Studi Q Fever Pada Sapi ”Idul Adha” di Wilayah Jakarta Dengan Metode Imunohistokimia

STUDI Q FEVER PADA SAPI ”IDUL ADHA” DI WILAYAH
JAKARTA DENGAN METODE IMUNOHISTOKIMIA

SULHI AUFA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Q Fever Pada
Sapi di Wilayah Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan Jakarta Pusat Dengan Metode
Imunohistokimia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2013
Sulhi Aufa
NIM B04090040

ABSTRAK
SULHI AUFA. Studi Q Fever Pada Sapi ”Idul Adha” di Wilayah Jakarta Dengan
Metode Imunohistokimia. Dibimbing oleh AGUS SETIYONO dan MAWAR
SUBANGKIT.
Query Fever (Q Fever) adalah penyakit zoonotik yang disebabkan oleh
bakteri Coxiella burnetii (C. burnetii). Inang reservoir dari agen penyakit ini
cukup luas namun yang baru diketahui adalah ruminansia, mamalia, unggas,
hewan kesayangan serta caplak yang bertindak sebagai vektor. Penularan penyakit
ini paling sering terjadi melalui inhalasi, namun tidak menutup kemungkinan
melalui rute lain seperti ingesti. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
gambaran histopatologi organ hati dan paru-paru sapi yang dipotong pada saat
Idul Adha dan didiagnosa Q Fever menggunakan metode imunohistokimia. Hasil
penelitian menunjukkan pada sampel Idul Adha tahun 2011 ditemukan 1 sampel
berasal dari wilayah Jakarta Utara positif pada organ hati dari 7 sampel yang
diamati (0.14%). Sedangkan pada sampel Idul Adha tahun 2012 ditemukan hasil
positif pada 2 sampel (100%) masing-masing berasal dari wilayah Jakarta Barat

pada organ hati dan wilayah Jakarta Utara pada organ paru-paru. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa penyebaran penyakit Q Fever pada sapi telah menyebar
sehingga tindakan pencegahan dan pengendalian penting untuk di lakukan.
Kata kunci : Coxiella burnetii, sapi, Idul Adha, imunohistokimia, Q Fever,
zoonosis

ABSTRACT
SULHI AUFA. Study of Q Fever in “Idul Adha’s” cattle at Jakarta Using
Immunohistochemistry Method. Supervised by AGUS SETIYONO and MAWAR
SUBANGKIT.
Query Fever (Q Fever) is a zoonotic disease caused by bacteria Coxiella
burnetii (C. burnetii). The reservoirs are extensive but only partially known as
ruminants, mammals, poultry, pets, and tick which also act as a vector. The
transmission of this disease commonly through inhalation but other transmission
such as ingestion may possible. The objective of this study was to know the
histopathological changes of cattle slaughtered during Eid Adha celebration and
were diagnosed Q Fever using immunohistochemistry method. The research
conducted in samples of Eid Adha 2011 indicated that 1 sample from North
Jakarta was found positive in liver out of 7 samples (0.14%). Whereas in samples
of Eid Adha 2012 the positive results were found in 2 samples (100%) each

derived from West Jakarta in liver and North Jakarta in lungs. This result showed
that Q Fever in cattle has spread, so the preventive and control action is important
to do.
Keywords : Cattle, Coxiella burnetii, Eid Adha, immunohistochemistry, Q Fever,
zoonosis

STUDI Q FEVER PADA SAPI ”IDUL ADHA” DI WILAYAH
JAKARTA METODE IMUNOHISTOKIMIA

SULHI AUFA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2013

Judul Skripsi : Studi Q Fever Pada Sapi ”Idul Adha” di Wilayah Jakarta Dengan
Metode Imunohistokimia
Nama
: Sulhi Aufa
NIM
: B04090040

Disetujui oleh

drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet
Pembimbing I

drh Mawar Subangkit, MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet

Wakil Dekan FKH IPB

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2011-Juli 2013
ini ialah Q Fever, dengan judul Studi Q Fever Pada Sapi ”Idul Adha” di Wilayah
Jakarta Dengan Metode Imunohistokimia.
Terima kasih penulis ucapkan kepada drh. Agus Setiyono MS. Ph.D. APVet
dan drh. Mawar Subangkit M.Si selaku pembimbing. Penghargaan penulis
sampaikan kepada staf laboratorium patologi FKH IPB yang telah banyak
membantu dalam penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
Dr. drh. Savitri Novelina M.Si PAVet sebagai pembimbing akademik. Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada papa, mama, kakak, dan adik atas segala
doa, kasih sayang, dan motivasinya. Selain itu ungkapan terima kasih kepada
sahabat-sahabat saya yang telah memberi dukungan dalam penelitian ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, September 2013
Sulhi Aufa

