Studi Q fever pada Ternak Ruminansia di Sumatera Utara

STUDI Q FEVER PADA TERNAK RUMINANSIA
DI SUMATERA UTARA

SANGKOT SAYUTI NASUTION

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Studi Q Fever pada
Ternak Ruminansia di Sumatera Utara adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014

Sangkot Sayuti Nasution
B351120061

RINGKASAN
SANGKOT SAYUTI NASUTION. Studi Q Fever pada Ternak Ruminansia di
Sumatera Utara. Dibimbing oleh AGUS SETIYONO dan EKOWATI
HANDHARYANI.
Salah satu penyakit yang dapat mengganggu produktifitas ternak
ruminansia dan bersifat zoonosis adalah penyakit Q fever. Q fever merupakan
penyakit yang terdapat di seluruh dunia kecuali Selandia Baru. Infeksi pada sapi
umumnya berlangsung asimtomatik tetapi dapat menyebabkan keguguran,
subfertilitas dan metritis. Pada ruminansia kecil, infeksi dapat menyebabkan
keguguran, lahir mati, retensi membran fetus, endometritis dan infertilitas, dimana
keguguran biasanya terjadi pada akhir kebuntingan. Dengan tidak spesifiknya
gejala klinis yang ditimbulkan, sebagian besar kasus Q fever seringnya tidak
dilaporkan dan tidak terdiagnosa. Hal ini berakibat pada terbatasnya informasi
mengenai penyebaran penyakit ini. Mengingat sebagian besar kasus pada hewan
berlangsung asimtomatik, diperlukan suatu usaha untuk mendeteksi agen
penyebab penyakit ini melalui metode uji yang dapat membuktikan
keberadaannya pada ternak ruminansia. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi

keberadaan Coxiella burnetii sebagai penyebab Q fever pada ternak ruminansia di
Sumatera Utara, secara histopatologi dan serologi.
Penelitian dilakukan dengan pendekatan deteksi penyakit, dimulai dengan
pengambilan sampel organ sapi di RPH Kota Medan dan Deli Serdang (RPH Tani
Asli dan RPH NP 96) serta pengumpulan sampel serum sapi, kambing dan domba
dari 6 (enam) Kabupaten/Kota di Sumatera Utara (Medan, Deli Serdang,
Simalungun, Asahan, Karo dan Labuhan Batu). Dalam tahap ini, sampel organ
limpa, paru paru dan hati dikumpulkan dari 162 ekor sapi eks impor, sedangkan
184 sampel serum dikumpulkan dari 58 ekor sapi, 75 ekor kambing 51 ekor
domba lokal. Selanjutnya dilakukan pengujian sampel di laboratorium dimana
organ sapi yang diperoleh dievaluasi secara histopatologi menggunakan
pewarnaan Imunohistokimia (IHK) untuk mendeteksi antigen Coxiella burnetii
dan Mayer’s Hematoksilin dan Eosin (HE) untuk mendeskripsikan lesio
histopatologi pada organ yang imunoreaktif dalam pengujian IHK.
Imunohistokimia dikerjakan menggunakan kit komersial dengan metode LSAB
produksi Dako®. Sampel serum sapi, kambing dan domba diuji dengan metode
Enzyme Linked Immunosorbent assay (ELISA) untuk mendeteksi keberadaan
antibodi terhadap Coxiella burnetii. Kit ELISA yang digunakan adalah produksi
ID.Vet dengan nama produk ID Screen® Q Fever Indirect Multi-Species.
Hasil pemeriksaan imunohistokimia pada sampel organ yang dikumpulkan

di RPH menunjukkan bahwa, 62/162 (38,3%) sapi eks impor imunoreaktif
terhadap antibodi Coxiella burnetii. Berdasarkan asal sampel, sampel yang berasal
dari RPH Kota Medan 40/101 (39,6%) diantaranya imunoreaktif dan
22/61(36,1%) sampel yang berasal dari RPH Kabupaten Deli Serdang
imunoreaktif. Organ yang imunoreaktif menunjukkan adanya warna coklat
spesifik di dalam sitoplasma sel-sel makrofag baik limpa, paru-paru dan hati.
Deskripsi lesio yang ditemukan pada organ limpa berupa infiltrasi sel-sel radang
neutrofil dan peningkatan sel-sel makrofag yang umumnya terlihat pada daerah
pulpa merah. Lesio lain yang ditemukan antara lain kongesti, kehadiran pigmen

hemosiderin, atrofi pulpa putih dan edema. Lesio yang terlihat pada paru-paru
antara lain adalah pneumonia interstitialis, kongesti, hemoragi, edema, atelektasis,
thrombus dan emfisema, infestasi parasit. Lesio pneumonia interstitialis ditandai
dengan pelebaran septa interalveolar akibat infiltrasi oleh sel-sel radang limfosit,
makrofag dan sedikit neutrofil. Lesio histopatologi pada organ hati antara lain ;
adanya reaksi peradangan yang ditandai dengan infiltrasi sel-sel radang limfosit,
makrofag, neutrofil, dan eosinofil umumnya ditemukan di daerah porta yang
menunjukkan adanya portal triaditis. Sel-sel radang didominasi oleh limfosit dan
makrofag serta sedikit kehadiran neutrofil dan eosinofil. Disamping itu ditemukan
kongesti, degenerasi dan nekrosis hepatosit, serta fibrosis hepatis.

Pemeriksaan ELISA pada seluruh sampel serum sapi, kambing maupun
domba lokal menunjukkan hasil negatif terhadap kehadiran antibodi Coxiella
burnetii. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut dapat dikatakan bahwa
kemungkinan besar hewan yang diuji belum pernah kontak dengan antigen
Coxiella burnetii. Dengan demikian secara tidak langsung belum ditemukan
kehadiran Coxiella burnetii pada populasi hewan sapi, kambing dan domba lokal
di Sumatera Utara.
Penelitian ini membuktikan adanya infeksi Coxiella burnetii sebagai
penyebab Q fever pada ternak ruminansia khususnya pada sapi eks impor di
Sumatera Utara. Namun demikian hasil pemeriksaan ELISA menunjukkan bahwa
kasus Q fever pada sapi, kambing dan domba lokal belum ditemukan.
Kata kunci : Q fever, Coxiella burnetii, ruminansia, imunohistokimia, ELISA

