Produksi Antibodi Anti Coxiella Burnetii Untuk Deteksi Q Fever Pada Ruminansia Dengan Metode Imunohistokimia

PRODUKSI ANTIBODI ANTI-Coxiella burnetii
UNTUK DETEKSI Q FEVER PADA RUMINANSIA
DENGAN METODE IMUNOHISTOKIMIA

NINA HERLINA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Produksi Antibodi AntiCoxiella burnetii untuk Deteksi Q Fever pada Ruminansia dengan Metode
Imunohistokimia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.


Bogor, Januari 2017
Nina Herlina
NIM B351140031

RINGKASAN
NINA HERLINA. Produksi Antibodi Anti-Coxiella burnetii untuk Deteksi Q
Fever pada Ruminansia dengan Metode Imunohistokimia. Dibimbing oleh AGUS
SETIYONO, VETNIZAH JUNIANTITO dan SYAHRUDDIN SAID.
Q fever merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri gram
negatif Coxiella burnetii dan terdistribusi luas di seluruh dunia. Gejala klinis pada
hewan ternak bersifat tidak konsisten dan tidak spesifik. Teknik diagnosa yang
baik merupakan salah satu langkah pencegahan dan pengendalian penyakit Q
fever. Salah satu komponen penting untuk diagnosa adalah antibodi. Produksi
antibodi anti-C. burnetii dapat dilakukan untuk menunjang diagnosa baik secara
serologis (ELISA, Western blot), immunochromatographic strip (imunostrip)
maupun imunohistokimia.
Penelitian ini bertujuan memproduksi antibodi poliklonal anti-C. burnetii
dan mengkarakterisasinya. Antibodi tersebut kemudian digunakan untuk
mendeteksi antigen dengan metode imunohistokimia. Antibodi poliklonal

diperoleh dari induksi isolat C. burnetii pada kelinci. Antibodi ini diharapkan
mampu mengikat antigen isolat lapang pada organ limpa, paru-paru dan hati sapi
dari Rumah Potong Hewan (RPH) di Medan yang sebelumnya telah dikonfirmasi
positif C. burnetii.
Produksi antibodi poliklonal dilakukan pada dua ekor kelinci New Zealand
White (NZW) jantan berumur 10-16 minggu. Kelinci tersebut diinduksi dengan
imunogen C. burnetii strain Nine Mile (NM) II. Imunisasi pertama dilakukan
dengan mengemulsikan imunogen dengan Complete Freund’s Adjuvant (CFA)
untuk menginduksi antibodi secara perlahan. Boosting dilakukan menggunakan
imunogen yang sama dan penambahan Incomplete Freund’s Adjuvant (IFA) yang
dilakukan pada hari ke-14 pasca induksi. Pemanenan serum dilakukan pada hari
ke-24 pasca induksi. Antibodi terhadap C. burnetii dianalisis menggunakan teknik
Dot Blot yang menunjukkan adanya reaksi positif warna keunguan dengan
penambahan substrat Tetramethylbenzidine (TMB) mengindikasikan bahwa IgG
telah terbentuk.
Serum yang diperoleh dipurifikasi menggunakan metode presipitasi dengan
amonium sulfat saturasi 35 %. Setelah dialisis dengan PBS pH 7.4 dilakukan
filtrasi gel dengan matriks Sephadex G-75. Hasil konsentrasi akhir protein yaitu
sebesar 11.3 µg µl-1. Profil protein imunogen dan antibodi yang dihasilkan dilihat
menggunakan Sodium Dodecyl Sulfate Poly Acrylamide Gel Electrophoresis (SDS

PAGE). Pewarnaan Coomassie blue menunjukkan pita pada berat molekul 170 kDa,
100 kDa, 65 kDa, 50 kDa dan 25 kDa. Pita 170 kDa merupakan fragmen IgG yang
tidak terdenaturasi, sedangkan pita dengan bobot molekul 50 kDa merupakan
antibodi heavy chain (rantai berat) dan bobot molekul 25 kDa sebagai light chain
(rantai ringan).
Kompatibilitas antibodi dan antigen dianalisis menggunakan Western blot.
Adanya pita berwarna keunguan menunjukan adanya reaksi imun positif yang
mengindikasikan bahwa serum yang dihasilkan mampu mengikat antigen C.
burnetii. Pita tersebut menunjukkan berat molekul 35.5 kDa yaitu outer
membrane protein NM II, pita 51.4 kDa merupakan hypothetical membrane

protein NM II sedangkan 58.284 kDa sebagai chaperonin (Grol) soluble protein
NM II (Kowalczewska et al. 2011).
Pengujian antibodi dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan preparasi
sampel organ limpa yang telah difiksasi dalam formalin. Isolasi protein dilakukan
dengan menginkubasi sampel dalam larutan lisis buffer yang mengandung 2%
sodium dodecyl sulfat (SDS) pada suhu 100 oC selama 20 menit dilanjutkan
dengan inkubasi pada suhu 60 oC selama 2 jam. Hasil isolasi kemudian dianalisa
dengan Dot Blot. Hasil menunjukkan adanya warna keunguan akibat adanya
reaksi antara antibodi dan antigen C. burnetii. Pemeriksaan dilanjutkan dengan

melakukan SDS PAGE dan Western Blot. Selain itu dilakukan juga pemeriksaan
dengan metode imunohistokimia. Sampel yang digunakan berupa limpa, paruparu dan hati sapi asal Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Medan yang
sebelumnya telah dikonfirmasi positif Q Fever oleh Nasution et al. (2014). Hasil
menunjukkan bahwa sebanyak 90 % limpa, 100 % paru dan 100 % hati bersifat
imunoreaktif.
Antibodi yang telah dipurifikasi tersebut mampu mendeteksi antigen C.
burnetii pada ruminansia bahkan pada hewan yang asimptomatik Q Fever.
Kata kunci : Q fever, sapi, Coxiella burnetii, antibodi poliklonal, imunohistokimia

SUMMARY
NINA HERLINA. Production of Anti-Coxiella burnetii Antibody for Q Fever
Diagnosis in Ruminants using Immunohistochemistry Method. Supervised by
AGUS SETIYONO, VETNIZAH JUNIANTITO and SYAHRUDDIN SAID.
Q fever is a widespread zoonosis due to gram negative bacterium Coxiella
burnetii infection. The symptoms of disease described in domestic animals have
so far been inconsistent and not specific. Antibody as a major component of
diagnostic can be used to confirm diagnosis through serologic (ELISA, Western
blot), immunochromatographic strip or immunohistochemistry method. The
research activities were conducted to produce polyclonal anti-C. burnetii antibody,
characterize the antibody using Dot Blot, SDS PAGE and Western Blot. The

