The Study of The Development and The Role of Horticulture Agribusiness On Regional Economy in Karo Regency, North Sumatra Province

(1)

STUDI PENGEMBANGAN DAN PERAN

AGRIBISNIS HORTIKULTURA

DALAM PEREKONOMIAN WILAYAH

DI KABUPATEN KARO SUMATERA UTARA

RIMTA TERRA ROSA BR PINEM

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Studi Pengembangan Dan Peran Agribisnis Hortikultura Dalam Perekonomian Wilayah Di Kabupaten Karo Sumatera Utara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, November 2011 Rimta Terra Rosa Br Pinem


(4)

(5)

of Horticulture Agribusiness On Regional Economy in Karo Regency, North Sumatra Province. Under direction of SETIA HADI and BABA BARUS.

Agribusiness is a system consist of up stream, on farm, downstream, and supporting subsystem. The better linkages between agribusiness systems, the greater role of agribusiness system in the regional economy. These linkages result in rotation of added value, thus providing a multiplier effect on the regional economy. The purpose of the study are (1) to describe the development of the agribusiness sub-system of horticulture, (2) to evaluate the condition and completeness of the settlements systems and agribusiness system (3) to evaluate the structure of supply chain in horticulture agribusiness system, and (4) to analyze the role of horticulture agribusiness system in regional economy of Karo Regency. Horticulture sector has a stronger linkage with up-stream sectors than down-stream sector. Horticulture sector has significant Direct Backward Linkage with manufacturing Industry. Although the contribution to the formation of GDP and total output are not significant, but the sector has good role in a multiplier effect. Horticulture processing industry and its supporting infrastructure were not available in Simpang Empat, Tiga Panah and Barus Jahe. The post harvest infrastructure are still limited. The small scale farmers and farmers enterprises did not have power to access them. The lock of post –harvest infrastructure has implied to the low bargaining position of farmers in trade. The tecgnique used in this study were including description of the agribusiness system, infrastructure analysis (scalogram), margin supply chain analysis, and input-output analysis. Up-stream and on farm agribusiness subsystems were developed than down-stream subsystem. The development of the up-down-stream subsystem was identified based on the acces of farmers to obtain the primary inputs of agricultural production. Downstream subsystem have not been developed yet. This was reinforced by the lowest of margin trade which was obtained by farmer, than any other elements in trade.


(6)

(7)

RIMTA TERRA ROSA BR PINEM. Studi Pengembangan Dan Peran Agribisnis Hortikultura Dalam Perekonomian Wilayah Di Kabupaten Karo Sumatera Utara. Dibimbing oleh SETIA HADI dan BABA BARUS.

Agribisnis sebagai salah satu sistem merupakan konsep pengelolaan pertanian secara luas dan utuh yang terdiri dari subsistem-subsistem. Oleh karena itu dalam pengelolaan agribisnis dibutuhkan keterkaitan yang erat dan utuh antar subsistem seperti subsistem agribisnis hulu, subsistem usahatani, subsistem hilir dan subsistem jasa layanan pendukung. Hal ini berarti bahwa kinerja sistem agribisnis sangat ditentukan oleh efektifitas dari masing-masing subsistem.

Dalam pengelolaan agribisnis, keterkaitan antar pelaku dari berbagai pihak seperti penghasil produk primer, pengolah, pedagang, distributor, importir, eksportir dan lain-lain sangat dibutuhkan. Semakin baik keterkaitan dalam pengelolaan sistem agribisnis maka semakin besar pula perannya terhadap pembentukan perekonomian wilayah terutama dalam memberikan sumbangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Produksi hortikultura berbeda di tiap-tiap wilayah demikian juga permasalahan yang dihadapi oleh masing-masing kecamatan di Kabupaten Karo. Permasalahan yang secara umum dihadapi adalah keterbatasan dan penurunan kapasitas sumberdaya pertanian, sistem alih teknologi masih lemah, rantai tata niaga yang panjang dan sistem pemasaran yang belum adil dan belum berpihak kepada petani, akses terhadap pelayanan usaha dan permodalan masih terbatas, kelembagaan petani dan posisi tawar petani masih rendah, dan lemahnya koordinasi antar lembaga terkait dan birokrasi.

Bila diperhatikan lebih lanjut, permasalahan yang timbul merupakan permasalahan yang terjadi dalam suatu sistem agribisnis, baik subsistem agribisnis hulu, subsistem usahatani, subsistem hilir atau pengolahan, subsistem pemasaran dan subsistem jasa. Berbagai permasalahan yang dihadapi tersebut tentunya akan berdampak pada perekonomian wilayah Kabupaten Karo dalam tataran makro maupun nilai pendapatan yang diperoleh oleh petani. Permasalahan tersebut timbul terkait dengan sistem agribisnis yang terjadi. Permasalahan tersebut secara rinci akan berbeda dari satu kecamatan dengan kecamatan lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh karakteristik wilayah dan sistem kelembagaan agribisnis yang sudah berlaku di masing-masing kecamatan.

Tujuan dari penelitian ini adalah : (1) menganalisis peran agribisnis hortikultura terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Karo,(2) mendiskripsikan tingkat perkembangan subsistem-subsistem agribisnis hortikultura di Kabupaten Karo, (3 ) mengevaluasi kondisi dan kelengkapan sarana dan prasarana wilayah dan sistem agribisnis di Kabupaten Karo, dan (4) mengevaluasi struktur tata niaga atau rantai pasokan dalam sistem agribisnis hortikultura di Kabupaten Karo. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam (1) memberikan masukan kepada pemerintah daerah mengenai pengembangan agribisnis hortikultura di Kabupaten Karo dan (2) memberikan arahan kebijakan pada pemerintah daerah mengenai peningkatan peran subsektor hortikultura bagi perekonomian wilayah Kabupaten Karo.


(8)

Hasil kajian menunjukkan kontribusi PDRB sayur-sayuran dan buah-buahan masing masing terhadap sektor pertanian berturut-turut adalah adalah : 0,067% dan 0,025%, sementara untuk kontribusi total PDRB sayur-sayuran dan buah-buahan memberikan sumbangan sebesar : 0,04% dan 0,015%. Berdasarkan kontribusi output total, maka peran sektor sayur-sayuran dan buah-buahan menunjukkan kontribusi yang rendah terhadap pembentukan output total.

Nilai keterkaitan ke depan (DFL) dan keterkaitan ke belakang (DBL) sektor-sektor hortikultura dengan sektor-sektor lainnya maka sektor hortikultura memiliki nilai DFL yang lebih kecil dibandingkan nilai DBL. Sektor sayur-sayuran memiliki nilai IDP yang mampu mendorong pertumbuhan sektor lainnya semantara buah-buahan belum mampu mampu menjadi penggerak tumbuhnya sektor lainnya.Nilai IDK sayur-sayuran dan buah-buahan berada dibawah 1 (satu), artinya sektor sayur-sayuran dan buah-buahan kurang memiliki kemampuan untuk mendorong sektor-sektor hilir yang menggunakan outputnya sebagai input produksi.

Subsistem agribisnis yang sudah berkembang dengan baik adalah subsistem hulu dan usahatani. Subsistem hulu sudah dapat berperan dalam penyediaan sarana produksi. Sarana produksi pertanian yang diperlukan oleh petani sudah dapat disediakan oleh kios saprodi dan KUD. Subsistem usahatani menunjukkan kinerja yang baik. Perkembangan subsistem budidaya dicirikan oleh besarnya produktivitas yang diperoleh. Kegiatan industri hilir dalam bentuk pengolahan hortikultura saat ini belum berkembang.

Wilayah yang menjadi pusat dan merupakan hirarki satu terdapat di yakni desa Ndokum Siroga dan desa Surbakti (Kecamatan Simpang Empat) di desa Tiga Panah dan Ajijulu (Kecamatan Tiga Panah) dan desa Sukajulu (Kecamatan Barus). Besaran hirarki wilayah dengan hirarki terendah didominasi oleh hirarki 3 (tiga) sebesar 74,14% dari angka tersebut 31,03% berada di kecamatan Tiga Panah.

Petani mendapatkan share tataniaga terendah dibandingkan dengan elemen tata niaga lainnya. Share yang diterima petani dalam pembentukan harga berkisar 23,33% sampai 61,57 % .

Dari sintesis hasil kajian terlihat bahwa sektor buah-buahan dan sayur-sayuran belum mampu menjadi penggerak bagi tumbuhnya usaha perekononian lainnya di Kabupaten Karo. Hal ini disebabkan karena dalam pemasaran ke dua komoditas tersebut masih bergerak pada pemasaran raw material/ bahan segar yang menyebabkan nilai tambah berada di luar wilayah artinya bahwa pola pemasaran sedemikian rupa mampu memberikan peluang terjadinya kebocoran wilayah. Sehingga untuk mengatasi hal tersebut berlanjut dibutuhkan adanya keterkaitan dengan sektor pengolahan terhadap kedua komoditas tersebut.


(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b.Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(10)

(11)

STUDI PENGEMBANGAN DAN PERAN

AGRIBISNIS HORTIKULTURA

DALAM PEREKONOMIAN WILAYAH

DI KABUPATEN KARO SUMATERA UTARA

RIMTA TERRA ROSA BR PINEM

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(12)

(13)

Perekonomian Wilayah Di Kabupaten Karo Sumatera Utara Nama : Rimta Terra Rosa Br Pinem

NRP : A156100264

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Prof. Dr. Santun R. P. Sitorus

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr Tanggal Ujian : 24 November 2011 Tanggal Lulus :


(14)

(15)

Dedicated :

My Father

You give me life. You give me heart.You give me all of you whenever I need it.Only you and God know what you mean to me.The angels have never been more in tune or phrased more beautifully.I will do my best to honor you.

My Mother

The incredible gifts you’re given me are led by your unwavering and unconditional love and belief. You only think you know how much I love you.

My Beloved Husband

The best thing about me is you. You are my life, and I couldn’t be prouder of you. Thank you for being so incredibly understanding, for having the courage to let it just be about the words.


(16)

(17)

Puji syukur atas berkat Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga penelitian “Studi Pengembangan Dan Peran Agribisnis Hortikultura Dalam Perekonomian

Wilayah Di Kabupaten Karo Sumatera Utara” dapat diselesaikan. Penelitian

ini terwujud berkat bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1. Prof. Dr. Santun R.P. Sitorus selaku ketua Program Studi Ilmu Perencanaan

Wilayah SPS IPB dan Dr. Khursatul Munibah, MSc selaku sekretaris Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah SPS IPB.

2. Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si dan Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc sebagai komisi pembimbing atas segala motivasi, arahan, dan bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hingga penyelesaian tesis ini.

3. Dyah Retno Panuju,SP,M.Si selaku penguji luar komisi yang telah memberikan koreksi dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini.

4. Didit Okta Pribadi, SP, M.Si dan Andrea Emma Pravitasari, SP, MSi atas waktu, saran, dan solusi yang diberikan dalam penyelesaian tesis ini.

5. Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencanaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Pusbindiklatren Bappenas).

6. Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian yang telah memberikan kesempatan tugas belajar kepada penulis.

7. Segenap dosen pengajar, asisten dan staff pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) Sekolah Pasca Sarjana IPB.

8. Rekan-rekan peserta kelas khusus dan reguler Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Angkatan 2010.

Penulis menghaturkan terimakasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua penulis Bapak Ir. Sidharta Pinem dan Ibu U. Rosalinda Br Ginting dan juga kepada suamiku Jhon U.J. Surbakti, serta seluruh keluarga atas segala doa dan dukungan yang diberikan.

Bogor, November 2011 Rimta Terra Rosa Br Pinem


(18)

(19)

Penulis dilahirkan di Kabanjahe Kabupaten Karo pada tanggal 19 Desember 1978, putri dari Bapak Ir. Sidharta Pinem dan Ibu U. Rosalinda Br Ginting.

