Karakteristik Laju Pengeringan pada Mesin Pengering Pakan Ternak Sistem Pompa Kalor Dengan Daya 1 PK

(1)

33

KARAKTERISTIK LAJU PENGERINGAN PADA MESIN PENGERING PAKAN TERNAK SISTEM POMPA KALOR

DENGAN DAYA 1 PK

SKRIPSI

Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik

ADI FRANSISCO GIRSANG NIM : 110 421 010

PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA EKSTENSI DEPARTEMEN TEKNIK MESIN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

2015


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

ABSTRAK

Analisa ini bertujuan untuk mengatasi masalah yang dihadapai para produsen pakan ternak untuk mengeringkan pakan ternak yang sudah dicacah dalam keadaan lembab menjadi kering agar tahan lebih lama. Oleh sebab itu dilakukan perancangan yang bertujuan untuk menghasilkan suatu unit mesin pengering pakan ternak portable dengan menggunakan AC rumah yang berorientasikan pada upaya efisiensi energi listrik yang dapat diaplikasikan pada skala kecil dan besar . Analisa konsumsi dan biaya energi pada mesin pengering pakan ternak sistem pompa kalor dengan daya 1 PK ini didasarkan pada hasil perhitungan teoritis dan pompa kalor yang digunakan beroperasi menggunakan siklus kompresi uap menjadi batasan masalahnya. Manfaat penelitian ini adalah untuk memenuhi kebutuhan pengeringan pada sektor peternakan, pertanian, maupun home industry khususnya bagi wilayah- wilayah yang memiliki tingkat curah hujan yang tinggi di Indonesia. Kesimpulan perancangan ini diperoleh bahwa nilai laju ekstraksi air spesifik (Spesific Moisture Extraction Rate) untuk mesin pengering pakan ternak sistem pompa kalor adalah 0.0106 kg/kWh. SMER berbanding lurus dengan temperatur udara keluaran evaporator dan berbanding lurus terhadap waktu. Besarnya konsumsi energi spesifik (Spesific Energi

Consumption) pada mesin pengering pakan ternak ini adalah 22,787 kWh/kg. SEC

berbanding terbalik dengan laju ekstraksi air spesifik (Spesific Moisture

Extraction Rate) dan berbanding lurus dengan biaya produksi.

Kata kunci: Spesific Energi Consumption (SEC), Spesific Moisture Extraction


(10)

ABSTRACT

This analysis aims to address the problems faced by the producers of fodder for drying forage in a state that has been chopped into dry so moist longer. Therefore, to design that aims to produce a unit of animal feed portable dryer machine using AC house oriented on electrical energy efficiency efforts can diaplikasin on small and large scale . Analysis of energy consumption and costs in a dryer feed system with a heat pump 1 PK power was based on the results of theoretical calculations and the use of heat pumps operate using the vapor compression cycle into a boundary problem . The benefits of this research is to meet the drying requirements of the livestock sector , agriculture , and home industry , especially for areas that have high levels of rainfall in Indonesia. Conclusion This design is obtained that a specific value of the rate of water extraction (Specific Moisture Extraction Rate) to feed the dryer heat pump system was 0.0106 kg / kWh . Smer is directly proportional to the evaporator exit air temperature and proportional to the time . The amount of specific energy consumption (Specific Energy Consumption) to feed the dryer is 22,787 kWh/ kg SEC inversely proportional to the specific water extraction rate (Specific Moisture Extraction Rate ) and is directly proportional to the cost of production

Keywords :Specific Energy Consumption (SEC) , Specific Moisture Extraction Rate ( SMER) .


(11)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR NOTASI ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 1

1.3. Batasan Masalah ... 1

1.4. Tujuan Penelitian ... 2

1.4.1. Tujuan Umum ... 2

1.4.2. Tujuan Khusus ... 2

1.5. Manfaat penelitian ... 2

1.6. Sistematika Penulisan ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Proses Pengeringan ... 4

2.2. Pengeringan Buatan ... 4

2.2.1 .Jenis Jenis Pengeringan Buatan ... 5

2.2.2 Proses Pengeringan ... 5

2.2.3 Faktor Yang Mempengaruhi Pengeringan ... 5

2.3 Siklus Kompresi Uap ... 7

2.3.1. Komponen Utama Siklus Kompresi Uap ... 10

2.3.1.1 Kompresor ... 10

2.3.1.2 Kondensor ... 11

2.3.1.3 Katup Ekspansi ... 15

2.3.1.4 Evaporator ... 15

2.4 Refrigrant ... 16


(12)

2.4.2 Persyaratan Refrigrant ... 19

2.5 Pengering Pompa Kalor ... 21

2.6 Kinerja Alat Pengering ... 22

2.6.1 Efisiensi pengeringan ... 23

2.6.2. Kadar Air ... 23

2.6.3 Pengertian Laju Pengeringan ... 24

2.6.4. Nilai Laju Ekstraksi Air Spesifik ... 25

2.6.5. Konsumsi Energi Spesifik ... 25

2.6.6. Biaya Pokok Produksi ... 26

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian ... 27

3.2. Bahan Dan Alat ... 27

3.2.1. Bahan ... 28

3.2.2. Alat ... 29

3.3. Parameter Penelitian ... .31

3.4 Metode Pelaksanaan Penelitian ... 32

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Data Hasil Penelitian ... 33

4.2. Laju Pengeringan ... 34

4.3. Nilai Laju Ekstraksi Air Spesifik (SMER) ... 35

4.3.1 Ketidakpastian Pengukuran ... 38

4.4. Konsumsi Energi Spesifik ... 40

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 44

5.2. Saran ... 44

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(13)

DAFTAR NOTASI

A Luas Silinder Kompresor m3

COP Coefficient Of Performance -

h Enthalpi kJ/kg

h

1 Enthalpi Refrigeran Masuk Kompresor kJ/kg

h

2 Enthalpi Gas Refrigeran Pada Tekanan Kondensor kJ/kg

h

2 Enthalpi Refrigeran Keluar Kompresor kJ/kg

h

2S Enthalpi Refrigeran Saat Kompresi Isentropik kJ/kg

h

3 Enthalpi Refrigeran Masuk kJ/kg

h

4 Enthalpi Cairan Refrigeran Pada Tekanan kJ/kg

h

4 Enthalpi Refrigeran Keluar Evaporator kJ/kg

h

5 Enthalpi Refrigeran Masuk Evaporator kJ/kg

h

u Enthalpi Udara kJ/kg

m Laju Aliran Massa Refrigeran kg/s

v Prosentase Volume Sisa %

P Tekanan Absolut MPa

P

1 Tekanan Sisi Suction Kompresor MPa

P

2 Tekanan Sisi Discharge Kompresor MPa

P

3 Tekanan Sisi Keluar Kondensor MPa

P

4 Tekanan Sisi Masuk Evaporator MPa

P

5 Tekanan Sisi Keluar Evaporator MPa

P

kond Tekanan Kondensor MPa

QKonden

Kalor Yang Diserap Kondensor kW

S Entropi kJ/(kg . K)

S Panjang Langkah m


(14)

Tkond Temperatur Kondensor 0C

TL Temperatur refrigerant saat meresap kalor 0C

Wkomp Daya Kompressor kW η

cv Efisiensi Ruang Sisa % ηvol Efisiensi Volumetris %

η

kom Efisiensi Isentropis (Efisiensi Kompresor) % ρ Densitas Refrigeran kg/m

3

ρ

suc Densitas Refrigeran Pada Sisi Hisap (Suction) kg/m 3

ρ

u Densitas Udara kg/m 3


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Siklus Kompresi Uap ... 7

Gambar 2.2 Siklus Refrigerasi Kompresi Uap pada Diagram P-h... 7

Gambar 2.3 Pembagian Kompresor ... 11

Gambar 2.4 Kondensor Pipa Ganda ... 13

Gambar 2.5 Kondensor Selubung dan Tabung Kompresor ... 14

Gambar 2.6 Skema Pengeringan ... 22

Gambar 3.1 Pakan ternak yang sudah di cacah ... 28

Gambar 3.2 Hasil Pembuatan Mesin Pengering ... 28

Gambar 3.3 RH Meter ... 29

Gambar 3.4 Hot Wire Anemometer ... 30

Gambar 3.5 Pressure Gauge ... 30


(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbandingan kondensor berpendingin udara dan air ... ... 15

Tabel 2.2 Pembagian Refrigerant berdasarkan keamanan ... ... 18

Tabel 2.3 Nilai ODP beberapa Refrigerant ... …... 21

Tabel 3.1 Jadwal pelaksanaan penelitian ... ... 27

Tabel 3.2 Specificatians dari Hot Wire Anemometer ... ... 30

Tabel 4.1 Data hasil pengujian pengeringan 1 Kg Pakan ternak ... ... 33


(17)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapakan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-NYA yang begitu besar sehinggga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dari tahap awal sampai akhir berjalan dengan baik.

Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar Sarjana di Program Pendidikan Sarjana Ekstensi di Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.Adapun judul skripsi ini adalah Karakteristik

Laju Pengeringan pada Mesin Pengering Pakan Ternak Sistem Pompa Kalor Dengan Daya 1 PK

Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan baik berupa dukungan, perhatian, bimbingan, nasihat, dan juga doa. Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Ing. Ir. Ikhwansyah Isranuri, sebagai Ketua Departemen Teknik Mesin Falkutas Teknik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Eng. Himsar Ambarita, ST, MT, sebagai dosen pembimbing

yang telah meluangkan banyak waktu serta menyumbangkan ilmu dan nasehat kepada penulis sepanjang pengerjaan tugas sarjana ini hingga selesai.

