Kajian Potensi Lanskap Jalur Kereta Rel Listrik (KRL) Bogor- Jakarta Kota sebagai Koridor Pergerakan Burung

KAJIAN POTENSI LANSKAP JALUR KERETA REL
LISTRIK (KRL) BOGOR-JAKARTA KOTA SEBAGAI
KORIDOR PERGERAKAN BURUNG

RAMANDINI PUSPITA SARI

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Potensi Lanskap
Jalur Kereta Rel Listrik (KRL) Bogor-Jakarta Kota sebagai Koridor Pergerakan
Burung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2013

Ramandini Puspita Sari
NIM A44090082

ABSTRAK
RAMANDINI PUSPITA SARI. Kajian Potensi Lanskap Jalur Kereta Rel Listrik
(KRL) Bogor-Jakarta Kota sebagai Koridor Pergerakan Burung. Dibimbing oleh
SYARTINILIA.
Koridor merupakan kumpulan vegetasi yang berbentuk linear yang berbeda
dengan matrix vegetasi sekelilingnya. Terdapat dua tipe koridor, yaitu linear
corridor dan stepping stone. Salah satu contoh dari koridor pada lanskap adalah
lanskap di sepanjang jalur KRL Bogor-Jakarta Kota. Koridor sangat penting untuk
pergerakan burung. Dewasa ini koridor tersebut mengalami fragmentasi habitat
yang megancam fungsinya. Sehingga lanskap tersebut perlu dikelola untuk
keberlanjutan dari koridor satwa yang terdapat di dalamnya. Penelitian ini
dilaksanakan di koridor sepanjang KRL Bogor-Jakarta Kota yang dibagi menjadi
lima segmen. Tiga analisis yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu analisis

distribusi koridor, analisis vegetasi dan analisis kelimpahan burung. Koridor
berbentuk stepping stone memiliki jumlah kelimpahan burung lebih tinggi
daripada koridor berbentuk linear. Kedua koridor memiliki potensi untuk menjadi
habitat burung yang ditunjukkan oleh kelimpahan jenis burungnya. Kelimpahan
jenis burung tertinggi ditemukan di koridor dengan keanekaragaman vegetasi
(Index Shannon Wienner) tingkat sedang. Beberapa rekomendasi dilakukan untuk
mengelola koridor tersebut, seperti mengelola dan revitalisasi koridor,
meningkatkan keanekaragaman vegetasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat
untuk konservasi habitat burung.
Kata kunci : Burung, GIS, Fragmentasi Habitat, Linear corridor, Stepping Stone.
ABSTRACT
RAMANDINI PUSPITA SARI. Study of KRL Railway Bogor-Jakarta Kota for
Bird Movement Corridors. Supervised by SYARTINILIA.
Corridors are narrow strips of land which differ from the matrix on either side.
There are two types of corridors, namely linear corridor and stepping stone. One
example of corridor is a landscape along the path of KRL Railway Bogor-Jakarta
Kota. Corridor is important for bird movement. Nowadays there is habitat
fragmentation along the corridor which is threatened their corridor function.
Therefore it should be maintained for sustainable corridor. This study was
conducted at corridor along the KRL Railway Bogor-Jakarta Kota which is

divided into five segment. Three analyses were used in this study, i.e. corridor
distribution analysis, vegetation analysis and bird abundance analysis. Stepping
stone corridor has higher number of bird abundance than the linear corridor. Both
of corridors have the potential to become a habitat of birds which is indicated by
abundance species of birds. The highest abundance of a bird was found in corridor
with diversity of plants (Shannon Wienner Index) in the medium level. Several
recommendation have provided for managing the corridor such as managing and
revitalizing the corridor, increasing vegetation diversity and increasing public
awareness for bird habitat conservation.
Keywords : Birds, GIS, Habitat Fragmentation, Linear Corridor, Stepping Stone.

KAJIAN POTENSI LANSKAP JALUR KERETA REL
LISTRIK (KRL) BOGOR-JAKARTA KOTA SEBAGAI
KORIDOR PERGERAKAN BURUNG

RAMANDINI PUSPITA SARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian

pada
Departemen Arsitektur Lanskap

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

セ@ Ja liT Kereta ReI Listrik (KRL) BogorJudul Skripsi : Kajian Potensi l。ョウォ
Jakarta Kota sebagai セ L@ ridOT Pergerakan Burung
: Ramandini Puspita Sari
Nama
: A44090082
NIM

Disetujui oleh

Dr. Syartinilia, SP., M.Si.  
Pembimbing  


.,..
|セMZ

,

Tanggal Lulus:

''=

NエセQkョャ@

|^M

e,

Drt\li;
u 1St antara M.A r.
---=:Kmtra Departemen Arsi tektur Lanskap
1.


\

/'?

2 DEC 2013

Judul Skripsi : Kajian Potensi Lanskap Jalur Kereta Rel Listrik (KRL) BogorJakarta Kota sebagai Koridor Pergerakan Burung
Nama
: Ramandini Puspita Sari
NIM
: A44090082

Disetujui oleh

Dr. Syartinilia, SP., M.Si.
Pembimbing

Diketahui oleh


Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, M.Agr.
Ketua Departemen Arsitektur Lanskap

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini ialah
Ekologi Lanskap, dengan judul Kajian Potensi Lanskap Jalur Kereta Rel Listrik
(KRL) Bogor-Jakarta Kota sebagai Koridor Pergerakan Burung. Penelitian ini
dibiayai dari hibah penelitian dasar dari dana BOPTN (Bantuan Operasional
Perguruan Tinggi Negeri) pendanaan tahun 2013.
Atas semua bimbingan, bantuan, dukungan dan perhatian yang telah
diberikan, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Syartinilia, SP., M.Si selaku pembimbing yang telah banyak
memberi saran,
2. Dr. Ir. Tati Budiarti, MS. Dan Dr. Kaswanto, SP., M.Si. selaku dosen
penguji skripsi yang telah dengan teliti mengoreksi dan memberi
masukan dalam sidang,

3. papa, mama, mba Dina serta Detrhee, atas segala doa dan kasih
sayangnya,
4. seluruh teman-teman klub masak atas segala dukungan semangat, kasih
sayang dan bantuan tenaganya saat survei,
5. Muhammad C. Azis atas bantuannya saat pengamatan burung,
6. teman-teman satu bimbingan Ibu Syartinilia, Dede, Nindy dan Bryan
atas dukungan dan semangatnya selama pengerjaan skripsi,
7. serta seluruh teman-teman Arsitektur Lanskap angkatan 46 atas
dukungan dan telah memberi pengalaman yang berharga.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2013
Ramandini Puspita Sari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR


x

DAFTAR LAMPIRAN

xi

PENDAHULUAN

1

Perumusan Masalah

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian


2

Ruang Lingkup Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

3

Ekologi Lanskap

3

Koridor Satwa

3

Ekologi Burung


4

METODOLOGI

7

Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Penelitian

7

Alat dan Data

7

Metode Penelitian

8

Analisis Ditribusi Tipe Koridor

8

Analisis Keanekaragaman Vegetasi

9

Analsis Kelimpahan Jenis Burung

11

HASIL PENELITIAN

12

Gambaran Situasional dari Lokasi Penelitian

12

Distribusi Tipe Koridor berdasarkan Tipe Linear Corridor dan Stepping
Stone

13

Keanekaragaman Vegetasi pada Kedua Tipe Koridor

24

Kelimpahan Jenis Burung pada Kedua Tipe Koridor

38

Uji Beda Nyata dari Kedua Tipe Koridor

44

PEMBAHASAN

45

Segmen I

45

Segmen II

45

Segmen III

46

Segmen IV

47

Segmen V

48

Keseluruhan Segmen

48

Rekomendasi Pengelolaan

52

SIMPULAN DAN SARAN

55

DAFTAR PUSTAKA

56

RIWAYAT HIDUP

70

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Jenis data yang diperlukan
Distribusi keanekaragaman vegetasi (Indeks Shannon)
Distribusi dominansi jenis berdasarkan Indeks Nilai Penting (INP)
Jenis vegetasi pada linear corridor berukuran besar di segmen I
Jenis vegetasi pada linear corridor berukuran kecil di segmen I
Jenis vegetasi pada stepping stone berukuran besar di segmen I
Jenis vegetasi pada stepping stone berukuran kecil di segmen I
Jenis vegetasi pada linear corridor berukuran kecil di segmen II
Jenis vegetasi pada linear corridor berukuran besar di segmen II
Jenis vegetasi pada stepping stone berukuran besar di segmen II
Jenis vegetasi pada stepping stone berukuran kecil di segmen II
Jenis vegetasi pada stepping stone berukuran besar di segmen III
Jenis vegetasi pada stepping stone berukuran kecil di segmen III
Jenis vegetasi pada linear corridor berukuran kecil di segmen III
Jenis vegetasi pada linear corridor berukuran besar di segmen III
Jenis vegetasi pada stepping stone berukuran besar di segmen IV
Jenis vegetasi pada stepping stone berukuran kecil di segmen IV
Jenis vegetasi pada linear corridor berukuran besar di segmen IV
Jenis vegetasi pada linear corridor berukuran kecil di segmen IV
Jenis vegetasi pada linear corridor berukuran kecil di segmen V
Jenis vegetasi pada linear corridor berukuran besar di segmen V
Jenis vegetasi pada stepping stone berukuran besar di segmen V
Jenis vegetasi pada stepping stone berukuran kecil di segmen V
Distribusi kelimpahan jenis burung

7
24
24
25
26
26
27
28
28
29
29
30
31
31
32
33
33
34
35
36
36
37
37
38

Frekuensi kehadiran jenis spesies tertentu di tiap segmen

39

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Lokasi tapak penelitian
Bagan alir penelitian
Desain unit contoh transek vegetasi
Desain unit contoh transek satwa
Distribusi koridor pada lanskap jalur KRL Bogor-Jakarta Kota

7
8
10
11
13

6 Distribusi jumlah koridor berdasarkan tipe linear corridor dan stepping
stone pada tiap segmen
7 Distribusi luas total koridor berdasarkan tipe linear corridor dan
stepping stone pada tiap segmen
8 Distribusi luas maksimum koridor berdasarkan tipe linear corridor dan
stepping stone pada tiap segmen
9 Distribusi luas minimum koridor berdasarkan tipe linear corridor dan
stepping stone pada tiap segmen
10 Distribusi luas rata-rata koridor berdasarkan tipe linear corridor dan
stepping stone pada tiap segmen
11 Peta distribusi koridor di segmen I
12 Peta distribusi koridor di segmen II
13 Peta distribusi koridor di segmen III
14 Peta distribusi koridor di segmen IV
15 Peta distribusi koridor di segmen V
16 Keanekaragaman jenis vegetasi pada koridor berukuran besar
17 Keuntungan koridor berbentuk stepping stone
18 Penampang jalur KRL
19 Habitat interior dan edge

14
14
15
15
16
17
19
20
22
23
50
51
53
53

DAFTAR LAMPIRAN
1 Tabel kelimpahan jenis burung pada lokasi penelitian
2 Tabel frekuensi keanekaragaman jenis spesies vegetasi tertentu di tiap
segmen

57
63

3 Hasil pengujian Independent t-tes tipe koridor dengan kelimpahan jenis
burung dan pengujian Independent t-tes tipe koridor dengan keanekaragaman
vegetasi
4 Hasil pengujian Independent t-tes ukuran koridor dengan kelimpahan
jenis burung dan pengujian Independent t-tes ukuran koridor dengan
keanekaragaman vegetasi

68

69

1

PENDAHULUAN
Menurut Forman dan Godron (1984) ekologi lanskap merupakan ilmu
yang mempelajari hubungan antara proses ekologi dalam lingkungan dan
ekosistem tertentu. Ekologi lanskap terfokus pada tiga karakteristik yang
terdapat pada lanskap, yaitu struktur, fungsi dan dinamika. Struktur merupakan
hubungan spasial antar perbedaan ukuran dan bentuk dari ekosistem yang
mempengaruhi perubahan abiotik dan biotik.
Perubahan struktur secara keseluruhan terjadi pada matrix, patch dan
koridor. Koridor merupakan kumpulan vegetasi yang berbentuk linear yang
berbeda dengan vegetasi sekelilingnya dan menghubungkan paling sedikit dua
patch yang pernah terhubung pada masa lalu. Koridor tersebut dipergunakan
sebagai area pergerakan dari makhluk hidup. Dalam ekologi lanskap, koridor
tersebut dibedakan menjadi dua jenis, yaitu linear corridor dan stepping stone.
Linear corridor merupakan jenis koridor satwa berupa jalur yang tidak terputus
yang biasanya didominasi oleh spesies tepi. Pada linear corridor yang memiliki
luasan lebih besar, memiliki fungsi untuk pergerakan satwa yang lebih baik.
Sedangkan stepping stone merupakan koridor yang berbentuk blok-blok ruang
hijau terpisah namun masih dalam jangkauan pergerakan satwa yang
menggunakan koridor tersebut. Setiap jenis koridor tersebut mendukung spesies
satwa yang berbeda pula (Barnes 2000). Satwa yang dapat menjadi indikator
bagi terjadinya perubahan degradasi lingkungan adalah burung, sebab burung
terdapat hampir di seluruh habitat sehingga selalu berdekatan dan merespon
seluruh kejadian. Selain itu burung juga merupakan salah satu komponen di
dalam ekosistem yang dapat bertindak sebagai kontrol terhadap populasi
(pemangsa serangga dan tikus) dan sebagai agen penyebar vegetasi (Suryowati
2000).
Salah satu contoh koridor dalam ekologi lanskap yaitu lanskap sepanjang
jalur kereta rel listrik (KRL) Bogor–Jakarta Kota. Sebagai koridor satwa,
kawasan jalur kereta rel listrik (KRL) Bogor–Jakarta Kota berpotensi
menghubungkan Kebun Raya Bogor (KRB) sebagai source dan beberapa area
tujuan pergerakan satwa sebagai sink. Setiap satwa melakukan pergerakan yang
mempergunakan koridor. Satwa yang tidak dapat melakukan pergerakan akan
menjadi terisolasi dan akhirnya akan punah. Selain itu koridor jalur kereta rel
listrik (KRL) Bogor–Jakarta Kota memiliki fungsi lain yang tidak boleh
dikesampingkan, yaitu sebagai estetika pemenuh kebutuhan manusia selaku
pengguna jasa trasnportasi KRL Bogor–Jakarta Kota.
Perumusan Masalah
Menurut Suryowati (2000) lanskap kawasan jalur kereta rel listrik
Bogor–Jakarta Kota banyak mengalami fragmentasi habitat. Fragmentasi habitat
merupakan perubahan kondisi lanskap yang mulanya adalah habitat yang
kontinu menjadi terpecah-pecah. Fragmentasi habitat tersebut dapat disebabkan
oleh perubahan tata guna lahan untuk permukiman, perkebunan dan pertanian di
sepanjang tepi rel bahkan menjadi area bisnis dan jalan raya.
Berdasarkan kedua fungsi dan ancaman tersebut, keberadaan lanskap
kawasan jalur kereta listrik Bogor–Jakarta Kota perlu mendapat perhatian