Pada tahun 1997 penulis menempuh Pendidikan Sarjana di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. Studi pada jenjang Sarjana berhasil diselesaikan penulis pada Juni 2001. Pada Agustus 2001 sampai Oktober 2003 penulis bekerja di PT.Satelit Palapa Indonesia (PT.Satelindo- Indosat Group) Medan pada bagian customer care.

Pada Desember 2003 penulis diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil di Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian.

Pada bulan Agustus 2010 penulis diterima di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah untuk melanjutkan studi magister dengan beasiswa dari Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Pusbindiklatren Bappenas).


(20)

(21)

 

   

 

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1 Peranan Sektor Pertanian dalam Pengembangan Wilayah... 12  

2.2 Kawasan Hortikultura ... 19

2.3 Konsep Sistem Pengelolaan Agribisnis ... 23

2.4 Kelembagaan Sistem Agribisnis ... 27

2.5 Metode Input Output ... 29

2.6 Penelitian-Penelitian Yang Terkait Dengan Kajian ... 36

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 39

3.1 Kerangka Pemikiran ... 39

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 44

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 44

3.4 Teknik Analisis Yang Digunakan ... 45

3.4.1 Analisis Skalogram ... 48

3.4.2 Analisis Margin Tata Niaga ... 49

3.4.3 Analisis Input dan Output ... 50

IV. KEADAAN UMUM KABUPATEN KARO ... 53

4.1 Keadaan Geografis ... 53

4.2 Kependudukan ... 54

4.3 Penggunaan Lahan ... 55

4.4 Karakteristik Wilayah Penelitian ... 55

4.5 Perekonomian Kabupaten Karo ... 57

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 62

5.1 Penelaahan Makro ... 62

5.1.1 Peranan Hortikultura Dalam Perekonomian Kabupaten Karo ... 62

5.1.1.1 Struktur Prekonomian Kabupaten Karo ... 62

5.1.1.2 Keterkaitan Sektoral ... 68

5.1.2. Multiplier Effect ... 79


(22)

ii

5.1.2. Multiplier Effect ... 79 5.1.2.1 Multiplier Effect Output ... 79 5.1.2.2 Multiplier Effect Nilai Tambah Bruto ... 81 5.1.2.3 Multiplier Effect Pendapatan ... 82 5.1.3. Hasil Sintesa Perekonomian Kabupaten Karo

Secara Makro ... 83 5.2 Penelaahan Secara Mikro ... 88 5.2.1 Tingkat Perkembangan Subsistem Agribisnis Hortikultura ... 88 5.2.2 Kondisi dan Kelengkapan sarana dan Prasarana Wilayah

Dan Sistem Agribisnis ... 94 5.2.2.1 Kelengkapan Sarana Dan Prasarana Wilayah ... 94 5.2.2.2 Kelengkapan Sarana dan Prasarana

Sistem Agribisnis ... 99 5.2.3. Tata Niaga Hortikultura ... 100

5.2.3.1 Tata Niaga Buah-buahan

dan Sayur-sayuran ... 102 5.3 Sintesis Hasil Analisis ... 119 5.3.1 Makro ... 119 5.3.2 Mikro ... 121 5.4 Rekomendasi Kebijakan ... 127 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 129 6.1 Kesimpulan ... 129 6.2 Saran ... 130 DAFTAR PUSTAKA ... 131 LAMPIRAN ... 135


(23)

 

   

 

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Nilai PDB Hortikultura Tahun 2005-2009 (berdasarkan harga berlaku) 2 2 Produk Domestik Regional Kabupaten Karo Tahun 2000,2007 – 2009.

Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000

(Jutaan Rupiah) ... 3 3 Sumbangan Hortikultura terhadap Pembentukan PDRB ... 4 4 Kerangka Penyajian Tabel Input-output ... 32 5 Matriks Pendekatan Penelitian ... 47 6 Tampilan Tabel Untuk Analisis Skalogram dengan Pembobotan ... 48 7 Identifikasi sektor-sektor perekonomian Tabel I-O Kabupaten Karo

tahun 2009 (24 sektor) ... 50 8 Jumlah Penduduk Kabupaten Karo Berdasar Sensus

Penduduk Tahun 2000 ... 54 9 Penggunaan Lahan Di Kabupaten Karo ... 55 10 Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Karo Tahun

2005 – 2009 ... 58 11 Perbandingan Pertumbuhan PDRB Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar

Harga Konstan 2000 Tahun 2005-2009 ... 58 12 Produksi Tanaman Sayuran Menurut Kecamatan Tahun 2009 ... 60 13 Produk Domestik Regional Kabupaten Karo Tahun 2009.

Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan

Tahun 2000 (Jutaan Rupiah) ... 63 14 Laju pertumbuhan PDRB Kabupaten Karo atas dasar harga konstan

2000 menurut lapangan usaha (%) ... 64 15 Struktur perekonomian Kabupaten Karo berdasarkan Tabel I-O

tahun 2009 (24 x 24 sektor)... 65 16 Output Total berdasarkan Tabel I-O tahun 2009 ... 67


(24)

iv

17 Pengelompokan sektor-sektor perekonomian di Kabupaten Karo

Berdasarkan nilai IDP dan IDK ... 76 18 Penyerapan Tenaga Kerja Pada Masing-Masing Sektor beserta Output ... 77 19 Komponen Indeks Pembangunan manusia (IPM) Sumatera Utara

Tahun 2004 ... 78 20 Peringkat dampak sektor-sektor perekonomian terhadap NTB ... 81 21 Ringkasan Sektor Sayur-sayuran ... 88 22 Ringkasan Sektor Buah-buahan ... 90 24 Jenis Komoditas Yang Diusahakan ... 91 25 Luas Pertanaman Komoditas Hortikultura ... 92 26 Pelaksanaan Subsistem Jasa Layanan Pendukung ... 93 27 Kelembagaan Kelompok Tani ... 94 28 Pedoman Standar Pelayanan Minimal ... 95 29 Jumlah dan Persentase Desa Berdasarkan Hirarki

Di Tiap Kecamatan Kajian ... 95 30 Jumlah dan Persentase Desa Berdasarkan Jumlah Desa

Di Tiap Kecamatan Kajian... 96 31 Jumlah dan Persentase Desa Terhadap Jumlah Desa Di Tiap Kecamatan

Kajian ... 96 32 Kebutuhan dan Ketersediaan Pasar ... 97 33 Kebutuhan dan Ketersediaan Sarana Pendidikan ... 98 34 Kebutuhan dan Ketersediaan Sarana Pelayanan Kesehatan ... 98 35 Ringkasan Kelengkapan Sarana Prasarana Wilayah dan Agribisnis... 100 36 Perbedaan Ketiga Jenis Cara Pemasaran Jeruk ... 105 37 Luas Pertanaman dan Produksi Jeruk   ... 106 38 Harga Jeruk Yang Diterima Pada Setiap Lembaga Pemasaran ... 107 39 Marjin Pemasaran Jeruk ... 108


(25)

 

   

 

40 Harga Kubis Yang Diterima Pada Setiap Lembaga Pemasaran ... 111 41 Marjin Pemasaran Kubis ... 111 42 Harga Kentang Yang Diterima Pada Setiap Lembaga

Pemasaran... 112 43 Marjin Pemasaran Kentang... 112 44 Harga Wortel Yang Diterima Pada Setiap Lembaga Pemasaran ... 113 45 Marjin Pemasaran Wortel ... 113 46 Share Petani ... 116


(26)

(27)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka Pemikiran ... 46 2 Tahapan metode RAS ... 51 3 Kerangka analisis ... 52 4 Peta Administrasi Kabupaten Karo ... 53 5 Peta Penggunaan Lahan Pertanian ... 57 6 Keterkaitan Langsung Ke Depan... 69 7 Keterkaitan Langsung ke Belakang ... 70 8 Keterkaitan ke Depan Sektor Sayur-sayuran dengan sektor-sektor lain .. 71 9 Keterkaitan Ke Belakang Sektor Sayur-sayuran dengan

sektor-sektor lain ... 71 10 Keterkaitan ke Depan Sektor Buah-buahan dengan sektor-sektor lain .... 72 11 Keterkaitan Ke Belakang Sektor Buah-buahan dengan

sektor-sektor lain ... 72 12 Nilai Indeks Daya Penyebaran sektor-sektor perekonomian ... 74 13 Nilai Indeks Derajat Kepekaan sektor-sektor perekonomian ... 75 14 Nilai multiplier effect terhadap output sektor-sektor perekonomian ... 79 15 Nilai multiplier effect pendapatan sektor-sektor perekonomian ... 82 16 Keterkaitan Sektor Hortikutura (Sayur-sayuran dan Buah-buahan) dalam

Perekonomian Kabupaten Karo ... 86 17 Pemetaan Hirarki Kecamatan... 96 18 Status Ketersediaan Pasar Di Tiap-tiap Desa Di Ketiga Kecamatan ... 97 19 Rantai Tata Niaga Jeruk... 107 20 Rantai Tata Niaga Sayuran Secara Umum ... 110 21 Aliran Komoditas Hortikultura Ke Luar Wilayah dan Arahan Lokasi


(28)

(29)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Tabel Input-Output Kabupaten Karo tahun 2009... 135 1A. Agregasi Sektor-Sektor Perekonomian ... 143 2 Nilai Koefisien Teknis (Matriks A) ... 146 3 Matriks Kebalikan Leontif ... 152 4 Ketersediaan dan Penggunaan Benih Beserta Produsennya ... 158 5 Kesesuaian Lahan Untuk Empat Komoditas di Tiga Kecamatan ... 159 6 Kebutuhan dan Ketersediaan Infrastruktur Untuk Pasar... 160

7 Ketesediaan dan Kebutuhan Sarana Pendidikan TK dan SD ... 163 8 Ketesediaan dan kebutuhan sarana pendidikan SLTP dan SMU ... 166 9 Fasilitas Pelayanan Kesehatan Masyarakat... 169 10 Alokasi Tenaga Kerja Berdasarkan Sektor Ekonomi 2006-2009(%)... 172


(30)

(31)

Pembangunan hortikultura telah memberikan sumbangan yang cukup berarti bagi sektor pertanian maupun perekonomian nasional, yang dapat dilihat dari nilai Produk Domestik Bruto (PDB), jumlah rumah tangga yang mengandalkan sumber pendapatan dari subsektor hortikultura, penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat. Pembangunan hortikultura juga meningkatkan perdagangan internasional produk hortikultura nasional dan ketersediaan sumber pangan masyarakat. Kontribusi hortikultura pada pembentukan PDB memperlihatkan kecenderungan meningkat, baik pada PDB kelompok komoditas maupun keseluruhan PDB Hortikultura. Pada tahun 2005 PDB Hortikultura sebesar Rp. 61,79 Trilliun naik menjadi Rp.89,057 Trilliun pada tahun 2009. Pada tahun 2005 subsektor hortikultura mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 2.901.900 orang, dan menunjukkan kecenderungan peningkatan selama 5 tahun. Dapat dilihat pada tabel bahwa pada tahun 2008 penyerapan tenaga kerja hortikultura telah meningkat menjadi 3.777.857 orang pada tahun 2008. Pada tahun 2009 subsektor hortikultura diramalkan menyerap tenaga kerja sebesar 3.972.989 orang. (Ditjen Hortikultura, 2010).

Disamping itu komoditas hortikultura juga merupakan komoditas yang sangat penting dan strategis. Komoditas hortikultura merupakan komponen penting dari Pola Pangan Harapan, yaitu hortikultura khususnya sayuran dan buah-buahan. Komoditas tersebut merupakan bagian penting dari keseimbangan pangan yang dikonsumsi, sehingga harus tersedia setiap saat dalam jumlah yang cukup, mutu yang baik, aman konsumsi, harga yang terjangkau, serta dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat sebagai konsumen, merupakan pasar yang sangat potensial, dari tahun ke tahun menunjukkan kecenderungan semakin meningkat.

