Emisi Karbon Potensial Akibat Pemanenan Kayu Secara Mekanis di Hutan Alam Tropis (Kasus Konsesi Hutan PT. Salaki Summa Sejahtera, Pulau Siberut, Provinsi Sumatera Barat)

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Hutan merupakan sumberdaya alam milik negara yang harus dikelola secara lestari guna kemakmuran dan kesejahteraan rakyat masa sekarang maupun yang akan datang. Hutan dapat memberikan manfaat tangible berupa hasil kayu dan hasil hutan bukan kayu serta manfaat intangible antara lain : penghasil oksigen, pengatur siklus air, penyimpanan karbon, dan pengatur iklim mikro (Arif 2001). Pemanenan hutan kayu, khususnya di hutan alam selain menghasilkan kayu juga menyebabkan kerusakan pada hutan itu sendiri yang berpotensi menjadi emisi karbon.

Isu perubahan iklim/pemanasan global yang mulai terasa akibat meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (CO2, CO, CH4, NO2) ke udara

merupakan isu yang hangat diperbincangkan di dunia Internasional. Pemanasan global sendiri dapat diartikan sebagai naiknya temperatur muka bumi secara perlahan yang berakibat pada perubahan iklim secara global yang berdampak negatif pada keberlangsungan kehidupan makhluk hidup di muka bumi termasuk manusia.

Tekad pemerintah Indonesia yang menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 26%. Untuk merealisasikan target tersebut, maka semua sektor termasuk kehutanan harus memperhatikan emisi karbonnya, yaitu dengan cara melakukan pengelolaan yang baik dan menentukan kuantitas produksi yang optimal.

Pemanenan hutan (penebangan dan penyaradan) yang dilakukan di hutan alam akan menimbulkan berbagai dampak yang tidak dapat dihindari, antara lain: kerusakan tegakan tinggal, keterbukaan lantai hutan, menurangi stok karbon, meningkatnya kepadatan tanah dan lain-lain. Kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan hutan dapat berupa kerusakan tajuk, batang, banir/akar dan rebah/tumbang. Kerusakan yang terjadi memungkinkan tegakan tinggal tersebut tidak dapat kembali seperti semula (keadaan normal). Kerusakan tegakan tinggal yang terjadi disebabkan oleh tertimpanya pohon lain (pohon inti) oleh pohon yang


(2)

ditebang dan kegiatan penyaradan log yang selain merusak tegakan tinggal juga membuka lantai hutan. Penebangan harus memperhatikan besarnya intensitas penebangan yang akan dilakukan karena akan menyebabkan tingkat kerusakan yang berbeda-beda.

Dalam penyaradan yang perlu dipertimbangkan yaitu : sistem penyaradan, kondisi jalan sarad, dan penggunaan alat sarad. Penggunaan bulldozer sebagai alat sarad juga berpengaruh besar dalam kerusakan tegakan tinggal terutama pada pohon-pohon yang masih berdiri tertabrak oleh bulldozer yang bermanuver saat penyaradan. Menurut Elias (1998) agar kerusakan akibat penebangan dan penyaradan kayu dapat ditekan serendah mungkin maka diperlukan sinkronisasi antara jaringan jalan sarad, arah penyaradan, dan arah rebah pohon. Arah rebah pohon yang baik untuk kelancaran penyaradan adalah yang berbentuk pola sirip ikan terhadap arah penyaradan. Penentuan arah rebah pohon sangat menentukan kerusakan yang terjadi.

Pemanenan hutan di hutan alam tropis (Indonesia) menggunakan sistem silvikultur TPTI, dimana dalam penebangan kayu menggunakan batas/limit diameter dan jenis tertentu (jenis komersial). Pemanenan kayu yang diperbolehkan pada pohon jenis komersil yang memiliki diameter ≥ 40 cm. Penebangan dengan intensitas tinggi akan menimbulkan kerusakan tegakan tinggal yang besar. Oleh karena itu, kegiatan pemanenan harus dilakukan dengan rencana yang baik, sehingga tingkat kerusakan tegakan tinggal dapat diminimalisasi. Lokasi areal kerja PT. Salaki Summa Sejahtera berada di kawasan Cagar Biosfer yang telah ditetapkan oleh UNESCO yang harus menekan kerusakan serendah mungkin. Penerapan metode Reduce Impact Logging (RIL) adalah salah satu cara yang baik untuk menekan tingkat kerusakan akibat pemanenan.

Setiap kegiatan pemanenan kayu akan menurangi stok karbon dalam hutan, karena tidak semua bagian pohon yang ditebang dapat dimanfaatkan. Bahkan sebagian besar akan ditinggalkan di dalam hutan, antara lain : tajuk, batang yang rusak, tunggak, pohon-pohon kecil yang rusak (kerusakan tegakan tinggal), tumbuhan bawah dan lain-lain yang nantinya dapat terdekomposisi dan berpotensi melepaskan karbon ke udara sehingga simpanan karbon tegakan hutan


(3)

mengalami penurunan. Lasco (2002) menyatakan bahwa aktifitas penebangan hutan untuk pemanenan kayu berperan dalam menurunkan simpanan karbon di atas permukaan tanah minimal sebesar 50%. Pada hutan tropis Asia penurunan simpanan karbon akibat aktivitas pemanenan kayu berkisar 22-67%, di Indonesia diperkirakan sebesar 38-75%.

Untuk itu, penelitian tentang kerusakan tegakan tinggal, keterbukaan areal akibat penyaradan dan pendugaan emisi karbon potensial akibat pemanenan kayu secara mekanis di hutan alam tropis khususnya di Indonesia sangat penting dilakukan. Supaya dapat diketahui seberapa besar tingkat kerusakan tegakan tinggal, keterbukaan areal, dan emisi karbon potensial yang terjadi akibat dari pemanenan hutan kayu di hutan alam trofis pada berbagai intensitas penebangan.

1.2Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengidentifikasi, menghitung dan menganalisis besarnya kerusakan

tegakan tinggal (pohon berdiameter ≥ 20 cm) akibat pemanenan kayu.

2. Menghitung besarnya keterbukaan areal akibat penyaradan kayu.

3. Menghitung besarnya emisi karbon potensial akibat pemanenan kayu (penebangan dan penyaradan).

1.3Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mendapatkan informasi mengenai besarnya kerusakan tegakan tinggal, keterbukaan areal akibat penyaradan, dan emisi karbon potensial akibat pemanenan hasil hutan kayu di areal kerja IUPHHK HA PT. Salaki Summa Sejahtera.

2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu pertimbangan kepada perusahaan untuk menetapkan sistem pemanenan yang baik agar tercipta pengelolaan hutan lestari.


(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Sivikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI)

Menurut Darjadi dan Harjono (1976) diacu dalam Indryanto (2008) sistem silvikultur adalah proses pemeliharaan, penebangan, pergantian suatu tegakan hutan untuk menghasilkan kayu atau hasil hutan lainnya dalam bentuk tertentu. Sistem silvikultur (Tebang Pilih Tanam Indonesia) TPTI adalah serangkaian tindakan yang dilakukan secara berencana terhadap tegakan tidak seumur untuk memacu pertumbuhan tegakan sesuai dengan keadaan hutan dan tapaknya, sehingga terbentuk tegakan tertata, yakni optimal dan lestari.

Tujuan TPTI adalah terbentuknya struktur dan komposisi tegakan hutan alam tak seumur yang optimal dan lestari sesuai dengan sifat-sifat biologi dan keadaan tempat tumbuh aslinya. Hal ini ditandai dengan wujud tegakan yang mengandung jumlah pohon, tiang, permudaan jenis-jenis niagawi dengan mutu dan produktivitas tinggi, didampingi oleh sejumlah jenis pohon lainnya sehingga memenuhi tingkat keanekaragaman hayati yang diinginkan. Pelaksanaan sistem silvikultur TPTI dalam pengusahaan hutan dimaksudkan untuk mengatur kegiatan penebangan dan pembinaan hutan alam produksi yang mempunyai jumlah pohon inti minimal 25 pohon per hektar. Pohon inti adalah pohon jenis komersial

berdiameter ≥20 cm yang akan membentuk tegakan utama yang akan ditebang

pada rotasi tebangan berikutnya. Pohon inti yang ditunjuk, diutamakan terdiri dari pohon-pohon komersil yang sama dengan pohon yang ditebang. Seandainya jumlahnya masih kurang dari 25 pohon per hektar dapat ditambah dari jenis kayu lain (Departemen Kehutanan 1993).

Sasaran sistem TPTI adalah tegakan hutan alam produksi tidak seumur dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Untuk mencapai tujuan pelaksanaan TPTI, Departemen Kehutanan (1993) membuat acuan sebagai berikut :

1. Pengaturan komposisi jenis pohon di dalam hutan yang diharapkan dapat lebih menguntungkan baik ditinjau dari segi ekologi maupun ekonomi.


(5)

2. Pengaturan struktur/kerapatan tegakan yang optimal di dalam hutan yang diharapkan dapat memberikan peningkatan produksi kayu bulat dari tegakan sebelumnya.

3. Terjaminnya fungsi hutan dalam rangka pengawetan tanah dan air. 4. Terjaminnya fungsi perlindungan hutan.

Sistem silvikultur TPTI merupakan sistem yang paling sedikit mengubah ekosistem di hutan produksi yang merupakan hutan alam campuran tak seumur dibandingkan dengan sistem silvikultur lainnya. Sistem TPTI diharapkan menjadi modifikasi dari peristiwa alami di dalam hutan dengan cara menyingkirkan pohon yang tua agar ruang yang dipakai dapat dimanfaatkan oleh pohon-pohon muda yang masih produktif (Departemen Kehutanan 1993).

2.2 Pemanenan Kayu

Pemanenan kayu sebagai bentuk kegiatan pengelolaan hutan yang pada dasarnya merupakan serangkaian kegiatan yang dilaksanakan untuk mengubah pohon dari hutan dan memindahkan ke tempat penggunaan/pengolahan dengan melalui tahapan perencanaan pembukaan wilayah hutan (PWH), pemotongan pohon, penyaradan, pengangkutan, dan pengujian sehingga bermanfaat bagi kehidupan ekonomi dan kebudayaan masyarakat berdasarkan prinsip kelestarian (Elias 1998).

Ilmu dan teknologi terus berkembang terkait pemanenan hutan, sehingga memunculkan konsekuensi perubahan pendekatan manajemen hutan dari prinsip kelestarian hasil kepada prinsip pembangunan hutan lestari. Menurut Elias (2002) yang diacu dalam Amulqu (2008) arah perkembangan pemanenan kayu adalah sebagai berikut :

1. Pengertian pemanenan kayu mengalami perluasan yang lebih menekankan pada perencanaan sebelum pemanenan, supervisi teknik dan pencegahan kerusakan lebih lanjut.

2. Usaha memperpendek rantai tahapan pemanenan kayu.

3. Menerapkan sistem pemanenan kayu sesuai dengan klasifikasi fungsional lapangan di bidang kehutanan (pengembangan expert system).

4. Mengintegrasikan pengolahan kayu primer ke dalam tahapan pemanenan kayu.


(6)

5. Penciptakan peralatan pemanenan kayu dengan perhatian ditekankan pada keunggulan produktivitas tinggi, keunggulan biaya, menekan kerusakan lingkungan dan keselamatan kerja.

Menurut Budiaman (2003), diacu dalam Almulqu (2008) komponen utama pemanenan kayu umumnya terdiri dari 5 kegiatan, yaitu : penebangan pohon, pembagian batang, penyaradan, pemuatan, dan pengangkutan. Selain itu pada tahapan tertentu misalnya penebangan terdapat kegiatan tambahan, yaitu : pemotongan ujung, pangkal kayu, dan pemotongan cabang.

Sistem pemanenan yang banyak diterapkan pada saat ini di hutan alam adalah sistem mekanis. Sistem pemanenan mekanis merupakan sistem pemanenan kayu dengan menggunakan mesin-mesin pemanenan kayu dengan teknologi yang lebih maju. Dalam sistem pemanenan mekanis sejak dari tahap penebangan, pemangkasan cabang dan ranting, pembagian batang, serta penyaradan dan pengangkutan dilakukan secara mekanis. Sistem ini pada umumnya diterapkan pada pekerjaan yang berskala besar seperti pemanenan kayu di hutan alam. Dalam merekayasa sistem dan teknik pemanenan kayu selain aspek teknis, aspek sosial, ekonomis dan lingkungan juga harus dipertimbangkan terutama aspek penciptaan lapangan kerja baru (Elias 2002).