2
khusus. Salah satunya adalah dengan melakukan analisis kawasan jalur rel KRL
tersebut yang pada akhirnya akan menghasilkan rekomendasi pengelolaan jalur
rel KRL Bogor–Jakarta Kota yang ideal sehingga dapat pula menjaga
keberlangsungan ekosistem yang ada.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah:
1. Menganalisis distribusi tipe koridor berbentuk linear corridor dan
stepping stone;
2. menganalisis vegetasi pada habitat burung berdasarkan tipe koridor
(linear corridor dan stepping stone) dalam lanskap jalur rel KRL Bogor–
Jakarta Kota;
3. menganalisis kelimpahan jenis burung yang menggunakan koridor
lanskap jalur rel KRL Bogor–Jakarta Kota; dan
4. menyusun rekomendasi pengelolaan lanskap jalur rel KRL Bogor–
Jakarta Kota sebagai koridor burung.
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi
pengelolaan lanskap jalur rel KRL Bogor–Jakarta Kota sehingga dapat pula
melestarikan habitat dari burung–burung yang menggunakan jalur tersebut
sebagai koridor pergerakannya.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah menghasilkan sebuah rekomendasi
pengelolaan lanskap jalur kereta rel listrik (KRL) Bogor–Jakarta Kota sebagai
koridor burung pada aspek ekologinya.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Ekologi Lanskap
Ekologi lanskap merupakan sebuah studi mengenai hubungan biofisik
yang mengatur perbedaan unit spasial dari suatu wilayah tertentu (Forman dan
Godron 1984). Sedangkan menurut Fandeli dan Muhammad (2009) ekologi
lanskap merupakan ilmu yang mempelajari tentang hubungan setiap elemen
yang terdapat dalam suatu lanskap. Hubungan timbal balik tersebut terjadi dalam
jangka panjang antara elemen fisik dan hayati termasuk manusia yang
mempengaruhi perubahan dari suatu lanskap.
Secara umum ekologi lanskap terbagi menjadi dua pandangan, yaitu
secara vertikal (hubungan di dalam unit spasial lanskap) dan secara horizontal
(hubungan antar unit spasial lanskap). Sebagai ilmu yang sangat interdisipliner
dalam ekologi sistem, ekologi lanskap mengintegrasikan pendekatan biofisik dan
perspektif yang menyeluruh pada ilmu-ilmu alam dan ilmu sosial. Ekologi
lanskap melihat bagaimana struktur spasial mempengaruhi kelimpahan
organisme pada tingkat lanskap serta perilaku dan fungsi lanskap secara
keseluruhan. Dalam ekologi lanskap terdapat tiga fokus karakteristik, yaitu:
1. struktur, merupakan hubungan spasial antara perbedaan khas yang
terdapat pada suatu ekosistem, khususnya distribusi energi, material dan
spesies pada ekosistem tersebut yang kaitannya dengan ukuran, bentuk,
angka, jenis, dan konfigurasi dari ekosistem;
2. fungsi, merupakan interaksi antara elemen-elemen spasial, yaitu aliran
energi, material dan spesies dari komponen ekosistem; dan
3. dinamika, merupakan perubahan yang terjadi pada struktur dan fungsi
mosaik ekologi dari waktu ke waktu.
Secara keseluruhan struktur ekologi mengalami perubahan yang terjadi
pada patches (sebagai daerah yang relatif homogen yang berbeda dari
lingkungannya yang berubah dan berfluktuasi), matrix (struktur yang dominan
dari suatu lanskap dengan tingkat konektivitas yang tinggi) dan koridor (Forman
dan Godron 1984). Manusia merupakan salah satu dari elemen ekologi lanskap
yang berperan dalam terjadinya perubahan fungsional pada lanskap. Keaslian
dari setiap komponen lanskap akan membantu menjaga ketahanan lanskap
terhadap ancaman eksternal, termasuk ancaman pengembangan dan transformasi
lahan oleh aktivitas manusia.
Koridor Satwa
Menururt Rinaldi (2008), koridor merupakan suatu habitat yang dapat
mendukung kelangsungan hidup dan berkembang biak satwa serta menjadi jalur
lalu lintas pergerakan satwa yang menghubungkan antara habitat-habitat yang
sesuai atau memadai. Koridor merupakan suatu kumpulan vegetasi yang
berbentuk linier yang berbeda dengan vegetasi sekelilingnya dan
menghubungkan paling sedikit dua patch yang pernah terhubung pada masa lalu.
Koridor tersebut dipergunakan sebagai area pergerakan dari makhluk hidup.
Biasanya koridor tersebut memiliki struktur vegetasi yang relatif serupa. Koridor
satwa dapat menghubungkan dua area terbuka ataupun dua area terbangun.

4
Fungsi dari koridor satwa adalah sebagai jalur transportasi pergerakan
satwa, sebagai proteksi (perlindungan dari pemangsa, perlindungan terhadap
longsor dan dapat berperan sebagai pemecah angin) dan sebagai sumber daya
alam (simpanan bahan organik tanah, penghasil kayu serta produsen buah dan
biji-bijian). Keberhasilan pergerakan satwa sangat dipengaruhi oleh keberadaan
koridor yang dapat menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan dan
perkembangan populasi satwa. Koridor yang paling efektif biasanya berupa
hutan. Jika koridor satwa terputus, kemungkinan yang akan terjadi adalah
peledakan populasi atau sebagian dari individu lainnya akan mencari jalan
masing-masing yang akan menimbulkan gangguan di sekitarnya (Forman dan
Godron 1984).
Dalam ekologi lanskap, koridor dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
linear corridor dan stepping stone. Linear corridor merupakan jenis koridor
satwa berupa jalur yang tidak terputus yang biasanya didominasi oleh spesies
tepi. Pada linear corridor yang memiliki luasan lebih besar, memiliki fungsi
untuk pergerakan satwa yang lebih baik. Sedangkan stepping stone merupakan
koridor yang berbentuk blok-blok ruang hijau terpisah namun masih dalam
jangkauan pergerakan satwa yang menggunakan koridor tersebut. Koridor
berbentuk stepping stone mungkin tidak mempengaruhi pergerakan burung
namun, pada koridor ini terjadi pemutusan spesies vegetasi terutama dalam hal
gen dan aliran energi dari vegetasi tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka,
konektivitas dari setiap koridor harus dikelola dengan baik sehingga masingmasing koridor akan tetap terhubung dan tidak terpisahkan (Barnes 2000).
Ekologi Burung
Pulau Jawa dan Bali memiliki kekayaan jenis burung lebih sedikit dari
pada kekayaan jenis burung di pulau Kalimantan atau Sumatera. Namun pulau
Jawa memiliki keunikan tersendiri, yaitu terdapat 24 jenis endemik yang terbatas
di sana dan lebih dari 170 anak jenis endemik yang dikenal. Di seluruh kawasan
Jawa, jumlah total dari jenis burung tercatat 494 jenis dengan 368 jenis penetap
dan 126 jenis pengunjung atau pengembara.
Sebagian burung penetap tidak bereaksi terhadap perubahan musim dan
beberapa jenis berkembang biak dalam bulan-bulan sepanjang tahun. Namun,
pola perkembangbiakan jenis burung tersebut dipengaruhi oleh adanya
perbedaan curah hujan. Menurut penelitian Mackinnon (1993),
perkembangbiakan tertinggi untuk daerah terbuka terjadi pada bulan ke-6.
Sedangkan pada jenis pemakan buah, perkembangbiakan tertinggi terjadi pada
bulan ke-5 dan untuk daerah yang memiliki curah hujan tinggi,
perkembangbiakan jenis burung mencapai titik tertinggi pada bulan pertama.
Burung-burung liar dapat digolongkan menjadi beberapa kategori pokok
yang berkaitan dan berpengaruh terhadap perekonomian setempat, yaitu:
1. sebagai hama pertanian, seperti Pipit, Bondol dan Manyar yang sering
menjadi hama padi, Mandar, Merpati dan Betet sebagai hama padi dan
jagung serta Gagak, Betet, Pundi dan Kutilang sebagai hama pada
tanaman buah;
2. jenis yang menguntungkan, seperti Elang yang berguna sebagai predator
tikus dan Cangak, Mandar, Srigunting, Raja udang, Sikatan, Betet dan
Kapinis sebagai pengendali hama serangga;

