yang digunakan dalam penelitian untuk melihat dampak NTMs
merujuk pada model gravity mengacu pada model penelitian Fontagne et al (2005).
Pada penelitian ini menggunakan pendekatan coverage ratio sebagai variabel
bebasnya. Model tersebut dirumuskan sebagai berikut:
ln �
�
=
Dimana:
EXijt
+
+
�
�
+
+
+
�+ �
�
�
�
+
�
= nilai ekspor ikan tuna Indonesia ke negara j pada tahun t
(juta US $)
= populasi negara pengimpor j pada tahun t (jiwa)
= GDP perkapita negara pengimpor j pada tahun t (juta USD)
= jarak ekonomi antara negara eksportir j dan Indonesia (km)
= nilai tukar riil Indonesia terhadap negara pengimpor j pada
tahun t
= coverage ratio TBT negara pengimpor j terhadap tuna
Indonesia pada tahun t (%)
= coverage ratio SPS negara pengimpor j terhadap tuna
Indonesia pada tahun t (%)
POPijt
GDPCjt
EDISTijt
RERijt
CR TBTijt
CR SPSijt
Definisi Operasional
1.
2.
3.
4.
Definisi operasioanl variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
Ekspor (EX) adalah total nilai ekspor komoditi tuna Indonesia ke negara
tujuan utama.
GDP perkapita (GDPC) merupakan jumlah pendapatan rata- rata dari
penduduk suatu negara pada periode tertentu.
Populasi (POP) yaitu total jumlah penduduk di negara tujuan ekspor dalam
satu tahun.
Jarak ekonomi (EDIST) merupakan variabel yang mewakili biaya
transportasi, diperoleh dari:
� �
� �
=
�
� �
� � ×
�
5. Real Exchange Rate (RER) merupakan nilai tukar riil negara pengekspor
terhadap negara pengimpor yang diperoleh dari:
=
�
�
� ×
� �
� �
6. Coverage Ratio TBT (CR TBT) adalah pemberlakuan NTM berupa TBT
yang dihitung dengan nilai impor suatu produk dan diukur dalam satuan
persen.
17
7. Coverage Ratio TBT (CR TBT) adalah pemberlakuan NTM berupa TBT
yang dihitung dengan nilai impor suatu produk dan diukur dalam satuan
persen.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Subsektor Perikanan dan Industri Ikan Tuna Indonesia
Perikanan merupakan salah satu dari empat subsektor dalam sektor pertanian.
Subsektor ini memiliki juga memiliki peran penting jika dilihat dengan
kontribusinya terhadap PDB. Grafik 1 memperlihatkan subsektor perikanan
memiliki kontribusi terbesar kedua setelah kelompok tanaman bahan makanan.
Berdasarkan data KKP, pada triwulan III tahun 2013, subsektor ini memberikan
kontribusi yang cukup signifikan yaitu sebesar 5.1% dibandingkan dengan share
subsektor lainnya.
PDB Harga Konstan 2000 (Milyar Rp)
180,000.00
160,000.00
140,000.00
Tanaman Bahan Makanan
120,000.00
Tanaman Perkebunan
100,000.00
80,000.00
Peternakan dan hasilhasilnya
60,000.00
Kehutanan
40,000.00
Perikanan
20,000.00
-
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Tahun
Sumber : BPS 2014
Gambar 4 PDB sektor pertanian atas dasar harga berlaku 2008-2013
Salah satu bagian dari subsektor perikanan yang memiliki peran penting
adalah ikan tuna. Tabel 5 memperlihatkan hasil produksi subsektor perikanan
selama 2008-2013. Komoditi ikan tuna memiliki kenaikan rata- rata terbesar
sepanjang enam tahun terakhir yakni tuna besar (Thunnus