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR

viii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2


Manfaat Penelitian

3

BAHAN DAN METODE

3

Waktu dan Tempat

3

Alat dan Bahan

3

Metode Penelitian

3


Pengambilan Sampel

3

Pembuatan Sediaan Histopatologi

4

Pewarnaan Imunohistokimia

4

Pewarnaan Hematoksilin Eosin

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

5


Hasil Pengamatan Imunohistokimia

5

Hasil Pengamatan Histopatologi Organ Hati

6

Hasil Pengamatan Histopatologi Organ Paru-paru

8

SIMPULAN

10

DAFTAR PUSTAKA

10


RIWAYAT HIDUP

12

DAFTAR GAMBAR
1 Hasil pengamatan pada organ hati : Gambar A menunjukkan hasil positif
(tanda panah) tampak pada sitoplasma makrofag di sekitar sel hepatosit.
Pada gambar B hasil positif (tanda panah) tampak pada sitoplasma
makrofag di jaringan ikat. Metode imunohistokimia, perbesaran objektif
20x
2 Hasil pengamatan pada paru-paru : Gambar A menunjukkan hasil positif
(tanda panah) tampak pada sitoplasma makrofag di jaringan ikat sekitar
alveolus. Pada gambar B hasil positif (tanda panah) ditemukan pada
sitoplasma makrofag di dalam bronkiolus. Metode imunohistokimia,
perbesaran objektif 40x.
3 Hasil pengamatan organ hati positif Q Fever : Gambar A ditemukan
adanya penebalan perifer hati (1), degenerasi sel hepatosit (2), dan
fibrosis (3). Pada gambar B ditemukan radang granuloma (tanda panah)
yang dikelilingi sel peradangan. Pewarnaan HE, perbesaran objektif 20x
4 Hasil pengamatan organ hati negatif Q Fever : Gambar A ditemukan

adanya hemoragi (1) dan lesio peradangan (2). Pada gambar B ditemukan
adanya fibrosis (1), sel-sel radang di sinusoid (2), dan degenerasi
hepatosit (tanda panah). Pewarnaan HE, perbesaran objektif 20x
5 Hasil pengamatan organ paru-paru positif Q Fever : Gambar A
ditemukan adanya fibrosis (1) dan penebalan dinding alveolar yang
terdapat sel-sel radang di dalamnya (tanda panah). Pada gambar B
ditemukan adanya edema pulmonum (1) dan emfisema (2). Pewarnaan
HE, perbesaran objektif 10x
6 Lesio histopatologi organ paru-paru negatif Q Fever : Gambar A
ditemukannya adanya fibrosis (1), emfisema paru-paru (2), dan
penebalan dinding alveol (tanda panah). Pada gambar B ditemukan
adanya emfisema (1) dan edema pulmonum (2). Pewarnaan HE,
perbesaran objektif 10x

5

6

6

7

8

9

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Query Fever (Q Fever) atau disebut juga Coxiellosis merupakan suatu
penyakit zoonotik yang disebabkan oleh agen Coxiella burnetii (C. burnetii) yang
merupakan bakteri obligat intraseluler. C. burnetii berkembang di dalam
sitoplasma makrofag inang dan memerlukan imunomodulasi inang tersebut untuk
mempertahankan siklus hidupnya. Bakteri C. burnetii berbentuk batang
pleomorfik yang kecil dengan lebar 0.2-0.4 µm dan panjang 0.4-1.0 µm (Mourin
dan Roult 1999).
Inang reservoir dari C. burnetii cukup luas, namun yang baru diketahui
hingga saat ini adalah ruminansia (domba, kambing, dan sapi), mamalia, unggas,
serta caplak yang bertindak sebagai vektor (Angelakis dan Roult 2010). Caplak
merupakan vektor penyakit pada hewan tetapi tidak pada manusia (Maurin dan
Roult 1999). Selain itu, hewan kesayangan seperti kucing dan anjing juga dapat
menjadi vektor yang potensial bagi manusia.
Saat ini Q Fever menjadi masalah kesehatan masyarakat (public health)
dunia (Angelakis dan Raoult 2010). Bahkan Center for Disease Control and
Prevention (CDC) sendiri menggolongkan Q Fever sebagai agen potensial
bioterorisme dalam daftar (list) B. Penggolongan penyakit ini didasarkan pada
sifat agen penyakit yang dapat bertahan pada berbagai kondisi lingkungan dan
mudahnya penularan terhadap manusia. Tingginya tingkat penularan penyakit ini
dapat disebabkan oleh adanya kontak langsung antara manusia terutama peternak
dan hewan ternak yang terinfeksi. Selain itu, kebanyakan peternak tersebut
memiliki pengetahuan yang minim mengenai berbagai kejadian penyakit pada
ternak termasuk di dalamnya penyakit Q Fever serta kesadaran peternak terhadap
pentingnya higiene pangan dan sanitasi kandang juga masih sangat kurang.
Dalam penularannya, C. burnetii menghasilkan spora berukuran kecil yang
tahan terhadap kondisi lingkungan ekstrim. C. burnetii memiliki dua bentuk
antigenik yaitu fase I dan fase II. Perbedaan bentuk antigenik C. burnetii dapat
dilihat dari permukaan lipopolisakarida (LPS). Hanya antigen fase I yang
memiliki permukaan LPS lengkap dan merupakan bakteri virulen yang dapat
diisolasi dari hewan atau manusia yang terinfeksi secara alami (Krt 2003).
Sedangkan antigenik fase II merupakan bentuk avirulen yang memiliki permukaan
LPS yang tidak lengkap dan dapat diperoleh melalui serial pasase dari inang yang
memiliki sistem imun yang rendah secara in ovo atau in vitro (OIE 2010).
Q Fever disebut juga occupational disease terkait dengan rute penularannya
yang lebih sering terjadi secara inhalasi sehingga orang yang berinteraksi
langsung dengan ternak lebih mudah tertular seperti peternak, petugas kandang,
dokter hewan terutama hewan besar, atau petugas di tempat pemotongan hewan.
Namun tidak menutup kemungkinan penularan ini terjadi pada kelompok yang
lain misalnya tertular secara ingesti seperti mengkonsumsi produk asal hewan
misalnya susu yang terinfeksi C. burnetii (Marmion dan Spelman 2009). Akan
tetapi pencegahan dari penularan melalui susu tersebut dapat dikurangi dengan
melakukan proses pasteurisasi (Karokousis et al. 2006). Pada manusia, penularan