5
3. burung sebagai bahan makanan, seperti Mandar, Ayam hutan dan Puyuh
sebagai penghasil telur dan daging serta Walet sebagai penghasil
sarangnya; dan
4. burung sebagai binatang piaraan, seperti Perkutut, Kucita, Beo, Kutilang,
Jalak, Bondol, Pipit, Gelatik dan Serindit.
Menurut Mackinnon et al. (2010), secara ekologi jenis burung
sendiri dapat dikategorikan menjadi:
1. burung perancah dan pemakan organisme tanah, seperti Kaki lebar,
Trulek, Wili-Wili, Trinil dan Blekek;
2. burung darat berukuran besar, seperti Mandar dan Picisan;
3. burung pemakan daging atau pemangsa, seperti Elang, Alap-Alap,
Celepuk, Serak dan Raja udang;
4. burung besar pemakan buah, seperti Punai, Niru, Kakatua, Enggang,
Bultok, Kepodang dan Gagak;
5. burung besar atau sedang pemakan serangga yang bersifat arboreal,
seperti Kedasi, Pelatuk, Madi, Burung daun, Srigunting, Betet, Jalak dan
Beo;
6. burung besar atau sedang pemakan serangga yang bersifat aerial, seperti
Walet, Layang-Layang, Burung buah, Kiri-Kiri dan Tiong laut;
7. burung besar atau sedang pemakan serangga yang bersifat nokturnal,
seperti Cabak dan Paruh katak;
8. burung sedang pemakan serangga yang hidup di tanah, seperti Burung
paok, Apung, Kucica, Meninting dan Kancilan;
9. burung sedang atau kecil pemakan serangga yang bersifat arboreal,
seperti Perenjak, Cenenen, Gelatik batu, Kipasan dan Kacamata; dan
10. burung kecil pemakan nektar, buah dan biji, seperti Kutilang, Burung
cabe, Burung gereja, Manyar, Pipit, Bondol, Kenari dan Burung madu.
Keberadaan jenis burung sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
lapisan tajuk vegetasi, kerapatan vegetasi, komposisi jenis vegetasi, kompetisi
dan kedekatan kekerabatan jenisnya (Wallace dan Mahan 1975; Krebs 1985;
Steadman dan Freifeld 1998 dalam Pradana 2007). Sedangkan keanekaragaman
jenis burung pada suatu tapak dipengaruhi oleh jumlah jenis burung, kemerataan
kelimpahan relatif setiap jenis burungnya, faktor umur evolusi, kondisi
lingkungan, stabilitas iklim, heterogenitas struktur habitat, predasi, kompetisi,
interaksi biotik, keanekaragaman jenis tumbuhan, gangguan dan letak geografis
(Krohne 2001; Brown 1983 dalam Pradana 2007).
Pengelolaan satwa terutama burung dewasa ini telah berkembang bukan
hanya demi kepentingan konservasi saja tetapi juga dimanfaatkan untuk
keperluan penelitian, pendidikan, pariwisata dan rekreasi. Pengelolaan burung
tersebut merupakan pengelolaan habitatnya yang meliputi, vegetasi, makanan,
air dan penyakit. Tujuan dari pengelolaan burung pada umumnya untuk
melakukan pengendalian terhadap kelimpahan dan penyebaran dari spesiesspesies burung yang ada (Alikodra 1990). Beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam pengelolaan burung adalah:
1. spesies burung yang akan dikelola yang meliputi persyaratan untuk hidup
burung dan sifat-sifat ekologis (penyebaran, perilaku dan populasi) dari
setiap spesies burung;

6
2. kondisi habitat termasuk luas dan kualitasnya, seperti padang rumput,
semak belukar, hutan dan sumber air;
3. kondisi musim sangat berpengaruh seperti saat musim kemarau panjang
dapat menimbulkan ketersediaan sumber air berkurang, sehingga jika
tidak dikelola dengan benar kemungkinan yang terjadi pada spesies
burung adalah mati atau pergi ke pusat-pusat permukiman untuk mencari
air;
4. letak tempat perlindungan terhadap pusat-pusat penduduk dan pusat
industri penting untuk diperhatikan sebab, tumbuhnya kawasan pusatpusat industri yang pesat mempercepat proses penekanan terhadap
kehidupan dari burung itu sendiri; dan
5. tingkat kesadaran masyarakat dan aparat pemerintah maupun pihak
swasta sangat mempengaruhi keberhasilan dari pengelolaan koridor
satwa tersebut.

7

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lingkup dari kegiatan penelitian ini adalah lanskap jalur KRL BogorJakarta Kota sebagai koridor pergerakan burung sepanjang 60 km dengan buffer
1 km di kiri-kanan rel KRL (Gambar 1) Kegiatan penelitian tersebut
dilaksanakan mulai bulan Maret sampai September 2013.

Gambar 1. Lokasi tapak penelitian
Alat dan Data
Alat yang digunakan dalam proses penelitian ini adalah alat tulis, kamera,
software ArcGIS 9.3, software SPSS 17.0, Global Positioning System (GPS),
meteran, Klinometer dan alat perekam. Berikut adalah jenis data yang
diperlukan dalam penelitian ini:

Tabel 1. Jenis data yang diperlukan
No
1

2

Jenis Data
Peta Jalur Kereta
Bogor-Jakarta Kota
Peta Penutupan
Lahan Jalur Kereta
Bogor-Jakarta Kota
Vegetasi
Iklim
Jenis Burung

3

UU yang Berlaku
Peraturan Daerah

Bentuk
Vektor
Vektor

Sumber Data
PT KAI Commuter
Jabodetabek
Google Earth

Deskriptif &
Spasial
Tabulasi
Deskriptif &
Spasial

Dinas Pertamanan
& Lapang
BMKG
Dinas Pertamanan
& Lapang

Studi Pustaka
Studi Pustaka

Pemda
Pemda

Kegunaan Analisis
Analisis Distribusi
Tipe Koridor

Analisis Vegetasi
Analisis
Kelimpahan Jenis
Burung
Analisis Aspek
Legal

Penelitian ini akan dilakukan dalam tiga tahapan. Adapun tiga tahapan
tersebut terdiri dari tahap inventarisasi data, tahap analisis potensi koridor
(analisis distribusi tipe koridor, analisis vegetasi, analisis keanekaragaman

