Apakah Jama'ah Ikhwan Merupakan Jama'atul Muslimin?

Apakah Jama'ah Ikhwan Merupakan Jama'atul Muslimin?

Di antara kritik yang dilontarkan orang yang memandang negatif dan ingin memecahbelah ummat adalah bahwa Ikhwan telah mengklaim dirinya sebagai jama'atul muslimin. Tuduhan ini, menurut mereka, diambil dari kutipan kitab-kitab Ikhwan. Di antaranya kitab Musykilatu Da'wah wa Da'iyah, ad-Da'wah al-Islamiyah Faridhah Syar'iyah wa Dharurah Basyariyah, al-Madkhal, al- Jaulaat dan sebagainya.

67 Al-'Awa’iq, Muhammad Ahmad Rasyid, hal. 323. Sebagaimana ia memelihara sikap politiknya dalam banyak masalah, di antaranya:

a. Selalu berupaya mengamati situasi dari sisi politik, sosial dan harakiyah serta mengkajinya sebelum mengeluarkan

sikap apapun berkaitan dengan kasus yang terjadi. b. Mengetahui berbagai perbedaan, pendapat dan keyakinan macam-macam kelompok yang ada, kedekatan atau

kejauhannya dari Islam, kemudian memberi penilaian atasnya. Pengambilan sikap terhadap kelompok-kelompok itu masing-masing berlainan .

c. Kemampuan Jama'ah dan dukungan yang dimilikinya baik secara kualitas ataupun kuantitas selalu menjadi fokus

perhatian sebelum pengambilan langkah apapun terhadap berbagai masalah. d. Bahwa sikap politik itu ibarat sebuah ijtihad yang dilakukan oleh Jama'ah, mungkin benar dan mungkin pula salah.

Jama'ah insya Allall tetap memperoleh pahala dalam hal ini. Karenanya Jama'ah selayaknya tidak pantas dikritik secara pedas bila ia berijtihad dan ternyata keliru setelah benar-benar mengerahkan upaya dan kemampuan. Sebagaimana seorang faqih, bila berijtihad dan temyata ijtihadnya salah, ia tetap mendapatkan pahala atas ijtihadnya itu.

Saya tak ingin berpanjang lebar mennjelaskan masalah ini. Namun saya hanya akan memaparkan contoh paling ekstrim tentang masalah ini, sebagaimana yang disebutkan Ustadz Sa'id Hawwa. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya Ikhwanul Muslimin adalah jama'ah yang sempurna bagi ummat Islam.”

Ungkapan Sa'id Hawwa di atas, bila dibaca secara benar akan menyimpulkan bahwa Ikhwan adalah jama'ah yang sempurna karena kelengkapannya yang mencakup berbagai sektor dalam ajaran Islam. Kesimpulan seperti ini disebabkan perbedaan pengertian antara kalimat yang

berbentuk ma'rifah dan nakirah. 68 Ungkapan Sa'id Hawwa kata jama'ah adalah nakirah, sehingga artinya bahwa jama'ah Ikhwan merupakan jama'ah yang sempurna, tanpa menafikan adanya jama'ah

lain yang juga sempurna selainnya. Sisi pandang inilah yang dianut anggota harakah. Kalaulah mereka tidak memiliki pemahaman demikian, lalu apa yang melandasi keterlibatan mereka dalam harakah Ikhwan? Sebab logikanya, orang yang ingin berbagung dengan salah satu kelompok da'wah, tentu akan menilai terlebih dahulu faktor kedekatannya dengan kebenaran.

Karena itu, dengan pemahaman seperti ini Ikhwan tidak apriori terhadap harakah Islam selainnya. Ikhwan tidak menyifatkan mereka dengan sebutan negatif, apalagi menuduh orang-orang yang tidak termasuk jama'ah Ikhwan keluar dari jama’atul muslimin. Justeru, sikap ini yang ternyata dilakukan sebagian orang yang mengklaim jama'ahnya sebagai firqah najiyah (kelompok yang selamat).

