The Role Of Agricultural Sector In The Economy Of Nusa Tenggara Timur Province
PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEREKONOMIAN
PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
JOHNY AGUSTINUS KOYLAL
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
(2)
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis yang berjudul:
PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEREKONOMIAN
PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
merupakan gagasan atau hasil penelitian saya dengan bimbingan dari Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan sumbernya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Mei 2012
Johny Agustinus Koylal NRP. H353090131
(3)
iii
ABSTRACT
JOHNY AGUSTINUS KOYLAL. The Role of Agricultural Sector in the Economy of Nusa Tenggara Timur Province (RITA NURMALINA as the Chairman and KUNJTORO as a Member of the Advisory Committee).
Agricultural sector is still becoming the superior sector in the economy of Nusa Tenggara Timur (NTT) Province due to its significant contribution towards Gross Regional Domestic Product (PDRB) and labor absorption; however, this sector has not been the major source of economic growth. These study aimed are to analyze: (1) the role of the agricultural sector in the economy of NTT Province, (2) interrelation among agricultural sector with various other sectors in NTT Province, and (3) the impact on final demand changes in agricultural sector towards the output, income, and work force in NTT Province. This study used Input-Output (I-O) Method by conducting analysis on Input-Output Table of NTT Province in 2009. The result of the study show that: (1) sub-sector of animal husbandry and animal slaughtering, corn commodities, food-crop plant sub-sector, and fishery sub-sector play an immense role in the economy, (2) rice commodity, animal husbandry and animal slaughtering sub-sector, plantation sub-sector, and food crop plant sub-sector own a relatively enormous capability in supporting the output growth of their related sectors, and (3) poultry commodity and its products as well as coffee commodity posses output multiplier value, household income, and relatively large work force absorption. In order to increase the role of agricultural sector in the economy, agricultural sector growth is domestically oriented from the output side covering rice commodity, animal husbandry and animal slaughtering sub-sector, plantation plants sub-sector, as well as food crop plants sub-sector can be considered as development priority. Moreover, the government needs to carry out efforts to increase allocation for investment on animal husbandry and animal slaughtering sub-sector.
Key words: agricultural sector, input-output method, inter-sectoral interrelation, economic growth
(4)
RINGKASAN
JOHNY AGUSTINUS KOYLAL. Peranan Sektor Pertanian dalam Perekonomian Provinsi Nusa Tenggara Timur (RITA NURMALINA sebagai Ketua dan KUNJTORO sebagai Anggota Komisi Pembimbing).
Sektor pertanian masih menjadi sektor unggulan dalam perekonomian Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dilihat dari kontribusinya yang besar terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan penyerapan tenaga kerja, tetapi sektor ini belum menjadi sumber utama pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari data pertumbuhan ekonomi menurut sektor dalam kurun waktu 2002-2009, dimana sektor pertanian hanya mengalami pertumbuhan ekonomi, yaitu rata-rata sebesar 3.11 persen per tahun atau menduduki urutan ketujuh dari sembilan sektor yang ada (BPS Provinsi NTT, 2010). Masih rendahnya pertumbuhan ekonomi sektor pertanian ini akan berdampak terhadap akselerasi keseluruhan pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT.
Indikator akselerasi pertumbuhan ekonomi ditunjukkan oleh rata-rata pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT, dimana pada Pelita I-IV dan tahun 2000-2009 rata pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional (BPS Provinsi NTT, 2010). Pentingnya keterkaitan yang kuat antara sektor pertanian dan keseluruhan pertumbuhan ekonomi dikemukakan oleh Clements (1999), dimana peningkatan produksi pertanian senilai US$ 1, maka akan menghasilkan peningkatan pertumbuhan kegiatan ekonomi senilai US$ 2.32. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa apabila sektor pertanian tidak produktif, maka akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi.
Bagaimana menjadikan sektor pertanian berkembang agar dapat menjadi sektor pemimpin (leading sector) sehingga mampu memberikan multiplier effect
yang besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di luar sektor pertanian merupakan hal penting yang perlu menjadi perhatian pengambil kebijakan. Oleh karena itu, perlu suatu upaya kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sektor pertanian. Upaya kebijakan pemerintah tersebut antara lain dapat dilakukan dengan meningkatkan permintaan oleh konsumen akhir. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis: (1) peranan sektor pertanian dalam perekonomian Provinsi NTT, (2) keterkaitan sektor pertanian dengan sektor-sektor lainnya di Provinsi NTT, dan (3) dampak perubahan permintaan akhir di sektor pertanian terhadap output, pendapatan rumahtangga, dan penyerapan tenaga kerja di Provinsi NTT.
Ruang lingkup penelitian adalah mengkaji peranan sektor pertanian dalam perekonomian Provinsi NTT. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu Tabel I-O Provinsi NTT tahun 2009 yang diperoleh dari up-dating Tabel I-O Provinsi NTT tahun 2006 dengan menggunakan metode RAS. Pengolahan data penelitian menggunakan bantuan software Microsoft Office Excel 2007. Jumlah sektor yang digunakan dalam penelitian ini adalah 34 sektor yang diperoleh dengan cara melakukan proses agregasi terhadap Tabel I-O Provinsi NTT tahun 2006 klasifikasi 55 sektor.
(5)
v
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) subsektor peternakan dan pemotongan hewan, komoditi jagung, subsektor tanaman bahan makanan, dan subsektor perikanan memiliki peranan besar dalam perekonomian karena kontribusinya terhadap pembentukan ekspor, output, dan nilai tambah bruto di atas rata-rata subsektor atau komoditi lainnya, (2) komoditi unggas dan hasil-hasilnya, komoditi kopi, komoditi padi, serta subsektor peternakan dan pemotongan hewan memiliki nilai keterkaitan langsung dan tidak langsung baik ke belakang maupun ke depan relatif tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa subsektor atau komoditi tersebut memiliki kemampuan relatif besar dalam mendorong pertumbuhan output sektor hulu dan hilirnya dibandingkan dengan subsektor atau komoditi lainnya, (3) komoditi padi, subsektor peternakan dan pemotongan hewan, subsektor perkebunan, dan subsektor tanaman bahan makanan memiliki indeks derajat kepekaan lebih tinggi dibandingkan dengan indeks daya penyebarannya. Hal ini menunjukkan bahwa subsektor atau komoditi tersebut memiliki kemampuan lebih besar dalam mendorong pertumbuhan output sektor hilirnya dibandingkan dengan kemampuan menarik pertumbuhan output sektor hulunya, (4) komoditi unggas dan hasil-hasilnya memiliki nilai multiplier output relatif tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan komoditi ini dalam menghasilkan tambahan output relatif besar dibandingkan dengan subsektor atau komoditi lainnya. Sedangkan komoditi kopi memiliki nilai multiplier pendapatan rumahtangga dan penyerapan tenaga kerja relatif tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan komoditi ini dalam menghasilkan tambahan pendapatan rumahtangga dan penyerapan tenaga kerja relatif besar dibandingkan dengan subsektor atau komoditi lainnnya, (5) hasil simulasi kebijakan peningkatan permintaan akhir menunjukkan bahwa subsektor peternakan dan pemotongan hewan memiliki dampak output, pendapatan rumahtangga, dan penyerapan tenaga kerja relatif tinggi dibandingkan dengan komoditi padi, subsektor perkebunan, dan subsektor tanaman bahan makanan. Hal ini menunjukkan bahwa subsektor peternakan dan pemotongan hewan mampu menghasilkan tambahan output, pendapatan rumahtangga, dan penyerapan tenaga kerja relatif besar dibandingkan dengan subsektor atau komoditi lainnya, (6) pembentukan modal tetap bruto atau investasi di sektor pertanian terbatas hanya pada subsektor peternakan dan pemotongan hewan serta komoditi unggas dan hasil-hasilnya, dan (7) masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia khususnya petani menjadi salah satu penyebab rendahnya produktivitas di sektor pertanian.
Pentingnya peranan sektor pertanian dalam perekonomian Provinsi NTT ditinjau dari kontribusi terhadap PDRB dan penyerapan tenaga kerja, maka sektor ini layak untuk menjadi salah satu prioritas pembangunan. Pada sisi lain, pemerintah daerah dihadapkan pada keterbatasan anggaran. Oleh karena itu, maka perlu dilakukan prioritas pengembangan terhadap subsektor atau komoditi yang dianggap strategis. Subsektor atau komoditi strategis yang layak untuk dikembangkan meliputi subsektor peternakan dan pemotongan hewan khususnya ternak sapi potong serta subsektor perikanan. Disamping itu, pemerintah perlu memperhatikan beberapa hal berikut: (1) peningkatkan alokasi investasi di subsektor peternakan dan pemotongan hewan karena subsektor ini memiliki
dampak output, pendapatan rumahtangga, dan penyerapan tenaga kerja relatif besar dalam perekonomian, (2) mendorong pengembangan industri pengolahan hasil pertanian, dan (3) mendorong peningkatan kualitas sumberdaya manusia
(6)
khususnya petani. Hal ini berhubungan erat dengan upaya perubahan cara pandang, pola pikir, sikap dan perilaku dalam berusahatani. Perubahan paradigma tersebut dapat dicapai melalui pendidikan dan pelatihan, baik formal maupun non formal. Oleh karena itu, diperlukan peran lembaga diklat teknis di bidang pertanian, lembaga pendidikan tinggi maupun dukungan lembaga sosial atau keagamaan.
Kata kunci: sektor pertanian, metode input-output, keterkaitan antarsektor, pertumbuhan ekonomi
(7)
vii
© Hak cipta milik IPB, tahun 2012
Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB
(8)
PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEREKONOMIAN
PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
JOHNY AGUSTINUS KOYLAL
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
(9)
ix
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS (Dosen Departemen Ilmu Ekonomi,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor)
Penguji Wakil Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang: Dr. Ir. Hartoyo, MS
(Dosen Departemen Ilmu Ekonomi,
(10)
(11)
xi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Bapa di Sorga atas Kasih KaruniaNya sehingga penulis dapat merampungkan tesis dengan judul: “Peranan Sektor Pertanian dalam Perekonomian Provinsi Nusa Tenggara Timur”. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran keterkaitan sektor pertanian dengan sektor nonpertanian untuk menentukan sektor unggulan sebagai upaya mendorong pertumbuhan ekonomi di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Kuntjoro selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah membimbing penulis dalam penyusunan tesis.
2. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian serta Penguji Wakil Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang dalam ujian tesis.
3. Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS selaku Penguji Luar Komisi pada ujian tesis. 4. Prof. DR. Ir. Bonar M. Sinaga, MA dan seluruh staf pengajar yang telah
membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian.
5. Direktur Politeknik Pertanian Negeri Kupang yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan Program Magister.
