Struktur Tegakan dan Regenerasi Alami Hutan di Pulau Siberut, Sumatera Barat

STRUKTUR TEGAKAN DAN REGENERASI ALAMI HUTAN
DI PULAU SIBERUT, SUMATERA BARAT

ASTRIDA RM SIGIRO

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Struktur Tegakan dan
Regenerasi Alami Hutan di Pulau Siberut, Sumatera Barat adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2013
Astrida RM Sigiro
NIM E14080013

ABSTRAK
ASTRIDA RM SIGIRO. Struktur Tegakan dan Regenerasi Alami Hutan di Pulau
Siberut, Sumatera Barat. Dibimbing oleh TEDDY RUSOLONO.
Model struktur tegakan penting menduga dimensi tegakan hutan karena
dapat mengurangi pekerjaan di lapangan. Tujuan penelitian ini adalah menentukan
persamaan umum struktur tegakan, status keanekaragaman jenis, dan kemampuan
regenerasi alami hutan primer dan berbagai hutan bekas penebangan. Data
dikumpulkan dari tegakan hutan yang mewakili kondisi hutan primer dan berbagai
kondisi hutan bekas penebangan (1 tahun, 4 tahun, dan 20 tahun). Setiap kondisi
tegakan dibuat petak ukur berbentuk jalur 20 m x 500 m (1 hektar), masingmasing tiga petak ukur dan dilakukan identifikasi jenis pohon, pengukuran pohon
berdiameter ≥10 cm, pengukuran tingkat permudaan, dan pemetaan struktur
tegakan vertikal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model famili sebaran
eksponensial negatif adalah model terbaik untuk menerangkan struktur tegakan di

kondisi hutan primer maupun berbagai kondisi hutan bekas penebangan. Model
famili sebaran tersebut dapat digunakan untuk keperluan penaksiran sebaran
diameter pohon jenis dipterocarpaceae, non-dipterocarpaceae, dan seluruh jenis.
Nilai indeks biodiversitas adalah tinggi (2,94-3,87 dengan indeks Shannon dan
0,027- 0,122 dengan indeks Simpson) yang menunjukkan tingkat keanekaragaman
jenis di areal penelitian tergolong tinggi dan dominansi terpusat pada berberapa
jenis.
Kata kunci
: Indeks biodiversitas, model famili sebaran

ABSTRACT
ASTRIDA RM SIGIRO. Stand Structure Model and Natural Forest Regeneration
in Siberut Island, West Sumatra. Guided by TEDDY RUSOLONO.
Stand structure model is important to estimate the dimensions of forest
because it can reduce work in the field. The purpose of this study was to
determine the general equation stand structure, the status of biodiversity, and the
ability of natural regeneration in virgin forest and other former logged over
forests. Data was collected from forest stands represent virgin forest and various
stand conditions after logging (1 year, 4 years, and 20 years). For each stand
condition, plot lines 20 m x 500 m (1 ha) was made, each of the three plots and

then identified tree species, measuring tree diameter ≥ 10 cm, measuring the level
of regeneration, and mapping of the vertical stand structure. The result of research
shows that negative exponential distribution model is the best model to describe
stand structure in the virgin forest condition as well as in many former logged
forest conditions. Family distribution model can be used for assessment of tree
diameter distribution in various diameter class of dipterocarp, non-dipterocarp,
and all species. Biodiversity index value is high (2,94 to 3,87 with index of
Shannon and 0,027 to 0,122 with indeks of Simpson) that indicates the level of
species diversity in the study area is high and the dominance is centered on a
couple of species.
Keywords
: Biodiversity index, family distribution model

STRUKTUR TEGAKAN DAN REGENERASI ALAMI HUTAN
DI PULAU SIBERUT, SUMATERA BARAT

ASTRIDA RM SIGIRO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Manajemen Hutan

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Struktur Tegakan dan Regenerasi Alami Hutan di Pulau Siberut,
Sumatera Barat
Nama
: Astrida RM Sigiro
NIM
: E14080013

Disetujui oleh

Dr Ir Teddy Rusolono, MS

Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Didik Suharjito, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke-hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan
Mei 2012 ini adalah “Struktur tegakan dan regenerasi alami hutan di Pulau
Siberut, Sumatera Barat”.
Penulis tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak dalam
proses keberhasilan penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr Ir Teddy Rusolono, MS selaku
pembimbing penulis yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan, dan saran
sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Terimakasih juga kepada pihak PT. Salaki

Summa Sejahtera beserta karyawannya yang telah membantu selama
pengumpulan data di lapangan. Disamping itu, ungkapan terimakasih juga
disampaikan kepada mama papa tercinta dan adik-adik tersayang atas dukungan,
kasih sayang, dan doanya. Dan terimakasih kepada teman-teman seperjuangan
Manajemen Hutan angkatan 45 yang berjuang bersama dengan penulis dalam
memperoleh gelar sarjana, serta semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan
satu per satu, yang membantu secara langsung maupun tidak langsung dalam
penyusunan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2013
Astrida R.M Sigiro

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

v

DAFTAR GAMBAR

vi


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang
Tujuan Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Model Struktur Tegakan
Metode Kemungkinan Maksimum
Kegunaan Model Struktur Tegakan
Regenerasi Alami Hutan Alam
Stratifikasi Tajuk
METODE
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Metode Pengambilan Data
Analisis Data
Struktur Tegakan
Potensi Regenerasi Alami Vegetasi
Stratifikasi Tajuk

HASIL DAN PEMBAHASAN
Struktur Tegakan
Kerapatan Tegakan Menurut Kelas Diameter Pohon
Distribusi Diameter Pohon Menggunakan Pendekatan Model
Famili Sebaran
Distribusi diameter pohon menggunakan model eksponensial
negatif
Uji Kesesuaian Model terhadap Data
Uji Perbedaan Kerapatan Model antara Hutan Primer dan Hutan
Bekas Penebangan
Analisis Komunitas Tumbuhan
Jumlah Jenis Tumbuhan
Tingkat Dominansi Jenis
Biodiversitas Jenis
Stratifikasi Tajuk

1
1
2
2

4
4
5
7
8
8
8
9
9
10
10
11
11
11
12
16
20
20
22
22

23
27
28

SIMPULAN DAN SARAN

34

DAFTAR PUSTAKA

35

RIWAYAT HIDUP

37

vi

DAFTAR TABEL
1


Nilai kemungkinan maksimum model famili sebaran eksponensial,
gamma, lognormal, dan weibul

13

Model persamaan Meyer hutan primer dan bekas penebangan
beserta nilai R2

16

Hasil uji X2 menggunakan model eksponensial negatif dengan
famili sebaran

20

Hasil uji beda untuk data berpasangan antara kerapatan dugaan
hutan primer dan hutan bekas penebangan

21

Jumlah jenis pada berbagai tingkat permudaan di hutan primer dan
hutan bekas penebangan

22

Kerapatan individu pohon per hektar pada tingkat permudaan di
hutan primer dan hutan bekas penebangan

23

7

Jenis dominan untuk semua tingkat permudaan di hutan primer

25

8

Jenis dominan untuk semua tingkat permudaan vegetasi di hutan
bekas tebangan 20 tahun

25

Jenis dominan untuk semua tingkat permudaan di hutan bekas
tebangan 4 tahun

26

Jenis dominan untuk semua tingkat permudaan vegetasi di hutan
bekas tebangan 1 tahun