antibody then immunohistochemically applied in detecting antigen within various
cattle organs such as spleen, lung and liver from slaughterhouse in Medan which
previously immunohistochemically positive against C.burnetii.
C. burnetii Nine Mile (NM) strain and Complete Freund’s Adjuvant (CFA)
were used to induce antibodies in two 10-16-week-old male New Zealand White
(NZW) rabbits. Boosting has been done with the same immunogen and
Incomplete Freund’s Adjuvant (IFA) at 14 days post induction. Terminal bleeding
has been done at 24 days post induction. Serum was analyzed with Dot blot and
immunoreactive result shows purple colour dot after adding TMB substrate as
manifestation of antibody forming. Antibody consentration of each step was
measured by nanofotometer at 280 nm.
Ammonium sulphate saturation 35 % was used to precipitate serum. After
dialysis in PBS PH 7.4, the precipitate was filtrated with Sephadex G-75. The
purified antibody concentration measured by nanofotometer was obtained 11.3 µg
µl-1. Immunogen and antibody profile were analyzed with SDS PAGE. Coomassie
staining showed molecular weight on size 170 kDa, 100 kDa, 65 kDa, 50 kDa and
25 kDa. Band 170 kDa was IgG undenaturated fragment while 50 kDa was heavy
chain and 25 kDa was light chain fragment.
Antigen and antibody compatibility was identified with Western Blot.
Immunoreactive shown by purple band that indicated produced serum positively

bind C. burnetii antigen. The molecular weights consist of 35.5 kDa, 51.4 kDa
and 58.284 kDa which indicated outer membrane protein of NM II, hypothetical
membrane protein NM II, and Chaperonin (Grol) soluble protein NM II
(Kowalczewska et al. 2011).
Sample preparation from formaline-fixed spleen tissue was done to apply the
antibody anti-C. burnetii by Dot Blot and Western Blot analysis. Protein was
extracted by incubating the tissue in lysis buffer containing 2 % sodium dodecyl
sulfate (SDS) at 100 oC for 20 minute followed by incubation at 60 oC for 2 hour
(Ikeda et al. 1998) and analyzed by Dot Blot. The result showed purple spot
indicated reaction of antibody and antigen C. burnetii. SDS PAGE and Western
Blot showed no bands indicated small amount that can not be detected.
Immunohistochemistry have been used to confirm Q fever cases in domestic
animals. Immunohistochemical staining using the anti-C. burnetii antibody
produced earlier showed 90 %, 100 % and 100 % immunoreactivity in spleen,

lung and liver conclusively. Immunohistochemical detection using purified
antibodies is able to detect antigens of C. burnetii in asymptomatic ruminants.
Keywords:

Q fever, Cattle, Coxiella

Immunohistochemistry

burnetii,

Polyclonal

antibody,

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PRODUKSI ANTIBODI ANTI-Coxiella burnetii
UNTUK DETEKSI Q FEVER PADA RUMINANSIA

DENGAN METODE IMUNOHISTOKIMIA

NINA HERLINA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Biomedis Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

Penguji pada Ujian Tertutup: Prof. Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS

Judul Tesis

: Produksi Antibodi Anti Coxiella bunetii untuk Deteksi Q Fever

-

pada Ruminansia dengan Metode Imunohistokimia
Nama

: Nina Herlina

NIM

: B3511 40031

Disetujui oleh

ProfdrhA

in Said A

drh Vetnizah Juniantito, PhDAPVet

Sc


Anggota

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Biomedis Hewan

'/

��
ProfDr Dra Ietje Wientarsih,Apt MSc

Tanggal Ujian: 20 Januari 2017

Tanggal Lulus:

3 0 JAN 2017


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian
yang dilaksanakan sejak bulan November 2015 ini berjudul Produksi Antibodi
Anti-Coxiella burnetii untuk Deteksi Q Fever pada Ruminansia dengan
Metode Imunohistokimia, diajukan sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan pendidikan program Magister pada program studi Ilmu Biomedis
Hewan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof drh Agus Setiyono MS
PhD APVet, drh Vetnizah Juniantito PhD APVet dan Dr Ir Syahruddin Said
MAgrSc selaku pembimbing atas waktu dan bimbingannya.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof Dr Dra Ietje
Wientarsih Apt MSc selaku ketua program studi Ilmu Biomedis Hewan, Dr drh
Sus Derthi Widhyari MSi selaku sekretaris program studi Ilmu Biomedis Hewan
dan dosen penguji Prof Dr drh I Wayan Teguh Wibawan yang telah memberikan
saran dan masukan untuk perbaikan tesis ini. Selain itu, penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada seluruh dosen di program studi Ilmu Biomedis
Hewan dan Biologi Reproduksi, staf administrasi serta laboran di bagian patologi
Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi FKH IPB. Ungkapan terima kasih
tak terhingga penulis ucapkan untuk Kementerian Riset, Teknologi dan Perguruan
Tinggi yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan jenjang magister
melalui beasiswa pasca sarjana dalam negeri.
Terima kasih untuk rekan-rekan seperjuangan di Ilmu Biomedis Hewan
dan Biologi Reproduksi 2014 atas semangat persaudaraannya. Ungkapan terima
kasih tak terhingga untuk bapak, ibu, suami, anak-anak serta seluruh keluarga,
atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2017
Nina Herlina

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
2
2
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Q Fever
Morfologi dan Karakteristik C. burnetii
Epidemiologi Q Fever
Patogenesis Q Fever
Manifestasi Klinis
Teknik Diagnosa C. burnetii
Antibodi Poliklonal
Imunohistokimia

3
3
3
4
5
6
8
9
10

3 METODE
Waktu dan Tempat
Bahan
Alat
Prosedur Kerja
Produksi Antibodi anti-C. burnetii
Purifikasi Antibodi anti-C. burnetii
Isolasi Protein Sampel Limpa
Pembuatan Preparat Histopatologi dan Pewarnaan Hematoksilin Eosin
Pewarnaan Imunohistokimia
Analisis Data

11
11
11
11
11
11
12
13
14
15
15

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Produksi Antibodi anti-C.burnetii
Purifikasi Antibodi anti-C. burnetii
Isolasi Protein Sampel Limpa terfiksasi BNF
Aplikasi Antibodi Anti-C. burnetii dengan Imunohistokimia
Pembahasan

15
15
16
17
18
20

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

25
25
26

DAFTAR PUSTAKA

26

LAMPIRAN

31

RIWAYAT HIDUP

33

DAFTAR TABEL
1 Hasil pengukuran konsentrasi serum darah kelinci NZW
2 Hasil pengukuran konsentrasi antibodi anti-C. burnetii setelah
purifikasi
3 Hasil pewarnaan imunohistokimia dengan antibodi anti-C. burnetii

16
16
20

DAFTAR GAMBAR
1 C. burnetii dengan mikroskop elektron memperlihatkan membran sel
serupa bakteri gram negatif
2 Fagositosis C. burnetii dalam makrofag
3 C. burnetii dalam makrofag
4 Patofisiologi dari C. burnetii
5 Struktur gambaran molekul antibodi
6 Analisis keberadaan antibodi anti C. burnetii dengan Dot blot
7 Hasil SDS PAGE dan Western blot antibodi anti-C. burnetii
8 Hasil Dot blot isolasi protein sampel limpa terfiksasi BNF
9 Hasil SDS PAGE dan Western blot isolasi protein sampel limpa
terfiksasi BNF
10 Hasil pewarnaan HE dan imunohistokimia pada limpa
11 Hasil pewarnaan HE dan imunohistokimia pada paru-paru
12 Hasil pewarnaan HE dan imunohistokimia pada hati

3
5
6
7
9
16
17
18
18
19
19
20

DAFTAR LAMPIRAN
1 Persetujuan atas perlakuan etik (ethical approval)
2 Hasil pengukuran konsentrasi isolasi protein limpa terfiksasi BNF

