The Role of Cibinong Subdistrict as the Center of Economy Growth in Bogor Regency

ANALISIS PERAN KECAMATAN CIBINONG
SEBAGAI PUSAT PERTUMBUHAN EKONOMI
DI KABUPATEN BOGOR

ISNINA WAHYUNING SAPTA UTAMI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Analisis Peran
Kecamatan Cibinong sebagai Pusat Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten Bogor
adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.


Bogor, Juli 2012

Isnina Wahyuning Sapta Utami
H152080151

ABSTRACT
ISNINA WAHYUNING SAPTA UTAMI. The Role of Cibinong Subdistrict as
the Center of Economy Growth in Bogor Regency. Under direction of SRI
MULATSIH and SAID RUSLI.
The aims of this study are (1) to identify the development of facilities in Cibinong
Subdistric,(2) to analyze the role of Cibinong Subdistric as the centre of economic
Growth in Bogor regency, (3) to analyse the changing structure of labour in
Cibinong Subdistrict. This research was a quantitative descriptive research. The
data used was secondary data which was from Statistic Center Agency (BPS) in
Bogor Regency and BAPPEDA. This study using data PODES 2005 and 2011,
data from Population Cencus of 2000 and 2010. Quantitative analysis were
Scalogram Analysis, transformation labour and descriptif analysis. The result
showed that the highest score of facilities was in Cibinong Subdistric. Cibinong
Subdistric as the center of economic development growth in Bogor Regency
(hierarchy I). Labor structure in Cibinong Subdistrict was changing from

dominan in agricultural sector to manufacturing and service sectors.
Keywords: facilities, hierarchy, structural change

RINGKASAN
ISNINA WAHYUNING SAPTA UTAMI. Analisis Peran Kecamatan Cibinong
sebagai Pusat Pertumbuhan di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh SRI
MULATSIH dan SAID RUSLI.
Setiap daerah mempunyai keinginan yang sama dalam upaya
mengembangkan dan mensejahterakan wilayahnya, namun tantangan dan
hambatan setiap daerah pun berbeda-beda antara lain karena potensi yang
berbeda-beda. Menurut Rustiadi, et. al (2009), hal ini disebabkan berbagai faktor
antara lain faktor struktur sosial ekonomi dan distribusi spasial dari sumber daya
bawaan yang mencakup faktor geografi, sejarah, politik, kebijakan pemerintah,
administrasi, sosial budaya dan ekonomi. Perbedaan pertumbuhan bukan hanya
terjadi antar propinsi di wilayah Indonesia, tetapi antar kabupaten-kota di seluruh
Indonesia, bahkan antar kecamatan.
Kabupaten Bogor sebagai wilayah yang berdampingan langsung dengan
wilayah Ibukota Indonesia (DKI Jakarta) tentu akan terpengaruh perkembangan
perekonomiannya. Apabila Pemerintah Kabupaten Bogor, khususnya Kecamatan
Cibinong sebagai pusat kota dari Kabupaten Bogor, dapat mengelola potensi

sumber daya dan pengadaan prasarana dan sarananya maka akan membawa efek
positif terhadap peningkatan kesejahteraan bagi masyarakatnya.
Dari data sekunder Podes 2005 dan 2011, yang dianalisis dengan
skalogram, menunjukkan bahwa Kecamatan Cibinong berperan sebagai pusat
pertumbuhan. Hal ini ditunjukkan secara konsisten Kecamatan Cibinong tetap
pada Hierarki I dan didukung dari peningkatan jumlah unit fasilitas ekonomi dan
sosial. Kecamatan Cibinong termasuk Hierarki I diantara 40 kecamatan yang ada
di Kabupaten Bogor yang artinya merupakan wilayah maju yang berpotensi
menjadi pusat pelayanan fasilitas. Perkembangan fasilitas di Kecamatan Cibinong
selama tahun 2005-2011 mengalami peningkatan pada 13 jenis fasilitas,
sedangkan 2 jenis fasilitas lainnya mengalami penurunan.
Location Quotient (LQ) digunakan untuk mengetahui perubahan struktur
tenaga kerja di Kecamatan Cibinong dari tahun 2000-2010 menunjukkan bahwa
struktur tenaga kerja di Kecamatan Cibinong mengalami perubahan struktur
tenaga kerja, dengan perubahan kontribusi di sektor manufaktur sebesar 6.33
persen dan di sektor jasa sebesar 0.12 persen.
Kata kunci: fasilitas, hierarki, perubahan struktur

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa ijin IPB.

ANALISIS PERAN KECAMATAN CIBINONG
SEBAGAI PUSAT PERTUMBUHAN EKONOMI
DI KABUPATEN BOGOR

ISNINA WAHYUNING SAPTA UTAMI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Setia Hadi, M.S

PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis dengan
judul “Analisis Peran Kecamatan Cibinong sebagai Pusat Pertumbuhan di
Kabupaten Bogor”. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan
penghargaan sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr. dan Ir. Said
Rusli, M.A, sebagai komisi pembimbing yang telah mencurahkan waktu,
pemikiran serta kesabaran memberi pengarahan dan masukkan bagi kelengkapan
penulisan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Bambang
Juanda, MS sebagai ketua program studi PWD dan Dr. Ir. Setia Hadi, MS sebagai
penguji luar komisi yang memberi masukan bagi kelengkapan penulisan ini.
Terima kasih kepada Pimpinan Universitas Terbuka dan Pimpinan
Fakultas Ekonomi beserta teman-teman sejawat yang telah memberikan ijin,
rekomendasi, biaya serta segala dukungan selama penulis mengikuti pendidikan di

Institut Pertanian Bogor (IPB). Bu Nurlatifah,SE., M.Si. dari kantor Badan Pusat
Statistik (BPS) Kabupaten Bogor. Mbak Ir.Emma, M.Si. dari Program Studi PWL
yang dengan sabar dan ikhlas meluangkan waktunya mengiringi langkah
pengolahan data. Pihak lain yang telah bekerjasama dalam penelitian ini.
Ir, Djoko Santosa suamiku dan Nikko Zainindra Alif Santosa dan Donny
Audiansyah Surya Santosa anak-anakku yang telah memberikan keceriaan,
semangat, doa, perhatian, dukungan, dan kasih sayang yang tulus kepada penulis.
Keluarga besar Soetjipta dan Wiratmo serta keluarga Om Sri Rahardjo yang
senantiasa menguatkan penulis dengan doa dan semangat yang tiada terputus.
Khususnya buat keluarga besar kakakku Dewi SEY, SE terima kasih banyak atas
pengorbanan waktu dan tenaganya.
Kepada teman-teman PWD Angkatan 2008 (Arief, Said, Sutiya, Adrianus,
Michael, Eka, Arafat, bu Andi, bu Rika, pak Rudi, pak Steve, pak Adit, pak Asep,
pak Tajerin dan pak Hanan), saudaraku di PWD Angkatan 2009 (pak Firman, pak
Puji, Wawan, Tabrani, bu Hj. Linda, pak Adam, pak Dede, pak Endang, pak
Masril, pak H. Untung, pak Alex, pak Enirawan dan bu Luh), mbak Elva, mbak
Nisa, mbak Lisa, bu Odah, bu Ummay, bu Ria, Dian Verawati, pak Indra, pak
Aris, pak Bambang Tri, pak Jun, pak Mahyudin, serta teman-teman terima kasih
atas semua dukungan dan kebersamaan. Serta semua pihak yang tidak bisa
disebutkan satu persatu, atas semua kontribusinya terhadap penyelesaian tesis ini.