3. Bapak/Ibu dosen di Departemen Teknik Mesin Falkutas Teknik

Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik penulis selama kuliah.

4. Bapak/Ibu staff pegawai yang banyak membantu penulis selama kuliah di

Departemen Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

5. Teristimewa kepada Ayah dan Ibunda penulis, S. Girsang dan R.Bakara

yang telah memberikan kasih sayang yang tak terhingga dalam membesarkan, memelihara, mendukung secara moral dan material, memberikan dorongan serta senantiasa mendoakan penulis dalam setiap aktivitas, terutama selama menjalani perkuliahan di Fakultas Teknik USU. Penulis tidak dapat membalas kebaikan mereka dengan apapun. Penulis mengucapkan terima kasih banyak untuk orang tua yang sangat saya


(18)

hormati dan cintai. Saya sangat bangga memiliki orang tua yang sabar, kuat, dan selalu menyayangi anak-anaknya.

6. Rekan satu team yaitu Iko Mart Nadeak dan Ronal Hutagalung yang saling

membantu dan bersolidaritas satu sama lain demi penyelesaian skripsi isni.

7. Bg Ricardo Nainggolan, Bg Zakaria Pasaribu, Bg Tyson Marudut

Manurung, Bg Syalimono Siahaan, Bg Cakra Messa yang telah banyak membantu dalam penyelesaian penulisan Skripsi ini

Akhir kata, penulis menyadari skiripsi ini masih kurang sempurna, Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun untuk meyempurnakan isi skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan pembaca mengenai mesin pengering sistem pompa kalor.

Medan, Mei 2015

Adi Fransisco Girsang NIM: 110 421 010


(19)

ABSTRAK

Analisa ini bertujuan untuk mengatasi masalah yang dihadapai para produsen pakan ternak untuk mengeringkan pakan ternak yang sudah dicacah dalam keadaan lembab menjadi kering agar tahan lebih lama. Oleh sebab itu dilakukan perancangan yang bertujuan untuk menghasilkan suatu unit mesin pengering pakan ternak portable dengan menggunakan AC rumah yang berorientasikan pada upaya efisiensi energi listrik yang dapat diaplikasikan pada skala kecil dan besar . Analisa konsumsi dan biaya energi pada mesin pengering pakan ternak sistem pompa kalor dengan daya 1 PK ini didasarkan pada hasil perhitungan teoritis dan pompa kalor yang digunakan beroperasi menggunakan siklus kompresi uap menjadi batasan masalahnya. Manfaat penelitian ini adalah untuk memenuhi kebutuhan pengeringan pada sektor peternakan, pertanian, maupun home industry khususnya bagi wilayah- wilayah yang memiliki tingkat curah hujan yang tinggi di Indonesia. Kesimpulan perancangan ini diperoleh bahwa nilai laju ekstraksi air spesifik (Spesific Moisture Extraction Rate) untuk mesin pengering pakan ternak sistem pompa kalor adalah 0.0106 kg/kWh. SMER berbanding lurus dengan temperatur udara keluaran evaporator dan berbanding lurus terhadap waktu. Besarnya konsumsi energi spesifik (Spesific Energi

Consumption) pada mesin pengering pakan ternak ini adalah 22,787 kWh/kg. SEC

berbanding terbalik dengan laju ekstraksi air spesifik (Spesific Moisture

Extraction Rate) dan berbanding lurus dengan biaya produksi.

Kata kunci: Spesific Energi Consumption (SEC), Spesific Moisture Extraction


(20)

ABSTRACT

This analysis aims to address the problems faced by the producers of fodder for drying forage in a state that has been chopped into dry so moist longer. Therefore, to design that aims to produce a unit of animal feed portable dryer machine using AC house oriented on electrical energy efficiency efforts can diaplikasin on small and large scale . Analysis of energy consumption and costs in a dryer feed system with a heat pump 1 PK power was based on the results of theoretical calculations and the use of heat pumps operate using the vapor compression cycle into a boundary problem . The benefits of this research is to meet the drying requirements of the livestock sector , agriculture , and home industry , especially for areas that have high levels of rainfall in Indonesia. Conclusion This design is obtained that a specific value of the rate of water extraction (Specific Moisture Extraction Rate) to feed the dryer heat pump system was 0.0106 kg / kWh . Smer is directly proportional to the evaporator exit air temperature and proportional to the time . The amount of specific energy consumption (Specific Energy Consumption) to feed the dryer is 22,787 kWh/ kg SEC inversely proportional to the specific water extraction rate (Specific Moisture Extraction Rate ) and is directly proportional to the cost of production

Keywords :Specific Energy Consumption (SEC) , Specific Moisture Extraction Rate ( SMER) .


(21)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebutuhan akan pakan ternak di Indonesia sangat tinggi mengingat komoditas peternakan sangat banyak di Indonesia. Banyaknya peternakan sangat berpengaruh terhadap kebutuhan akan pakan yang akan siap untuk di makan oleh ternak, sedangkan pakan ternak yang diproduksi industri masih bersifat basah atau lembab. Untuk itu industri harus mengeringkan hasil produksinya mengunakan sinar matahari ataupun mesin pengering.

Pakan ternak merupakan penganti makanan ternak dari alam. Pakan ternak di produksi dari indusri rumahan (home industry) ataupun diproduksi secara massal. Dalam setiap pruduksi, produsen pakan ternak biasanya mengeringkan hasil produksinya menggunakan sinar matahari. Jika menggunakan cahaya matahari saja hasil pruduksi tidak mencukupi permintaan atas pakan ternak di Indonesia. Untuk itu kebutuhan mesin pengering sangat dibutuhkan guna menunjang hasil produksi pakan ternak.

Mesin yang sering di jumpai di pasaran menggunakan alat pemanas (heater) dan alat ini menggunakan tenaga arus listrik yang sangat besar. Untuk itu penulis mencoba menggunakan alat yang tidak lajim digunakan di mesin pengering yaitu AC. Panas untuk mengeringkan pakan ternak didapat dari udara buangan kondensor. AC yang digunakan disini adalah jenis AC yang biasa di temukan di pasaran yaitu AC Polytron dengan daya 1 PK.

1. 2 Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini terlebih dahulu dilakukan rancang bangun mesin pengering pakan ternak sistem pompa kalor dengan daya 1 PK. Selanjutnya ditambah dengan rancang bangun saluran ruang pengeringan.

1. 3 Batasan Masalah

1. Pembuatan model fisik semua komponen pada unit mesin pengering pakan

ternak sapi ini didasarkan pada hasil perhitungan teoritis.


(22)

3. Mesin beroperasi untuk mengeringkan pakan ternak sapi yang terbuat dari daun kelapa sawit yang sudah dicacah telebih dahulu.

1. 4 Tujuan Penelitian 1. 4 .1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan suatu unit mesin pengering pakan ternak portable yang berorientasikan pada upaya efisiensi energi listrik yang dapat diaplikasikan pada skala kecil dan besar..

1. 4. 2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah

1. Untuk mengetahui performansi siklus kompresi uap pada mesin pengering

pakan ternak sistem pompa kalor dengan daya 1 PK berdasarkan data hasil pengujian.

2. Untuk mengetahui karakteristik laju pengeringan pakan ternak sistem

pompa kalor dengan daya 1 PK.

1. 5 Manfaat Penelitian

Manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah

1. Sistem yang sederhana ini secara luas berkontribusi untuk memenuhi

kebutuhan pengeringan pada sektor peternakan, pertanian, maupun home industry khususnya bagi wilayah-wilayah yang memiliki tingkat curah hujan yang tinggi di Indonesia.

2. Pemanfaatan energi panas yang terbuang pada kondensor.

3. Sebagai pengembangan dalam bidang energi terbarukan khususnya

teknologi refrigerasi dan pengkondisian udara.

1. 6 Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terbagi menjadi lima bab dengan sistematika sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN bab ini membahas uraian tentang latar belakang

masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penulisan, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.


(23)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA membahas teori-teori yang menunjang

penyelesaian masalah seperti dalam hubungannya dengan prinsip pengeringan, sistem kompresi uap, komponen sistem kompresi uap, laju ekstraksi air, konsumsi enegri serta biaya pokok produksi.

BAB III METODA PENELITIAN membahas tentang pembuatan mesin

pengering pakan ternak,alat yang digunakan, bahan yang dikeringkan serta diagram proses penelitian.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN membahas tentang data

yang diperoleh selama pengujian dan analisa perhitungan mengenai laju ekstraksi air spesifik, konsumsi energi spesifik dan juga biaya pokok produksi.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN membahas tentang kesimpulan

berdasarkan data hasil pengujian yang telah dianalisa dan saran-saran yang diberikan untuk menyempurnakan kinerja alat.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Proses Pengeringan

Pengeringan adalah proses perpindahan panas dan uap air secara simultan yang memerlukan energi panas untuk menguapkan kandungan air yang

dipindahkan dari permukaan bahan yang dikeringkan oleh media pengering yang biasanya berupa panas. Proses pengeringan berlaku apabila bahan yang

dikeringankan kehilangan sebahagian atau keseluruhan air yang dikandungnya. Proses utama yang terjadi pada proses pengeringan adalah penguapan. Penguapan terjadi apabila air yang dikandung oleh suatu bahan teruap, yaitu apabila panas diberikan kepada bahan tersebut.