26

Indeks Dominansi (C) dan Indeks Keanekaragaman (H) pada hutan
primer dan hutan bekas tebangan

27

2
3
4
5
6

9
10
11

vii

DAFTAR GAMBAR
1

2

3

4

5

6
7
8
9
10

Kerapatan pohon pada hutan primer dan hutan bekas tebangan
berdasarkan kelompok seluruh jenis (A) dan kelompok
dipterocarpaceae (B)

11

Kerapatan aktual dan dugaan berdasarkan model famili sebaran
kelompok seluruh jenis di hutan primer (A), LOA 20 tahun (B),
LOA 4 tahun (C), dan LOA 1 tahun (D)

14

Kerapatan aktual dan dugaan berdasarkan model famili sebaran
kelompok dipterocarpaceae di hutan primer (A), LOA 20 tahun (B),
LOA 4 tahun (C), dan LOA 1 tahun (D)

15

Kerapatan aktual dan dugaan berdasarkan persamaan Meyer
kelompok seluruh jenis di hutan primer (A), LOA 20 tahun (B),
LOA 4 tahun (C), dan LOA 1 tahun (D)

17

Kerapatan aktual dan dugaan berdasarkan persamaan Meyer
kelompok dipterocarpaceae di hutan primer (A), LOA 20 tahun (B),
LOA 4 tahun (C), dan LOA 1 tahun (D)

18

Perbedaan kerapatan berdasarkan persamaan Meyer di hutan
primer, LOA 20 tahun, LOA 4 tahun, dan LOA 1 tahun

21

Profil tegakan hutan primer tampak secara spasial (A) dan secara
vertikal (B)

30

Profil tegakan hutan bekas penebangan 20 tahun tampak secara
spasial (A) dan secara vertikal (B)

31

Profil tegakan hutan bekas penebangan 4 tahun tampak secara
spasial (A) dan secara vertikal (B

32

Profil tegakan hutan bekas penebangan 1 tahun tampak secara
spasial (A) dan secara vertikal (B)

33

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pulau Siberut tergolong ekosistem yang memiliki kekayaan dan keunikan
flora fauna tersendiri dan memiliki banyak species pohon bernilai komersil.
Padahal kawasan ini merupakan pulau kecil yang terpencil dari habitat induknya.
Banyak pengusaha hutan yang tertarik memanfaatkan kekayaan hasil hutan Pulau
Siberut, khususnya dengan melakukan penebangan untuk memperoleh kayunya.
Namun, kegiatan tersebut menimbulkan banyak perubahan pada ekosistem hutan.
Diantaranya yaitu perubahan komposisi jenis, keterbukaan kanopi, gangguan
terhadap tanah dan air, kerusakan tegakan tinggal, serta kerusakan regenerasinya.
Perubahan yang terjadi akan memperlihatkan perbedaan struktur dan komposisi
jenis antara hutan yang belum ada campur tangan manusia di dalamnya dengan
hutan yang telah dimanfaatkan hasilnya. Sangat menarik untuk mengetahui
perbedaan perubahan struktur tegakan yang terjadi di ekosistem pulau Siberut
dengan hutan yang bukan merupakan ekosistem pulau.
Perbedaan struktur tegakan dapat dilihat melalui model distribusi diameter
tegakan yang dapat memprediksikan kerapatan pohon. Model distribusi diameter
tegakan dapat dicobakan pada berbagai bentuk persamaan. Menurut Davis et al.
(2001), suatu model pernah dicobakan oleh Meyer pada tahun 1952 untuk
menggambarkan pola struktur tegakan hutan tidak seumur dengan menggunakan
persamaan regresi (N=ke-aD). Model ini menjelaskan bahwa jumlah pohon
semakin berkurang pada kelas diameter yang semakin besar. Selain persamaan
regresi, berbagai model famili sebaran juga dapat digunakan untuk memperoleh
gambaran mengenai struktur tegakan. Berbagai model famili sebaran peluang
yang pernah dicobakan diantaranya adalah famili sebaran eksponensial negatif,
lognormal, gamma, dan weibul. Selain struktur tegakan, mengetahui perubahan
komposisi tegakan juga penting karena dapat memberikan gambaran mengenai
kondisi tegakan. Pengamatan terhadap tingkat permudaan khususnya dapat
memberikan dugaan potensi regenerasi hutan di waktu yang akan datang yaitu
dengan analisis berbagai parameter. Oleh karena itu, perlu diketahui data dan
informasi tentang ekologi generasi tumbuhan dan dinamikanya dari waktu ke
waktu.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan persamaan umum struktur
tegakan, menentukan status keanekaragaman jenis, dan menerangkan kemampuan
regenerasi alami pada kondisi hutan primer dan berbagai kondisi hutan bekas
penebangan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menilai sejauh
mana dampak kegiatan pemanenan kayu terhadap perubahan struktur tegakan,
tingkat biodiversitas, dan kemampuan regenerasi alami. Penilaian ini dapat
dijadikan sebagai tolak ukur memperbaiki sistem pemanenan dan tindakan
silvikultur yang dilakukan di hutan PT. Salaki Summa Sejahtera.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Model Struktur Tegakan
Model merupakan representasi penyederhanaan dari beberapa aspek di
dunia nyata. Jenis model yang biasa digunakan di bidang sains didefenisikan
sebagai representasi dari sebuah penyederhanaan sistem dengan hipotesis yang
mendeskripsikan dan menjelaskan sistem tersebut yang biasanya dinyatakan
secara matematis (Botkin 1993). Sedangkan Bertault et al. (1998) mendefenisikan
pemodelan sebagai suatu metode untuk menyajikan data secara teoritis.
Pemodelan tidak bersifat nyata melainkan hanya representasi tertentu dari
kenyataan. Model di bidang kehutanan digunakan untuk menentukan distribusi
diameter untuk memberikan informasi mengenai struktur tegakan, struktur umur,
stabilitas tegakan, dan lain-lain, dan juga memungkinkan dalam perencanaan
perlakuan silvikultur. Dalam hal ini model hanya digunakan sebagai alat untuk
mengembangkan diskusi mengenai distribusi diameter pohon.
Struktur tegakan dibagi menjadi dua macam yaitu struktur tegakan vertikal
dan struktur tegakan horizontal. Struktur tegakan vertikal adalah sebaran individu
tumbuhan dalam berbagai lapisan tajuk (Richards 1966 dalam Saputro 2001).
Sedangkan struktur tegakan horizontal menurut Suhendang 1995 dalam Saputro
2001, merupakan sebaran jumlah pohon per satuan luas dalam berbagai kelas
diameternya. Dalam penelitian ini, struktur tegakan yang dimaksud adalah
struktur tegakan horizontal yang biasanya disebut sebagai struktur tegakan saja.
Diameter pohon merupakan faktor penting dalam pemanenan karena
penting dalam menentukan jenis mesin yang akan digunakan dan bagaimana
teknik yang harus dilakukan selama penebangan dan pengangkutan kayu (Varela
et al. 2008). Pengukuran diameter yang paling umum dilakukan pada bidang
kehutanan adalah pada batang utama pohon yang berdiri. Pengukuran diameter
penting karena merupakan salah satu dimensi pohon yang secara langsung dapat
diukur untuk mengukur luas penampang, luas permukaan, dan volume pohon
(Husch et al. 2003). Dalam mengukur diameter, yang lazim dipilih adalah
diameter setinggi dada karena pengukurannya paling mudah dan mempunyai
korelasi yang kuat dengan peubah lain yang penting seperti luas bidang dasar dan
volume batang. International Union of Forestry Research Organization (IUFRO)
dalam Avery (1994) merekomendasikan untuk menggunakan simbol d untuk
menyatakan diameter setinggi dada yang akan diterapkan dalam persamaan.
Namun, dalam kebanyakan buku simbol dbh kadang-kadang digunakan untuk
menyatakan diameter tersebut.
Kajian mengenai model distribusi diameter pohon adalah kajian mengenai
struktur tegakan secara horizontal dari tegakan pohon. Hal ini dapat diketahui
dengan mengkaji sebaran diameter dari setiap individu pohon yang ditemukan di
dalam petak pengamatan (Wiharto et al. 2008). Berbagai model mengenai
distribusi diameter pohon telah digunakan pada berbagai penelitian di bidang
kehutanan. Beberapa penelitian di berbagai hutan dengan fungsi kepekatan
peluang untuk memodelkan distribusi diameter pohon telah dilakukan oleh Kilkki
et al. (1989) menggunakan distribusi Weibull; Tewari and Gadow (1999)
menggunakan distribusi SBB; dan Varela et al. (2008) menggunakan distribusi

