1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan zaman sekarang ini maka berkembang pula pola pikir manusia dalam menghadapi permasalahan kehidupan yang semakin komplit,
tidak terkecuali menyangkut masalah perceraian. Perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 selanjutnya cukup disebut Undang-Undang
Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Adakalanya perkawinan tidak seperti yang diharapkan untuk menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan
warahmah karena harus berakhir dengan perceraian.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa perkawinan dapat putus karena perceraian, hal tersebut juga ditegaskan dalam Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan
yaitu: Perkawinan dapat putus karena; a. kematian; b. perceraian; dan atas keputusan Pengadilan. Perceraian dipilih sebagai solusi terhadap problem yang terjadi dalam
bahtera rumah
tangga, sebaliknya tidak
selamanya perceraian
memberikan ketenangan seperti apa yang dikehendaki.
Sebuah rumah tangga yang berujung perceraian akan menimbulkan beberapa akibat hukum, salah satunya akibat hukum terhadap anak, yakni terkait pemeliharaan
dan pengasuhan pasca terjadinya perceraian. Anakpun menjadi binggung harus
Universitas Sumatera Utara
2
memilih untuk bersama ayah atau ibunya. Hal ini merupakan suatu pilihan yang sulit, karena anak membutuhkan kedua orang tuanya.Oleh karena itu masalah memelihara
anakpengasuhanhadhanahpasca terjadinya perceraiansangat perlu diperhatikan. Hak asuh anak atau dalam hukum Islam dikenal dengan istilah hadhanah.
Hadhanah adalah suatu kegiatan mengasuh, memelihara, mendidik anak hingga ia
dewasa atau mampu berdiri sendiri.
1
Adakalanya permasalahan hadhanah terkadang menjadi polemik yang berkepanjangan, dikarenakan adanya kecenderungan dari
masing-masing pihak yang bercerai ingin memperoleh hak hadhanah atas anak mereka ketika perkara hak asuh anak tidak dapat dikompromikan. Berbagai tindakan
pun dilakukan mereka, diantaranya; satu sama lain saling menuduh telah melalaikan kewajibannya sebagai orang tua, menuduh tidak mampu mengurus anak, saling
mencegah kunjungan salah satu orang tua, bahkan yang paling memperhatikan adanya orang tua yang mempengaruhi pola pikir dan psikis anak tentang perilaku
buruk ayah atau ibunya,yang bertujuan agar si anak berada dalam pengasuhannya, akibatnya anaklah yang menjadi korban. Oleh karena sebab itu diperlukan
penyelesaian terhadap hal tersebut, agar tidak terjadi hal-hal yang dapat merugikan para pihak yang bersengketa termasuk juga anak.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak selanjutnya
cukup disingkat
UU Perlindungan
Anak menegaskan bahwa :“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 delapan belas
tahun,termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Sementara menurut Undang-
1
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, 1996. hlm. 4.
Universitas Sumatera Utara
3
Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, pada Bab I ketentuan umum Pasal 1 angka 2, yang dimaksud anak adalah seseorang yang
belum mencapai umur 21 tahun dan belum kawin. Pada dasarnya anak yang masih kecil sangat memerlukan orang lain dalam
menata kehidupannya, baik itu dalam pengaturan fisiknya, maupun dalam pembentukan akhlaknya, peran keluarga untuk melakukan tugas hadhanah sangat
berperan dalam hal tersebut.Oleh sebab itu masalah hadhanah mendapat perhatian khusus dalam ajaran Islam.Apalagi anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan
Yang Maha Esa yang senantiasa harus dijaga dan dibina karena melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijujung tinggi.
Orang tua tidak hanya dituntut memberikan kasih sayang namun juga bertanggung jawab atas pemeliharaan, perhatian, serta hal-hal yang dibutuhkan
seorang anak. Severe menyatakan bahwa;“anak-anak merupakan tolak ukur bagi keberhasilan dan orang tua menilai diri sendiri berdasarkan sukses dan prestasi yang
didapatkan oleh si anak.
2
Jadi jika anak-anak tersebut tumbuh dan berkembangan serta memiliki kecerdasaan dan masa depan yang cermerlang maka orang tua baru
bisa dikatakan berhasil dan sukses dalam melaksanakan tugasnya sebagai orang tua. Mengasuh anak adalah wajib bagi orang tua dan merupakan hak anak yang harus
dipenuhi orang tua, sebab apabila disia-siakan tentu akan menimbulkan bencana dan kebinasaan baginya.
2
Severe, Resorasi Media Perlindungan Anak Konflik Hukum, Terjemahan Aviandari D. Yogyakarta: PT Budi Pustaka, 2005, hlm. 28.
Universitas Sumatera Utara
4
Apabila terjadi perceraian antara suami istri dan telah memiliki anak dan diantara mereka ada yang masih dibawah umur,maka orang tuanyalah dibebankan
kewajiban untuk melakukan tugas pemeliharaan tersebut. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang
berbunyi; Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan yang memberi keputusan.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak itu;bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut
memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
pnghidupan danatau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Selain itu pengasuhan atas anak khususnya untuk masyarakat di wilayah
provinsi Aceh juga berlaku ketentuan yang diatur dalam Qanun Aceh Nomor 11 tahun 2008 Tentang Perlindungan Anak Pasal 7, yang berbunyi:
1. Anak berhak diasuh oleh orang tuawalinya di dalam keluarga. 2. Pengasuhan di dalam keluarga berfungsi untuk menjamin tumbuh kembang
anak ke arah kehidupan yang lebih baik secara fisik, mental, sosial dan emosional serta intelektual anak.