Bogor, Juli 2012
Isnina Wahyuning Sapta Utami

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 6 April 1970 dari ayah H.
Drs. Soetjipta, M.Sc. (almarhum) dan ibu Hj. Sri Rahayuningsih (almarhumah).
Penulis merupakan bungsu dari tujuh bersaudara. Penulis menyelesaikan
pendidikan dasar di SDN II Ikip Yogyakarta pada tahun 1982, SMPN II Ikip
Yogyakarta selesai tahun 1985 dan SMA Institut Indonesia I di Yogyakarta lulus
tahun 1988. Melanjutkan pendidikan studi S1 di Fakultas Ekonomi Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.
Dari tahun 1998 sampai sekarang, penulis bekerja di Fakultas Ekonomi
Universitas Terbuka pada Jurusan Ekonomi Pembangunan. Tahun 2008, penulis
melanjutkan kuliah S2 pada Program Studi Perencanaan Wilayah dan Perdesaan,
Sekolah Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Penulis telah
menikah pada tahun 1999 dengan Ir. Djoko Santosa dan dikaruniai dua orang
anak; Nikko Zainindra Alif Santosa dan Donny Audiansyah Surya Santosa

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ……………………………………………………….
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………….
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………..
I.

II.

III.

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang …………….…………………………………….
1.2 Perumusan Masalah …………..…………………………………
1.3 Tujuan Penelitian………………….…………………………….
1.4 Manfaat Penelitian……………….………………………………

1
3
3
3


TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Wilayah dan Perwilayahan…...………………………..
2.2 Hierarki Wilayah……………………………………………….
2.3 Pembangunan Wilayah………………………………………….
2.4 Indikator pembangunan…………………………………………
2.5 Pembangunan Sektor Basis …..…………………………………
2.6 Teori Perubahan Struktural………………………………............
2.7 Penelitian Terdahulu ..………………………………………….
2.8 Kerangka Pemikiran …………………………………………….

5
7
12
16
20
21
22
24


METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian…………………………………………………
3.2 Teknik dan Pengumpulan Data………………………………….
3.3 Metode Analisis...………………………………..……………..
3.3.1 Analisi Deskriptif………………………………………
3.3.2 Analisis Perkembangan Wilayah Metode Skalogram…
3.3.3 Identifikasi Sektor Unggulan ..……………………….

27
27
27
27
28
30

IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN BOGOR..…………………..
V.

HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Perkembangan Fasilitas di Kecamatan Cibinong……………….

5.2 Kecamatan Cibinong sebagai Pusat Pertumbuhan Ekonomi …..
5.3 Perubahan Struktur Tenaga Kerja Kecamatan Cibinong ……..

VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan …….…………………………………………….
6.2. Saran…………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….

33

45
46
51
61
61
62
63

LAMPIRAN ……………………………………………………………….

67

DAFTAR TABEL
Halaman
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17

18
19
20
21

Indikator-indikator Pembangunan Wilayah Berdasarkan Basis/
Pendekatan Pengelompokkannya
Nilai Selang Hierarki IPK
Matrik Tujuan, Metode, Data dalam Penelitian
Peringkat Jumlah Penduduk Sebelas Provinsi dengan Jumlah
penduduk Terbanyak Berdasarkan Sensus Penduduk 2010
Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut
Lapangan Usaha Utama dan jenis kelamin di Kabupaten Bogor 2007
Proyeksi Angkatan Kerja di Kabupaten Bogor Tahun 2004-2009
Jumlah Penduduk, Luas Lahan dan Kepadatannya di Kecamatan
Cibinong Tahun 2008
PDRB kabupaten Bogor Atas dasar harga Konstan 2000 Menurut
Lapangan Usaha tahun 2007-2010 (triliun rupiah)
Perkembangan Fasilitas Kecamatan Cibinong dari Tahun 2005-2011
Persentase Rumah Tangga yang Memiliki Akses Komunikasi, 2010
Wilayah dengan Hierarki I di Kabupaten Bogor tahun 2005 dan
Tahun 2011
Wilayah Kecamatan dengan Hierarki II di Kabupaten Bogor tahun
2005 dan Tahun 2011
Wilayah Kecamatan dengan Hierarki III di Kabupaten Bogor tahun
2005 dan Tahun 2011
Wilayah Kecamatan di Kabupaten Bogor tahun 2005 dan Tahun 2011
Kontribusi Jumlah Tenaga Kerja Penduduk berumur 15 Tahun keatas
yang bekerja Terhadap Total Tenaga Kerja Kabupaten Bogor (%)
Perubahan Jumlah Tenaga Kerja Hasil Sensus Penduduk tahun 20002010 di Kabupaten Bogor (%)
Perubahan Kontribusi Jumlah Tenaga Kerja Penduduk berumur 15
Tahun Keatas yang Bekerja Terhadap Total Tenaga Kerja Kabupaten
Bogor (%)
Kontribusi Tenaga Kerja Tahun 2010 Diurutkan Berdasarkan Sektor
Pertanian (%)
Kontribusi Tenaga Kerja Tahun 2010 Diurutkan Berdasarkan Sektor
Manufaktur (%)
Kontribusi Tenaga Kerja Tahun 2010 Diurutkan Berdasarkan Sektor
Jasa (%)
Hasil Perhitungan LQ Jumlah Tenaga Kerja Hasil Sensus Penduduk
Tahun 2000 dan 2010 per Kecamatan Terhadap Total Tenaga Kerja
Kabupaten Bogor

19
29
31

39
39
40
40
41
45
46
48
49
50
51
52
53
54

55
56
57

59

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Sistematika Penyusunan Konsep-konsep Indikator Kinerja
Pembangunan Wilayah …………………….………………………..
Struktur Proses Pembangunan …………….………………………..
Perubahan Struktur Ekonomi dalam Proses Pembangunan Ekonomi:
Suatu Ilustrasi ………………………………………………………….
Kerangka Pemikiran Penelitian …………….………………………
Kawasan Budidaya di Kabupaten Bogor …………………………….
Wilayah Kecamatan Cibinong ………………………………………
Peta Hierarki per Kecamatan di Kabupaten Bogor Data Podes Tahun
2005 ………………………………………………………………
Peta Hierarki per Kecamatan di Kabupaten Bogor data Podes tahun
2011 …………………………………………………………………

17
18
22
24
37
42
47
48

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.
2.