Menurut Sessions (2007) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kegiatan pemanenan kayu di hutan alam tropis yaitu 1) Iklim, intensitas terjadinya hujan, kering dan lengas dalam satu tahun mempengaruhi pemilihan alat-alat yang akan digunakan, lamanya kegiatan dan produktivitas pekerja; 2) Topografi, topografi dalam hutan keadaannya bervariasi dari keadaan datar hingga berbukit-bukit; 3) Tanah, tanah yang lunak dan basah memiliki daya dukung yang kurang baik terhadap pembuatan akses jalan darat sehingga membutuhkan perlakuan khusus dan pada akhirnya menimbulkan biaya yang besar; dan 4) Jenis/spesies, tajuk pohon bersifat rapat atau berdekatan dengan tajuk pohon lain yang dihubungkan oleh tumbuh-tumbuhan merambat dan liana.

Pemanenan kayu di hutan alam harus direncanakan dengan baik dan optimal. Karena hutan tidak hanya sumber kayu yang berharga tetapi juga menyediakan berbagai hasil hutan bukan kayu (HHBK) serta yang utama jasa lingkungan, prinsip manajemen hutan lestari untuk memanen sumber daya hutan


(7)

alam (termasuk HHBK) tanpa mengorbankan nilai sosial dan ekologinya. Pemanenan secara mekanis, jika tidak terkendali dapat mengakibatkan efek merusak yang tinggi pada struktur hutan, komposisi dan kapasitas regenerasi. Meminimalkan efek kerusakan pemanenan kayu harus dilakukan karena menjadi salah satu persyaratan utama untuk mencapai pengelolaan hutan lestari. Selain itu, dapat diketahui bahwa mengurangi kerusakan akibat pemanenan pada hutan dan tanah dapat memperpendek panjang siklus penebangan karena dapat memastikan regenerasi alam yang lebih baik dan pertumbuhan jenis komersial yang diinginkan (Putz, 1994 diacu dalam Sist et al. 1997).

Menurut Sularso (1996) cara/teknik pemanenan kayu terkendali yang berpedoman pada TPTI dan ketentuan yang ada, diharapkan dapat meningkatkan produksi kayu, mengurangi kerusakan tegakan tinggal, memperkecil rumpang akibat penebangan dan keterbukaan lantai hutan akibat penyaradan serta limbah pemanenan kayu. Cara ini dipakai sebagai upaya memperkecil dampak lingkungan dan tuntutan prinsip kelestarian untuk menyongsong berlakunya ecolabelling serta penangkalan kampanye anti penggunaan kayu tropis.

Hutan alam yang dipanen dapat mengakibatkan penurunan baik secara kualitas (degradasi) maupun kuantitas (deforestasi). Degradasi hutan adalah penurunan kualitas hutan akibat adanya perlakuan yang bersifat merusak hutan tersebut, sehingga hutan mengalami penurunan kemampuannya. Terkait degradasi yang menimbulkan emisi karbon, UNFCCC (2001) menyatakan bahwa degradasi dapat didefinisikan sebagai penurunan stok karbon hutan yang masih termasuk sebagai lahan hutan, sedangkan IPCC (2006) mendefinisikan degradasi adalah emisi bersih akibat kegiatan manusia selama periode tertentu dari hutan yang menyebabkan berkurangnya tutupan tajuk tetapi belum disebut sebagai deforestasi.

Laju deforestasi dan degradasi hutan di hutan tropis sudah sangat mengkhawatirkan yang berpengaruh terhadap proses penyerapan CO2 dari

atmosfir yang dapat mempengaruhi kondisi iklim global, sehingga menimbulkan efek gas rumah kaca (GRK). Pengurangan deforestasi dan degradasi hutan merupakan langkah ke depan untuk stabilisasi konsentrasi GRK. Deforestasi dari hutan tropis diperkirakan menyumbang 15-35% dari global emisi tahunan CO2.


(8)

Diperkirakan sekitar 350-430 GtC (Giga ton Carbon) saat ini tersimpan di hutan tropis dan dapat diemisikan ke atmosfir melalui peningkatan deforestasi dan degradasi hutan (Laporte et al. 2008). Begitu juga dengan kondisi hutan alam tropis di Indonesia yang juga mengalami laju kerusakan yang tinggi setiap tahunnya.

Menurut Lasco (2006) hutan yang tidak dipanen mempunyai stok karbon sebesar 258 ton C/ha, 34% stok karbonnya terdapat dalam bentuk karbon organik tanah. Kira-kira 98% stok karbon diatas tanah terdapat pada pohon yang DBH ≥ 19,5 cm. Setelah pemanenan hutan, stok karbon di atas tanah akan berkurang sekitar 50% (100 ton C/ha). Selama siklus tebang 35 tahun, hutan yang telah dipanen akan mengalami perningkatan stok karbon 1,4 ton C/ha. Pada penebangan berikutnya, hutan dapat kembali pulih sebesar 70% dari stok karbon awal. Sekitar 40% dari stok karbon pada kayu diubah menjadi kayu gergajian dan kayu lapis atau dijual sebagai log dan Sekitar 60% yang tinggal dilepaskan ke udara sebagai karbon dioksida (CO2) melalui pembakaran dan dekomposisi.

2.3 Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Pemanenan

Kerusakan tegakan tinggal adalah kerusakan akibat pemanenan kayu pada tegakan tinggal, kerusakan tersebut dapat berupa luka-luka pada pohon berdiri, tumbang, atau roboh, patah batang atau tajuk dan diperkirakan pohon tersebut tidak dapat lagi tumbuh dengan normal, kerusakan tanah dan lingkungan (Muhdi 2001). Teknik pemanenan sangat mempengaruhi besarnya kerusakan tegakan tinggal dalam areal pemanenan. Teknik conventional logging akan menyebabkan kerusakan yang sangat besar. Sedangkan teknik reduce impact logging (RIL) dapat menekan kerusakan tegakan tinggal tersebut. Menurut Elias (1995) teknik konvensional konvensional mengakibatkan kerusakan lingkungan yang berat, yang disebabkan penebangan yang kurang baik, teknik pelaksanaan yang salah dan lemah supervisi dan kontrol.

Menurut Sularso (1996) penebangan dengan sistem TPTI menyebar dalam areal yang luas bergantung pada keberadaan/posisi kayu komersial yang ditebang. Kerusakan tegakan tinggal tidak dapat dihindari meski hanya menebang satu pohon, karena sebelum mencapai tanah pohon yang ditebang telah menghempas dan menimpa pohon-pohon lain serta permudaan pada strata di bawahnya (tiang


(9)

dan pohon, pancang serta semai). Semakin besar jumlah dan diameter pohon ditebang, terlebih lagi tidak didukung dengan cara pemanenan kayu yang mengikuti ketentuan/pedoman yang ada, atau mengandalkan pengalaman para logger saja akan meyebabkan semakin besar kerusakan tegakan tinggal, rumpang, keterbukaan lantai hutan yang mencapai ratusan meter persegi dan limbah pemanenan kayu.

Kerusakan hutan akibat pemanenan langsung dapat berupa rusak, luka-luka, rebah pada tiang dan pohon berdiri akibat penebangan dan penyaradan kayu. Kerusakan tidak langsung berupa kerusakan tegakan tinggal yang tidak dapat dihindarkan dan keterbukaan lantai hutan akibat penyaradan (Sularso 1996). Sementara itu, menurut Sastrodimedjo dan Radja (1976) dampak dari kegiatan pemanenan kayu di hutan alam tropis salah satunya adalah dapat mengakibatkan kerusakan terhadap vegetasi yang ditinggalkan, antara lain kerusakan tegakan tinggal, seperti pada anakan, pancang, tiang dan pohon. Kemudian juga terjadi perubahan struktur dan komposisi serta jumlah jenis dalam hutan. Kerusakan tegakan tinggal adalah kerusakan yang terjadi pada bagian tegakan yang sebenarnya tidak termasuk dalam rencana untuk dipanen hasilnya pada waktu itu. Kerusakan-kerusakan itu, antara lain : pohon roboh, pohon berdiri tapi kulit rusak, batang pecah/belah, tajuknya rusak, dan dapat mengganggu perkembangan pohon atau bahkan tidak dapat tumbuh lagi ke keadaan normal/semula. Berikut bentuk dan tingkat kerusakan tegakan tinggal.

Tabel 1 Beberapa bentuk dan tingkat kerusakan yang terjadi pada individu pohon

Bentuk Kerusakan

Tingkat Kerusakan

Berat Sedang Ringan

Kondisi

Batang Patah batang - -

Pecah batang - -

Roboh, Miring < 45° Condong/miring > 45° -

Luka batang > ½ Luka batang 1/4-1/2

Luka batang 1/4-1/2 panjang luka batang < 1,5 m

Kondisi Tajuk > 50% rusak 30-50% rusak < 30% rusak

Kondisi

Banir/akar > 1/2 rusak/terpotong 1/3-1/2 rusak/terpotong <1/3 rusak/terpotong Sumber : Elias (1993)


(10)

Menurut Elias (1998) tingkat kerusakan vegetasi tegakan tinggal ditetapkan berdasarkan perbandingan antara jumlah pohon yang rusak akibat kegiatan pemanenan kayu dengan jumlah pohon yang terdapat di dalam areal tersebut sebelum pemanenan dikurangi jumlah pohon yang dipanen. Tingkat kerusakan dapat digolongkan atas tiga yaitu kerusakan berat apabila kerusakan tegakan tinggal lebih besar dari 50%, kerusakan sedang apabila 25-50%, dan kerusakan ringan apabila kurang dari 25%.

Jumlah kerusakan tegakan tinggal dipengaruhi oleh besarnya intensitas pemanenan yang dilakukan. Menurut Feldpausch et al. (2005) meningkatan intensitas pamanenan dengan menambah jenis-jenis pemanenan atau mengurangi diameter minimum yang dipanen untuk menambah jumlah pohon yang dipanen dapat meningkatkan jumlah pohon yang rusak dan keterbukaan areal per hektar pemanenan. Kerusakan tegakan tinggal di hutan alam juga dapat diklasifikasikan menurut Feldpausch et al. (2005) sebagai berikut :

Tabel 2 Klasifikasi kerusakan tegakan tinggal menurut Feldpausch et al. (2005)

Kelas kerusakan Deskripsi kerusakan

I Condong

II < 2 m kulit hilang III > 2 m kulit hilang

IV < 25% tajuk rusak

V > 25-50% tajuk rusak

VI > 50-75% tajuk rusak VII > 75% tajuk rusak

VIII Patah batang

IX Roboh

Menurut Feldpausch et al. (2005) mengatakan bahwa kerusakan tinggal akibat pemanenan pada intensitas penebangan 1,1-2,6 pohon/ha hampir 50% mengalami batang patah dan roboh. Pohon yang mengalami kerusakan berat mencapai 60% (kelas VII, VIII, dan IX). Kerusakan dalam bentuk patah batang atau roboh terjadi pada kelas diameter menengah dengan DBH rata-rata 18 dan 19 cm.

Tingkat kerusakan tegakan tinggal di hutan alam tropis sangat dipengaruhi oleh teknik pemanenan kayu yang digunakan. Sistem pemanenan tradisional atau yang lebih dikenal dengan conventional logging akan mengakibatkan tingkat


(11)

kerusakan yang besar. Sedangkan sistem pemanenan reduce impact logging dapat menekan kerusakan tegakan tinggal hampir 50% lebih kecil dibandingkan dengan teknik conventional logging. Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa dampak pemanenan hutan alam di Indonesia diakibatkan oleh kegiatan penebangan dan penyaradan yang menyebabkan kerusakan tegakan tinggal sebesar 25-45% dan keterbukaan areal sebesar 20-35% (Elias 1998).