8
burung) dan tahap sintesis berupa penyusunan rekomendasi rencana
pengelolaan lanskap jalur KRL Bogor-Jakarta Kota untuk koridor ekologi
(Gambar 2).
Lanskap Koridor Jalur KRL Bogor-Jakarta Kota

Inventarisasi

Distribusi Tipe Koridor (Linear Corridor dan Stepping Stone)

Linear Corridor
Analisis Keanekaragaman
Jenis Burung

Stepping Stone
Analisis
Vegetasi

Peta Distribusi Vegetasi yang
Berpotensi sebagai Habitat Burung
berdaarkan Tipe Koridor

Analisis Keanekaragaman
Jenis Burung

Analisis
Vegetasi

Peta Distribusi
Keanekaragaman
Jenis Burung

Analisis
Rencana pengelolaan Lanskap Jalur Kereta Rel Listrik (KRL) Bogor–Jakarta
Kota sebagai Koridor Pergerakan Bururng

Sintesis
Gambar 2. Bagan alir penelitian
Metode Penelitian
Analisis Distribusi Tipe Koridor
Kegiatan penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode
analisis karakteristik struktur lanskap dengan mendigitasi peta penutupan lahan
kawasan jalur kereta rel listrik (KRL) Bogor – Jakarta Kota yang bersumber dari
data image beresolusi tinggi dari citra IKONOS pada Google Earth. Kemudian
dengan menggunakan software ArcGIS sehingga diperoleh peta distribusi tipe
koridor. Selain itu, proses survei yang dilakukan dengan memilih 20 tapak yang
diperkirakan menjadi stop area pergerakan populasi burung. Setelah didapat
peta distribusi tipe koridor lanskap, maka lanskap jalur kereta tersebut dibagi
menjadi lima segmen untuk memudahkan dalam penyampaian informasi.
Pembagian segmen tersebut dilakukan secara visual menggunakan bantuan
Google Earth dan groundcheck sehingga terbagi menjadi lima segmen dengan
kriteria kesamaan proporsi antar RTH dan ruang terbangun.
Kriteria tipe linear corridor pada studi ini mengacu pada kriteria dari Hilty
et al. (2006) dan (Forman dan Godron 1984) dengan modifikasi adalah:
1. Dimensi untuk koridor yang berbentuk continuous adalah 61 m x 91.5 m
untuk koridor yang baik bagi habitat burung;
2. Lebar dari koridor yang berbentuk continuous minimal 75 m; dan
3. Bentuk koridor tidak terputus.
Sementara itu kriteria untuk penetapan stepping stone adalah:
1. lebar dari koridor dalam bentuk stepping stone minimal 12 m (Forman
dan Godron 1984);

9
panjang antar stepping stone tidak boleh lebih dari 5 m yang disesuaikan
dengan jarak maksimal penyebaran tiap spesies burung (Hilty et al.
2006); dan
3. vegetasi dalam stepping stone dapat terdiri dari berbagai jenis tumbuhan,
mulai dari ground cover hingga pohon (Hilty et al. 2006).
Setelah didapat peta distribusi tipe koridor lanskap, maka lanskap jalur
kereta tersebut dibagi menjadi lima segmen dengan kriteria kemiripan karakter
dan proporsi antar RTH dan ruang terbangun dalam tiap segmen. Pembagian
dari kelima segmen tersebut adalah sebagai berikut:
1. Segmen I (AA’-BB’) diawali dari Stasiun Bogor hingga area RTH
dekat jalan Kemang Raya Baru (Kecamatan Cibinong);
2. Segmen II (BB’-CC’) yang merupakan segmen terpanjang yang
berawal dari jalan Kemang Raya Baru, kecamatan Cibinong hingga
Stasiun Depok;
3. Segmen III (CC’-DD’) dimulai dari Stasiun Depok hingga Stasiun
Tanjung Barat;
4. Segmen IV (DD’-EE’) dimulai dari Stasiun Tanjung Barat hingga
Stasiun Cawang; dan
5. Segmen V (EE’-FF’) dimulai dari Stasiun Cawang dan berakhir
hingga Stasiun Jakarta Kota.
Hasil dari peta distribusi koridor tipe linear dan stepping stone akan
dipilih masing-masing 10 lokasi sampel untuk analisis keanekaragaman vegetasi
dan kelimpahan burung. Dari 10 lokasi sampel tersebut diambil 2 lokasi pada
masing-masing segmen dengan satu lokasi sampel koridor berukuran besar (luas
minimal 0.4 Ha untuk linear dan 0.1 Ha untuk stepping stone) dan satu lokasi
sampel koridor berukuran kecil (luas minimal 144 m2). Sehingga jumlah
keseluruhan dari lokasi sampel untuk analisis vegetasi dan keanekaragaman
burung adalah 20.
2.

Analisis Keanekaragaman Vegetasi
Metode transek yang digunakan pada penelitian ini digunakan untuk
analisis keanekaragaman vegetasi dengan luas pengambilan sampel berbentuk
bujur sangkar dengan ukuran 20x20 m. Pada metode transek untuk analisis
keanekaragaman vegetasi perlu dipersiapkan bahan dan alat sebagai berikut
(Kusmana 1997):
1. menetapkan ekosistem tapak pada berbagai formasi;
2. menyediakan peta lokasi dan peta penutupan lahan;
3. tali plastik sepanjang 60 m;
4. alat ukur tinggi pohon seperti Abney level atau Klinometer;
5. alat ukur diameter pohon seperti pita meter 100 cm;
6. meteran 20 m;
7. patok dengan tinggi 1m;
8. alat tulis;
9. kompas; dan
10. pengenal jenis pohon.

10
Setelah persiapan alat dan bahan untuk melakukan pengambilan sampel,
berikut adalah tahapan dalam kegiatan transek vegetasi:
1. menentukan lokasi jalur yang akan diambil sampelnya (unit contoh) di
atas peta;
2. membuat contoh unit jalur dengan desain seperti gambar 3; dan
3. mengidentifikasi jenis dan jumlah serta mengukur diameter (DBH) dan
tinggi untuk tingkat tiang dan pohon, sedangkan untuk tingkat semai dan
pancang hanya mengidentifikasi jenis dan jumlah saja.
Parameter yang ingin diketahui dari kegiatan analisis vegetasi ini adalah
sebagai berikut (Gambar 3):
1. Petak contoh semai (2m x 2m): komposisi jenis, jumlah individu setiap
jenis;
2. Petak contoh pancang (5m x 5m): komposisi jenis, diameter setinggi
dada (Dbh);
3. Petak contoh tiang (10m x 10m): komposisi jenis, diameter setinggi dada
(Dbh), tinggi tajuk; dan
4. Petak contoh pohon (20m x 20m): komposisi jenis, diameter setinggi
dada (Dbh), tinggi tajuk.
Adapun batasan tingkat pertumbuhan vegetasi yang dibatasi pada jenis
pohon, yaitu:
1. Semai (Seedlings) merupakan tumbuhan yang mempunyai tinggi kurang
dari 1,5m. dalam kelompok ini termasuk semai pohon;
2. Pancang (Saplings) merupakan tumbuhan yang mempunyai diameter
batang kurang dari 10 cm dan tinggi lebih dari 1,5m. dalam kelompok ini
termasuk pula perdu, dan anakan pohon;
3. Tiang (Poles) adalah pohon yang mempunyai diameter batang antara 1020 cm. dengan batasan ini tumbuhan memanjat, berkayu, palmae dan
bambu yang mempunyai diameter seperti ketentuan tersebut termasuk
dalam kelompok ini; dan
4. Pohon (Tree) adalah tumbuhan yang mempunyai diameter batang >20
cm.
a

a
b

d

b
c

c
c
d

b

Arah
d

a
Gambar 3. Desain unit contoh transek vegetasi
Keterangan:
a. petak contoh semai (2x2 m)
b. petak contoh pancang (5x5 m)
c. petak contoh tiang (10x10 m)
d. petak contoh pohon (20x20 m)