2
Q Fever dari manusia ke manusia jarang terjadi. Sedangkan pada hewan transmisi
secara vertikal dan seksual dapat terjadi (OIE 2010).
Beberapa tindakan pencegahan lain terhadap penularan Q Fever adalah
dengan menjaga sanitasi kandang dan personal. Selain itu, tindakan vaksinasi juga
dapat dilakukan dan pada hewan vaksinasi dapat menggunakan antigen bakteri
fase I yang inaktif. Pemberian vaksin ini tidak boleh diberikan pada saat hewan
dalam keadaan bunting karena kondisi respon imun ternak rendah sehingga tidak
efektif dalam merespon efek setelah vaksinasi dilakukan (OIE 2005)
Gejala klinis Q Fever pada hewan umumnya bersifat subklinis dan sering
ditandai dengan adanya penurunan nafsu makan, gangguan pernafasan, dan
gangguan reproduksi (Setiyono 2005). Pada hewan ruminansia domestik kejadian
Q Fever biasanya tampak apabila terjadi kasus abortus secara sporadik,
kemandulan, kelahiran prematur, dan kematian fetal (OIE 2010). Manifestasi
klinis dari infeksi C. burnetii secara umum dapat terlihat jelas pada kambing dan
domba, sedangkan pada sapi Q Fever terjadi asimptomatis. Secara klinis, sapi
yang terinfeksi Q Fever akan mengalami infertilitas, metritis, dan mastitis. Selain
itu, sapi yang terinfeksi secara alami oleh C. burnetii juga menunjukkan gejala
klinis pada sistem respirasi dan jantung (Beldfell et al. 2000). Pada fase akut, C.
burnetii dapat ditemukan di dalam darah, paru-paru, hati dan limpa hewan yang
terinfeksi, sedangkan infeksi kronis tidak menunjukan gejala (Maurin dan Raoult
1999).
Kondisi gejala klinis yang kurang spesifik tersebut menyebabkan diagnosa
terhadap penyakit ini sulit dilakukan. Diagnosa biasanya dilakukan dengan cara
uji serologis dengan melihat respon antibodi maupun pendekatan molekuler
dengan PCR (Fournier et al. 1998). Dari penelitian yang telah dilakukan oleh
Setiyono et al. (2005), metode diagnose enzyme-linked immunosorbent assay
(ELISA) memiliki akurasi yang baik untuk diagnosa Q Fever didukung dengan
immunofluorescence assay (IFA), namun hal tersebut dipengaruhi oleh antigen
standar yang dipakai. Selain itu metode diagnosa lain yang dapat digunakan
adalah metode immunohistokimia (IHK).
IHK merupakan suatu metode pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan
antigen spesifik di dalam sel suatu jaringan dengan menggunakan prinsip
pengikatan antara antibodi (Ab) dan antigen (Ag) pada jaringan hidup. Tempat
pengikatan antibodi dengan protein spesifik diidentifikasi dengan marker yang
biasanya dilekatkan pada antibodi dan bisa divisualisasi secara langsung atau
dengan reaksi untuk mengidentifikasi marker. Selain itu teknik IHK juga dapat
digunakan untuk mempelajari distribusi dari suatu enzim spesifik pada struktur sel
intak (normal atau lengkap), mendeteksi komponen sel, biomakromolekul seperti
protein dan karbohidrat (Lehr et al. 1999). Teknik ini merupakan teknik yang
cepat karena tidak memerlukan isolasi jaringan dan hasil diagnosa yang dihasilkan
akurat karena adanya immunoreactivity antara antigen penyakit dengan antibodi
yang homolog, akan tetapi teknik ini kurang efektif untuk digunakan dalam studi
epidemiologi skala besar (Porter et al. 2011).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan gambaran
histopatologi organ hati dan paru-paru sapi Idul Adha tahun 2011 dan Idul Adha