Data Hasil Analisis Skalogram Tahun 2005……………………….
Data Hasil Analisis Skalogram Tahun 2011…….…………………

67
69

1

I. PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Pertumbuhan ekonomi, struktur ekonomi dan semakin kecilnya

ketimpangan pendapatan antarpenduduk, antardaerah dan antarsektor masih
menjadi bagian dari tolok ukur keberhasilan suatu pembangunan. Menurut
Djojohadikusumo (1994), pertumbuhan ekonomi

berpokok pada

proses

peningkatan produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat.
Sedangkan menurut Arsyad (1999) pembangunan ekonomi daerah adalah proses
dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya yang ada
melalui suatu pola kemitraan antara pemerintah dengan sektor swasta untuk
menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan
ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut. Prinsip pertumbuhan
ekonomi juga ditentukan oleh adanya industri yang cenderung akan menarik
modal dari daerah sekitarnya, hal ini disebabkan karena keuntungan letak lokasi
pada wilayah tersebut.
Menurut Weiss (1988) dalam Tambunan (2001), pembangunan ekonomi
dalam periode jangka panjang, mengikuti pertumbuhan pendapatan nasional, akan
membawa suatu perubahan mendasar dalam struktur ekonomi, dari ekonomi
tradisional dengan pertanian sebagai sektor utama ke ekonomi modern yang
didominasi oleh sektor-sektor nonprimer. Ada kecenderungan atau dapat dilihat
sebagai suatu hipotesis bahwa semakin tinggi laju pertumbuhan ekonomi rata-rata
per tahun yang membuat semakin tinggi atau semakin cepat proses peningkatan
pendapatan masyarakat per kapita semakin cepat perubahan struktur ekonomi
dengan asumsi bahwa faktor-faktor penentu lain mendukung proses tersebut,
seperti tenaga kerja, bahan baku dan teknologi tersedia.
Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah meskipun telah mendapatkan
kebebasan dari pemerintah dalam hal pengaturan dan pengelolaan daerahnya
melalui Undang-Undang tentang Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 1999 dan
undang-undang turunannya, pada kenyataannya tidak serta merta menjadikan
semua daerah berkembang dengan pesat. Meskipun setiap daerah mempunyai
keinginan yang sama dalam upaya mengembangkan dan mensejahterakan

2

masyarakat wilayahnya, namun tantangan dan hambatan setiap daerah pun
berbeda-beda antara lain karena potensi atau keunggulan berbeda-beda. Menurut
Rustiadi, et. al (2009), hal ini disebabkan berbagai faktor antara lain faktor
struktur sosial ekonomi dan distribusi spasial dari sumberdaya bawaan yang
mencakup faktor geografi, sejarah, politik, kebijakan pemerintah, administrasi,
sosial budaya dan ekonomi. Perbedaan pertumbuhan atau yang lebih dikenal
dengan istilah disparitas antarwilayah ini, bukan hanya terjadi antar provinsi di
wilayah Indonesia, tetapi antar kabupaten/kota di seluruh Indonesia, bahkan
antarkecamatan. Terjadinya disparitas disamping alasan yang dikemukakan di
atas, juga dipicu oleh terkonsentrasinya kegiatan penduduk di suatu wilayah
tertentu sehingga membentuk suatu pusat-pusat ekonomi atau pusat-pusat
perdagangan.
Penelitian dari Adnan (2009), menunjukkan bahwa penetapan kawasan
sebagai pusat pertumbuhan ekonomi umumnya dipengaruhi oleh pertimbanganpertimbangan pembangunan ekonomi yang dianggap penting oleh pemerintah
daerah. Meskipun pembangunan ekonomi yang berupa peningkatan output dan
pendapatan riil per kapita bukan satu-satunya sasaran kebijakan namun kebijakan
ekonomi dalam rangka kenaikan pertumbuhan output harus dilakukan. Hal ini
dikarenakan pertumbuhan ekonomi diperlukan sebagai suatu syarat dalam
peningkatan kesejahteraan rakyat dan juga sebagai prasyarat dalam mencapai
tujuan pembangunan seperti pembangunan bidang pendidikan/ peningkatan SDM,
pembangunan bidang kesehatan, sarana dan prasarana sosial dan lain sebagainya.
Sehingga kebijakan dari suatu daerah belum tentu sesuai bagi daerah lain karena
masing-masing daerah kondisi dan potensinya berbeda dan tergantung dari
masalah yang ada maupun kebutuhan daerah yang bersangkutan.
Kabupaten Bogor merupakan daerah dengan beberapa wilayah yang
berbatasan langsung dengan Ibukota Jakarta yang merupakan pusat ekonomi,
perdagangan, perindustrian bahkan pemerintahan. Kabupaten Bogor adalah salah
satu wilayah penyangga (hinterland) yang potensial bagi terjadinya penghisapan
atau eksploitasi (backwash effects) dari pembangunan di DKI Jakarta, atau
sebaliknya menjadi daerah yang mempunyai efek penyebaran (spread effect)
pembangunan bagi pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Bogor itu sendiri. Selain

3

itu jika ditinjau dari keberadaaan Kabupaten Bogor yang mengelilingi wilayah
Kota Bogor tentunya juga akan menjadikan dampak tertentu bagi masyarakat di
wilayah Kabupaten Bogor.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1982
merupakan dasar dari Pemindahan Ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor
dari wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor ke Kecamatan Cibinong di
wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor. Keberadaan Kecamatan Cibinong di
wilayah pembangunan Tengah diharapkan bisa menjadikan akses masyarakat di
wilayah kecamatan yang lain menjadi lebih baik terhadap pelaksanaan pelayanan
pusat kota Kabupaten Bogor. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan maka
peran Kecamatan Cibinong sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di Kabupaten
Bogor menarik dan perlu untuk dilakukan dalam upaya pengembangan wilayah di
Kabupaten Bogor. Dalam hubungan inilah penelitian ini dilakukan.
1.2.

Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan pokok

permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana perkembangan fasilitas di Kecamatan Cibinong?
2. Apakah Kecamatan Cibinong berperan sebagai pusat pertumbuhan di
Kabupaten Bogor?
3. Bagaimana struktur tenaga kerja di Kecamatan Cibinong selama tahun 20002010?

1.3.

Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin diperoleh dalam penelitian ini adalah untuk;
1. Mengetahui perkembangan Fasilitas-fasilitas di Kecamatan Cibinong
2. Menganalisis peran Kecamatan Cibinong sebagai pusat pertumbuhan ekonomi
di Kabupaten Bogor
3. Menganalisis perubahan struktur tenaga kerja di Kecamatan Cibinong.

1.4.

Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi tentang peran Kecamatan Cibinong sebagai pusat
pemerintahan di Kabupaten Bogor.

4

2. Memberi masukan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dalam rangka
mengembangkan wilayah kecamatan-kecamatan disekitarnya.
3. Dapat sebagai bahan perbandingan bagi peneliti-peneliti yang lain dengan
pokok permasalahan yang sama.

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Wilayah dan Perwilayahan
Suatu wilayah terkait dengan beragam aspek, sehingga definisi baku
mengenai wilayah belum ada kesepakatan di antara para ahli. Sebagian ahli
mendefinisikan wilayah dengan merujuk pada tipe-tipe wilayah, ada yang
mengacu pada fungsinya, dan ada pula yang berdasarkan korelasi yang kuat
diantara unsur-unsur (fisik dan non fisik) pembentuk suatu wilayah. Sehingga,
pengertian wilayah tidak hanya sebatas aspek fisik tanah, namun juga aspek lain
seperti biologi, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan.
Menurut Rustiadi et al. (2009) wilayah didefinisikan sebagai unit
geografis dengan batas-batas spesifik (tertentu) dimana komponen-komponen
wilayah tersebut (sub wilayah) satu sama lain saling berinteraksi secara
fungsional. Sedangkan menurut undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis
beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.
Keragaman dalam mendefinisikan konsep wilayah terjadi karena
perbedaan dalam permasalahan ataupun tujuan pengembangan wilayah yang
dihadapi. Kenyataannya, tidak ada konsep wilayah yang benar-benar diterima
secara luas.

Para ahli cenderung melepaskan perbedaan-perbedaan konsep

wilayah sesuai dengan fokus masalah dan tujuan-tujuan pengembangan wilayah.
Menurut Budiharsono (2005), wilayah dapat dibagi menjadi: (1) wilayah
homogen; (2) wilayah nodal; (3) wilayah perencanaan; dan (4) wilayah
administratif. Berbeda dengan pengklasifikasian diatas, Rustiadi et al. (2009)
berpendapat bahwa kerangka klasifikasi konsep wilayah yang lebih mampu
menjelaskan berbagai konsep yang dikenal selama ini adalah (1) wilayah
homogen

(uniform);

(2)

wilayah

sistem/fungsional,

dan

(3)

perencanaan/pengelolaan (planning region atau programming region).

wilayah
Dalam

pendekatan klasifikasi konsep wilayah ini, wilayah nodal dipandang sebagai salah
satu bentuk dari konsep wilayah sistem. Sedangkan dalam kelompok konsep
wilayah perencanaan, terdapat konsep wilayah administratif-politis dan wilayah

6

perencanaan fungsional. Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi
berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut
bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan bisa saja beragam
(heterogen).

Dengan demikian wilayah homogen tidak lain adalah wilayah-

wilayah yang diidentifikasikan berdasarkan adanya sumber-sumber kesamaan atau
faktor perincinya yang menonjol di wilayah tersebut.
Konsep wilayah atau region menurut Aristoteles dalam Adisasmita (2005),
mempunyai tiga macam pengertian yaitu; wilayah homogen, wilayah polarisasi
atau wilayah nodal dan wilayah perencanaan atau wilayah program. Wilayah
homogen diartikan sebagai suatu konsep yang menganggap bahwa wilayahwilayah geografis dapat dikaitkan bersama-sama menjadi sebuah wilayah tunggal
apabila wilayah-wilayah tersebut mempunyai karakteristik serupa. Karakteristik
dapat bersifat ekonomi, bersifat geografis bahkan bias bersifat sosial atau politis,
sehingga mudah untuk dibedakan dengan karakteristik wilayah-wilayah lainnya.
Berbeda dengan konsep wilayah homogen, menurut Rustiadi, et.al (2009),
konsep wilayah sistem/fungsional justru menekankan perbedaan dua komponenkomponen wilayah yang terpisah berdasarkan fungsinya.

Pengertian wilayah

sebagai suatu sistem dilandasi atas pemikiran bahwa suatu wilayah adalah suatu
entitas yang terdiri atas komponen-komponen atau bagian-bagian yang memiliki
keterkaitan, ketergantungan dan saling berinteraksi satu sama lain dan tidak
terpisahkan dalam kesatuan. Setiap sistem selalu terbagi atas dua atau lebih
subsistem, dan selanjutnya setiap subsistem terbagi atas bagian-bagian yang lebih
kecil lagi. Suatu subsistem atau bagian dapat membutuhkan masukan (input) dari
subsistem atau bagian yang lainnya, dan keluaran (output) suatu subsistem/bagian
tersebut dapat digunakan sebagai input subsistem/bagian lainnya, dan seterusnya.
Wilayah sistem kompleks memiliki jumlah/kelompok unsur penyusun
serta struktur yang lebih rumit. Konsep-konsep wilayah sistem kompleks dapat
dibagi atas wilayah sebagai (1) sistem ekologi (ekosistem), (2) sistem sosial, (3)
sistem ekonomi atau gabungan atas dua atau lebih sistem. Sebagai suatu sistem
ekologi, secara geografis permukaan bumi terbagi atas berbagai bentuk ekosistem,
seperti ekosistem hutan, ekosistem padang rumput, ekosistem laut, dan
sebagainya. Sistem perwilayahan administrasi terkait sangat erat pada sistem

7

pemerintahan beserta perangkat-perangkatnya.
administratif,

juga

dikenal

Diluar sistem perwilayahan

berbagai

perwilayahan-perwilayahan

perencanaan/pengelolaan yang tidak terlalu struktural melainkan sebagai unit-unit
koordinasi atau pengelolaan yang terfokus pada tujuan-tujuan dan penyelesaianpenyelesaian masalah tertentu, seperti kawasan otorita DAS, Free Trade Zone,
dan lain-lain.
Menurut Rustiadi et al. (2009) pengembangan konsep wilayah dan
penerapannya pada dunia nyata akan menghasilkan suatu perwilayahan.
Permukaan bumi akan terbagi-bagi atas berbagai wilayah sesuai dengan konsep
wilayahnya. Perbedaan konsep wilayah yang diterapkan menghasilkan perbedaan
unit-unit atau batas-batas wilayah yang dihasilkan. Perwilayahan tidak lain
merupakan cara atau metode klasifikasi yang berguna untuk mendeskripsikan
fenomena, termasuk di dalam menggambarkan hubungan antara manuasia dengan
sumber daya yang dimanfaatkannnya di atas permukaan bumi. Keragaman dan
perbedaan karakteristik sumberdaya-sumberdaya serta perilaku dan cara-cara
manusia memanfaatkannya di atas dunia ini dapat dijelaskan dan disederhanakan
dengan

pengklasifikasian

spasial.