SUMMARY
SANGKOT SAYUTI NASUTION. Studies on Q Fever in Ruminants Livestock
in North Sumatra. Supervised by AGUS SETIYONO dan EKOWATI
HANDHARYANI.
Q fever is one of the animal diseases that can interfere the productivity of
ruminants livestock and has zoonotic properties. Q fever is a worldwide
distributed animal disease except for New Zealand. In cattle the infection of Q

fever generally asymptomatic but may cause abortion, subfertility and metritis. In
small ruminants the infection may cause abortion, stillbirth, retension of fetal
membranes, endometritis and infertility, where the abortion usually occur in the
last period of pregnancy. With no specific clinical signs, most cases of Q fever is
often unreported and undiagnosed. This resulted in a lack of information about the
spread of this disease. Because of majority of cases in animals appeared
asymptomatic, required an effort to detect the causative agent of the disease
through testing method that can prove its existence in ruminants. The aims of this
study was to detect the presence of Coxiella burnetii antigens and antibodies as
ethiological agent of Q fever in ruminants in North Sumatra, by histopathology
and serology methods.
The study was conducted with the disease detection approach, starting
with sampling of cattle organs at slaughter houses of Medan and Deli Serdang
(Tani Asli and NP 96 slaughter houses) and the collection of serum samples of
cattles, goats and sheep in 6 (six) districts of North Sumatra Province (Medan,
Deli Serdang, Simalungun, Asahan, Karo and Labuhan Batu). In this stage, spleen,
lung and liver samples were collected from 162 ex import cattles, while 184
serum samples were collected from 58 local cattles, 75 goats, and 51 sheep.
Further stage, the samples were tested in the laboratory where the cattle organs
evaluated histopathologically using Immunohistochemical staining (IHC) for the

detection of Coxiella burnetii antigens and Mayer's Hematoxylin and Eosin (HE)
to describe the histopathological lesions in organs that showed the
immunoreactivity in IHC. Immunohistochemistry was performed using a
commercial kit from Dako® with LSAB method. Serum samples of cattles, goats
and sheep were tested by enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) to detect
the presence of antibodies to Coxiella burnetii. The ELISA kits that used were
from ID.Vet with the product name ID Screen ® Q Fever Indirect Multi-Species.
Immunohistochemical examination results showed that, 62/162 (38.3%) of
ex import cattles were immunoreactive to Coxiella burnetii antibodies. Based on
the origin of the samples, the samples originating from Medan slaughter house
40/101 (39.6%) of them were immunoreactive and 22/61 (36.1%) samples derived
from Deli Serdang slaughter house were immunoreactive. The immunoreactive
organs showed the specific brown color in the cytoplasm of macrophages in the
spleen, lungs and liver. The lesions which were found in the spleen are infiltration
of inflammatory cells of neutrophils and increased number of macrophages that
commonly seen in the red pulp area. Other lesions such as congestion, presence of
hemosiderin pigment, atrophy of the white pulp and edema were also found.
Lungs histopathology revealed interstitial pneumonia, congestion, hemorrhage,
edema, atelectasis, emphysema, thrombus, and parasitic infestations. Interstitial


pneumonia was characterized by widening of interalveolar septa due to infiltration
by inflammatory cells such as lymphocytes, macrophages and neutrophils.
Histopathological lesions in the liver such as inflammatory reaction characterized
by infiltration of inflammatory cells such as lymphocytes, macrophages,
neutrophils, and eosinophils were generally found in the portal area indicating
portal triaditis. Inflammatory cells dominated by lymphocytes and macrophages
with few neutrophils and eosinophils were also found. In addition, there were
congestion, degeneration and necrosis of hepatocytes, and hepatic fibrosis.
The ELISA results in all serum samples of local cattles, goats and sheep
were negative for the presence of antibodies against Coxiella burnetii. Based on
these results, it can be concluded that the animals which tested most likely has no
contact with Coxiella burnetii antigens. Thus indirectly the presence of Coxiella
burnetii were not found in populations of local cattles, goats and sheep in North
Sumatra.
The results indicated the presence of Q fever infection especially on ex
import cattles in North Sumatra. However, the results of ELISA showed that the
infection of Q fever in local cattles, goats and sheep were not found.
Key words : Q fever, Coxiella burnetii, ruminant, immunohistochemistry, ELISA

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

STUDI Q FEVER PADA TERNAK RUMINANSIA
DI SUMATERA UTARA

SANGKOT SAYUTI NASUTION

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Biomedis Hewan


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof Dr drh Fachriyan Hasmi Pasaribu

Judul Tesis : Studi Q fever pada Ternak Ruminansia di Sumatera Utara
Nama
: Sangkot Sayuti Nasution
NIM
: B351120061

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Drh Agus Setiyono, MS PhD
Ketua

Prof Dr Drh Ekowati Handharyani, MSi

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Biomedias Hewan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Drh Agus Setiyono, MS PhD

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 16 Juni 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang

dipilih dalam penelitian yang telah dilaksanakan ialah penyakit hewan menular Q
fever, dengan judul Studi Q Fever pada Ternak Ruminansia di Sumatera Utara.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Drh Agus Setiyono, MS, Ph.D
dan Ibu Prof Dr Drh Ekowati Handharyani, MSi selaku pembimbing, Bapak Prof
Dr drh Fachriyan Hasmi Pasaribu selaku penguji luar komisi serta Drh Mawar
Subangkit, MSi yang telah memberikan bantuan, bimbingan dan saran selama
pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini. Di samping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada Kepala BPPSDMP Kementerian Pertanian yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan pada
jenjang magister ini melalui fasilitas beasiswa yang telah diberikan. Penghargaan
juga disampaikan kepada Bapak Kepala Balai Veteriner Medan, Bapak Drh
Suhirjan, Adinda Zulhajji, Bapak Sholeh, Bapak Kasnadi, Bapak Endang serta
seluruh staf Laboratorium Patologi FKH IPB. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada istri tercinta Eka Ervika, MSi, Psikolog, Ananda M. Faiz
Aqil Nasution dan M. Danish Afif Nasution serta seluruh keluarga, atas
pengorbanan, doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan masyarakat.

Bogor, Juni 2014
Sangkot Sayuti Nasution

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

i

DAFTAR GAMBAR

ii

DAFTAR LAMPIRAN

iii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2
3
3

TINJAUAN PUSTAKA
Coxiella bunetii
Patogenesis Q Fever
Q Fever pada Ternak Ruminansia
Deteksi Coxiella burnetii dengan Imunohistokimia
Deteksi Antibodi Terhadap Coxiella burnetii Dengan ELISA

3
3
4
6
8
9

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Bahan dan Alat
Metode

10
10
10
10

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Pengujian Imunohistokimia
Hasil Pembacaan Lesio Histopatologi
Hasil Pengujian ELISA
Pembahasan umum

14
14
18
25
27

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

30
30
30

DAFTAR PUSTAKA

31

LAMPIRAN

36

RIWAYAT HIDUP

47

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8

Interpretasi Hasil Pengujian ELISA
Jumlah Sampel Individu Sapi dan Hasil Pengujian Imunohistokimia
Hasil Pengujian Imunohistokimia Berdasarkan Jenis Organ
Hasil Pembacaan Lesio Histopatologi Limpa (HE)
Hasil Pembacaan Lesio Histopatologi Paru-paru (HE)
Hasil Pembacaan Lesio Histopatologi Hati (HE)
Jumlah Sampel Serum dan Hasil Pengujian ELISA
Ringkasan Hasil Pengujian IHK pada Sapi Eks Impor dan Hasil
Pengujian ELISA pada Sapi, Kambing dan Domba Lokal