6. Pengelola The Project of Agriculture (NPT-IDN 250) - NUFFIC yang telah memberi bantuan beasiswa untuk menempuh pendidikan Program Magister.
(12)
7. Staf Badan Pusat Statistik Pusat di Jakarta yang telah membantu penulis dalam pengolahan data.
8. Rekan-rekan mahasiswa Program Magister Ilmu Ekonomi Pertanian Angkatan 2009 atas kerjasamanya selama proses pembelajaran maupun penyusunan tesis.
9. Kepada Orang Tua, Kakak-kakak dan Adik-adik, Istri dan Anak-anak tercinta, serta Om Daud D. dan Tante Chandra atas bantuan dan dukungan doa kepada penulis.
10. Semua pihak yang telah membantu dan tidak dapat disebut satu persatu pada tulisan ini.
Akhirnya, penulis berharap dengan segala keterbatasan yang ada, kiranya
informasi dalam tesis ini dapat bermanfaat bagi pemerintah dan masyarakat Nusa Tenggara Timur serta pihak yang tertarik untuk melakukan kajian sektor
pertanian.
Bogor, Mei 2012
(13)
xiii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Mataram, pada tanggal 18 September 1970, sebagai anak ketiga dari lima bersaudara pasangan Bapak Agus Koylal dan Ibu Ni Nengah Nasa.
Penulis menyelesaikan Program Sarjana Pertanian, Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Mataram pada tahun 1995. Selanjutnya pada tahun 2009, penulis memperoleh kesempatan menempuh pendidikan Program Magister di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Pada tahun 2003 Penulis menikah dengan Nathasya E.C. Anthonysz dan telah dikaruniakan dua orang anak, yaitu Andrew Nathaniel Koylal dan Nova J. Nathania Koylal.
(14)
Halaman
DAFTAR TABEL ... xviii
DAFTAR GAMBAR ... xx
DAFTAR LAMPIRAN ... xxii
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah Penelitian ...……… 4
1.3. Tujuan Penelitian ...……...……… 7
1.4. Kegunaan Penelitian ...………... 8
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9
2.1. Peranan Sektor Pertanian dalam Perekonomian ... 9
2.2. Teori Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi ……….... 11
2.3. Model Pertumbuhan Ekonomi Regional ... 17
2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu ..……...………... 19
2.4.1. Peranan Sektor Pertanian dalam Perekonomian ………... 19
2.4.2. Pentingnya Dukungan terhadap Sektor Pertanian ... 23
2.4.3. Dampak Investasi Sektor Pertanian terhadap Perekonomian ...………... 24
III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS ... 27
3.1. Kerangka Pemikiran ..………...…………... 27
3.2. Kerangka Teori ...………..………... 29
3.2.1. Analisis Input-Output ...…………..……….... 29
3.2.1.1. Model Input-Output ...………... 29
3.2.1.2. Asumsi-asumsi dan Keterbatasan dalam Analisis Input-Output ...…………... 31
3.2.1.3. Tabel Input-Output ...…………..…...…... 32
(15)
xv
3.2.2.1. Struktur Permintaan dan Penawaran ... 38
3.2.2.2. Struktur Output ...……….... 39
3.2.2.3. Struktur Nilai Tambah Bruto ……….. 40
3.2.2.4. Struktur Permintaan Akhir ..………... 40
3.2.3. Keterkaitan Antarsektor Ekonomi ...……..…….... 42
3.2.3.1. Keterkaitan ke Belakang dan Keterkaitan ke Depan ………... 44
3.2.3.2. Daya Penyebaran dan Derajat Kepekaan ... 46
3.2.4. Angka Pengganda ...……….…... 46
3.2.4.1. Angka Pengganda Output ..………. 47
3.2.4.2. Angka Pengganda Pendapatan Rumahtangga .... 47
3.2.4.3. Angka Pengganda Tenaga Kerja ... 48
IV. METODOLOGI PENELITIAN ... 49
4.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 49
4.2. Jenis, Sumber, dan Pengolahan Data ………..………. 49
4.3. Metode Analisis ……...……….... 49
4.3.1. Agregasi Sektor Tabel I-O Provinsi NTT, Tahun 2009 ... 49
4.3.2. Analisis Peranan Sektor Pertanian ……….... 50
4.3.2.1. Analisis Struktur Permintaan dan Penawaran .... 50
4.3.2.2. Analisis Struktur Output ..………... 51
4.3.2.3. Analisis Struktur Nilai Tambah Bruto ... 52
4.3.2.4. Analisis Struktur Permintaan Akhir ………... 52
4.3.3. Analisis Keterkaitan Antarsektor Ekonomi …………... 53
4.3.3.1. Analisis Keterkaitan Langsung ke Belakang ... 53
4.3.3.2. Analisis Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung ke Belakang ... 53
4.3.3.3. Analisis Keterkaitan Langsung ke Depan ... 54
4.3.3.4. Analisis Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung ke Depan ... 54
4.3.3.5. Analisis Daya Penyebaran ... 55
4.3.3.6. Analisis Derajat Kepekaan ... 55
(16)
4.3.5. Simulasi Dampak Perubahan Permintaan Akhir di Sektor Pertanian terhadap Output, Pendapatan Rumahtangga,
dan Penyerapan Tenaga Kerja di Provinsi NTT ... 59
V. DESKRIPSI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR ... 61
5.1. Keadaan Geografis dan Administrasi Daerah ... 61
5.2. Keadaan Iklim ... 62
5.3. Penduduk dan Ketenagakerjaan ... 63
5.4. Pertanian ... 66
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 73
6.1. Peranan Sektor Pertanian di Provinsi Nusa Tenggara Timur ... 73
6.1.1. Struktur Permintaan dan Penawaran ... 73
6.1.2. Struktur Output ... 78
6.1.3. Struktur Nilai Tambah Bruto ... 81
6.1.4. Struktur Permintaan Akhir ... 87
6.2. Keterkaitan Sektor Pertanian dengan Sektor Ekonomi Lainnya ... 90
6.2.1. Keterkaitan ke Belakang ... 90
6.2.2. Keterkaitan ke Depan ... 95
6.2.3. Daya Penyebaran ... 99
6.2.4. Derajat Kepekaan ... 101
6.3. Dampak Berganda Sektor Pertanian ... 105
6.3.1. Multiplier Output ... 106
6.3.2. Multiplier Pendapatan ... 108
6.3.3. Multiplier Tenaga Kerja ... 113
6.4. Dampak Perubahan Permintaan Akhir di Komoditi Padi, Subsektor Peternakan dan Pemotongan Hewan, Subsektor Tanaman Perkebunan, dan Subsektor Tanaman Bahan Makanan terhadap Output, Pendapatan Rumahtangga, dan Penyerapan Tenaga Kerja ... 116
6.5. Strategi dan Prioritas Pengembangan Sektor Pertanian ... 128
VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 133
(17)
xvii
7.2. Implikasi Kebijakan ... 135
DAFTAR PUSTAKA ... 137
(18)
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Ilustrasi Tabel Input-Output ... 33
2. Rumus Perhitungan Multiplier EffectMenurut Tipe Dampak ... 57
3. Luas Daerah Nusa Tenggara Timur Menurut Pulau ... 61
4. Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2009 ... 62
5. Perkembangan Produksi Tanaman Padi dan Palawija di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2005-2009 ... 69
6. Perkembangan Produksi Tanaman Perkebunan di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2005-2009 ... 70
7. Perkembangan Populasi Ternak di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2006-2009 ... 71
8. Struktur Permintaan dan Penawaran Menurut Sektor Ekonomi di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2009 ... 74
9. Output Subsektor/Komoditi Pertanian di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2009 ... 78
10. Nilai Tambah Bruto Subsektor/Komoditi Pertanian di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2009 ... 82
11. Komposisi Nilai Tambah Bruto Menurut Komponennya di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2009 ... 85
12. Komposisi Permintaan Akhir Menurut Komponennya di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2009 ... 88
13. Keterkaitan ke Belakang Subsektor/Komoditi Pertanian di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2009 ... 91
14. Keterkaitan ke Depan Subsektor/Komoditi Pertanian di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2009 ... 96
15. Indeks Daya Penyebaran Subsektor/Komoditi Pertanian di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2009 ... 100
16. Indeks Derajat Kepekaan Subsektor/Komoditi Pertanian di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2009 ... 102
17. Multiplier Output Subsektor/Komoditi Pertanian di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2009 ... 107
18. Multiplier Pendapatan Subsektor/Komoditi Pertanian di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2009 ... 109
19. Multiplier Tenaga Kerja Subsektor/Komoditi Pertanian di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2009 ... 114
(19)
xix
20. Simulasi Dampak Perubahan Permintaan Akhir di Komoditi Padi,
Subsektor Peternakan dan Pemotongan Hewan, Subsektor Tanaman Perkebunan, dan Subsektor Tanaman Bahan Makanan terhadap
Output, Pendapatan Rumahtangga, dan Penyerapan Tenaga Kerja di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2009 ... 118
(20)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman 1. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 28 2. Alur Keterkaitan Antarsektor dalam Perekonomian ... 44 3. Daya Penyebaran dan Derajat Kepekaan ... 104
(21)
(22)
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman 1. Produksi Komoditi Pertanian di Provinsi Nusa Tenggara Timur,
Tahun 2006-2009 ... 143 2. Distribusi Persentase PDRB Atas Dasar Harga yang Berlaku
Menurut Lapangan Usaha Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2002-2009 ... 144 3. Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja
Menurut Lapangan Pekerjaan Utama di Provinsi Nusa
Tenggara Timur, Tahun 2002-2009 ... 145 4. Rata-Rata Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Timur
dan Indonesia, Pelita I-IV dan Tahun 2000-2009 ... 146 5. Pertumbuhan Ekonomi Menurut Sektor di Provinsi Nusa Tenggara
Timur, Tahun 2002-2009 ... 147 6. Rata-Rata Pendapatan Perkapita Atas Dasar Harga yang Berlaku
Penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Indonesia, Tahun 1997-2009 ... 148 7. Distribusi Persentase PDRB Atas Dasar Harga yang Berlaku
Menurut Jenis Penggunaannya Provinsi Nusa Tenggara
Timur, Tahun 2002-2009 ... 149 8. Agregasi 34 Sektor Berdasarkan Tabel Input Output Provinsi NTT,
Tahun 2006 ... 150 9. Klasifikasi 34 Sektor Tabel Input Output Provinsi Nusa Tenggara
Timur, Tahun 2009 ... 152 10. Tabel Input Output Transaksi Total Atas Dasar Harga Produsen
Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2009 ... 154 11. Tabel Input Output Transaksi Domestik Atas Dasar Harga Produsen
Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2009 ... 162 12. Koefisien Input Tabel Input Output Transaksi Domestik Atas Dasar
