283 pengembangan program pendidikan yang menghubungkan sekolah dengan masyarakat.
Ada indikasi bahwa umumnya komponen-komponen civitas sekolah melihat sekolah sebagai sarana yang memungkinkan siswa belajar mengambil tempat mereka di dalam
masyarakat dan berkontribusi dalam saling ketergantungan yang diperlukan untuk mempertahankan tatanan sosial dan menyempurnakan kebutuhan anggota-anggotanya.
Sekolah, dengan demikian, dapat dianggap sebagai pentransmisi nilai-nilai tradisional dan sebagai sarana stabilitas sosial serta pemeliharaan tatanan sosial yang ada Hallinan, dalam
Ballantine, 1985: 33-34; Collins, dalam Ballantine, 1985:60-87. Sekolah sebagai salah satu institusi sosial di masyarakat juga tidak dapat
dilepaskan perannya dari upaya menyangga berfungsinya sistem dalam masyarakat secara keseluruhan. Salah satu peran sekolah dalam melestarikan sistem masyarakat ini, karena
itu, adalah mensosialisasikan kepada generasi muda tentang pengetahuan intelektual, nilai- nilai etis, norma-norma budaya, dan keterampilan hidup yang dibutuhkan masyarakat
untuk keberlangsungannya Durkheim, 1985a:21. Meminjam konsep Parsons 1985: 180, sosialisasi adalah proses pembentukan komitmen dan kemampuan esensial dalam
diri individu-individu anggota masyarakat sebagai prasyarat utama untuk dapat berperan dalam kehidupan masyarakat ke depan. Komitmen-komitmen itu terdiri atas kemampuan
mengimplementasikan nilai-nilai kemasyarakatan yang umum dan luas; suatu unjuk perbuatan dari tipe peran tertentu di dalam struktur masyarakat. Inilah yang disebut
dengan fungsi edukasi Widja, 1993:53. Untuk fungsi seperti itu sekolah mereproduksi dan melanggengkan struktur dan norma-norma sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang
sudah mapan di dalam masyarakat.
3. Pemanfaatan Daya Dukung Dunia Industri Pariwisata di Ubud
Hubungan SMU Negeri 1 Ubud dengan masyarakat tidak terbatas pada krama desa adat Ubud saja. Seiring dengan pesatnya perkembangan pariwisata di Ubud khususnya,
dan di Gianyar pada umumnya, sekolah telah pula menjalin hubungan yang harmonis dengan dunia industri pariwisata di Ubud. Memang, tidak seperti sekolah-sekolah
menengah yang berkonsentrasi pada pengembangan bidang kejuruan pariwisata, SMU Negeri 1 Ubud memang tidak secara formal menjalin kerja sama dengan dunia industri
pariwisata di Ubud melalui kegiatan magang siswa, misalnya. Kerja sama yang dijalin umumnya bersifat informal dengan memberikan himbauan dan permohonan kepada pihak-
pihak pengelola industri pariwisata untuk bersedia menerima para siswa yang ingin
284 melakukan pelatihan kerja, praktik kerja, magang belajar mandiri, untuk bekerja sebagai
tenaga separuh waktu, bahkan bekerja purna waktu setelah mereka tamat. Kesempatan ini umumnya diberikan oleh dunia industri dan dimanfaatkan sebaik-
baiknya oleh kelompok-kelompok siswa melalui pendekatan yang dilakukan oleh komite sekolah dan keluarga puri Ubud.
Tidak mengherankan jika ketika masa booming pariwisata di Ubud tahun 1990an, banyak siswa SMU ini yang mangkir dari sekolah dan
tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, dan lebih memilih belajar dan bekerja langsung di dunia industri pariwisata di Ubud.
Kondisi ini menunjukkan bahwa siswa tidak menganggap sekolah sebagai satu- satunya pusat belajar. Masyarakat juga dapat dijadikan pusat belajar terutama yang
menyangkut belajar untuk pengembangan keterampilan-keterampilan bekal hidup di dunia kerja keterampilan vokasional. Di samping itu, belajar yang bermakna menurut siswa
tidaklah semata-mata belajar ilmu pengetahuan formal yang telah diverifikasi. Belajar yang bermakna dapat pula terjadi melalui belajar partisipatif dengan prinsip learning by
doing di dunia kerja untuk menghasilkan kecakapan-kecakapan hidup yang relevan
diperlukan dalam rangka kembali ke masyarakat Nurhadi, 1988. Konsekuensi menghadapi perkembangan pariwisata di Ubud, sekolah juga, secara
kurikuler, memberikan kesempatan yang luas kepada siswa untuk memilih program jurusan yang sesuai dengan kebutuhan pasar pada perkembangan pariwisata masyarakat
Ubud. Inilah kemudian yang mengkondisikan, tidak seperti SMU-SMU lain di Gianyar khususnya, dan di Bali umumnya, di sekolah ini lebih banyak siswa yang memilih jurusan
Bahasa dan Budaya dibandingkan dengan jurusan IPA dan IPS. Di samping kebijakan secara kurikuler seperti di atas, sekolah juga memberikan
kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang berkaitan dan dapat menunjang kebutuhan pelestarian nilai-nilai agama, budaya, bahasa,
dan kesenian Bali yang dikagumi wisatawan, di satu sisi, dan dapat dijadikan bekal keterampilan hidup oleh siswa untuk beradaptasi dengan tuntutan perkembangan
pariwisata di Ubud, di sisi lain. Dari gambaran kebijakan dan respon siswa dalam hubungan sekolah dengan dunia
industri pariwisata di atas tampak tergambar bahwa dalam rangka memenuhi tuntutan- tuntutan kebutuhan masyarakat yang lebih luas terhadap pelaksanaan program pendidikan
di sekolah, sekolah tidak bisa hanya mengandalkan pengembangan program-program pendidikan yang secara esensial hanya melanggengkan kepentingan struktur masyarakat
yang memiliki kekuasaan dominan. Dalam kaca mata teori kritis dan interpretivis,
285 program pendidikan juga perlu memperhatikan kepentingan-kepentingan golongan
masyarakat yang secara sosial ekonomi membutuhkan peluang dan kesempatan kerja yang lebih segera. Dalam pengembangan program pendidikan, hal ini tidak bisa dicapai melalui
kegiatan-kegiatan kurikuler yang biasa. Perencanaan pengembangan jurusan yang lebih mencerminkan kebutuhan siswa dan masyarakat, pengembangan kegiatan ekstrakurikuler,
dan kerja sama yang intensif antara sekolah dengan dunia industri pariwisata dapat menjadi program-program pendidikan alternatif untuk menyelaraskan pengembangan
program pendidikan di sekolah dengan kebutuhan masyarakat luas. Dan ini menjadi bagian pula dari keseluruhan yang integral dalam pengembangan program Pendidikan IPS
di sekolah.
4. Pemanfaatan Daya Dukung Media Massa