Dengan

demikian,

klasifikasi

spasial

(perwilayahan) tidak lain merupakan alat (tools) untuk mempermudah
menjelaskan keragaman dan berbagai karaktersitik fenomena yang ada atau
singkatnya merupakan alat untuk “memotret” kehidupan nyata yang beragam
secara spasial. Sebagai alat deskripsi, konsep perwilayahan merupakan bagian
dari konsep-konsep alami, yakni sebagai alat mendeskripsikan hal-hal yang terjadi
secara alamiah di dalam kehidupan.
merupakan

alat

untuk

Di sisi lain, konsep perwilayahan juga

perencanaan/pengelolaan

(konsep

non

alamiah).

Perwilayahan digunakan sebagai alat untuk mengelola dan mencapai tujuantujuan pembangunan.

Kebijakan perwilayahan digunakan untuk penerapan

pengelolaan (manajemen) sumberdaya yang memerlukan pendekatan yang
berbeda-beda sesuai dengan perbedaan karakteristik spasial.
2.2. Hierarki Wilayah
Secara teori, hierarki wilayah ditentukan oleh tingkat kapasitas pelayanan
wilayah secara totalitas yang tidak terbatas ditunjukkan oleh kapasitas
infrastruktur fisiknya saja tetapi juga kapasitas kelembagaan, sumberdaya

8

manusia

serta

kapasitas-kapasitas

perekonomiannya.

Secara

historik,

pertumbuhan suatu pusat atau kota ditunjang oleh hinterland yang baik. Secara
operasional, pusat-pusat wilayah mempunyai hierarki spesifik yang hierarkinya
ditentukan oleh kapasitas pelayanannya. Kapasitas pelayanan (regional services
capacity) yang dimaksud adalah kapasitas sumberdaya suatu wilayah (regional
resources), yang mencakup kapasitas sumberdaya alam (natural resources),
sumberdaya manusia (human resources), sumberdaya sosial (social capital) dan
sumberdaya

buatan

(man-made

resources/infrastructure).

Disamping itu,

kapasitas pelayanan suatu wilayah dicerminkan pula oleh magnitude (besaran)
aktivitas sosial-ekonomi masyarakat yang ada di suatu wilayah.
Secara fisik dan operasional, sumberdaya yang paling mudah dinilai dalam
penghitungan kapasitas pelayanan adalah sumberdaya buatan (sarana dan
prasarana pada pusat-pusat wilayah).

Secara sederhana, kapasitas pelayanan

infrastruktur atau prasarana wilayah dapat diukur dari: (1) jumlah sarana
pelayanan, (2) jumlah jenis sarana pelayanan yang ada, serta (3) kualitas sarana
pelayanan. Sedangkan besaran aktivitas sosial-ekonomi serta operasional dapat
diukur dari jumlah penduduk, perputaran uang, aktivitas-aktivitas ekonomi,
PDRB, jumlah jenis organisasi atau lembaga formal maupun non formal.
Semakin banyak jumlah dan jumlah jenis sarana pelayanan serta semakin tinggi
aktivitas sosial ekonomi mencerminkan kapasitas pusat wilayah yang tinggi yang
berarti juga menunjukkan hierarki pusat yang tinggi. Banyaknya jumlah sarana
pelayanan dan jumlah jenis sarana pelayanan berkorelasi kuat dengan jumlah
penduduk di suatu wilayah.

Pusat-pusat hierarki tinggi melayani pusat-pusat

dengan hierarki yang lebih rendah disamping juga melayani hinterland di
sekitarnya. Kegiatan yang sederhana dapat dilayani oleh pusat yang berhierarki
rendah, sedangkan kegiatan-kegiatan yang semakin kompleks dilayani oleh pusat
berhierarki tinggi (Rustiadi et al. 2009).
Berdasarkan konsep wilayah nodal, pusat atau daerah belakang
(hinterland) suatu wilayah dapat ditentukan dari kelengkapan fungsi pelayanan
suatu wilayah.

Wilayah yang mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum,

industri dan jumlah penduduk dengan kualitas dan kuantitas relatif paling lengkap
dibandingkan dengan wilayah lain akan menjadi pusat atau mempunyai hierarki

9

wilayah yang lebih tinggi. Pusat wilayah ini biasanya berfungsi sebagai: (1)
tempat terkonsentrasinya penduduk (pemukiman); (2) pusat pelayanan terhadap
daerah hinterland; (3) pasar bagi komoditas-komoditas pertanian maupun industri;
dan (4) lokasi pemusatan industri manufaktur (manufactory) yakni kegiatan
mengorganisasikan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan suatu output
tertentu. Sebaliknya jika suatu wilayah mempunyai jumlah dan jenis fasilitas
umum, industri serta jumlah penduduk dengan kuantitas dan kualitas paling
rendah merupakan wilayah hinterland dari unit wilayah lain. Wilayah hinterland
ini biasanya berfungsi sebagai : (1) pemasok (produsen) bahan-bahan mentah dan
atau bahan baku; (2) pemasok tenaga kerja melalui proses urbanisasi dan
commuting (menglaju); (3) daerah pemasaran barang dan jasa industri
manufaktur; dan (4) penjaga keseimbangan ekologis. Struktur wilayah nodal
sangat efisien khususnya dalam mendukung pengembangan ekonomi dan sistem
transportasi. Mekanisme pasar bebas secara alami cenderung membentuk struktur
wilayah nodal (Rustiadi et al. 2009).
Suatu pusat yang berorde tinggi pada umumnya mempunyai jumlah sarana
dan jumlah jenis sarana dan prasarana pelayanan yang lebih banyak dari orde
yang lebih rendah. Dengan demikian pusat yang berorde lebih tinggi melayani
pusat-pusat yang berorde lebih rendah.

Selain itu, jumlah jenis dan sarana

pelayanan yang ada pada suatu pusat pada umumnya berkorelasi erat dengan
jumlah penduduk. Dengan demikian, pada pusat-pusat berorde tinggi seringkali
mempunyai kepadatan penduduk yang lebih tinggi. Beberapa teknik dan metode
sederhana yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi hierarki pusat-pusat
wilayah adalah dengan metode skalogram, metode sosiogram dan metode biseksi
(bisection) (Rustiadi et al. 2009; Budiharsono 2005).

Dengan menggunakan

metode tersebut semua nama pusat wilayah, jumlah penduduk, jumlah jenis dan
sarana pelayanan dicatat dalam sebuah format matriks.
Hierarki wilayah dapat membantu untuk menentukan fasilitas apa
yang harus ada atau perlu dibangun di masing-masing wilayah.

Fasilitas

kepentingan umum bukan hanya menyangkut jenisnya, tetapi juga kapasitas
pelayanan dan kualitasnya.

Jenis fasilitas itu mungkin harus ada di seluruh

wilayah, tetapi kapasitas dan kualitas pelayanannya harus berbeda. Makin maju

10

suatu wilayah, semakin beragam fasilitas yang disediakan sehingga makin luas
wilayah pengaruhnya (Tarigan 2004).