Harga Produsen Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2009 ... 170 13. Matrik Kebalikan (I-Ad)-1Terbuka Tabel Input Output Transaksi
Domestik Atas Dasar Harga Produsen Provinsi Nusa Tenggara
Timur, Tahun 2009 ... 175 14. Output Sektor-sektor Perekonomian di Provinsi Nusa Tenggara
Timur, Tahun 2009 ... 180 15. Nilai Tambah Bruto Sektor-sektor Perekonomian di Provinsi Nusa
(23)
xxiii
16. Keterkaitan ke Belakang Sektor-sektor Perekonomian di Provinsi
Nusa Tenggara Timur, Tahun 2009 ... 182 17. Keterkaitan ke Depan Sektor-sektor Perekonomian di Provinsi Nusa
Tenggara Timur, Tahun 2009 ... 183 18. Indeks Daya Penyebaran dan Indeks Derajat Kepekaan Sektor-sektor
Perekonomian di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2009 ... 184 19. Keterkaitan Antarsektor Menurut Indeks Daya Penyebaran dan
Derajat Kepekaan di Provinsi Nusa Tenggara Timur,
Tahun 2009 ... 185 20. Multiplier Output Sektor-sektor Perekonomian di Provinsi Nusa
Tenggara Timur, Tahun 2009 ... 190 21. Multiplier Pendapatan Sektor-sektor Perekonomian di Provinsi
Nusa Tenggara Timur, Tahun 2009 ... 191 22. Multiplier Tenaga Kerja Sektor-sektor Perekonomian di Provinsi
Nusa Tenggara Timur, Tahun 2009 ... 192 23. Multiplier Output Tipe I Sektor-sektor Perekonomian di Provinsi
Nusa Tenggara Timur, Tahun 2009 ... 193 24. Multiplier Output Tipe II Sektor-sektor Perekonomian di Provinsi
Nusa Tenggara Timur, Tahun 2009 ... 196 25. Multiplier Pendapatan Tipe I Sektor-sektor Perekonomian
di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2009 ... 199 26. Multiplier Pendapatan Tipe II Sektor-sektor Perekonomian
di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2009 ... 202 27. Multiplier Tenaga Kerja Tipe I Sektor-sektor Perekonomian
di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2009 ... 205 28. Multiplier Tenaga Kerja Tipe II Sektor-sektor Perekonomian
di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2009 ... 208 29. Simulasi Dampak Peningkatan Permintaan Akhir di Komoditi Padi
Sebesar 7.97 Persen terhadap Output di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2009 ... 211 30. Simulasi Dampak Peningkatan Permintaan Akhir di Komoditi Padi
Sebesar 7.97 Persen terhadap Pendapatan di Provinsi Nusa
Tenggara Timur, Tahun 2009 ... 212 31. Simulasi Dampak Peningkatan Permintaan Akhir di Komoditi Padi
Sebesar 7.97 Persen terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2009 ... 213 32. Simulasi Dampak Peningkatan Permintaan Akhir di Subsektor
Peternakan dan Pemotongan Hewan Sebesar 10.34 Persen terhadap Output di Provinsi Nusa Tenggara Timur,
(24)
33. Simulasi Dampak Peningkatan Permintaan Akhir di Subsektor Peternakan dan Pemotongan Hewan Sebesar 10.34 Persen terhadap Pendapatan di Provinsi Nusa Tenggara Timur,
Tahun 2009 ... 215 34. Simulasi Dampak Peningkatan Permintaan Akhir di Subsektor
Peternakan dan Pemotongan Hewan Sebesar 10.34 Persen terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Provinsi Nusa
Tenggara Timur, Tahun 2009 ... 216 35. Simulasi Dampak Peningkatan Permintaan Akhir di Subsektor
Tanaman Perkebunan Sebesar 9.92 Persen terhadap Output
di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2009 ... 217 36. Simulasi Dampak Peningkatan Permintaan Akhir di Subsektor
Tanaman Perkebunan Sebesar 9.92 Persen terhadap Pendapatan di Provinsi Nusa Tenggara Timur,
Tahun 2009 ... 218 37. Simulasi Dampak Peningkatan Permintaan Akhir di Subsektor
Tanaman Perkebunan Sebesar 9.92 Persen terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Provinsi Nusa
Tenggara Timur, Tahun 2009 ... 219 38. Simulasi Dampak Peningkatan Permintaan Akhir di Subsektor
Tanaman Bahan Makanan Sebesar 7.97 Persen terhadap
Output di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2009 ... 220 39. Simulasi Dampak Peningkatan Permintaan Akhir di Subsektor
Tanaman Bahan Makanan Sebesar 7.97 terhadap Pendapatan di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2009 ... 221 40. Simulasi Dampak Peningkatan Permintaan Akhir di Subsektor
Tanaman Bahan Makanan Sebesar 7.97 Persen terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Provinsi Nusa Tenggara
Timur, Tahun 2009 ... 222 41. Plot Indeks Daya Penyebaran dan Indeks Derajat Kepekaan ... 223 42. Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga yang Berlaku
(25)
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Produksi komoditi pertanian di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam kurun waktu 2006-2009 dapat dilihat di Lampiran 1. Pada subsektor tanaman bahan makanan komoditi padi, jagung, ubi kayu, dan ubi jalar merupakan komoditi yang mempunyai produksi tertinggi. Begitu pula dengan komoditi kelapa, kopi, dan jambu mete pada subsektor tanaman perkebunan. Selanjutnya pada subsektor peternakan dan hasil-hasilnya, kelompok ternak besar yang meliputi ternak sapi, kerbau, dan kuda memiliki populasi yang cukup besar. Produksi kayu cendana selama tahun 2007 sebesar 10.14 ton dan produksi kayu jenis lainnya yang paling menonjol adalah kayu jati persegi yang produksinya mencapai sekitar 16.07 meter kubik. Produksi perikanan pada tahun 2007 sebesar 103 825.5 ton, dimana sekitar 97.49 persen diantaranya merupakan hasil dari perikanan laut dan selebihnya sekitar 2.51 persen merupakan hasil dari perikanan darat (BPS Provinsi NTT, 2010).
Salah satu program Pemerintah Provinsi NTT di sektor pertanian adalah mewujudkan Provinsi NTT sebagai daerah produsen jagung. Program tersebut dirancang dengan dukungan teknologi dan kelembagaan yang mampu meningkatkan produksi dan daya saing usahatani jagung. Peningkatan produksi jagung diupayakan melalui pemanfaatan dua sumber pertumbuhan produksi, yaitu peningkatan produktivitas dan perluasan areal tanam. Dalam implementasinya program pengembangan jagung di Provinsi NTT melibatkan institusi terkait dan pelaku agribisnis sehingga diharapkan lebih berperan dalam pengembangan teknologi, penyediaan dan pendistribusian saprodi, dan pemasaran hasil.
(26)
Kebijakan peningkatan produksi dan produktivitas beberapa komoditi pertanian penting lainnya juga terus dilakukan sehingga sektor pertanian akan lebih berperan dalam perekonomian Provinsi NTT.
Provinsi NTT sebagai daerah kepulauan dengan topografi yang berbukit dan beriklim kering, struktur perekonomiannya masih bergantung pada sektor pertanian. Lampiran 2 memperlihatkan distribusi persentase PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) atas dasar harga yang berlaku menurut lapangan usaha Provinsi NTT dalam kurun waktu 2002-2009. Dalam kurun waktu tersebut, sektor pertanian merupakan penyumbang terbesar terhadap PDRB Provinsi NTT, yaitu rata-rata sebesar 41.42 persen per tahun (BPS Provinsi NTT, 2010).
Pada tahun 2009 jumlah penduduk NTT tercatat sebanyak 4 619 655 jiwa dengan kepadatan 95 jiwa per kilometer persegi. Pada tahun yang sama sebanyak 3 121 422 orang atau 72.09 persen penduduk NTT yang berusia 15 tahun ke atas diantaranya merupakan angkatan kerja. Angkatan kerja yang melakukan aktifitas bekerja sebanyak 69.22 persen dan sisanya 2.86 persen aktif mencari pekerjaan. Persentase penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama di Provinsi NTT dapat dilihat di Lampiran 3. Selama periode 2002-2009, sektor pertanian masih sebagai lapangan pekerjaan yang menyerap tenaga kerja terbesar, yaitu rata-rata sebesar 74.03 persen per tahun (BPS Provinsi NTT, 2010).
Rata-rata pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT dan Indonesia pada Pelita I-V dan tahun 2000-2009 dapat dilihat di Lampiran 4. Selama kurun waktu 2000-2009 rata-rata pertumbuhan ekonomi NTT masih di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi secara nasional kecuali untuk tahun 2001, 2002, dan 2004
(27)
3
Pertumbuhan ekonomi itu sendiri merupakan indikator makro ekonomi yang menunjukkan kenaikan produksi barang dan jasa di Provinsi NTT pada suatu periode tertentu dibandingkan dengan produksi barang dan jasa di wilayah tersebut pada periode sebelumnya. Namun tingginya pertumbuhan ekonomi tidak mutlak menunjukkan kenaikan kesejahteraan, karena harus dilihat dulu sektor mana saja yang menjadi sumber pertumbuhan utama (BPS Provinsi NTT, 2010).
Pertumbuhan ekonomi menurut sektor di Provinsi NTT dalam kurun waktu 2002-2009 dapat dilihat di Lampiran 5. Selama kurun waktu tersebut, sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan memiliki pertumbuhan ekonomi yang tertinggi, yaitu rata-rata sebesar 7.59 per tahun. Sektor pertanian hanya mengalami pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 3.11 persen per tahun, dimana subsektor perikanan memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi, yaitu rata-rata sebesar 4.68 persen per tahun. Selanjutnya diikuti oleh subsektor tanaman perkebunan yang mengalami pertumbuhan ekonomi, yaitu rata-rata sebesar 3.88 persen per tahun, sedangkan subsektor tanaman bahan makanan memiliki pertumbuhan ekonomi terendah, yaitu rata-rata hanya sebesar 2.63 persen per tahun (BPS Provinsi NTT, 2010).
Selanjutnya rata-rata pendapatan perkapita penduduk NTT atas dasar harga yang berlaku pada periode 1997-2009 dapat dilihat di Lampiran 6. Selama periode tersebut, rata-rata pendapatan perkapita penduduk NTT lebih rendah dari rata-rata pendapatan perkapita nasional. Pada tahun 2009 rata-rata pendapatan perkapita penduduk NTT tumbuh sebesar 9.22 persen, sedangkan rata-rata pendapatan perkapita nasional tumbuh sebesar 10.12 persen atau dapat juga disimpulkan bahwa produktivitas perkapita penduduk NTT lebih rendah dari
(28)
produktivitas perkapita nasional. Pada tahun yang sama rata-rata perkapita penduduk NTT sebesar Rp 4 884 665, sedangkan rata-rata pendapatan perkapita nasional sebesar Rp 21 483 003. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan perkapita penduduk NTT hanya sebesar 22.74 persen dari rata-rata pendapatan per kapita nasional (BPS Provinsi NTT, 2010).