3
Beta. Pada hutan alam Liresara di Iran, Sheykholeslami et al. (2011) mempelajari
distribusi pohon pada kelas diameter menggunakan beberapa jenis model famili
distribusi yaitu distribusi Normal, Log-normal, Eksponensial, Gamma, dan
Weibull. Hasil uji Chi-square dan Kolmogrov-Smirnov menunjukkan bahwa
hanya distribusi Lognormal yang dapat menentukan distribusi diameter pohon.
Sedangkan Mohammad et al. (2009) dalam Sheykholeslami et al. (2011) meneliti
sebaran diameter setinggi dada pada tegakan tidak seumur menggunakan tiga
model distribusi yaitu distribusi Eksponensial, Gamma, dan Log-normal. Hasil tes
menunjukkan bahwa distribusi Eksponensial tidak dapat menentukan distribusi
diameter pohon dan antara dua distribusi yang lain, distribusi Gamma adalah
model yang paling tepat digunakan.
Setidaknya ada terdapat 15 jenis model famili distribusi yang telah
diketahui untuk memodelkan distribusi diameter tegakan (Nasoetion 1984 dalam
Patrycia 2009). Dalam penelitian ini, model famili distribusi dengan 4 model yaitu
distribusi Weibull (dua parameter), Gamma (dua parameter), Eksponensial negatif
(satu parameter), dan Lognormal (dua parameter) akan digunakan dan diuji pada
data diameter setinggi dada dan masing-masing nilainya diperkirakan.
Distribusi Eksponensial Negatif
Variabel acak X memiliki model distribusi eksponensial (atau eksponensial
negatif) jika fungsi kepekatan probabilitinya berbentuk :
−�
, x > θ; σ > 0
Px(x) = σ-1exp −

Distribusi eksponensial adalah tipe khusus dari distribusi Gamma dengan
parameter bentuk σ = 1 dan parameter skala θ > 0.
Asosiasi matematika dengan distribusi eksponensial dinyatakan oleh Johnson et
al. (1993) merupakan kesederhanaan alam, sehingga memungkinkan untuk
mendapatkan formula eksplisit dengan nilai-nilai fungsi dasar tanpa masalah yang
cukup sulit.
Distribusi Lognormal
Jika terdapat nilai sebesar θ seperti pada Z = log (X-θ) yang menyebar
normal, maka distribusi dari X dikatakan lognormal. Sebaran lognormal memiliki
2 parameter dan 3 parameter. Yang membedakan keduanya adalah parameter θ.
Dalam distribusi lognormal dengan 2 parameter, nilai θ dianggap bernilai 0
sedangkan yang lainnya tidak. Dalam berbagai aplikasi, yang sering digunakan
adalah famili pertama dimana θ dianggap 0 sehingga nilai x (peubah bebas)
dikatakan sebagai variabel acak positif. Fungsi kepekatan density untuk variabel x
dinyatakan dalam bentuk (Johnson et al. 1993) :
1
Px(x) = [ − � 2�]−1 exp⁡
[− { + log − � }2 ], x > θ.
2
Distribusi lognormal kadang-kadang disebut juga sebagai distribusi
antilognormal. Parameter θ dikenal dengan sebutan parameter skala dan σ adalah
parameter bentuk. Peubah acak x dinotasikan dengan X-log(θ,σ).
Distribusi Weibull
Distribusi Weibull merupakan distribusi kontinu dengan parameter bentuk
c dan parameter skala b. Fungsi kepekatan probabilitas dari model Weibull
dengan dua parameter untuk variabel acak X, menggunakan persamaan Dubey
(1967) dalam Bailey et al. (1973) adalah :
0, > 0, > 0.

= ( / )( / ) −1 exp{− / ) ;

4
Pada beberapa persamaan umum, kadang-kadang parameter ε0 dimasukkan ke
dalam fungsi kepekatan probabilitas dengan nilai parameter c (>0), b (>0), dan ε0.
Fungsi kepekatan probability dari model Weibull dengan variabel acak X
dinyatakan sebagai (Johnson et al. 1993) :

= ( / ) (( − 0 )/ ) −1 exp{−(( − ε0 )/ ) } ;
x > ε0
Fungsi distribusi Weibull akan mengalami penurunan ketika parameter bentuk
c1.
Distribusi Gamma
Sebuah variabel acak X memiliki model distribusi Gamma jika fungsi
kepekatan probability-nya berbentuk :
( − ) −1 exp⁡
[−( − )/ ]
,

=
Γ(α)
dengan: α > 0, β > 0, x > y.
Jika y = 0 maka model distribusi Gamma yang merupakan distribusi probabilitas
kontinu akan memiliki dua parameter saja yaitu parameter skala α dan parameter
bentuk β. Pada saat α < 1 maka model distribusi Weibull akan menjadi distribusi
eksponensial. Jika α bernilai positif maka model akan menjadi distribusi Erlang
(Johnson et al. 1993).
Metode Kemungkinan Maksimum
Metode kemungkinan maksimum adalah salah satu cara yang dapat
ditempuh dalam penyusunan penduga titik parameter suatu model sebaran. Cara
ini dilakukan dengan memakai fungsi kemungkinan (L), yaitu fungsi kepekatan
bersama dari sekumpulan data pengamatan. Penduga titik dari parameter (θ) untuk
sebaran tertentu diperoleh dengan memilih penduga parameter (θ) yang
menyebabkan L mencapai nilai maksimum. Penggunaan metode kemungkinan
maksimum dalam pemilihan model telah dilakukan oleh Siswadi (1981) dalam
Suhendang (1985) yaitu dalam memilih famili sebaran weibull, lognormal, dan
gamma untuk contoh tersensor (censored samples). Suhendang (1985) juga
menggunakan metode ini dalam pemilihan famili sebaran gamma, eksponensial
negatif, lognormal, dan weibull sebagai model penduga bagi struktur tegakan
hutan alam hujan tropika dataran rendah. Kaidah dalam penentuan model yang
terbaik dari beberapa pilihan famili sebaran adalah dengan memilih famili sebaran
yang memiliki nilai L tertinggi. Misalkan x1, x2, x3, … , xn adalah data
pengamatan yang bebas dan identik satu sama lain yang diambil dari populasi
yang menyebar tertentu, tetapi tidak diketahui sebarannya. Maka penduga fungsi
kemungkinan maksimum dari sekumpulan data yang menyebar menurut famili
sebaran tertentu dan fungsi kepekatan f(x, θj) dibatasi dengan Lj = πtj = f(x,θj),
dimana θj adalah penduga titik dari parameter θj.
Kegunaan Model Struktur Tegakan
Model struktur tegakan digunakan untuk menduga dimensi tegakan hutan
seperti kerapatan pohon pada setiap kelas diameter, luas bidang dasar tegakan,