31
32

1 PENDAHULUAN
Q fever (Query fever) merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri
gram negatif bersifat obligat intraseluler Coxiella burnetii (Angelakis dan Raoult
2010, Cremoux et al. 2011). Q fever bersifat zoonosis (Jones et al. 2011; Wielders
et al. 2015). Penyakit ini pertama kali diketahui terjadi pada pekerja rumah potong
hewan di Brisbane Australia (Derrick 1937; Maurin dan Raoult 1999), kemudian
menyebar ke seluruh dunia kecuali Antartika dan Selandia Baru (Raoult et al.
2005; Jones et al. 2011). Australia sebagai negara pengimpor sapi terbesar untuk
Indonesia masih belum bebas dari penyakit ini. Hal tersebut ditunjukkan dari hasil
kajian seroprevalensi terhadap sapi potong di Queensland dengan 16.8% sampel
serum yang diperiksa seropositif terhadap bakteri ini (Cooper et al. 2011). Pada
tahun 2007-2010, outbreak terjadi di Belanda dengan >4000 orang terinfeksi Q
fever dan tingkat mortalitas mencapai 15.8% pada kejadian kronis (Kampschreur
et al. 2012). Bakteri penyebab penyakit ini dapat bertindak sebagai agen
bioterorisme seperti halnya Antraks ataupun Brucella (CDC 2008). Keputusan
Menteri Pertanian No.4026/Kpts./OT.140/3/2013 menyatakan bahwa Q fever
termasuk ke dalam daftar jenis penyakit hewan menular strategis (PHMS) yang
perlu mendapat perhatian (KEMENTAN 2013).
Manifestasi klinis Q fever pada hewan umumnya tidak menciri sehingga
sulit didiagnosa secara klinis. Namun yang dikhawatirkan adalah terjadinya
subfertilitas, infertilitas, metritis, endometritis, retensi plasenta, stillbirth, dan
keguguran pada trimester akhir kebuntingan (Arricau-Bouvery dan Rodolakis
2005; Brom dan Vellema 2009; Rodolakis 2014). Metode untuk identifikasi C.
burnetii antara lain dengan isolasi dan identifikasi bakteri, molekuler, uji serologis
dan imunohistokimia (Angelakis dan Raoult 2010). Beberapa penelitian terbaru
mengenai deteksi keberadaan patogen ini menggunakan Polymerase Chain
Reaction (PCR), Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dan teknik
imunohistokimia mendapatkan hasil positif pada sejumlah sampel ternak di
Indonesia (Mahatmi et al. 2007; Setiyono dan Subangkit 2014; Nasution et al.
2014). Teknik imunohistokimia banyak digunakan untuk mendeteksi keberadaan
antigen penyebab Q fever pada organ hewan seperti plasenta kambing, domba dan
sapi (Bildfell et al. 2000; Hansen et al. 2011). Teknik diagnosa yang baik dan
akurat merupakan salah satu landasan untuk pencegahan dan pengendalian
penyebaran penyakit ini di lapangan. Salah satu komponen penting untuk
diagnostik penyakit adalah antibodi. Antibodi tergolong sebagai protein
imunoglobulin yang dapat berikatan spesifik dengan antigen tertentu. Salah satu
faktor penentu keberhasilan sensitivitas dan spesifisitas produksi antibodi adalah
imunogen yang digunakan. Strain NM merupakan isolat C. burnetii yang bersifat
“highly conserved”, artinya memiliki epitop atau antigenik determinan yang juga
dimiliki oleh strain-strain lain dari C. burnetii. Selain itu strain ini termasuk ke
dalam genomotype yang sama dengan penyebab Q fever akut maupun kronis pada
hewan dan manusia (Leroy et al. 2011). Strain NM fase II yang bersifat avirulen
banyak dikembangkan di laboratorium karena kemampuannya menginvasi dan
menginfeksi berbagai tipe sel lestari. Selain itu, fase II juga lebih mudah
ditumbuhkan pada sel kultur dibandingkan fase I yang virulen (Miller et al. 2004).
Hal tersebut menyebabkan strain ini umum digunakan sebagai standar pada
berbagai penelitian mengenai Q Fever.

2
Saat ini sebagian besar antibodi yang digunakan untuk diagnostik berasal
dari produsen asing dengan harga yang tergolong mahal. Oleh karena itu, produksi
antibodi untuk tujuan deteksi penyakit Q Fever merupakan peluang.

Latar Belakang
Q fever merupakan penyakit asal hewan ruminansia yang bersifat zoonosis.
Penyakit ini dapat bersifat akut, kronis ataupun subklinis dengan gejala yang tidak
menciri. Bakteri ini menyebabkan terjadinya penurunan produksi ternak. Selain
itu, melalui urin, feses, susu ataupun plasenta serta cairan amnion ternak terinfeksi
dapat mengkontaminasi lingkungan. Teknik imunohistokimia merupakan teknik
yang tepat dan akurat untuk melihat jejak antigen pada organ atau jaringan.
Metode ini dapat digunakan untuk melihat keamanan pangan asal ternak dan
mengantisipasi tidak tersedianya fasilitas Bio Safety Level 3 (BSL 3) untuk isolasi
agen. Komponen penting untuk deteksi secara imunohistokimia yaitu antibodi.
Antibodi poliklonal dapat diproduksi menggunakan hewan coba secara
konvensional.

Perumusan Masalah
Q fever merupakan penyakit bakterial bersifat zoonosis yang mampu
menurunkan produktifitas ternak ruminansia. Ketersediaan informasi mengenai
distribusi penyakit ini di Indonesia masih terbatas. Hal yang dapat mendukung
pencegahan serta pengendalian penyakit ini diantaranya adalah teknik diagnosa
yang akurat. Beberapa metode diagnosa yang berkembang seperti uji serologis
maupun imunohistokimia membutuhkan komponen antibodi. Antibodi poliklonal
anti-C. burnetii dapat diproduksi secara konvensional. Antibodi tersebut juga
dapat dikembangkan menjadi komponen penunjang untuk diagnostik secara
imunohistokimia. Deteksi melalui teknik imunohistokimia dilakukan untuk
mengetahui penyebaran penyakit ini pada ternak sapi yang masuk ke RPH.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan memproduksi antibodi poliklonal anti-C. burnetii
dan mengkarakterisasinya. Antibodi tersebut kemudian digunakan untuk
mendeteksi antigen dengan metode imunohistokimia.

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan alternatif deteksi C. burnetii
melalui pemeriksaan immunohistokimia menggunakan antibodi poliklonal yang
diproduksi. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai informasi dasar
pengembangan kit diagnostik Q Fever baik untuk serologis, imunostrip ataupun
imunohistokimia.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Q fever
Morfologi dan Karakteristik C. burnetii
C. burnetii merupakan bakteri Gram negatif bersifat obligat intraseluler
berbentuk batang pleomorphik dengan panjang 0.4-1.0 µm dan lebar 0.2-0.4 µm
(Maurin dan Raoult 1999; Angelakis dan Raoult 2010). Meskipun memiliki
membran yang serupa dengan bakteri gram negatif lainnya, namun pewarnaan
Gram tidak mampu mendeteksi bakteri ini. C. burnetii bersifat tahan asam
sehingga dapat dilakukan pewarnaan menggunakan metode Stamp, Gimenez,
Macchiavello, Giemsa dan modifikasi Koster (Maurin dan Raoult 1999; Samuel
dan Hendrix 2009; OIE 2010). Bakteri ini dapat berbentuk small cell variant
(SCV) ataupun large cell variant (LCV) dilihat dengan mikroskop elektron
(Parker et al. 2006; Angelakis dan Raoult 2010). SCV akan mengalami
diferensiasi sporogenik yang membuat bakteri ini lebih resisten di lingkungan
(Angelakis dan Raoult 2010; Horigan et al. 2011) sedangkan LCV akan
bermultiplikasi pada monosit atau makrofag inang (Parker et al. 2006).