Komposisi penggunaan PDRB Provinsi NTT dalam kurun waktu tahun 2002-2009 relatif tidak mengalami perubahan. Lampiran 7 menunjukkan bahwa proporsi terbesar penggunaan PDRB Provinsi NTT dalam kurun waktu tersebut adalah untuk memenuhi konsumsi rumahtangga, yaitu rata-rata sebesar 68.04 persen per tahun dengan kecenderungan meningkat. Dalam kurun waktu yang sama proporsi penggunaan untuk konsumsi pemerintah, yaitu rata-rata sebesar 19.29 persen per tahun dengan kecenderungan menurun. Sedangkan proporsi penggunaan untuk pembentukan modal tetap bruto/investasi, yaitu rata-rata sebesar 13.84 persen per tahun dengan kecenderungan menurun pula (BPS Provinsi NTT, 2010).
Berdasarkan data empiris di atas, maka peneliti merasa perlu untuk mengkaji peranan sektor pertanian dalam perekonomian Provinsi NTT.
1.2. Perumusan Masalah Penelitian
Sektor pertanian masih menjadi sektor unggulan dalam perekonomian Provinsi NTT dilihat dari kontribusinya yang besar terhadap PDRB dan penyerapan tenaga kerja, tetapi sektor ini belum menjadi sumber utama pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari data pertumbuhan ekonomi menurut sektor dalam kurun waktu 2002-2009, dimana sektor pertanian hanya mengalami pertumbuhan, yaitu rata-rata sebesar 3.11 persen per tahun atau
(29)
5
menduduki urutan ketujuh dari sembilan sektor yang ada. Masih rendahnya pertumbuhan ekonomi sektor pertanian ini akan berdampak terhadap akselerasi keseluruhan pertumbuhan ekonomi di Provinsi NTT. Indikator akselerasi pertumbuhan ekonomi ditunjukkan oleh rata-rata pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT, dimana pada Pelita I-IV dan tahun 2000-2009 rata-rata pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional (BPS Provinsi NTT, 2010).
Pentingnya keterkaitan yang kuat antara sektor pertanian dan keseluruhan pertumbuhan ekonomi dikemukakan oleh Clements (1999), dimana peningkatan produksi pertanian senilai US$ 1, maka akan menghasilkan peningkatan pertumbuhan kegiatan ekonomi senilai US$ 2.32. Selanjutnya Bautista (1991) juga menyatakan bahwa elastisitas keterkaitan pertumbuhan antara sektor pertanian dan sektor-sektor lainnya sebesar 1.3 untuk periode 1961-1984 dan 1.4 untuk periode 1973-1984. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan 1 persen nilai tambah di sektor pertanian akan menciptakan pertumbuhan nilai tambah di sektor nonpertanian sebesar 1.3 dan 1.4 untuk masing-masing periode tersebut. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa apabila sektor pertanian tidak produktif, maka akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi.
Pada sisi lain, pertumbuhan ekonomi sektor pertanian juga akan berdampak terhadap distribusi tenaga kerja antarsektor ekonomi dalam perekonomian di Provinsi NTT. Dalam kurun waktu 2002-2009, sektor pertanian masih sebagai lapangan pekerjaan yang menyerap tenaga kerja terbesar, yaitu rata-rata sebesar 74.03 persen per tahun (BPS Provinsi NTT, 2010). Besarnya tenaga kerja yang berada pada sektor pertanian mengindikasikan bahwa transfer
(30)
tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian berjalan lambat. Kondisi ini juga menunjukkan bahwa sektor nonpertanian di Provinsi NTT relatif belum berkembang atau mengalami pertumbuhan yang lambat. Daryanto (2001) menyatakan bahwa transfer surplus tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian merupakan salah sumber pertumbuhan ekonomi. Perekonomian yang tumbuh dengan cepat dapat menstimulasi terjadinya pemindahan tenaga kerja dalam jumlah yang besar dan kontinyu dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian.
Lambatnya transfer surplus tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian akan berdampak terhadap rendahnya pendapatan perkapita penduduk NTT. Data menunjukkan bahwa hingga tahun 2009 rata-rata pendapatan perkapita penduduk NTT lebih rendah dari rata-rata pendapatan perkapita nasional (BPS Provinsi NTT, 2010). Pentingnya peningkatan pendapatan di sektor pertanian yang notabene merupakan sumber utama pendapatan sebagian besar penduduk NTT diperkuat oleh pendapat Degaldo et al.
(1998) yang menyatakan bahwa meningkatnya pendapatan di sektor pertanian karena peningkatan produksi akan berdampak terhadap perekonomian lokal. Peningkatan pendapatan sektor pertanian tersebut digunakan untuk membeli barang dan jasa lokal sehingga akan tercipta spin-off effect. Spin-off effect dari aktifitas lokal karena peningkatan pendapatan sektor pertanian disebut
Agricultural Growth Linkages.
Bagaimana menjadikan sektor pertanian berkembang agar dapat menjadi sektor pemimpin (leading sector) sehingga mampu memberikan multiplier effect
(31)
7
merupakan hal yang perlu menjadi perhatian pengambil kebijakan di Provinsi NTT. Oleh karena itu, perlu suatu upaya kebijakan untuk mendorong pertumbuhan sektor pertanian. Upaya kebijakan pemerintah tersebut, antara lain dapat dilakukan dengan meningkatkan permintaan oleh konsumen akhir yang meliputi konsumsi rumahtangga, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap bruto, perubahan stok, dan ekspor. Pentingnya meningkatkan permintaan akhir atau variabel eksogen karena perubahan (injeksi) akan berpengaruh terhadap neraca endogen, yaitu output, pendapatan rumahtangga, dan penyerapan tenaga kerja di Provinsi NTT.
Dari uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana peranan sektor pertanian dalam perekonomian Provinsi NTT? 2. Bagaimana keterkaitan sektor pertanian dengan sektor nonpertanian dalam
perekonomian Provinsi NTT?
3. Bagaimana upaya pemerintah dalam meningkatkan peran sektor pertanian di Provinsi NTT?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis:
1. Peranan sektor pertanian dalam perekonomian Provinsi NTT yang meliputi struktur: (1) permintaan dan penawaran, (2) output, (3) nilai tambah bruto, dan (4) permintaan akhir.
(32)
2.
Keterkaitan sektor pertanian dengan sektor-sektor lainnya di Provinsi NTT yang meliputi: (1) keterkaitan ke belakang, (2) keterkaitan ke depan, (3) daya penyebaran, (4) derajat kepekaan, dan (5) dampak berganda (multiplier effect). 3. Dampak perubahan permintaan akhir di sektor pertanian terhadap output,pendapatan rumahtangga, dan penyerapan tenaga kerja di Provinsi NTT dengan melakukan simulasi terhadap sektor-sektor yang memiliki daya penyebaran dan derajat kepekaan tinggi.
1.4. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai salah satu sumber informasi: 1. Bagi pengambil kebijakan di Provinsi NTT dalam menyusun dan
mengevaluasi rencana pembangunan ekonomi yang terkait dengan pembangunan sektor pertanian.
2. Bagi peneliti lain yang berminat untuk melakukan kajian yang terkait dengan penelitian ini.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian sebagai berikut: (1) penelitian bertujuan untuk memperoleh gambaran peranan sektor pertanian dalam perekonomian Provinsi NTT, (2) penelitian ini menggunakan Tabel I-O Provinsi NTT tahun 2009, dan (3) simulasi dilakukan untuk melihat dampak perubahan permintaan akhir di sektor pertanian terhadap output, pendapatan rumahtangga, dan penyerapan tenaga kerja di Provinsi NTT.
(33)
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Peranan Sektor Pertanian dalam Perekonomian
Para pemikir ekonomi pembangunan telah lama menyadari bahwa sektor pertanian memiliki peranan yang besar dalam perekonomian, terutama di tahap awal pembangunan. Sektor pertanian yang tumbuh dan menghasilkan surplus yang besar merupakan prasyarat untuk memulai proses transformasi ekonomi. Pada masa awal transformasi, pertanian berperan penting melalui beberapa cara. Sektor pertanian yang tumbuh cepat akan mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan penduduk perdesaan yang pada gilirannya dapat meningkatkan permintaan terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor nonpertanian. Permintaan yang tumbuh tidak saja terjadi bagi produk-produk untuk konsumsi akhir, tetapi juga produk-produk sektor nonpertanian yang digunakan sebagai input usahatani ataupun untuk investasi (Tomich et al., 1995).
Menurut Harianto (2007), pertanian memiliki peran penting dalam transformasi ekonomi perdesaan. Pertanian mempengaruhi aktifitas nonpertanian di perdesaan melalui tiga cara, yaitu: produksi, konsumsi, dan keterkaitan pasar tenaga kerja. Pada sisi produksi, pertumbuhan sektor pertanian memerlukan input berupa pupuk, pestisida, benih, dan lainnya yang diproduksi dan didistribusikan oleh perusahaan nonpertanian. Sektor pertanian yang tumbuh mendorong semakin berkembangnya aktifitas-aktifitas di bagian hilirnya, yaitu dengan bahan baku untuk diproses ataupun didistribusikan. Pada sisi konsumsi, meningkatnya pendapatan menyebabkan konsumsi rumahtangga tani meningkat, ini berarti permintaan barang dan jasa yang dihasilkan sektor nonpertanian meningkat.
(34)
Sektor pertanian juga mempengaruhi sisi penawaran dari ekonomi sektor nonpertanian di perdesaan. Upah di sektor pertanian menjadi patokan biaya oportunitas dari tenaga kerja yang disalurkan ke aktifitas-aktifitas sektor nonpertanian. Permintaan tenaga kerja di sektor pertanian yang bersifat musiman berpengaruh terhadap penawaran tenaga kerja untuk aktifitas nonpertanian. Sebaliknya, peningkatan kesempatan kerja di sektor nonpertanian belum tentu akan menyebabkan meningkatnya tingkat upah. Peningkatan kesempatan kerja di sektor nonpertanian akan menyebabkan kenaikan upah apabila ekonomi sektor nonpertanian tumbuh akibat meningkatnya permintaan dan produktivitas tenaga kerja.
Negara-negara berkembang yang menyadari bahwa usaha untuk memajukan dan memperluas sektor industri haruslah sejajar dengan pembangunan dan pengembangan sektor-sektor lain, terutama sektor pertanian. Hal ini karena sektor pertanian yang lebih maju dibutuhkan oleh sektor industri, baik sebagai penyedia bahan baku maupun sebagai pasar yang potensial bagi produk-produk industri. Berkaitan dengan hal ini, Tambunan (2001) menyatakan bahwa sektor pertanian dan sektor industri mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Keterkaitan tersebut terutama didominasi oleh efek keterkaitan pendapatan, keterkaitan produksi, dan keterkaitan investasi.