14
15
16
20
22
24
26
28

DAFTAR GAMBAR
1 Alur Penelitian
2 Hasil Pewarnaan Imunohistokimia. Deteksi antigen Coxiella burnetii
pada sel-sel makrofag (panah) organ limpa (A), paru-paru (B) dan hati
(C).
3 Lesio Histopatologi Limpa (HE). A. Infiltrasi sel-sel radang makrofag
(panah) dan neutrofil (kepala panah) pada pulpa merah, B. Kongesti
(panah), C. Akumulasi pigmen hemosiderin (panah), dan edema (kepala
panah) ditandai dengan jarak antar sel yang melebar, D. Atrofi pulpa
putih (panah).
4 Lesio Histopatologi Paru-paru (HE). A. Pneumonia interstitialis
ditandai oleh infiltrasi sel-sel radang makrofag (panah hitam) dan
limfosit (kepala panah) dan neutrofil (panah putih) pada jaringan
interalveolar, B. Kongesti (panah), hemoragi (h) dan edema (kepala
panah), C. Thrombus (panah), D. Emfisema (e), dan infestasi parasit
(panah).
5 Lesio Histopatologi Hati (HE). Peradangan pada daerah porta ditandai
dengan infiltrasi sel-sel radang limfosit (kepala panah) dan makrofag
(panah), B. Kongesti (panah) C. Fokus nekrosis disertai oleh infiltrasi
sel-sel radang limfosit (kepala panah) dan makrofag (panah), D.
Fibrosis (panah).

11

17

19

21

24

DAFTAR LAMPIRAN
1 Populasi Ternak Ruminansia di Sumatera Utara Tahun 2012
2 Hasil Pengujian Imunohistokimia (IHK)
3 Hasil Pengujian Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

36
37
42

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu penyakit yang dapat mengganggu produktifitas ternak
ruminansia dan bersifat zoonosis adalah penyakit Q fever. Q fever merupakan
penyakit yang terdapat di seluruh dunia kecuali Selandia Baru (Rodolakis 2006;
Angelakis dan Raoult 2010). Pada Tahun 2009 wabah besar Q fever pernah terjadi
di Belanda, yang menyerang lebih dari 2300 orang dan menyebabkan 6 orang
meninggal dunia. Kasus tersebut diduga berasal dari peternakan kambing yang
terinfeksi Coxiella burnetii (Enserink 2010). Australia sebagai asal utama sapi
impor ke Indonesia masih belum bebas dari penyakit ini. Cooper et al. (2011)
membuktikan hal ini dengan melakukan kajian seroprevalensi pada sapi potong di
Queensland Australia, dimana 16.8% sampel serum yang diperiksa seropositif
terhadap Coxiella burnetii.
Di Indonesia, Q fever pertamakali dilaporkan pada sapi dimana sebanyak
189 serum sapi positif terhadap antibodi Coxiella burnetii (Kaplan dan Bertagna
1955). Miyashita et al. (2001) menemukan adanya kasus pneumonia yang
disebabkan oleh Coxiella burnetii pada seorang penderita yang mempunyai
riwayat pernah tinggal di Indonesia. Mahatmi et al. (2007), berhasil mendeteksi
agen penyakit ini pada 6,68 % sampel organ Sapi Brahman Cross, 5,7 % pada
organ domba yang diperoleh di Bogor, serta 4,29 % pada organ Sapi Bali yang
diperoleh di rumah potong hewan di Bali dengan metode Polymerase Chain
Reaction (PCR). Namun demikian, informasi keberadaan penyakit ini pada daerah
lainnya di Indonesia masih sangat terbatas.
Beberapa negara seperti Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara
bekas Uni Soviet telah mengembangkan Coxiella bunetii sebagai senjata biologis
(Jones et al. 2006). Q fever dianggap sebagai agen potensial dalam bioterorisme
karena tingkat infektifitas dan stabilitasnya pada lingkungan serta berpotensi
disebarkan melalui aerosol (OIE 2010). Amerika Serikat menempatkan Q fever
sebagai agen bioterorisme kategori B, dimana agen ini secara moderat mudah
disebarkan (Guarner dan Zaki 2006; Raoult 2009; CDC 2013).
Q fever adalah zoonosis yang disebabkan oleh Coxiella burnetii,
merupakan bakteri gram negatif intraseluler (Maurin dan Raoult 1999;
Woldehiwed 2004; Roest et al. 2011). Penyakit ini memiliki reservoir yang sangat
luas termasuk mamalia, unggas, dan arthropoda terutama caplak (Angelakis dan
Raoult 2010). Ruminansia domestik merupakan reservoir utama terhadap kasus
yang terjadi pada manusia (Astobiza 2012). Sapi, domba dan kambing merupakan
reservoir utama pada hewan (Fournier et al. 1998; Maurin dan Raoult 1999).
Infeksi pada sapi umumnya berlangsung asimtomatik tetapi dapat menyebabkan
keguguran, subfertilitas dan metritis (Porter et al. 2011). Pada ruminansia kecil,
infeksi dapat menyebabkan keguguran, lahir mati, retensi membran fetus,
endometritis dan infertilitas, dimana keguguran biasanya terjadi pada akhir
kebuntingan (Arricau-Bouvery dan Rodolakis 2005 ; Van den Brom dan Vellema
2009). Gejala klinis Q fever pada manusia sering digambarkan seperti flu. Akan
tetapi gambaran penyakitnya dapat terlihat mulai dari demam tidak spesifik yang
berhenti dengan sendirinya, sampai dengan pneumonia atipikal, endokarditis,

2
hepatitis dan manifestasi neurologis (Woldehiwet 2004; Porter 2011). Dengan
tidak spesifiknya gejala klinis yang ditimbulkan, sebagian besar kasus Q fever
tidak dilaporkan dan tidak terdiagnosa (EFSA 2010).
Mengingat sebagian besar kasus pada hewan berlangsung asimtomatik,
diperlukan suatu usaha untuk mendeteksi agen penyebab penyakit ini melalui
metode uji yang dapat membuktikan keberadaannya pada ternak ruminansia. Pada
penelitian ini dilakukan deteksi antigen Coxiella burnetii pada sampel organ yang
telah difiksasi Buffered Neutral Formalin (BNF) menggunakan teknik
Imunohistokimia (IHK). Aplikasi IHK untuk mendeteksi antigen Coxiella burnetii
telah banyak digunakan. Studi histopatologi dan IHK menunjukkan keberadaan
antigen Coxiella burnetii pada plasenta kambing yang diinfeksi (Sanchez et al.
2006). Hal yang hampir sama dilakukan oleh Hansen et al. (2011) untuk melihat
distribusi antigen Coxiella burnetii pada plasenta sapi. Norina et al. (2011)
melakukan studi retrospektif dengan teknik IHK pada organ kambing yang
terinfeksi Coxiella burnetii, dan berhasil mendeteksi keberadaan agen tersebut
pada berbagai organ seperti hati, limpa, paru-paru, plasenta, dan ginjal.
Lebih lanjut, pada penelitian ini juga dilakukan deteksi antibodi Coxiella
burnetii,menggunakan metode Enzyme Linked Immunosarbent Assay (ELISA).
Metode ELISA memiliki sensitifitas yang tinggi dan spesifitas yang baik dalam
mendeteksi antibodi Coxiella burnetii (Kittelberger et al. 2009; Rousset et
al.2007). Teknik ini banyak digunakan dalam diagnosis veteriner karena relatif
mudah dikerjakan terutama untuk tujuan screening sampel dalam skala besar.
Enzyme Linked Immunosarbent Assay merupakan teknik yang cukup handal
dalam menunjukkan keberadaan antibodi Coxiella burnetii (OIE 2010). Metode
ELISA dapat mendeteksi baik antibodi terhadap fase I maupun fase II dari
Coxiella burnetii, dimana antibodi spesifik terhadap Coxiella burnetii masih dapat
dideteksi sampai dengan lima tahun setelah periode akut infeksi (Fournier et al.
1998).