5
maupun volume tegakan. Menurut Suhendang (1985) dengan melakukan
pendugaan terhadap dimensi tegakan terdapat keuntungan tersendiri, yaitu dalam
hal pengukuran dimensi pohon. Pengukuran tanpa memakai model distribusi
diameter dalam seluruh areal petak contoh setiap pohon harus diukur diameter
pohon dan frekuensinya. Tetapi apabila menggunakan model distribusi diameter
hanya diperlukan beberapa petak contoh saja. Penggunaaan model ini dapat
mengurangi volume pekerjaan sehingga lebih menghemat biaya, waktu, dan
tenaga, serta meningkatkan tingkat kepraktisan data.
Bentuk struktur tegakan horizontal hutan alam pada umumnya mengikuti
persamaan ekponensial negatif atau berbentuk huruf J terbalik, dengan model
umumnya, yaitu N = N0e-kd, dimana N = kerapatan pohon per satuan luas, d =
diameter pohon, dan N0 dan k = parameter (Adianti 2011). Beberapa penerapan
penggunaan model distribusi diameter tegakan yang mungkin dapat
dikembangkan diantaranya:
Menentukan kerapatan tegakan
Kerapatan pohon adalah banyaknya pohon yang terdapat pada satuan luas
tertentu dan seringkali disebut dengan kerapatan pohon per hektar (Suhendang
1985). Pada umumnya hutan-hutan berbeda dalam hal jumlah pohon dan volume
per-hektar, luas bidang dasar dan kriteria lainnya. Perbedaan antara tegakan yang
rapat dan jarang, lebih mudah dilihat bila menggunakan kriteria pembukaan
tajuknya. Sedangkan kerapatan berdasarkan volume, luas bidang dasar, dan
jumlah batang per-hektar dapat diketahui melalui pengukuran (Departemen
Kehutanan 1992).
Menurut Sheykholeslami (2011) distribusi diameter pohon dapat
digunakan untuk menunjukkan apakah kerapatan pohon-pohon yang lebih kecil
sudah cukup untuk menggantikan jumlah populasi pohon-pohon besar dan untuk
membantu mengevaluasi potensi kelestarian hutan. Model distribusi dapat dipakai
untuk menduga kerapatan pohon pada berbagai kelas diameternya apabila model
struktur tegakan beserta parameternya dan jumlah pohon total diketahui
(Suhendang 1985). Jika kerapatan pohon total dinyatakan dengan N, sedang
model distribusi tegakan disandikan dengan f(x), dimana x adalah diameter (cm),
maka kerapatan pohon pada kelas diameter ke-i dengan diameter tengah xi adalah
sebagai berikut:
�1 =



� +2



� −2



� = �(

1




2

1


+ )(�)
2

k adalah selang kelas diameter (Prihanto 1987 dalam Adianti 2011).
Regenerasi Alami Hutan Alam
Proses regenerasi alami dalam hutan dapat terjadi setelah ada cahaya yang
masuk ke permukaan tanah. Terciptanya sebuah celah (gap) atau bukaan hutan
yang terjadi karena tumbangnya atau matinya sebatang pohon besar merupakan
permulaan terjadinya regenerasi atau permudaan Richards (1964) dalam Wibowo
(2002). Direktoral Jendral Pengusahaan Hutan (1990) dalam Utami (2007)
membedakan permudaan tegakan suatu jenis ke dalam empat stadium
pertumbuhan, sebagai berikut:

6
1. Seedling (semai) adalah permudaan yang tingginya kurang dari 1,5 m
2. Sapling (pancang) adalah permudaan yang berukuran tinggi lebih dari 1,5 m
dengan diameter kurang dari 10 cm
3. Pole (tiang) adalah pohon muda yang berdiameter 10-19 cm
4. Tree (pohon) adalah pohon dewasa dengan diameter minimal 20 cm.
Whitemore (1984) dalam Wibowo (2002) mengemukakan bahwa siklus
pertumbuhan dalam rangka regenerasi pohon di hutan hujan tropika dapat dibagi
kedalam tiga fase, yaitu fase celah, fase pengembangan dan fase tua. Fase celah
mengandung ukuran semai dan pancang, fase pengembangan terdiri dari tiang dan
pohon muda sedangkan fase tua terdiri dari pohon-pohon besar dan tua. Suatu
komunitas atau ekosistem hutan yang terbentuk secara alami akan memiliki
estetika alami dan cirri-ciri khas spesies setempat yang pada umumnya lebih
mampu beradaptasi terhadap kondisi tempat tumbuhnya dibandingkan dengan
spesies-spesies tumbuhan asing (exotic). Oleh karena itu, keberadaan anakan
spesies pohon dalam hutan akan mencerminkan kemampuan hutan untuk
beregenerasi, sedangkan banyaknya spesies pohon akan mencerminkan potensi
keanekaragaman hayati sekaligus potensi plasma nutfah dalam kawasan hutan
(Indriyanto 2006). Untuk mengetahui kondisi komunitas hutan harus dilakukan
survey vegetasi dengan menggunakan salah satu dari beberapa metode
pengambilan contoh untuk analisis komunitas tumbuhan. Kemudian, kondisi
komunitas tumbuhan hutan dapat dideskripsikan berdasarkan parameter yang
diperlukan dan dianalisis untuk menginterpretasikan perubahan yang terjadi.
Menurut Gopal dan Bhardwaj (1979) dalam Indriyanto (2006), untuk kepentingan
deskripsi suatu komunitas tumbuhan diperlukan minimal 3 macam parameter
kuantitatif antara lain: densitas, frekuensi, dan dominansi.
Densitas
Densitas populasi adalah besarnya populasi dalam suatu unit ruang yang
pada umumnya dinyatakan sebagai jumlah individu-individu dalam setiap unit
luas atau volume (Gopal dan Bhardwaj 1979 dalam Indriyanto 2006). Densitas
populasi disebut juga sebagai kerapatan atau kepadatan populasi. Indriyanto
(2006) berpendapat bahwa densitas populasi sering dipakai untuk mengetahui
perubahan yang terjadi dalam populasi pada saat tertentu. Perubahan yang
dimaksud adalah berkurang atau bertambahnya jumlah individu dalam setiap unit
luas atau volume.
Frekuensi
Di dalam ekologi, frekuensi dipergunakan untuk menyatakan proporsi
antara jumlah sample yang berisi suatu spesies tertentu terhadap jumlah total
sample. Sesungguhnya frekuensi dapat menggambarkan tingkat penyebaran
spesies dalam habitat yang dipelajari meskipun belum dapat menggambarkan
tentang pola penyebarannya (Indriyanto 2006). Wyatt-Smith (1963) dalam
Wibowo (2002) berpendapat bahwa ketersediaan permudaan pohon komersial
dinilai mencukupi apabila nilai frekuensi relatif dalam plot contoh yang diambil
sebesar 40% untuk stadium semai, 60% untuk stadium pancang, dan 75% untuk
stadium tiang.
Dominansi
Spesies tetumbuhan yang dominan dalam komunitas dapat diketahui
dengan mengukur dominansi tersebut. Ukuran dominansi dapat dinyatakan