Prinsip pengeringan biasanya akan melibatkan dua kejadian yaitu panas yang diberikan pada bahan dan air harus dikeluarkan dari bahan. Dua fenomena ini menyangkut pindah panas ke dalam dan pindah massa ke luar. Yang dimaksud dengan pindah panas adalah peristiwa perpindahan energi dari udara ke dalam bahan yang dapat menyebabkan berpindahnya sejumlah massa (kandungan air) karena gaya dorong untuk keluar dari bahan (pindah massa).

Dalam pengeringan umumnya diinginkan kecepatan pengeringan yang maksimum, oleh karena itu diusahakan untuk mempercepat pindah panas dan pindah massa. Perpindahan panas dalam proses pengeringan dapat terjadi melalui dua cara yaitu pengeringan langsung dan pengeringan tidak langsung.

Pengeringan langsung yaitu sumber panas berhubungan dengan bahan yang dikeringkan, sedangkan pengeringan tidak langsung yaitu panas dari sumber panas dilewatkan melalui permukaan benda padat (conventer) dan conventer tersebut yang berhubungan dengan bahan. Setelah panas sampai ke bahan maka air dari sel-sel bahan akan bergerak ke permukaan bahan kemudian keluar.

2.2 Pengeringan Buatan

Pengeringan dengan menggunakan alat pengering dimana, suhu, kelembapan udara, kecepatan udara dan waktu dapat diatur dan di awasi.

Keuntungan Pengering Buatan:

 Tidak tergantung cuaca


(25)

 Tidak memerlukan tempat yang luas

 Kondisi pengeringan dapat dikontrol

 Pekerjaan lebih mudah.

2.2.1 Jenis Jenis Pengeringan Buatan

Berdasarkan media panasnya,

 Pengeringan adiabatis ; pengeringan dimana panas dibawa ke alat pengering oleh udara panas, fungsin udara memberi panas dan membawa air.

 Pengeringan isotermik; bahan yang dikeringkan berhubungan langsung

dengan alat/ plat logam yang panas.

2.2.2 Proses pengeringan:

 Proses pengeringan diperoleh dengan cara penguapan air

 Dengan cara menurunkan RH dengan mengalirkan udara panas disekeliling

bahan

 Proses perpindahan panas; proses pemanasan dan terjadi panas sensible dari medium pemanas ke bahan, dari permukaan bahan kepusat bahan.

 Proses perpindahan massa ; proses pengeringan (penguapan), terjadi panas laten, dari permukaan bahan ke udara

 Panas sensible ; panas yang dibutuhkan/ dilepaskan untuk menaikkan

/menurunkan suhu suatu benda

 Panas laten ; panas yang diperlukan untuk mengubah wujud zat dari padat kecair, cair ke gas, dst, tanpa mengubah suhu benda tersebut.

2.2.3 Faktor faktor yang mempengaruhi pengeringan.

Pada pengeringan selalu diinginan kecepatan pengeringan yang maksimal. Oleh karena itu perlu dilakukan usah- usah untuk memercepat pindah panas dan pindah massa ( pindah massa dalam hal ini adalah perpindahan air keluar dari bahan yang dikeringksan dalam proses pengeringan tersebut.

Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk memperoleh kecepatan pengeringan maksimum, yaitu :

(a) Luas permukaan

(b) Suhu

(c) Kecepatan udara


(26)

(e) Tekanan

(f) Waktu.

Dalam rancang mesin ini faktor yang perlu diperhatikan untuk memperoleh kecepatan pengeringan maksimum adalah :

Suhu

Semakin besar perbedaan suhu ( antara medium pemanas dengan bahan bahan) maka akan semakin cepat proses pindah panas berlangsung sehingga mengakibatkan proses penguapan semaki cepat pula. Atau semkain tinggi suhu udara pengeringan maka aka semakin besar anergi panas yang dibawa ke udara yang akan menyebabkan proses pindahan panas semakin cepat sengingga pindah massa akan berlangsung juga dengan cepat.

Kecepatan udara

Umumnya udara yang bergerak akan lebih banyak mengambil uap air dari permukaan bahan yang dikeringkan. Udara yang bergerak adalah udara yang mempunyai kecepatan gerak yang tinggi yang berguna untuk

mengambil uap air dan menghilangkan uapa air dari permukaan bahan yang dikeringkan, sehingga dapat mencegah terjadinya udara jenuh yang dapat memperlambat penghilangan air.

Kelembaban Udara (RH)

Semakin lembab udara di dalam ruang pengering dan sekitarnya maka akan semakin lama proses pengerngan berkangsung kering, begitu juga

sebaliknya. Karena udara kering dapat mengabsorbsi dan menahan uap air. Setiap bahan mempunyai keseimbangan kelembaban nisbi (RH

keseimbangan) masing- masing, yaitu kelembaban pada suhu tertentu dimana bahan tidak akan kehilangan air (pindah) ke atmosfir atau tidak akan mengambil uap air dari atmosfir.

Jika RH udara < RH keseimbangan maka bahan masih dapat dikeringkan Jika RH udara > RH keseimbangan maka bahan malahan akan menarik uap air dari udara.


(27)

Semakin lama waktu (batas tertentu) pengeringan maka akan semakin cepat proses pengeringan selesai. Dalam pengeringan diterapkan konsep HTST (High Temperature Short Time), short time dapat menekan biaya

pengeringan.

2.3 Siklus Kompresi Uap

Sistem kompresi uap merupakan dasar sistem refrigerasi yang terbanyak di gunakan, dengan komponen utamanya adalah kompresor, evaporator, alat ekspansi (Throttling Device), dan kondensor. Keempat komponen tersebut melakukan proses yang saling berhubungan dan membentuk siklus refrigerasi kompresi uap.

Gambar 2.1. Siklus Kompresi Uap

Pada diagram P-h, siklus kompresi uap dapat digambarkan pada gambar 2.2 sebagai berikut:

(P = kPa)

(h = kJ/kg) 1

2 3

4

Gambar 2.2. Siklus Refrigerasi Kompresi Uap pada Diagram P-h

Proses yang terjadi pada Siklus Refrigerasi Kompresi Uap adalah sebagai berikut:


(28)

Proses ini berlangsung di kompresor secara isentropik adiabatik. Kondisi awal refrigeran pada saat masuk di kompresor adalah uap jenuh bertekanan rendah, setelah di kompresi refrigeran menjadi uap bertekanan tinggi. Oleh karena proses ini di anggap isentropik, maka temperatur keluar kompresor pun muningkat. Besarnya kerja kompresi per satuan massa refrigeran bisa di hitung dengan rumus

Wk = �( ̇ ℎ2 − ℎ1) (sumber : Dr.Eng. Himsar Ambarita, hal : 11)

Dimana :

Wk = besarnya kerja kompresi yang di lakukan (kJ/kg)

ℎ1 = entalpi refrigeran saat masuk kompresor (kJ/kg)

ℎ2 = entalpi refrigeran saat keluar kompresor (kJ/kg)

ṁ = laju aliran refrigeran pada sistem (kg/s)

h1 diperoleh dari tekanan pada evaporator, h2 diperoleh dari tekanan pada

kondensor.

Dalam pengujian besarnya daya kompresor untuk melakukan kerja dapat juga ditentukan dengan rumus:

�= ������...(2.1) Dimana :

� = daya listrik kompresor (Watt)

� = tegangan listrik (Volt)

� = kuat arus listrik (Ampere)

���� = 0,6 – 0,8

2. Proses Kondensasi (2 – 3)

Proses ini berlangsung di kondensor, refrigeran yang bertekanan dan temperatur tinggi keluar dari kompresor membuang kalor sehingga fasanya berubah menjadi cair. Hal ini berarti bahwa di kondensor terjadi penukaran kalor antara refrigeran dengan udara, sehingga panas berpindah dari refrigeran ke udara pendingin dan akhirnya refrigeran mengembun menjadi cair.

Besarnya kalor per satuan massa refrigerant yang di lepaskan di kondensor dinyatakan sebagai:


(29)

�� = � (̇ℎ2− ℎ3) ( Sumber : Dr.Eng.Himsar Ambarita, hal : 14) Dimana :

Qk = besarnya kalor dilepas di kondensor (kJ/kg)

2 = entalpi refrigeran saat masuk kondensor (kJ/kg) ℎ3 = entalpi refrigeran saat keluar kondensor (kJ/kg)

3. Proses Ekspansi (3 – 4)

Proses ini berlangsung secara isoentalpi, hal ini berarti tidak terjadi penambahanentalpi tetapi terjadi drop tekanan dan penurunan temperatur. Proses penurunan tekanan terjadi pada katup ekspansi yang berbentuk pipa kapiler atau orifice yang berfungsi mengatur laju aliran refrigerant dan menurunkan tekanan.

ℎ3 = ℎ4 ( Sumber : Dr.Eng.Himsar Ambarita, hal : 6) Dimana :

h3 = entalpi refrigeran saat keluar kondensor (kJ/kg)

h4 = harga entalpi masuk ke evaporator (kJ/kg)

4. Proses Evaporasi (4 – 1)

Proses ini berlangsung di evaporator secara isobar isotermal. Refrigerant dalam wujud cair bertekanan rendah menyerap kalor dari lingkungan / media yang di dinginkan sehingga wujudnya berubah menjadi gas bertekanan rendah.