Perumusan Masalah
Q fever yang disebabkan oleh Coxiella burnetii merupakan penyakit yang
dapat mengganggu produktifitas ternak ruminansia serta bersifat zoonosis. Sampai
saat ini penelitian mengenai kejadian dan penyebaran Q fever di Indonesia masih
jarang dilakukan. Hal ini menyebabkan terbatasnya ketersediaan informasi
mengenai penyebaran penyakit tersebut. Sumatera Utara merupakan provinsi yang
memiliki populasi ternak ruminansia yang cukup tinggi dan merupakan salah satu
daerah penerima sapi impor. Namun demikian, informasi keberadaan dan tingkat
penyebaran penyakit Q fever di provinsi tersebut belum diketahui. Oleh sebab itu
itu dibutuhkan penelitian yang bisa membuktikan keberadaan dan tingkat
penyebaran penyakit tersebut.
Deteksi keberadaan penyakit Q fever tersebut dilakukan dengan
pendekatan pengujian penyakit ini pada ternak ruminansia khsususnya pada sapi,
kambing dan domba. Pengujian dilakukan dengan metode yang mampu
membuktikan keberadaan agen penyebab penyakit tersebut pada sampel organ.
Disamping itu deteksi antibodi terhadap Coxiella burnetii dilakukan sebagai
pembuktian tidak langsung kehadiran antigen tersebut pada populasi ternak sapi,

3
kambing dan domba. Salah satu uji yang dapat mendeteksi antigen Coxiella
burnetii pada organ adalah metode imunohistokimia. Sedangkan uji yang mampu
mendeteksi keberadaan antibodi terhadap agen tersebut salah satunya adalah
metode ELISA.
Imunohistokimia merupakan teknik yang dapat dipakai untuk mendeteksi
keberadaan antigen tertentu pada jaringan dengan mereaksikannya dengan
antibodi spesifik. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa Coxiella burnetii
bisa dideteksi pada sel-sel makrofag limpa, paru-paru dan hati. Dengan demikian
jika antigen Coxiella burnetii terdapat pada sampel organ sapi yang dikumpulkan
maka akan dapat dideteksi dengan teknik IHK yang digunakan. Antibodi terhadap
Coxiella burnetii terbentuk 3-4 minggu setelah munculnya gejala akut Q fever dan
masih dapat dideteksi selama bertahun-tahun. Enzyme Linked Immunosorbent
Assay adalah teknik yang mampu mendeteksi antibodi tersebut. Jika antibodi
terhadap Coxiella burnetii terdapat pada sampel serum sapi, kambing dan domba
yang dikumpulkan akan dapat di deteksi dengan teknik ELISA yang digunakan.
Dengan adanya hasil kedua uji ini maka akan diketahui keberadaan dan
penyebaran penyakit Q fever di Sumatera Utara.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi keberadaan Coxiella burnetii
sebagai penyebab Q fever pada ternak ruminansia di Sumatera Utara, secara
histopatologi dan serologi.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan manfaat berupa tersedianya informasi keberadaan
Q fever pada ternak ruminansia di Sumatera Utara. Secara spesifik penelitian ini
menambah pengetahuan dan keterampilan khususnya dalam penggunaan metode
IHK dan ELISA dalam mendeteksi Coxiella burnetii. Berdasarkan informasi yang
diperoleh dapat dilakukan penelusuran balik (Traceback) terhadap asal ternak
yang positif terhadap Coxiella burnetii sehingga dapat dilakukan usaha
pengobatan, pengendalian dan pencegahan penyakit ini pada populasi ternak
lainnya. Informasi ini dapat dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai dasar dalam
membuat kebijakan dan konsep pengendalian penyakit.

TINJAUAN PUSTAKA
Coxiella bunetii
Coxiella burnetii adalah penyebab Q fever pada hewan dan manusia. Q
fever pertamakali dideskripsikan oleh Edward Holbrook Derrick pada pekerja
rumah potong hewan di Brisbane Queensland Australia pada Tahun 1935. “Q”
berarti “query” dan telah dipakai pada saat agen penyebab penyakit ini belum
diketahui. Nama ini lebih dipilih dibanding “abattoir fever” dan “queensland

4
rickettsial fever” untuk menghindari konotasi negatif terhadap industri sapi dan
negara bagian Queensland. Penyebab Q fever ditemukan Tahun 1937 ketika Frank
Macfarlane Burnet dan Mavis Freeman mengisolasi bakteri dari salah satu pasien
Derrick. Bakteri ini awalnya diidentifikasi sebagai salah satu spesies Rickettsia.
Selanjutnya, pada Tahun 1938 HR Cox dan Gordon Davis mengisolasi bakteri ini
dari caplak di Montana Amerika Serikat (Fournier et al. 1998; Honarmand 2012).
Sebagai penghargaan terhadap kedua penemu tersebut, agen penyebab penyakit
tersebut saat ini diberi nama Coxiella burnetii.
Ada beberapa cara penularan penyakit ini baik pada hewan maupun
manusia. Manusia dapat tertular terutama melalui aerosol yang terkontaminasi
(Maurin dan Raoult 1999; Rodolakis 2006; Angelakis dan Raoult 2010), kontak
langsung dengan sumber penularan, partikel debu, bahan makanan asal hewan,
susu, luka yang terkontaminasi serta melalui transfusi darah (Baca dan Paretsky
1983; Fournier et al. 1998; Maurin dan Raoult 1999; Woldehiwed 2004). Lebih
lanjut, Coxiella burnetii juga berpeluang ditularkan secara seksual (Porter et al.
2011).
Coxiella burnetii adalah bakteri gram negatif intraseluler obligat kecil
yang tidak dapat ditumbuhkan pada media buatan. Bakteri ini berbentuk batang
pleomorfik kecil (lebar 0.4-1.0 µm, panjang 0.4-1.0 µm) yang memiliki membran
mirip dengan bakteri gram negatif lainnya dan biasanya tidak bisa diwarnai
dengan teknik pewarnaan gram (Maurin dan Raoult 1999). Bakteri ini berreflikasi
di dalam vakuola parasitophorous dari sel inang eukariot dengan perkiraan waktu
penggandaan 20-45 jam (Angelakis dan Raoult 2010). Organisme ini bisa
berbentuk small cell variant (SCV) atau dalam bentuk large cell variant (LCV)
(Angelakis dan Raoult 2010). Berdasarkan analisis sequensing rRNA 16S
ditunjukkan bahwa, genus Coxiella termasuk dalam subdivisi dari gamma
proteobacteria bersama dengan genus Legionella, Francissella dan Rickettsiella
(Maurin dan Raoult 1999).
Coxiella burnetii memiliki variasi genetik yang disebut dengan variasi fase.
Fenomena ini mirip dengan variasi kasar-halus pada enterobacteria yang
disebabkan oleh hilangnya sebagian dari lipopolisakarida (LPS). Lipopolisakarida
bertindak sebagai determinan virulensi utama dari Coxiella burnetii. Ketika
diisolasi dari hewan atau manusia Coxiella burnetii merupakan antigen fase I yang
sangat infeksius. Setelah subkultur pada sel atau telur berembrio, modifikasi dari
LPS menghasilkan pergeseran antigenik kedalam bentuk fase II yang kurang
infeksius. Amano et al. 1987 menemukan bahwa fase II dari bakteri ini
kehilangan komponen LPS galactosaminuonyl-α-(l-6)-glucosamine, virenose dan
dihydrohydroxystreptose. Modifikasi LPS ini membuat protein permukaan dapat
diakses oleh antibodi (Fournier et al. 1998; Arricau-Bouvery dan Rodolakis 2005;
Angelakis dan Raoult 2010; Porter et al. 2011).