Parameter dalam analisis keanekaragaman vegetasi berdasarkan data
transek diatas menggunakan pengukuran kerapatan (individu/ha), frekuensi dan
dominasi (m2/ha) yang selanjutnya akan dihitung Indeks Nilai Penting (INP)
untuk mengetahui jenis dan tingkat tumbuhan yang dominan serta perhitungan

11
Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner dari masing-masing jenis vegetasi
yang tercatat sebagai berikut:
1. kerapatan jenis
Kerapatan (K) =



K Relatif (KR) =
2. frekuensi



Frekuensi (F) =

F Relatif (FR)



=

3. dominasi
Dominasi (D)

=

D Relatif (DR) =
4. indeks nilai penting
INP
= KR+FR+DR
5. indeks keanekaragaman Shannon-Wienner
H’=-∑
(log e Pi)
Keterangan:
H’ =Indeks Shannon-Wienner
Pi =kelimpahan relatif dari spesies ke-I
Nt =jumlah total untuk semua individu

Ni=jumlah total spesies ke-I
Pi2=(Ni/Nt)2

Berdasarkan hasil dari perhitungan Indeks Keragaman Shannon-Wiener
didapat beberapa kriteria tingkat keragamannya sebagai berikut:
1. 0-1
= tingkat keragaman rendah;
2. 1-3
= tingkat keragaman sedang;dan
3. >3
= tingkat keragaman tinggi.
Analisis Kelimpahan Jenis Burung
Sedangkan pengamatan untuk analisis keanekaragaman jenis burung
dilakukan secara langsung. Pengambilan data menggunakan metode titik hitung
atau IPA (Indices Ponctuel d’Abondance) dengan modifikasi. Pada setiap
segmen penelitian dibuat 4 lokasi pengamatan dengan radius 30 m (Gambar 4).
Pengambilan data dilakukan sebanyak dua kali ulangan dengan batasan waktu,
yaitu pengamatan pada pukul 06.00–10.00 WIB dan pukul 16.00–18.00 WIB
(Pradana 2007). Waktu pengamatan pada setiap titik adalah sepuluh menit.
Seluruh jenis yang ditemukan dicatat berserta aktivitas yang dilakukan burung
tersebut. Berikut adalah desain contoh unit petakan dalam transek satwa yang
digunakan untuk menganalisis habitat burung:

30
m

Gambar 4. Desain unit contoh transek satwa
Keterangan:

= posisi pencatat

12

HASIL PENELITIAN
Gambaran Situasional dari Lokasi Penelitian
Lanskap jalur kereta rel listrik (KRL) Bogor–Jakarta Kota sepanjang 60
km dengan lebar 1 km memiliki potensi sebagai koridor pergerakan burung, baik
burung migran maupun burung yang menyebar secara dispersal. Lanskap jalur
KRL tersebut melintasi beberapa kabupaten dan kota. Diantaranya Kota Bogor,
Kabupaten Bogor, Kota Depok dan Kota DKI Jakarta. Masing-masing kota dan
kabupaten memiliki karakteristik yang berbeda. Secara spesifik kondisi umum
dari masing-masing kota dan kabupaten tersebut adalah:
1. Kota Bogor
Kota Bogor terletak di antara 106°43’30”–106°51’00” BT dan
30’30”–6°41’00” LS. Kota Bogor dengan luas 11 850 Ha ini dihuni lebih
dari 820 707 jiwa. Curah hujan rata-rata 4 000 mm/tahun. Bentang alam
Kota Bogor merupakan daerah perbukitan bergelombang dengan
ketinggian yang bervariasi antara 190 s/d 350 m diatas permukaan laut
dengan kemiringan lereng berkisar 0–2 % (datar) seluas 1 763.94 Ha, 2–
15 % (landai) seluas 8 091.27 Ha, 15–25 % (agak curam) seluas 1 109.89
Ha, 25–40 % (curam) seluas 764.96 Ha, dan >40 % (sangat curam) seluas
119.94 Ha. Temperatur rata-rata tahunan kota Bogor berada pada 23 °C–
30 °C dengan kelembaban rata-rata tahunan 84.92 %.
2. Kabupaten Bogor
Kabupaten Bogor memiliki bentang alam yang cukup signifikan,
yaitu ditandai dengan kelas kelerengan yang berada pada kisaran 0 % –
lebih dari 40% dan berada pada ketinggian dominan pada 0–300 m diatas
permukaan laut. Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor secara
keseluruhan didominasi oleh permukiman.
3. Kota Depok
Kota Depok terletak pada koordinat 6°19’00”–6°28’00” LS dan
106°43’00”–106°55’30” BT. Bentang alam kota depok dari selatan ke
utara merupakan daerah dataran rendah dan bergelombang dengan
elevasi antara 50–140 m diatas permukaan laut serta memiliki
kemiringan lereng kurang dari 15 % (relatif datar sampai agak curam).
Temperatur umum kota Depok berkisar antara 24.3 °C–33 °C dengan
kelembaban rata-rata 49.8 %. Curah hujan kota Depok sebesar 2 684
mm/tahun.
4. Kota DKI Jakarta
Kota DKI Jakarta terletak pada koordinat 5°19’12”–6°23’54” LS
dan 106°22’42”–106°58’18” BT. Temperatur rata-rata tahunan kota DKI
Jakarta berada pada 28,6°C dengan kelembaban rata-rata tahunan 74,9 %.
Curah hujan kota DKI Jakarta sebesar 1 614.1 mm/tahun. DKI Jakarta
sebagian besar memiliki topografi yang relatif datar, dengan ketinggian
rata-rata 0–50 m diatas permukaan laut dan sebagian besar wilayahnya
memiliki kemiringan rata-rata sebesar 0–3 % dan beberapa bagian
lainnya memiliki kemiringan diatas 3%.

13
Distribusi Koridor berdasarkan Tipe Linear Corridor dan Stepping Stone
Distribusi koridor berdasarkan tipe linear corridor dan stepping stone
secara spasial disajikan pada Gambar 5. Terdapat 63 koridor linear yang
teridentifikasi dengan total luas 557.536,5 m2 dengan luas maksimum 11.841 m2,
dan luas minimum 6.152,15 m2 dan luas rata-rata 8.996,6 m2. Sementara pada
stepping stone yang teridentifikasi berjumlah 888 dengan total luas 853.993,6 m2
dengan luas maksimum 977,5 m2 dan luas minimum adalah 251,9 m2 dengan
luas rata-rata 614,7 m2. Distribusi jumlah, luas total, luas maksimum, luas
minimum, luas rata-rata dari tipe linear corridor dan stepping stone yang
teridentifikasi disajikan pada Gambar 6 – 10.