Imam Hasan al-Banna rahimahullah mengatakan, "Kita mentolerir mereka yang berselisih dengan kita pada sebagian masalah far'iyat. Kami memandang bahwa perselisihan selamanya tidak akan menjadi penghalang keterikatan hati, saling cinta dan ta'awun di atas kebaikan. Agar mereka seluruhnya dapat terhimpun dalam makna Islam yang luas dengan batasan yang paling utama dan paling luas."

Pada kesempatan lain, beliau mengatakan, "Adapun orang-orang yang berburuk sangka kepada kami, hatinya diliputi keraguan terhadap da'wah kami, hanya memandang kami secara negatif, hanya membicarakan kami dengan pembicaraan yang buruk dan menolak untuk berlepas diri dari sikap tersebut serta tetap tenggelam dalam kesombongan, hanyut dalam keraguan dan praduganya, kami berdo'a kepada Allah untuk kami dan mereka: Semoga Allah memperlihatkan kebenaran itu adalah benar dan menjadikan kami sebagai pengikutnya. Memperlihatkan yang bathil itu adalah bathil dan menjauhkan kami darinya. Semoga kami dan mereka memperoleh petunjuk Allah swt. Kami tetap menyeru mereka, bila mereka mau menerima seruan kami. Dan kami memohon kepada Allah dalam hal ini. Kami masih mengharapkan mereka.”

Perselisihan dalam masalah furu' adalah masalah yang tak mungkin dihindari. Kita tidak mungkin bersatu dalam masalah furu', pendapat dan madzhab disebabkan beberapa faktor, antara lain:

1. Perbedaan tingkat berpikir dalam kekuatan atau kelemahan beristinbat, mengetahui atau tidak mengetahui dalil.

2. Keluasan dan kesempitan ilmu serta sampainya dalil pada seseorang dan tidak sampai pada orang selainnya.

3. Perbedaan bi'ah (lingkungan) sehingga penerapannyapun dapat berbeda di setiap bi'ah.

4. Perbedaan kecenderungan hati pada satu riwayat. Ada seorang perawi yang dianggap tsiqah oleh fulan akan tetapi dianggap cacat oleh yang lain.

68 Lafadz “Jama'ah” yang disebutkan dalam kitab “Ahadits Jama'ah al Muslimun” ditulis dengan awalan huruf alim dan lam yang menjadikan sebagai bentuk ma'rifah. Dalam Jama'ah pernah terjadi pengeluaran wakil Jama'ah dan sejumlah

anggota majlis asy-Syuro di masa Imam al-Banna. Tidak ada seorangpun dari mereka yang dianggap melakukan sesuatu yang menyebabkannya keluar dari millah. Apakah dengan mereka keluar dari Jama'ah berarti keluar dari millah? Tidak ada seorang pun yang mengatakan hal tersebut.

Karena faktor-faktor ini, seorang da'i hendaknya dapat mentolerir orang yang berselisih pendapat dengannya dalam masalah furu'. Ia hendaknya berprinsip bahwa perselisihan tersebut selamanya takkan menjadi penghalang bagi ikatan hati, saling mencinta dan saling tolong menolong atas kebaikan. Agar ummat manusia seluruhnya dapat terhimpun dalam makna Islam yang luas dengan batasan yang paling utama.

Para sahabat Rasulullah saw. pemah berselisih dalam masalah fatwa. Tapi apakah hal itu memunculkan perpecahan hati di antara mereka ? Apakah persatuan mereka tercabik-cabik oleh perselisihan ? Tidak sama sekali. Contoh paling dekat dalam hal ini adalah hadits shalat ashar di

Bani.Quraizhah. 69 []

69 Majmu'atu ar-Rasa'il, Hasan al-Banna, Mu'assasah ar-Risalah, hal. 128