Komoditas hortikultura juga mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, sehingga usaha agribisnis hortikultura (buah, sayur, tanaman hias dan tanaman biofarmaka) dapat menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat dan petani baik berskala kecil, menengah maupun besar, karena memiliki keunggulan berupa


(32)

2

4 3

nilai jual yang tinggi, keragaman jenis, ketersediaan sumberdaya lahan dan teknologi, serta potensi serapan pasar di dalam negeri dan internasional yang terus meningkat. Pasokan produk hortikultura nasional diarahkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen dalam negeri, baik melalui pasar tradisional, pasar modern, maupun pasar luar negeri (ekspor).

Salah satu indikator ekonomi makro yang cukup penting untuk mengetahui peranan dan kontribusi subsektor hortikultura terhadap pendapatan nasional adalah dengan melihat nilai Produk Domestik Bruto (PDB). Kontribusi hortikultura pada pembentukan PDB memperlihatkan kecenderungan meningkat. Peningkatan tersebut terlihat baik pada PDB kelompok komoditas maupun keseluruhan PDB Hortikultura. Pada tahun 2005 PDB Hortikultura sebesar Rp. 61,79 Trilliun naik menjadi Rp.89,057 Trilliun pada tahun 2009. Perkembangan Nilai PDB Hortikultura Nasional sejak tahun 2005 sampai 2009 per kelompok komoditas dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Tahun 2005-2009 (berdasarkan harga berlaku) No Komoditas

Nilai PDB (Milyar Rupiah)

2005 2006 2007 2008* 2009*

1 Buah-buahan 31.694 35.448 42.362 47.060 50.595 2 Sayuran 22.630 24.694 25.587 28.205 29.005 3 Tan. Hias 4.662 4.734 4.741 4.960 5.348 4 Tan.Biofarmaka 2.806 3.762 4.105 3.853 4.109 Hortikultura 61.792 68.639 76.795 84.078 89.057

*Angka Ramalan

Sumber : Ditjen Hortikultura, 2009

Salah satu sentra hortikultura berada di provinsi Sumatera Utara. Pengembangan tanaman pangan dan hortikultura di provinsi Sumatera Utara salah satunya dilakukan melalui pembangunan komoditi unggulan dengan pendekatan wilayah pada kawasan andalan. Kawasan pengembangan tanaman hortikultura di provinsi Sumatera Utara salah satunya adalah Kabupaten Karo.

Kabupaten Karo memiliki wilayah dimana kondisi geografi dan topografinya sesuai untuk pengembangan sektor tanaman pangan dan hortikultura. Sektor tanaman pangan dan hortikultura atau tanaman bahan makanan dalam


(33)

perekonomian wilayah Kabupaten Karo memiliki peran yang cukup penting. Hal ini dapat dilihat dari kondisi perekonomian Kabupaten Karo pada tahun 2009.

Kondisi perekonomian Kabupaten Karo tahun 2009 yang diukur berdasarkan perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000 menunjukkan pertumbuhan,walaupun tidak terlalu besar yakni sebesar Rp. 3.175.599.350. Pada tahun 2008 nilai PDRB Kabupaten Karo sebesar Rp.3.019.387.588 dan tahun 2002 sebesar Rp. 2.869.736.960. Sektor pertanian mendominasi struktur perekonomian Kabupaten Karo. Hal ini dibuktikan dengan besarnya sumbangan sektor ini dalam pembentukan PDRB kabupaten Karo tahun 2008 yang mencapai 59,77 %. Subsektor pertanian yang mendominasi nilai PDRB Kabupaten Karo adalah berasal dari subsektor Hortikultura dan Tanaman Pangan yang dikelompokkan dalam Sektor Bahan Makanan yakni sebesar 97,24 % terhadap nilai total sumbangan PDRB dari sektor Pertanian, atau sekitar 77,90 % terhadap nilai PDRB Kabupaten Karo. (BPS KabupatenKaro, 2008). Nilai Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Karo tahun 2007 sampai 2009 atas dasar harga konstan 2000 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Produk Domestik Regional Kabupaten Karo Tahun 2000, 2007 – 2009. Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000

(Jutaan Rupiah)

No. Lapangan Usaha Tahun

2000 2007 2008 r) 2009*)

1. Pertanian 1.393.107,08 1.694.608,66 1.770.599,84 2.030.151,507 2. Pertambangan dan

Penggalian

5.246,34 8.886,84 10.024,67 7.909,467

3. Industri 16.979,24 22.930,56 23.808,49 89.941,069 4. Listrik, Gas dan Air

Bersih

6.649,37 8.741,30 9.119,99 4.444,863

5. Bangunan 65.455,62 105.589,10 108.026,33 172.274,533 6. Perdagangan, Hotel

dan Restoran

241.036,18 404.078,38 430.314,26 311.507,531

7. Pengangkutan dan Komunikasi

154.466,3 269.317,71 282.954,34 166.113,542

8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan

34.888,61 46.186,28 49.092,44 29.851,784

9. Jasa-jasa 186.845,27 312.398,13 335.447,22 365.521,707

PDRB Kabupaten Karo 2.104.374,02 2.869.736,96 3.019.387,58 3.177.716,003 Keterangan : r) = Angka Perbaikan

*) = Angka Sementara Sumber : BPS Kabupaten Karo 2009


(34)

4

Secara ringkas sumbangan Hortikultura yang terangkai dalam sektor bahan makanan terhadap PDRB dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Sumbangan Hortikultura terhadap Pembentukan PDRB.

No Komoditas Sumbangan terhadap PDRB tahun 2008 (%) Nasional Sumut Kab. Karo 1 Tanaman Bahan Makanan 7,5 23,53 77,9 Tanaman Bahan Makanan : Hortikultura dan Tanaman Pangan

Sumber: BPS Indonesia, 2009, BPS Sumatera Utara, 2009 dalam Renstra Ditjen Hortikultura 2010.

BPS Kabupaten Karo ,2009

Dari hal tersebut di atas dapat dilihat bahwa sektor Hortikultura memberi peran yang cukup besar dalam pembentukan nilai perekonomian, namun di samping potensi yang ada terdapat pula beberapa permasalahan dalam pengembangan hortikultura, antara lain :

1. Keterbatasan dan penurunan kapasitas sumberdaya pertanian,

2. Rantai tata niaga yang panjang dan sistem pemasaran yang belum adil dan tidak berpihak kepada petani,

3. Akses terhadap pelayanan usaha dan permodalan masih terbatas, 4. Kelembagaan petani dan posisi tawar petani masih rendah, 5. Sarana dan prasarana penunjang yang terbatas,

6. Rendahnya nilai tambah yang dihasilkan.

Selain itu juga rataan kepemilikan lahan petani pedesaan sebesar 0,41 ha. Kondisi tersebut antara lain disebabkan oleh meningkatnya konversi lahan pertanian untuk keperluan pemukiman dan fasilitas umum serta terjadinya fragmentasi lahan karena proses pewarisan khususnya untuk lahan beragroekosistem sawah dan lahan kering. Di satu sisi status penguasaan lahan oleh sebagian besar petani belum memiliki legalitas yang kuat dalam bentuk sertifikat sehingga lahan belum bisa dijadikan sebagai jaminan untuk memperoleh modal usaha melalui perbankan (Ditjen Hortikultura, 2010).

Produk hortikultura yang dihasilkan petani pada umumnya kurang berdaya saing, yang ditunjukkan oleh rendahnya kualitas serta terbatasnya jumlah pasokan, keterbatasan kepemilikan lahan petani serta minimnya dukungan sarana dan prasarana dalam melaksanakan usahataninya, Hal ini disebabkan oleh belum diaturnya secara jelas pemanfaatan lahan kering untuk komoditas hortikultura


(35)

karena peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemanfaatan dan penggunaan lahan pertanian masih jauh dari memadai. Di samping penegakan hukum terhadap peraturan yang ada yang terkait dengan kebijakan pemanfaatan lahan pertanian masih sangat lemah.

Kelembagaan usaha yang ada di pedesaan seperti koperasi belum dapat sepenuhnya mengakomodasi kepentingan petani/kelompok tani sebagai wadah pembinaan teknis. Hal ini disebabkan kelembagaan petani yang ada masih bersifat budaya dan sebagian besar berorientasi hanya untuk mendapatkan fasilitas pemerintah. Kelembagaan belum sepenuhnya diarahkan untuk memanfaatkan peluang ekonomi melalui pemanfaatan aksesibilitas terhadap lembaga informasi teknologi, permodalan dan pasar yang diperlukan bagi pengembangan usahatani dan usaha pertanian di pedesaan.

Permasalahan yang terjadi dalam sistem agribisnis baik subsistem agribisnis hulu, subsistem usaha tani, subsistem hilir atau pengolahan, subsistem pemasaran dan subsistem jasa. Berbagai permasalahan tersebut akan berdampak pada perekonomian wilayah Kabupaten Karo dalam tataran makro maupun nilai pendapatan yang diperoleh oleh petani.

Dalam pengelolaan agribisnis, keterkaitan antar pelaku dari berbagai pihak seperti penghasil produk primer, pengolah, pedagang, distributor dan lain-lain sangat dibutuhkan. Semakin baik keterkaitan dalam pengelolaan sistem agribisnis, maka semakin besar pula perannya terhadap pembentukan perekonomian wilayah. Namun di beberapa daerah termasuk di Kabupaten Karo, keterkaitan antar subsistem ini belum terkait satu dengan yang lainnya. Isu utama yang terjadi di Kabupaten Karo adalah belum terciptanya keterkaitan subsistem usahatani dengan subsistem pengolahan.

Beberapa kajian sebelumnya di beberapa daerah juga menunjukkan hal yang sama. Sumunaringtyas (2010) mengkaji peran agribisnis hortikultura di Kabupaten Bandung Barat Sektor, disimpulkan bahwa hortikultura terkait ke belakang cukup kuat dengan sektor industri pengolahan. Sektor industri pengolahan menghasilkan output yang digunakan sebagai input oleh sektor-sektor hortikultura. Sehingga masih dibutuhkan pengolahan di kabupaten tersebut. Hotman (2006) mengkaji mengenai Peran Sektor Tanaman Bahan Makanan


(36)

6

dalam pembangunan ekonomi di Propinsi Sumatera Utara. Dalam kajiannya terlihat bahwa Sektor tanaman bahan makanan di Provinsi Sumatera Utara mempunyai keterkaitan tertinggi ke depan teringgi dengan sektor industri makanan, minuman dan tembakau. Isu pengolahan juga menjadi penting dalam kajian tersebut. Darmansyah, Rochana dan Hamidah (2010) mengkaji Strategi Pembangunan Daerah yang Berwawasan Agribisnis di Kabupaten Cirebon dalam penelitian ini disimpulkan bahwa strategi pembangunan daerah Kabupaten Cirebon seyogyanya melakukan strategi agresif, dengan strategi umum meliputi pertumbuhan terkonsentrasi, integrasi horizontal, dan pengembangan pasar dan produk. Sementara strategi operasional pembangunan daerah Kabupaten Cirebon yang berwawasan agribisnis adalah meningkatkan efisiensi pengelolaan usahatani dan agroindustri, meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan daerah, meningkatkan produksi dan mutu produk berdasarkan produk unggulan daerah/wilayah sekaligus memperluas pasar melalui penataan wilayah dan pemanfaatan sarana informasi dan komunikasi, meningkatkan kerja sama program dan proyek lintas sektoral dan lintas wilayah.

Kecamatan-kecamatan yang berada di Kabupaten Karo saat ini masih belum memiliki keterkaitan secara ekonomi. Masing-masing kecamatan berkembang sendiri-sendiri sesuai potensinya. Keterkaitan yang terjadi saat ini masih berupa keterkaitan spasial yaitu dalam hal aliran komoditas dari daerah penghasil ke wilayah kota sebagai pasar. Kota-kota hanya menjadi tempat pengumpulan komoditas ataupun hanya berada di dalam “throught traffic” aliran komoditas,tidak ada ada proses produksi yang menghasilkan nilai tambah dalam wilayah tetapi langsung dipasarkan dalam bentuk mentah. Untuk itu dibutuhkan integrasi hulu-hilir dan produksi dari produk unggulan yang dilayani oleh sistem transportasi dan sistem pusat-pusat pemukiman yang strategis. Penelitian ini diarahkan untuk melihat keterkaitan antar subsistem-subsistem yang ada sehingga terlihat peran yang diberikan sektor ini terhadap perekonomian di Kabupaten Karo.