Patogenesis Q Fever
Rute terpenting dari infeksi Q fever adalah inhalasi (aerosol) bakteri pada
debu yang terkontaminasi, sementara rute oral dianggap sebagai rute sekunder.
Pada saat terhirup atau termakan bentuk ekstraseluler dari Coxiella burnetii
menempel pada membran sel dan kemudian masuk ke dalam sel induk semang.

5
Perlekatan bakteri fase I pada membran sel dimediasi oleh v3 integrin,
sedangkan bakteri fase II dimediasi oleh v3 integrin dan reseptor CR3 (Capo
et al. 1999; Angelakis dan Raoult 2010). Fagolisosom terbentuk setelah fusi dari
fagosom dan acidic lisosom dari sel. Fagolisosom-fagolisosom intraselular pada
akhirnya bersatu sampai terbentuk sebuah vakuola besar yang unik. Coxiella
burnetii telah beradaptasi dengan fagolisosom sel eukariot dan mampu
memperbanyak diri dalam vakuola yang asam (Arricau-Bouvery dan Rodolakis
2005; Porter et al.2011). Kondisi asam dibutuhkan bakteri ini untuk metabolisme
termasuk asimilasi nutrien serta sintesis asam nukleat dan asam amino (Maurin
dan Raoult 1999; Porter et al.2011). Multifikasi Coxiella burnetii dapat berhenti
oleh peningkatan pH fagolisosom oleh agen lisosomotrofik seperti chloroquine
(Porter et al. 2011)
Siklus intraseluler Coxiella burnetii menyebabkan terbentuknya dua tahap
perkembangan dari bakteri ini yang dikenal dengan small cell variant (SCV) dan
large cell variant (LCV). Small cell variant adalah bentuk ekstraselular dari
bakteri. Berdasarkan penelitian sebelumnya, SCV dianggap secara metabolisme
inaktif dan mampu bertahan pada kondisi ekstrim seperti terhadap panas, desikasi,
pH rendah atau tinggi, desinfektan, produk kimia, tekanan osmotik, dan sinar
ultraviolet. Kondisi ini menyebabkan bakteri ini mampu bertahan lama pada
lingkungan walaupun tidak terdapat induk semang yang cocok. Small cell variant
dari Coxiella burnetii bersifat irreversibel (Maurin dan Raoult 1999; Porter et
al.2011)
Lebih lanjut, setelah terhirup atau termakan SCV menempel pada
membran sel dan masuk ke dalam sel. Setelah fusi fagolisosom, keasaman dari
vakuola yang baru terbentuk akan menginduksi aktivasi metabolisme SCV dan
berkembang menjadi LCV (Maurin dan Raoult 1999; Porter et al. 2011). Selama
morfogenesis dari SCV kedalam bentuk LCV tidak terdapat peningkatan jumlah
bakteri (Porter et al. 2011). LCV dianggap sebagai bentuk intraseluler aktif dari
Coxiella burnetii. Bentuk ini lebih pleomorfik dibanding SCV. Dinding selnya
lebih tipis dan memiliki daerah filamentouse nucleoid yang lebih menyebar dan
panjangnya bisa melebihi 1 µm (Porter et al. 2011). Pertumbuhan intraseluler
relatif lambat dengan waktu penggandaan sekitar 8-12 jam (Porter et al. 2011).
Large cell variant dapat berdiferensiasi menjadi bentuk spore-like dengan
pembelahan biner asimetris. Bentuk endogenous spore-like dapat berkembang dan
mengalami perubahan metabolisme sampai akhirnya mencapai bentuk SCV, dan
pada akhirnya sel akan pecah atau kemungkinan mengalami eksositosis untuk
melepaskan bakteri resisten ke media ekstraseluler (Maurin dan Raoult 1999;
Porter et al. 2011).
Coxiella burnetii memiliki dosis infeksi yang sangat rendah. Infeksi dapat
berlangsung meskipun oleh satu sel bakteri tersebut (Woldehiwet 2004). Target
sel dari Coxiella burnetii adalah sel-sel monosit/makrofag (Shannon dan Heinzen
2009; Angelakis dan Raoult 2010). Setelah multiplikasi primer pada limfonodus
regional, akan disusul dengan bakteremia (Woldehiwet 2004). Pada fase akut
infeksi pada hewan, kehadiran Coxiella burnetii dapat ditemukan pada paru-paru,
hati, limpa dan darah. Pada fase kronis dari infeksi tidak ada gejala yang terlihat
(Maurin dan Raoult 1999). Pada Q fever yang bersifat kronis, Coxiella burnetii
bermultiplikasi di dalam sel-sel makrofag (Fornier et al. 1998).

6
Kontrol dari infeksi primer Q fever melibatkan respon immun beperantara
sel dan pembentukan granuloma. Lesio granuloma memiliki sebuah ruang terbuka
sentral dan sebuah cincin fibrin dan kemudian disebut sebagai doughnut
granuloma (Angelakis dan Raoult 2010). Perubahan patologi pada marmut yang
diinfeksi buatan dapat ditemukan pada organ yang berbeda beberapa hari setelah
infeksi. Limpa dan limfonodus mesenterika dapat membengkak dan pada
pengujian histologi paru-paru menunjukkan adanya infiltrasi sel sel mononuklear,
sedangkan granuloma ditemukan pada hati, limpa dan sumsum tulang (Maurin
dan Raoult 1999). Studi retrospektif yang dilakukan oleh Norina et al. (2011)
pada kambing yang terinfeksi Coxiella burnetii menunjukkan adanya radang
granulomatosa pada paru-paru, hati dan limpa.
Pengambilan patogen intraseluler oleh antigen presenting cells (APC)
menyebabkan kehadiran antigen patogen pada permukaan sel induk semang.
Kehadiran antigen ini disertai dengan ekspresi molekul costimulatory Sel T pada
pemukaan APC. Kejadian ini menyebabkan mobilisasi Sel T spesifik antigen. Sel
T yang teraktivasi dalam jumlah besar direkrut ke daerah infeksi dan
menghasilkan sitokin peradangan seperti interferon gamma (IFN-γ) dan
tumornecrosis factor (TNF). Sitokin tersebut menstimulasi respon antimikrobial
pada berbagai tipe sel yang mengkontrol infeksi. Sel T juga merekrut sel
mononuklear limfosit dan limfoblas ke daerah infeksi dan membentuk granuloma
yang secara efektif membatasi invasi patogen. Produksi spesies oksigen dan
nitrogen reaktif (ROS dan RON) oleh sel sebagai respon terhadap IFN-γ, terlihat
memainkan peranan penting dalam kontrol replikasi bakteri intraseluler. Infeksi
Coxiella burnetii sering menyebabkan lesio granulomatosa pada berbagai organ
termasuk limpa, hati dan paru-paru (Shannon dan Heinzen 2009).
Antibodi terhadap Coxiella burnetii akan terbentuk 3-4 minggu setelah
gejala Q fever akut, sebagian besar antibodi yang terbentuk adalah anti fase II
yang diduga bersifat proteinaceouse. Faktanya, pembentukan anti fase II ini
disertai pula dengan terbentuknya anti fase I pada tingkat yang rendah yang
terutama ditujukan terhadap LPS, dan dianggap bernilai diagnostik pada Q fever
akut (Shannon dan Heinzen 2009). Pada fase kronis antibodi terhadap fase I akan
terlihat meningkat (Fournier et al. 1998)