2.4 Keterbukaan Areal Akibat Penyaradan

Menurut Murdiyarso et al. (1994) penebangan hutan akan menyebabkan terbukanya permukaan tanah dari radiasi dan cahaya matahari. Dampak langsung adalah meningkatnya suhu tanah dan turunnya kadar air tanah. Dampak langsung lainnya dari kegiatan penebangan hutan adalah menurunnya cadangan karbon atas permukaan (above-ground carbon stock) dan selanjutnya akan mengurangi/meyusutkan cadangan karbon bawah permukaan (below-ground carbon stock). Keterbukaan tanah atau lahan pada pemanenan kayu adalah terbukanya permukaan tanah karena lapisan serasah yang menutupi tanah terkelupas karena terdongkel oleh pohon-pohon yang ditebang dan yang roboh, terkikis dan tergusur oleh traktor sewaktu penyaradan, pembuatan jalan sarad, dan pembuatan tempat pengumpulan kayu sementara (TPn) (Amir 1996).

Keterbukaan lantai hutan akibat penyaradan dapat dilihat dalam waktu yang agak lama, meski sebagian besar tertutup oleh tanaman herba dan pohon-pohon muda. Vegetasinya sangat berbeda dengan hutan di sekitarnya dan sering kelihatan sebagai bakas roda atau jalan setapak yang terbuka di dalam hutan. Penggunaan mesin-mesin (alat berat) pada penyaradan mengekspos tanah terhadap proses fisik dan kimia yang kompleks, yang sebagian besar ditentukan oleh komposisi dan struktur tanah, flora dan fauna yang ada dalam tanah serta karakteristik mesin yang digunakan (Hendrison 1990, diacu dalam Sularso 1996).

Menurut Elias et al. (1993), diacu dalam Sularso (1996) keterbukaan lantai hutan dan area hutan pada sistem silvikultur TPTI dengan intensitas pemanenan 5–11 pohon terlihat semakin banyak pohon komersial yang ditebang, maka semakin luas keterbukaan lantai hutan, terlebih lagi bila letak tumbuhnya pohon komersial tersebut menyebar. Rata-rata keterbukaan tanah karena penebangan satu pohon adalah 1,095% (109,6 m2) dan untuk penyaradan rata-rata adalah 2,565%


(12)

(265,5 m2) (Ruchanda 1993, diacu dalam Sularso 1996). Sedangkan menurut Elias (1993) diacu dalam Amir (1996) luas keterbukaan tanah akibat penebangan per pohon rata-rata 142,17 m2 dan untuk penyaradan per pohon rata-rata 205,33 m2. Keterbukaan tanah akibat penyaradan dan pembuatan jalan sarad adalah 14,19% per hektar, akibat penebangan 2,31% per hektar (Butar-Butar 1991, diacu dalam Amir 1996).

2.5 Biomassa dan Cara Pendugaannya

Biomassa merupakan jumlah total dari bahan organik hidup yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per hektar (Brown 1997). Menurut Whitten et al. (1984) biomassa hutan adalah jumlah total bobot kering semua bagian tumbuhan hidup, baik untuk seluruh atau sebagian tubuh organisme, produksi atau komunitas dan dinyatakan dalam berat kering per satuan luas (ton/ha). Dalam Smith et al. (2004) diacu dalam Kusuma (2009) disebutkan bahwa biomassa adalah massa dari bagian vegetasi yang masih hidup, yaitu : batang , cabang, tajuk pohon, tumbuhan bawah atau gulma dan tanaman semusim. Nekromassa merupakan masa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih tegak di lahan atau telah tumbang, tunggak, ranting, dan serasah yang terlapuk. Karbon rata-rata dalam komponen biomassa batang utama, cabang, akar, ranting, dan daun pohon A. mangium masing-masing sebesar 61,38%, 50,53%, 47,99%, 41,04%, dan 28,78%. Data ini menunjukkan adanya perbedaan kadar karbon dalam biomassa komponen-komponen pohon. Kadar karbon tertinggi terdapat dalam biomassa batang utama dan kadar karbon terendah terdapat dalam biomassa daun (Elias 2010).

Biomassa tumbuhan bertambah karena tumbuhan menyerap karbondioksida dari udara dan mengubah zat tersebut menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Jumlah biomassa di dalam hutan adalah hasil dari perbedaan antara produksi melalui fotosintesis dengan konsumsi melalui respirasi dan proses penebangan (Whitten et al. 1984).

Penghentian deforestasi, reduce impact logging (RIL), dan perbaikan pengelolaan hutan pada biomassa hidup (pohon) menjadi sorotan dalam pengurangan emisi karbon. Pohon adalah subjek dalam menyerap dan sekaligus stok karbon yang besar. Selain itu, pohon juga akan menyebabkan emisi yang


(13)

besar apabila dilakukan penebangan, terjadi degradasi dan deforestasi. Penebangan akan mengurangi biomassa hutan yang dapat berasal dari pohon yang ditebang, pohon yang rusak, dan tumbuhan bawah (biomassa diatas permukaan). Biomassa di atas permukaan tanah adalah berat bahan organik per unit area pada waktu tertentu yang dihubungkan ke suatu fungsi sistem produktifitas, umur tegakan dan distribusi organik. Pendugaan biomassa hutan dibutuhkan untuk mengetahui perubahan cadangan karbon untuk tujuan lain. Pendugaan biomassa di atas permukaan tanah sangat penting untuk mengkaji cadangan karbon dan efek dari deforestasi dan penyimpanan karbon dalam keseimbangan karbon secara global (Ketterings et al. 2001)

Menurut Brown (1997) ada dua pendekatan untuk menduga biomassa dari pohon, yaitu : pendekatan pertama berdasarkan pendugaan volume kulit sampai batang bebas cabang yang kemudian diubah menjadi kerapatan biomassa (ton/ha), sedangkan pendekatan kedua dengan menggunakan persamaan regresi biomassa atau lebih dikenal dengan persamaan allometrik. Persamaan allometrik digunakan untuk mempermudah pendugaan biomassa berdasarkan parameter pohon hidup dengan mengukur dimensi pohon atau tegakan yang mudah diukur, biasanya menggunakan diameter setinggi dada (DBH) sebagai dasar pendugaan. Metode ini menggunakan biomassa sebagai fungsi dari diameter pohon dengan persamaan sebagai berikut :

Biomassa di atas tanah (Y) = a Db Keterangan :

Y = Biomassa pohon (kg)

D = Diameter setinggi dada (130 cm) a dan b merupakan konstanta

Menurut Ketterings et al. (2001) metode yang paling akurat dalam pengukuran biomassa tegakan di atas permukaan tanah adalah dengan cara menimbang biomassa pohon secara langsung di lapangan. Tetapi metode tersebut membutuhkan banyak waktu, sangat merusak, dan pada umumnya terbatas pada area yang sempit serta ukuran pohon yang kecil. Pendugaan biomassa meggunakan metode non destructive dengan allometrik bisa lebih cepat dilaksanakan dan area yang lebih luas bisa dijadikan contoh. Persamaan


(14)

allometrik sering digunakan pada studi-studi ekologi dan inventarisasi hutan dalam menduga hubungan antara diameter setinggi dada (DBH) atau variabel-variabel lain yang mudah diukur dengan volume pohon atau biomassa pohon.

Penetapan persamaan allometrik yang akan digunakan dalam pendugaan biomassa merupakan tahapan penting proses pendugaan biomassa. Setiap persamaan allometrik dikembangkan berdasarkan kondisi tegakan dan variasi jenis tertentu yang berbeda satu dengan yang lain. Penelitian Brown (1997) telah menghasilkan persamaan allometrik untuk menduga biomassa vegetasi di atas permukaan tanah di hutan alam tropis. Pada Tabel 3 disajikan beberapa persamaan allometrik yang telah dibuat untuk menduga biomassa di hutan alam tropis berdasarkan perbedaan curah hujan. Persamaan tersebut dikembangkan dari data 371 pohon dari 3 daerah tropis dengan rentang diameter antara 5-148 cm yang dikumpulkan dari berbagai sumber.

Tabel 3 Persamaan allometrik untuk menduga biomassa di hutan alam tropis berdasarkan zona iklim

Zona Iklim Persamaan Kisaran Dbh

(cm)

Jumlah Contoh Pohon

R2 (%)

Kering Y = exp[-1,996 + 2,32 * ln(D)] 5 – 40 28 89

Y = 10^[-0,535 + log10 (BA)] 3 – 30 191 94

Lembab Y = 42,69 – 12,800(D) + 1,242(D 2

)

5 – 148 170 84

Y = exp[-2,134 + 2,530 * ln(D)] 97

Basah Y = 21,297 6,953(D) + 0,740(D2

) 4 – 112 169 92

Sumber : Brown (1997) Keterangan :

Y = Biomassa per pohon (kg)

D = Diameter pohon setinggi dada (cm) BA = Basal area (cm2)

Persamaan tersebut diperuntukkan untuk tiga zona iklim yang berbeda, yaitu kering, lembab dan basah. Suatu tempat dikatakan masuk dalam zona kering apabila curah hujan lebih rendah dibandingkan dengan potensial evapotranspirasi (curah hujan <1500 mm/th dan periode kering selama beberapa bulan). Zona lembab adalah zona yang curah hujannya mendekati seimbang dengan potensial evapotranspirasi (curah hujan antara 1500-4000 mm/th dengan tanpa periode kering atau periode kering sangat pendek). Zona basah mempunyai curah hujan


(15)

yang lebih besar dari potensial evapotranspirasi (curah hujan >4000 mm/th dan tanpa periode kering).

Dalam inventarisasi karbon hutan, terdapat setidaknya ada empat pool karbon (carbon pool) yang diperhitungkan. Keempat pool karbon tersebut yaitu : biomassa atas permukaan, biomassa bawah permukaan, bahan organik mati dan karbon organik tanah. Biomassa atas permukaan adalah semua material hidup di atas permukaan. Termasuk bagian dari pool karbon ini yaitu : batang, tunggul, cabang, kulit kayu, biji dan daun dari vegetasi baik dari strata pohon maupun dari strata tumbuhan bawah di lantai hutan.

Biomassa bawah permukaan adalah semua biomassa dari akar tumbuhan yang hidup. Pengertian akar ini berlaku hingga ukuran diameter tertentu yang ditetapkan. Hal ini dilakukan sebab akar tumbuhan dengan diameter yang lebih kecil dari ketentuan cenderung sulit untuk dibedakan dengan bahan organik tanah dan serasah. Bahan organik mati meliputi kayu mati dan serasah. Serasah dinyatakan sebagai semua bahan organik mati dengan diameter yang lebih kecil dari diameter yang telah ditetapkan dengan berbagai tingkat dekomposisi yang terletak di permukaan tanah. Kayu mati adalah semua bahan organik mati yang tidak tercakup dalam serasah baik yang masih tegak maupun yang roboh di tanah, akar mati, dan tunggul dengan diameter lebih besar dari diameter yang telah ditetapkan. Karbon organik tanah mencakup karbon pada tanah mineral dan tanah organik termasuk gambut.

Karbon di hutan alam dapat diduga dengan menggunakan pendugaan biomassa hutan. Brown (1997) menyatakan bahwa umumnya 50% dari biomassa hutan tersusun atas karbon. IPCC (2006) menyatakan bahwa konsentrasi karbon dalam bahan organik adalah sekitar 47%, dengan demikian estimasi jumlah karbon tersimpan dapat dihitung dengan mengalikan total berat massanya dengan konsentrasi karbon dengan cara total biomassa dikalikan dengan konsentrasi karbon dalam biomassa sebesar 0,47. Untuk memperhitungkan besarnya emisi karbon potensial akibat kegiatan pemanenan kayu maka dapat diduga dari besarnya biomassa hutan yang terdapat pada pohon yang dipanen/ditebang, pohon yang mengalami kerusakan akibat kegiatan penebangan dan dari pohon yang mengalami kerusakan akibat kegiatan penyaradan.


(16)

Total emisi karbon tahunan merupakan fungsi dari beberapa faktor, yaitu : 1) luas areal yang ditebang per tahun; 2) Jumlah kayu yang dipanen per unit area (ha) per tahun; 3) Jumlah limbah per hektar per tahun yang merupakan sisa penebangan, pohon yang rusak/mati akibat penebangan, kematian pohon akibat jalan sarad, jalan angkut, TPn, logyard; 4) Biomassa kayu yang dipakai lama sebagai produk kayu (GOFC-GOLD 2009).