Gambar 1. C. burnetii dengan mikroskop elektron memperlihatkan membran sel
serupa bakteri gram negatif (Fournier et al. 1998)

Berdasarkan analisis sekuensing rRNA 16S diketahui bahwa genus Coxiella
termasuk dalam subdivisi dari gamma proteobacteria bersama dengan genus
Legionella, Francissella dan Rickettsiella (Maurin dan Raoult 1999). Bakteri ini
mempunyai dua fase antigenik, yaitu fase I dan fase II. Fase I umumnya diisolasi
langsung dari bentuk infeksius pada manusia, hewan, arthropoda ataupun hewan
lab yang diinfeksikan sedangkan fase II diperoleh dari hasil passase berulang pada
telur embrio tertunas atau kultur sel di laboratorium (Fournier et al. 1998).
Menurut Raoult et al. (2005), antigen fase II merupakan yang pertama kali
terdeteksi pada kejadian akut sedangkan antibodi fase I ditemukan pada kondisi Q
fever kronis. C. burnetii memiliki variasi antigenik berupa perbedaan struktur
lipopolisakarida (LPS) layaknya enterobacteriaceae. LPS bertindak sebagai

4
determinan virulensi utama dari bakteri ini. Jika dibandingkan dengan fase I,
struktur LPS pada fase II bersifat kasar, lebih pendek dengan sel protein
permukaan lebih sedikit (Maurin dan Raoult 1999). Amano et al. (1987)
menyatakan bahwa fase II dari bakteri ini kehilangan komponen LPS
galactosaminuonyl-α-(l-6)-glucosamine, virenose dan dihydrohydroxystreptose.
Modifikasi LPS ini membuat protein permukaan dapat diakses oleh antibodi
(Fournier et al. 1998; Arricau-Bouvery dan Rodolakis 2005; Angelakis dan
Raoult 2010; Porter et al. 2011).
Keragaman genetik antar strain C. burnetii menggunakan metode restriction
fragment length polymorphism (RFLP) dibagi menjadi 6 grup. Grup I, II dan III
dihubungkan dengan hewan, caplak atau isolat dari manusia yang terinfeksi akut,
sedangkan grup IV dan V diasosiasikan dengan kejadian kronis yang
menyebabkan endokarditis pada manusia sementara grup VI diperoleh dari
rodensia dengan patogenitas yang belum diketahui (Maurin dan Raoult 1999). C.
burnetii strain Nine Mile merupakan isolat pertama asal Amerika yang diisolasi
dari caplak (Angelakis dan Raoult 2011). Ukuran dari genom C. burnetii strain
Nine Mile yaitu 1.995.275 bp (Seshadri et al. 2003). Strain yang berbeda memiliki
ukuran bervariasi antara 1.5-2.4 Mb (Willems et al. 1998). Strain ini merupakan
antigenik fase I yang dapat mengalami perubahan menjadi fase II. Hal tersebut
dikarenakan adanya delesi kromosom yang meliputi gen penambahan inti
oligosakarida dan gen sintesa virenosa (Miller et al. 2004; Raoult et al. 2005).
Raoult et al. (2005) menyebutkan bahwa C. burnetii memiliki kromosom sirkular
dan plasmid fakultatif. Ada 4 tipe plasmid yang telah diidentifikasi walaupun
tidak semua strain memiliki plasmid. Plasmid tersebut diantaranya QpH (32 kb),
QpRS (39 kb), QpDG (42 kb) dan QpDV (33 kb). Pada penelitian dengan hewan
lab, terdapat korelasi antara fase LPS, tipe plasmid dan manifestasi klinis yang
ditimbulkan (Beare et al. 2006).

Epidemiologi Q Fever
Q fever merupakan penyakit zoonosis dengan reservoir yang sangat luas.
Berbagai hewan seperti hewan domestikasi, satwa primata, rodensia liar, mamalia
kecil, satwa liar dan non mamalia seperti reptil, amfibi, burung, ikan dan
arthropoda dapat menjadi reservoir penyakit ini (McQuiston dan Childs 2002;
Parker et al. 2006; Angelakis dan Raoult 2010). Domba, kambing dan sapi
merupakan reservoir utama dari C. burnetii (Maurin dan Raoult 1999).
Kebanyakan kasus yang terjadi pada manusia merupakan transmisi akibat kontak
langsung dengan hewan tersebut, terutama pada peternak, dokter hewan maupun
pekerja rumah potong hewan (Van den Brom dan Vellema 2009; Rodolakis 2014).
Q fever juga diketahui dapat menginfeksi melalui udara dan makanan (airborne
and foodborne diseases) serta melalui perantaraan vektor (Angelakis dan Raoult
2005).
Penyakit ini pertama kali diketahui terjadi pada pekerja rumah potong
hewan di Brisbane Australia dengan gejala demam (Derrick 1937; Maurin dan
Raoult 1999), kemudian menyebar ke seluruh dunia kecuali Antartika dan
Selandia Baru (Raoult et al. 2005; Jones et al. 2011). Australia sebagai negara
awal ditemukannya C. burnetii masih belum bebas dari penyakit ini. Hal tersebut

5
ditunjukkan dari hasil kajian seroprevalensi terhadap sapi potong di Queensland
dimana 16.8% sampel serum yang diperiksa seropositif terhadap bakteri ini
(Cooper et al. 2011). Kejadian penyakit ini pada manusia telah dilaporkan di
Belanda dimana pada tahun 2007 dan 2010 terjadi outbreak dengan >40.000
individu terinfeksi dan >250 pasien menderita Q fever kronis (Kampschreur et al.
2012; Van der Hoek et al. 2012). Di Indonesia, Q fever pertama kali ditemukan
pada tahun 1953 dimana hasil Complement Fixation Test (CFT) 188 serum sapi
menunjukkan hasil positif terhadap Coxiella burnetii (Kaplan dan Bertagna 1955).
Penelitian Mahatmi et al. (2007) berhasil mendeteksi agen penyakit ini pada
6,68 % sampel organ Sapi Brahman Cross, 5,7 % pada organ domba yang
diperoleh di Bogor, serta 4,29 % pada organ Sapi Bali yang diperoleh di rumah
potong hewan di Bali dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR).