Secara umum dapat dikatakan bahwa

semakin besar jumlah penduduk dan semakin banyak jumlah fasilitas serta jumlah
jenis fasilitas pada suatu pusat maka akan semakin tinggi hierarki pusat tersebut
(Budiharsono 2005).
Menurut Tarigan (2004), bahwa hubungan antara pusat pertumbuhan dan
wilayah pendukung dapat dikategori atas 3 bentuk hubungan, yakni :
(1) Hubungan generatif, yakni hubungan yang saling menguntungkan atau saling
menyumbangkan antara daerah yang lebih maju dengan daerah yang ada di
belakangnya. Daerah kota atau wilayah pusat dapat menyerap tenaga kerja
atau memasarkan produksi dari daerah pedalaman (wilayah yang lebih
terbelakang). Sedangkan wilayah pedalaman berfungsi untuk memasarkan
produk-produk yang dihasilkan oleh industri perkotaan, dan sekaligus dapat
memenuhi kebutuhan wilayah belakang. Selain itu wilayah pusat (kota)
berperan sebagai tempat inovasi dan modernisasi yang dapat diserap oleh
daerah pedalaman. Adanya pertukaran dan saling ketergantungan ini akan
menyebabkan terjadinya pertumbuhan dan perkembangan sejajar antara
wilayah pusat dan wilayah belakang.
(2). Hubungan Parasitif, yakni hubungan yang terjadi dimana wilayah kota
(wilayah yang lebih maju) tidak banyak membantu atau menolong wilayah
belakangnya (hinterland). Wilayah kota yang bersifat parasit, umumnya kota
yang belum banyak berkembang industrinya dan masih berciri wilayah
pertanian, tetapi berciri wilayah perkotaan sekaligus.
(3) Hubungan enclave (tertutup), yakni hubungan dimana wilayah pusat (kota
yang lebih maju), seakan-akan terpisah sama sekali dengan daerah sekitarnya
yang lebih terbelakang.

Buruknya sarana dan prasarana, perbedaan taraf

hidup dan pendidikan yang mencolok dan faktor-faktor lainnya dapat
menyebabkan kurang hubungan antar wilayah pusat dan hinterland. Untuk
menghindari

hal

ini,

wilayah-wilayah

terbelakang

perlu

didorong

pertumbuhannya, sedangkan wilayah yang lebih maju dapat berkembang atas
kemampuannya sendiri.

11

Selanjutnya dikatakan pula bahwa tidak semua kota generatif dapat
dikategorikan sebagai pusat pertumbuhan, karena pusat pertumbuhan harus
memiliki empat ciri, yakni:
(1) Adanya hubungan internal dari berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai
ekonomi. Hubungan internal sangat menentukan dinamika sebuah kota. Ada
keterkaitan antara sektor dan sektor lainnya sehingga apabila ada satu sektor
yang tumbuh akan mendorong pertumbuhan sektor lainnya, karena saling
terkait. Pertumbuhan tidak terlihat pincang, ada sektor yang tumbuh cepat
tetapi ada sektor lainnya yang tidak terkena imbas sama sekali. Berbeda
halnya dengan sebuah kota, yang fungsinya sebagai perantara (transit).
Dimana kota tersebut hanya berfungsi mengumpulkan berbagai macam
komoditi dari wilayah di belakangnya dan menjual ke kota lain yang lebih
besar dan selanjutnya dapat membeli berbagai macam kebutuhan masyarakat
dari kota lain untuk didistribusikan ke wilayah yang ada di belakangnya. Kota
dengan ciri perantara, tidak terdapat banyak pengolahan ataupun kegiatan
yang dapat menciptakan nilai tambah (value edded) atau tidak ada proses
industri yang menghasilkan value added.
(2) Adanya efek pengganda (multiplier effect). Keberadaan sektor-sektor yang
saling terkait dan saling mendukung akan menciptakan efek ganda. Apabila
ada suatu sektor disuatu wilayah mengalami kenaikan permintaan yang
berasal dari luar wilayah, maka produksi sektor tersebut akan meningkat,
karena ada keterkaitan dengan sektor-sektor lain, maka produksi sektor-sektor
lain juga meningkat dan terjadi beberapa kali putaran pertumbuhan, sehingga
total kenaikan produksi bisa beberapa kali lipat dibandingkan dengan
kenaikan permintaan awal yang berasal dari luar wilayah tersebut. Unsur efek
pengganda tersebut sangat berperan untuk membuat sebuah kota dapat
memacu pertumbuhan wilayah di belakangnya, karena terjadi peningkatan
produksi pada sektor di wilayah yang lebih maju, akan memacu dan
meningkatkan permintaan bahan baku dari wilayah-wilayah yang berada di
belakangnya.
(3) Adanya konsentrasi geografis. Konsentrasi geografis dari berbagai sektor atau
fasilitas, selain bisa menciptakan efisiensi di antara sektor-sektor yang saling

12

membutuhkan, juga meningkatkan daya tarik (attractiveness) dari wilayah
yang lebih maju tersebut. Orang yang datang ke wilayah tersebut, dapat
memperoleh berbagai kebutuhan pada lokasi yang berdekatan. Dengan
demikian dapat menghemat waktu, tenaga dan biaya. Hal tersebut menjadi
daya tarik untuk dikunjungi orang, karena volume interaksi yang semakin
meningkat akan menciptakan economic of scale sehingga terjadi efisiensi
lanjutan.
(4) Bersifat mendorong pertumbuhan daerah belakangnya. Hal ini berarti antara
wilayah yang lebih maju dan wilayah belakangnya terdapat hubungan yang
harmonis. Wilayah yang lebih maju membutuhkan bahan baku dari wilayah
belakangnya untuk mengembangkan diri, apabila wilayah yang lebih maju
memiliki hubungan yang harmonis dengan daerah belakangnya dan juga
memiliki ketiga ciri di atas, maka wilayah tersebut akan berfungsi mendorong
wilayah belakangnya.
2.3. Pembangunan Wilayah
Definisi pembangunan oleh para ahli dapat bermacam-macam, namun
secara umum bahwa pembangunan merupakan proses untuk melakukan
perubahan.

Secara sederhana menurut Riyadi dan Bratakusumah (2004),

pembangunan diartikan sebagai suatu upaya untuk melakukan perubahan menjadi
lebih baik, sedangkan menurut Sukirno (2006), pembangunan ekonomi adalah
serangkaian usaha dalam suatu perekonomian untuk mengembangkan kegiatan
ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak tersedia, perusahaan semakin
banyak dan semakin berkembang, taraf pendidikan semakin tinggi dan teknologi
semakin

meningkat.