(37)

1.2. Perumusan Masalah

Hortikultura merupakan salah satu potensi yang ada di Kabupaten Karo. Komoditas utama hortikultura yang ada di Kabupaten Karo adalah sayuran dan buah-buahan yang tersebar di beberapa wilayah kecamatan.

Produksi hortikultura berbeda di tiap-tiap wilayah demikian juga permasalahan yang di hadapi oleh masing-masing kecamatan di Kabupaten Karo. Seperti yang telah diuraikan di atas permasalahan yang secara umum dihadapi adalah:

- keterbatasan dan penurunan kapasitas sumberdaya pertanian - sistem alih teknologi masih lemah,

- rantai tata niaga yang panjang dan sistem pemasaran yang belum adil dan belum berpihak kepada petani,

- akses terhadap pelayanan usaha dan permodalan masih terbatas,

- kualitas, mentalitas dan keterampilan sumberdaya petani masih rendah, - kelembagaan petani dan posisi tawar petani masih rendah;

- lemahnya koordinasi antar lembaga terkait dan birokrasi, - kebijakan makro ekonomi yang belum berpihak kepada petani.   

Bila diperhatikan lebih lanjut, permasalahan yang timbul merupakan permasalahan yang terjadi dalam suatu sistem agribisnis, baik subsistem agribisnis hulu, subsistem usahatani, subsistem hilir atau pengolahan, subsistem pemasaran dan subsistem jasa.

Berbagai permasalahan yang dihadapi tersebut tentunya akan berdampak pada perekonomian wilayah Kabupaten Karo dalam tataran makro maupun nilai pendapatan yang diperoleh oleh petani. Permasalahan tersebut timbul terkait dengan sistem agribisnis yang terjadi. Permasalahan tersebut secara rinci akan berbeda dari satu kecamatan dengan kecamatan lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh karakteristik wilayah dan sistem kelembagaan agribisnis yang sudah berlaku di masing-masing kecamatan.

Agribisnis sebagai salah satu sistem merupakan konsep pengelolaan pertanian secara luas dan utuh yang terdiri dari subsistem-subsistem. Oleh karena itu dalam pengelolaan agribisnis dibutuhkan keterkaitan yang erat dan utuh antar subsistem seperti subsistem agribisnis hulu, subsistem usahatani,


(38)

8

subsistem hilir dan subsistem jasa layanan pendukung. Hal ini berarti bahwa kinerja sistem agribisnis sangat ditentukan oleh efektifitas dari masing-masing subsistem. Dalam pengelolaan agribisnis, keterkaitan antar pelaku dari berbagai pihak seperti penghasil produk primer, pengolah, pedagang, distributor, importir, eksportir dan lain-lain sangat dibutuhkan. Semakin baik keterkaitan dalam pengelolaan sistem agribisnis maka semakin besar pula perannya terhadap pembentukan perekonomian wilayah terutama dalam memberikan sumbangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Selain itu agribisnis juga berperan sebagai penyedia bahan kebutuhan hidup (pangan, perumahan dan pakaian), penghasil devisa, pencipta lapangan kerja dan sumber pendapatan masyarakat. Oleh karena itu perkembangan sistem agribisnis hulu, subsistem usahatani, subsistem hilir dan subsistem jasa layanan pendukung harus dapat dideskripsikan terlebih dahulu.

Tahapan selanjutnya adalah dengan mengevaluasi kondisi dan kelengkapan sarana dan prasarana wilayah sebagai penunjang pembangunan agribisnis hortikultura. Oleh karena itu kelengkapan dan kondisi sarana prasarana sistem pemukiman perlu dievaluasi.

Pembangunan agribisnis juga membutuhkan sarana prasarana agribisnis baik sarana prasarana budidaya, pasca panen, pengolahan dan pemasaran. Ketersediaan sarana prasarana tersebut mempengaruhi perkembangan subsistem-subsistem agribisnis dan berdampak pada sistem agribisnis itu sendiri. Hal ini tentu saja berpengaruh pada perekonomian wilayah. Oleh karena itu kondisi dan kelengkapan sarana dan prasarana agribisnis perlu dievaluasi.

Pengembangan agribisnis hortikultura dipengaruhi juga oleh kondisi rantai pasokan yang terjadi di lapangan. Pengembangan kawasan hortikultura berkaitan erat dengan Supply Chain Management (SCM) yang terjadi dalam aliran komoditas hortikultura. Nilai margin dari tiap elemen yang terlibat dalam rantai pasokan yang terjadi juga perlu dianalisis dan dihitung.

Produk hortikultura dalam negeri saat ini baru mampu memasok kebutuhan konsumen dalam negeri/pasar tradisional dan masih sangat sedikit yang diekspor. Sistem produksi di lokasi yang terpencar, skala usaha sempit dan belum efisien


(39)

serta jumlah produksi yang terbatas menjadi penyebab utama produk hortikultura nasional kurang kompetitif di pasar internasional.

Pembangunan agribisnis hortikultura perlu dilakukan dengan pendekatan yang komprehensif dengan memperhatikan keseluruhan aspek dan segmen agribisnis dari hulu sampai ke hilir dan perangkat penunjangnya menuju keseimbangan antara usaha peningkatan produksi, perbaikan distribusi dan peningkatan konsumsi, yang menguntungkan semua pihak. Untuk memetakan kondisi dan permasalahan yang ada, membuat analisis kebutuhan perbaikan, menetapkan target-target perbaikan dan menyusun rencana aksinya perlu digunakan pendekatan SCM atau Pengelolaan Rantai Pasokan.

Pada intinya SCM adalah suatu jejaring organisasi yang saling tergantung dan bekerjasama secara menguntungkan melalui pengembangan sistem manajemen untuk perbaikan sistem penyaluran produk, informasi, pelayanan dan dana dari pemasok ke pengguna akhir (konsumen). Konsep SCM dilakukan agar peningkatan daya saing itu tidak semata dilakukan melalui perbaikan produktivitas dan kualitas produk, tetapi juga melalui pengemasan, pemberian merk, efisiensi, transportasi, informasi, penguatan kelembagaan dan penciptaan inovasi secara kontinu dan sistematik.

SCM merupakan siklus lengkap produksi, mulai dari kegiatan pengelolaan di setiap mata rantai aktifitas produksi sampai siap untuk digunakan oleh pemakai/user. Pendekatan SCM didasarkan pada; (a) Proses budidaya untuk menghasilkan produk (hortikultura), (b) Mentransformasikan bahan mentah (penanganan panen dan pasca panen), dan (c) Pengiriman produk ke konsumen melalui sistem distribusi. Dengan demikian dalam penerapan SCM tidak hanya menuntut GAP (Good Agriculture Practices), tetapi juga mencakup GHP (Good Handling Practices), GMP (Good Manufacturing Practices) dan GTP (Good Trading Practices).

Untuk menjamin keberhasilan penerapan SCM atau Manajemen Pengelolaan Rantai Pasokan perlu memahami faktor-faktor pendukung keberhasilan antara lain : kebijakan, sumber daya manusia, prasarana,sarana, teknologi, kelembagaan, modal/ pembiayaan, sistem informasi, sosial budaya dan lingkungan lain. Proses aktifitas dalam penerapan SCM memiliki 5 (lima) aliran


(40)

10

utama yang harus dikelola dengan baik yakni aliran produk, aliran informasi, aliran dana, aliran pelayanan dan aliran kegiatan.

Selanjutnya dianalisis peran hortikultura terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Karo. Salah satu pendekatan yang dilakukan adalah menggunakan analisis Input Output. Dengan analisis tersebut dapat diketahui keterkaitan subsektor hortikultura dengan subsektor atau sektor lainnya baik forward dan backward linkage. Selain itu juga dapat diketahui multiplier effect subsektor hortikultura terhadap peningkatan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja. Berdasarkan hasil analisis tersebut selanjutnya dapat disusun rekomendasi implikasi kebijakan yang diperlukan dalam peningkatan agribisnis hortikultura dalam perekonomian wilayah Kabupaten Karo.

Dengan memperhatikan uraian latar belakang dan perumusan masalah di atas, terdapat beberapa pertanyaan penelitian yang akan diajukan dalam penelitian ini, yaitu :

1. Bagaimana peran agribisnis hortikultura terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Karo?

2. Bagaimana tingkat perkembangan subsistem-subsistem agribisnis hortikultura di Kabupaten Karo ?

3. Bagaimana kondisi dan kelengkapan sarana prasarana wilayah dan sistem agribisnis di Kabupaten Karo?

4. Bagaimana tata niaga atau rantai pasokan dalam sistem agribisnis hortikultura di Kabupaten Karo?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Menganalisis peran agribisnis hortikultura terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Karo.

2. Mendiskripsikan tingkat perkembangan subsistem-subsistem agribisnis hortikultura di Kabupaten Karo.

3. Mengevaluasi kondisi dan kelengkapan sarana dan prasarana wilayah dan sistem agribisnis di Kabupaten Karo .

4. Mengevaluasi struktur tata niaga atau rantai pasokan dalam sistem agribisnis hortikultura di Kabupaten Karo.


(41)

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Memberikan masukan kepada pemerintah daerah mengenai pengembangan agribisnis hortikultura di Kabupaten Karo.

2. Memberikan arahan kebijakan pada pemerintah daerah mengenai peningkatan peran subsektor hortikultura bagi perekonomian wilayah Kabupaten Karo.


(42)

(43)

2.1. Peranan Sektor Pertanian dalam Pengembangan Wilayah

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor di bidang ekonomi yang memiliki arti dan kedudukan penting dalam pembangunan nasional. Sektor ini berperan sebagai sumber penghasil bahan makan, sumber bahan baku bagi industri, mata pencaharian sebagian besar penduduk, penghasil devisa negara dari ekspor komoditinya bahkan berpengaruh besar terhadap stabilitas dan keamanan nasional. Namun keberadaan sumberdaya lahan yang terbatas tidak mampu mengimbangi kebutuhan lahan yang sangat pesat baik dari sektor pertanian maupun non pertanian, akibatnya timbul persaingan penggunaan lahan yang saling tumpang tindih dan tidak memperhatikan aspek kelestarian lingkungan (Djaenuddin, 1996). Hal ini dapat menjadi kendala bagi proses pembangunan nasional, khususnya di sektor pertanian.

Perencanaan yang tepat dan informasi yang aktual sangat dibutuhkan oleh para pengguna lahan dan pihak-pihak yang terkait agar penggunaan lahan tersebut dapat optimal sesuai dengan kemampuannya dan dapat digunakan secara berkelanjutan. Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut,diantaranya dengan membuat suatu perencanaan yang tepat dan rasional baik melalui aspek teknis maupun non teknis. Aspek teknis dapat dilakukan diantaranya denganmenentukan potensi wilayah sedangkan aspek non teknis dapat dilakukan dengan pendekatan kebijaksanaan bagi pengembangan wilayah tersebut. Kedua aspek ini akan saling berkaitan erat terhadap keberhasilan proses dan hasil pembangunan suatuwilayah.

Aspek teknis merupakan salah satu cara yang tepat dan mendasar bagiperencanaan pembangunan wilayah karena dengan cara ini dapat diketahui potensi dan daya dukung lahan di wilayah tersebut untuk jenis-jenis penggunaan lahan yangdipertimbangkan. Penilaian potensi wilayah merupakan salah satu cara yang dapat digunakanuntuk mencari lahan yang memang berpotensi bagi pembangunan pertanian. Dengan dilakukannya penilaian potensi wilayah ini diharapkan akan dihasilkan suatuperencanaan pembangunan pertanian yang tepat dan rasional, dimana pemanfaatanlahannya dapat optimum, lestari dan


(44)

13

berkelanjutan. Penilaian potensi wilayah ini dilakukan melalui analisis potensi wilayah baik secara fisik maupun sosial ekonomi. Dengan pendekatan tersebut diharapkan dihasilkan potensi wilayah berupa komoditas unggulan yang mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif. Kegiatan ini dilakukan dengan memanfaatkan data-data sekunder yang telah ada dan masih representatif bagi wilayah tersebut yang diolah melalui analisis wilayah dan diintegrasikan dengan Sistem Informasi Geografis.