Menurut Timmer (1997) ada tiga pandangan yang dapat dijadikan pijakan dalam melihat hubungan antara sektor pertanian dan kondisi perekonomian, yaitu: 1. Lewis melihat hubungan tersebut dari aspek pasar faktor-faktor produksi,
khususnya pasar tenaga kerja dan kapital, dimana dinyatakan bahwa tingkat produktivitas sektor pertanian merefleksikan kondisi perekonomian.
(35)
11
2. Johnston-Mellor melihat hubungan tersebut dari aspek pasar produk dan interaksi produksi antara sektor industri dan pertanian yang mana antara kedua sektor tersebut saling memenuhi kebutuhan akan inputnya masing-masing. Terjadinya interaksi antara sektor industri dan pertanian akan menumbuhkan kedua sektor ini secara lebih cepat.
3. Keterkaitan sektor pertanian dan industri dapat juga dilihat dari aspek nonpasar, misalnya pertumbuhan sektor pertanian akan menjamin ketersediaan pangan dan peningkatan gizi. Kondisi ini menunjukkan adanya peningkatan terhadap kinerja perekonomian.
2.2. Teori Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi
Menurut Rostow (1960) diacu dalam Todaro dan Smith (2006), proses
pembangunan ekonomi dapat dibedakan ke dalam lima tahap, yaitu: (1) masyarakat tradisional (the traditional society), (2) prasyarat untuk tinggal
landas (the preconditions for take-off), (3) tinggal landas (the take-off), (4) menuju kedewasaan (the drive to maturity), dan (5) masa konsumsi tinggi (the age of high mass-consumption).
Dasar pembedaaan proses pembangunan ekonomi menjadi lima tahap tersebut adalah karakteristik perubahaan keadaan ekonomi dan sosial politik yang terjadi. Pembangunan ekonomi atau proses transformasi suatu masyarakat
tradisional menjadi masyarakat modern merupakan suatu proses yang multi-demensional. Pembangunan ekonomi bukan hanya berarti perubahan
struktur ekonomi suatu negara yang ditunjukkan oleh menurunnya peranan sektor pertanian dan peningkatan peranan sektor industri saja. Pembangunan ekonomi
(36)
berarti pula sebagai suatu proses yang menyebabkan antara lain: (1) perubahan orientasi organisasi ekonomi, politik, dan sosial yang pada mulanya berorientasi kepada suatu daerah menjadi berorientasi ke luar, (2) perubahan pandangan masyarakat mengenai jumlah anak dalam keluarga, yaitu dari menginginkan banyak anak menjadi keluarga kecil, (3) perubahan dalam kegiatan investasi masyarakat, dari melakukan investasi yang tidak produktif menjadi investasi yang produktif, dan (4) perubahan sikap hidup dan adat istiadat yang terjadi kurang mendukung pembangunan ekonomi.
Menurut Rostow, masyarakat tradisional ditandai oleh cara produksi yang relatif masih primitif sehingga tingkat produktivitas per pekerja masih rendah, oleh karenanya sebagian besar sumberdaya masyarakat digunakan untuk kegiatan sektor pertanian. Pada tahap prasyarat tinggal landas, Rostow menyatakan bahwa kenaikan investasi yang akan menciptakan pembangunan ekonomi yang lebih cepat dari sebelumnya bukan semata-mata tergantung kepada kenaikan tingkat tabungan, tetapi juga pada perubahan radikal dalam sikap masyarakat terhadap ilmu pengetahuan, perubahan teknik produksi, pengambilan resiko, dan sebagainya. Selain itu, kenaikan investasi hanya akan tercipta jika terjadi perubahan struktur ekonomi. Pembangunan ekonomi hanya dimungkinkan oleh adanya kenaikan produktivitas di sektor pertanian dan perkembangan di sektor pertambangan. Kemajuan sektor pertanian mempunyai peranan penting dalam masa peralihan sebelum mencapai tahap tinggal landas. Peran tersebut antara lain,
kemajuan pertanian menjamin penyediaan bahan makanan bagi penduduk di perdesaan maupun perkotaan dan kenaikan produktivitas di sektor pertanian
(37)
13
Pada tahap tinggal landas, terjadi perubahan yang drastis dalam masyarakat seperti revolusi politik, terciptanya kemajuan yang pesat dalam inovasi atau berupa terbukanya pasar-pasar baru. Sebagai akibat dari perubahan-perubahan tersebut akan terjadi peningkatan investasi. Investasi yang semakin tinggi akan mempercepat laju pertumbuhan pendapatan nasional dan melebihi tingkat pertumbuhan penduduk sehingga tingkat pendapatan perkapita semakin besar. Kemampuan suatu negara untuk mengerahkan sumber-sumber modal dalam negeri menjadi penting, karena kenaikan tabungan dalam negeri peranannya besar dalam menciptakan tahap lepas landas. Tiga kondisi penting yang merupakan prasyarat bagi tahap tinggal landas adalah: (1) kenaikan output per kapita harus melebihi tingkat pertumbuhan penduduk untuk mempertahankan
tingkat pendapatan per kapita yang lebih tinggi di dalam perekonomian, (2) perkembangan salah satu atau beberapa sektor penting dalam perekonomian,
dan (3) munculnya kerangka budaya yang mendorong ekspansi di sektor modern. Tahap menuju kedewasaan diartikan sebagai masa dimana masyarakat sudah secara efektif menggunakan teknologi modern pada hampir semua kegiatan produksi. Selanjutnya berbagai sektor penting baru tercipta, tingkat investasi neto lebih dari 10 persen dari pendapatan nasional, dan perekonomian mampu menahan segala goncangan yang tak terduga. Tahap terakhir dari proses pembangunan ekonomi menurut Rostow adalah tahap konsumsi tinggi. Pada tahap ini perhatian masyarakat lebih menekankan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan konsumsi dan kesejahteraan masyarakat bukan lagi pada masalah produksi. Kecenderungan kepada konsumsi besar-besaran barang tahan lama,
(38)
ketiadaan pengangguran, dan peningkatan kesadaran akan jaminan sosial, membawa kepada laju pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi.
Salah satu model teoritis tentang pembangunan Lewis yang paling terkenal yaitu transformasi struktural (structural transformation) suatu perekonomian subsisten. Model pembangunan oleh Lewis, perekonomian yang terbelakang dibagi atas dua sektor, yaitu: (1) sektor tradisional, yaitu sektor perdesaan subsisten yang kelebihan penduduk dan ditandai dengan produktivitas marginal tenaga kerja sama dengan nol dan mendefinisikannya sebagai kondisi surplus tenaga kerja sebagai suatu fakta bahwa sebagian tenaga kerja tersebut ditarik dari sektor pertanian dan sektor tersebut tidak akan kehilangan output dan (2) sektor industri perkotaan modern yang tingkat produktivitasnya tinggi dan menjadi tempat penampungan tenaga kerja yang ditransfer secara perlahan dari sektor subsisten (Lewis 1954, diacu dalam Ghatak and Ingersent 1984).
Perhatian utama dari model ini diarahkan pada terjadinya pengalihan tenaga kerja serta pertumbuhan output dan peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor modern. Pengalihan tenaga kerja dan pertumbuhan kesempatan kerja tersebut dimungkinkan oleh adanya perluasan output pada sektor modern tersebut.
Adapun laju terjadinya perluasan tersebut ditentukan oleh tingkat investasi di bidang industri dan akumulasi modal secara keseluruhan di sektor modern.
Peningkatan investasi itu sendiri dimungkinkan oleh adanya kelebihan keuntungan sektor modern dari selisih upah dengan asumsi bahwa para pengusaha bersedia menanamkan kembali seluruh keuntungannya. Kritik terhadap asumsi-asumsi dari model Lewis antara lain:
(39)
15
1. Model Lewis secara implisit menganggap bahwa tingkat perpindahan tenaga kerja dan tingkat penciptaan tenaga kerja di sektor modern proporsional dengan akumulasi modal (investasi). Semakin cepat tingkat akumulasi modalnya, maka semakin tinggi tingkat pertumbuhan sektor modern dan semakin cepat pula penciptaan lapangan kerja baru. Akan tetapi bagaimana bila keuntungan investor tersebut diinvestasikan kembali ke barang-barang modal yang lebih modern dan menghemat tenaga kerja, sudah tentu yang terjadi adalah jumlah tenaga kerja yang diserap akan menjadi lebih kecil bila dibandingkan dengan teknologi padat karya.
2. Asumsi kedua dari model Lewis adalah adanya dugaan bahwa terjadi surplus tenaga kerja di daerah perdesaan sedangkan daerah perkotaan terjadi penyerapan faktor-faktor produksi secara optimal (full employment). Akan tetapi pada kenyataannya menunjukkan bahwa pada umumnya di negara-negara berkembang jumlah pengangguran di perkotaan cukup besar tetapi hanya sedikit surplus tenaga kerja di perdesaan.
3. Asumsi dari model Lewis yang juga tidak realistis adalah anggapan bahwa upah nyata di perkotaan akan selalu tetap sampai pada suatu titik dimana penawaran dari surplus tenaga kerja di perdesaan habis terpakai. Tetapi salah satu gambaran dari pasar tenaga kerja dan penentuan tingkat upah perkotaan di hampir semua negara berkembang adalah adanya kecenderungan tingkat upah untuk meningkat dari waktu ke waktu atau naik sepanjang waktu baik secara absolut maupun relatif meskipun adanya kenaikan tingkat pengangguran di sektor modern dan produktivitas marginal yang rendah atau nol di sektor modern.
(40)
4. Asumsi tingkat hasil yang semakin menurun di sektor modern. Pada faktanya bahwa tingkat hasil yang semakin meningkat juga terjadi di sektor modern.
Di negara berkembang khususnya Indonesia, ternyata model Lewis tidak dapat menjawab permasalahan tentang penawaran tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri. Masalahnya penerapan model Lewis sangat tergantung pada tingkat dan jenis teknologi yang digunakan investor. Apabila para pengusaha menggunakan teknologi padat modal dan perluasan hanya terjadi pada industri hulu, maka surplus tenaga kerja di sektor pertanian tidak dapat terserap semuanya oleh sektor industri.