(17)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di IUPHHK HA PT. Salaki Summa Sejahtera, Pulau Siberut, Propinsi Sumatera Barat. Penelitian dilakukan pada bulan Nopember 2011.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini yaitu : alat tulis, kalkulator, Phiband meter untuk mengukur diameter pohon, Hagahypsometer untuk mengukur tinggi pohon, pita meter untuk mengukur plot penelitian, kompas untuk menunjukkan arah, Global Positioning System (GPS) untuk mengetahui jalur penyaradan dan luasan keterbukaan areal, cat dan kuas untuk menandai pohon dalam jalur pengukuran dan pengamatan, patok untuk menandai batas-batas jalur dan petak pengamatan, seperangkat komputer dengan Software Microsoft Excel dan Mini Tab 14 untuk mengolah data, serta kamera untuk dokumentasi. Bahan yang digunakan, yaitu tegakan hutan, LHC, hasil ITSP ulang pada plot contoh, peta blok RKT 2011, peta pohon petak 264 dan 265 RKT 2011, dan tally sheet.

3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Metode Kerja

Langkah awal dalam melaksanakan penelitian ini adalah dengan cara menentukan petak tebang yang akan dilakukan penebangan. Petak yang terpilih dibuat plot berukuran 100 m x 100 m sebanyak 10 plot secara purposive sampling yang peletakannya secara diskontinyu sesuai jaringan jalan sarad dan lokasi mengikuti kegiatan pemanenan dalam petak tebang. Pendugaan emisi karbon

akibat pemanenan kayu dilakukan dengan cara mengukur DBH pohon ≥20 cm

sebagai parameter penduga pada persamaan allometrik yang disusun Brown (1997) baik yang ditebang/dipanen, pohon yang mengalami kerusakan berat akibat penebangan dan penyaradan. Kerusakan setelah penyaradan dilakukan dengan mengikuti jalur sarad pohon yang ditebang dan pengukuran keterbukaan


(18)

areal akibat pembangunan prasarana PWH (jalan sarad) dilakukan sesuai dengan peta areal kerja dan pengukuran langsung di lapangan.

3.3.2 Metode Pengumpulan Data

Tahapan kerja yang dilakukan dalam kegiatan ini adalah sebagai berikut : 1. Menentukan plot contoh

a. Melakukan observasi lokasi tebangan dengan melihat peta kerja IUPHHK HA yang masuk dalam RKT (Rencana Kerja Tahunan) yang akan dilakukan kegiatan penebangan.

b. Menetapkan plot contoh dengan cara purposive sampling (pemilihan contoh secara sengaja dengan pertimbangan tertentu/mengikuti pola jalan sarad) sebanyak 10 plot dengan luas masing-masing plot sebesar 100 m x 100 m (1 ha). Plot yang akan diukur terletak pada petak yang akan dilakukan penebangan. Pembuatan plot dilakukan dengan metode jalur dengan ukuran 20 m x 100 m, seperti yang terlihat pada Gambar 1.

100 m

Gambar 1 Bentuk dan ukuran petak contoh dalam penelitian.

2. Inventarisasi pohon pada plot contoh

a. Memeriksa kebenaran LHC (Laporan Hasil Cruising) dengan cara mengambil beberapa pohon untuk dihitung ulang dan dicocokkan dengan data yang terdapat pada LHC.

100 m 20 m


(19)

b. Inventarisasi ulang pohon yang berdiameter lebih dari 20 cm pada plot contoh (10 plot). Mencatat nama/jenis pohon, nomor pohon, dan mengukur diameter setinggi dada (1,3 m di atas permukaan tanah), Tbc, dan bagi pohon-pohon berbanir diameter pohon diukur pada ketinggian 20 cm di atas banir.

3. Penebangan

a. Memperkirakan arah rebah

b. Menghitung dan mengukur jumlah, jenis, diameter, Tbc dan pohon yang ditebang/dipanen pada setiap plot.

c. Menghitung dan mengukur jumlah, jenis, dan diameter, Tbc pohon yang rusak pada setiap plot akibat kegiatan penebangan.

d. Menghitung dan mengukur bentuk kerusakan pohon :

1) Jenis kerusakan (rusak tajuk, luka batang, patah batang, pecah batang, roboh, miring, dan rusak banir)

2) Menghitung persentase kerusakan tegakan tinggal dengan cara membandingkan data jumlah pohon sebelum penebangan dengan sesudah penebangan.

3) Mengkategorikan/mengelompokan kerusakan yang akan dikelompokkan berdasarkan kategori kerusakan pohon yaitu kerusakan ringan, sedang atau berat.

4. Penyaradan

a. Menghitung dan mengukur jumlah, jenis, dan diameter (DBh), Tbc pohon yang rusak pada setiap plot akibat kegiatan penyaradan.

b. Menghitung persentase kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan penyaradan.

5. Jalan Sarad

a. Mengukur panjang dan lebar jalan sarad lalu hitung luasnya sehingga mendapatkan keterbukaan areal akibat pembuatan jalan sarad.

b. Melakukan tracking jalan sarad dengan menggunakan GPS dan pengukuran langsung di lapangan.


(20)

3.3.3 Data Sekunder

Data sekunder yang diambil adalah berupa data potensi tegakan sebelum dilakukannya kegiatan penebangan yang diperoleh dari laporan hasil Cruising (LHC), hasil ITSP petak penelitian, data kondisi umum perusahaan, peta areal kerja pengusahaan hutan, peta RKT 2011, peta pohon petak tebang 264 dan 265 RKT 2011 dan daftar nama pohon yang berada di kawasan IUPHHK HA PT. Salaki Summa Sejahtera.

3.4 Analisis Data

3.4.1 Perhitungan Volume Tegakan

Perhitungan volume tegakan dilakukan untuk mengetahui besarnya potensi volume tegakan yang terdapat pada plot penelitian serta untuk mengetahui seberapa besar volume pemanenan yang dilakukan. Volume tegakan per hektar diperoleh dengan cara merata-ratakan volume tegakan yang terdapat pada seluruh plot penelitian dan volume tegakan tiap plot ditentukan melalui penjumlahan nilai volume pohon-pohon yang ditemukan pada plot tersebut. Untuk menentukan besarnya volume dilakukan dengan menggunakan rumus :

V = ∑¼. π. D2. Hbc. f

Keterangan :

V = Volume tegakan (m3) D = Diameter pohon (cm)

Hbc = Tinggi pohon bebas cabang (m)

π = Phi (3,14)

f = Faktor angka bentuk (0,7)

3.4.2 Perhitungan Biomassa dan Karbon

Perhitungan biomassa yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan persamaan allometrik biomassa yang disusun oleh Brown (1997) yang diterapkan pada zona iklim lembab, sebagai berikut :

Y = exp [-2,134 + 2,530 * ln(D)] Keterangan :

Y = Biomassa per pohon (Kg)

D = Diameter pohon setinggi dada (cm)

Kandungan karbon di hutan alam dapat dihitung dengan menggunakan pendugaan biomassa hutan. Brown (1997) menyatakan bahwa umumnya 50% dari


(21)

biomassa hutan tersusun atas karbon sehingga dari hasil perhitungan biomassa dapat diubah kedalam bentuk karbon (ton C/ha) yaitu dengan mengalikan nilai biomassa dengan faktor konversi sebesar 0,5.

Karbon (C) = B x 0,5 Keterangan :

C = Jumlah karbon (ton C/ha) B = Biomassa (ton/ha)

Untuk memperhitungkan besarnya emisi karbon potensial akibat kegiatan pemanenan kayu maka dapat diduga dari besarnya karbon yang terdapat pada pohon yang dipanen/ditebang, karbon pada pohon yang rusak akibat penebangan dan karbon pada pohon yang rusak akibat penyaradan.

3.4.3 Tingkat Kerusakan Tegakan Tinggal

Beberapa tingkat bentuk kerusakan yang terjadi pada individu pohon menurut Elias (1993) sebagai berikut :

1. Tingkat kerusakan berat a. Patah batang.

b. Pecah batang.

c. Roboh, tumbang atau miring sudut <45° dengan permukaan tanah.

d. Rusak tajuk (>50% tajuk rusak), juga didasarkan atas banyaknya cabang pembentuk tajuk patah.

e. Luka batang/rusak kulit (>1/2 keliling pohon atau 300-600 cm kulit mengalami kerusakan).

f. Rusak banir/akar (>1/2 banir atau perakaran rusak/terpotong).

2. Tingkat kerusakan sedang

a. Rusak tajuk (30-50% tajuk rusak atau 1/6 bagian tajuk mengalami kerusakan). b. Luka batang/rusak kulit (1/4-1/2 keliling pohon rusak atau 150-300 cm kulit

rusak).

c. Rusak banir/akar (1/3-1/2 banir/akar rusak atau terpotong).


(22)

3. Tingkat kerusakan ringan a. Rusak tajuk (<30% tajuk rusak).

b. Luka batang/rusak kulit (1/4-1/2 keliling dan panjang luka <1,5 m atau kerusakan sampai kambium dengan lebar lebih dari 5 cm, lebih kurang sepanjang garis sejajar sumbu longitudinal dari batang).

c. Rusak banir/akar (<1/4 banir rusak atau perakaran terpotong).

Kerusakan tegakan tinggal dihitung berdasarkan persentase jumlah pohon yang rusak terhadap jumlah pohon yang seharusnya tinggal dan sehat. Untuk menghitung tingkat kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan penebangan dan penyaradan kayu digunakan rumus :

K = R

P−Q × 100%

Keterangan :

K = Tingkat kerusakan tegakan tinggal (%)

R = Jumlah pohon yang mengalami kerusakan (pohon/ha) P = Jumlah pohon 20 cm up sebelum penebangan (pohon/ha) Q = Jumlah pohon yang ditebang (pohon/ha)

Kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan di hutan alam juga dapat dikelompokan berdasarkan Feldpausch et al. (2005), sebagai berikut:

1. Kelas I : condong

2. Kelas II : < 2 m kulit hilang 3. Kelas III : > 2 m kulit hilang 4. Kelas IV : < 25% tajuk rusak 5. Kelas V : > 25-50% tajuk rusak 6. Kelas VI : > 50-75% tajuk rusak 7. Kelas VII : > 75% tajuk rusak 8. Kelas VIII : Patah batang 9. Kelas IX : Roboh

3.4.4 Perhitungan Keterbukaan Areal Akibat Penyaradan

Perhitungan keterbukaan areal berasal dari pembuatan jalan sarad pada petak tebangan. Keterbukaan lahan akibat penyaradan adalah luas tanah yang terbuka akibat kegiatan penyaradan pohon yang dilewati oleh bulldozer atau lalu lintas bulldozer menuju lokasi penyaradan. Keterbukaan lahan akibat penyaradan ditentukan dengan mengukur panjang dan lebar jalan sarad pada petak tebangan kemudian dihitung luas jalan sarad tersebut. Penelusuran jalur sarad dilakukan


(23)

dengan menggunakan GPS dan meteran. Persentase keterbukaan areal akibat penyaradan dihitung dengan rumus:

K = L

F × 100%

Keterangan :

K = Persentase keterbukaan areal (%) L = Luas areal yang terbuka (m2)

F = Luas aral yang dilayani oleh jalan sarad (m2)

3.4.5 Analisis Hubungan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kerusakan Tegakan Tinggal dan Emisi Karbon Potensial

Untuk mengetahui pengaruh kegiatan pemanenan kayu terhadap terjadinya kerusakan tegakan tinggal dan emisi karbon potensial, maka dilakukan analisis regresi. Faktor-faktor yang diperkirakan berpengaruh terhadap kerusakan tegakan tinggal, yaitu : kelerengan, kerapatan tegakan hutan dan intensitas pemanenan yang dilakukan. Semakin tinggi intensitas pemanenan maka akan semakin besar nilai kerusakannya. Persamaan regresi linier hubungan antara kelerengan, kerapatan tegakan dan intensitas pemanenan terhadap besarnya kerusakan tegakan tinggal dinyatakan dalam persamaan regresi sebagai berikut :

Ŷ = b0 + b1X1 + b2X2 + b3X3

Keterangan :

Ŷ = Kerusakan tegakan tinggal (%) X1 = Kerusakan tegakan tinggal (%)

X2 = Kerapatan tegakan (pohon/ha)