Q Fever pada Ternak Ruminansia
Q fever terdapat di seluruh dunia kecuali New Zealand (Angelakis dan
Raoult 2010). Reservoir dari Coxiella burnetii sangat luas termasuk mamalia liar,
mamalia domestik, unggas, dan arthropoda seperti caplak. Meskipun demikian
ruminansia domestik merupakan sumber penularan utama infeksi Coxiella
burnetii pada manusia (Maurin dan Raoult 1999). Q fever menyebar luas pada
ternak, dimana seroprevalensinya dari tahun ke tahun diduga terus meningkat.
Penyakit ini sering diabaikan dalam diferensial diagnosa, sehingga tetap bertahan
pada kelompok ternak dan menimbulkan kerugian finansial dalam jangka panjang
(Porter et al.2011). Berdasarkan deteksi yang dilakukan di lima benua, umumnya
prevalensi (apparent prevalence) Coxiella burnetii adalah sebesar 20 % pada sapi
dan 15 % pada ruminansia kecil seperti kambing dan domba (Guatteo et al. 2011).

7
Infeksi pada hewan umumnya asimtomatik. Pada fase akut dari infeksi
kehadiran Coxiella burnetii dapat ditemukan pada paru-paru, hati, limpa dan
darah. Pada fase kronis dari infeksi tidak ada gejala yang terlihat (Maurin dan
Raoult 1999). Pada sapi infeksi sering bersifat asimtomatik, tetapi dapat
menyebabkan abortus, subfertilitas, metritis dan mastitis (Porter et al.2011). Pada
studi yang dilakukan Plommet et al. dalam Agerholm (2013), ditemukan bahwa
sapi yang dinfeksi Coxiella burnetii secara intradermal menunjukkan adanya
respon deman 40-41 oC dalam 24-36 jam, yang disertai dengan adanya pneumonia
yang sembuh dengan sendirinya. Infeksi pada ruminansia kecil dapat
menyebabkan abortus, lahir mati, retensi membran fetus, endometritis dan
infertilitas (Van den Brom dan Vellema 2009). Umumnya abortus terjadi pada
periode akhir kebuntingan (Arricau-Bouvery dan Rodolakis 2005).
Hewan terinfeksi dapat mengeluarkan Coxiella burnetii pada produk
kelahiran, urin, feses, dan susu. Pengeluaran agen ini bisa bertahan selama
berbulan bulan (Arricau-Bouvey dan Rodolakis 2005). Studi yang dilakukan oleh
Rousset el al.(2009) pada kambing perah yang terinfeksi menunjukkan adanya
pengeluaran Coxiella burnetii pada mukus vagina, feses dan susu, dimana pada
kambing yang tidak mengalami abortus ekskresi antigen masih terlihat pada 27 %
sampel mukus vagina, 20 % pada feses, dan 31 % pada susu. Sedangkan pada
kambing yang mengalami abortus ekskresi antigen masih terlihat pada 44 %
sampel mukus vagina, 21 % pada feses, dan 38 % pada susu.
Guatteo et al.(2006) melakukan kajian mengenai rute pengeluaran
Coxiella burnetii oleh sapi perah yang terinfeksi. Pada studi ini terlihat bahwa
pengeluaran melalui susu merupakan yang paling tinggi angka positif terhadap
Coxiella burnetii dibanding pada sampel feses dan mukus vagina. Meskipun
demikian pengeluaran melalui feses dan mukus vagina masih memberikan akibat
yang besar pada terjadinya kontaminasi terhadap lingkungan. Kruszewska dan
Wierzbanowska (1997) pernah melaporkan adanya Coxiella burnetii pada semen
sapi pejantan yang digunakan dalam inseminasi buatan. Studi pada kambing yang
terinfeksi secara alami menunjukkan adanya abortus dan lahir mati, dimana pada
hapusan (swab) vagina dan sampel susu, pengeluaran bakteri masih dapat
ditemukan empat bulan setelah terjadinya wabah Coxiella burnetii (Berri et al.
2007). Data epidemiologi menunjukkan bahwa sapi lebih sering terinfeksi secara
kronis dibandingkan pada domba dan secara persisten mengeluarkan bakteri
Coxiella burnetii. Tempat infeksi kronis pada sapi adalah uterus dan kelenjar
ambing (Baca dan Paretky 1984).
Lebih lanjut Coxiella burnetii berkaitan erat dengan kejadian plasentitis
(Hansen et al. 2011; Porter et al. 2011). Nekrosis plasenta dan bronchopneumonia
pada fetus juga sangat erat kaitannya dengan kehadiran Coxiella burnetii pada
trofoblas. Tidak seperti pada manusia dan sapi yang diinfeksi secara
eksperimental, ruminansia yang terinfeksi secara alami jarang menunjukkan gejala
respirasi dan jantung (Porter et al. 2011).
Beberapa studi menunjukkan bahwa kejadian Q fever pada kambing
berhubungan dengan kejadian Q fever pada manusia (Shcimmer et al. 2009; Van
den Brom dan Vellema 2009; Porter et al.2011). Di beberapa negara, kambing
merupakan sumber utama infeksi terhadap manusia karena perkembangan
peternakannya yang ekstensif dan kedekatannya dengan manusia (Porter et al.
2011). Q fever pada kambing dapat menginduksi terjadinya pneumonia,

8
keguguran, lahir mati dan lahir lemah, dua gejala klinis terakhir merupakan yang
paling sering terlihat (Porter et al. 2011). Keguguran terjadi diakhir masa
kebuntingan (Rousset et al. 2009). Frekuensi kejadian keguguran pada kambing
lebih sering dibandingkan dengan domba (Porter et al. 2011)
Q fever pada domba dapat menyebabkan keguguran, sama dengan yang
terjadi pada kambing (Berri et al.2007; Porter et al. 2011). Meskipun demikian
infeksi kronis jarang terjadi pada domba. Domba terinfeksi mengeluarkan
Coxiella burnetii dari sekresi vagina, urin, feses dan susu. Infeksi alami pada
domba menunjukkan bahwa, bakteri dapat diisolasi pada cairan vagina pada
waktu lama setelah terjadinya keguguran. Dua kasus pada manusia yang terjadi di
Prancis berhubungan dengan penggunaan pupuk dari feses domba. Pada domba
tidak ditemukan gejala klinis meskipun hewan seropositif dan mengeluarkan
bakteri pada fesesnya. Wabah Q fever yang terjadi di Bulgaria Tahun 2004 juga
berkaitan dengan infeksi pada domba dan kambing (Porter et al. 2011).