Fei dan Ranis menyempurnaan model Lewis mengenai penawaran tenaga kerja tidak terbatas. Model Lewis lebih mengkaji pertumbuhan di sektor modern dan mengabaikan pengembangan sektor pertanian. Sedangkan Model Fei-Ranis menunjukkan adanya interaksi antara sektor industri dan sektor pertanian di dalam mempercepat pembangunan. Menurut model Fei-Ranis, kecepatan transfer tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian (industri) tergantung pada: (1) tingkat pertumbuhan penduduk, (2) perkembangan teknologi di sektor pertanian, dan (3) tingkat pertumbuhan stok modal industri. Keseimbangan pertumbuhan kedua sektor ini menjadi prasyarat untuk menghindari stagnasi dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Kedua sektor ini harus tumbuh secara seimbang dan transfer penyerapan tenaga kerja di sektor industri harus lebih cepat dari pertumbuhan angkatan kerja. Pertumbuhan berimbang memerlukan investasi serentak di sektor pertanian dan sektor industri dalam perekonomian (Fei and Ranis 1964, diacu dalam Ghatak and Ingersent 1984).
(41)
17
2.3. Model Pertumbuhan Ekonomi Regional
Menurut model basis ekspor (export-base model) pertumbuhan ekonomi suatu daerah ditentukan oleh keuntungan kompetitif (competitive adventage) yang dimiliki daerah yang bersangkutan. Bila daerah yang bersangkutan dapat mendorong pertumbuhan sektor-sektor yang mempunyai keuntungan kompetitif sebagai basis ekspor, maka pertumbuhan daerah yang bersangkutan akan dapat ditingkatkan. Hal ini terjadi karena peningkatan ekspor tersebut akan memberikan dampak berganda kepada perekonomian daerah (Sjafrizal, 2008).
Selanjutnya, menurut model basis ekspor, aktivitas dalam perekonomian regional digolongkan dalam dua sektor kegiatan, yaitu aktivitas basis dan nonbasis. Kegiatan basis merupakan kegiatan yang melakukan aktivitas berorientasi ekspor barang dan jasa ke luar batas wilayah perekonomian yang bersangkutan. Kegiatan nonbasis adalah kegiatan yang menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat yang berada di dalam batas wilayah perekonomian yang bersangkutan. Luas lingkup produksi dan pemasarannya bersifat lokal. Aktivitas basis memiliki peranan sebagai penggerak utama (prime mover) dalam pertumbuhan suatu wilayah. Semakin besar ekspor suatu wilayah ke wilayah lain akan semakin maju pertumbuhan wilayah tersebut dan demikian sebaliknya. Setiap perubahan yang terjadi pada sektor basis akan memberikan efek ganda dalam perekonomian regional (Adisasmita, 2005).
Pengembangan dari model basis ekspor dapat dilakukan dengan memasukkan unsur hubungan ekonomi antar wilayah yang dikenal sebagai interregional income model. Model inter regional ini, ekspor diasumsikan sebagai faktor yang berada dalam sistem (endogenous variable) yang ditentukan oleh
(42)
perkembangan kegiatan perdagangan antar wilayah. Kegiatan perdagangan antar daerah tersebut dibagi atas barang konsumsi dan barang modal. Disamping itu, pada model inter regional ini dimasukkan pula unsur pemerintah yang ditampilkan dalam bentuk penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah serta investasi (Sjafrizal, 2008).
Model neo-klasik menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu daerah ditentukan oleh kemampuan daerah tersebut untuk meningkatkan produksinya. Sedangkan kegiatan produksi pada suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh potensi daerah yang bersangkutan, tetapi juga ditentukan pula oleh mobilitas modal antar daerah. Menurut model neo-klasik, pertumbuhan ekonomi suatu
daerah ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu: (1) akumulasi modal, (2) penawaran tenaga kerja, dan (3) kemajuan teknik (Adisasmita, 2005).
Mobilitas faktor produksi, baik modal dan tenaga kerja, pada permulaan proses pembangunan kurang lancar. Akibatnya, pada saat tersebut modal dan tenaga kerja ahli cenderung terkonsentrasi di daerah yang lebih maju sehingga ketimpangan pembangunan regional cenderung melebar (divergence). Akan tetapi bila proses pembangunan terus berlanjut, dengan semakin baiknya prasarana dan fasilitas komunikasi, maka mobilitas modal dan tenaga kerja tersebut akan semakin lancar. Dengan demikian, nantinya setelah negara yang bersangkutan telah maju, maka ketimpangan pembangunan regional akan berkurang (convergence) (Sjafrizal, 2008).
Model penyebab berkumulatif (cumulative causation model) merupakan kritik terhadap model neo-klasik. Menurut model ini, pemerataan pembangunan antardaerah tidak akan dapat dicapai dengan sendirinya berdasarkan mekanisme
(43)
19
pasar. Ketimpangan pembangunan regional hanya akan dapat dikurangi melalui program pemerintah. Apabila hanya diserahkan pada mekanisme pasar, maka ketimpangan regional akan terus meningkat seiring dengan peningkatan proses pembangunan. Strategi campur tangan pemerintah dimaksud untuk memperkecil ketidakmerataan ekonomi antar wilayah (Adisasmita, 2005).
2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu
2.4.1. Peranan Sektor Pertanian dalam Perekonomian
Block dan Timmer (1994) menyatakan bahwa peningkatan pendapatan sektor pertanian di Kenya akan memberikan dampak pengganda (multiplier effect) sebesar hampir tiga kali lipat dibandingkan dengan dampak pengganda yang ditimbulkan oleh sektor nonpertanian. Peningkatan US$ 1 pendapatan sektor pertanian akan berdampak naiknya pendapatan sektor nonpertanian sebesar US$ 0.63, sedangkan peningkatan US$ 1 pendapatan sektor nonpertanian akan berdampak naiknya pendapatan sektor ekonomi lainnya hanya sebesar US$ 0.23.
Degaldo et al. (1998) menyatakan bahwa meningkatnya pendapatan di sektor pertanian karena peningkatan produksi akan berdampak terhadap perekonomian lokal. Peningkatan pendapatan sektor pertanian tersebut digunakan untuk membeli barang dan jasa lokal sehingga akan tercipta spin-off effect. Spin-off effect dari aktifitas lokal karena peningkatan pendapatan sektor pertanian disebut Agricultural Growth Linkages.
Rachman (1993) melakukan penelitian tentang analisis keterkaitan antarsektor dalam perekonomian Wilayah Jawa Barat dengan pendekatan I-O. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sektor tanaman bahan makanan memiliki
(44)
tingkat keterkaitan ke belakang yang relatif tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa sektor tersebut cenderung lebih banyak memanfaatkan output sektor ekonomi lainnya sebagai bahan baku. Secara umum, sektor pertanian memiliki pengganda pendapatan yang tergolong rendah. Sebaliknya ditinjau dari pengganda tenaga kerja, sektor pertanian masih tergolong tinggi dalam penyediaan kesempatan kerja.
Bautista (2001) melakukan penelitian tentang pembangunan berbasis pertanian dengan pendekatan SAM (Social Accounting Matrix) di Vietnam Pusat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi pembangunan berbasis pertanian akan berdampak terhadap peningkatan pendapatan dan penciptaan lapangan kerja serta penyebaran industri di derah pusat.
Saragih (2003) melakukan penelitian tentang peranan sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara dengan menggunakan data I-O tahun 2000 menunjukkan bahwa sektor pertanian yang menghasilkan output dan nilai tambah terbesar, yaitu sektor kelapa sawit, padi, perikanan, pengeringan dan lain-lain, sayur-sayuran, dan karet. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian mempunyai peranan yang penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara. Sektor pertanian dan sektor ekonomi lainnya memiliki nilai keterkaitan yang relatif tinggi.
Studi yang dilakukan oleh Herliana (2004) tentang peranan sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia dengan menggunakan analisis Dekomposisi Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) untuk mengkaji kontribusi sektor pertanian dan Dekomposisi Pengganda untuk mengkaji dampak pembangunan di sektor pertanian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
(45)
21
pembangunan sektor pertanian akan memberikan dampak yang lebih besar dalam mendorong produktivitas dan penciptaan kapital terhadap perekonomian Indonesia karena pembangunan sektor pertanian memberikan dampak paling besar terhadap gross output dan value added dan sektor pertanian memiliki keterkaitan yang paling tinggi dengan peningkatan produksi di sektor-sektor kegiatan produksi lainnya serta sektor pertanian mempunyai pengaruh paling besar terhadap peningkatan pendapatan masyarakat, khususnya yang berada di daerah perdesaan.
Suhendra (2005) melakukan penelitian tentang peranan sektor pertanian dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia dengan menggunakan data I-O Indonesia tahun 2000. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peranan sektor pertanian dalam pertumbuhan ekonomi nasional masih cukup besar. Sumbangan sektor pertanian bagi Produk Domestik Bruto (PDB), penyediaan lapangan pekerjaan, dan total penawaran output adalah berturut-turut sebesar 17 persen, 46.15 persen, dan 36.02 persen bagi total output. Disamping itu, sektor pertanian juga mampu memberikan nilai tambah produksi sebesar 18.04 persen.
Hotman (2006) melakukan penelitian tentang peranan sektor tanaman bahan makanan dalam pembangunan ekonomi Provinsi Sumatera Utara dengan menggunakan Tabel I-O tahun 2000 dan 2002. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontribusi sektor tanaman bahan makanan terhadap output dan penyerapan tenaga kerja cukup besar dibandingkan sektor lainnya. Hasil analisis keterkaitan menunjukkan bahwa sektor bahan makanan memiliki peranan yang kecil dalam mendorong dan menarik pertumbuhan sektor perekonomian. Demikian juga dengan hasil analisis dampak menunjukkan bahwa sektor tanaman bahan makanan
(46)
relatif lebih rendah dibandingkan sektor lainnya dalam menghasilkan output, pendapatan, dan tenaga kerja.
Sinaga dan Alim (2007) melakukan penelitian tentang keterkaitan sektor ekonomi dan distribusi pendapatan di Jawa dengan pendekatan SAM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok sektor primer yang memiliki daya penyebaran paling tinggi adalah sektor kehutanan dan perburuan, kemudian disusul oleh sektor perikanan, dan yang terendah adalah sektor tanaman pangan dan tanaman lainnya. Dilain pihak, sektor tanaman pangan dan tanaman lainnya memiliki derajat kepekaan yang paling tinggi dalam kelompok sektor primer yang kemudian disusul oleh sektor peternakan dan sektor perikanan, sedangkan yang terendah adalah sektor kehutanan dan perburuan. Sektor kehutanan dan perburuan serta sektor perikanan termasuk kelompok lima besar dalam koefisien multiplier.