Implikasi

dari

pembangunan

kesempatan kerja akan bertambah, tingkat

ekonomi

diharapkan

pendapatan meningkat

dan

kemakmuran menjadi semakin tinggi.
Rustiadi et al. (2009) berpendapat bahwa secara filosofis suatu proses
pembangunan

dapat

diartikan

sebagai

upaya

yang

sistematik

dan

berkesinambungan, untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan
berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling
humanistik. Selanjutnya Todaro dalam Rustiadi et al. (2009) menyatakan bahwa
pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang

13

mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap
masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi
pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan
kemiskinan.
Pembangunan sebagai suatu proses perubahan tidak terlepas dari
perencanaan, sehingga perencanaan pembangunan didefinisikan sebagai suatu
proses perumusan alternatif-alternatif atau keputusan-keputusan yang didasarkan
pada data-data dan fakta yang akan digunakan sebagai bahan untuk melaksanakan
suatu rangkaian kegiatan atau aktivitas kemasyarakatan, baik yang bersifat fisik
maupun non-fisik (mental dan spiritual) dalam rangka mencapai tujuan yang lebih
baik (Riyadi dan Bratakusumah 2004).

Namun demikian suatu perencanaan

pembangunan sangat terkait dengan unsur wilayah atau lokasi dimana suatu
aktivitas kegiatan dilaksanakan, sehingga Riyadi dan Bratakusumah (2004)
mendefinisikan perencanaan pembangunan wilayah sebagai suatu proses
perencanaan pembangunan yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan
menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat,
pemrintah dan lingkungan dalam wilayah/daerah tertentu, dengan memanfaatkan
atau mendayagunakan berbagai sumberdaya yang ada dan harus memiliki
orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap tapi tetap berpegang pada azas
prioritas.
Menurut Sumodiningrat (1999) pembangunan daerah dapat dilihat dari
beberapa segi, yaitu pembangunan sektoral, pembangunan wilayah, dan
pembangunan pemerintahan.

Dari segi pembangunan sektoral, pembangunan

daerah merupakan pencapaian sasaran pembangunan nasional yang dilakukan
melalui berbagai kegiatan atau pembangunan sektoral, seperti pertanian, industri
dan jasa yang dilaksanakan di daerah. Pembangunan sektoral dilaksanakan di
daerah sesuai dengan kondisi dan potensinya. Dari segi pembangunan wilayah,
meliputi perkotaan dan perdesaan sebagai pusat dan lokasi kegiatan sosial
ekonomi dari wilayah tersebut. Dari segi pemerintahan, pembangunan daerah
merupakan usaha untuk mengembangkan dan memperkuat pemerintah daerah
untuk makin mantapnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi dan
bertanggungjawab. Pembangunan daerah di Indonesia memiliki dua aspek yaitu

14

bertujuan memacu pertumbuhan ekonomi dan sosial di daerah yang relatif
terbelakang dan untuk lebih memperbaiki dan meningkatkan kemampuan daerah
dalam melaksanakan pembangunan melalui kemampuan menyusun perencanaan
sendiri dan pelaksanaan program serta proyek secara efektif.
Paradigma pembangunan, selama beberapa dekade terakhir terus
mengalami pergeseran dan perubahan-perubahan mendasar. Berbagai pergeseran
paradigma akibat adanya distrosi berupa “kesalahan” di dalam menerapkan
model-model pembangunan yang ada selama ini adalah sebagai berikut (Rustiadi
et al. (2009):
(1) Pergeseran dari situasi harus memilih antara pertumbuhan, pemerataan dan
keberlanjutan sebagai pilihan-pilihan yang tidak saling menenggang (trade
off)

ke

keharusan

mencapai

tujuan

pembangunan

tersebut

secara

“berimbang”.
(2) Kecenderungan pendekatan dari cenderung melihat pencapaian tujuan-tujuan
pembangunan yang diukur secara makro menjadi pendekatan-pendekatan
regional dan lokal.
(3) Pergeseran asumsi tentang peranan pemerintah yang dominan menjadi
pendekatan pembangunan yang mendorong pertisipasi masyarakat di dalam
proses pembangunan (perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian).
Di masa sekarang dan yang akan datang diperlukan adanya pendekatan
perencanaan wilayah yang berbasis pada hal-hal berikut : (i) sebagai bagian dari
upaya memenuhi kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya
untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak diinginkan, (ii) menciptakan
keseimbangan pembangunan antar wilayah, (iii) menciptakan keseimbangan
pemanfaatan sumberdaya di masa sekarang dan masa yang akan datang
(pembangunan berkelanjutan), dan (iv) disesuaikan dengan kapasitas pemerintah
dan masyarakat untuk mengimplementasikan perencanaan yang disusun.
Paradigma baru saat ini meyakini bahwa pembangunan harus diarahkan
kepada terjadinya pemerataan (equity), pertumbuhan (growth), dan keberlanjutan
(sustainability) dalam pembangunan ekonomi. Paradigma baru pembangunan ini
dapat mengacu kepada dalil kedua fundamental ekonomi kesejahteraan (the
second fundamental of welfare economics), dimana dalil ini menyatakan bahwa

15

sebenarnya pemerintah dapat memilih target pemerataan ekonomi yang
diinginkan melalui transfer, perpajakan dan subsidi, sedangkan ekonomi
selebihnya dapat diserahkan kepada mekanisme pasar.
Salah satu ciri penting pembangunan wilayah adalah upaya mencapai
pembangunan berimbang (balanced development).

Isu pembangunan wilayah

atau daerah yang berimbang menurut Murty (2000) dalam Rustiadi et al. (2009)
tidak mengharuskan adanya kesamaan tingkat pembangunan antar daerah (equally
developed), juga tidak menuntut pencapaian tingkat industrialisasi wilayah/daerah
yang seragam, juga bentuk-bentuk keseragaman pola dan sruktur ekonomi daerah,
atau juga tingkat pemenuhan kebutuhan dasar (self suficiency) setiap
wilayah/daerah.
potensi

Pembangunan yang berimbang adalah terpenuhinya potensi-

pembangunan

wilayah/daerah

yang

sesuai

dengan

jelas-jelas

kapasitas

beragam

pembangunan
sehingga

setiap

memberikan

keuntungan/manfaat yang optimal bagi masyarakat di seluruh wilayah (all
regions).
Pertumbuhan ekonomi menurut Boediono (1999), secara singkat adalah
merupakan proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Pertumbuhan
ekonomi adalah suatu “proses”, bukan suatu gambaran ekonomi pada suatu saat,
jadi melihat aspek dinamis dari suatu perekonomian yaitu melihat bagaimana
suatu perekonomian berkembang atau berubah dari waktu ke waktu. Tekanannya
pada perubahan atau perkembangan itu sendiri. Suatu perekonomian tumbuh
apabila dalam jangka waktu yang cukup lama (10, 20 atau 50 tahun atau bahkan
lebih lama lagi) mengalami kenaikan output per kapita atau kecenderungan
mengalami kenaikan output per kapita.
Proses pertumbuhan ekonomi menurut Adam Smith (dalam Boediono
1999), dibedakan dalam dua aspek utama dari pertumbuhan ekonomi yaitu
a. Pertumbuhan output (GDP = Gross Domestic Product) total
b. Pertumbuhan penduduk
Kedua aspek saling berkaitan satu sama lain. Sistem produksi suatu negara terdiri
dari tiga unsur pokok yaitu; pertama; sumber-sumber alam yang tersedia (atau
faktor produksi “tanah”), kedua; sumber-sumber manusiawi (atau jumlah
penduduk), ketiga; stok capital yang ada.