Patogenesis Q Fever
C. burnetii memilliki dua tahap perkembangan sel yaitu small cell variant
(SCV) dan large cell variant (LCV). Small cell variant merupakan bentuk
ekstraselular dari bakteri. SCV dianggap secara metabolisme inaktif dan mampu
bertahan pada kondisi ekstrim seperti terhadap panas, desikasi, pH rendah atau
tinggi, desinfektan, produk kimia, tekanan osmotik, dan sinar ultraviolet. Kondisi
ini menyebabkan bakteri ini mampu bertahan lama pada lingkungan walaupun
tidak terdapat induk semang yang cocok. SCV dari C. burnetii bersifat
irreversibel (Maurin dan Raoult 1999; Porter et al. 2011). Bentuk SCV
ekstraseluler ini dapat bertahan hingga 150 hari dan tetap bersifat infeksius
dimana 1 bakteri saja dapat bersifat infeksius (Woldehiwet 2004; ArricauBouvery 2005). Jika SCV yang terdapat pada partikel debu di lingkungan terhisap
maka akan menempel pada membran sel dan kemudian masuk ke dalam sel induk
semang. Gambar 2 menunjukkan perlekatan bakteri fase I pada membran sel yang
hanya dimediasi oleh αvβ3 integrin, sedangkan bakteri fase II dimediasi oleh
αvβ3 integrin dan reseptor CR3 (Capo et al. 1999; Raoult et al. 2005; Angelakis
dan Raoult 2010).

Gambar 2. Fagositosis C. burnetii dalam makrofag (Raoult et al. 2005).

6
Internalisasi fase II bersifat lebih efisien sehingga menghasilkan
multiplikasi yang lebih baik. Hal tersebut menjelaskan mengapa antigenik fase II
berkembang lebih cepat dari fase I sehingga menyebabkan perubahan fase dari
fase I menjadi fase II di laboratorium (Raoult et al. 2005). Menurut Angelakis dan
Raoult (2010), bakteri ini dapat bereplikasi di dalam vakuola parasitophorous dari
sel inang eukariot dengan perkiraan waktu penggandaan 20-45 jam.
Lipopolisakarida fase I akan menginduksi permukaan monosit yang menyebabkan
reorganisasi aktin dan molekul CR3 keluar dari pseudopod sehingga internalisasi
fase I melambat. Kemoatraktan seperti RANTES menyimpan CR3 pada bagian
depan perpanjangan pseudopod dan meningkatkan fagositosis C. burnetii (Capo et
al. 1999). Kedua fase akan bermultiplikasi di dalam sel kecuali di makrofag yang
mampu membunuh fase II. Sampai saat ini, C. burnetii merupakan model
mikroorganisme hidup yang mampu melakukan fusi dengan fagolisosom. Gambar
3 menunjukkan organisme virulen ini akan bermultiplikasi dalam vakuola kecil
yang akan melakukan fusi membentuk fagolisosom (Capo et al. 1999).
Fagolisosom-fagolisosom intraselular pada akhirnya bersatu sampai terbentuk
sebuah vakuola besar yang unik. C. burnetii telah beradaptasi dengan fagolisosom
sel eukariot dan mampu memperbanyak diri dalam vakuola yang asam (ArricauBouvery dan Rodolakis 2005; Porter et al. 2011). Kondisi asam dibutuhkan
bakteri ini untuk metabolisme termasuk asimilasi nutrien serta sintesis asam
nukleat dan asam amino (Maurin dan Raoult 1999; Porter et al.2011). Multiplikasi
C. burnetii dapat berhenti oleh peningkatan pH fagolisosom oleh agen
lisosomotrofik seperti chloroquine (Porter et al. 2011).

Gambar 3. C. burnetii dalam makrofag (Raoult et al. 2005).

Manifestasi Klinis
Q fever merupakan penyakit dengan manifestasi klinis yang bervariasi dan
nonspesifik. Hal tersebut menyebabkan diagnosa banding dari penyakit ini juga
cukup luas sehingga menyulitkan terapi antibiotik yang tepat sehingga dapat

7
menimbulkan komplikasi dan menjadi kronis serta berakibat fatal (OIE 2010).
Menurut Raoult et al. (2005), sebanyak 60% paparan Coxiella burnetii pada
manusia yang belum divaksin akan menimbulkan infeksi primer yang
asimptomatik (Gambar 4). Infeksi tersebut diikuti respon kekebalan tubuh sebagai
tanda adanya multiplikasi bakteri. Antibodi yang muncul merupakan bentuk
perlawanan terhadap antigen fase II. DNA C. burnetii terdeteksi pada serum
selama fase awal infeksi. Saat antibodi mencapai titer tertinggi, DNA bakteri tidak
dapat lagi terdeteksi oleh PCR (Fournier et al. 2003). Sampel biopsi dari organ
terinfeksi dapat memperlihatkan adanya granuloma (Maurin dan Raoult 1999).
Manifestasi klinis utama diantaranya demam, pneumonia dan hepatitis
granulomatus pada kasus akut serta endokarditis pada kejadian kronis (Maurin
dan Raoult 1999). Pada kasus berat ditemukan adanya meningoencephalitis,
myocarditis, endocarditis dan sindrom fatigue kronis (Wildman et al. 2002)
bahkan dapat memicu komplikasi serius yang menimbulkan kematian (Maurin
dan Raoult 1999). Gejala klinis Q fever pada manusia sering digambarkan seperti
flu, akan tetapi gambaran penyakitnya dapat terlihat mulai dari demam tidak
spesifik yang berhenti dengan sendirinya, sampai dengan pneumonia atipikal dan
endokarditis. Selain itu, pada wanita hamil, penyakit ini dapat menyebabkan
terjadinya plasentitis, kelahiran prematur, gangguan pertumbuhan, abortus
spontan maupun kematian janin (OIE 2010).

Gambar 4. Patofisiologi dari C. burnetii (Raoult et al. 2005)

Pada hewan, infeksi bersifat subklinis namun dapat menyebabkan abortus,
kelahiran mati, kelemahan anak dan infertilitas (Rodolakis 2006). Pada fase akut
Q fever, C. burnetii dapat ditemukan pada paru-paru, hati, limpa dan darah
(Maurin dan Raoult 1999). Umumnya infeksi akan berlanjut menjadi kronis dan
bakteri tersebut akan terus diekskresikan melalui urin dan feses (Woldehiwet
2004). Infeksi pada sapi umumnya berlangsung asimtomatik tetapi dapat
menyebabkan keguguran, subfertilitas dan metritis (Porter et al. 2011). Abortus
pada kejadian Coxiellosis dilaporkan terjadi pada sapi, domba, kambing, kucing

8
dan hewan lainnya (Woldehiwet 2004), namun pada sapi perah jarang walaupun
gangguan reproduksi, subfertilitas dan metritis dapat terjadi (To et al. 1998; Porter
et al. 2011). Pada ruminansia kecil, infeksi dapat menyebabkan keguguran, lahir
mati, retensi membran fetus, endometritis dan infertilitas, dimana keguguran
biasanya terjadi pada akhir kebuntingan seperti halnya Brucellosis (ArricauBouvery dan Rodolakis 2005; Van den Brom dan Vellema 2009). Frekuensi
kejadian keguguran pada kambing lebih sering dibandingkan dengan domba
(Porter et al. 2011)