Rangkaian proses penilaian potensi wilayah di atas serta hasil akhirnya diharapkan dapat lebih mudah dimengerti dan dipahami, serta dapat memberikan informasi yang cepat, aktual dan rasional,sehingga dapat mendukung dalam perencanaan suatu wilayah khususnya bagiperencanaan pembangunan pertanian ataupun komoditas-komoditas unggulan sayuran dan buah-buahan di Kabupaten Karo. Sebagai sektor dominan di wilayah berbasis sumberdaya alam, pertanian memiliki peran sebagai penghasil pangan, bahan mentah dan bahan baku industri,penyedia lapangan kerja dan lapangan usaha, sumber devisa serta pelestari fungsi lingkungan.Peran tersebut menunjukan pentingnya pembangunan yang dapat diartikan sebagai perubahan dari sistem tradisional ke modern. Hayami dan Kikuchi dalam Kasryno, 1984 menyatakan bahwa aktivitas pertanian di kawasan perdesaan sulit untuk dipisahkan dari kegiatan ekonomi keseluruhan karena kegiatan yang telah berlangsung turun temurun tersebut telah menjadi budaya. Oleh karena itu, pembangunan pertanian bukan hanya berupaya agar terjadi transformasi system produksi semata, tetapi juga transformasi sosial. Dengan demikian, agar pembangunan pertanian di suatu wilayah berjalan efektif harus dikaitkan dengan tujuan sosial, ekonomi ataupun sumberdaya lainnya (Saragih, 1997; Jayadinata, 1999).

Peran sektor pertanian lain yang juga sangat penting adalah dalam meningkatkan pembangunan ekonomi daerah. Sesuai tujuan pokok dari pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, adalah untuk mempercepat perkembangan ekonomi daerah. Cara yang efektif dan efisien untuk membangun ekonomi daerah adalah melalui pendayagunaan berbagai sumber


(45)

daya ekonomi yang dimiliki daerah. Pada saat ini sumber daya ekonomi yang dimiliki dan siap didayagunakan untuk pembangunan ekonomi daerah adalah sumber daya agribisnis seperti sumber daya alam (lahan, air, keragaman hayati, agro-klimat), sumber daya manusia di bidang agribisnis, dan teknologi di bidang agribisnis. Selain itu, sektor agribisnis adalah penyumbang terbesar dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan ekspor daerah. Dalam penyerapan tenaga kerja, kesempatan berusaha di setiap daerah, sebagian besar juga disumbang oleh sektor agribisnis. Oleh karena itu, pembangunan agribisnis untuk mempercepat pembangunan ekonomi daerah merupakan pilihan yang paling rasional. Dengan kata lain, pembangunan agribisnis perlu dijadikan sebagai pilar pembangunan ekonomi wilayah. ( Kwik Kian Gie, 2002)

Salah satu komoditas pertanian yang berpotensi dikembangkan dalam kerangka pengembangan wilayah adalah hortikultura. Hortikultura (Sayur-sayuran,buah-buahan) merupakan komoditas unggulan, khususnya di Kabupaten Karo. Keunggulan komoditas ini ditunjang oleh kondisi lingkungan (lahan dan iklim) yang menunjang di beberapa lokasi, sebagian masyarakat yang sudah mengenalnya dengan baik, potensi sumberdaya manusia yang belum dimanfaatkan secara optimal serta peluang pasar domestik dan internasional yang sangat besar (Saragih, 1997).Selain sebagai komoditas unggulan, hortikultura juga berperan sebagai sumber gizi masyarakat, penyedia lapangan pekerjaan, dan penunjang kegiatan agrowisata danagroindustri (Soekartawi, 1996). Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan hortikultura terkait dengan aspek yang lebih luas yang meliputi tekno-ekonomi dengan sosio-budaya petani. Ditinjau dari proses waktu produksi, musim tanam yang pendek memungkinkan perputaran modal semakin cepat dan dapat meminimalkan ketidakpastian karena faktor alam (Mubyarto, 1989).

Selain berperan penting dalam pengembangan wilayah, usaha tani hortikultura merupakan bentuk pertanian yang lebih maju dari pada usaha tani tanaman pangan.Sebagai pertanian yang lebih maju, usaha tani hortikultura berorientasi pasar sehinggaharus menguntungkan serta diusahakan secara intensif dengan modal yang memadai.Walaupun demikian, usaha tani hortikultura di Indonesia masih memperlihatkan sifat tradisional. Hal ini ditunjukan dengan


(46)

15

aktivitas yang mengandalkan kemampuan dan sumberdaya seadanya. Ciri umum aktivitas tersebut antara lain : tingkat pendidikan dan penguasaan teknologi pengelola rendah; penguasaan lahan kecil (< 0,25 Ha) dan terpencar lokasinya; akses terhadap informasi, pengetahuan, teknologi dan pasar yangterbatas; kesulitan permodalan; serta lemahnya kelembagaan pertanian (Soekartawi,1996)

Di setiap wilayah berpenduduk selalu terjadi kegiatan pembangunan, namun ada beberapa wilayah yang pembangunannya berjalan di tempat atau bahkan berhenti sama sekali, dan wilayah ini kemudian menjadi wilayah kelas kedua dalam kegiatan ekonomi. Hal ini mengakibatkan penanam modal dan pelaku bisnis keluar dari wilayah tersebut karena wilayah itu dianggap sudah tidak layak lagi untuk dijadikan tempat berusaha. Akibatnya laju pertumbuhan ekonomi wilayah itu menjadi semakin lambat.

Upaya pengembangan sektor agribisnis dapat menolong mengembangkan dan mempromosikan agroindustri di wilayah tertinggal. Program kerjasama dengan pemilik lahan atau pihak pengembang untuk mau meminjamkan lahan yang tidak dibangun atau lahan tidur untuk digunakan sebagai lahan pertanian perlu dikembangkan. Dari jumlah lahan pertanian yang tidak produktif ini dapat diciptakan pendapatan dan lapangan kerja bagi penganggur di perdesaan. Program kerjasama mengatasi keterbatasan modal, mengurangi resiko produksi, memungkinkan petani memakai bahan baku impor dan produk yang dihasilkan dapat mampu bersaing dengan barang impor yang sejenis serta mencarikan dan membuka pasaran yang baru. (Darwanto, 2002). Untuk itu diperlukan suatu perencanaan yang matang dalam upaya untuk melaksanakan pengembangan tersebut.

Perencanaan adalah suatu proses sistematis untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan-pilihan dengan memperhitungkan dan mengoptimalkan sumber daya yang ada. Juga upaya dalam penetapan tahapan-tahapan yang dibutuhkan untuk mencapainya dengan menggunakan alternatif-alternatif sesuai dengan sumberdaya yang ada. Selain itu perencanaan juga merupakan suatu cara rasional untuk mempersiapkan sesuatu yang lebih terkoordinasi guna mencapai suatu tujuan tertentu di dalam waktu tertentu yang menghasilkan suatu perubahan sosial.


(47)

Perencanaan merupakan suatu siklus, sehingga perlu keterkaitan yang baik pada bagian implementasi dan pengendalian melalui monitoring dan evaluasi. Dari segi jangka waktu, perencanaan dapat dibedakan menjadi perencanaan jangka pendek, perencanaan jangka menengah dan perencanaan jangka panjang. Proses perencanaan dilakukan dengan menguji berbagai arah pencapaian dan mengkaji berbagai ketidakpastian yang ada serta mengukur kemampuan (kapasitas) kita untuk mencapainya. Perencanaan yang berhasil adalah perencanaan yang mampu meningkatkan kesejahteraan penduduknya.

Menurut Isard (1975), wilayah memiliki pengertian tidak hanya sekedar areal dengan batas-batas tertentu, tetapi merupakan suatu area yang memiliki arti (meaningfull) karena adanya keterkaitan antar masalah yang ada. Oleh karena itu para ahli regional berusaha untuk mengkaji dan menyelesaikan masalah tersebut.

Wilayah perencanaan dan pengelolaan dapat mencakup wilayah administratif politis (pusat atau daerah) maupun wilayah perencanaan fungsional. Wilayah didefenisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas tertentu di mana komponen di dalamnya memiliki keterkaitan dan hubungan fungsional satu dengan lainnya. Batasan yang ada lebih bersifat “meaningfull” baik untuk perencanaan, pelaksanaan, monitoring, pengendalian, maupun evaluasi.( Rustiadi, Saefulhakim dan Panuju. 2009)

Riyadi dan Bratakusumah (2004) menyatakan bahwa perencanaan adalah upaya untuk memilih dan menghubungkan fakta-fakta serta menggunakan asumsi-asumsi mengenal masa yang akan datang dengan jalan menggambarkan dan merumuskan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Perencanaan pada umumnya mengandung beberapa hal pokok yang merupakan unsur-unsur dalam perencanaan, unsur-unsur tersebut meliputi:

1. Adanya asumsi-asumsi yang didasarkan pada fakta-fakta. Perencanaan hendaknya disusun berdasarkan asumsi-asumsi yang didukung dengan fakta-fakta atau bukti-bukti yang ada.

2. Adanya alternatif-alternatif atau pilihan-pilihan sebagai dasar penentuan kegiatan yang akan akan dilakukan

3. Adanya tujuan yang dicapai. Perencanaan merupakan sarana atau alat untuk mencapai tujuan.


(48)

17

4. Bersifat mempredikasi sebagai langkah untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang dapat mempengaruhi pelaksanaan perencanaan.

5. Adanya kebijaksanaan sebagai hasil keputusan yang harus dilaksanakan.

Perencanaan wilayah adalah perencanaan penggunaan ruang (termasuk perencanaan pergerakan) dan perencanaan kegiatan pada wilayah tersebut. Perencanaan penggunaan ruang diatur dalam bentuk perencanaan tata ruang, sedangkan perencanaan kegiatan dalam wilayah diatur dalam perencanaan pembangunan wilayah (Tarigan, 2005).

Ilmu regional (Regional Science) merupakan disiplin ilmu yang berkaitan dengan studi atau kajian mengenai dimensi wilayah atau spasial yang menggunakan atau mencakup kombinasi yang berbeda dari penelitian secara empirik dan matematis (Isard,1975 dalam Rustiadi et al. 2009). Isard (1975) juga mengemukakan defenisi ilmu regional lainnya, salah satunya menyatakan bahwa ilmu regional merupakan kajian mengenai wilayah sebagai suatu sistem yang dinamik, mencakup suatu analisis yang terintegrasi, baik faktor politik, ekonomi, sosial, budaya dan psikologis yang mempengaruhi perkembangan dari sistem tersebut.

Perencanaan pembangunan dapat diartikan sebagai suatu perumusan alternatif-alternatif atau keputusan yang didasarkan pada fakta-fakta dan data yang akan digunakan sebagai bahan untuk melakukan suatu rangkaian/kegiatan kemasyarakatan, baik yang bersifat fisik maupun non fisik dalam rangka mencapai tujuan yang lebih baik (Riyadi dan Bratakusumah, 2004).

Sedangkan untuk konteks regional atau suatu wilayah tertentu terdapat istilah perencanaan pembangunan daerah. Perencanaan pembangunan daerah adalah suatu proses perencanaan pembangunan yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah dan lingkungannya dalam suatu wilayah/ daerah tertentu dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumber daya yang ada dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap, tetapi masih tetap berpegang teguh pada azas prioritas (Riyadi dan Bratakusumah, 2004). Perencanaan pembangunan daerah adalah suatu proses penyusunan tahapan-tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur di dalamnya, guna


(49)

pemanfaatan dan pengalokasian sumberdaya-sumberdaya yang ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu lingkungan wilayah /daerah dalam jangka waktu tertentu. Jangka waktu tersebut dalam bentuk perencanaan pembangunan jangka panjang (25 sampai dengan 30 tahun), perencanaan jangka menengah (5sampai dengan 6 tahun ), dan perencanaan jangka pendek (1 sampai dengan 2 tahun ).