Gambar 5. Distribusi koridor pada lanskap jalur KRL Bogor-Jakarta Kota

14

Gambar 6. Distribusi jumlah koridor berdasarkan tipe linear corridor dan
stepping stone pada tiap segmen

Gambar 7. Distribusi luas total koridor berdasarkan tipe linear corridor dan
stepping stone pada tiap segmen

15

Gambar 8. Distribusi luas maksimum koridor berdasarkan tipe linear corridor
dan stepping stone pada tiap segmen

Gambar 9. Distribusi luas minimum koridor berdasarkan tipe linear corridor dan
stepping stone pada tiap segmen

16

Gambar 10. Distribusi luas rata-rata koridor berdasarkan tipe linear corridor dan
stepping stone pada tiap segmen
Setelah didapat peta distribusi tipe koridor lanskap, maka lanskap jalur
kereta tersebut dibagi menjadi lima segmen untuk memudahkan dalam
penyampaian informasi. Pembagian segmen tersebut dilakukan secara visual
menggunakan bantuan Google Earth dan groundcheck dengan kriteria kemiripan
karakter dan proporsi antar RTH dan ruang terbangun dalam tiap segmen.
Secara spesifik pembagian kelima segmen tersebut adalah :
1. Segmen I (AA’-BB’)
Segmen I diawali dari Stasiun Bogor hingga area RTH dekat jalan
Kemang Raya Baru (Kecamatan Cibinong) yang terlihat pada Gambar 11.
Secara keseluruhan kondisi fisik Segmen I masih didominasi oleh ruang terbuka
hijau baik yang berada di tepian jalur jalan, sungai maupun jalur kereta.
Permukiman penduduk tidak banyak ditemukan namun terdapat beberapa
permukiman liar yang berada di tepian sungai Ciliwung yang berada di sekitar
jembatan Merah. Permukiman liar ini dapat menyebabkan aliran air sungai
Ciliwung terhambat terutama saat debit air dari Bendung Katulampa sedang
tinggi yang akan menimbulkan banjir di sekitar permukiman tersebut. Hal ini
disebabkan oleh bahu sungai tempat seharusnya pasang surut air terjadi dipenuhi
oleh bangunan rumah semi permanen bahkan permanen dan diperparah dengan
perilaku masyarakat permukiman tersebut yang membuang sampah rumah
tangganya ke sungai.
Di segmen ini terdapat beberapa jalur jalan yang ternaungi secara
sempurna oleh jajaran pepohonan yang membentuk koridor yang solid seperti di
Jalan Ahmad Yani dan Jalan Sudirman. Tajuk pohon yang saling – silang
merupakan habitat yang sangat cocok untuk pergerakan burung sehingga pada
jalan tersebut terlihat beberapa jenis burung yang melintas. Pada segmen ini area
GOR Padjajaran yang dijadikan sebagai titik sampel untuk linear corridor
berukuran besar yang selanjutnya dilakukan analisis vegetasi dengan metode
transek (Linear B I). Sedangkan untuk titik sampel linear corridor yang
berukuran kecil, dipilih lapangan dekat SMA 5 Bogor (Linear K I).

17

Gambar 11. Peta distribusi koridor di segmen I
RTH jalur jalan menuju jalan Pemuda dipilih untuk menjadi titik sampel
stepping stone yang berukuran kecil (Stepping stone K I) dan RTH sempadan
sungai dekat jalan Kemang Raya Baru dipilih sebagai titik sampel stepping stone
yang berukuran besar (Stepping stone B I). Area GOR Padjajaran dan lapangan
dekat SMA 5 Bogor dipilih karena pada area tersebut keragaman jenis vegetasi
yang tumbuh cukup tinggi mulai dari rumput, semak, perdu hingga pohon.
Selain itu kondisi lahannya cukup landai dan luas sehingga memudahkan saat
pengamatan. Sedangkan RTH jalur jalan menuju jalan Pemuda dan RTH sungai

18
dekat jalan Kemang Raya Baru dipilih karena akses menuju lokasi pengamatan
yang mudah dan kondisi lahannya yang landai memudahkan saat pengamatan.
2. Segmen II (BB’-CC’)
Segmen II merupakan jalur terpanjang yang berawal dari jalan Kemang
Raya Baru, kecamatan Cibinong hingga Stasiun Depok yang terlihat pada
Gambar 12. Karakteristik segmen ini dipenuhi oleh permukiman yang tersebar
dari Stasiun Cilebut hingga Stasiun Bojong Gede di kanan dan kiri jalur kereta
baik yang terencana maupun permukiman liar. Permukiman liar ditemukan di
sepanjang bantaran sungai ciliwung yang memiliki kemiringan lahan cukup
tinggi yaitu lebih dari 40%. Masyarakat tetap membangun permukiman liar
tersebut meskipun telah ada Peraturan Daerah Kota Bogor No 8 tahun 2011
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bogor 2011–2031 yang melarang
kegiatan permukiman pada lahan dengan kemiringan lebih dari 40% dan tikugan
sungai yang menyebabkan area tersebut rawan longsor. Sedangkan permukiman
yang terencana merupakan hunian alternatif bagi masyarakat yang
kesehariannya bekerja di Jakarta, Depok dan Bogor.
Selain permukiman, di segmen ini juga masih ditemukan pertanian lahan
kering seperti kebun buah dan sayur. Jika dianalisis secara visual melalui peta
Google Earth, kedua penutupan lahan ini merupakan jenis penutupan lahan yang
dominan. Pada segmen ini area kebun jambu dekat Stasiun Bojong Gede
merupakan titik sampel linear corridor yang berukuran kecil (Linear K II). Pada
titik sampel untuk linear corridor berukuran besar dipilih lokasi RTH dekat
Jalan Kemang Raya Baru (Linear B II).
RTH jalur jalan menuju Stasiun Bojong Gede dipilih untuk menjadi titik
sampel stepping stone yang berukuran besar (Stepping stone B II) dan RTH
dekat jalur KRL di jalan Cilebut Raya dipilih sebagai titik sampel stepping stone
yang berukuran kecil (Stepping stone K II). Area Kebun Jambu Biji dan RTH
dekat jalur KRL di jalan Kemang Raya Baru dipilih karena letaknya yang tepat
bersebelahan dengan jalur rel KRL, lahannya yang cukup luas dan lokasinya
mudah untuk diakses.

19

Gambar 12. Peta distribusi koridor di segmen II

20

3. Segmen III (CC’-DD’)
Segmen III dimulai dari Stasiun Depok hingga Stasiun Tanjung Barat yang
terlihat pada Gambar 13. Pada segmen ini terdapat beberapa Universitas yang
masih memiliki ruang terbuka hijau yang cukup luas. Diantaranya adalah
Universitas Indonesia, Universitas Pancasila dan Universitas Gunadarma. Hal ini
turut menyumbang keberadaan koridor habitat burung pada segmen III. Selain
itu di sepanjang tepi jalur kereta masih ditumbuhi oleh berbagai jenis pepohonan
seperti Glodogan bulat (Polyalthia fragrans, Glodogan tiang (Polyalthia
longifolia), Kasia (Cassia surattensis), Mahoni (Swietenia mahogani), Bunga
kupu-kupu (Bauhinia purpurea) dan Tabebuia (Tabebuia chrysotricha) yang
membentuk linear corridor meskipun lebar dari koridor ini tidak terlalu besar.