7
dengan beberapa parameter antara lain biomassa, penutupan tajuk, luas basal area,
indeks nilai penting, dan perbandingan nilai penting (summed dominance ratio).
Studi kondisi vegetasi hutan selain bertujuan untuk mengetahui potensi spesies
tumbuhan penyusun vegetasi hutan, juga sangat penting untuk memantau proses
regenerasi hutan secara alami, memantau perubahan yang terjadi pada struktur
vegetasi hutan, dan mengamati tingkat kerusakan hutan (Indriyanto 2006).
Stratifikasi Tajuk
Stratifikasi atau pelapisan tajuk merupakan susunan tetumbuhan secara
vertical di dalam suatu komunitas tumbuhan atau ekosistem hutan. Tiap lapisan
dalam stratifikasi disebut stratun atau strata (Indriyanto 2006). Selanjutnya
dikatakan bahwa stratifikasi terjadi karena dua hal penting yang dimiliki atau
dialami oleh tetumbuhan dalam persekutuan hidupnya dengan tetumbuhan
lainnya, yaitu sebagai berikut:
1. Akibat persaingan antar tumbuhan sehingga muncullah spesies pohon yang
mampu bersaing, memiliki pertumbuhan kuat, dan menjadi spesies yang
dominan dan lebih berkuasa disbanding spesies lainnya.
2. Akibat sifat toleransi spesies pohon terhadap intensitas radiasi matahari.
Pernyataan di atas didukung oleh Onrizal (2008) yang menyatakan bahwa
ciri utama hutan hujan tropika adalah adanya lapisan-lapisan tajuk pohon
(stratifikasi) yang terjadi karena perbedaan tinggi pohon/tumbuhan. Stratifikasi
terbentuk melalui mekanisme persaingan dan pergantian tumbuhan yang
merupakan bukti adanya dinamika masyarakat tumbuh-tumbuhan. Akibat
persaingan, jenis-jenis tertentu lebih berkuasa (dominan) daripada jenis yang lain.
Pohon-pohon dominan dari lapisan teratas mengalahkan atau menguasai pohonpohon yang lebih rendah. Menurut Soerianegara dan Indrawan (1998), hutan
hujan tropika bisa memiliki lima lapisan (stratum) tajuk, yaitu lapisan A, B, C, D,
dan E. Lapisan A, B, dan C merupakan lapisan tajuk dari tingkat pohon, lapisan D
merupakan lapisan perdu dan semak, sedangkan lapisan E adalah lapisan tumbuhtumbuhan penutup tanah (ground cover).
Lapisan A yaitu lapisan teratas, tinggi total pohon >30 m, tajuk
diskontinyu (tersebar), pohon tinggi, lurus dan batang bebas cabang tinggi, dan
pada umumnya jenis semi-toleran. Lapisan B yaitu lapisan kedua, tinggi total
pohon 20-30 m, tajuk kontinyu (rapat), pohon banyak cabang, batang bebas
cabang tidak terlalu tinggi, dan jenis toleran. Lapisan C yaitu lapisan ketiga, tinggi
total pohon 4-20 m, tajuk kontinyu (rapat), rendah, kecil, dan banyak cabang.
Lapisan D yaitu tumbuhan berupa perdu dan semak, tinggi 1-4 m. Sedangkan
lapisan E yaitu tumbuhan penutup tanah dan tinggi 0-1 m. Lebih lanjut dikatakan
bahwa batas tinggi lapisan tersebut berbeda-beda tergantung pada tempat tumbuh
dan komposisi hutan. Antara lapisan A dan lapisan B jelas dapat dibedakan
berdasarkan kekontinyuan tajuk, lapisan B dan lapisan C kurang jelas yang hanya
dapat dibedakan berdasarkan tinggi pohon. Tidak semua hutan mempunyai ketiga
lapisan di atas, ada yang hanya mempunyai lapisan A-B atau A-C saja.

8

METODE
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Berdasarkan pembagian wilayah administrasi pemerintahan, areal kerja
IUPHHK PT. Salaki Summa Sejahtera terletak di dalam wilayah Kecamatan
Siberut Utara dan Siberut Barat, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi
Sumatera Barat. Secara geografis terletak pada 00°95’ sampai 01°15’ Lintang
Selatan dan 98°40’ sampai 99°15’ Bujur Timur. Areal kerja termasuk ke dalam
fungsi hutan Produksi Tetap dengan luas total sebesar 48.420 hektar dan
ketinggian tempat berkisar dari 50 sampai 340 m dpl. Jenis tanah yang
mendominasi pada areal ini adaa tiga jenis tanah yakni tanah podsolik merah
kuning, tanah latosol, dan tanah alluvial (PT. Salaki Summa Sejahtera 2008).
PT. Salaki Summa Sejahtera beriklim basah (tipe A) yaitu iklim tropis
dengan curah hujan tanpa bulan kering (< 60 mm) merata sepanjang tahun. Data
dari stasiun Metereologi Sicincin-Padang Pariaman diperoleh nilai Intensitas
Hujan adalah 18,24 mm/hh, curah hujan rata-rata adalah sebesar 386,21 mm/bulan
dengan tingkat minimum yang terjadi pada bulan Juni (269,4 mm/bulan) dan
maksimum pada bulan November (478,3 mm/bulan). Jenis yang telah ditemukan
di areal ini ada sebanyak 143 jenis dan dikelompokkan menjadi empat yakni
kelompok meranti, rimba campuran, kayu indah, dan kayu dilindungi (PT. Salaki
Summa Sejahtera 2008)
Metode Pengambilan Data
Pengambilan sampel data dilakukan di areal kerja PT. Salaki Summa
Sejahtera, Pulau Siberut, Sumatera Barat pada bulan Mei 2012. Sampel data
diambil dari hutan primer dan berbagai kondisi hutan bekas penebangan (20
tahun, 4 tahun, dan 1 tahun). Masing-masing kondisi hutan dibuat petak ukur
berbentuk jalur ukuran 20 m x 500 m (1 hektar) dengan 3 kali ulangan. Penentuan
arah jalur tegak lurus kontur dan peletakannya dengan cara pusposive sampling
(ditentukan secara subjektif berdasarkan karakteristik tertentu). Setiap jalur dibagi
menjadi 25 petak berukuran 20 m x 20 m dan didalamnya dibuat petak kecil
berukuran 2 m x 2 m untuk pengamatan semai dan 5 m x 5 m untuk pengamatan
pancang, sedangkan tingkat tiang dan pohon dilakukan pada petak ukur tersebut.
Kegiatan risalah tegakan tinggal menggunakan metode kombinasi yaitu metode
garis berpetak untuk pengamatan vegetasi berupa semai dan pancang, sedangkan
metode jalur untuk pengamatan vegetasi tingkat tiang dan pohon. Data yang
dikumpulkan berupa nama dan jumlah spesies, serta diameter khusus tingkat tiang
dan pohon (Φ ≥ 10 cm). Pengenalan jenis vegetasi yang ditemukan di lapangan
terlebih dahulu menggunakan nama lokal dengan bantuan pengenal jenis pohon,
sedangkan nama botani diidentifikasi di Bagian Botani Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Bogor.
Pengambilan data untuk keperluan stratifikasi tajuk dilakukan dengan
mengukur proyeksi tajuk ke tanah pada empat arah yang berbeda-beda yaitu tajuk
terpanjang dan terpendek. Plot pengamatan untuk masing-masing kondisi hutan
dibuat dengan ukuran 20 m x 120 m. Data yang diambil pada semua pohon