Setiawan (2007) melakukan penelitian tentang peranan sektor unggulan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dengan pendekatan I-O Multiregional Jawa Timur (Jatim), Bali, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat enam sektor unggulan, yaitu (1) sektor industri makanan, minuman, dan tembakau, (2) sektor perdagangan (di Provinsi Jatim), (3) sektor hotel dan restoran (di Provinsi Bali), sektor peternakan dan hasil-hasilnya (di Provinsi NTB). Pertumbuhan sektor unggulan ini akan berdampak pada output, nilai tambah bruto, dan penyerapan tenaga kerja intraregional dan interregional. Pada tingkat nasional, pertumbuhan sektor unggulan di Provinsi Jatim dan Bali berdampak lebih besar bila dibandingkan dengan dampak pertumbuhan sektor unggulan di Provinsi NTB.
(47)
23
2.4.2. Pentingnya Dukungan terhadap Sektor Pertanian.
Beberapa tingkat pendapatan perkapita regional di Eropa mungkin dapat dikatakan di bawah harapan jika dampak positif eksternalitas sektor pertanian, yaitu nilai keindahan diabaikan. Oleh karena itu, dukungan terhadap sektor pertanian digunakan sebagai variabel prasyarat dalam beberapa studi pertumbuhan regional di Eropa. Jika hal ini diabaikan maka terjadi hubungan negatif antara dukungan terhadap sektor pertanian dan pertumbuhan regional (Bivand and Brunstad, 2007). Selanjutnya Bivand dan Brunstad juga menyatakan bahwa kebijakan sektor pertanian berinteraksi dengan pertumbuhan ekonomi melalui dua cara, yaitu: (1) proporsi subsidi pertanian dan intensitas dukungan terhadap sektor pertanian dalam suatu kawasan ekonomi regional menyebabkan pertumbuhan regional yang negatif. Hal ini disebabkan karena subsidi menghambat pergerakan tenaga kerja dan kapital ke sektor-sektor lain (dan/atau daerah) dan (2) aktifitas sektor pertanian memberikan manfaat lebih dan di atas nilai pasar dan kondisi ini dapat disebut dengan multifungsi sektor pertanian. Sektor pertanian memiliki efek eksternalitas positif sebagai public goods seperti nilai keindahan dari kultur pertanian itu sendiri. Hal ini menjadi penting untuk dipertimbangkan dalam merumuskan suatu kebijakan di sektor pertanian.
Dukungan terhadap sektor pertanian sebagai public goods dalam konteks
food security dan landscape preservational masih dilakukan oleh negara-negara maju seperti Norwegia. Untuk mengetahui instrumen kebijakan optimal maka hasil simulasi yang dilakukan oleh Brunstad et al. (2005) menunjukkan bahwa dukungan terhadap sektor pertanian masih layak untuk diberikan maksimal
(1)
Lampiran 38.
Simulasi Dampak Peningkatan Permintaan Akhir di Subsektor
Tanaman Bahan Makanan Sebesar 7.97 Persen terhadap Output
di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2009
(Juta Rupiah)
Kode
I-O
Sebelum
Simulasi
Setelah
Simulasi
Perubahan
Nilai
Persentase
Peringkat
1
727 107
727 261
153.958
0.02117
7
2
2 185 088
2 185 233
144.696
0.00662
12
3
1 970 357
2 098 370
128 012.222
6.49690
1
4
729 718
729 765
47.009
0.00644
14
5
438 623
438 624
0.724
0.00016
33
6
43 374
43 374
0.271
0.00062
26
7
300 071
300 095
23.727
0.00791
11
8
504 365
504 366
0.986
0.00020
32
9
4 995
5 002
7.131
0.14277
2
10
2 853 131
2 855 728
2 597.932
0.09106
3
11
943 925
944 060
135.559
0.01436
9
12
69 767
69 768
0.726
0.00104
25
13
1 360 740
1 360 745
5.032
0.00037
29
14
479 440
479 457
16.624
0.00347
18
15
255 748
255 765
16.551
0.00647
13
16
602 257
602 272
15.289
0.00254
22
17
6 541
6 541
0.001
0.00002
34
18
185 045
185 051
6.030
0.00326
19
19
47 827
47 827
0.286
0.00060
28
20
29 064
29 066
1.864
0.00641
15
21
43 206
43 232
25.472
0.05896
4
22
50 760
50 760
0.108
0.00021
31
23
19 670
19 670
0.619
0.00315
20
24
9 905
9 905
0.062
0.00062
27
25
18 978
18 979
1.632
0.00860
10
26
187 117
187 121
4.685
0.00250
23
27
4 378 430
4 378 619
188.394
0.00430
16
28
4 087 854
4 088 965
1 111.096
0.02718
5
29
464 586
464 587
1.640
0.00035
30
30
1 992 491
1 992 976
488.862
0.02433
6
31
439 439
439 456
17.009
0.00387
17
32
4 551 424
4 552 292
867.254
0.01905
8
33
6 564 129
6 564 241
111.747
0.00170
24
34
962
962
0.025
0.00263
21
Jumlah
36 546 134
36 680 135
134 001.225
0.36667
Sumber:
Tabel Input Output Transaksi Domestik Atas Dasar Harga Produsen
Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2009 (Diolah Kembali).
(2)
Lampiran 39. Simulasi Dampak Peningkatan Permintaan Akhir di Subsektor
Tanaman Bahan Makanan Sebesar 7.97 Persen terhadap
Pendapatan di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2009
(Juta Rupiah)
Kode
I-O
Sebelum
Simulasi
Setelah
Simulasi
Perubahan
Nilai
Persentase
Peringkat
1
147 569
147 600
31.246
0.02117
7
2
550 213
550 250
36.435
0.00662
12
3
395 573
421 273
25 669.972
6.49690
1
4
140 648
140 657
9.061
0.00644
14
5
57 948
57 948
0.096
0.00016
33
6
10 240
10 240
0.064
0.00062
26
7
44 346
44 349
3.507
0.00791
11
8
57 182
57 182
0.112
0.00020
32
9
1 482
1 484
2.115
0.14277
2
10
520 340
520 814
473.798
0.09106
3
11
193 491
193 519
27.778
0.01436
9
12
12 523
12 523
0.130
0.00104
25
13
210 450
210 451
0.778
0.00037
29
14
95 445
95 448
3.310
0.00347
18
15
10 256
10 257
0.664
0.00647
13
16
63 577
63 579
1.614
0.00254
22
17
1 465
1 465
0.000
0.00002
34
18
41 381
41 383
1.348
0.00326
19
19
3 023
3 023
0.018
0.00060
28
20
2 859
2 859
0.183
0.00641
15
21
3 963
3 965
2.336
0.05896
4
22
4 541
4 541
0.010
0.00021
31
23
2 062
2 062
0.065
0.00315
20
24
820
820
0.005
0.00062
27
25
1 275
1 275
0.110
0.00860
10
26
21 563
21 564
0.540
0.00250
23
27
745 029
745 061
32.057
0.00430
16
28
759 420
759 627
206.414
0.02718
5
29
36 291
36 291
0.128
0.00035
30
30
327 083
327 163
79.594
0.02433
6
31
143 909
143 915
5.570
0.00387
17
32
1 211 514
1 211 745
230.849
0.01905
8
33
4 227 727
4 227 799
71.973
0.00170
24
34
324
324
0.009
0.00263
21
Jumlah
10 045 532
10 072 454
26 921.897
0.26799
Sumber: Tabel Input Output Transaksi Domestik Atas Dasar Harga Produsen
Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2009 (Diolah Kembali).
(3)
Lampiran 40. Simulasi Dampak Peningkatan Permintaan Akhir di Subsektor
Tanaman Bahan Makanan Sebesar 7.97 Persen terhadap
Penyerapan Tenaga Kerja di Provinsi Nusa Tenggara Timur,
Tahun 2009
(Orang)
Kode
I-O
Sebelum
Simulasi
Setelah
Simulasi
Perubahan
Nilai
Persentase
Peringkat
1
92 790
92 809
19.647
0.02117
7
2
345 968
345 991
22.910
0.00662
12
3
248 732
264 892
16 159.878
6.49690
1
4
88 438
88 443
5.697
0.00644
14
5
36 437
36 437
0.060
0.00016
33
6
6 439
6 439
0.040
0.00062
26
7
27 884
27 886
2.205
0.00791
11
8
35 955
35 955
0.070
0.00020
32
9
932
933
1.330
0.14277
2
10
327 184
327 482
297.919
0.09106
3
11
121 665
121 683
17.473
0.01436
9
12
7 874
7 874
0.082
0.00104
25
13
132 329
132 330
0.489
0.00037
29
14
35 570
35 571
1.233
0.00347
18
15
10 208
10 209
0.606
0.00647
13
16
63 280
63 281
0.000
0.00254
22
17
1 458
1 458
1.342
0.00002
34
18
41 188
41 189
1.325
0.00326
19
19
3 009
3 009
0.018
0.00060
28
20
2 846
2 846
0.183
0.00641
15
21
3 944
3 947
2.325
0.05896
4
22
4 520
4 520
0.010
0.00021
31
23
2 053
2 053
0.065
0.00315
20
24
817
817
0.005
0.00062
27
25
1 269
1 269
0.109
0.00860
10
26
2 661
2 661
0.067
0.00250
23
27
56 557
56 559
2.434
0.00430
16
28
142 357
142 396
38.693
0.02718
5
29
6 803
6 803
0.024
0.00035
30
30
63 861
63 876
15.540
0.02433
6
31
28 097
28 098
1.088
0.00387
17
32
48 466
48 476
9.235
0.01905
8
33
169 130
169 132
2.879
0.00170
24
34
13
13
0.000
0.00263
21
Jumlah
2 160 733
2 177 338
16 605.318
0.76848
Sumber: Tabel Input Output Transaksi Domestik Atas Dasar Harga Produsen
Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2009 (Diolah Kembali).
(4)
Lampiran 41. Plot Indeks Daya Penyebaran dan Indeks Derajat Kepekaan
II
I
1
Padi
27
Bangunan
3
Tanaman bahan makanan
32
Jasa swasta
7
Tanaman perkebunan
30
Angkutan
10
Peternakan dan pemotongan hewan
33
Jasa pemerintah
28
Perdagangan
IV
III
12
Kehutanan
22
Industri semen, kapur, gips, dan
barang-barang dari mineral, bukan
logam
18
Industri tekstil, pakaian, kulit,
barang dari kulit, dan alas kaki
15
Industri makanan dan minuman
2
Jagung
25
Industri lain yang belum
digolongkan dimanapun
4
Umbi-umbian
14
Pertambangan dan penggalian
5
Jambu mete
31
Komunikasi
6
Kelapa
16
Industri penggilingan padi-padian
8
Kopi
20
Idustri kertas, barang dari kertas,
dan cetakan
9
Pertanian lainnya
21
Industri pupuk, kimia, barang dari
karet, dan plastik
13
Perikanan
23
Logam dan barang dari logam
11
Unggas dan hasil-hasilnya
26
Listrik, gas, uap, dan air bersih
19
Industri barang dari bambu, kayu,
dan rotan
29
Hotel dan restoran
17
Industri pengolahan tembakau dan
rokok
24
Idustri alat pengangkutan, mesin,
dan perlengkapannya
34
Kegiatan yang tak jelas batasannya
Sumber:
Tabel Input Output Transaksi Domestik Atas Dasar Harga Produsen
Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2009 (Diolah Kembali).