Teknik Diagnosa C. burnetii
Q fever merupakan penyakit dengan gejala yang tidak khas sehingga
memerlukan teknik diagnosa yang akurat (Arricau-Bouvery dan Rodolakis 2005).
Teknik diagnosa diperlukan karena C. burnetii merupakan agen yang sangat
infeksius dan bersifat zoonosis sehingga koleksi atau penanganan spesimen perlu
dilakukan dengan sangat hati-hati (Maurin dan Raoult 1999). Fournier et al.
(1998) menyatakan bahwa hanya personil yang berpengalaman yang
diperbolehkan melakukan manipulasi spesimen yang terkontaminasi agen ini dan
menumbuhkan mikroorganisme ini dari sampel klinis laboratorium di fasilitas
biosafety level 3 (BSL3). Bakteri ini dapat dideteksi dengan berbagai cara
tergantung dari jenis sampel maupun tujuan diagnosa (Samuel dan Hendrix 2009).
Menurut OIE (2010), ada dua teknik diagnosa yang dapat dilakukan pada kasus Q
fever diantaranya adalah identifikasi agen dan uji serologis.
Identifikasi agen dapat dilakukan dengan cara isolasi langsung melalui
inokulasi suspensi bakteri pada telur embrio tertunas ataupun pada sel kultur.
Selain itu dapat dilakukan teknik pewarnaan menggunakan beberapa metode
seperti Stamp, Gimenez, Macchiavello, Giemsa ataupun modifikasi Koster
(Samuel dan Hendrix 2009). Deteksi C. burnetii pada sampel juga dapat
dilakukan menggunakan immunodeteksi spesifik (immunohistokimia), in-situ
hybridization ataupun amplifikasi DNA (Jensen et al. 2007).
Penggunaan uji serologi untuk diagnosa Q fever sering dilakukan karena
metode kultur dan teknik biologi molekuler memiliki sensitivitas yang rendah dan
memerlukan laboratorium khusus. Uji serologis mudah dilakukan walaupun
antibodi umumnya terdeteksi pada 2-3 minggu post infeksi (Maurin dan Raoult
1999). Ada beberapa metode yang dapat dilakukan untuk pemeriksaan serologis Q
fever diantaranya adalah mikroagglutinasi, complement fixation test (CFT), radio
immunoassay (RIA), indirect immunofluorescence assay (IFA), indirect hemolysis
test, ELISA, enzyme linked immunofluorescence assay (ELIFA), dot
immunoblotting dan western blotting (Maurin dan Raoult 1999). Namun yang
umum digunakan adalah CFT, IFA, ELISA dan mikroagglutinasi. Menurut
Setiyono et al. (2004), ELISA yang didukung dengan IFA memiliki akurasi yang
baik untuk diagnosa Q fever. Namun hal tersebut sangat dipengaruhi oleh antigen
standar yang dipakai. Teknik immunohistokimia dapat dijadikan sebagai uji
konfirmasi untuk diagnosa bakteri ini.

9
Antibodi Poliklonal
Antibodi merupakan protein yang disekresi oleh sel plasma limfosit B
akibat stimulasi molekul asing (antigen) pada reseptor antigen limfosit B.
Antibodi ini bersifat spesifik terhadap antigen yang memicunya. Antibodi dikenal
sebagai molekul-molekul glikoprotein IgA, IgD, IgM, IgE dan IgG (Kumagi dan
Kohei 2001). Bentuk klasik dari molekul antibodi digambarkan sebagai huruf “Y”
yang tersusun dari asam amino tertentu yang tidak dimiliki oleh protein lain.
Gambar 5 menunjukkan struktur immunoglobulin yang terdiri dari 2 fragmen
yaitu fragmen antigen binding site (Fab) dan fragmen crystallizable (Fc)
Imunoglobulin dibentuk oleh 4 rantai polipeptida dasar yang identik, terdiri dari 2
rantai berat (heavy chain) dengan berat molekul masing-masing 50 kDa dan 2
rantai ringan (light chain) dengan berat molekul masing-masing 25 kDa. Setiap
rantai ringan terikat dengan rantai berat oleh ikatan disulfida (Wibawan dan
Soejoedono 2013).

Gambar 5. Struktur gambaran molekul antibodi (Tizard 2001)

IgM merupakan antibodi primer yang pertama kali muncul apabila tubuh
terpapar antigen. Kerja dari IgM diperantarai oleh Sel B mediated immunity. IgM
merupakan imunoglobulin dengan berat molekul terbesar yang juga sebagai
petunjuk adanya infeksi akut. IgM akan menghasilkan kemokin untuk menangani
reaksi peradangan yang kemudian menginduksi produksi IgG. Keberadaan IgM
dalam sirkulasi terus berlangsung hingga keberadaan IgG cukup. IgG mempunyai
dua fungsi terpisah dalam menanggapi reaksi peradangan oleh suatu protein,
pertama yaitu untuk mengikat patogen yang telah diekspresikan oleh sistem
tanggap kebal dan kedua, merespon tanggap kebal tersebut dengan memanggil sel
dan molekul lain untuk merusak antigen. IgG dan IgM merupakan komponen
penting yang banyak berperan dalam proses serologis maupun imunohistokimia
(Wibawan dan Soejodono 2013).
Berdasarkan spesifisitas dan selektivitasnya, antibodi dibedakan menjadi
antibodi poliklonal, antibodi monoklonal dan antibodi rekombinan monoklonal.
Antibodi monoklonal hanya mengandung satu macam molekul antibodi, sehingga
larutan ini hanya mengenali satu macam antigen (Emantoko 2001). Antibodi

10
rekombinan dibuat melalui rangkaian proses PCR, seleksi dan ekspresi antibodi.
Antibodi rekombinan bersifat sangat spesifik, karena antibodi ini hanya mengenali
epitope tertentu dari suatu antigen. Antibodi poliklonal memiliki bermacammacam molekul antibodi. Satu molekul antibodi, biasanya mengenali satu macam
epitope, sehingga larutan poliklonal antibodi mengenali lebih dari satu epitope.
Antibodi poliklonal merupakan antibodi yang terbentuk dari zat asing
(antigen) yang masuk ke dalam tubuh dan menyebabkan rangsangan kekebalan
(imun). Respon imun dapat terjadi apabila sudah ada sel memori sebelumnya,
menghasilkan antibodi dengan afinitas dan aviditas tinggi (Goldsby et al. 2000).
Hewan yang sering digunakan sebagai produksi antibodi poliklonal diantaranya
kambing, kuda, marmut, kelinci, hamster, tikus, domba dan ayam. Kelinci dan
mencit merupakan hewan laboratorium yang paling umum digunakan untuk
produksi antibodi. Peningkatan respon imun pada hewan coba dapat dipacu
dengan menambahkan adjuvan pada antigen sebelum disuntikkan. Complete
Freund’s Adjuvant (CFA) yang mengandung Mycobacterium tubercolosum
merupakan adjuvan yang digunakan pada imunisasi pertama. Keberadaan
Mycobacterium tubercolosum akan menstimulasi dan mempertinggi respon imun
yang spesifik terhadap antigen. Imunisasi kedua menggunakan Incomplete
Freund’s Adjuvant (IFA) yang tidak mengandung Mycobacterium tubercolosum
untuk menghindari reaksi hipersensitivitas.