3
tahun 2012 yang diduga terinfeksi Q Fever di beberapa wilayah Jakarta Utara,
Jakarta Barat, dan Jakarta Pusat dengan metode imunohistokimia.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan informasi
mengenai penyakit Q Fever yang disebabkan oleh C. burnetii serta untuk
mengetahui kejadian Q Fever pada hewan kurban di wilayah Jakarta Utara,
Jakarta Barat, dan Jakarta Pusat. Pengetahuan dan informasi yang diperoleh dapat
dijadikan sebagai dasar dalam melakukan tindakan pengobatan dan pencegahan
secara berkala pada masing-masing wilayah endemik dalam mengurangi
kemungkinan terjadinya penularan antara daging ternak dan penularan kepada
manusia yang bersifat zoonosis.

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di Bagian Patologi, Departemen Klinik,
Reproduksi, dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor
pada bulan November 2011-Juli 2013. Sampel yang digunakan diambil dari organ
hati dan paru-paru dari sapi yang berasal dari tempat pemotongan hewan kurban
pada wilayah Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan Jakarta Pusat tahun 2011 dan 2012.

Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah alat untuk pembuatan
sediaan histopatologi yaitu gelas ukur, tissue casette, tissue basket, tissue tang,
Parrafin Embedding Console, object glass, cover glass, automatic tissue
processor, microtome, serta alat fotomicrograph, dan mikroskop cahaya.
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sampel organ hati dan
paru-paru sapi, Phosphate Buffered Saline (PBS), Buffer Neutral formalin 10%,
etanol (70%, 80% 90%, absolut), etanol bertingkat (30%, 50%, 70%, 80%, 96%,
absolute), xylene, parafin, pewarna jaringan Hematoksilin, pewarna Eosin,
pewarna immunohistokimia, antibodi primer : Rabbit anti-Coxiella burnetii (FKH
IPB), dan aquades.

Metode Penelitian
Pengambilan Sampel
Sampel organ hati dan paru-paru sapi yang mengalami perubahan patologi
anatomi diambil pada wilayah Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan Jakarta Pusat di
tempat pemotongan hewan kurban saat Idul Adha tahun 2011 dan 2012. Sampel
yang telah dikoleksi kemudian disimpan di dalam larutan formalin 10%.