Besarnya kalor yang diserap evaporator adalah

�� =� (̇ℎ1− ℎ4) (Sumber: Dr.Eng.Himsar Ambarita, hal : 6) Dimana :


(30)

ℎ1 = harga entalpi ke luar evaporator (kJ/kg)

ℎ4= harga entalpi masuk ke evaporator (kJ/kg)

Selanjutnya refrigeran kembali masuk ke kompresor dan bersirkulasi kembali, begitu seterusnya sampai kondisi yang diinginkan tercapai.

2.3.1 Komponen Utama Siklus Kompresi Uap

Siklus refrigerasi kompresi uap merupakan silkus yang paling umum digunakan untuk mesin pendingin dan pompa kalor. Komponen utama dari sebuah siklus kompresi uap adalah :

1. Kompresor

Pada sistem mesin refrigerasi, kompresor berfungsi seperti jantung. Kompresor berfungsi untuk mensirkulasikan refrigeran dan menaikan tekanan refrigerant agar dapat mengembun di kondensor pada temperatur di atas temperatur udara sekeliling.(www:Google/Komponen Utama Siklus Kompresi

Uap).

Berdasarkan cara kerjanya, kompresor yang biasa dipakai pada sistem

refrigerasi dapat dibagi menjadi:

KOMPRESOR

RECIPROCATING

ROTARY EJEKTOR TURBO

VANE SCROLL ROLLINGPISTON SCREW CENTRIFUGAL AXIAL

Gambar 2. 3 Pembagian Kompresor (Teknik Pendingin & Pengkondisian Udara


(31)

Kompresor yang memerangkap refrigeran dalam suatu ruangan yang

terpisah dari saluran masuk dan keluarnya, kemudian dimampatkan. Kompresor

ini dapat dibagi lagi menjadi:

a. Bolak-balik (reciprocating) kompresor torak.

b. Putar (rotary)

c. Kompresor sudu luncur (rotary vane atau sliding vane)

d. Kompresor ulir (screw)

e. Kompresor gulung (Scroll)

2. Kondensor,

Kondensor berfungsi sebagai untuk membuang kalor ke lingkungan, sehingga uap refrigeran akan mengembun dan berubah fasa dari uap ke cair. Sebelum masuk ke kondenser refrigeran berupa uap yang bertemperatur dan bertekanan tinggi, sedangkan setelah keluar dari kondenser refrigeran berupa cairan jenuh yang bertemperatur lebih rendah dan bertekanan sama (tinggi) seperti sebelum masuk ke kondensor.

Dilihat dari proses perpindahan panasnya kondensor terdiri dari dua jenis, jenis kondensor yaitu kondensor kontak langsung dan kondensor permukaan.

1. Kondensor Jet

Kondensor jet adalah kondensor kontak langsung yang banyak digunakan. Kondensor jet digunakan pada pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) yang siklus kerjanya terbuka. Perpindahan panas pada kondensor jet dilakukan dengan menyemprotkan air pendingin ke aliran uap secara langsung. Air kondensat yang terkumpul di kondensor sebagian digunakan sebagai air pendingin kondensor dan selebihnya dibuang.


(32)

Pada kondensor permukaan, uap terpisah dari air pendingin, uap berada diluar pipa-pipa sedangkan air pendingin berada didalam pipa. Perpindahan panas dari uap ke air terjadi melalui perantaraan pipa-pipa. Pada kondensor jenis ini kemurnian air pendingin tidak menjadi masalah karena terpisah dari air kondensat.

Jenis- jenis kondensor yang kebanyakan dipakai adalah sebagai berikut:

1) Kondensor pipa ganda (Tube and Tube)

Jenis kondensor ini terdiri dari susunan dua pipa koaksial, dimana refrigeran mengalir melalui saluran yang berbentuk antara pipa dalam dan pipa luar, dari atas ke bawah. Sedangkan air pendingin mengalir di dalam pipa dalam dengan arah yang berlawanan dengan arah aliran refrigeran.

Gambar 2.4 Kondensor pipa ganda (Tube and Tube Condensor )

Keterangan :

a. Uap refrigeran masuk e. Tabung luar

b. Air pendingin keluar f. Sirip bentuk bunga c. Air pendingin masuk g. Tabung dalam d. Cairan refrigeran keluar

2) Kondensor tabung dan koil ( Shell and Coil )

Kondensor tabung dan koil adalah kondensor yang terdapat koil pipa air pendingin di dalam tabung yang di pasang pada posisi vertikal. Tipe kondensor ini


(33)

air mengalir dalam koil, endapan dan kerak yang terbantuk dalam pipa harus di bersihkan dangan bahan kimia atau detergen.

3) Kondensor pendingin udara

Kondensor pendingin udara adalah jenis kondensor yang terdiri dari koil pipa pendingin yang bersirip pelat (tembaga atau aluminium). Udara mengalir dengan arah tegak lurus pada bidang pendingin, gas refrigeran yang bertemperatur tinggi masuk ke bagian atas dari koil dan secara berangsur mencair dalam alirannya ke bawah.

4) Kondensor tabung dan pipa horizontal (Shell and Tube)

Kondensor tabung dan pipa horizontal adalah kondensor tabung yang di dalamnya banyak terdapat pipa – pipa pendingin, dimana air pendingin mengalir dalam pipa – pipa tersebut. Ujung dan pangkal pipa terikat pada pelat pipa, sedangkan diantara pelat pipa dan tutup tabung dipasang sekat untuk membagi aliran air yang melewati pipa – pipa.

Gambar 2.5 Kondensor selubung dan tabung (Shell and Tube condenser)

Keterangan :

1. Saluran air pendingin keluar 6. Pengukur muka cairan 2. Saluran air pendingin masuk 7. Saluran masuk refrigeran 3. Pelat pipa 8. Tabung keluar refrigeran 4. Pelat distribusi 9. Tabung


(34)

5. Pipa bersirip

Pembagian kondensor berdasarkan medium yang digunakan dapat dibagi atas 3 bagian, yaitu: (1) Kondensor berpendingin udara, (2) Kondensor

berpendingin air, dan (3) Kondensor berpendingin gabungan (Evaporative

Condenser).

Tabel 2.1. Perbandingan kondensor berpendingin udara dan air

Parameter

Pendingin

Udara Pendingin Air

Perbedaan temperatur, Tc-Tpendingin 6 s/d 22 oC 6 s/d 12 oC

Laju aliran pendingin per TR

12 s/d 20 m3/mnt

0,007 s/d 0,02 m3/mnt

Luas perpindahan panas per TR 10 s/d 15 m2 0,5 s/d 1 m2

Kecepatan fluida pendingin 2,5 s/d 6 m/s 2 s/d 3 m/s

Daya pompa/blower per TR 75 s/d 100W Kecil

TR = Ton of Refrigerasi ( Beban di evaporator) 1TR = 3,5 KW

Sumber, ASHRAE Inc., (2008). ASHRAE Handbook – HVAC Systems and Equipment. SI Edition. Atlanta.

3. Katup Ekspansi,

Komponen utama yang lain untuk mesin refrigerasi adalah katup ekspansi. Katup ekspansi ini dipergunakan untuk menurunkan tekanan dan untuk mengekspansikan secara adiabatik cairan yang bertekan dan bertemperatur tinggi sampai mencapai tingkat tekanan dan temperatur rendah, atau mengekspansikan refrigeran cair dari tekanan kondensasi ke tekanan evaporasi, refrigeran cair diinjeksikan keluar melalui oriffice, refrigeran segera berubah menjadi kabut yang tekanan dan temperaturnya rendah.

Selain itu, katup ekspansi juga sebagai alat kontrol refrigerasi yang berfungsi :


(35)

1. Mengatur jumlah refrigeran yang mengalir dari pipa cair menuju evaporator sesuai dengan laju penguapan pada evaporator.

2. Mempertahankan perbedaan tekanan antara kondensor dan evaporator agar penguapan pada evaporator berlangsung pada tekanan kerjanya.

4. Evaporator,

Evaporator berfungsi melakukan perpindahan kalor dari ruangan yang didinginkan ke refrigeran yang mengalir di dalamnya melalui permukaan

dindingnya. Pada diagaram P – h dari siklus kompresi uap sederhana, evaporator mempunyai tugas merealisasikan garis 1–4. Setelah refrigeran turun dari

kondensor melalui katup ekspansi masuk ke evaporator dan di uapkan, kemudian dikrim ke kompresor. Pada prinsipnya evaporator hampir sama dengan kondensor, yaitu sama – sama APK yang fungsinya mengubah fasa refrigeran. Bedanya, jika pada kondensor refrigeran berubah dari uap menjadi cair, maka pada evaporator berubah dari cair menjadi uap.

Berdasarkan model perpindahan panasnya, evaporator dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu :

1. Natural Convention

Pada evaporator natural convention, fluida pendingin dibiarkan mengalir sendiri karena adanya perbedaan massa jenis, umumnya evaporator ditempatkan di tempat yang lebih tinggi. Fluida yang bersentuhan dengan evaporator akan turn suhunya dan massa jenisnya akan naik, sebagai akibatnya fluida ini akan turun dan mendesak fluida dibawahnya untuk bersirkulasi. Sistem ini hanya mampu pada refrigerasi dengan kapasitas – kapasitas kecil seperti kulkas.

2. Forced convention

Evaporator ini menggunakan blower untuk memaksa terjadinya aliran udara sehingga terjadi konveksi dengan laju perpindahan panas yang lebih baik.

2. 4 Refrigrant

Refrigerant adalah fluida kerja utama pada suatu siklus refrigerasi yang


(36)

panas pada temperatur dan tekanan tinggi. Umumnya refrigerant mengalami perubahan fasa dalam satu siklus.