Imunohistokimia
Imunohistokimia merupakan salah satu metode deteksi keberadaan suatu
antigen dalam jaringan menggunakan antibodi yang spesifik terhadap antigen
tersebut (Santos et al. 2009). Ikatan antara antigen dan antibodi akan
memperlihatkan reaksi warna histokimia yang akan terlihat dengan mikroskop
cahaya biasa atau dengan fluorokrom dengan cahaya ultraviolet. Imunohistokimia
telah menjadi sebuah metode yang kuat dan handal baik untuk diagnosa rutin dan
penelitian dalam bidang kedokteran hewan (Ramos-Vara 2005). Imunohistokimia
mulai dikenal pada tahun 1980an, dimana kegunaannya sering dikaitkan dengan
deteksi dan menentukan prognosa dari suatu kejadian tumor (Coindre 2003).
Imunohistokimia juga memiliki nilai lebih dibandingkan metode lainnya, seperti
Western Blot, ELISA ataupun PCR. Hal tersebut dikarenakan metode ini mampu
mendeteksi agen secara insitu, yaitu dapat menentukan lokasi protein yang
diidentifikasi (Santos et al. 2009).
Interaksi yang terjadi antara antigen dan antibodi dalam proses
imunohistokima tidak tampak secara kasat mata. Oleh karena itu diperlukan
visualisasi untuk memastikan adanya ikatan antigen antibodi dalam proses
tersebut. Identifikasi ikatan antara antibodi dengan protein spesifik dilakukan
dengan menggunakan marker yang dilekatkan pada antibodi dan bisa divisualisasi
secara langsung atau dengan reaksi. Antibodi primer terhadap C. burnetii akan
mengikat antigen secara spesifik pada jaringan sehingga antibodi sekunder akan
dikonjugasikan dengan enzim. Enzim yang terkonjugasi dengan antibodi sekunder
mampu mengikat kromogen sehingga menghasilkan visualisasi berupa warna.
Molekul spesifik akan mewarnai sel-sel tertentu seperti sel yang membelah atau
sel yang mati sehingga dapat dibedakan dengan sel normal.

11
Penggunaan teknik imunohistokimia di dunia veteriner telah banyak
digunakan untuk mendeteksi agen penyakit seperti C. burnetii. Teknik
imunohistokimia dilakukan pada plasenta kambing, domba dan sapi yang telah
diembeding mampu mendeteksi keberadaan dan distribusi agen ini (Dilbeck dan
McElwain 1994; Hansen et al. 2011).

3

METODE

Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2015 sampai dengan
November 2016 di Rumah Sakit Hewan Pendidikan (RSHP) Fakultas Kedokteran
Hewan IPB, Bagian Patologi Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi FKH
IPB dan Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI. Semua metode yang dilakukan dalam
penelitian ini telah mendapatkan persetujuan atas perlakuan etik dari Komisi
Pengawasan Kesejahteraan dan Penggunaan Hewan Percobaan, Rumah Sakit
Hewan Pendidikan FKH-IPB, Nomor 16-2015 RSHP FKH-IPB. Penelitian ini
terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu tahap produksi antibodi anti-C. burnetii, tahap
purifikasi antibodi anti-C. burnetii dan tahap aplikasi antibodi anti-C. burnetii.

Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain kelinci jantan
strain NZW berumur 10-16 minggu sebanyak dua ekor dengan bobot badan 2.5 kg
(Balai Penelitian Peternakan Bogor, Indonesia), isolat C. burnetii strain NM II
dari sel kultur Vero untuk induksi antibodi (National Institute of Infectious
Disease, Jepang) dan sampel organ limpa, paru-paru dan hati sapi positif C.
burnetii diperoleh dari sapi sehat asal Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Medan
koleksi Sangkot Sayuti Nasution (Balai Veteriner Medan, Indonesia).
Alat
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah spuit luer lock, alat
nekropsi, paraffin embedding console, Sakura Tek® automatic tissue processor,
inkubator, mikrotom, mikroskop Carl Zeiss® beserta satu set komputer untuk
pengambilan gambar jaringan. Peralatan lain yang digunakan seperti alat
pembuatan SDS PAGE (Bio Rad) dan Western Blot (Bio Rad) dan nanofotometer
(Implen).
Prosedur Kerja
Produksi Antibodi Anti-C. burnetii
Kelinci jantan NZW berumur 10-16 minggu sebanyak dua ekor
diaklimatisasi dan diberi obat-obatan pra perlakuan antara lain antiparasit,

12
antibiotik dan anthelmintik. Kelinci kemudian disuntik dengan imunogen C.
burnetii isolat standar NM (Bank Isolate, NIID, Jepang) melalui sub kutan.
Imunogen dengan konsentrasi 250 µg dalam Phosphate Buffer Saline (PBS)
ditambahkan dengan CFA (Sigma, USA) dengan volume 0.5 ml untuk induksi.
Boosting dilakukan pada hari ke-14 pasca induksi imunogen menggunakan
imunogen NM dan IFA (Sigma, USA) dengan volume yang sama. Pada akhir
masa produksi antibodi yaitu hari ke-24 pasca induksi, dilakukan pemanenan
(terminal bleeding) dengan cara mengambil darah secara intracardial ketika
kelinci sudah teranaestesi dengan campuran ketamin (dosis 35 mg kg-1 BB) dan
xylazine (dosis 5 mg kg-1 BB) yang diaplikasikan secara parenteral intramuscular
pada otot semitendinosus. Darah yang sudah terkumpul kemudian disimpan pada
suhu ruang (± 25 oC) selama dua jam dan dilanjutkan penyimpanan pada suhu 4
o
C selama satu malam (overnight). Serum yang diperoleh dipisahkan secara
manual dengan aspirasi dan disempurnakan dengan sentrifugasi pada 10.000 xg
selama 15 menit. Serum yang diambil disentrifugasi kembali pada 10.000 xg
selama 10 menit. Selanjutnya, serum yang diperoleh disimpan pada suhu -20 oC
untuk proses purifikasi. Pengukuran konsentrasi antibodi masing-masing
perlakuan dilakukan dengan menggunakan nanofotometer (Implen, USA).
Analisis Dot Blot digunakan untuk mengetahui adanya antibodi antiC.burnetii pada serum yang dihasilkan. Sebanyak 2 ul antigen C. burnetii
diteteskan pada membran nitroselulosa, kemudian dikering anginkan. Membran
yang telah kering direndam dan digoyang dalam larutan blocking selama 60
menit, kemudian dicuci dengan larutan pencuci (TBS + 0,1% tween) sebanyak 3
kali (15 menit; 5 menit; 5 menit). Membran ditetesi sebanyak 2 ul serum yang
dimasukkan ke dalam larutan blocking dengan nisbah 1:100 selama 60 menit dan
dicuci seperti sebelumnya. Tahap selanjutnya membran direndam dan digoyang
dalam antibodi sekunder (HRPO conjugated goat anti rabbit IgG (Promega,
USA) yang dimasukkan ke dalam larutan blocking dengan nisbah 1:3000 selama
60 menit yang dilanjutkan dengan pencucian seperti sebelumnya. Pita protein
divisualisasi dengan merendam membran dalam reagen Tetramethylbenzidine
(Ausubel et al. 1992).