Perencanaan dapat dilakukandengan pendekatan sektoral dan pendekatan regional (wilayah).Pendekatan sektoral memfokuskan perhatian pada sektor-sektor kegiatan yang ada di wilayah tersebut, sedangkan pendekatan regional memperhatikan penggunaan ruang untuk kegiatan produksi barang dan jasa, memprediksi arah konsentrasi kegiatan, memperkirakan kebutuhan fasilitas untuk masing-masing konsentrasi kegiatan dapat dihubungkan secara efisien. Pendekatan pembangunan wilayah haruslah gabungan antara pendekatan sektoral dan pendekatan regional (Tarigan, 2005).

Pembangunan berbasis pengembangan wilayah dan lokal memandang penting keterpaduan sektoral, serta spasial (keruangan) serta antar pelaku (institusi) pembangunan di dalam dan antar daerah. Sehingga setiap program pembangunan sektoral dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah (Rustiadi et al. 2009). Pengembangan wilayah diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi kesenjangan antar wilayah dan menjaga kelestarian lingkungan hidup. Perbedaan kondisi sosial, ekonomi, budaya dan geografis membutuhkan rencana pengembangan wilayah yang berbeda pula. Pengembangan wilayah yang berangkat dari permasalahan wilayah merupakan acuan dari berbagai sektor terkait.

Menurut Friedman (1964) dalam Glasson (1977), pencanaan adalah terutama suatu cara berfikir mengenai persoalan-persoalan sosial ekonomi. Perencanaan terutama berorientasi pada masa datang, sangat berkenan pada hubungan antara tujuan dan keputusan-keputusan kolektif dan mengusahakan kebijakan dan program yang menyeluruh.Perencanaan regional adalah proses perumusan dan penegasan tujuan-tujuan sosial dalam penataan kegiatan-kegiatan dalam ruang di atas tingkat perkotaan (supra urban).Perencanaan pada tingkat nasional cenderung sangat bersifat ekonomis. Perencanaan ekonomi dapat dibagi


(50)

19

menjadi dua bentuk, yakni bentuk alokatif jangka pendek yang berkenaan dengan stabilisasi gelombang “naik-turunnya” dan bentuk inovatif jangka panjang yang terutama berkenaan engan pencapaian suatu laju pertumbuhan ekeonomi tertentu.

Glasson (1977) juga mengemukakan istilah mengenai perencanaan pada tingkat pemerintah lokal. Dalam hal ini, perencanaan kota dan pedesaan telah memainkan peran yang lebih dominan sebagai faktoryang menimbulkan cara pendekatan yang lebih berorientasi pada tata gunalahan tanah (land use).

Perencanaan pada tingkat regional merupakan penghubung antara perencanaan antara tingkat nasional dan lokal. Fokus perencanaan pada tingkat regional adalah perencanaan suatu daerah yang mempunyai ciri-ciri ekonomi dan sosial, kemungkinan-kemungkinan dan persoalan-persoalan yang berbeda, memperlakukannya secara terpisah dari daerah-daerah lain. Peranan perencanaan regional adalah menggarap secara langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional (Glasson, 1977 dalam Rustiadi et al. 2009).

2.2. Kawasan Hortikultura

Istilah kawasan di Indonesia digunakan karena adanya penekanan fungsional suatu unit wilayah. Konsep kawasan menekankan adanya karakteristik hubungan dari fungsi-fungsi dan komponen-komponen di dalam suatu unit wilayah, sehingga batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional (Rustiadi et al. 2009).

Konsep kawasan sentra produksi berawal dari perubahan UU Pemerintahan Daerah (UU No. 12 tahun 1999) tentang desentralisasi, ketahanan ekonomi masyarakat dalam situasi krisis ekonomi dan persiapan menghadapi persaingan ekonomi global. Di mana persaingan produksi dalam bidang kualitas, kuantitas, produkstivitas dan kontinuitas akan semakin tinggi sejalan dengan semakin meningkatnya sistem informasi dan komunikasi saat ini (Bappenas, 2007).

Selanjutnya pengertian Kawasan Sentra Produksi (KSP) adalah kawasan budidaya yang potensial dan prospektif untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi sebaran pengembangan kegiatan produksi berikut pengolahannya, jasa dan permukiman, infrastruktur atau prasarana dan sarana bisnis serta telah memiliki pasar bagi produk unggulan. Program pengembangan KSP adalah upaya


(51)

terprogram sebagai strategi dalam pembangunan daerah dengan pendekatan wilayah. Hal ini diperuntukkan guna memacu kegiatan ekonomi yang berbasis pada bisnis dan industri serta pengelolaan melibatan berbagai pelaku pembangunan dengan mengembangkan jaringan kerja yang solid antara pemerintah, dunia usaha, perguruan tinggi, LSM dan masyarakat.

Komoditas hortikultura mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Usaha agribisnis hortikultura (buah, sayur, tanaman hias dan tanaman biofarmaka) dapat menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat dan petani baik berskala kecil, menengah maupun besar. Hal ini disebabkan karenakomoditas hortikultura memiliki keunggulan berupa nilai jual yang tinggi, keragaman jenis, ketersediaan sumberdaya lahan dan teknologi, serta potensi serapan pasar di dalam negeri dan internasional yang terus meningkat. Pasokan produk hortikultura nasional diarahkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen dalam negeri, baik melalui pasar tradisional, pasar modern, maupun pasar luar negeri (ekspor).

Ketersediaan sumberdaya hayati dan sumberdaya lahan, apabila dikelola secara optimal akan menjadi sumber kegiatan usaha ekonomi yang bermanfaat untuk penanggulangan kemiskinan dan penyediaan lapangan kerja di perdesaan maupun perkotaan. Dalam dinamika perekonomian global yang semakin kompetitif, eksistensi wilayah sangat ditentukan oleh kemampuan wilayah tersebut menciptakan basis-basis keunggulan dalam persaingan ekonomi antar wilayah

Globalisasi telah menciptakan diversifikasi pasar, pesaing yang semakin banyak dan pilihan produk yang semakin bervariasi. Perkembangan teknologi yang berlangsung cepat merupakan salah satu pendorong persaingan suatu wilayah. Hanya wilayah-wilayah yang berdaya saing tinggi mampu membangun strateginya melalui harmonisasi pengembangan sumberdaya manusia, pemanfaatan teknologi yang tepat, serta eksplorasi dan pemanfaatan sumberdaya alam yang optimal.

Dengan diterapkannya kebijakan otonomi daerah di mana tugas dan kewenangan pembangunan, termasuk di dalamnya pembangunan pertanian, kini menjadi tanggung jawab sepenuhnya pemerintah daerah, yang dalam hal ini


(52)

21

adalah di tingkat kabupaten/kota sebagai daerah otonom. Maka daerah sebagai ujung tombak pembangunan nasional dituntut untuk dapat bersaing dalam meningkatkan daya saing wilayahnya agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Dengan mengacu pada tolok ukur kemajuan pembangunan wilayah, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pendapatan perkapita yang merata dan tingkat pengangguran yang rendah.

Hortikultura merupakan salah satu komoditas pertanian yang berkembang pesat di Indonesia. Selain sebagai komoditas yang esensial bagi manusia yaitu pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam menyediakan vitamin dan mineral, serta memberikan kontribusi PDB sebesar 14,95 % pada tahun 2008 terhadap subsektor lainnya. (Ditjen Hortikultura,2008). Pembangunan pertanian melalui pengembangan komoditas hortikultura yang potensial di suatu wilayah merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan perekonomian wilayah, yang pada akhirnya akan meningkatkan kegiatan ekonomi yang efektif dan efisien dan berdampak bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.

Kawasan agribisnis hortikultura merupakan suatu wilayah dengan kesamaan ekosistem dan disatukan oleh fasilitas infrastruktur ekonomi yang sama, sehingga membentuk kawasan yang berisi berbagai kegiatan usaha berbasis hortikultura mulai dari penyediaan sarana produksi, budidaya, penanganan dan pengolahan pasca panen dan pemasaran serta berbagai kegiatan pendukungnya. Tujuan pengembangan kawasan hortikultura adalah : 1)meningkatkan produksi dan produktivitas,2) mengembangkan keanekaragaman usaha pertanian untuk menjamin kelestarian fungsi dan manfaat lahan, 3) meningkatkan kesempatan berusaha dan meningkatkan pendapatan masyarakat dan negara, 4) meningkatkan kesejahteraan, kualitas hidup, kapasitas ekonomi dan sosial masyarakat petani,5) meningkatkan kesempatan berusaha dan meningkatkan pendapatan masyarakat dan negara maupun petani 6) meningkatkan ikatan komunitas masyarakat di sekitar kawasan yang memiliki tanggung jawab untuk menjaga kelestarian dan kenyamanannya (Ditjen Hortikultura, 2008).

Manfaat dari pengembangan kawasan hortikultura diantaranya : (1) pengembangan kawasan hortikultura memungkinkan penanganan berbagai komoditas hortikultura secara terpadu sesuai dengan kesamaan karakteristiknya,


(53)

(2) membuka kesempatan semua komoditas hortikultura yang penting di suatu kawasan ditangani secara proporsional serta mengurangi keinginan daerah menangani komoditas prioritas nasional yang tidak sesuai untuk daerahnya, (3) pengembangan kawasan hortikultura dapat menjadi wahana bagi pelaksana desentralisasi pembangunan secara nyata dengan pembagian dan keterkaitan fungsi antar tingkatan pemerintah secara lebih proporsional (4) critical mass penggalangan sumberdaya akan lebih tercipta sehingga sinergi dari berbagai sumberdaya tersebut akan terjadi, dan (5) kejelasan karakter dan pengukuran kinerja untuk jenis kegiatan pengembangan dan perbaikan kawasan, sehingga akan tercipta insentif bagi para pelaksana di kabupaten untuk kedua jenis kegiatan tersebut dibandingkan dengan kecenderungan selama ini yang lebih mementingkan kegiatan pengembangan daripada pemantapan(perbaikan), serta (6) tumbuhnya kegiatan ekonomi di kawasan dan sekitarnya yang mempercepat pertumbuhan pendapatan, penyerapan tenaga kerja dan tumbuhnya sektor-sektor usaha terkait (Backward dan forward linkages).

Di dalam pengembangan kawasan, baik yang lama maupun yang baru beberapa hal yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut: 1) penyusunan profil dan peta jalan pengembangan kawasan sebagai acuan perencanaan ke depan, 2) identifikasi status rantai pasok (Existing suplly chain) sebagai acuan untuk strukturisasi rantai pasok yang lebih efisien, 3) perencanaan pengembangan kawasan secara terpadu dan komprehensif, 4) mensosialisasikan rancangan pengembangan kawasan, dan 5) menggalang dukungan sektor terkait dan para pelaku bisnis dan masyarakat hortikultura dalam pengembangan kawasan.

Kriteria yang menjadi dasar penetapan kawasan budidaya hortikultura menurut Peraturan Menteri Pertanian No. 41/Permentan/OT.140/9/2009 tentang Kriteria Teknis Kawasan Peruntukan Pertanian adalah:

1. Mempunyai kesesuaian lahan yang didukung adanya sarana dan prasarana budidaya, panen dan pasca panen

2. Memiliki potensi untuk pengembangan system dan usaha agribisnis hortikultura

3. Mempunyai akses dan prasarana transportasi jalan dan pengangkutan yang mudah, dekat dengan pusat pemasaran dan pengumpulan produksi.