1. Kecepatan refrigeran pada titik 4 V4 =w . v4

-………...…...………..……….……..……… (2.2)

(Refrigerasi dan Pengkondisian Udara, Edisi II, W.F. Stoecker, hal :251) v4= Volume spesifik cair jenuh (m3/kg)

2. Bilangan Reynolds Re = V3.D/µ4. v4

-….……….………...…..……….….…(2.3) (Refrigerasi dan Pengkondisian Udara, Edisi II, W.F. Stoecker, hal :251) µ3 = Viskositas cair jenuh

D = Diameter dalam pipa kapiler = 2 mm 3. Faktor gesek

f =

0,33/Re0.25……….………...…….…………....……...……….

….…(2.4)

(Refrigerasi dan Pengkondisian Udara, Edisi II, W.F. Stoecker, hal :251)

3. Faktor gesek rata-rata untuk tiap ruas fm=

2 4

3 f

f +

……….………...….………..…..…………. ….…(2.5)

(Refrigerasi dan Pengkondisian Udara, Edisi II, W.F. Stoecker, hal :251)

4. Kecepatan rata-rata refrigeran Vm =

2 4

3 V

V +

………..……..…………...…..………….….…(2. 6)

(

)

(

4 3

)

. 2

4 3

2v A mV V

V x D

L x f P

P m

m = −

    

 

− −

………..……….….….…(2.7)

(Refrigerasi dan Pengkondisian Udara, Edisi II, W.F. Stoecker, hal :251)

2.4.1. Pengelompokan Refrigrant

Refrigerant dirancang untuk ditempatkan didalam siklus tertutup atau tidak bercampur dengan udara luar. Tetapi, jika ada kebocoran karena sesuatu hal yang tidak diinginkan, maka refrigerant akan keluar dari system dan bisa saja terhirup manusia. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan maka refrigerant harus dikategorikan aman atau tidak aman. Ada dua faktor yang digunakan untuk


(37)

mengklassifikasikan refrigerant berdasarkan keamanan, yaitu bersifat racun (toxicity) dan bersifat mudah terbakar (flammability).

Berdasarkan toxicity, refrigerants dapat dibagi dua kelas, yaitu kelas A bersifat tidak beracun pada konsentrasi yang ditetapkan dan kelas B jika bersifat racun. Batas yang digunakan untuk mendefinisikan sifat racun atau tidak adalah sebagai berikut. Refrigerant dikategorikan tipe A jika pekerja tidak mengalami gejala keracunan meskipun bekerja lebih dari 8 jam/hari (40 jam/minggu) di lingkungan yang mengandung konsentrasi refrigerant sama atau kurang dari 400 ppm (part per million by mass). Sementara kategori B adalah sebaliknya.

Berdasarkan flammability, refrigerant dibagi atas 3 kelas, kelas 1, kelas 2, dan kelas 3. Yang disebut kelas 1 jika tidak terbakar jika diuji pada tekanan 1 atm (101 kPa) temperature 18,3°C. Kelas 2 jika menunjukkan keterbakaran yang rendah saat konsentrasinya lebih dari 0,1 kg/m3 pada 1 atm 21.1°C atau kalor pembakarannya kurang dari 19 MJ/kg. Kelas 3 sangat mudah terbakar.

Refrigerant ini akan terbakar jika konsentrasinya kurang dari 0,1 kg kg/m3 atau kalor pembakarannya lebih dari 19 MJ/kg. Berdasarkan defenisi ini, sesuai standard 34-1997, refrigerants diklassifikasikan menjadi 6 kategori, yaitu: (Refrigerasi dan Pengkondisian Udara, Edisi II, W.F. Stoecker ).

1. A1: Sifat racun rendah dan tidak terbakar 2. A2: Sifat racun rendah dan sifat terbakar rendah 3. A3: Sifat racun rendah dan mudah terbakar 4. B1: Sifat racun lebih tinggi dan tidak terbakar 5. B2: Sifat racun lebih tinggi dan sifat terbakar rendah 6. B3: Sifat racun lebih tinggi dan mudah terbakar

Tabel 2. 2. Pembagian Refrigerant berdasarkan keamanan

Refrigerant

number Chemical Formula

Safety group

Old New

10 CCl4 2 B1


(38)

12 CCl2F2 1 A1

13 CClF3 1 A1

13B1 CBrF3 1 A1

14 CF4 1 A1

21 CHCl2F 2 B1

22 CHClF2 1 A1

23 CHF3 A1

30 CH2CL2 2 B2

32 CH2F2 A2

40 CH3Cl 2 B2

50 CH4 3a A3

113 CCl2FCClF2 1 A1

114 CClF2CClF2 1 A1

115 CClF2CF3 1 A1

116 CF3CF3 A1

123 CHCl2CF3 B1

124 CHClFCF3 A1

125 CHF2CF3 A1

134a CF3CH2F A1

142b CClF2CH3 3b A2

143a CF3CH3 A2

152a CHF2CH3 3b A2

170 CH3CH3 3a A3

218 CF3CF2CF3 A1

Sumber, ASHRAE Inc., (2008). ASHRAE Handbook – HVAC Systems and Equipment. SI Edition. Atlanta.


(39)

2.4.2. Persyaratan Refrigerant

Beberapa persyaratan dari penggunaan refrigerant adalah sebagai berikut:

a. Tekanan Evaporasi dan Tekanan Kondensasi

Tekanan evaporasi refrigerant sebaiknya lebih tinggi dari atmosfer. Hal ini menjaga agar udara luar tidak masuk ke siklus jika terjadi kebocoran minor. Tekanan kondensasi refrigerant sebaiknya tidak terlalu tinggi. Tekanan yang tinggi pada kondensor akan membuat kerja kompressor lebih tinggi dan kondensor harus dirancang untuk tahan pada tekanan tinggi, hal ini akan menambah biaya.

b. Sifat ketercampuran dengan pelumas (oil miscibility)

Refrigerant yang baik jika dapat bercampur dengan oli dan membantu melumasi kompressor. Oli sebaiknya kembali ke compressor dari kondensor, evaporator, dan part lainnya. Refrigerant yang tidak baik justru melemahkan sifat pelumas dan membentuk semacam lapisan kerak yang melemahkan laju

perpindahan panas. Sifat seperti ini harus dihindari.

c. Tidak mudah bereaksi (Inertness)

Refrigerant yang bersifat inert tidak bereaksi dengan material lainnya untuk menghindari korosi, erosi, dan kerusakan lainnya.

d. Mudah dideteksi kebocorannya (Leakage Detection)

Kebocoran refrigerant sebaiknya mudah di deteksi, jika tidak akan

mengurangi performansinya. Umumnya refrigerant tidak berwarna (colorless) dan tidak berbau (odorless). Metode deteksi kebocoran refrigerant:

a. Halide torch, jika udara mengalir di atas permukaan tembaga yang dipanasi

dengan api methyl alcohol, uap dari refrigerant akan berdekomposisi dan mangubah warna api. Lidah api menjadi hijau pada kebocoran kecil, dan mengecil dan kemerahan pada kebocoran besar.

b. Electronic detector, caranya dengan melepaskan arus pada inonisasi refrigerant

yang telah terdekomposisi. Tetapi tidak dapat digunakan untuk jika udara mengandung zat yang mudah terbakar.


(40)

c. Bubble method, campuran sabun yang mudah menggelembung dioleskan pada

bagian yang diduga bocor. Jika terjadi gelembung, berarti terjadi kebocoran.

d. ODP, singkatan dari Ozone Depletion Potential, potensi penipisan lapisan

ozon. Faktor yang dijadikan pembanding adalah kemampuan CFC-11 (R-11) merusak lapisan ozon. Jika suatu refrigerant X mempunyai 6 ODP, artinya refrigerant itu mempunyai kemampuan 6 kali R-11 dalam merusak ozon.

Tabel 2.3 Nilai ODP beberapa Refrigerant

Refrigerant Chemical Formula ODP Value

CFC-11 CCl3F 1.0

CFC-12 CCl2F2 1.0

CFC-13B1 CBrF3 0

CFC-113 CCl2FCClF2 0.8

CFC-114 CClF2CClF2 1.0

CFC-115 CClF2CF4 0.6

CFC/HFC-500 CFC-12(73.8%)/HFC-152a(26.2%) 0.74

CFC/HCFC-502 HCFC-22(48.8%)/CFC-115(51.2%) 0.33

HCFC-22 CHClF2 0.05

HCFC-123 CHCl2CF3 0.02

HCFC-124 CHCClF3 0.02

HCFC-142b CH3CClF2 0.06


(41)

HFC-134a CF3CH2F 0

HFC-152a CH3CHF2 0

Sumber, ASHRAE Inc., (2008). ASHRAE Handbook – HVAC Systems and Equipment. SI Edition. Atlanta

e. GWP adalah global warming potential, ada dua jenis angka (indeks) yang biasa digunakan untuk menyatakan potensi peningkatan suhu bumi. Pertama HGWP (halocarbon global warming potential) yaitu perbandingan potensi pemanasan global suatu refrigerant dibandingkan dengan R-11. GWP yang menggunakan CO2 sebagai acuan. Sebagai contoh perhitungan 1 lb R-22 mempunyai efek pemanasan global yang sama dengan 4100 lb gas CO2 pada 20 tahun pertama dilepas ke atmosfer. Dan turun menjadi 1500 lb CO2 setelah 100 tahun.