X3 = Kelerengan (%)

b0, b1,b2,b3 merupakan koefisien regresi

Faktor-faktor yang diperkirakan berpengaruh terhadap besarnya emisi karbon potensial adalah potensi awal tegakan sebelum pemanenan dan intensitas pemanenan yang dilakukan, dan kelerengan. Semakin besar intensitas pemanenan yang dilakukan maka akan semakin besar pula emisi karbon potensial yang ditimbulkan. Persamaan regresi linier hubungan antara potensi awal tegakan sebelum pemanenan dan intensitas pemanenan terhadap besarnya emisi karbon potensial dinyatakan dalam persamaan regresi sebagai berikut :


(24)

Ŷ = b0 + b1X1 + b2X2

Keterangan :

Ŷ = Emisi karbon potensial (ton C/ha) X1 = Intensitas pemanenan (m3/ha)

X2 = Potensi awal tegakan sebelum pemanenan (m3/ha)

b0, b1,b2 merupakan koefisien regresi

Analisis data dilakukan dengan menggunakan SoftWare Mini Tab 14. Untuk mengetahui pengaruh peubah X1, X2 dan X3 terhadap persamaan regresi


(25)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Sejarah Pemanfaatan Hutan

Areal konsesi hutan PT. Salaki Summa Sejahtera merupakan areal bekas tebangan dari PT. Tjirebon Agung yang berdasarkan SK IUPHHK Nomor 195/Kpts/Um4/1973 memiliki luas areal pemanfaatan 70.000 ha yang berakhir pada tanggal 31 Agustus 1993. PT. Salaki Summa Sejahtera mengajukan permohonan untuk melakukan konsesi hutan/IUPHHK di areal tersebut seluas 48.000 ha setelah dikurangi areal konservasi (perluasan Taman Nasional Siberut seluas ±20.000 ha). Berdasarkan surat rekomendasi dari Bupati Kepulauan Mentawai Nomor 552.11/392/Perek-2000 tanggal 9 Nopember 2000 dan surat rekomendasi dari Gubernur Sumatera Barat Nomor 525.26/1465/Perek-2000 tanggal 20 Nopember 2000 mendapat persetujuan pencadangan areal IUPHHK seluas 48.000 ha.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 102/Menhut-IV/2001 tanggal 30 Januari 2001 dan telaahan yang dilakukan oleh Pusat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan dan Areal Kebun dengan Nomor 136/VIII/KP-4.2.1/2001 yang dihitung ulang dengan planimetris pencadangan areal seluas 49.440 ha yang merupakan areal bebas kepemilikan perusahaan atau tidak tumpang tindih dengan perusahaan lain. Perijinan kajian AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) telah dilakukan dengan menggunakan acuan pada peta pencadangan areal yang telah disahkan Gubernur Sumatera Barat SK.660.1.227.2001 tanggal 18 Juli 2001. Secara administrasi ijin IUPHHK diperoleh, maka diterbitkan SK IUPHHK melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. SK. 413/Menhut-II/04 tanggal 19 Oktober 2004 yang berisikan tentang Pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) hutan alam atas nama PT. Salaki Summa Sejahtera di Propinsi Sumatera Barat seluas 48.420 ha.


(26)

4.2Letak dan Luas

PT. Salaki Summa Sejahtera memiliki luas kawasan hutan sekitar 48.420 ha yang termasuk ke dalam kelompok hutan Siberut. Berdasarkan pembagian wilayah secara administrasi pemerintahan, terletak di dalam wilayah Kecamatan Siberut Utara dan Siberut Barat, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Propinsi Sumatera Barat. Secara geografis wilayah PT. Salaki Summa Sejahtera terletak

diantara 98°40’ Bujur Timur (BT) sampai dengan 99°15’ Bujur Timur (BT) dan 00°95’ Lintang Selatan (LS) sampai dengan 01°15’ Lintang Selatan (LS). Batas

areal kerja PT. Salaki Summa Sejahtera adalah sebagai berikut:

1. Sebelah Utara : Areal Penggunaan Lain (APL) dan Samudera Indonesia

2. Sebelah Timur : Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK) dan Areal Penggunaan Lahan Lain (APL)

3. Sebelah Selatan : Taman Nasional Siberut, Hutan Produksi, dan eks HPH Koperasi Andalas Madani Universitas Adalas (UNAND)

4. Sebelah Barat : Samudera Indonesia

Berdasarkan Peta Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Sumatera Barat lembar 0614, 0615, dan 0714 skala 1:250.000, areal kerja PT. Salaki Summa Sejahtera termasuk ke dalam fungsi Hutan Produksi Tetap (HP) seluas 48.420 Ha. Pulau Siberut dengan luas sekitar 403.300 ha memiliki Hutan Produksi sekitar 43% dari total luasnya. Kawasan Lindung yang terdiri dari Hutan Suaka Alam Wisata (HSWA) dan Kawasan Suaka Alam (KSA) yang ditetapkan mencapai 51% dari luas Pulau Siberut yang sebelumnya adalah fungsi hutan HPT, HL dan sebagian HP. Taman Nasional Siberut memiliki luasan 190.500 ha yang merupakan bagian dari Kawasan Suaka Alam, sedangkan sisanya merupakan kawasan budidaya non kehutanan.

4.3Kondisi Fisik

4.3.1 Topografi dan Kemiringan Lapangan

Kondisi topografi areal IUPHHK PT. Salaki Summa Sejahtera diperoleh dari deliniasi Citra Radar (DEM SRTM) dengan skala 1:25.000. Konfigurasi


(27)

lapangan areal PT. Salaki Summa Sejahtera berbeda-beda. Persentase pada daerah datar dengan kemiringan lereng 0-8% sebesar 11% atau seluas 5.134 ha. Daerah landai dengan kemiringan lereng 8-15% sebesar 34% atau seluas 16.261 ha, daerah yang agak curam dengan kemiringan 15-25% sebesar 39% atau seluas 19.083 ha, daerah curam dengan kemiringan 25-40% sebesar 14% atau seluas 6.905 ha, dan daerah yang sangat curam dengan kemiringan >40% sebesar 2% atau seluas 1.037 ha. Ketinggian kawasan IUPHHK PT. Salaki Summa Sejahtera berada pada 50-340 mdpl.

4.3.2 Tanah dan Hidrologi

Jenis tanah di areal IUPHHK PT. Salaki Summa Sejahtera diperoleh berdasarkan Peta Tanah Sistem Lahan/Kesesuian Lahan, lembar 0614 dan 0615, skala 1:250.000 Provinsi Sumatera Barat dari Pusat Penelitian Tanah dan Pengembangan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, tahun 1987. Jenis tanah dalam kawasan hutan PT. Salaki Summa Sejahtera terdiri dari jenis tanah Podsolik merah kuning 37% atau seluas 18.056 ha, Latosol 32% atau seluas 15.290 ha, dan Aluvial 31% atau seluas 15.074 ha.

Areal IUPHHK PT. Salaki Summa Sejahtera termasuk dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Sigep dan DAS Sikabaluan dengan beberapa Daerah Aliran Sungai yaitu DAS Sigep, Sikabaluan, Takungan, Tabekat, Kamumu, Pollainan, Togilitte, Tateku, Simabae dengan cabang-cabang anak sungainya. Sungai Sigep memiliki kedalaman 1-5 m dengan lebar sungai ±15 m. Sungai Sikabaluan rata-rata kedalamannya 3 m dengan lebar ±20 m. Aliran sungai-sungai pada areal kerja IUPHHK PT. Salaki Summa Sejahtera mengalir sepanjang tahun. Alur-alur yang hanya mengalir pada musim hujan juga banyak dijumpai dikawasan tersebut.

4.3.3 Iklim

Pulau Siberut terletak pada equatorial yang dikelilingi Samudera Hindia dengan kondisi udara yang selalu panas dan lembab. Kondisi iklim ini menyebabkan perubahan cuaca sangat dipengaruhi oleh sirkulasi musim tropis muson dan pengarahan konvergensi intertropis. Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidt dan Ferguson secara umum areal PT. Salaki Summa Sejahtera termasuk dalam iklim tipe A, yakni iklim tropis dengan curah hujan merata


(28)

sepanjang tahun. Data curah hujan diperoleh dari Stasiun Metereologi Sicincin, Padang Pariaman (data pengukuran Sikakap) memiliki 11,7 bulan basah dan 0,3 bulan kering dengan nilai Q = 2,65 dan IH (Intensitas Hujan) = 18,24 mm/hh dengan curah hujan rata-rata 386,21 mm/bulan dan curah hujan minimum yang terjadi pada bulan Juni (269,4 mm/bulan) maksimum pada bulan November (478,3 mm/bulan). Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 837/Kpts/Um/11/1980, intensitas hujan diatas termasuk ke dalam klasifikasi rendah dengan score 20.

4.3.4 Kondisi vegetasi

Menurut perhitungan digitasi peta penutupan lahan yang bersumber dari Peta Citra Landsat TM +7 Band 542 Path 128 Row 61 liputan tanggal 12 Mei 2006 dan 5 Agustus 2005, serta hasil interpretasi ulang dari survai potensi IHMB yang dilakukan pada bulan November 2007 terutama pada daerah tertutup awan dengan memperkirakan adanya aksebilitas penebangan kayu di sepanjang Sungai Sigep maka kondisi penutupan lahan areal IUPHHK PT Salaki Summa Sejahtera yang total luasnya ±48.420 ha terdiri dari hutan primer seluas ±2.491 ha (5%), hutan bekas tebangan seluas ±42.823 ha (89%), dan non hutan 3.106 ha (6%)

4.3.5 Potensi Tegakan

Pada PT. Salaki Summa Sejahtera kelas penutupan lahan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : kelas hutan primer, kelas hutan bekas tebangan, dan kelas bukan hutan. Pada kelas hutan primer, fungsi hutan produksi tetap memiliki luasan 1.244 ha dengan buffer zone Taman Nasional Siberut seluas 1.247 ha atau sekitar 5% dari luas total PT. Salaki Summa Sejahtera. Potensi rata-rata per hektar

untuk seluruh jenis pohon, yaitu : kelas diameter ≥20-49 cm sebesar 302,26 m3/ha

(263,21 batang/ha), kelas diameter ≥50-59 cm sebesar 182,91 m3/ha (38,74

batang/ha), dan untuk kelas diameter ≥60 cm sebesar 145,54 m3/ha (24,21 batang/ha).

Kelas hutan bekas tebangan, fungsi hutan produksi tetap memiliki luasan 37.874 ha atau sekitar 89% dari luas total PT. Salaki Summa Sejahtera dengan buffer zone Taman Nasional Siberut seluas 1.949 ha. Potensi rata-rata per hektar


(29)

(260,79 batang/ha), kelas diameter ≥50-59 cm sebesar 87,03 m3/ha (20,08 batang/ha). Sementara untuk kelas bukan hutan, fungsi hutan produksi tetap memiliki luasan 3.063 ha dengan buffer zone Taman Nasional Siberut Mentawai seluas 43 ha atau sekitar 6% dari luas total PT. Salaki Summa Sejahtera.

Pada umumnya penutupan lahan areal kerja PT. Salaki Summa Sejahtera didominasi oleh pohon-pohon jenis kayu Meranti. Selain Meranti, jenis yang banyak ditemukan, yaitu : Keruing, Katuka, Gut-gut, Ungra, Peiki, Alosit, Tumu, Polenggu dan Dalatkau. Dari sepuluh jenis pohon yang dominan hampir seluruhnya termasuk ke dalam kayu komersil.


(30)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kondisi Tegakan Sebelum Pemanenan

Kegiatan ITSP (Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan) dilakukan untuk mengetahui potensi tegakan hutan sebelum dilakukannya penebangan. Hasil ITSP plot penelitian menunjukkan kerapatan pohon yang berdiameter lebih dari 20 cm sebanyak 118,6±18,55 pohon/ha. Luas bidang dasar tegakan (LBDS) 12,77 m2/ha-25,85 m2/ha dengan rata-rata 17,75±4,28 m2/ha. Luas bidang dasar dipengaruhi oleh jumlah dan besarnya ukuran diameter setiap pohon yang terdapat pada plot penelitian. Semakin besar jumlah dan ukuran diameter pohon maka semakin besar pula luas bidang dasarnya. Potensi plot penelitian berdasarkan ITSP dapat dilihat dari besarnya volume yang terdapat pada plot penelitian yaitu : 159,40 m3/ha-384,35m3/ha dengan rata-rata 284,03±71,71m3/ha.