4

Pembuatan Sediaan Histopatologi
Hati dan paru-paru yang telah dikoleksi dipotong dengan ketebalan kurang
lebih 3 mm, kemudian jaringan dicuci dengan PBS dan dimasukkan ke dalam
tissue cassete. Selanjutnya jaringan tersebut difiksasi dengan menggunakan
formalin 10% dan dilakukan proses dehidrasi dengan menggunakan etanol
bertingkat (30%, 50%, 70%, 80%, 96% dan absolut). Jaringan yang telah
didehidrasi kemudian di-clearing menggunakan xylene 2 kali masing-masing
selama 60 menit. Proses dilanjutkan dengan infiltrasi menggunakan parafin lunak
selama 60 menit pada suhu 48oC, kemudian dilakukan pemblokan dalam parafin
keras pada cetakan dan didiamkan selama sehari. Parafin yang sudah mengeras
ditempelkan pada holder untuk dilakukan pemotongan setebal 4-6 µm dengan
rotary microtome. Selanjutnya dilakukan mounting pada objek dengan
menggunakan gelatin 5%. Lalu dilakukan proses deparafinasi dengan cara slide
direndam di dalam xylene sebanyak 2 kali dengan durasi masing-masing selama 3
menit. Selanjutnya dilakukan proses rehidrasi menggunakan etanol bertingkat
(30%, 50%, 70%, 80%, 96% dan absolut) masing-masing selama 3 menit dan
dibilas dengan menggunakan H2O selama 3 menit.
Pewarnaan Imunohistokimia
Pertama dilakukan deparafinasi preparat lalu dilakukan unmasking antigen
terhadap slide preparat dengan direndam dalam larutan citrate buffer 95 °C
selama 15 menit. Setelah itu preparat dicuci dengan Phosphate Buffered Saline
(PBS) tween sebanyak tiga kali dengan durasi masing-masing selama 5 menit.
Kemudian dilakukan blocking endogenous menggunakan 0.3% H2O2 dalam
metanol selama 30 menit. Slide selanjutnya dicuci dengan PBS tween sebanyak 3
kali dengan durasi masing-masing selama 5 menit. Setelah itu dilakukan blocking
normal serum menggunakan larutan FBS 1% selama 30 menit lalu dicuci dengan
PBS tween sebanyak 3 kali dengan durasi masing-masing selama 5 menit.
Langkah selanjutnya diinkubasi dengan antibodi primer : Rabbit anti-Coxiella
burnetii selama 24 jam pada suhu 4oC. Slide yang telah diinkubasi tersebut
selanjutnya dicuci menggunakan PBS tween sebanyak 3 kali dengan durasi
masing-masing selama 5 menit, kemudian diinkubasi menggunakan biotin selama
30 menit Selanjutnya dilakukan pencucian menggunakan PBS tween sebanyak 3
kali dengan durasi masing-masing selama 5 menit, lalu diinkubasi menggunakan
Streptavidin selama 30 menit. Setelah 30 menit, slide preparat dicuci lagi
menggunakan PBS tween sebanyak 3 kali dengan durasi masing-masing selama 5
menit. Setelah itu slide preparat ditetesi diaminobenzidine (DAB) hingga muncul
warna kecoklatan dan dibilas dengan H2O. Slide yang telah dibilas selanjutnya
dilakukan counter staining selama ± 7 detik dengan menggunakan mayer
Hematoksilin kemudian dilakukan dehidrasi, clearing, dan diakhiri dengan proses
mounting menggunakan entelan serta cover glass.
Pewarnaan Hematoksilin Eosin
Pewarnaan dilakukan pertama-tama dengan perwarna Mayer’s Hematoksilin
selama delapan menit, kemudian dibilas dengan air mengalir dan dicuci dengan
lithium karbonat selama 15-30, setelah itu dibilas dengan air mengalir lagi.
Selanjutnya jaringan dicelupkan ke dalam pewarna Eosin selama dua menit.

5
Sediaan dicuci dengan celupan etanol 90% sebanyak 10 kali, etanol absolut I 10
kali, etanol absolut II selama 2 menit, xylene I selama 1 menit, xylene II selama 1
menit. Langkah berikutnya dilanjutkan dengan menenetesi sediaan dengan perekat
PermountTM kemudian ditutup dengan cover glass. Sediaan yang telah diwarnai
kemudian diamati di bawah mikroskop.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Pengamatan Imunohistokimia
Hasil pengamatan imunohistokimia pada beberapa sampel menunjukkan
hasil yang positif terhadap infeksi C. burnetii. Pada sampel Idul Adha tahun 2011,
ditemukan 1 sampel organ hati yang berasal dari wilayah Jakarta Utara positif dari
7 sampel organ yang diamati (0.14%). Pada sampel Idul Adha tahun 2012
ditemukan 2 sampel positif (100%) masing-masing berasal dari wilayah Jakarta
Barat pada organ hati dan wilayah Jakarta Utara pada organ paru-paru. Hal ini
menunjukkan bahwa kejadian Q Fever pada sapi telah menyebar.
Hasil positif terhadap ikatan antigen-antibodi C. burnetii pada sampel yang
diamati ditunjukkan dengan adanya warna coklat yang dapat dilihat pada Gambar
1 dan Gambar 2. Pada Gambar 1 hasil positif ditemukan pada sitoplasma
makrofag sel hepatosit serta ditemukan akumulasi sel radang disekitar sel
hepatosit tersebut. Hasil positif juga ditemukan pada organ paru-paru (Gambar 2).
Pada Gambar 2 juga dapat dilihat bahwa sampel paru-paru yang diamati
mengalami kerusakan yang parah. Hal ini ditunjukkan dengan terbentuknya
jaringan ikat dan akumulasi sel radang sehingga batas alveol tidak tampak begitu
jelas (Gambar 2).

Gambar 1 Hasil pengamatan pada organ hati : Gambar A menunjukkan hasil
positif (tanda panah) tampak pada sitoplasma makrofag di sekitar sel
hepatosit. Pada gambar B hasil positif (tanda panah) tampak pada
sitoplasma makrofag di jaringan ikat. Metode imunohistokimia,
perbesaran objektif 20x

6

Gambar 2 Hasil pengamatan pada paru-paru : Gambar A menunjukkan hasil
positif (tanda panah) tampak pada sitoplasma makrofag di jaringan
ikat sekitar alveolus. Pada gambar B hasil positif (tanda panah)
ditemukan pada sitoplasma makrofag di dalam bronkiolus. Metode
imunohistokimia, perbesaran objektif 40x