Deteksi Coxiella burnetii dengan Imunohistokimia
Coxiella burnetii memiliki virulensi yang sangat tinggi sehingga hanya
laboratorium yang memiliki fasilitas biosafety level 3 (BSL3) dan personil yang
berpengalaman yang diperbolehkan melakukan manipulasi spesimen yang
terkontaminasi agen ini dan menumbuhkan mikroorganisme ini dari sampel klinis
(Fournier et al. 1998). Pada penelitian ini dilakukan deteksi antigen Coxiella
burnetii pada berbagai sampel organ yang telah difiksasi dengan BNF,
menggunakan teknik pewarnaan Imunohistokimia (IHK) sehingga diharapkan
resiko zoonosis akan dapat dikurangi selama pengerjaan.
Konsep dasar dari imunohistokimia adalah menunjukkan adanya antigen
di dalam jaringan oleh antibodi yang spesifik terhadap antigen tersebut. Ketika
ikatan antigen dan antibodi terjadi, ikatan ini akan diperlihatkan dengan sebuah
reaksi warna histokimia yang terlihat dengan mikroskop cahaya biasa atau dengan
fluorokrom dengan cahaya ultraviolet. Imunohistokimia telah menjadi sebuah
metode yang kuat dan handal baik untuk diagnosa rutin dan penelitian dalam
bidang kedokteran hewan (Ramos-Vara 2005).
Imunohistokimia memiliki peranan penting dalam diagnostik histopatologi
(D’Amico et al. 2008). Spesifitas dan sensitifitas yang baik, produk reaksinya
yang permanen, kegunaannya dalam jaringan yang diembeding dengan parafin
membuat metode immunoperoxidase sebagai teknik yang banyak dipakai saat ini
(Baumgartner et al. 1988). Lebih lanjut teknik ini dapat digunakan untuk
mempelajari penyebaran dan patogenesis Coxiella burnetii dengan infeksi buatan
pada hewan laboratorium serta infeksi alami pada hewan dan manusia pada
jaringan yang telah diembeding dengan parafin (Baumgartner et al. 1988).
Aplikasi imuhistokimia untuk mendeteksi antigen Coxiella burnetii telah
banyak digunakan. Dilbeck dan McElwain (1994) telah mengembangkan teknik
ini pada plasenta kambing dan domba yang telah diembeding serta diketahui
positif terhadap Coxiella burnetii, dan mampu menunjukkan keberadaan agen ini.
Hal yang sama dilakukan pada plasenta sapi dimana distribusi antigen terlihat
pada sitoplasma trofoblas kotiledon (Hansen et al. 2011). Studi histopatologi dan
imunohistokimia infeksi buatan Coxiella burnetii pada kambing menunjukkan

9
keberadaan antigen ini pada plasenta (Sanchez et al. 2006). Metode IHK juga
telah digunakan untuk mendeteksi Coxiella burnetii pada kasus endokarditis
(Lepidi et al. 2006) dan kasus hepatitis kronis yang disebabkan oleh agen ini
(Lepidi et al. 2009). Studi retrospektif yang dilakukan oleh Norina et al.(2011)
pada kambing yang terinfeksi Coxiella burnetii menunjukkan teknik IHK mampu
mendeteksi keberadaan agen tersebut pada berbagai organ seperti hati, limpa,
paru-paru, plasenta, dan ginjal. Russell-Lodrigue et al. (2006) mampu
membuktikan keberadaan antigen Coxiella burnetii pada organ limpa, paru-paru
dan hati marmut yang di infeksi secara buatan melalui jalur pernafasan dengan
metode IHK.
Deteksi Antibodi Terhadap Coxiella burnetii Dengan ELISA
Prinsip dasar dari ELISA adalah menggunakan enzim untuk mendeteksi
adanya ikatan antigen dan antibodi. Enzim mengubah substrat (chromogen) tidak
berwarna menjadi hasil yang berwarna yang mengindikasikan keberadaan ikatan
antigen dan antibodi. Enzyme Linked Immunosorbent Assay dapat digunakan
untuk mendeteksi keberadaan antigen maupun antibodi dalam sampel tergantung
bagaimana uji ini didisain (Ma et al. 2006).
Teknik ELISA memiliki sensitifitas yang tinggi dan spesifitas yang baik
dalam mendeteksi antibodi Coxiella burnetii (Kittelbergeret al. 2009; Rousset et
al.2007). ELISA lebih dipilih dibanding Immunofluorescence Antibody Assay
(IFA) dan Complement Fixation Test (CFT) khususnya dalam diagnosis veteriner
karena teknik ini mudah dikerjakan pada uji screening dengan sampel skala besar
dan merupakan teknik yang cukup handal untuk menunjukkan keberadaan
antibodi Coxiella burnetii (OIE 2010). Teknik ELISA digambarkan lebih spesifik
dan sensitif dibandingkan dengan CFT dalam diagnosis Q fever. Metode ini
diusulkan sebagai metode dalam melakukan survey seroepidemiologi. Teknik
ELISA dapat mendeteksi baik antibodi terhadap fase I maupun fase II dari
Coxiella burnetii, dimana antibodi spesifik terhadap Coxiella burnetii masih dapat
dideteksi sampai dengan lima tahun setelah periode akut infeksi terjadi (Fournier
et al. 1998)
Aplikasi ELISA untuk mendeteksi antibodi Coxiella burnetii pada hewan
ruminansia telah banyak digunakan. Teknik ELISA pernah digunakan dalam
diagnosa serologis kambing perah yang mengalami gangguan reproduksi. Pada
kasus ini, uji serologi yang dilakukan 6 (enam) bulan setelah keguguran
menunjukkan adanya antibodi Coxiella burnetii (Berry et al. 2007). Nogareda et
al. (2012) menggunakan ELISA dalam melihat dinamika seroprevalensi dari
infeksi Coxiella burnetii dan serokonversi pada kelompok sapi perah yang
terinfeksi Coxiella burnetii. Selanjutnya, investigasi yang dilakukan dengan
ELISA pada kambing perah yang mengalami abortus menunjukkan seroprevalensi
Coxiella burnetii sebesar 74 %, 67 % dan 50 % pada sampel serum yang diambil
pada hari ke 24, 130 dan 207 setelah abortus yang terakhir (Reichel et al. 2012).
Survey seroepidemiologi dengan teknik ELISA yang dilakukan pada
peternakan domba di bagian selatan Marmara Turki menunjukkan bahwa 20 %
(151/743) sampel serum seropositif terhadap Coxiella burnetii (Kennerman et al.
2010). Serum sapi potong yang dikumpulkan dari rumah potong hewan di

10
Queensland Australia menunjukkan 16.8 % seropositif Coxiella burnetii dengan
teknik ELISA yang menggunakan antigen fase I maupun fase II dari bakteri
(Cooper et al. 2011). Penelitian yang dilakukan di Al-Qossim City Iraq
memperlihatkan 16 % seropositif terhadap Coxeilla burnetii dari 500 sampel
serum ruminansia kecil (domba dan kambing) yang duji dengan ELISA (Kshash
2012). Hal ini menunjukkan teknik ini sangat berguna dalam diagnosis dan survey
serologis Q fever pada kelompok ternak ruminansia.