Kerapatan tegakan untuk pohon inti (DBH ≥20 cm) dalam tegakan sebesar

97,2 pohon/ha dan Dipterocarpaceae sebesar 31,40 pohon/ha. Berdasarkan klasifikasi kelas diameternya, maka kerapatan tegakan pohon yang paling tinggi berada pada kelas diameter 20-29 cm sebesar 48,50±10,41 pohon/ha dan yang terendah pada kelas diameter 90-99 cm sebesar 1,60±1,17 pohon/ha. Semakin tinggi kerapatan pohon tidak selalu mengakibatkan semakin besar pula potensi volumenya. Meskipun kerapatan pohon paling tinggi berada pada plot 1 namun potensi volume yang paling besar justru berada pada plot 3 yang memiliki potensi volume sebesar 384,35 m3/ha. Hal ini disebabkan keadaan pohon-pohon pada plot 3 yang memiliki diameter dan tinggi yang lebih besar dibandingkan plot 1. Potensi volume terendah berada pada plot 2, yaitu : 159,40 m3/ha karena di plot 2

ini memiliki kerapatan pohon pada kelas diameter besar (≥50 cm up) yang lebih

kecil dibanding plot-plot penelitian lainnya. Data kondisi tegakan pada plot penelitian sebelum dilakukannya kegiatan pemanenan kayu pada plot penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.


(31)

Tabel 4 Kondisi tegakan sebelum dilakukannya kegiatan pemanenan kayu pada plot penelitian

No Plot Kerapatan Tegakan Awal (phn/ha) per Kelas Diameter (cm) Jumlah LBDS (m2) VOL (m3)

20-29 30-39 40-49 50-59 60-69 70-79 80-89 90-99 100 up

1 60 37 24 18 4 0 3 0 3 149 19,99 253,64

2 37 39 17 3 3 3 2 1 1 106 12,77 159,40

3 35 25 28 11 6 5 1 2 9 122 25,85 384,35

4 39 26 24 6 3 4 1 1 1 105 13,31 165,35

5 45 17 15 6 3 7 2 1 1 97 13,97 192,14

6 41 32 23 4 2 4 2 1 2 111 15,42 208,15

7 63 31 30 8 1 1 2 3 7 146 22,61 314,62

8 55 25 19 8 4 3 0 4 6 124 19,79 299,34

9 59 33 16 10 3 1 1 2 3 128 16,44 227,33

10 51 12 14 4 3 4 3 1 6 98 17,40 275,96

Rata-rata 48,50 27,70 21,00 7,80 3,20 3,20 1,70 1,60 3,90 118,6 17,75 248,03


(32)

Jenis Dipterocarpaceae adalah salah satu jenis kayu komersial yang dipanen di IUPHHK HA PT. Salaki Summa Sejahtera dengan kerapatan sebesar 50,00±16,33 pohon/ha, 67,06% dari LBDS tegakan (11,77±3,90 m2/ha) dan 63,17% dari volume tegakan (179,45±67,40 m3/ha. Kerapatan tertinggi untuk jenis Dipterocarpaceae terdapat kelas diameter 20-29 cm yaitu 30,60% (15,3±7,69 pohon/ha) dan terendah pada kelas 80-89 cm dan 90-99 cm sebesar 3% (1,5±0,85 pohon/ha). Tegakan hutan ini didominasi oleh Dipterocarpaceae karena kerapatan Dipterocarpaceae hampir mencapai 50%.

Luas bidang dasar pada pohon inti dalam tegakan sebesar 7,81 m2/ha dan jenis Dipterocarpaceae sebesar 2,62 m2/ha. Potensi/volume pohon inti dalam tegakan akan terus bertambah sesuai dengan pertumbuhan riap pertahunnya. Luas bidang dasar dasar yang paling besar terdapat pada kelas diameter 100 cm up sebesar (3,88 ±2,89 m2/ha) untuk tegakan maupun untuk jenis Dipterocarpaceae. Luas bidang dasar paling rendah terdapat pada kelas diameter 80-89 cm sebesar 0,92±0,51 m2/ha untuk tegakan dan pada Dipterocarpaceae sebesar 0,68±0,34 m2/ha pada kelas diameter 20-29 cm. Luas bidang dasar ini dipengaruhi oleh jumlah pohon dalam per hektar dan besarnya diameter setinggi dada (DBH) pada setiap pohon. Semakin besar jumlah pohon dan semakin besar DBH pohon per hektar, maka luas bidang dasarnya akan semakin besar.

Volume tegakan pada pohon inti sebesar 83,59 m3/ha yang hanya 1/3 dari potensi tegakan dan Dipterocarpaceae sebesar 29,39 m3/ha yang hanya 1/6 dari potensi total Dipterocarpaceae. Volume tegakan yang paling besar terdapat pada kelas diameter 100 cm up sebesar 27,10% (67,22±53,00 m3/ha) dan paling kecil pada kelas diameter 80-89 cm sebesar 6,25% (15,53±8,34 m3/ha).

Sedangkan untuk jenis Dipterocarpaceae saja memiliki volume yang paling besar yaitu kelas diameter 100 cm up sebesar 35,29% (63,34±56,03 m3/ha) dan yang paling kecil terdapat pada kelas diameter 20-29 sebesar 3,57% (6,41±3,70 m3/ha). Volume tegakan dan Dipterocarpaceae dipengaruhi oleh besar diameter, panjang bebas cabang, dan jumlah pohon per ha. Walaupun jumlah pohon pada kelas diameter 20-29 cm lebih banyak dari kelas diameter lainnya, akan tetapi memiliki diameter dan panjang bebas cabang yang lebih rendah dibandingkan kelas diameter lainnya, sehingga volumenya yang terkecil.


(33)

Stok karbon tegakan sebelum dilakukan pemanenan sebesar 120,14±37,66 ton C/ha dan stok karbon untuk jenis Dipterocapaceae saja sebesar 72,38% (87,35±33,17 ton C/ha) dari stok total karbon tegakan. Stok karbon terbesar dalam tegakan terdapat pada kelas diameter 100 cm up sebesar 29,78% (35,94±26,93 ton C/ha) dan yang paling kecil terdapat pada kelas diameter 60-69 cm sebesar 5,59% (6,75±3,24 ton C/ha). Stok karbon untuk jenis Dipterocarpaceae yang paling besar terdapat pada kelas diameter 100 cm up sebesar 41,14% (35,94±26,93 ton C/ha) dan paling kecil terdapat pada kelas diameter 20-29 cm sebesar 3,17% (2,77±1,41 ton C/ha).

Stok karbon sebagian besar terletak pada pohon layak tebang dengan DBH

≥ 50 cm. Untuk stok karbon tegakan pada pohon layak tebang mencapai 81,26 ton

C/ha dan untuk Dipterocarpaceae mencapai 74,17 ton C/ha. Stok karbon pada pohon inti dalam tegakan sebesar 38,88 ton C/ha dan Dipterocarpaceae sebesar 13,17 ton C/ha. Stok karbon pada pohon inti sebesar 32,36% dari potensi simpanan karbon tegakan dan akan terus bertambah sesuai dengan riap pertumbuhan diameter per tahunnya. Dari nilai ini dapat diketahui simpanan karbon sebagian besar terdapat pada pohon layak tebang sebesar 67,63%, sehingga besarnya pengurangan stok karbon pada tegakan hutan akibat pemanenan sangat ditentukan besarnya intensitas pemanenan yang diterapkan.

Dari total stok karbon per hektar sebagian besar merupakan simpanan karbon pada Dipterocarpaceae sebesar 72,70%. Hal ini dikarenakan pohon-pohon besar atau layak tebang dalam tegakan hutan pada umumnya merupakan jenis Dipterocarpaceae. Stok karbon dalam tegakan hutan selain dipengaruhi oleh ukuran diameter juga dipengaruhi oleh banyaknya jumlah pohon pada tegakan tersebut (kerapatan pohon/ha). Semakin besar diameter pohon dan kerapatan pohon per hektar dalam tegakan maka stok karbon semakin besar pula dan begitu sebaliknya.


(34)

Tabel 5 Rata-rata potensi tegakan sebelum penebangan per kelas diameter pada plot penelitian

Kriteria Kelas Diameter (cm) Total

20-29 30-39 40-49 50-59 60-69 70-79 80-89 90-99 100 up

Rata-rata kerapatan pohon (phn/ha) 48,50 27,70 21,00 7,80 3,20 3,20 1,70 1,60 3,90 118,6

Standar deviasi 10,41 8,50 5,60 4,44 1,32 2,10 0,95 1,17 2,88 18,55

Rata-rata kerapatan Depterocarpaceae (phn/ha) 15,30 8,30 7,80 5,90 3,00 2,80 1,50 1,50 3,90 50,00

Standar deviasi 7,69 5,21 3,82 3,38 1,05 1,99 0,85 1,27 2,88 16,33

Rata-rata luas bidang dasar tegakan (m2/ha) 2,10 2,44 3,27 1,71 1,00 1,34 0,92 1,11 3,88 17,75

Standar deviasi 0,41 0,76 0,84 1,05 0,46 0,87 0,51 0,84 2,89 4,28

Rata-rata luas bidang dasar Dipterocarpaceae (m2/ha) 0,68 0,73 1,21 1,30 0,93 1,18 0,81 1,04 3,88 11,77

Standar deviasi 0,34 0,45 0,57 0,78 0,37 0,83 0,47 0,91 2,89 3,90

Rata-rata volume tegakan (m3/ha) 19,43 25,88 38,28 25,33 15,92 21,81 15,53 18,62 67,22 248,03

Standar deviasi 4,63 7,48 9,32 14,78 6,85 13,62 8,34 14,41 53,00 71,72

Rata-rata volume Dipterocarpaceae (m3/ha) 6,41 7,94 15,04 20,22 14,99 19,62 13,94 17,96 63,34 179,45

Standar deviasi 3,70 4,60 6,52 12,57 5,91 13,12 8,00 15,16 56,03 67,40

Rata-rata karbon tegakan /ha (ton C/ha) 8,53 11,87 18,48 10,58 6,75 9,83 7,18 10,98 35,94 120,14

Standar deviasi 1,64 3,73 4,73 6,66 3,24 6,38 3,99 10,37 26,93 37,66

Rata-rata karbon Dipterocarpaceae/ha (ton C/ha) 2,77 3,56 6,84 8,07 6,29 8,72 6,38 8,77 35,94 87,35

Standar deviasi 1,41 2,18 3,19 4,90 2,62 6,13 3,68 7,67 26,93 33,17


(35)

5.2 Kegiatan Pemanenan

5.2.1 Deskripsi Umum Kegiatan Pemanenan

Sistem pemanenan hasil hutan kayu yang diterapkan pada PT. Salaki Summa Sejahtera adalah sistem pemanenan secara mekanis. Secara garis besar kegiatan pemanenan terdiri dari kegiatan perencanaan PWH, penebangan, pembagian batang, penyaradan, muat dan bongkar, pengumpulan log dan pengukuran di TPn, pengangkutan, dan penimbunan kayu di TPK atau log pond.

Proses penebangan di PT. Salaki Summa Sejahtera dilakukan oleh regu chainsaw dengan sistem borongan. Setiap regu chainsaw menebang pada batas luas kepemilikan suku, bukan atas luas petak tebang (Indriyati 2010). Operator chainsaw dibantu oleh seorang helper. Sebelum kegiatan penebangan biasanya operator melihat keadaan pohon untuk menentukan boleh atau tidaknya pohon tersebut ditebang. Ketentuan itu dilihat dari ukuran diameter dan bentuk batang.

Batas limit diameter pohon layak tebang menurut sistem Silvikultur TPTI ≥40 cm,

tapi penebangan yang dilakukan di IUPHHK HA PT. Salaki Summa Sejahtera

yaitu diameter ≥50 cm. Pada umumnya Operator chainsaw tidak mau menebang pohon layak tebang yang berdiameter 50 cm, tapi yang ditebang adalah pohon layak tebang yang berdiameter lebih dari 60 cm. Hal ini karena pertimbangan diameter ujung log yang diameter 60 cm tidak akan kurang dari 50 cm dan penebangan pohon yang berdiameter kecil maka akan menghasilkan kubikasi yang rendah pula sehingga kurang ekonomis bagi mereka (Indriyati 2010).