Hasil Pengamatan Histopatologi Organ Hati
Lesio yang ditemukan pada sampel positif Q Fever dengan pewarnaan
Hematoksilin Eosin adalah penebalan perifer hati, degenerasi hepatosit, fibrosis,
dan radang granuloma yang dikelilingi oleh sel-sel peradangan (Gambar 3).
Akumulasi sel-sel peradangan yang ditemukan didominasi oleh makrofag,
limfosit, dan neutrofil. Pada sampel yang negatif Q Fever, lesio yang ditemukan
tidak berbeda jauh dengan sampel yang positif Q Fever diantaranya hemoragi,
akumulasi sel-sel peradangan yang didominasi oleh makrofag, limfosit, dan
neutrofil, serta ditemukan adanya fibrosis. Lesio tersebut dapat dilihat lebih
lengkap pada Gambar 3 dan Gambar 4.

Gambar 3 Hasil pengamatan organ hati positif Q Fever : Gambar A ditemukan
adanya penebalan perifer hati (1), degenerasi sel hepatosit (2), dan
fibrosis (3). Pada gambar B ditemukan radang granuloma (tanda
panah) yang dikelilingi sel peradangan. Pewarnaan HE, perbesaran
objektif 20x

7

Gambar 4 Hasil pengamatan organ hati negatif Q Fever : Gambar A ditemukan
adanya hemoragi (1) dan lesio peradangan (2). Pada gambar B
ditemukan adanya fibrosis (1), sel-sel radang di sinusoid (2), dan
degenerasi hepatosit (tanda panah). Pewarnaan HE, perbesaran
objektif 20x
Kerusakan sel hepatosit yang ditemukan pada sampel adalah degenerasi
hidropik yang dicirikan dengan sitoplasma membengkak dan kadang membentuk
vakuolisasi beraspek keruh. Kerusakan yang terjadi pada sel hepatosit disebabkan
oleh sifat sel yang aktif bermetabolisme terkait dengan fungsinya yang berperan
penting dalam metabolisme dan penyimpanan vitamin serta mineral (Maronpot
1999). Oleh sebab itu, sel hepatosit mudah mengalami kerusakan tapi tidak
menyebabkan kematian sel (subletal) dan bersifat reversible (Paderi 2007).
Perubahan pada sel hepatosit tersebut merupakan perubahan yang pertama kali
terjadi saat hepatosit mengalami kerusakan yang disebabkan toksin. Penyebab
terjadinya degenerasi hidropik dikarenakan barier pada membran plasma sel rusak
sehingga terjadi kerusakan pada pompa sodium membran sel (Maronpot 1999;
Cheville 1999).
Lesio lain yang ditemukan adalah terjadi peradangan pada hati yang
dicirikan dengan adanya akumulasi sel radang. Dari hasil pengamatan, peradangan
yang terjadi pada sampel positif Q Fever dan yang negatif Q Fever didominasi
oleh makrofag, neutrofil, dan limfosit. Lesio peradangan tersebut menunjukkan
bahwa terdapat benda asing pada organ hati dimana benda asing tersebut dapat
berupa agen patogen seperti bakteri, cacing parasitik, atau virus. Jumlah sel
radang yang sangat banyak pada organ menunjukkan bahwa terjadi peradangan
akut sehingga sel-sel pertahanan tubuh menjadi sangat aktif.
Selain peradangan, terdapat hemoragi hati yang dicirikan dengan akumulasi
eritrosit di luar pembuluh darah pada organ hati. Akumulasi eritrosit pada organ
hati dapat disebabkan akibat terjadinya perlukaan pada jaringan hati sehingga
menyebabkan pembuluh darah disekitar sel-sel hati menjadi pecah dan eritrosit
keluar dari pembuluh darah. Hemoragi yang terjadi pada sampel organ hati yang
diamati juga terdapat sel-sel leukosit seperti makrofag, limfosit, dan sel plasma
yang menunjukkan bahwa terjadi respon peradangan pada hati (Gambar 4). Akibat

8
dari perlukaan tersebut, maka terbentuklah jaringan ikat. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Willard dan Tvedten (1999) bahwa jaringan ikat terbentuk sebagai
proses aktif persembuhan luka yang melibatkan berbagai protein (termasuk
protein fase akut), fibroblast, dan sel-sel darah putih yang diakumulasikan pada
permukaan daerah yang mengalami perlukaan.
Lesio-lesio kerusakan pada jaringan hati menggunakan pewarnaan
Hematoksilin Eosin dapat disebabkan oleh bakteri C. burnetii. Dari hasil
pengamatan menggunakan pewarnaan Hematoksilin Eosin, sampel organ hati
ditemukan lesio hepatitis yang dicirikan dengan terdapat akumulasi sel radang.
Hal ini menunjukkan bahwa infeksi C. burnetii terjadi melalui saluran pencernaan
karena organ hati merupakan salah satu kelenjar pertahanan pada bagian
pencernaan (Akers dan Denbow 2008).