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan dari bulan Juli 2013 sampai dengan Januari 2014
di Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Medan, RPH Tani Asli dan RPH NP 96
Kabupaten Deli Serdang, Balai Veteriner Medan dan Laboratorium Patologi
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah organ limpa, paru-paru
dan hati yang dikumpulkan dari ternak sapi eks impor di RPH Kota Medan dan
Kabupaten Deli Serdang (RPH Tani Asli dan RPH NP 96) serta sampel serum
sapi, kambing, dan domba lokal yang berasal dari 6 (enam) kabupaten/kota di
Sumatera Utara. Kabupaten/Kota yang menjadi lokasi pengambilan sampel serum
adalah ; Medan, Deli Serdang, Simalungun, Asahan, Karo dan Labuhan Batu.
Pemilihan lokasi ini didasarkan pada populasi ternak dan/atau manusia yang
relatif tinggi.
Bahan dan peralatan yang dibutuhkan antara lain : buffered neutral
formaline (BNF) 10%, poly l lysine, kit LSAB dari Dako®, polyclonal antibody
terhadap Coxiella burnetii (Rabbit anti Coxiella burnetii FKH-IPB), phospate
buffer saline (PBS), kit ELISA Q fever (ID Screen® Q Fever Indirect MultiSpecies, ID.Vet), botol spesimen, microtube, gunting, skalpel, pisau, tissue
processor, embedding center, microtome, ELISA reader, pisau microtome,
waterbath, gelas objek, dan lain-lain.

Metode
Data epidemiologi dikumpulkan dengan kuesioner dan diisi berdasarkan
keterangan pemilik atau petugas RPH melalui proses wawancara. Dalam
penelitian ini dilakukan pengumpulan data berupa ; asal ternak, jenis kelamin,
umur, ras, dan data lain yang melengkapi penelitian ini. Organ sapi yang diperoleh
dievaluasi secara histopatologi menggunakan pewarnaan Imunohistokimia (IHK)
untuk mendeteksi antigen Coxiella burnetii dan Hematoksilin dan Eosin (HE)
untuk mendeskripsikan lesio histopatologi pada organ yang imunoreaktif dalam
pengujian IHK. Sedangkan sampel serum sapi, kambing dan domba diuji dengan

11
metode Enzyme Linked Immunosorbent assay (ELISA) untuk mendeteksi
keberadaan antibodi terhadap Coxiella burnetii. Alur pelaksanaan penelitian dapat
dilihat pada Gambar 1.
Pengambilan
Sampel
Pengujian
Laboratorium
Organ dalam
BNF 10%

Serum

Histopatologi
(HE, IHK)

ELISA
Analisis Data

Gambar 1. Alur Penelitian

Besaran Sampel
Jumlah sampel individu sapi yang dikumpulkan sampel organnya di RPH
dihitung berdasarkan jumlah pemotongan harian (23 ekor/hari di RPH Kota
Medan dan 10 ekor/hari pada RPH Deli Serdang) yang dianggap sebagai populasi
target dan asumsi prevalensi Q fever. Perhitungannya dilakukan menggunakan
software Win Episcope 2.0 dengan pendekatan deteksi penyakit. Asumsi yang
dipakai adalah angka prevalensi 7% dengan tingkat kepercayaan 95%.
Berdasarkan asumsi di atas sampel yang harus dikumpulkan masing-masing
adalah 20 ekor sapi di RPH Kota Medan dan 10 ekor sapi di RPH Deli Serdang.
Untuk meningkatkan peluang deteksi antigen Coxiella burnetii maka pengambilan
sampel dilakukan selama 5 (lima) hari berturut-turut sehingga jumlah sampel yang
harus dikumpulkan adalah 150 ekor sapi.
Jumlah sampel serum sapi, domba dan kambing yang diambil di Kab/Kota
yang dipilih dihitung menggunakan software dan pendekatan yang sama
berdasarkan data populasi ternak sapi, kambing dan domba di Sumatera Utara,
dimana asumsi prevalensi penyakit yang digunakan adalah 7% untuk sapi dan 6%
untuk kambing dan domba dengan tingkat kepercayaan 95%. Berdasarkan asumsi
di atas sampel serum yang harus dikumpulkan masing-masing adalah ; 42 serum
sapi, 49 serum kambing dan 49 serum domba sehingga jumlah keseluruhan
sampel serum adalah 140.
Pengambilan Sampel
Sampel organ yang akan diambil berupa paru-paru, hati, dan limpa dengan
ketebalan ± 1 cm, kemudian dimasukkan ke dalam Buffered Neutral Formalin
(BNF). Pengambilan darah dilakukan melalui vena jugularis. Darah yang diambil
sebanyak 3 ml yang ditempatkan di dalam tabung tanpa antikoagulan. Darah
tersebut didiamkan sampai serum terpisah dari bekuan darah. Kemudian

12
dilakukan koleksi serum, ditempatkan dalam microtube dan disimpan pada 4 oC
atau dibekukan pada freezer -20 oC.
Pembuatan Sediaan Histopatologi
Sampel organ yang sudah terfiksasi dipotong dengan ketebalan 3 mm,
kemudian dimasukkan ke dalam tissue casset. Organ yang ada di dalam casset
dimasukkan ke dalam Automatic Tissue Processor yang berisi reagen dengan
urutan ; alkohol 70 %, 80 %, 90 %, 96 %, alkohol absolut I, alkohol absolut II,
alkohol absolut III, xylol I, xylol II, parafin I dan parafin II. Proses tersebut
memakan waktu sekitar 24 jam dengan tujuan dehidrasi, clearing, dan impregnasi
jaringan. Setelah proses tersebut, jaringan yang ada di dalam casset dipindahkan
ke dalam cetakan yang telah berisi sedikit parafin dan organ disusun agar tepat
berada di tengah cetakan. Parafin cair kemudian ditambahkan sampai cetakan
hampir penuh. Proses pembuatan blok parafin tersebut dikerjakan pada alat
paraffin embedding console. Cetakan yang telah berisi organ dan parafin cair
dikeringkan dengan mendinginkannya di atas alat frozen tissue embedding
machine. Selanjutnya jaringan dalam blok parafin dipotong dengan rotary
microtome dengan ketebalan 3-5 µm. Irisan jaringan kemudian diapungkan pada
waterbath dan diambil dengan gelas objek. Irisan jaringa