Purifikasi Antibodi
Pemurnian antibodi dilakukan dengan dua metode yaitu presipitasi dengan
amonium sulfat sesuai dengan Duong-Ly dan Gabelli (2014) dan filtrasi gel
(Striegel et al. 2009). Presipitasi menggunakan amonium sulfat saturasi 35 %
dimulai dengan mengukur serum dan menambahkan larutan amonium sulfat
sejumlah yang sama secara perlahan. Selanjutnya disentrifugasi pada 3.000 xg
selama 20 menit pada suhu 4 oC. Filtrat atau pelet yang telah didapatkan
dilarutkan kembali sehingga didapatkan ¼ volume awal antibodi dengan PBS pH
7.4. Selanjutnya dilakukan dialisis dengan memasukkan serum terpresipitasi
dalam kantung dialisis (Spectra Por, USA) dan menempatkannya dalam PBS pH
7.4 selama 24 jam pada suhu 4 oC dengan penggantian PBS sebanyak tiga kali.
Proses pemurnian antibodi selanjutnya dilakukan dengan metode filtrasi gel
dengan kolom kromatografi terbuka dengan matriks Sephadex G-75 (Sigma,
USA). Hasil purifikasi tersebut dikaji menggunakan metode SDS-PAGE dan

13
Western Blot. Konsentrasi antibodi sebelum dan sesudah purifikasi diukur dengan
menggunakan nanofotometer (Implen, USA).
Analisis SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulfate Poly Acrylamide Gel
Electrophoresis) dilakukan dengan pewarnaan Comassie Brilliant Blue (CBB).
Sampel antibodi yang dihasilkan dianalisis dengan metode SDS-PAGE (Ausubel
et al. 2003) menggunakan konsentrasi poliakrilamid 12 % untuk separating gel
dan 3 % untuk stacking gel (Sambrook dan Russel 2001). Sampel antibodi (15 µl)
ditambahkan dengan 5 μl buffer sampel (mengandung Tris/SDS, bromophenol
blue, DTT dan gliserol) kemudian dipanaskan pada suhu 95 oC selama lima menit
untuk mendenaturasi protein. Sebanyak 15 μl sampel antibodi dan 5 μl marka
protein (PageRuler Prestained Protein Ladder, Thermo Scientific, USA)
digunakan. Pemisahan protein dilakukan dengan elektroforesis pada tegangan 90
V selama 120 menit. Gel hasil elektroforesis diwarnai dengan CBB selama 30
menit yang dilanjutkan dengan penambahan destaining solution selama 24 jam.
Analisis kompatibilitas antibodi dengan antigen Western Blot dilakukan
untuk melihat kompatibilitas antara antigen dan antibodi yang diproduksi
(Sambrook dan Russel 2001) dengan sedikit modifikasi. Gel dengan sampel isolat
NM hasil elektroforesis yang tidak diwarnai CBB ditransfer ke dalam membran
nitroselulosa 0.22 µ (Biorad, USA) yang sebelumnya telah dibasahi buffer
elektrotransfer. Sandwich yang terbentuk dimasukkan ke dalam tangki
electroblotting, kemudian dilakukan proses transfer dengan tegangan konstan 30
V overnight pada suhu 4 oC. Membran yang sudah ditransfer direndam dan
digoyang dalam larutan blocking (5 % susu skim dalam TBS 1x) selama 60 menit,
kemudian dicuci dengan larutan pencuci (TBS + 0.05 % Tween 20) sebanyak tiga
kali (15 menit; 5 menit; 5 menit) dan diinkubasi pada suhu ruang dengan antibodi
primer produksi yang diencerkan dalam 3 % susu skim dalam TBS-T 1:100
selama satu jam. Kemudian membran dicuci tiga kali dengan TBS-T dan
ditambahkan antibodi sekunder HRPO conjugated goat anti rabbit IgG (Promega,
USA) dalam TBS-T 1:3000, dan membran diinkubasi lagi selama satu jam pada
suhu ruang. Pencucian blot dilakukan tiga sampai lima kali selama 5 menit dengan
TBS-T dan membran diinkubasi lagi selama satu jam pada temperatur kamar. Blot
kemudian dikembangkan dengan larutan substrat Tetramethylbenzidine (Merck,
USA) sampai terbentuk warna biru keunguan.

Isolasi Protein Sampel Limpa
Sampel limpa yang telah terfiksasi dalam 10 % BNF dipotong 0.5 gr
kemudian direndam dalam alkohol 95 % selama 48 jam. Larutan alkohol diganti
dengan PBS pH 7.4 selama 48 jam. Selanjutnya dilakukan homogenisasi dan
penambahan lisis buffer yang mengandung 2 % sodium dodecyl sulfate (SDS)
pada 100 oC selama 20 menit dan dilanjutkan dengan inkubasi pada suhu 60 oC
selama 2 jam (Ikeda et al. 1998).
Keberadaan antigen C. burnetii pada hasil isolasi dilacak dengan
menggunakan analisis Dot Blot. Sebanyak 2 ul hasil isolasi diteteskan pada
membran nitroselulosa, kemudian dikering anginkan. Membran yang telah kering
direndam dan digoyang dalam larutan blocking selama 60 menit, kemudian dicuci
dengan larutan pencuci (TBS + 0,1% tween) sebanyak 3 kali (15 menit; 5 menit; 5

14
menit). Membran direndam dan digoyang dalam antibodi primer (rabbit anti-C.
burnetii) yang dimasukkan ke dalam larutan blocking dengan nisbah 1:100 selama
60 menit dan dicuci seperti sebelumnya. Tahap selanjutnya membran direndam
dan digoyang dalam antibodi sekunder (HRPO conjugated goat anti rabbit IgG
(Promega, USA) yang dimasukkan ke dalam larutan blocking dengan nisbah
1:3000 selama 60 menit yang dilanjutkan dengan pencucian seperti sebelumnya.
Pita protein divisualisasi dengan merendam membran dalam reagen TMB
(Ausubel et al. 2003). Selain itu, dilakukan analisis protein antigen dengan SDS
PAGE dan Western blotting (Sambrook dan Russel 2001).

Pembuatan Preparat Histopatologi dan Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE)
Proses pembuatan preparat histopatologi dan pewarnaan rutin HE
dilakukan sesuai Day (2014). Sampel organ limpa, paru-paru dan hati dipotong
(trimming) dengan ketebalan ± 5 mm dengan menggunakan cutter kemudian
dimasukkan ke dalam tissue cassette dan diproses dalam automatic tissue
processor (Sakura Tek, Jepang) untuk proses dehidrasi, penjernihan (clearing)
dan infiltrasi. Proses dehidrasi dilakukan dengan perendaman dalam larutan
alkohol 70 %, alkohol 80 %, alkohol 90 %, alkohol 95 % I, alkohol 95 % II,
etanol absolut I, etanol absolut II dan etanol absolut III. Proses clearing dilakukan
pada larutan silol I dan silol II. Infiltrasi dilakukan pada parafin I dan parafin II
dengan suhu 58 oC. Proses perendaman setiap perlakuan dilakukan selama ± 2
jam. Pencetakan (embeding) dilakukan dengan memasukkan sediaan ke dalam alat
pencetak paraffin embedding console (Sakura Tek, Jepang) berisi parafin cair.
Potongan organ diletakkan ditengah cetakan kemudian ditambahkan parafin cair
hingga cetakan penuh dan blok mengeras. Tahapan selanjutnya yaitu pengirisan
blok parafin dengan menggunak