2.5 Pengering Pompa Kalor

Prinsip kerja dari mesin pengering pakan ternak adalah Melalui skema siklus refrigrasi kompresi uap, panas yang dikeluarkan oleh kondensor beserta udara keluaran evaporator yang mempunyai RH rendah dialirkan ke saluran pengeringan dan dimanfaatkan untuk mengeringkan pakan ternak. Udara panas dari kondensor dialirkan ke saluran pengeringan. Proses pengeringan terjadi pada saat pakan ternak dijatuhkan dari tower pengering masuk melalui pipa saluran pengeringan lalu ditampung dibawah dan dilakukan berulang sampai paken ternak cukup kering dan selanjutnya udara hasil pengeringan dibuang ke udara bebas. Demikian seteruanya siklus dari udara pengering tersebut bersikulasi.


(42)

Gambar 2.6 Skema pengeringan Sumber: (Pal U.S 2010)

2.6 Kinerja Alat Pengering

Kinerja alat pengering salah satunya dapat ditentukan dari efisiensi

pengeringan. Efisiensi pengeringan merupakan perbandingan antara energi yang

digunakan untuk menguapkan kandungan air bahan dengan energi untuk

memanaskan udara pengering. Efisiensi pengeringan biasanya dinyatakan dalam

persen. Semakin tinggi nilai efisiensi pengeringan maka alat pengering tersebut

semakin baik.

2.6.1 Efisiensi Pengeringan

Perhitungan efisiensi pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan

persamaan:

� =��

� × 100% ... (2.8)

(Dipl. Ing (FH) D. Butz, Dipl. Ing (FH) M. Schwarz, Fachhochschule Fulda, Food technology 2004 hal :142)


(43)

Dimana:

Qp adalah energi yang digunakan untuk pengeringan (kJ)

Q adalah energi untuk memanaskan udara pengering (kJ)

2.6.2 Kadar Air

Kadar air merupakan salah satu sifat fisik dari bahan yang menunjukan banyaknya air yang terkandung di dalam bahan. Kadar air biasanya dinyatakan dengan persentase berat air terhadap bahan basah atau dalam gram air untuk setiap 100 gram bahan yang disebut dengan kadar air basis basah (bb). Berat bahan kering atau padatan adalah berat bahan setelah mengalami pemanasan beberapa waktu tertentu sehingga beratnya tetap atau konstan (Safrizal, 2010).

Kadar air bahan menunjukkan banyaknya kandungan air persatuan bobot bahan. Dalam hal ini terdapat dua metode untuk menentukan kadar air bahan tersebut yaitu berdasarkan bobot kering (dry basis) dan berdasarkan bobot basah (wet basis) (Safrizal, 2010).

Kadar air basis basah dapat ditentukan dengan persamaan berikut:

Kabb= Wa

Wt x 100%= Wt-Wk

Wt x 100% ………...……..……. (2.9)

Dimana:

Kabb = Kadar air basis basah (%)

Wa = Berat air dalam bahan (g)

Wk = Berat kering mutlak bahan (g)

Wt = Berat total (g) = Wa + Wk

Kadar air basis kering adalah perbandingan antara berat air yang ada dalam bahan dengan berat padatan yang ada dalam bahan. Kadar air berat kering dapat ditentukan dengan persamaan berikut:

Kabk= Wa

Wk x 100%=

Wt-Wk

Wt-Wa x 100%...(2.10)


(44)

Kabk = Kadar air basis kering (%)

Wa = Berat air dalam bahan (g)

Wk = Berat kering mutlak bahan (g)

Wt = Berat total (g) = Wa + Wk

Kadar air basis kering adalah berat bahan setelah mengalami pengeringan dalam waktu tertentu sehingga beratnya konstan. Pada proses pengeringan, air yang terkandung dalam bahan tidak dapat seluruhnya diuapkan meskipun demikian yang diperoleh disebut juga sebagai berat bahan kering (Ramadhani, 2011).

2.6.3 Pengertian Laju Pengeringan

Laju pengeringan (drying rate; kg/jam) adalah banyaknya air yang diuapkan tiap satuan waktu atau penurunan kadar air bahan dalam satuan waktu. Penurunan kadar air produk selama proses pengeringan dihitung dengan menggunakan persamaan 2.11 (Suntivarakorn, Satmarong, Benjapiyaporn, & Theerakulpisut, 2010). [Ref. International Journal of Aerospace & Mechanical

Engineering;Oct2010, Vol. 4 Issue 4, hal. 220]

�̇� =��− � �… … … . . … … … . . … … … . . (2.11) Dimana :

We = Berat pakan sebelum pengeringan (kg) Wf = Berat pakan setelah pengeringan (kg)

t = Waktu pengeringan (jam)

Laju pengeringan biasanya meningkat di awal pengeringan kemudian

konstan dan selanjutnya semakin menurun seiring berjalannya waktu dan

berkurangnya kandungan air pada bahan yang dikeringkan. Laju pengeringan

merupakan jumlah kandungan air bahan yang diuapkan tiap satuan berat kering

bahan dan tiap satuan waktu (Earle 1983; Mujumdar 2006).

2.6.4 Nilai Laju Ekstraksi Air Spesifikc (Spesific Moisture Extraction Rate)

Nilai laju ekstraksi air spesifik atau specific moisture extraction rate


(45)

dengan energi listrik yang digunakan tiap jam atau energi yang dibutuhkan untuk

menghilangkan 1 kg air . Dinyatakan dalam kg/kWh.

Perhitungan SMER menggunakan persamaan (Mahlia, Hor and Masjuki

2010):

SMER =

(

T T

)

Wc x

Cp x m

X

out in

udara − +

... (2.12)

Dimana :

Mudara = laju aliran massa udara ( kg/s)

Cp = Panas Jenis udara (kJ/kg)

Tin = Temperatur udara masuk evaporator (0C)

Tout = Temperatur udara keluar evaporator (0C)

Wc = Daya kompressor (kW)

X = Air yang di serap

2.6.5 Konsumsi Energi Spesifik (Specific Energy Consumption)

Energi yang dikonsumsi spesifik atau specific energy consumption (SEC)

adalah perbandingan energi yang dikonsumsi dengan kandungan air yang hilang,

dinyatakan dalam kWh/kg dan dihitung dengan menggunakan persamaan (Mahlia,

Hor and Masjuki 2010):

SEC =

(

)

X

Wc T

T x Cp x

mudara inout +

...(2.13)

Dimana :

Mudara = laju aliran massa udara ( kg/s)

Cp = Panas Jenis udara (kJ/kg)


(46)

Tout = Temperatur udara keluar evaporator (0C)

Wc = Daya kompressor (kW)


(47)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di laboratorium Teknik Pendingin Departemen Teknik Mesin Universitas Sumatera Utara dan dilaksanakan selama 5 bulan.

Tabel 3.1 Jadwal pelaksanaan studi dan pembuatan mesin pengering

No Uraian Kegiatan

Tahun 2013-2015

Okt ‘13 Nov ‘13 Des‘13 Jan ‘14 Agus‘15

1 Penyusunan Proposal

2 Merancang Mesin

3 Asembling Alat

4 Pengujian alat dan pengumpulan

data

5 Analisis data dan Penulisan laporan penelitian

6 Seminar hasil

7 Perbaikan

8 Sidang Sarjana

3.2 Bahan dan Alat 3.2.1 Bahan.

Bahan yang di gunakan untuk merancang mesin pengering pakan ternak sistem pompa kalor adalah:

a) Plat besi k) Mata bor

b) Plat seng l) Kabel tie

c) Besi kosong 40 x40 mm m) Lem goat, dextone


(48)

e) Pipa tembaga 3/8 dan ¼ o) Busa glass woll

f) Pipa kapiler o,42 p) Silicon

g) Besi siku q) Papan panel

h) Kaca r) Aluminium foil

3.2 Bahan dan Alat 3.2.1 Bahan

1. Pakan Ternak

Bahan yang menjadi objek pengeringan pada penelitian ini adalah pakan ternak Sapi . Pakan ternak yang akan dikeringkan merupakan pakan yang dibuat dari daun kelapa sawit yang sudah dicacah sampai halus.

Gambar 3.1 Pakan ternak yang sudah dicacah

2. Pompa Kalor (Heat Pump)

Pompa kalor dirancang untuk mengeringkan pakan ternak. Gambar 3.2 menunjukkan rancangan sistem pompa kalor. Pompa Kalor terdiri dari Kompresor, Kondensor, Evaporator, katup ekspansi dan Saluran Pengering.


(49)

Gambar 3.2 Hasil Pembuatan Mesin Pengering Sistem Pompa Kalor

3.2.2 Alat

Peralatan yang digunakan untuk mengukur variabel-variabel penelitian, antara lain:

1. Rh (Relative Humidity) Meter

Merupakan alat ukur suhu dan kelembaban udara. Jenis Rh meter yang digunakan adalah EL-USB-2-LCD (High Accuracy Humidity,

Temperature and Dew Point Data Logger with LCD).

Gambar 3.3 Rh Meter Spesifikasi:

Relative Humidity:

- Measurement range (%) : 0 – 100 - Repeatability (short term) (%RH) : ±0.1 - Accuracy (overall error) (%RH) : ±2.0* ±4 - Internal resolution (%RH) : 0.5 - Long term stability (%RH/yr) : 0.5

Temperature

- Measurement range (°C /°F) : -35/-31 - +80/+176 - Repeatability (°C/°F) : ±0.1/±0.2

- Accuracy (overall error) (°C /°F) : ±0.3/±0.6 - ±1.5/±3 - Internal resolution (°C /°F) : 0.5/1

Dew Point

- Accuracy (overall error) (°C /°F) : ±1.1 /±2**

Logging rate : every 10s every 12hr


(50)

2. Hot Wire Anemometer

Digunakan untuk mengukur kecepatan udara yang keluar dari mesin

pengering system pompa kalor. Jenis Annemometer yang digunakan

adalah Hot Wire Annemometer.