Hasil Pengamatan Histopatologi Organ Paru-paru
Hasil pengamatan histopatologi sampel organ paru-paru dengan metode
pewarnaan Hematoksilin Eosin pada sampel positif Q Fever dan negatif Q Fever
ditemukan adanya penebalan dinding alveolar, fibrosis, dan edema pulmonum.
Namun lesio peradangan pada dinding alveolar yang paling parah ditemukan pada
sampel paru-paru positif Q Fever. Lesio histopatologi tersebut dapat dilihat lebih
lengkap pada Gambar 5 dan Gambar 6.

Gambar 5 Hasil pengamatan organ paru-paru positif Q Fever : Gambar A
ditemukan adanya fibrosis (1) dan penebalan dinding alveolar yang
terdapat sel-sel radang di dalamnya (tanda panah). Pada gambar B
ditemukan adanya edema pulmonum (1) dan emfisema (2). Pewarnaan
HE, perbesaran objektif 10x

9

Gambar 6 Lesio histopatologi organ paru-paru negatif Q Fever : Gambar A
ditemukannya adanya fibrosis (1), emfisema paru-paru (2), dan
penebalan dinding alveol (tanda panah). Pada gambar B ditemukan
adanya emfisema (1) dan edema pulmonum (2). Pewarnaan HE,
perbesaran objektif 10x
Dari hasil pengamatan sampel organ paru-paru baik positif Q Fever maupun
negatif Q Fever menunjukkan lesio yang tidak berbeda secara signifikan. Edema
yang terjadi pada paru-paru secara histologi dicirikan dengan warna glossy pink di
dalam ruang alveolar. Gangguan pada sistem sirkulasi dapat menyebabkan
terjadinya gangguan hidrostatis yang ditunjukkan dengan edema alveolaris
(Subronto 2003).
Pada Gambar 5 dan Gambar 6 ditunjukkan kondisi emfisema. Emfisema
pada alveol secara histologi dicirikan dengan menggembungnya alveoli secara
berlebihan. Menurut Subronto (2003) emfisema dapat terjadi dengan atau tanpa
robeknya dinding alveoli. Hasil pengamatan pada sampel tersebut banyak
ditemukan perluasan alveoli dengan robeknya dinding alveoli. Penyebab
terjadinya emfisema ini dapat terjadi secara primer karena trauma pada daerah
dada maupun sekunder akibat lanjutan dari penyakit radang paru-paru lain seperti
pneumonia, bronkitis, dan bronkiolitis. Akan tetapi, kejadian emfisema primer
jarang terjadi pada ternak besar karena paru-paru ternak besar dilindungi oleh
tulang iga dan otot-otot yang kuat.
Selain emfisema, pada sampel organ juga ditemukan adanya akumulasi selsel radang seperti makrofag, limfosit, dan sel plasma didinding aveolar
(pneumonia interstitial) maupun di dalam alveol (pneumonia alveolaris).
Akumulasi sel radang tersebut menunjukkan bahwa ternak terinfeksi oleh agen
patogen seperti virus, bakteri, atau jamur yang menyebabkan gangguan sistem
pernafasan.
Lesio yang ditemukan pada organ paru-paru menggunakan pewarnaan
Hematoksilin Eosin yang diamati dapat terjadi akibat infeksi C. burnetii terkait
dengan penularannya yang lebih sering terjadi melalui rute inhalasi dari udara
yang terkontaminasi oleh bakteri C. burnetii. Apabila bakteri C. burnetii terhirup
oleh inang maka bentuk ekstraseluler C. burnetii atau small cell-variant (SCV)
akan menempel pada membran sel dan kemudian masuk ke bagian internal sel

10
inang (Porter et al. 2011). Akibatnya, akan terjadi kerusakan pada jaringan paruparu yang dapat menyebabkan pneumonia. Menurut Angelakis dan Roult (2010),
manifestasi klinis infeksi Q Fever pada ruminansia terutama pada sapi terjadi pada
organ reproduksi seperti terjadi aborsi, lahir prematur, lahir mati, dan kondisi
tubuh lemah setelah lahir. Selain itu lesio yang sering ditemukan pada sapi yang
terinfeksi C. burnetii terlihat pada plasenta dan bronkopneumonia pada fetal
dimana C. burnetii secara histologi dapat ditemukan pada tropoblast (Beldfell et
al. 2000).