Pada blok tebang RKT 2011 ini banyak dilakukan penebangan di areal punggung. Ini dikarenakan topografinya yang bergelombang pada kelas kelerengan tertentu. Oleh sebab itu, penentuan arah rebah pohon sangat penting karena apabila salah dalam merebahkan pohon maka pohon tersebut bisa jatuh ke lembah/jurang yang membuat log susah disarad dan bahkan tidak bisa disarad. Tentu saja ini akan merugikan pihak perusahaan dan juga operator chainsaw. Sehingga, pembuatan jalan sarad pada umumnya mengikuti punggung.

Penentuan arah rebah mempertimbangkan kemiringan pohon, bentuk tajuk, posisi pohon inti dan akar yang melilit pohon. Di petak tebang, dilakukan pembagian batang. Sesuai dengan pertimbangan dengan kemampuan alat sarad yang digunakan, karena log yang berdiameter besar dan panjang lebih dari 15


(36)

meter akan sulit ditarik oleh traktor. Sering juga dijumpai putusnya kabel seling akibat digunakan dalam menyarad log yang berdiameter besar dan panjang (Indriyati 2010).

Kegiatan penyaradan dilakukan dengan menggunakan bulldozer Cat D7G dimana jenis D7G ini memiliki 6 silinder yang dapat menghasilkan tenaga sebesar 200 tenaga kuda. Berat dari bulldozer ini kira-kira 18 ton. Ukuran lebar blade dari bulldozer ini 4 meter dan memiliki winch pada bagian belakangnya yang dugunakan untuk meyarad kayu. Panjang winch berkisar 20 meter. Daya jelajah efektif bulldozer ini pada umumnya mencapai 500 meter. Apabila digunakan pada jarak lebih dari 500 meter maka tidak efektif, efisien dan ekomomis. Oleh sebab itu, apabila jarak sarad lebih dari 500 meter dilakukan pembuatan TPn baru. Kegiatan penyaradan dimulai dengan bulldozer membuka jalan sarad. Pemilihan sistem yang digunakan pada penyaradan tergantung pada topografi lapangan dan operator bulldozer. Proses penyaradan selain dilakukan oleh satu bulldozer setiap petaknya, juga dilakukan double skidding. Double skidding adalah cara penyaradan menggunakan dua bulldozer dalam satu petak tebang secara bersama-sama dengan tujuan membagi volume log yang siap disarad. Setiap satu operator bulldozer dibantu oleh satu orang helper yang bertugas melihat kemungkinan bulldozer untuk dapat membuka jalan sarad, mengaitkan choker log yang siap sarad dan membatu proses penyaradan samapai ke TPn.

Pengangkutan dilakukan setelah proses penyaradan dan dilakukan pemuatan di TPn. Alat angkut yang digunakan yaitu logging truk Scania dan Nissan. Faktor cuaca sangat mempengaruhi dalam pengangkutan log karena sering kali terjadi hujan. Apabila turun hujan maka proses pengangkutan dihentikan karena jalan dari TPn ke Log pond tidak dirancang untuk segala cuaca (kering atau hujan). Muat bongkar dilakukan di TPn dan Log pond dengan menggunakan Loader. Pemuatan dilakukan di TPn dan TPn antara sedangkan pembongkaran dilakukan di TPn antara dan Log pond, kemudian dilakukan perakitan kayu dari Log pond ke poton/tongkang.

5.2.2 Intensitas Pemanenan

Kegiatan ITSP yang dilakukan pada plot penelitian juga dapat digunakan untuk mengetahui besarnya potensi pohon layak tebang yang terdapat pada plot


(37)

penelitian tersebut. Hal ini dapat digunakan sebagai dasar dalam menentukan intensitas pemanenan pada kegiatan pemanenan kayu. Potensi pohon yang layak tebang pada plot penelitian adalah sebesar 15,59% dari kerapatan tegakan (18,5±14,67 pohon/ha) dengan potensi volumenya sebesar 157,28±63,03 m3/ha. Pohon-pohon yang termasuk ke dalam kategori layak tebang ini merupakan pohon-pohon komersial ( jenis Diterocarpaceae) yang berdiameter lebih dari 50 cm. Penebangan dilakukan pada petak contoh memiliki kelerengan yang berbeda-beda yaitu dari 16% sampai 40%. Besarnya intensitas pemanenan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Intensitas pemanenan pada plot penelitian

Plot

Kelerengan Kerapatan Pohon layak tebang Pohon yang ditebang

(%) (phn/ha) Jumlah Vol Jumlah Vol

ITSP

Vol Log (phn/ha) (m3) (phn/ha) (m3) (m3)

1 40 149 24 139,27 11 79,52 88,52

2 34 106 11 68,78 4 32,09 35,62

3 26.5 122 26 274,00 10 157,24 170,44

4 25 105 16 95,49 11 68,07 64,11

5 38 97 16 121,00 6 27,05 30,60

6 37 111 14 124,07 5 34,24 34,82

7 27 146 21 197,03 8 96,35 74,39

8 21 124 21 204,68 10 98,21 98,33

9 24 128 16 133,42 7 66,57 65,78

10 16 98 20 215,05 14 151,04 125,55

Jumlah 1186 185 1572,79 86 810,39 788,16

Rata-rata 28,85 118,60 18,50 157,28 8,60 81,03 78,81

St dev 7,99 18,55 4,67 63,03 3,13 46,09 44,20

Dari Tabel 6 dapat dilihat perbedaan intensitas penebangan pada setiap plot. Hal ini dikarenakan perbedaan jumlah pohon layak tebang pada setiap plot, topografi plot penelitian dan kondisi pohon layak tebang. Volume log pada plot penelitian 30,60-170,44 m3/ha. Ada kecenderungan volume ITSP lebih besar dibandingkan volume log. Hal ini dikarenakan adanya pemotongan pada log yang disebabkan terjadinya kerusakan, seperti pecah dan patah batang. Dari total volume pohon yang dipanen menurut hasil ITSP sebesar 81,03±46,09 m3/ha dengan volume aktual/log 78,81±44,20 m3/ha, maka dapat diketahui bahwa kegiatan pemanenan ini tergolong baik karena volume yang dipanen 50,10 % dari


(38)

volume layak tebang jauh lebih kecil dari jatah tebang yang telah diperbolehkan sebesar 56%. Volume tebangan ini 31,77% dari volume total tegakan awal.

Intensitas penebangan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah 4-14 pohon/ha (32,09-157,24 m3/ha) dan rata-rata 8,60±3,13 pohon/ha (81,08 m3/ha dan 24,12% dari luas bidang dasar), dimana intensitas penebangan tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan dengan penelitian Wayana (2011) di Kalimantan Tengah yang intensitas pemanenannya 11,70 pohon/ha dan penelitian Sist (1997) di Kalimantan Timur dengan intensitas pemanenan 10,70 pohon/ha. Penelitian lain hutan alam tropis lainnya di bagian selatan Amazon yang dilakukan Feldpausch et al. (2005) dengan intensitas pemanenannya berkisar 1,1-2,6 pohon/ha.

Tabel 7 Pengurangan luas bidang dasar pada RIL DBH ≥ 50 cm

Plot Pohon tebangan Luas bidang dasar yang hilang Volume

(phn/ha) (% dari dari tegakan awal) (m3/ha)

1 11 22,92 79,52

2 4 14,39 32,09

3 10 29,25 157,24

4 11 31,35 68,07

5 6 11,31 27,05

6 5 12,20 34,24

7 8 24,06 96,35

8 10 27,58 98,21

9 7 23,33 66,57

10 14 44,84 151,04

Rata-rata 8,60 24,12 81,03

St dev 3,13 10,13 46,09

Dari Tabel 7 intensitas penebangan 8,60 pohon/ha dengan volume tebangan 81,10 m3/ha, maka LBDS tegakan berkurang 24,12%. Kehilangan LBDS ini lebih besar dari penelitian Sist (1997) di Kalimantan Timur dengan

limit diameter sama (DBH ≥50 cm) dan intensitas penebangan 10,7 pohon/ha

mengalami pengurangan LBDS sebesar 17,5%. Perbedaan ini dikarenakan perbedaan kerapatan tegakan per ha yang lebih besar (530,70 pohon/ha) pada lokasi penelitiannya (Kalimantan Timur).


(39)

5.3 Kerusakan Tegakan Pasca Pemanenan

5.3.1 Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Penebangan dan Penyaradan

Kerusakan tegakan tinggal merupakan perbandingan antara pohon yang rusak akibat pemanenan kayu dengan pohon yang tidak ikut dalam rencana penebangan. Persentase kerusakan tegakan tinggal adalah perbandingan antara jumlah pohon yang rusak dengan jumlah pohon awal sebelum pemanenan yang dikurangi dengan jumlah pohon yang ditebang. Pada intensitas pemanenan dan kerapatan yang berbeda maka akan menimbulkan kerusakan yang berbeda pula. Persentase kerusakan tegakan tinggal pada berbagai intensitas penebangan dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Hubungan persentase kerusakan tegakan tinggal pada berbagai intensitas penebangan.

Pada Gambar 2 terlihat bahwa intensitas pemanenan yang tinggi cenderung mengakibatkan kerusakan tinggal yang besar. Untuk intensitas pemanenan yang sama juga mengalami persentase kerusakan yang berbeda (intensitas penebangan 10 dan 11 pohon/ha). Persentase kerusakan apabila ditebang 10 pohon per ha sebesar 29,82-32,14% dan penebangan 11 pohon/ha sebesar 30,43-32,98%. Perbedaaan persentase kerusakan pada setiap plot karena kerapatan tegakan awal setiap plot berbeda. Persentase kerusakan tegakan tinggal rata-rata sebesar 28,55±6,69%. Kerusakan tegakan tinggal terjadi karena tertimpanya pohon inti pada tegakan oleh pohon tebangan. Rebahnya pohon tebangan menyebabkan kerusakan pada pohon-pohon di sekitarnya. Kegiatan

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

0 3 6 9 12 15

Ker u sak an teg ak an ti n g g al (% )


(40)

penyaradan juga menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kerusakan tegakan tinggal. Kerusakan akibat penyaradan berasal dari pohon yang mengalami kerusakan ketika pembuatan jalan sarad dan pohon yang mengalami kerusakan ketika bulldozer bermanuver dalam menyarad log yang telah ditebang. Kerusakan tegakan tinggal itu sendiri terbagi menjadi beberapa tingkat kerusakan yaitu kerusakan tingkat ringan, sedang dan berat. Persentase tingkat kerusakan tersebut dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan dan penyaradan

Tingkat kerusakan

Persentase kerusakan per kelas diameter (%) Total 20-29 (cm) 30-39 (cm) 40-49 (cm) 50 up (cm) Berat

1. Rusak tajuk >50% 2,18 1,18 0,18 - 3,82

2. Luka batang >1/2 D - - - - -

3. Patah batang 2,27 1,00 0,64 - 3,91

4. Pecah batang 0,45 0,18 - 0,18 0,82

5. Roboh 4,27 1,55 0,36 0,18 6,09

6. Miring < 45° 0,18 0,09 - - 0,27

7. Rusak banir >1/2 D 0,09 - - - 0,09

Jumlah 9,45 3,97 1,22 0,36 15,00

Sedang

1. Rusak tajuk 30-50% 2,55 1,64 0,55 - 4,64

2. Luka batang 1/4 -1/2 batang 2,36 1,18 0,45 - 4,00

3. Rusak banir 1/3-1/2 0,45 - 0,08 - 0,55

4. Miring > 45° 0,18 0,09 - - 0,27

Jumlah 5,45 2,94 1,03 - 9,45

Ringan

1. Rusak tajuk <30% 1,82 1,27 0,82 - 3,91

2. Luka batang 0,09 - - - 0,09

3. Rusak banir < ¼ - - 0,09 - 0,09

Jumlah 1,91 1,27 0,91 - 4,09

Total 16,81 8,21 3,16 0,36 28,55

Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa bentuk kerusakan yang paling besar terjadi pada kelas diameter 20-29 cm sebesar 16,81%, kelas diameter 30-39 cm sebesar 8,21%, kelas diameter 40-49 cm sebesar 3,16%, dan kelas diameter 50 cm up sebesar 0,36%. Dari tabel di atas, dapat dinyatakan bahwa dalam pemanenan hutan alam, semakin kecil kelas diameter tegakan tinggal maka kerusakan akan semakin besar. Hal ini dikeranakan besarnya kerapatan pohon yang berdiameter


(41)

kecil dan memiliki daya tahan yang rendah terhadap pohon-pohon yang menimpanya saat penebangan. Berikut diagram kerusakan tegakan tinggal pada masing-masing kelas diameter.