Gambar 3.4 Hot Wire Anemometer

Tabel 3.2 Specificatians dari Hot Wire Anemometer

Air Velocity Range Resolution Accuracy

m/s 0.1 to 25.0 m/s 0.1 m/s ±5% ± 0.1 m/s

km/h 0.3 to 90.0 km/h 0.1 km/h ±5% ± 0.1

km/h

ft/min 20 to 4925 fit/min 1 ft/min ±5% ± 0.1

fit/min

MPH 0.2 to 55.8 MPH 0.1 MPH ±5% ± 0.1

MPH

Knots 0.2 to 48.5 knots 0.1 knots ±5% ± 0.1

knots Air

termperatur

0 0C to 50 0C

32 0F to 122 0F 0.1

0

C / 0.1 0F 0.1 0C / 1.8 0F

3. Pressure Gauge

Digunakan untuk mengukur tekanan refrigran yang masuk kompresor, keluar kompresor dan juga masuk ke evaporator.

Gambar 3.5 Pressure gauge Spesifikasi dari alat pengukur tekanan refrigerasi: Sambungan: 1/8 "NPT

Kisaran tekanan: -30 ", psi Hg-0-500 atau -30" Hg-0-250 psi Keakuratan Gauge kulkas : ASME kelas b.


(51)

3.3 Parameter Penelitian

Adapun data yang direncakan akan dikumpulkan dan selanjutnya dilakukan analisis dalam penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut :

1. Massa Pakan Ternak (M)

Massa dari pakan di ukur pada saat keadaan basah (Mb) dan pada saat

keadaan kering (Mk).

2. Waktu pengeringan (t)

Waktu pengeringan yang dibutuhkan untuk mengeringkan pakan yaitu pada saat basah sampai pada saat keadaan kering (berat basah sampai berat kering). Pada saat berapa kali jatuhan.

3. Temperatur (T)

Temperatur yang di ukur adalah temperatur udara pada saat masuk ke evaporator (T1), masuk kondensor (T2), keluar kondensor (T3) dan pada saat

di saluran pengeringan (T4).

4. Kelembaban udara (Rh)

Kelembaban udara yang diukur pada titik saat masuk ke evaporator (Rh1),

masuk kondensor (Rh2), keluar kondensor (Rh3) dan keluar saluran

pengeringan (Rh4).

5. Tekanan (P)

Refrigeran yang masuk ke dalam kompresor (P1), ke luar kompresor (P2) dan

masuk ke dalam evaporator (P3) di ukur tekanannya.

6. Kecepatan aliran udara (v)

Udara yang keluar dari mesin pengering diukur kecepatannya. 7. Kuat arus ( I )


(52)

3.4 Metode Pelaksanaan Penelitian

Dalam pelaksanaan penelitian ini dilakukan kegiatan yang meliputi beberapa tahapan yang digambarkan dalam bentuk diagram berikut:

`Gambar 3.6 Diagram alir proses pelaksanaan penelitian

BAB IV

Studi Literatur

Usulan Penelitian

Tahap Persiapan:

1.Persiapan Mesin Pengering

(pompa kalor)

2.Pengujian Mesin Pengering

Pengumpulan data:

- Massa Pakan tenak (kg)

- Temperatur (oC)

- Kelembaban udara (%)

- Kecepatan aliran udara (m/s)

- Waktu (menit)

- Tekanan (N/m2)

Kesimpulan/Laporan

Selesai

Tidak

Ya

Pengolahan dan Analisis Data

Ya

Tidak Mulai


(53)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Data hasil pengujian

Dari hasil pengujian mesin pengering pakan ternak dengan beban 1 kg pakan ternak maka didapat data sebagai berikut:

Tabel 4.1. Data hasil pengujian pengeringan 1 kg pakan ternak N

o Waktu

Tin

(0C) Tout

(0C) V (Volt)

I (A)

X

(ml) v (m/s

2

) ρ

(kg/m3)

Cp (kJ/kgC

)

1 13.16 33,5 28 200 6 0 0,817 1,1738 1,0059

2 13.21 33.5 30 200 6 20 1,135 1,1671 1,0059

3 13.26 33,5 29 200 6 30 1,187 1,1702 1,0059

4 13.31 34 29,5 200 6 35 1,245 1,1684 1,0059

5 13.36 33.5 28,5 200 6 40 1,136 1,1720 1,0059

6 13.41 34.5 29 200 6 45 1,103 1,1702 1,0059

7 13.46 33.5 30 200 6 50 1,05 1,1671 1,0059

8 13.51 33.5 28,5 200 6 55 0.908 1,1720 1,0059

 Dari tabel pengujian diperoleh suhu udara masuk evaporator (Tin), maka

massa jenis udara (ρ) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : Tout = 28 + 273

= 301 K (lihat tabel sifat udara pada tekanan atmosfer)

300−301

300−350

=

1,1774−�

1,1774−0,9980

0,02

=

1,1774−�

0,1794

0,00358 = 1,1774 – x

x = 1,1774 – 0,00358

x = 1, 1738

maka massa jenis udara (

ρ

)

udara pada temperature 280C adalah 1,1738 Selanjutnya perhitungan dalam bentuk tabel (lihat tabel 4.1)

 Dari tabel pengujian diperoleh suhu udara masuk evaporator (Tin), maka

panas jenis udara (Cp) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Cp = ���+����

2

=

33,5+28

2

=

30,37 + 273

= 303,5 K (lihat tabel sifat udara pada tekanan atmosfer)

300−301

300−350

=

1,0057−�

1,0057−1,0090

0,0075

=

1,0057−�

0,003


(54)

x = 1,0057 + 0,00025

x = 1, 0059

maka panas jenis (

Cp)

udara pada temperature 30,750C adalah 1,0059

4.2 Laju Pengeringan

Laju pengeringan (drying rate) adalah banyaknya air yang diuapkan tiap satuan waktu atau penurunan kadar air bahan dalam satuan waktu.

Laju pengeringan dapat di hitung dengan rumus :

�̇� =��−�

= 1�� −0,875��

0,5 ��� = 0,25

�� ��� �

4.3 Nilai Laju Ekstraksi Air Spesifikc (Spesific Moisture Extraction Rate)

Nilai laju ekstraksi air spesifik atau specific moisture extraction rate

(SMER) merupakan perbandingan jumlah air yang dapat diuapkan dari bahan

dengan energi listrik yang digunakan tiap jam atau energi yang dibutuhkan untuk

menghilangkan 1 kg air . Dinyatakan dalam kg/kWh.

Untuk menghitung nilai laju ekstraksi air spesifik (SMER) 5 menit

pertama pengeringan diperoleh dengan rumus :

 Untuk 5 menit pertama :

SMER =

(

T T

)

Wc x

Cp x m

X

out in

udara − +

mudara = v.A.ρ

= 1,135 m/s x 0,01 m2 x 1,1671 kg/m3 = 0,0132 kg/s

Wc = V x I

= 200 Volt x 6 A = 1200 watt = 1,2 kW Maka,


(55)

SMER =

(

T T

)

Wc x Cp x m X out in

udara − +

. = 2 , 1 ) 30 5 , 33 ( 0059 , 1 0132 , 0 02 , 0 + − ×

= 0,016 kg/kWh

 Untuk 5 menit kedua :

SMER =

(

T T

)

Wc x Cp x m X out in

udara − +

mudara = v.A.ρ

= 1,187 m/s x 0,01 m2 x 1,1702 kg/m3 = 0,0202 kg/s

Wc = V x I

= 200 Volt x 6 A = 1200 Watt = 1,2 kW Maka,

SMER =

(

T T

)

Wc x Cp x m X out in

udara − +

. = 2 , 1 ) 29 5 , 33 ( 0059 , 1 0202 , 0 03 , 0 + − ×

= 0,0232 kg/kWh

 Untuk 5 menit ketiga : SMER =

(

T T

)

Wc x Cp x m X out in

udara − +

mudara = v.A.ρ

= 1,1245 m/s x 0,01 m2 x 1,1684 kg/m3 = 0,0145 kg/s

Wc = V x I

= 200 Volt x 6 A = 1200 Watt = 1,2 kW Maka,


(56)

SMER =

(

T T

)

Wc x Cp x m X out in

udara − +

. = 2 , 1 ) 5 . 29 34 ( 0059 , 1 0145 , 0 035 , 0 + − ×

= 0,0273 kg/kWh

 Untuk 5 menit ke empat : SMER =

(

T T

)

Wc x Cp x m X out in

udara − +

mudara = v.A.ρ

= 1,1362 m/s x 0,01 m2 x 1,1720 kg/m3 = 0,0133 kg/s

Wc = V x I

= 200 Volt x 6 A = 1200 Watt = 1,2 kW Maka,

SMER =

(

T T

)

Wc x Cp x m X out in

udara − +

. = 2 , 1 ) 5 , 28 5 , 33 ( 0059 , 1 0133 , 0 04 , 0 + − ×

= 0,0315 kg/kWh

 Untuk 5 menit ke lima : SMER =

(

T T

)