9
berdiameter ≥10 cm adalah posisi (koordinat) pohon dalam plot yang diukur dari
arah yang sama dan berurutan dengan mengukur jarak dari titik awal pengukuran
ke masing-masing pohon (lebar jalur pengamatan sebagai sumbu-x dan panjang
jalur sebagai sumbu-y), tinggi total dan tinggi bebas cabang, diameter pohon
setinggi dada, panjang tajuk pohon yang diukur dari batang sampai tepat di bawah
ujung tajuk pohon, serta arah condong pohon. Penggambaran sketsa dari bentuk
percabangan utama dan sketsa masing-masing pohon dilakukan di lapangan.
Analisis Data
Struktur Tegakan
Analisis data dilakukan untuk memperoleh persamaan umum struktur
tegakan. Hal yang lebih dulu harus dilakukan adalah mengklasifikasikan data ke
dalam kelompok berdasarkan pertimbangan jenis dominan dan komersil baik
komposisi maupun eksploitasi yaitu kelompok dipterocarpaceae, kelompok nondipterocarpaceae, dan kelompok seluruh jenis. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui perbandingan distribusi diameter pohon pada masing-masing
kelompok. Selanjutnya, diameter pohon dikelompokkan ke dalam kelas diameter
dengan interval 10 cm. Kelas diameter terendah dimulai dari 10-20 cm dan
tertinggi adalah 160-170 cm. Data pengukuran dipetakan pada koordinat salib
sumbu dengan kelas diameter sebagai absis (sumbu-x) dan jumlah pohon per
hektar sebagai ordinat (sumbu-y) dengan tujuan memperoleh gambaran bentuk
sebaran jumlah pohon pada berbagai kelas diameter. Penggambaran dilakukan
untuk setiap petak contoh.
Tahapan berikutnya yaitu mencari model struktur tegakan yang sesuai
menggunakan 2 pendekatan:
1.
Persamaan regresi
Pendugaan struktur tegakan menggunakan pendekatan persamaan regresi.
Menurut Davis et al. (2001), persamaan regresi pertama kali dicobakan oleh
Meyer (1952) dalam menduga struktur tegakan hutan tidak seumur. Bentuk
persamaan yang digunakan adalah:
N = k.e-aD
keterangan:
N
= jumlah pohon per kelas diameter
e
= bilangan Napier (2,7183)
a
= konstanta (penurunan jumlah pohon setiap kenaikan diameter pohon)
D
= diameter pohon
Bentuk persamaan ini jika ditransformasikan ke dalam bentuk linear akan
menjadi: ln N = ln k – aD, yang identik dengan model umum regresi sederhana
yaitu: Y = b0 + b1X.
2.
Model famili sebaran
Pendugaan model struktur tegakan menggunakan model famili sebaran
dilakukan dengan menggunakan metode kemungkinan maksimum (maximum
likelihood). Model yang dicobakan pada penelitian ini antara lain famili sebaran
eksponensial negatif, gamma, lognormal, dan weibull. Semua model tersebut
dicobakan sebagai model penduga bagi sebaran diameter tegakan. Ada beberapa
tahapan yang harus dilakukan sehingga diperoleh suatu model famili sebaran

10
terbaik yaitu menduga titik parameter masing-masing model famili sebaran yang
dipilih, mencari nilai fungsi kemungkinan maksimum berdasarkan parameter yang
telah diperoleh, serta menentukan model terbaik berdasarkan fungsi kemungkinan
maksimum tertinggi. Tahapan tersebut dilakukan pada keempat model
menggunakan aplikasi komputer dengan bantuan software MATLAB.
Model sebaran diameter yang telah diperoleh digunakan menduga
kerapatan tegakan melalui persamaan berikut:
�(

, )

=





Persamaan tersebut dapat juga ditulis dalam bentuk :

�( , ) = �
keterangan:
N(a,b) = kerapatan pohon dugaan pada selang diameter xa sampai xb
N
= kerapatan pohon total dari hasil pengamatan
f(x) = fungsi kepekatan famili sebaran terpilih
Potensi Regenerasi Alami Vegetasi
Gambaran tentang sifat dominansi jenis, keanekaragaman, dan potensi
regenerasi alami tegakan dianalisis menggunakan parameter kuantitatif, meliputi
kerapatan, frekuensi, dan dominansi. Penjumlahan kerapatan relatif dan frekuensi
relatif menghasilkan Indeks Nilai Penting (INP) untuk semai dan pancang,
sedangkan jika dijumlahkan lagi dengan dominansi relatif akan menghasilkan INP
untuk tiang dan pohon. INP digunakan untuk analisis selanjutnya yakni untuk
memperoleh tingkat keanekaragaman dengan Indeks Shannon dan untuk
memperoleh tingkat dominansi (penguasaan) komunitas tumbuhan dengan Indeks
Simpson, menggunakan persamaan berikut:
Indeks Shannon atau Shannon index of general diversity (Odum 1993):
ni
ni
H= −∑
log
N
N
Indeks Simpson atau Simpson index of dominance (Odum 1993):
ID =

ni
N

2

keterangan:
ni
= INP spesies ke-i
N
= Total INP
Stratifikasi Tajuk
Stratifikasi tajuk disajikan dalam suatu diagram atau gambar yang
menggambarkan proyeksi tegakan dari atas (proyeksi tajuk-tajuk pada lantai
hutan) dan proyeksi tegakan dari muka atau samping menggunakan aplikasi
komputer dengan bantuan software SLIM. Parameter yang digunakan untuk
menunjukkan stratifikasi tajuk adalah jenis pohon, posisi/letak pohon, tinggi total
dan tinggi bebas cabang, diameter setinggi dada, bentuk dan ukuran proyeksi
tajuk dari lantai hutan, serta arah condong pohon. Output yang dihasilkan mampu
menunjukkan perbedaan gambaran mengenai sebaran individu pohon pada hutan
primer dan berbagai hutan bekas penebangan (20 tahun, 4 tahun, dan 1 tahun).