Gambar 3 Kerusakan tegakan tinggal per kelas diameter. Ket: Jumlah kerusakan (batang±standar deviasi) akibat pemanenan pada intensitas pemanenan 8,60 pohon/ha.

Pada Gambar 3 terlihat bahwa tingkat kerusakan berat, sedang, dan ringan secara berturut pada tegakan tinggal akibat kegiatan penebangan dan penyaradan sebesar 16,50 pohon/ha, 10,4 pohon/ha dan 4,5 pohon/ha. Kerusakan berat banyak terjadi pada kelas diameter pohon 20-29 cm sebanyak 10,1 pohon/ha dan paling sedikit pada kelas 50 cm up sebanyak 0,36 pohon/ha. Rata-rata intensitas pemanenan pada plot penelitian adalah 8,60 pohon/ha yang mengakibatkan kerusakan pada tegakan tinggal sebanyak 31,40 pohon/ha yang terdiri dari kerusakan berat 16,5 pohon/ha, sedang 10,4 pohon/ha, dan ringan 4,5 pohon/ha. Hal ini berarti bahwa setiap penebangan 1 pohon/ha mengakibatkan kerusakan sebanyak 3,65 pohon/ha, yang terdiri dari kerusakan berat sebesar 1,92 pohon/ha, kerusakan sedang 1,2 pohon/ha dan kerusakan ringan 0,52 pohon/ha pada tegakan tinggal.

Penelitian Wayana (2011) menyatakan kegiatan pemanenan kayu dengan intensitas pemanenan sebesar 11,70 pohon/ha mengakibatkan kerusakan tegakan tinggal sebesar 29,90 pohon/ha yang terdiri dari tingkat kerusakan berat 14,20 pohon/ha, tingkat kerusakan sedang 7,40 pohon/ha dan tingkat kerusakan ringan

0 2 4 6 8 10 12 14 16

20-29 30-39 40-49 50 up

Ju m lah Ker u sak an ( P h n /Ha)

Kelas Diameter (cm)

Berat Sedang Ringan


(42)

8,30 pohon/ha pada kerusakan tegakan tinggal dengan diameter ≥20 cm. Penebangan 1 pohon/ha mengakibatkan kerusakan sebanyak 2,55 pohon/ha yang terdiri dari kerusakan berat sebesar 1,21 pohon/ha, kerusakan sedang 0,63 pohon/ha dan kerusakan ringan 0,71 pohon/ha pada tegakan tinggal. Hasil penelitian ini memiliki kerusakan yang jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan Penelitian Aryono (2010) yang menyatakan dari kegiatan pemanenan 1 pohon/ha pada tegakan rapat maka akan mengakibatkan 19 pohon/ha mengalami kerusakan berat dan dari pemanenan 1 pohon/ha pada tegakan rawang akan mengakibatkan 17 pohon/ha mengalami kerusakan berat pada kerusakan tegakan tinggal dengan

diameter ≥ 10 cm.

Kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan kayu banyak terjadi pada pohon-pohon kelas diameter kecil (20-29 cm). Kerusakan tegakan tinggal ini dikarenakan pohon yang berdiameter kecil memiliki kerapatan yang lebih besar dan berada di bawah pohon besar sehingga saat pohon yang ditebang rebah banyak yang tertimpa. Pohon berdiameter kecil tidak cukup kuat untuk menahan pohon yang menimpanya. Begitu juga pada saat penyaradan log, pohon berdiameter kecil akan mudah rusak bila tertabrak bulldozer dan log yang memiliki ukuran jauh lebih besar. Berikut data persentase kerusakan tegakan tinggal tingkat berat disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Kerusakan tegakan tinggal tingkat kerusakan berat

Plot Kerapatan

(phn/ha)

Intensitas penebangan

(phn/ha)

Persentase kerusakan berat per kelas

diameter (%) Jumlah

20-29 30-39 40-49 50 up

1 149 11 10,14 4,35 - - 14,49

2 106 4 10,78 3,92 1,96 - 16,67

3 122 10 12,50 1,96 1,79 1,79 18,03

4 105 11 6,38 5,32 3,19 - 14,89

5 97 6 9,89 4,40 - - 14,29

6 111 5 4,72 4,72 0,94 - 10,38

7 146 8 5,07 5,07 1,45 - 11,59

8 124 10 9,65 3,51 0,88 - 14,04

9 128 7 7,44 1,65 0,83 1,65 11,57

10 98 14 17,86 4,76 1,19 - 23,81

Rata-rata 118,60 8,60 9,44 3,97 1,22 0,34 15,00


(43)

Berdasarkan Tabel 9 persentase tingkat kerusakan berat 15,00%, dimana kerusakan berat banyak terjadi pada kelas diameter 20-29 cm sebesar 9,44% dan yang terkecil pada kelas 50 cm up sebesar 0,34%. Penelitian Wayana (2011) mengatakan bahwa kerusakan berat pada pemanenan hutan pada intensitas penebangan 11,70 pohon/ha mengakibatkan kerusakan berat pada penebangan 8,72% dan penyaradan 4,40%. Kerusakan berat pada tegakan tinggal akan berakibat pohon tersebut tidak dapat kembali pulih atau mati. Jadi pada saat menebang pohon, pohon yang berdiameter kecil harus diperhatikan dengan menentukan arah rebah terbaik yang memiliki kerapatan pohon kecil rendah sehingga dapat mengurangi besarnya kerusakan pada pohon berdiameter kecil (20-29 cm).

Bentuk kerusakan yang paling sering ditimbulkan akibat kegiatan penebangan adalah bentuk kerusakan rusak tajuk sebesar 43,31% dan roboh sebesar 22,29%. Kerusakan ini disebabkan oleh banyaknya liana yang saling melilit dan besarnya hempasan ketika pohon yang ditebang menimpa individu pohon lainnya. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Elias (1995) dimana kerusakan terbesar akibat penebangan terdapat pada bentuk rusak tajuk sebesar 49,45% dan patah batang sebesar 23,08%. Pada penelitian Wayana (2011) kerusakan terbesar akibat penebangan terdapat pada bentuk kerusakan tajuk sebesar 57,53% dan patah batang sebesar 16,72%. Kerusakan tegakan tinggal dapat juga dikelompokan berdasarkan bentuk kerusakannya (Tabel 10).

Tabel 10 Bentuk kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan dan penyaradan

Bentuk Kerusakan Jumlah Pohon Menurut Tingkat Kerusakan Persentase

Ringan Sedang Berat Jumlah (%)

Rusak Tajuk 43 51 42 136 43,31

Luka Batang 1 44 - 45 14,33

Patah Batang - - 43 43 13,69

Pecah Batang - - 9 9 2,87

Roboh,Miring<45° - - 70 70 22,29

Condong,Miring>45° - 3 - 3 0,96

Rusak Banir 1 6 1 8 2,55

Total 45 104 165 314 100

Rata-rata 4,50 10,40 16,50 31,40


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

RINGKASAN

FRENSI FIRMA. Emisi Karbon Potensial Akibat Pemanenan Secara Mekanis di Hutan Alam Tropis (Kasus Konsesi Hutan PT. Salaki Summa Sejahtera, Pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat). Dibimbing Oleh

TEDDY RUSOLONO

PT. Salaki Summa Sejahtera adalah perusahaan yang memiliki hak konsesi hutan di Pulau Siberut dengan luas 48.420 ha. Pengelolaan hutan dilakukan dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Pada areal kerja dilakukan kegiatan pemanenan dengan intensitas pemanenan yang berbeda-beda sesuai dengan potensi tegakan hutan. Intensitas pemanenan yang tinggi akan menimbulkan kerusakan tegakan tinggal dan keterbukaan areal yang besar. Areal kerja PT. Salaki Summa Sejahtera berada di kawasan Cagar Biosfer yang ditetapkan oleh UNESCO yang harus menekan kerusakan serendah mungkin. Pengelolan hutan yang terencana dengan baik dan penerapan Reduce Impact

logging (RIL) merupakan cara yang baik untuk meminimalisasi kerusakan.

Penelitian ini dilakukan dengan membuat 10 plot dalam petak tebang secara purposive sampling yang posisi plotnya diskontinyu. Kerapatan tegakan hutan rata-rata 118,6 pohon/ha dengan volume 248,03 m3/ha. Pada intensitas pemanenan 8,6 pohon/ha dengan volume tebangan 78,81 m3/ha menyebabkan kerusakan tegakan tinggal sebesar 31,4 pohon/ha (28,55%) yang dapat dikelompokan menjadi kerusakan berat 52,53%, sedang 33,09%, dan ringan 14,32%. Pohon yang paling banyak mengalami kerusakan berasal dari pohon berdiameter 20-29 cm yang mencapai 16,73%. Kondisi tegakan tinggal rata-rata setelah penebangan 78,60 pohon/ha dengan volume 132,53 m3/ha (53,43% dari stok sebelum penebangan). Keterbukaan areal yang terjadi akibat kegiatan penyaradan kayu sebesar 6,20%.

Pemanenan kayu berpotensi melepas karbon ke udara yang berasal dari pohon yang diproduksi dan tegakan yang mengalami kerusakan berat rata-rata sebesar 46,74 ton C/ha atau 38,90% dari potensi stok karbon sebelum pemanenan kayu. Emisi karbon yang nyata terjadi di hutan adalah yang bersumber dari dekomposisi limbah sisa penebangan dan pohon-pohon rusak berat yang mungkin mengalami kematian rata-rata sebesar 16,86 ton C/ha.

Kata kunci: Pulau Siberut, Intensitas Pemanenan, Kerusakan Tegakan Tinggal, Emisi Karbon Potensial, dan Keterbukaan Areal.


(6)

SUMMARY

FRENSI FIRMA.Potential Carbon Emissions Due to Harvesting The Mechanics in Natural Tropical Forest (Case Forest Consession PT. Salaki Summa Sejahtera, Island of Siberut, West Sumatra Province). Under the Supervision TEDDY RUSOLONO

PT. Summa Salaki Sejahtera is a company that has the concession rights on the island of Siberut with an area of 48.420 ha. Management forest of silvicultural systems applied using Selective Cutting and Planting Indonesia (TPTI). In the area of harvesting work done by havesting intensity varying according to the potential of forest stand. Harvesting of hight intensity will couse demage to the residual stand and large open area. Work area of PT Salaki Summa Sejahtera site in Biosphere Reserves are areas set by UNESCO to reduce damage to a minimum. Management forest well-planned and the implementation of reduce impact logging (RIL) is a good way to minimize the damage.

The research was carried out by making 10 plots in a purposive sampling compartment of cutting a discontinuous plot position. Forest stand density average of 118,6 trees/ha with a volume of 248,03 m3/ha. On average harvesting intensity 8,6 trees / ha with a volume of 78,81 m3/ha harvest residual stand damage of 31,4 trees/ha (28,55%) that can be grouped into heavy damage 52,53%, while 33,09%, 14,32% and mild. The most experienced tree damage from trees 20-29 cm in diameter which reached 16,73%. Conditions of the average residual stand after logging 78,60 trees/ha with a volume of 132,53 m3/ha (53,43% of the stock prior to logging). Then, the openness of the area caused by skidding activity of 6,20%.

Timber harvesting activities potentially releasing carbon into the air from trees that are produced and stands heavily damaged by an average of 46,74 tonnes C/ha or 38,90% of potential carbon stocks prior to harvesting timber. Carbon emissions, which obviously occurred in the forest is derived from the decomposition of residual waste and logging damaged trees are likely to experience death an average of 16,86 ton C/ha.

Key words: Siberut Island, The intensity of the Harvesting, Stand Damage Living, Potential Carbon Emissions, and Openness area.