Wc x Cp x m X out in

udara − +

mudara = v.A.ρ

= 1,03 m/s x 0,01 m2 x 1,1702 kg/m3 = 0,0120 kg/s

Wc = V x I

= 200 Volt x 6 A = 1200 Watt = 1,2 kW Maka,


(57)

SMER =

(

T T

)

Wc x Cp x m X out in

udara − +

. = 2 , 1 ) 90 5 , 34 ( 0059 , 1 0120 , 0 45 , 0 + − ×

= 0,0355 kg/kWh

 Untuk 5 menit ke enam :

SMER =

(

T T

)

Wc x Cp x m X out in

udara − +

mudara = v.A.ρ

= 1,05 m/s x 0,01 m2 x 1,1671 kg/m3 = 0,0122 kg/s

Wc = V x I

= 200 Volt x 6 A = 1200 Watt = 1,2 kW Maka,

SMER =

(

T T

)

Wc x Cp x m X out in

udara − +

. = 2 , 1 ) 30 5 , 33 ( 0059 , 1 0122 , 0 05 , 0 + − ×

= 0,0402 kg/kWh

 Untuk 5 menit ke tujuh : SMER =

(

T T

)

Wc x Cp x m X out in

udara − +

mudara = v.A.ρ

= 0,908 m/s x 0,01 m2 x 1,1720 kg/m3 = 0,0106 kg/s

Wc = V x I

= 200 Volt x 6 A = 1200 Watt = 1,2 kW Maka,


(58)

SMER =

(

T T

)

Wc x Cp x m X out in

udara − +

. = 2 , 1 ) 5 , 28 5 , 33 ( 0059 , 1 0106 , 0 055 , 0 + − × = 0,043 kg/kWh

4.3.1 Ketakpastian Pengukuran

Suatu metode yang seksama untuk menaksir ketakpastian dalam hasil-hasil eksperimen telah dikemukakan oleh Kline dan McClintock. Metode ini didasarkan atas spesifikasi yang teliti ketakpastian dalam berbagai pengukuran primer eksperimen (J.P.Holman, 48)

 SMER =

(

T T

)

Wc x Cp x m X out in

udara − +

= 2 , 1 ) 30 5 , 33 ( 0059 , 1 0132 , 0 02 , 0 + − ×

= 0,016 kg/kWh

Ketakpastian pengukuran dapat dihitung dengan persamaan:

�������

=

1

���������� (���−����)+��

�����

��

=

1

0,0132x1,0059x ( 33,5 – 30) +1,2

�����

��

=

1 1,246

�����

��

=

0,802

�����������

=

(ṁ�����)2���� (���−����)+��

�����

������

=

(ṁ�����)2

��� (���−����)+��

�����

������

=

0.02 (0.0132)2

1,0059� (33,5−30)+1,2

�����

������

=

24,92

��������

=

(��)2


(1)

Pada grafik diatas dapat kita lihat hubungan sebagai berikut :

Ada tiga hal yang mempengaruhi lamanya sebuah pengeringan pakan ternak yang

telah dilakukan yakni Temperatur (

0

C ) , Dew point (

0

C) dan Humadity ( %rh ).

Dimana nilai masing-masing yang dihasilkan dari awal pelaksanaan proses

pengeringan adalah

Temperatur 34

0

C – 80

0

C

Dew Point 24

0

C – 62

0

C

Humadity 28

% rh – 65 % rh

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

0 5 10 15 20 25 30 35 40

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:1

6

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:1

8

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:1

9

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:2

1

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:2

2

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:2

4

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:2

5

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:2

7

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:2

8

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:3

0

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:3

1

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:3

3

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:3

4

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:3

6

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:3

7

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:3

9

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:4

0

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:4

2

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:4

3

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:4

5

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:4

6

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:4

8

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:4

9

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:5

1

IN EVAPORATOR 3

Celsius(°C) High Alarm Low Alarm dew point(°C) Humidity(%rh) High Alarm rh Low Alarm rh


(2)

Pada grafik diatas dapat kita lihat hubungan sebagai berikut :

Ada tiga hal yang mempengaruhi lamanya sebuah pengeringan pakan ternak yang

telah dilakukan yakni Temperatur (

0

C ) , Dew point (

0

C) dan Humadity ( %rh ).

Dimana nilai masing-masing yang dihasilkan dari awal pelaksanaan proses

pengeringan adalah

Temperatur 29

0

C – 41

0

C

Dew Point 25

0

C – 39

0

C

Humadity 34

% rh – 46 % rh

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

0 10 20 30 40 50 60

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:1

7

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:1

9

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:2

0

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:2

2

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:2

3

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:2

5

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:2

6

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:2

8

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:2

9

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:3

1

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:3

2

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:3

4

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:3

5

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:3

7

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:3

8

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:4

0

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:4

1

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:4

3

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:4

4

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:4

6

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:4

7

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:4

9

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:5

0

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:5

2

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:5

3

OUT EVAPORATOR 3

Celsius(°C) High Alarm Low Alarm dew point(°C) Humidity(%rh) High Alarm rh Low Alarm rh


(3)

Pada grafik diatas dapat kita lihat hubungan sebagai berikut :

Ada tiga hal yang mempengaruhi lamanya sebuah pengeringan pakan ternak yang

telah dilakukan yakni Temperatur (

0

C ) , Dew point (

0

C) dan Humadity ( %rh ).

Dimana nilai masing-masing yang dihasilkan dari awal pelaksanaan proses

pengeringan adalah

Temperatur 45

0

C – 60

0

C

Dew Point 28

0

C – 34

0

C

Humadity 45

% rh – 60 % rh

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

0 10 20 30 40 50 60 70

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:1

7

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:1

8

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:2

0

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:2

1

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:2

3

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:2

4

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:2

6

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:2

7

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:2

9

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:3

0

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:3

2

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:3

3

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:3

5

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:3

6

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:3

8

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:3

9

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:4

1

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:4

2

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:4

4

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:4

5

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:4

7

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:4

8

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:5

0

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:5

1

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:5

3

OUT KONDENSOR 3

Celsius(°C) High Alarm Low Alarm dew point(°C) Humidity(%rh) High Alarm rh Low Alarm rh


(4)

Pada grafik diatas dapat kita lihat hubungan sebagai berikut :

Ada tiga hal yang mempengaruhi lamanya sebuah pengeringan pakan ternak yang

telah dilakukan yakni Temperatur (

0

C ) , Dew point (

0

C) dan Humadity ( %rh ).

Dimana nilai masing-masing yang dihasilkan dari awal pelaksanaan proses

pengeringan adalah

Temperatur 43

0

C – 42

0

C

Dew Point 23

0

C – 31

0

C

Humadity 26

% rh – 60 % rh

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

0 10 20 30 40 50 60 70

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:5

6

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:5

8

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:0

0

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:0

2

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:0

4

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:0

6

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:0

8

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:1

0

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:1

2

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:1

4

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:1

6

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:1

8

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:2

0

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:2

2

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:2

4

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:2

6

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:2

8

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:3

0

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:3

2

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:3

4

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:3

6

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:3

8

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:4

0

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:4

2

PIPA 1

Celsius(°C) High Alarm Low Alarm dew point(°C) Humidity(%rh) High Alarm rh Low Alarm rh


(5)

Pada grafik diatas dapat kita lihat hubungan sebagai berikut :

Ada tiga hal yang mempengaruhi lamanya sebuah pengeringan pakan ternak yang

telah dilakukan yakni Temperatur (

0

C ) , Dew point (

0

C) dan Humadity ( %rh ).

Dimana nilai masing-masing yang dihasilkan dari awal pelaksanaan proses

pengeringan adalah

Temperatur 32

0

C – 78

0

C

Dew Point 24

0

C – 63

0

C

Humadity 25

% rh – 75 % rh

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

0 5 10 15 20 25 30 35

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:5

7

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:5

9

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:0

1

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:0

3

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:0

6

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:0

8

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:1

0

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:1

2

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:1

4

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:1

6

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:1

9

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:2

1

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:2

3

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:2

5

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:2

7

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:2

9

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:3

2

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:3

4

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:3

6

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:3

8

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:4

0

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:4

2

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:4

5

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:4

7

PIPA 2

Celsius(°C) High Alarm Low Alarm dew point(°C) Humidity(%rh) High Alarm rh Low Alarm rh


(6)

Pada grafik diatas dapat kita lihat hubungan sebagai berikut :

Ada tiga hal yang mempengaruhi lamanya sebuah pengeringan pakan ternak yang

telah dilakukan yakni Temperatur (

0

C ) , Dew point (

0

C) dan Humadity ( %rh ).

Dimana nilai masing-masing yang dihasilkan dari awal pelaksanaan proses

pengeringan adalah

Temperatur 35

0

C – 45

0

C

Dew Point 25

0

C – 40

0

C

Humadity 38

% rh – 78 % rh

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

0 10 20 30 40 50 60

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

3

:5

9

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:0

1

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:0

3

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:0

5

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:0

7

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:0

9

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:1

1

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:1

3

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:1

5

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:1

7

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:1

9

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:2

1

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:2

3

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:2

5

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:2

7

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:2

9

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:3

1

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:3

3

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:3

5

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:3

7

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:3

9

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:4

1

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:4

3

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:4

5

2

3

/0

1

/2

0

1

4

1

4

:4

7

PIPA 3

Celsius(°C) High Alarm Low Alarm dew point(°C) Humidity(%rh) High Alarm rh Low Alarm rh