(54)

23

2.3. Konsep Sistem Pengelolaan Agribisnis

Istilah agribisnis pertama kali dilontarkan oleh John H. Davis pada suatu konferensi yang diadakan Badan Perdagangan Eceran Boston pada tahun 1955. Istilah ini kemudian menjadi sangat popular setelah dirumuskan dengan jelas pada suatu buku “A Concept of Agribussiness” yang ditulis oleh John H. Davis dan Ray A. Goldberg (1957). Menurut kedua penulis tersebut, pengertian agribisnis adalah : “Agribussiness is the sum total of all operations involved in the manufacturing and distribution of farm supplies, production activities on the farm and the storage, processing and distribution of farm commodities and items made from them (Syafaat, 2003).

Menurut Saragih (2001a), agribisnis sebagai bentuk modern pertanian primer, mencakup empat subsistem yaitu : 1) subsistem agribisnis hulu (Up stream agribusiness) yaitu kegiatan ekonomi yang menghasilkan sarana produksi pertanian primer, 2) subsistem usaha tani (on farm agribussiness) disebut sebagai sektor pertanian primer, 3) subsistem agribisnis hilir (down stream agribussiness) yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah hasil pertanian primer menjadi produk olahan baik untuk dimasak atau siap dikonsumsi beserta kegiatan perdagangannya di pasar domestik dan internasional serta 4) subsistem jasa layanan pendukung (supporting institutions) seperti lembaga keuangan dan pembiayaan, transportasi, penyuluhan dan layanan informasi agribisnis, penelitian pengembangan dan kebijakan pemerintah.

Dalam kaitannya dengan pengembangan agribisnis berskala kecil, pengembangan agroindustri pedesaan masih menghadapi kendala-kendala, seperti (1) kegiatan pertaniannya belum memberikan dukungan yang optimal karena pada sebagian besar pola produksi komoditi pertanian belum dalam satu areal yang kompak berkelompok, sehingga skala ekonomi daerah belum efisien, (2) sarana dan prasarana ekonomi yang belum memadai untuk daerah produksi tersebut, (3) pola agroindustri sendiri kebanyakan masih terpusat bukan pada sentra produksi pertanian di pedesaan, tetapi di perkotaaan, (4) biaya transportasi yang masih relatif tinggi, (5) sistem kelembagaan yang belum mendukung dengan peranan petani produsen yang lemah dan informasi yaneg belum memadai (Saragih, 2001b).


(55)

Industrialisasi pertanian primer menjadi sektor agribisnis tersebut berimplikasi pada cara melihat, mengevaluasi, mengelola, dan membangun kegiatan ekonomi berbasis sumberdaya hayati. Dalam agribisnis, ke dalam kegiatan ekonomi tersebut harus dilihat sebagai suatu sektor agribisnis, di mana subsistem tersebut merupakan suatu kegiatan ekonomi yang terintegrasi.

Dalam konteks konsep teori pengembangan wilayah pertanian berbasis agribisnis dapat dipandang sebagai suatu wilayah homogen yang memperlihatkan satu tingkat keherensi dalam kesatuan keputusan-keputusan ekonomi, yang dapat dikembangkan bersama-sama dengan wilayah pertanian lainnya dalam kawasan tersebut melalui pengembangan agribisnis. Dalam merencanakan pengembangan suatu wilayah untuk kegiatan pengembangan agribisnis, ada tiga pertanyaan pokok yang perlu dianalisis lebih lanjut (Dicken dan Lloyd, 1999 dalam Syafaat, 2003), yaitu bagaimana rencana bentuk spasial kegiatan agribisnis dan perspektif perubahannya ke depan?; mengapa bentuk spasial kegiatan agribisnis dipilih demikian?; serta bagaimana bentuk spasial kegiatan agribisnis tersebut membangkitkan atau mendorong perekonomian suatu wilayah?

Dalam pengertian seperti itu, paradigma agribisnis tidak hanya mengandung makna kegiatan produksi pertanian saja, tetapi juga meliputi kegiatan manufaktur, distribusi input pertanian dan pengolahan serta distribusi hasil-hasil pertanian. Secara sektoral, agribisnis meliputi seluruh sektor pertanian dan sebagian sektor industri yang menghasilkan agroinput dan mengolah produk pertanian. Kegiatan terakhir ini umumnya disebut agroindustri. Dilihat dari luasnya cakupan sektoral, maka agribisnis sebagai suatu totalitas kegiatan dari ekonomi suatu negara mempunyai peranan penting baik bagi pertumbuhan maupun pemerataan. Berbeda dengan paradigma usahatani, paradigma agribisnis memandang bahwa modernisasi teknologi dan pemasaran hasil pertanian telah mengubah sifat usaha tani budidaya yang semula independen menjadi suatu usaha ekonomi yang sangat tergantung pada kegiatan usaha tani lainnya ( Syafaat, 2003).

Di sisi lain, pemasaran produk-produk pertanian juga telah mengalami perubahan mendasar. Perkembangan teknologi pengolahan hasil-hasil pertanian telah mendorong pengembangan produk (product development) pertanian, sehingga hasil usaha tani secara umum tidak berupa lagi produk akhir yang


(56)

25

langsung dikonsumsi. Kegiatan pasca panen dan agroindustri merupakan kunci utama pemasaran hasil-hasil pertanian. Dengan sendirinya keragaan usaha tani sangat tergantung pada keragaan bisnis perdagangan, pascapanen dan industri pengolahan produk yang dihasilkan usahatani tersebut.

Agar sistem agribisnis secara keseluruhan mampu berkembang dan berkelanjutan (sustainable), semua unit kegiatan agribisnis secara ekonomi harus mampu hidup (economically viable). Untuk itu, unit-unit usaha agribisnis secara vertikal dari mulai hiliur harus salingmendukung dan memperkuat satu sama lain. Semua unit usaha tersebut tidak boleh bersaing dan saling mematikan.

Kegiatan agribisnis dapat dipengaruhi oleh keputusan atau tindakan koordinator agribisnis, yang terdiri dari pemerintah, manajer agribisnis (termasuk asosiasi bisnis), pendidik dan peneliti. Peran utama pemerintah adalah sebagai regulator, fasilitator dan dinamisator, sehingga koordinasi vertikal kegiatan sistem agribisnis dan unit-unit usaha yang terlibat di dalamnya secara keseluruhan dapat berjalan secara terpadu dan terkoordinasi secara baik dengan memperhatikan secara seksama lingkungan strategis (sumberdaya alam, sosial, ekonomi, politik) yang terus bergerak secara dinamis, sehingga sistem agribisnis secara keseluruhan mampu terus berkembang dna berkelanjutan.

Agribisnis sering diartikan dalam arti sempit, yaitu perdagangan atau pemasaran hasil pertanian. Padahal konsep agribisnis adalah utuh, mulai dari proses produksi, pengolahan hasil, pemasaran dan aktivitas lain yang berkaitan dengan kegiatan pertanian. Agribisnis dapat berkembang di Indonesia karena kondisi daerah yang menguntungkan, antara lain : lokasinya di garis khatulistiwa, berada di luar zona angin taifun, tersedianya sarana dan prasarana pendukung berkembangnya agribisnis dan kemauan politik pemerintah untuk memberikan prioritas (Soekartawi, 2005).

Secara konseptual sistem agribisnis dapat diartikan sebagai semua aktivitas, mulai dari pengadaan dan penyaluran sarana produksi (input) sampai dengan pemasaran produk-produk yang dihasilkan oleh usaha tani serta agroindustri yang saling terkait satu dengan yang lainnya. Menurut Baharsjah (1997) di dalam Hasibuan (1999), sistem agribisnis merupakan suatu sistem yang terdiri dari subsistem yaitu :


(57)

1) Subsistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi, teknologi dan pengembangan sumberdaya manusia

2) Subsistem budidaya dan usaha tani

3) Subsistem pengolahan hasil pertanian atau agroindustri 4) Subsistem pemasaran hasil pertanian

Gumbira (2001) juga menjelaskan fungsi-fungsi agribisnis terdiri atas kegiatan pengadaan dan penyaluran sarana produksi, kegiatan produksi primer (budidaya), pengolahan (agroindustri) dan pemasaran. Fungsi-fungsi tersebut kemudian disusun menjadi suatu sistem dari subsistem agribsisnis.

Soekartawi (2005) juga menyatakan bahwa hambatan dalam pengembangan agribisnis di Indonesia terletak pada berbagai aspek, antara lain : (1) pola produksi terletak di lokasi yang terpencar, sarana dan prasaran belum memadai di luar Jawa, (2) biaya transportasi menjadi lebih tinggi, (3) adanya pemusatan agroindustri di kota-kota besar , dan (4) sistem kelembagaan kurang mendukung berkembangnya kegiatan agribisnis.

Menurut Jaya (2009), agribisnis memerlukan lembaga penunjang termasuk kebijakan pemerintah seperti aspek pembiayaan/keunagan, pendidikan, penelitian, perhubungan dan pertanahan. Lembaga pendidikan dan pelatihan mempersiapkan para pelaku agribisnis yang profesional, sedangkan lembaga penelitian memberikan sumbangan berupa teknologi dan in formasi. Keberadaan lembaga-lembaga penunjang kebanyakan berada di luar sektor pertanian. Dengan demikian, dapat diartikanbahwa pengembangan sektor pertanian terkait dengan sektor lainnya.

Dalam pengelolaan agribisnis, keterkaitan antar pelaku dari berbagai pihak seperti penghasil produk primer, pengolah, pedagang, distributor, importir, eksportir dan lain-lain sangat dibutuhkan. Semakin baik keterkaitan dalam pengelolaan sistem agribisnis, maka semakin besar pula perannya terhadap pemebentukan perekonomian wilayah, terutama dalam memberikan sumbangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Selain itu agribisnis juga berperansebagai penyedia bahan kebutuhan hidup (pangan, perumahan dan pakaian), penghasil devisa, pencipta lapangan kerjadan sumber pendapatan masyarakat.


(58)

27

Agribisnis sebagai suatu sistem merupakan konsep pengelolaan pertanian secara luas dan utuh yang terdiri dari subsistem-subsistem. Oleh karena itu dalam pengelolaan sistem agribisnis dibutuhkan keterkaitan yang erat dan utuh antar subsistem seperti subsistem input, produksi, pengolahan hasil, pemasaran dan faktor penunjang atau kinerja sistem agribisnis sangat ditentukan oleh efektivitas masing-masing subsistem.

Menurut Tampubolon (2002), pengembangan agribisnis memeprhatikan strategi kegiatan yang berusaha semaksimal mungkin untuk mengoptimalkan potensi sumberdaya lokal yang ada (sumber daya alam dan sumber daya sosial budaya) dan memperhatikan kelestarian lingkungan. Tampubolon(2002) juga menyatakan bahwa rancangan pewilayahan pertanian dengan sistem agribisnis adalah suatu hal yang penting karena hal-hal sebagai berikut :

1) Pembangunan wilayah dan pengembangan agribisnis mengacu pada pewilayahan pertanian terkait erat dengan penggunaan sumberdaya agribisnis secara efisien dan optimal berdasarkan keunggulan komparatif dan kompetitif.

2) Setiap daerah dapat memutuskan jenis industri apa yang dapat dikembangkan agar perkembangan ekonomi daerah dapat optimal, baik dari segi pertumbuhan dan perluasan kesempatan kerja, maupun dalam rangka memaksimalkan PAD dan pelestarian sumberdaya alam. Hal ini mengingat skala ekonomi sangat penting bagi pengembangan sistem agribisnis dari hulu hingga ke hilir.

3) Berkaitan dengan identifikasi skala ekonomi tersebut,antar pemerintah daerah dapat ditata kerjasama dalam rangka maksimalisasi PAD yang fair.

2.4. Kelembagaan Sistem Agribisnis

Rangkaian kegiatan dalam sistem agribisnis digerakkan oleh berbagai kelembagaan. Peranan kelembagaan dalam sistem agribisnis sangat menentukan perkembangan pertanian. Pertanian berwawasan agribisnis memerlukan dukungan rancang bangun kelembagaan, dalam bentuk jaringan kelembagaan agribisnis yang terpadu, sistematis dan berfungsi secara efisien dalam mendukung kegiatan pertanian (Hasibuan, 1999).