Keterangan:
1. Kelompok I (IDP dan IDK tinggi)
2. Kelompok II ((IDP rendah dan IDK tinggi)
3. Kelompok III (IDP tinggi dan IDK rendah)
4. Kelompok IV (IDP dan IDK rendah)
(5)
Lampiran 42. Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga yang
Berlaku Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2000-2009
(Juta Rupiah)
Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 2004
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1. Pertanian 3 508 124 3 984 258 4 457 317 4 851 287 5 449 172 a. Tanaman Bahan Makanan 1 783 388 2 061 255 2 360 395 2 581 230 2 911 913 b. Tanaman Perkebunan 387 998 435 679 474 751 519 871 563 950 c. Peternakan dan Hasil-hasilnya 1 010 786 1 109 542 1 204 990 1 297 291 1 438 783 d. Kehutanan 22 798 25 492 28 013 30 143 31 953 e. Perikanan 303 154 352 291 389 168 422 751 502 573 2. Pertambangan dan Penggalian 122 394 141 080 159 495 178 492 200 098
a. Minyak dan Gas Bumi 0 0 0 0 0
b. Pertambangan Tanpa Migas 0 0 0 0 0
c. Penggalian 122 394 141 080 159 495 178 492 200 098 3. Industri Pengolahan 129 658 145 126 168 938 188 422 212 335
a. Industri Migas 0 0 0 0 0
1. Pengilangan Minyak Bumi 0 0 0 0 0
2. Gas Alam Cair 0 0 0 0 0
b. Industri Tanpa Migas 129 658 145 126 168 938 188 422 212 335 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 39 571 48 558 58 637 63 751 72 948 2. Tekstil, Brg. Kulit, dan Alas Kaki 32 789 36 240 46 637 51 392 57 191 3. Brg. Kayu dan Hasil Hutan Lainnya 7 603 7 638 7 758 8 809 9 746 4. Kertas dan Barang Cetakan 8 364 9 457 10 721 11 446 12 729 5. Pupuk, Kimia, dan Brg. dari Karet 2 448 2 556 2 653 3 445 3 780 6. Semen dan Brg. Galian Bukan Logam 29 791 31 186 32 585 38 180 43 131
7. Logam Dasar Besi dan Baja 0 0 0 0 0
8. Alat Angk., Mesin, dan Peralatannya 1 279 1 595 1 975 2 164 2 729 9. Barang Lainnya 7 813 7 896 7 971 9 235 10 080 4. Listrik, Gas, dan Air Bersih 32 391 37 315 41 237 46 263 52 003
a. Listrik 21 706 25 342 28 346 31 876 36 128
b. Gas 0 0 0 0 0
c. Air Bersih 10 685 11 973 12 891 14 387 15 875 5. Bangunan 621 846 712 678 801 896 897 408 984 561 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 1 242 406 1 501 366 1 704 191 1 868 297 2 050 533 a. Perdagangan Besar dan Eceran 1 203 397 1 457 790 1 655 724 1 814 592 1 989 026 b. Hotel 16 630 17 466 18 816 21 199 25 511
c. Restoran 22 380 26 110 29 650 32 506 35 996
7. Pengangkutan dan Komunikasi 492 747 542 190 602 890 672 402 776 803 a. Pengangkutan 433 260 470 359 517 051 568 610 644 784
1. Angkutan Rel 0 0 0 0 0
2. Angkutan Jalan Raya 318 290 339 680 367 401 394 580 438 909 3. Angkutan Laut 59 851 68 183 79 483 92 012 105 464 4. Angk. Sungai, Danau, dan Penyebr. 5 264 6 447 8 197 10 306 10 979 5. Angkutan Udara 10 564 11 011 11 682 13 856 17 685 6. Jasa Penunjang Angkutan 39 291 45 038 50 288 57 856 71 748 b. Komunikasi 59 487 71 831 85 839 103 792 132 019 1. Pos dan Telekomunikasi 59 487 71 831 85 839 103 792 132 019
2. Jasa Penunjang Komunikasi 0 0 0 0 0
8. Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 237 749 263 248 292 207 343 520 404 451
a. Bank 71 743 85 752 97 457 118 191 154 230
b. Lembaga Keuangan Tanpa Bank 67 408 71 149 74 983 82 376 88 061
c. Jasa Penunjang Keuangan 0 0 0 0 0
d. Sewa Bangunan 85 723 91 651 104 175 126 209 144 059 e. Jasa Perusahaan 12 875 14 696 15 592 16 744 18 101 9. Jasa-jasa 1 485 822 1 861 599 2 120 491 2 427 114 2 874 204 a. Pemerintahan Umum 1 035 801 1 348 180 1 545 422 1 798 215 2 076 915 1. Adm. Pemerintah dan Pertahanan 1 035 801 1 348 180 1 545 422 1 798 215 2 076 915
2. Jasa Pemerintah Lainnya 0 0 0 0 0
b. Swasta 450 021 513 419 575 069 628 899 797 289 1. Sosial Kemasyarakatan 183 656 194 068 204 553 218 559 458 480 2. Hiburan dan Rekreasi 2 188 2 550 3 028 3 458 4 181 3. Perorangan dan Rumahtangga 264 177 316 800 367 488 406 882 334 628 PDRB 7 873 138 9 188 861 10 348 662 11 473 204 13 004 160 PDRB Tanpa Migas 7 873 138 9 188 861 10 348 662 11 473 204 13 004 160
(6)
Lampiran 42. Lanjutan
Lapangan Usaha 2005 2006 2007 2008 2009
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1. Pertanian 6 034 394 6 857 125 7 706 388 8 746 992 9 553 184 a. Tanaman Bahan Makanan 3 162 444 3 575 302 3 980 060 4 545 651 4 907 908 b. Tanaman Perkebunan 669 877 727 166 817 072 931 655 1 024 095 c. Peternakan dan Hasil-hasilnya 1 577 466 1 798 536 2 017 950 2 269 227 2 503 945
d. Kehutanan 35 109 40 136 44 420 50 217 54 863
e. Perikanan 589 498 715 984 846 886 950 242 1 062 373 2. Pertambangan dan Penggalian 219 869 240 490 261 637 289 248 316 374
a. Minyak dan Gas Bumi 0 0 0 0 0
b. Pertambangan Tanpa Migas 0 0 0 0 0
c. Penggalian 219 869 240 490 261 637 289 248 316 374 3. Industri Pengolahan 266 258 298 129 325 910 344 287 374 739
a. Industri Migas 0 0 0 0 0
1. Pengilangan Minyak Bumi 0 0 0 0 0
2. Gas Alam Cair 0 0 0 0 0
b. Industri Tanpa Migas 266 258 298 129 325 910 344 287 374 739 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 89 887 105 614 118 583 95 667 104 153 2. Tekstil, Brg. Kulit, dan Alas Kaki 70 667 76 013 81 544 72 294 78 707 3. Brg. Kayu dan Hasil Hutan Lainnya 12 947 14 810 15 914 100 353 109 165 4. Kertas dan Barang Cetakan 15 577 18 793 20 850 19 891 21 655 5. Pupuk, Kimia, dan Brg. dari Karet 4 876 5 803 6 456 4 334 4 719 6. Semen dan Brg. Galian Bukan Logam 54 946 58 237 62 905 37 955 41 322
7. Logam Dasar Besi dan Baja 0 0 0 203 221
8. Alat Angk., Mesin, dan Peralatannya 3 542 3 947 4 237 10 508 11 440 9. Barang Lainnya 13 816 14 912 15 422 3 083 3 356 4. Listrik, Gas, dan Air Bersih 62 545 75 892 84 981 89 671 100 832
a. Listrik 46 150 55 736 60 949 64 840 74 238
b. Gas 0 0 0 0 0
c. Air Bersih 16 395 20 156 24 032 24 831 26 595 5. Bangunan 1 118 016 1 247 018 1 350 534 1 489 218 1 676 729 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 2 368 426 2 720 325 3 060 048 3 399 758 3 891 233 a. Perdagangan Besar dan Eceran 2 298 029 2 643 134 2 970 614 3 299 805 3 782 055 b. Hotel 31 002 34 024 38 830 42 322 45 465
c. Restoran 39 395 43 167 50 605 57 631 63 713
7. Pengangkutan dan Komunikasi 949 685 1 089 535 1 190 578 1 336 141 1 469 397 a. Pengangkutan 784 555 881 052 945 596 1.050 506 1 161 270
1. Angkutan Rel 0 0 0 0 0
2. Angkutan Jalan Raya 529 827 594 809 611 299 674 320 720 813 3. Angkutan Laut 127 592 138 907 159 947 177 022 190 867 4. Angk. Sungai, Danau, dan Penyebr. 16 496 18 789 20 374 23 177 25 001 5. Angkutan Udara 19 688 22 885 36 413 46 055 84 198 6. Jasa Penunjang Angkutan 90 952 105 661 117 563 129 932 140 391 b. Komunikasi 165 130 208 483 244 982 285 636 308 127 1. Pos dan Telekomunikasi 165 130 208 483 244 982 285 636 308 127
2. Jasa Penunjang Komunikasi 0 0 0 0 0
8. Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 499 957 564 293 745 850 846 355 964 618
a. Bank 215 418 251 350 397 032 455 433 531 251
b. Lembaga Keuangan Tanpa Bank 103 963 114 455 131 845 152 743 174 124
c. Jasa Penunjang Keuangan 0 0 0 0 0
d. Sewa Bangunan 161 347 177 433 192 148 210 085 228 999 e. Jasa Perusahaan 19 230 21 055 24 825 28 095 30 245 9. Jasa-jasa 3 291 322 3 811 266 4 411 055 5 114 198 5 832 307 a. Pemerintahan Umum 2 409 383 2 848 416 3 293 010 3 841 860 4 450 111 1. Adm. Pemerintah dan Pertahanan 2 409 383 2 848 416 3 293 010 3 841 860 4 450 111
2. Jasa Pemerintah Lainnya 0 0 0 0 0
b. Swasta 881 939 962 851 1 118 045 1 272 338 1 382 196 1. Sosial Kemasyarakatan 490 050 517 415 636 576 752 495 833 930 2. Hiburan dan Rekreasi 4 799 5 512 5 805 6 144 6 684 3. Perorangan dan Rumahtangga 387 090 439 924 475 664 513 699 541 583 PDRB 14 810 472 16 904 073 19 136 982 21 655 869 24 179 412 PDRB Tanpa Migas 14 810 472 16 904 073 19 136 982 21 655 869 24 179 412