Gambar 13. Peta distribusi koridor di segmen III

21
Selain untuk meredam angin dan suara dari kereta yang melintas,
keberadaan jajaran pepohonan tersebut juga dapat menambah keteduhan di
sekitar jalur kereta yang berebelahan dengan jalur Jalan Lenteng Agung dan
Jalan Raya Tanjung Barat. Titik sampel stepping stone berukuran besar yang
digunakan pada segmen ini terletak di taman kota Depok dekat Universitas
Indonesia (Stepping stone B III). Sedangkan untuk titik sampel stepping stone
berukuran kecil dipilih parkiran Stasiun Depok Baru (Stepping stone K III).
Hutan UI dipilih sebagai titik sampel untuk linear corridor yang berukuran besar
(Linear B III) dan RTH sekitar Setu Depok dipilih sebagai titik sampel linear
corridor yang berukuran kecil (Linear K III). Lokasi tersebut dipilih karena
aksesnya yang mudah dijangkau, kondisi keragaman vegetasinya cukup tinggi.
4. Segmen IV (DD’-EE’)
Segmen IV merupakan lanjutan dari segmen III yaitu dari Stasiun
Tanjung Barat hingga Stasiun Cawang yang terlihat pada Gambar 14. Perubahan
suasana mulai terasa saat memasuki segmen ini karena area ini didominasi oleh
area perdagangan, permukiman dan perkantoran, namun di beberapa titik masih
ditemukan RTH, seperti RTH Taman Makam Pahlawan dan hutan kota Tebet.
Area perdagangan dan perkantoran tersebut menimbulkan dampak pada
tingginya temperatur udara dan polusi sehingga menimbulkan rasa kurang
nyaman saat melintasi segmen ini. Keberadaan beberapa titik RTH pada segmen
IV turut menyumbang lokasi yang berpotensi sebagai habitat koridor pergerakan
burung.
Lapangan dekat Stasiun Cawang yang dijadikan sebagai titik sampel
untuk stepping stone berukuran besar (Stepping stone B IV). Sedangkan titik
sampel stepping stone berukuran kecil, parkiran Stasiun Tanjung Barat adalah
lokasi yang dipilih (Stepping stone K IV). Taman Kota Pasar Minggu dipilih
sebagai titik sampel untuk linear corridor berukuran kecil (Linear K IV) dan
Taman Tebet dipilih sebagai titik sampel linear corridor berukuran besar
(Linear B IV). Titik sampel tersebut dipilih dengan tujuan mendapatkan
keragaman lokasi titik sampel. Selain itu di lokasi tersebut keragaman vegetasi
yang akan diidentifikasinya cukup tinggi dan kemiringan lahannya pun cukup
landai.

22

Gambar 14. Peta distribusi koridor di segmen IV
5. Segmen V (EE’-FF’)
Segmen V berakhir sampai Stasiun Jakarta Kota yang terlihat pada
Gambar 15. Pada segmen ini karakteristik permukiman dan perkantoran pusat
kota sangat terasa. Namun terdapat beberapa taman kota yang mengidentifikasi
adanya koridor pergerakan burung. Koridor habitat burung yang terbentuk di
segmen ini didominasi oleh koridor dengan lebar yang kecil dan memanjang
karena hanya terdiri dari jajaran pepohonan seperti Glodogan bulat (Polyalthia

23
fragrans), Glodogan tiang (Polyalthia longifolia), Mahoni (Swietenia mahogani),
Ki Hujan (Samanea saman) dan Angsana (Pterocarpus indicus) yang tumbuh di
tepi jalan raya yang berdekatan dengan jalur rel KRL.
Beberapa RTH yang turut membentuk koridor habitat burung tersebut
contohnya Taman Monas, Taman Menteng dan Taman Suropati. Beberapa
taman tersebut memang sengaja dibuat untuk menghadirkan burung di kawasan
pusat kota sehingga dapat pula berfungsi sebagai pelepas penat bagi warga kota
yang dinamis. Pengelolaan taman- taman kota tersebut dapat dikatakan cukup
baik, karena berada di bawah pengawasan Dinas Pertamanan dan Pemakaman
Provinsi DKI Jakarta yang memiliki anggaran cukup tinggi untuk
pengelolaannya.

Gambar 15. Peta distribusi koridor di segmen V

24
Pada segmen ini, area Taman Suropati yang dijadikan sebagai titik
sampel linear corridor berukuran kecil (Linear K V). Sedangkan area Taman
Monas dipilih sebagai titik sampel linear corridor berukuran besar ( Linear B V).
RTH Masjid Istiqlal dipilih sebagai titik sampel stepping stone berukuran kecil
(Stepping stone K V) dan Lapangan Banteng dijadikan sebagai titik sampel
stepping stone berukuran besar (Stepping stone B V). Area tersebut dipilih
karena lokasinya yang strategis dan memiliki beragam jenis vegetasi mulai dari
rumput, semak, perdu hingga pohon tinggi.
Keanekaragaman Vegetasi pada Kedua Tipe Koridor
Keanekaragaman pada lima titik sampel di masing-masing segmen
bervariasi. Mulai dari tingkat keragaman rendah hingga sedang. Nilai Indeks
Shannon tertinggi tercatat pada lokasi pengamatan stepping stone berukuran
kecil Segmen I. Sedangkan keanekaragaman terendah terdapat pada titik
pegamatan linear corridor berukuran kecil Segmen V (Tabel 2). Berdasarkan
Indeks Nilai Pentingnya, linear corridor didominasi oleh Teh-tehan, Lamtoro
Angsana dan Mahoni. Sedangkan stepping stone didominasi oleh Rumput gajah,
Mahoni dan Lamtoro (Tabel 3).

Tabel 2. Distribusi keanekaragaman vegetasi (Indeks Shannon)
Linear Corridor
Stepping stone
Segmen
Kecil
Besar
Kecil
Besar
Segmen I
1.30
0.98
1.91
0.66
Segmen II
1.14
0.60
0.90
1.20
Segmen III
1.15
1.49
0.98
0.71
Segmen IV
1.28
1.20
0.61
0.92
Segmen V
0.28
1.18
1.30
1.40

Tabel 3. Distribusi dominansi jenis berdasarkan Indeks Nilai Penting (INP)
Linear Corridor
Stepping Stone
Tingkat
Pertumbuhan
spesies (INP)
spesies (INP)
Semai
Teh-tehan (194)
Rumput gajah (230)
Lili paris (130)
Ilalang (200)
Seruni rambat (130)
Kersen (175.65)
Pancang
Lamtoro (228.82)
Mahoni (254.19)
Pucuk merah (200)
Mangga (206.52)
Meranti (198.04)
Pangkas kuning (180.48)
Tiang
Talas (300)
Mahoni (199.45)
Angsana (300)
Jambu biji (199.84)
Lamtoro (241.94)
Beringin (195.71)
Pohon
Mahoni (201.96)
Lamtoro (226)
Tanjung (200)
Asam kranji (178)
Lamtoro (161)
Dadap merah (143.94)

25
Secara spesifik hasil analisis vegetasi pada kelima lokasi pengamatan
masing-masing segmen adalah :
1. Segmen I (AA’-BB’)
Terdapat 41 jenis tanaman yang tercatat pada lokasi pengamatan di
segmen I yang tersebar dari tingkat pertumbuhan semai hingga pohon. Pada
segmen I terdapat empat lokasi pengamatan, yaitu area GOR Padjajaran (linear
corridor berukuran besar), lapangan dekat SMA 5 Bogor (linear corridor yang
berukuran kec