Materi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan PPKn

244 dipadukan sedemikian rupa sehingga membentuk deskripsi atau narasi yang interpretasinya bersifat tunggal, sehingga masyarakat dan kebudayaan Indonesia di masa lalu dipahami siswa juga dalam dimensi kebenarannya yang tunggal. Penjabaran materi sejarah yang bersumber pada satu buku teks seperti di atas, dengan demikian, tidak memberikan kesempatan kepada siswa turut memberikan tafsir atas kejadian masa lalu, sehingga bersifat top down. Ini lepas dari hakikat belajar sejarah di mana interpretasi dan penemuan hubungan sebab akibat atas kejadian di masa lalu sesungguhnya adalah bersifat multiperspektif Stopsky dan Lee, 1994. Karena sifat interpretasinya yang tunggal, dimensi warisan budaya yang hendak diturunkan kepada siswa juga cenderung mengacu kepada warisan budaya nasional yang patriarkhi Stopsky and Lee, 1994. Para sejarawan dan guru sejarah yang biasa terlatih dengan pandangan nasionalisme ini jadi mengabaikan peran-peran masyarakat lokal atau kelompok-kelompok minoritas dalam membentuk sejarah bangsa. Materi seperti di atas jelas mengandung bias dari segi misi pencapaian tujuan Pendidikan IPS sebagai wahana pendidikan demokrasi Winataputra, 2001. Penggunaan interpretasi sejarah yang bersifat tunggal, di samping dapat menjajah struktur kognitif siswa dalam belajar yang beresiko pada model belajar hafalan, juga dapat menempatkan siswa pada kedudukan subordinasi. Hal ini dapat membatasi kesempatan-kesempatan siswa memberikan interpretasi makna pada peristiwa-peristiwa masa lalu sesuai dengan dunia pengalamannya. Belajar sejarah seperti ini menjadi kurang bermakna.

2. Materi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan PPKn

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan PPKn di kelas dilihat dari materi- materi pelajarannya cenderung menjadi pelajaran pengetahuan nilai-nilai Pancasila dan Kewargaenagaraan. Dikatakan demikian karena PPKn memang dipersepsi guru-guru sebagai pendidikan nilai-nilai Pancasila, tetapi dalam implementasinya di kelas menjadi pelajaran pengetahuan tentang nilai-nilai Pancasila. Sebagai pendidikan nilai, materi PPKn difokuskan pada nilai-nilai ideal, instrumental, dan praksis bagaimana nilai-nilai Pancasila itu dapat dipahami, dihayati, dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Walau Indonesia sudah memasuki era reformasi, materi PPKn seperti ini tampaknya belum bisa dilepaskan dari harapan pemerintah orde baru untuk terus mensosialisasikan nilai-nilai P4 kepada anak didik sebagai generasi muda, karena diyakini guru-guru PPKn di SMU Negeri 1 Ubud bahwa nilai-nilai Pancasila, seperti dalam P4, sesungguhnya adalah inti sari dari materi PPKn. Kalau itu dihilangkan, maka PPKn akan kehilangan fungsinya sebagai 245 pendidikan nilai-nilai Pancasila. Sementara itu buku pedoman materi utama PPKn yang digunakan guru-guru PPKn adalah buku-buku dari penerbit seperti Ganeca dan Erlangga. Dengan persepsi guru-guru seperti itu materi pelajaran PPKn tidak bisa dihindarkan dari pengulangan yang membosankan di mana siswa harus mempelajari topik- topik tentang nilai-nilai Pancasila di seputar topik-topik inti seperti keyakinan, toleransi beragama, ketaatan, kepatuhan, kerukunan, keadilan, kerja sama, dan sejenisnya. Pemaparan materi di atas menunjukkan bahwa PPKn lebih dimaknai guru-guru sebagai pendidikan nilai yang berbasis pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Secara tersirat ada kesan juga bahwa PPKn adalah wahana pendidikan politik, pendidikan kesadaran hukum, pendidikan demokrasi, dan sebagai pendidikan sosial lihat Somantri, 2001. Hanya saja, dengan lebih menekankan pada nilai-nilai yang bersubstansi P4, PPKn lebih menonjolkan sifat pendidikan nilai dan pendidikan moral berbangsanya. Sebagai wahana pendidikan nilai-nilai dan moral, materi PPKn di atas terstruktur dalam sistem pengetahuan nilai-nilai yang terrefleksi dalam tindakan-tindakan normatif bernuansa nilai-nilai ideal, nilai instrumental, dan nilai praksis walaupun ketiga struktur nilai-nilai di atas tidak dipisahkan secara jelas. Di sinilah nilai-nilai Pancasila sebagai nilai-nilai dasar ideal dan jabaran nilai-nilai P4 sebagai nilai-nilai instrumentalnya menjadi basis pendidikan nilai dalam PPKn. Sayangnya, sebagai pendidikan nilai, materi PPKn seperti di atas tidak dimaksudkan untuk memberikan siswa kemampuan melakukan analisis nilai dan membuat keputusan nilai secara rasional dan otonom Suparno, dkk., 2002. Di sini nilai-nilai dasar ideal dan nilai-nilai instrumental serta nilai-nilai praksisnya sudah dipandang sebagai produk yang baku yang siap diaplikasikan di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian interpretasi nilai-nilai dalam kehidupan sosial juga bersifat tunggal. Bahkan interpretasi tunggal ini tidak semata-mata berasal dari guru atau pengarang buku, melainkan secara filosofis dan ideologis menjadi kekuasaan negara untuk menginterpretasikannya. Dalam kenyataan pembelajaran, guru dan pengarang mewakili kehendak negara dalam menentukan bagaimana cara nilai-nilai itu dipahami, dihayati, dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia. Dari tinjauan sosiologis, pendidikan nilai yang berpusat pada nilai-nilai fundamental bangsa dan negara yang berfungsi melestarikan struktur nilai-nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara itu sendiri sebagai nilai dominan menunjukkan bahwa pendekatan berpikir struktural fungsionalisme telah melandasi pengembangan materi pendidikan nilai dalam PPKn tersebut. Sedangkan dari tinjauan filosofi pendidikan, 246 landasan filosofi pendidikan perenialisme dan esensialisme telah menjadi basis pengembangan materi PPKn. Pendidikan nilai seperti ini jelas memasung perkembangan pendidikan demokrasi yang memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada siswa untuk bersama-sama masyarakat melakukan perubahan sosial secara kritis dan reflektif dari tekanan-tekanan kelompok status quo.

3. Materi Tata Negara