16

2.4. Indikator-indikator Pembangunan
Menurut Rustiadi et al. (2009), setiap perencanaan pembangunan wilayah
memerlukan batasan praktikal yang dapat digunakan secara operasional untuk
mengukur tingkat perkembangan wilayahnya.

Secara umum tampaknya

pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan output produksi yang tinggi memang
merupakan kinerja pembangunan yang paling populer.

Namun demikian,

pertumbuhan perekonomian yang pesat tersebut, jika disertai dengan munculnya
berbagai masalah berupa penurunan distribusi pendapatan, peningkatan jumlah
pengangguran, peningkatan jumlah keluarga di bawah garis kemiskinan serta
kerusakan sumbedaya alam akan berdampak paradoks dan mengarah pada
kemunduran pembangunan itu sendiri.

Adanya permasalahan-permasalahan

tersebut memaksa para pakar pembangunan di tahun 70-an mulai mengkaji ulang
tolok ukur (indikator) tersebut bukan hanya pertambahan output seperti GNP,
tetapi harus disertai beberapa tolok ukur lainnya. Indikator adalah ukuran
kuantitatif dan/atau kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu
sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, indikator kinerja harus
merupakan sesuatu yang akan dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar
untuk menilai atau melihat tingkat kinerja baik dalam tahap perencanaan,
pelaksanaan maupun tahap setelah kegiatan selesai dan berfungsi. Selain itu,
indikator kinerja digunakan untuk meyakinkan bahwa hari demi hari organisasi
atau program yang bersangkutan menunjukkan kemajuan dalam rangka menuju
tujuan dan sasaran yang ditetapkan.
Secara umum, indikator kinerja memiliki fungsi untuk (1) memperjelas
tentang apa, berapa dan kapan suatu kegiatan dilaksanakan, (2) menciptakan
konsensus yang dibangun oleh berbagai pihak terkait, untuk menghindari
kesalahan interpretasi selama pelaksanaan kebijakan/program/kegiatan dan dalam
menilai kinerjanya, dan (3) membangun dasar bagi pengukuran, analisis dan
evaluasi kinerja organisasi/unit kerja.

Menurut Rustiadi et al. (2009), dari

berbagai pendekatan yang ada, setidaknya terdapat tiga kelompok cara dalam
menetapkan indikator pembangunan, yakni (1) indikator berbasis tujuan
pembangunan, (2) indikator berbasis kapasitas sumberdaya, dan (3) indikator
berbasis proses pembangunan (Gambar 1)

17

Sumber : Rustiadi et al. (2009)

Gambar 1. Sistematika Penyusunan Konsep-Konsep Indikator Kinerja
Pembangunan Wilayah
Indikator berbasis tujuan pembangunan merupakan sekumpulan cara
mengukur tingkat kinerja pembangunan dengan mengembangkan berbagai ukuran
operasional berdasarkan tujuan-tujuan pembangunan. Dari berbagai pendekatan,
dapat disimpulkan tiga tujuan pembangunan, yakni: (1) produktivitas, efisiensi
dan pertumbuhan (growth), (2) pemerataan keadilan dan keberimbangan (equity),
dan (3) keberlanjutan (sustainability).
Pembangunan juga harus dilihat sebagai suatu upaya secara terus menerus
untuk meningkatkan dan mempertahankan kapasitas sumberdaya-sumberdaya
pembangunan, sehingga kapasitas sumberdaya pembangunan sering menjadi
indikator yang penting dalam pembangunan. Sumberdaya adalah segala sesuatu
yang dapat menghasilkan utilitas (kemanfaatan) baik melalui proses produksi atau
penyediaan barang dan jasa maupun tidak.

Dalam perspektif ekonomi

sumberdaya, sumberdaya juga diartikan sebagai segala sesuatu yang dipandang
memiliki nilai ekonomi.
Terdapat berbagai cara mengelompokkan atau mengklasifikasikan
sumberdaya. Salah satu cara mengklasifikasikan sumberdaya yang paling umum
adalah dengan memilah sumberdaya atas sumberdaya yang dapat diperbaharui
(renewable resources) dan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui (non
renewable resources).

Pendekatan lain dalam klasifikasi sumberdaya adalah

18

dengan memilah atas: (1) sumberdaya alam (natural resources), (2) sumberdaya
manusia (human resources), (3) sumberdaya fisik buatan (man-made resources),
mencakup prasaran dan sarana wilayah, dan (4) sumberdaya sosial. Masingmasing sumberdaya memiliki sifat kelangkaan dan berbagai bentuk karakteristik
unik yang menyebabkan pengelolaannya memerlukan pendekatan yang berbedabeda. Pembangunan adalah suatu proses, yang kadangkala kinerja pembangunan
tetap perlu dievaluasi meskipun prosesnya masih pada tahap dini atau belum
memperlihatkan hasil yang dapat ditunjukkan. Sampai tahap ini, penilaian kinerja
proses pembangunan setidaknya dapat dilihat input-inputnya. Keragaan dari input
setidaknya

akan

menentukan

keragaan

pembangunan

pada

tahap-tahap

selanjutnya. Di sisi lain, evaluasi atau kinerja pembangunan seringkali hanya
dilakukan pada pencapaian-pencapaian jangka pendek yang tidak bersifat esensial
atau mendasar. Akibatnya tidak menghasilkan manfaat-manfaat jangka panjang
atau bahkan merugikan akibat dampak-dampak yang bersifat jangka panjang.
Oleh karenanya, pencapaian output jangka pendek belum memberi jaminan
tercapainya tujuan-tujuan jangka panjang yang lebih hakiki.

Sumber : Rustiadi et al. (2009)

Gambar 2. Struktur Proses Pembangunan
Proses pembangunan sebagai bagian dari aliran proses digambarkan oleh
Rustiadi et al. (2009) seperti ditunjukkan pada Gambar 2, yang dimulai dari tahap
input, implementasi, output, outcome, benefit dan impact.

Masing-masing

19

pencapaian tahap output, outcome, benefit dan impact dapat mempengaruhi
kembali pada faktor input.
Tabel 1

Indikator-Indikator
Pembangunan
Basis/Pendekatan Pengelompokkannya

Basis/Pendekatan

Kelompok

1. Produktivitas,
Efisiensi dan
Pertum