11

HASIL DAN PEMBAHASAN
Struktur Tegakan
Kerapatan Tegakan Menurut Kelas Diameter Pohon
Kerapatan tegakan menyatakan banyaknya individu pohon dalam suatu
tegakan per satuan luas sehingga dapat menggambarkan kondisi tegakan hutan.
Pada penelitian ini, jumlah individu pohon tersebar tidak merata pada setiap kelas
diameter, semakin berkurang bahkan tidak ada sama sekali hingga ke kelas
diameter terbesar, dan penurunannya terjadi secara seragam (Gambar 1A). Total
individu terbanyak ditemukan di hutan primer yaitu 266 individu/ha, di hutan
bekas penebangan 20 tahun sebanyak 260 individu/ha, di LOA 1 tahun sebanyak
208 individu/ha, dan yang paling sedikit terdapat di LOA 4 tahun yaitu 200
individu/ha yang tersebar pada berbagai kelas diameter. Hal ini mengindikasikan
bahwa kegiatan pemanenan hutan telah mempengaruhi perubahan struktur
tegakan hutan sehingga menunjukkan perbedaan jumlah individu antara hutan
primer dengan berbagai hutan bekas penebangan.
160
140
H. Primer
LOA 20 tahun
LOA 4 tahun
LOA 1 tahun

Pohon / ha

120
100
80
60
40
20
0
10-20

Pohon / ha

A

20-30

30-40

40-50

50-60

60-70

70-80

80-90

> 90

Kelas Diameter (cm)
160
140
120
100
80
60
40
20
0

H. Primer
LOA 20 tahun
LOA 4 tahun
LOA 1 tahun

10-20

B
Gambar 1

20-30

30-40

40-50

50-60

60-70

70-80

80-90

> 90

Kelas Diameter (cm)

Kerapatan pohon pada hutan primer dan hutan
bekas tebangan berdasarkan kelompok seluruh
jenis (A) dan kelompok dipterocarpaceae (B)

12
Hutan bekas penebangan sama-sama terganggu akibat pemanenan hutan,
namun kondisi struktur tegakannya berbeda dan tidak selalu sama meskipun
berada di tempat yang sama. Samsoedin dan Heriyanto (2010) menyatakan jumlah
batang per hektar di hutan bekas penebangan dipengaruhi oleh jumlah tegakan
awal sebelum ditebang, intensitas penebangan yaitu jumlah pohon yang ditebang
dalam kurun waktu tertentu. Sedangkan Ewusie (1980) dalam Samsoedin dan
Heriyanto (2010) menyatakan bahwa sebaran individu pohon pada berbagai kelas
diameter bervariasi akibat adanya perbedaan kemampuan pohon dalam
memanfaatkan sumberdaya, diantaranya yaitu energi matahari, unsur hara/mineral
air, serta sifat kompetisi. Pernyataan ini mendukung perbedaan kondisi struktur
tegakan yang terjadi antara hutan bekas penebangan 20 tahun, 4 tahun, dan 1
tahun.
Kelompok dipterocarpaceae (Gambar 1B), terdapat individu pohon yang
hampir ada di semua kelas diameter bahkan hingga > 90 cm. Namun, jumlah
individu yang mendominasi hanya pada kelas diameter 10-20 cm saja. Pada kelas
diameter 20-30 cm mulai terlihat kurva perlahan-lahan menurun hingga terletak
pada posisi paling bawah mulai dari kelas diameter 50-60 cm. Kurva kelompok
dipterocarpaceae menunjukkan penurunan yang tidak konsisten yaitu kurva yang
kadang-kadang naik turun dan terlihat lebih jelas pada kurva hutan bekas
penebangan. Ada pohon-pohon tertentu yang tidak dapat ditebang di lapangan
karena faktor-faktor yang tidak memungkinkan untuk ditebang pada saat
dilakukan kegiatan pemanenan kayu. Salah satu faktor adalah topografi dan
kemiringan lereng. Pada saat topografi tidak mendukung, maka pohon dengan
diameter tertentu yang seharusnya ditebang akan diabaikan dan dibiarkan hidup
sehingga pohon-pohon pada kelas diameter tertentu memiliki jumlah individu
yang lebih banyak.
Jenis yang paling banyak ditemukan di areal hutan primer dan hutan bekas
penebangan adalah jenis yang berasal dari kelompok non-dipterocarpaceae. Jenis
kelompok ini tidak semua dapat dipanen. Jenis yang dipanen adalah jenis komersil
dan yang berasal dari kelompok dipterocarpaceae dengan diameter > 50 cm. Ada
perbedaan kerapatan pohon pada diameter pohon terkecil hingga terbesar. Terlihat
bahwa semakin besar diameter suatu pohon, maka semakin sedikit jumlah
individu pohon pada areal hutan tertentu yang menurun secara eksponensial. Hal
ini menunjukkan bahwa populasi pohon di areal hutan tersebut terdiri atas
berbagai kelas diameter dengan didominasi oleh pohon berdiameter kecil
sehingga dapat menjaga kelestariannya di masa yang akan datang karena memiliki
regenerasi yang tinggi.
Distribusi Diameter Pohon Menggunakan Pendekatan Model Famili Sebaran
Model famili sebaran terbaik diperoleh berdasarkan kemungkinan
maksimum tertinggi dengan nilai parameter masing-masing fungsi sebaran harus
diketahui lebih dahulu. Parameter yang diperoleh melalui model famili sebaran
dalam penelitian ini menunjukkan nilai yang hampir sama di semua kondisi hutan.
Model famili sebaran eksponensial menghasilkan satu parameter saja sedangkan
model famili sebaran lainnya menghasilkan dua parameter. Model terbaik dilihat
dari nilai kemungkinan maksimum tertinggi seperti yang telah disajikan pada
Tabel 1. Pada kelompok seluruh jenis, nilai kemungkinan maksimum pada urutan
tertinggi hingga terendah adalah berturut-turut dimiliki oleh model famili sebaran

13
eksponensial negatif, lognormal, gamma, dan weibull. Hal yang sama ditunjukkan
oleh kelompok dipterocarpaceae dan non-dipterocarpaceae bahwa nilai
kemungkinan maksimum tertinggi tetap diduduki oleh model eksponensial
negatif. Dengan demikian, model tersebut dapat dikatakan sebagai penduga
terbaik yang dapat menggambarkan struktur tegakan hutan primer maupun hutan
bekas penebangan di areal PT. Salaki Summa Sejahtera. Sedangkan model-model
yang lainnya kurang tepat untuk menggambarkan struktur tegakan tersebut.
Tabel 1

Nilai kemungkinan maksimum model famili sebaran eksponensial,
gamma, lognormal, dan weibull
Kemungkinan maksimum