SIMPULAN
Hasil penelitian Q Fever pada sapi Idul Adha tahun 2011 dan Idul Adha
tahun 2012 di wilayah Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan Jakarta Pusat
menunjukkan terdapat tiga kasus yang positif terinfeksi C. burnetii dan ditemukan
pada organ yang berbeda. Hasil positif ditemukan pada 1 sampel dari 7 sampel
yang diamati (0.14%) pada organ hati di wilayah Jakarta Utara tahun 2011. Pada
tahun 2012 ditemukan 2 sampel yang positif (100%) masing-masing berasal dari
wilayah Jakarta Barat pada organ hati dan wilayah Jakarta Utara pada organ paruparu. Lesio akibat infeksi C. burnetii dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin
menunjukkan perubahan yang hampir sama dengan sapi yang negatif Q Fever.
Oleh sebab itu peneguhan diagnosa seperti metode immunohistokimia penting
untuk dilakukan sebagai diagnosa konfirmasi terhadap Q Fever.

DAFTAR PUSTAKA
Akers M, Denbow M.2008.Anatomy and Physiology of Domestic Animals. Iowa
(US): Blackwell Pub.
Angelakis E, Raoult D. 2010. Q fever. Veterinary Microbiology. 140(3): 297–309.
Beldfell RJ, Thomson GW, Haines DM, McEwen BJ, Smart N. 2000. Coxiella
burnetii infection is associated with placentitis in cases of bovine abortion. J.
Vet. Diag. Invest. 12(5):419-425.
Cheville NF.1999.Introduction To Veterinary Pathology Edisi ke-2. Iowa (US):
Iowa State University Pr.
Fournier PE, Thomas JM, Raoult D. 1998. Diagnosis of Q fever . J. Clin.
Microbiol. 36(7):1823-1834.
Karokousis PC, Trucksis M, Dumler J. 2006. Case Report Chronic Q Fever in the
United States. J. Clin. Microbiol. 44(6):2283-2287 doi:10.1128/JCM.0236505.
Krt B. 2003.The influence of Coxiella burnetii phase I and phase II antigens on
serological diagnosis of Q Fever in Cattle. Slov. Vet. Res. 40:203-307.
Lehr S, Kotzka J, Herkner A, Klein E, Siethoff C, Knebel B, Noelle V, Brüning
JC, Klein HW, Meyer HE, Krone W, Müller-Wieland D. 1999. Identification
of tyrosine phosphorylation sites in human Gab-1 protein by EGF receptor
kinase in vitro. Biochem. 38(1):151-9.
Maronpot RR. 1999. Pathology of Mouse. New York (US) : Cache River Pr.

11
Marmion B, Spelman D.2009.A Guide To Q Fever and Q Fever Vaccination.
Australia (AU): Thinking Australia.
Mourin M, Roult D. 1999. Q Fever. Clin. Microbiol. Rev. 12(4):518-553.
[OIE] Office International des Epizooties. 2005. Q Fever Chapter 2.2.10 433-445
[OIE] Office International des Epizooties. 2010.Q Fever.[internet][diacu 2013
Januari 28]. Tersedia pada : http://www.oie.int/fileadmin/home/eng/
health_standards/thnm/2.01.12_q-fever.pdf.
Paderi AZ. 2007. Kajian perubahan jaringan uji khasiat buah merah (Pandanus
conoideus) sebagai bahan penghambat kerusakan hati [skripsi]. Bogor (ID):
IPB.
Porter SR, Czaplicki G, Mainil J, Guatt´eo R, Saegerman C. 2011. Q Fever:
Current State of Knowledge and Perspectives of Research of a Neglected
Zoonosis. Int. J. Microbiol. 2011:22 doi: 10.1155/ 2011/248418. ID 248418.
Setiyono A, Ogawa M, Cai Y, Shiga S, Kishimoto T, Kurane I. 2005. New criteria
rfor immunofluorescence assay for Q Fever diagnosis in Japan. J. Clin.
Microbiol. 43(11):5555-5559.
Setiyono A. 2005. Q Fever ditinjau dari aspek zoonosis (Review on Zoonoses of
Q Fever). Di dalam: Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner ;
2005 sept 12-13; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Pustlitbangnak.
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak. Yogyakarta (ID): UGM Pr.
Willard MD, Tvedten H. 1999. Small Animal Clinical Diagnosis by Laboratory
Methods 4th Edition. Missouri (US): Saunders.

12

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 10 November 1991 di kota Medan,
Sumatera Utara dari bapak Hamdi Ridzuan bin M. Haroon Fahmie dan ibu Eva
Yenti Kadir. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.
Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis sebelumnya yaitu SD
Baiturrahmah Padang pada tahun 1998, SMP Maria Padang pada tahun 2004,
SMA Don Bosco Padang pada tahun 2007. Pada tahun 2009 penulis melanjutkan
pendidikannya di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui
jalur USMI.
Selama perkuliahan penulis aktif di dalam kegiatan organisasi
kemahasiswaan. Salah satunya penulis pernah menjadi bagian anggota BEM TPB
pada tahun 2009-2010 dan anggota organisasi Himpro Hewan Kecil dan Satwa
Akuatik FKH IPB.