3. Pengasuhan di dalam keluarga dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip- prinsip yang mengutamakan kepentingan terbaik anak, menjunjung tinggi
ketentuan syariat Islam dan adat istiadat. Sementara
itu, anak juga mempunyai kewajiban terhadap orang tua sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 46 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, yang berbunyi: 1. Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik.
Universitas Sumatera Utara
5
2. Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan
bantuanya. Menurut pandangan Islam, dalam Al-Qur’an tercantum ketentuan untuk
pemeliharaan anak, dalam surat at-Tahrim ayat 6 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”
3
Pada ayat tersebut di atas, orang tua di tuntut untuk memelihara keluarganya agar terpelihara dari api neraka dan seluruh anggota keluarganya melaksanakan
perintah dan meninggalkan laranganNya, termasuk juga anak.
4
Betapa banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan kepada kedua orang tua untuk memelihara, menjaga dan bertanggungjawab dalam memelihara
keluarganya. Demi kepentingan seorang anak, sikap peduli dari kedua orang tua terhadap masalah hadhanah memang sangat diperlukan.Namun hal tersebut tidak
dapat terwujud jika orang tua tidak sepakat dalam penentuan hadhanah sehingga menimbulkan sengketa diantara mereka.
Selanjutnya untuk kepentingan anak dan pemeliharaanya diperlukan beberapa persyaratan bagi yang melakukan hadhanah, yakni
5
; 1. Berakal sehat.
2. MerdekaBalighCakap.
3
Mahmud Junus,Al-Qur’an dan Terjemahan Al-Qur’an Al Karim, Bandung: PT. Al-Maarif, 1994, hlm. 4560.
4
Abdurahman Ghodzali, Fiqih Munahakat, Jakarta: Kencana, 2008. hlm.177.
5
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,Jakarta: Kencan, 2009, hlm.328.
Universitas Sumatera Utara
6
3. Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan mendidik mahdhun
anak yang diasuh, dan tidak terikat dengan suatu perkerjaan yang bisa mengakibatkan tugas hadhanah menjadi terlantar.
4. Beragama Islam. 5. Orang yang dapat dipercayai.
6. Mantan istri yang belum menikah lagi.
Selain itu ada juga larangan bagi seseorang untuk mengasuh anak, diantaranya;
6
1. Budak. 2. Kefasikanorang jahatpembunuh.
3. Kafir. 4. Ibu yang menikah lagi.
Kemudian apabila ada suatu keadaan dimana ibu atau ayah si anak dianggap tidak layak untuk melakukan tugas hadhanah, maka
urutan-urutan mereka yang berhak melakukan tuga hadhanah, yakni
7
: 1.
Ibu. 2.
Ibunya Ibu dan ke atas. 3.
Ayah dan Ibu dari Ayah. 4.
Saudara perempuan ayah sekandung. 5.
Saudara perempuan seibu. 6.
Saudara perempuan seayah. 7.
Kemenakan perempuan sekandung seibu seayah. 8.
Kemenakan perempuan seibu. 9.
Saudara perempuan seibu yang sekandung adik Ibu. 10. Saudara perempuan seayah yang sekandung adik Ayah
11. Saudara perempuan ibu yang seibu. 12. Saudara perempuan ibu yang seayah dan seterusnya mendahulukan yang
sekandung dari masing keluarga ibu dan ayah.
6
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluaraga Islam Di Dunia Islam, Jakarta: PT. Raja Gralindo Persada, 2004, hlm.752-753.
7
Iman Jauhari, Kapita Selekta Hukum Islam, Jilid 2, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2007, hlm. 341.
Universitas Sumatera Utara
7
Sengketa yang terjadi pada umat manusia adalah suatu problema hidup yang dihadapi manusia. Manusia sebagai khalifah di bumi dituntut untuk dapat
menyelesaikan persoalan, karena manusia dibekali oleh Allah SWT dengan akal pikiran dan Al-Qur’an sebagai pedoman dalam mengatur kehidupannya. Manusia
juga harus mencari dan menemukan pola penyelesaian sehingga penegakan keadilan dapat terwujud, tidak terkecuali sengkata hadhanah. Sengketa hadhanah juga
memerlukan suatu penyelesaian agar tidak berkepanjang, akibatnya menimbulkan penderitaan bagi orang tua dan anak, selain itu banyak waktu yang terbuang, energi
dan banyak biaya yang harus dikeluarkan oleh para pihak. Oleh karena itu diperlukan suatu cara penyelesaian agar permasalahan hadhanah anak tidak terus menjadi
pemicu terjadinya perselisihan antara mantan suami istri setelah terjadinya perceraian, namun cara tersebut diharapkan dapat mengikat para pihak mantan suami
istri dalam pelaksanaannya. Berdasarkan uraian di atas, kajian mengenai penyelesaian sengketa hadhanah
dalam Perspektif Fiqih dan Hukum Islam perlu untuk dilakukan.
B. Permasalahan