Kelompok

Seluruh jenis

Dipterocarpaceae

Non
dipterocarpacea

Kondisi
hutan

Eksponensial
negatif

Gamma

Lognormal

Weibul

Model
Terpilih

Hutan primer

-1,80E+03

-6,57E+03

-4.81E+03

-7.36E+04

Eksponensial

LOA 20

-1,79E+03

-6,53E+03

-4.73E+03

-7.24E+04

Eksponensial

LOA 4

-1,31E+03

-4,71E+03

-3.57E+03

-5.27E+04

Eksponensial

LOA 1

-1,38E+03

-5,08E+03

-3.72E+03

-5.52E+04

Eksponensial

Hutan primer

-538,29

-1,07E+03

-1.34E+03

-1.86E+04

Eksponensial

LOA 20

-633,32

-1,23E+03

-1.54E+03

-2.23E+04

Eksponensial

LOA 4
LOA 1

-449,54
-507,65

-883,3921
-1,05E+03

-1.15E+03
-1.32E+03

-1.56E+04
-1.79E+04

Eksponensial
Eksponensial

Hutan primer

-852,61

-4059,1

-2429

-34024

Eksponensial

LOA 20

-1124,60

-5244,3

-45882

-45882

Eksponensial

LOA 4

-1245,90

-5900,7

-3490.8

-51034

Eksponensial

LOA 1

-868,11

-4284,7

-4059.1

-34004

Eksponensial

Model famili sebaran terpilih diterapkan dalam menduga kerapatan
tegakan (pohon/ha). Hasil perhitungan kerapatan dengan menggunakan model
eksponensial negatif disajikan untuk kelompok seluruh jenis (Gambar 2) dan
kelompok dipterocarpaceae (Gambar 3). Distribusi diameter pohon (> 10 cm) di
hutan primer maupun hutan bekas penebangan menunjukkan bentuk yang sama
yaitu huruf “J” terbalik dengan jumlah pohon per satuan luas semakin berkurang
dengan bertambahnya kelas diameter pohon. Hal ini dikarenakan semakin besar
pohon maka semakin luas ruang yang dibutuhkan pohon untuk tumbuh. Pada
kelompok seluruh jenis jumlah pohon aktual yang dijumpai di lapangan mulai
menurun secara ekstrim pada kelas diameter 20-30 cm hingga pada kelas diameter
> 50 cm jumlah pohon semakin sedikit dan selanjutnya menjadi semakin datar
pada kelompok diameter yang lebih besar. Hal ini terjadi untuk kelompok seluruh
jenis, kelompok dipterocarpaceae, dan kelompok non-dipterocarpaceae. Patrycia
(2010) menyatakan individu pohon yang tumbuh pada masa awal pertumbuhan
cukup banyak dan seiring berjalannya waktu energi yang diperlukan untuk
pertumbuhan semakin besar karena persaingan antar individu untuk mendapatkan
sinar matahari, air, mineral, dan pertahanan terhadap gangguan luar seperti hama
dan penyakit. Persaingan seperti ini akan terus berlanjut dan terjadilah proses
seleksi alam, yaitu kematian pada individu yang tidak dapat bersaing. Secara
alami persaingan ini akan mengakibatkan pengurangan jumlah individu yang
bertahan hidup pada setiap tingkat kelas diameter.

14
160

160

140

140

Kerapatan
dugaan

80
60

Kerapatan
aktual

40

100
Kerapatan
dugaan

80
60

Kerapatan
aktual

40

20

20

0

0
0

50

A

Pohon / ha

Pohon / ha

120

100

100

150

200

0

160

140

140

120

120

100
Kerapatan
dugaan

60

Kerapatan
aktual

40

150

200

100
Kerapatan
dugaan

80
60

Kerapatan
aktual

40

20

20

0

C

100
Diameter (cm)

160

80

50

B

Diameter (cm)

Pohon / ha

Pohon / ha

120

0
0

Gambar 2

50

100
150
Diameter (cm)

200

D

0

50

100
150
Diameter (cm)

200

Kerapatan aktual dan dugaan berdasarkan model famili sebaran
kelompok seluruh jenis di hutan primer (A), LOA 20 tahun (B),
LOA 4 tahun (C), dan LOA 1 tahun (D)

45

40

40

35

35

30

30

25

Kerapatan
dugaan

20

Kerapatan
aktual

15

25

5

5

0

0
50

100
Diameter (cm)

150

200

45

40

40

35

35

30

30

Kerapatan
aktual

20

Kerapatan
dugaan

15

50

25

10
5

0

200

Kerapatan
aktual

15

5

100
150
Diameter (cm)

Kerapatan
dugaan

20

10

C

0

B

45

25

Kerapatan
aktual

15
10

0

Kerapatan
dugaan

20

10

A

Pohon / ha

Pohon / ha

45

Pohon / ha

Pohon / ha

15

0
0

Gambar 3

50

100
150
Diameter (cm)

200

D

0

50

100
150
Diameter (cm)

200

Kerapatan aktual dan dugaan berdasarkan model famili sebaran
kelompok dipterocarpaceae di hutan primer (A), LOA 20 tahun
(B), LOA 4 tahun (C), dan LOA 1 tahun (D)

16
Distribusi diameter pohon menggunakan model eksponensial negatif
Tingkat kerapatan dan ketersediaan tegakan setiap tingkat permudaan
dapat dilihat dari distribusi jumlah individu pohon pada setiap kelas diameter
dalam tegakan hutan. Penelitian ini dicobakan juga suatu model yang disusun
dengan menggunakan fungsi eksponensial negatif. Model ini cukup baik dalam
menjelaskan hubungan diameter pohon dengan jumlah pohon per hektar. Kondisi
hutan pada masa sekarang ini akan menunjukkan perbedaan pada masa yang akan
datang di areal yang sama karena pertumbuhan pohon-pohon yang terjadi dari
waktu ke waktu tidak sama meskipun areal tersebut belum diganggu. Perbedaan
akan terlihat lebih nyata pada areal hutan sebelum dan setelah diganggu, dalam
hal ini adanya penebangan. Berdasarkan model yang diperoleh dengan
mentransformasikan persamaan eksponensial negatif ke dalam persamaan regresi
linier, perbedaan model antara hutan primer dan hutan bekas penebangan
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2

Model persamaan Meyer
penebangan beserta nilai R2

Kelompok

Seluruh Jenis

Dipterocarpaceae

Non
dipterocarpaceae

hutan

primer

dan

bekas

Kondisi Hutan

Persamaan Meyer

R2

Hutan Primer

N = 82,8294 e-0,03597D

75%

-0,03695D

82%

-0,04131D

85%
71%
61%
64%
66%
52%
91%
81%
80%
77%

LOA 20 tahun
LOA 4 tahun
LOA 1 tahun
Hutan Primer
LOA 20 tahun
LOA 4 tahun
LOA 1 tahun
Hutan Primer
LOA 20 tahun
LOA 4 tahun
LOA 1 tahun

N = 99,5590 e

N = 87,5590 e
N = 55,8605 e-0,03213D
N = 15,1637 e-0,02120D
N = 20,1238 e-002170D
N = 17,1101 e-0,02570D
N = 13,6813 e-0,02120D
N = 173,545 e-0,05861D
N = 145,270 e-0,06047D
N = 107,569 e-0,05812D
N = 63,1695 e-0,04263D

N = kerapatan pohon (N/ha)
D = diameter pohon (cm)

Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa model distribusi diameter yang
diperoleh pada kelompok seluruh jenis menghasilkan nilai R2 berkisar antara
71%-85%. Pada saat dilakukan pengelompokan data ke dalam kelas diameter
tertentu, nilai R2 yang diperoleh berbeda. Kelompok dipterocarpaceae nilai R2
lebih rendah yaitu berkisar antara 52%-66%, sedangkan pada kelompok nondipterocarpaceae menghasilkan R2 paling besar yaitu berkisar antara 77%-91%.
Namun, secara keseluruhan semua model tersebut memiliki nilai R2 yang cukup
besar. Hal ini menunjukkan bahwa model-model yang diperoleh tersebut layak
dijadikan sebagai penduga model bagi distribusi diameter pohon. Model yang
menggambarkan distribusi diameter pohon di hutan alam dan hutan bekas
penebangan berdasarkan model yang dihasilkan, disajikan pada Gambar 4 dan
Gambar 5.

17
200

180

180

Kerapatan (ind/ha)

160

N dugaan

140

N aktual

120
100
80
60

Kerapatan (ind/ha)

200

N dugaan

140

N aktual

120
100
80
60

40

40

20

20

0

0
0

20 40 60 80 100 120 140 160 180
Diameter (cm)

A

0

20 40 60 80 100 120 140 160 180
Diameter (cm)

B

200

200

180

180

160

160

140

N dugaan

120

N aktual

100
80
60

Kerapatan (ind/ha)

Kerapatan (ind/ha)

160

40

140

N dugaan

120

N aktual

100
80
60
40