(59)

Kelembagaan agribisnis terdapat dalam bentuk unit-unit usaha dalam subsistem sarana produksi, usaha tani/produksi, pasca panen dan pengolahan serta pemasaran hasil. Kelembagaan agribisnis tersebut secara lebih lengkap terdiri dari dari:

(1) Kelembagaan Sarana Produksi

Kelembagaan sarana produksi merupakan kelembagaan ekonomi yang bergerak di bidang produksi, penyediaan dan penyaluran sarana produksi seperti BUMN, Koperasi Unit Desa (KUD) dan usaha perdagangan swasta. Bentuk- bentuk kelembagaan sarana produksi ini antara lain adalah produsen saprodi, distributor/penyalur dan asosiasi.

(2) Kelembagaan Usaha Tani Produksi

Kelembagaan agribisnis yang bergerak di bidang usaha tani/produksi meliputi rumah tangga petani sebagai unit terkecil, kelembagaan tani dalam bentuk kelompok tani, kelembagaan usaha dalam bentuk perusahaan. Unit-unit usaha tani dalam bentuk rumah tangga petani meupun kelompok tani merupakan kelembagaanyang melaksanakan fungsi agribisnis di pedesaan. Kelompok tani merupakan bentuk kelembagaan yang lebih maju dan terorganisasi. Bentuk kelembagaan yang lebih modern adalah kelembagaan yang berwujud perusahaan budidaya murni atau perusahaan budidaya terpadu dengan pengolahan (agroindustri).

(3) Kelembagaan Pasca Panen dan Pengolahan Hasil

Kelembagaan yang melakukan usaha di bidang pasca panen antara lain adalah dalam bentuk usaha pengemasan, sortasi, grading, sedangkan kelembagaan usaha di bidang pengolahan (agroindustri) adalah seperti industri pengalengan, jus buah-buahan. Berdasarkan skala usaha, unit usaha di bidang pasca panen dan pengolahan hasil meliputi usaha dalam skala kecil (skala rumah tangga), skala menengah dan skala besar yang tersebar baik di pedesaan maupun perkotaan.

(4) Kelembagaan Pemasaran Hasil

Kelembagaan pemasaran dalam sistem agribisnis menempati posisi yang sangat penting, karena melalui kelembagaan ini arus komoditi atau barang berupa hasil pertanian dari produsen disampaikan kepada konsumen.


(60)

29

Kelembagaan tersebut dapat berupa pedagang pengumpul yang ada di daerah produsen (kabupaten/kecamatan), pedagang grosir baik yang adadi dalam wilayah maupun di luar wilayah. Selain jaa perdagangan, dalam kelembagaan pemasaran hasil termasuk juga usaha jasa transportasi hasil pertanian.

(5) Kelembagaan Jasa Layanan Pendukung

Di dalam sistem agribisnis terdapat pula subsistem jasa layanan pendukung dengan berbagai kelembagaan yang sangat berbeda fungsinya. Kelembagaan ini sangat menentukan keberhasilan kelembagaan agribisnis dalam mencapai tujuannya. Beberapa kelembagaan jasa layanan pendukung yang dianggap penting adalah :

a) Kelembagaan di bidang permodalan

Kelembagaan ini sangat bervariasi mulai dari perbankan, dana dari penyisihan keuntungan BUMN, maupun bantuan dana bergulir yang disediakan oleh pemerintah. Kelembagaan permodalan ini menyediakan modal bagi sektor agribisnis baik berbasis komersial murni maupun menyalurkan kredit program yang diskemakan oleh pemerintah.

b) Kelembagaan Pendidikan, Pelatihan dan Penyuluhan

Kelembagaan aparatur terdiri dari kelembagaan yang melakukan pelayanan dan penyuluhan, pengaturan dan pembinaan. Jadi kelembagaan aparatur juga termasuk organisasi pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah.

2.5. Metode Input-Output

Pendekatan sektoral adalah di mana seluruh kegiatan ekonomi di dalam wilayah perencanaan dikelompokkan atas sektor-sektor. Selanjutnya setian sektor dianalisis satu per satu. Setiap sektor dilihat potensi dan peluangnya, menetapkan apa yang dapat ditingkatkan dan di mana lokasi dari kegiatan peningkatan tersebut. Caranya adalah masing-masing sektor diuraikan (break down), sehingga terdapat kelompok-kelompok yang bersifat homogen. Terhadap kelompok yang homogen ini dapat digunakan peralatan analisis yang biasa digunakan untuk kelompok tersebut.


(1)

Lampiran 8. (Lanjutan)

 

25 Kuta Kepar 0,04

0 (0,04) 0,04 0  (0,04)

26 Bunuraya 0,12

0 (0,12) 0,10 0  (0,10)

27 Mulawari 0,3

0 (0,3) 0,02 1  0,8

28 Suka 0,20

1 0,8 0,15 0  (0,15)

29 Sukadame 0,10

1 0,9 0,09 0  (0,09)

30 Tigapanah 0,10

0 (0,10) 0,08 0  (0,08)

31 Kuta Bale 0,01

0 (0,01) 0,01 0  (0,01)

32 Seberaya 0,10

0 (0,10) 0,01 0  (0,01)

33 Lepar Samura 0,02

0 (0,02) 0,012 0  (0,012)

34 Ajimbelang 0,02

0 (0,02) 0,01 0  (0,01)

35 Kutajulu 0,01

0 (0,01) 0,01 0  (0,01)

36 Bertah 0,01

0 (0,01) 0,01 0  (0,01)

37 Ajibuhara 0,01

0 (0,01) 0,01 0  (0,01)

38 Ajijahe 0,05

1 0,95 0,04 0  (0,04)

39 Ajijulu 0,08

0 (0,08) 0,07 0  (0,07)

40 Rumamis 0,04

0 (0,04) 0,04 0  (0,04)

41 Semangat 0,03

0 (0,03) 0,02 0  (0,02)

42 Sinaman 0,05

1 0,95 0,04 0  (0,04)

43 Talimbaru 0,04

0 (0,04) 0,03 0  (0,03)

44 Pertumbuken 0,04

0 (0,04) 0,03 0  (0,03)

45 Bulan Julu 0,02

0 (0,02) 0,02 0  (0,02)

46 Bulan Jahe 0,04

0 (0,04) 0,04 0  (0,04)

47 Sukanalu 0,14 1 0,86 0,12 0  (0,12)

48 Sukajulu 0,09

1 0,91 0,07 1  0,93

49 Barus Jahe

0,11 0 (0,11) 0,10 0  (0,10)


(2)

Lampiran 8. (Lanjutan)

 

51 Penampen 0,03 

0 (0,03) 0,02 0  (0,02) 

52 Sarimanis 0,04 

0 (0,04) 0,03 0  (0,03) 

53 Tengkidik 0,01 

0 (0,01) 0,01 0  (0,01) 

54 Paribun 0,04 

0 (0,04) 0,03 0  (0,03) 

55 Persadanta 0,04 

0 (0,04) 0,03 0  (0,03) 

56 Sikap 0,05 

1 0,95 0,04 0  (0,04) 

57 Tanjung Barus 0,06 

0 (0,06) 0,05 0  (0,05)

58 Barus Julu 0,06 

1 0,94 0,05 0  (0,05) 


(3)

Lampiran 9. Fasiltas Pelayanan Kesehatan Masyarakat

NO Desa Kebutuh

an

Jumlah Fasilitas Kesehatan (unit)

Status Jumlah Paramedis (orang)

Kebutuhan Status

1 Beganding 0,015 1 0,985 4 0 4

2 Serumbia 0,004 2 1,996 2 0 2

3 Nang Belawan 0,007 1 0,993 1 0 1

4 Lingga 0,02 1 0,98 2 0 2

5 Lingga Julu 0,01 1 0,99 2 0 2

6 Ndokum Siroga

0,01 1 0,99 8 0 8

7 Surbakti 0,01 1 0,99 3 0 3

8 Tiga Pancur 0,007 2 1,993 1 0 1

9 Berastepu 0,02 1 0,08 3 0 3

10 Pintu Besi 0,002 2 1,998 1 0 1

11 Jeraya 0,004 1 0,996 1 0 1

12 Perteguhen 0,006 1 0,994 1 0 1

13 Kuta Tengah 0,004 1 0,996 1 0 1

14 Torong 0,006 1 0,994 1 0 1

15 Gajah 0,004 1 1,996 1 0 1

16 Bulan Baru 0,0008 2 1,992 1 0 1

17 Gamber 0,008 1 0,992 4 0 4

18 Sukamaju 0,004 1 0,996 2 0 2

19 Kuta Mbelin 0,003 1 0,997 1 0 1

20 Singa 0,005 2 1,995 1 0 1

21 Kubu Simbelang

0,02 1 0,98 2 0 2

22 Kacinambun 0,013 2 1,987 2 0 2

23 Lau Riman 0,008 2 1,992 2 0 2

24 Manuk Mulia 0,002 1 0,998 1 0 1

25 Kuta Kepar 0,009 2 1,991 3 0 3


(4)

Lampiran 9. (Lanjutan)

27 Mulawari 0,005 2 1,995 1 0 1

28 Suka 0,03 4 3,97 6 0 6

29 Sukadame 0,021 4 3,979 3 0 3

30 Tigapanah 0,02 5 4,98 6 0 6

31 Kuta Bale 0,001 2 1,999 1 0 1

32 Seberaya 0,02 2 1,98 5 0 5

33 Lepar Samura 0,003 2 1,997 1 0 1

34 Ajimbelang 0,004 2 1,996 1 0 1

35 Kutajulu 0,001 1 0,999 1 0 1

36 Bertah 0,002 2 1,998 1 0 1

37 Ajibuhara 0,014 1 0,986 1 0 1

38 Ajijahe 0,016 1 0,984 4 2 4

39 Ajijulu 0,004 3 2,996 2 0 2

40 Rumamis 0,005 2 1,995 1 0 1

41 Semangat 0,020 2 1,80 2 0 2

42 Sinaman 0,013 4 3,87 3 0 3

43 Talimbaru 0,008 1 0,992 2 0 2

44 Pertumbuken 0,002 1 0,998 1 0 1

45 Bulan Julu 0,002 1 0,998 2 0 2

46 Bulan Jahe 0,009 3 2,991 4 0 4

47 Sukanalu 0,024 2 1,976 3 0 3

48 Sukajulu 0,005 1 0,995 5 0 5

49 Barus Jahe 0,03 1 0,97 1 0 1

50 Serdang 0,02 4 3,98 2 0 2

51 Penampen 0,001 2 1,999 1 0 1

52 Sarimanis 0,021 2 1,979 1 0 1

53 Tengkidik 0,02 4 3,98 2 0 2


(5)

Lampiran 9. (Lanjutan)

55 Persadanta 0,020 2 1,98 1 0 1

56 Sikap 0,003 4 3,997 3 0 3

57 Tanjung Barus 0,004 2 1,996 2 0 2

58 Barus Julu 0,001 1 0,999 2 0 2

Sumber: Data Podes 2008, diolah

 

             

           

           


(6)

Lampiran 10. Alokasi Tenaga Kerja Berdasarkan Sektor Ekonomi 2006-2009

Persen (%)

Sektor 2006

2007

2008

2009

Pertanian 56,03

51,60

55,73

49,64

Pertambangan 0,33

0,62

0,02

0,24

Industri

Pengolahan

6,00

8,07

6,87

7,08

Listrik, Gas,dan

Air Bersih

0,30

0,25

0,37

0,33

Bangunan 3,56

4,11

4,92

3,75

Perdagangan,hotel

& Restoran

16,69

17,18

14,86

19,25

Pengangkutan &

Komunikasi

5,77

6,28

6,47

6,60

Keuangan,

Persewaan

0,98

1,00

0,78

1,35

Jasa-Jasa 10,24

10,78

9,97

11,81

Lainnya 0,09

0,11

0,00

0,00

Sumber : Karo dalam Angka (BPS), berbagai Terbitan