Ikhwan Dituduh Mentolerir Perselisihan fiqih, Meski Perselisihan Itu Berlawanan dengan Nash. Tetapi Ikhwan Juga Dituduh Fanatik Terhadap Madzhab.

Ikhwan Dituduh Mentolerir Perselisihan fiqih, Meski Perselisihan Itu Berlawanan dengan Nash. Tetapi Ikhwan Juga Dituduh Fanatik Terhadap Madzhab.

Tuduhan di atas terbantah oleh perkataan al-Banna rahimahullah pada risalah Mu'tamar Khamisnya, halaman 17. Dalam risalah tersebut beliau mengatakan, "Adapun sikap kita menjauhi arena perselisihan fiqih adalah karena Ikhwan meyakini perselisihan dalam masalah furu' merupakan hal yang tak mungkin dihindari. Karena sumber ajaran Islam terdiri dari ayat-ayat, hadits, dan amal yang dapat memunculkan perbedaan pemahaman serta penggambaran secara akal. Karenanya, para sahabatpun pernah berselisih di antara mereka. Dan hal itu akan tetap terjadi hingga hari kiamat. Alangkah bijaksananya perkataan Imam Malik radhiallahu'anhu ketika berkata kepada Abu Ja'far yang hendak membawa seluruh Ummat kepada Muwattha', "Sesungguhnya sahabat-sahabat Rasulullah saw. bertebaran di berbagai tempat. Mereka masing-masing memiliki pengetahuan sendiri-sendiri. Jika engkau hendak membawa mereka pada satu pendapat, niscaya akan terjadi fitnah."

Perselisihan dalam furu' bukanlah kesalahan. Kesalahan justeru pada sikap ta'asshub pendapat dan bersikeras menolak pemikiran orang lain dan pendapat mereka. Dengan karunia Allah, perbedaan pandangan terhadap masalah khilafiyah ini (dalam masalah furu') dapat menghimpun hati yang berbeda menjadi pemikiran yang saling melengkapi."

Selain itu, Imam Hasan al-Banna mengatakan, "Setiap orang dapat diambil perkataannya dan ditinggal kecuali Rasulullah saw. yang ma'sum. Semua yang datang dari salaf ridhwanullahi'alaihim yang sesuai dengan al-Qur'an dan sunnah kami terima. Bila tidak sesuai, maka al-Qur'an dan sunnah Rasul-Nya lebih utama diikuti. Akan tetapi kami tidak berbenturan dengan pribadi yang berselisih dalam hal ini dengan cacian atau semacamnya kami serahkan mereka sesuai niat mereka."

Inilah salah satu prinsip yang menjelaskan manhaj Ikhwanul Muslimin. Adapun yang dikatakan Sa'id Hawwa terkait dengan masalah ini, seperti yang tertera pada halaman 17-389, dari 419 halaman kitab secara keseluruhan, sama sekali tidak termasuk bab ta'assub.

Berkata Sa'id Hawwa rahimahullah dalam kitabnya, 64 "Ada dua kelompok kaum muslimin. Pertama, kelompok yang tak dapat mengetahui hukum Allah langsung dari sumbernya al-Qur’an

dan sunnah. Mungkin mereka mengetahui sebagian akan tetapi tidak mengetahui secara keseluruhan. Kedua, kelompok yang mampu mengetahui hukum Allah langsung dari al-Qur'an dan sunnah. Allah telah mewajibkan atas kelompok pertama untuk bertanya kepada kelompok kedua. Sementara Allah mewajibkan kelompok kedua untukmemberi keterangan pada kelompok pertama.

"Bertanyalah kepada ahlu dzikri bila kalian tidak mengetahui. (QS. al-Anbiya: 7).

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya, Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara

64 Dalam kitabnya Jaulat fi al-Fiqhain al-Kabir wa al-Akbar, yang ditulis lebih dahulu dari kitab Hizbullah, hal. 61, ia mengatakan: "Dalam hukum-hukum praktis seputar ilmu fiqih, manusia terbagi tiga kelompok: • Yang mampu berijtihad.

• Yang mengetahui sumber-sumber perkataan dan menggali asalnya akan tetapi belum sampai pada tingkatan mujtahid. • Yang awam dan biasa. Kelompok pertama, ia harus berjalan sebatas apa yang ia hasilkan dari ijtihadnya. Kelompok kedua, harus berjalan sesuai pendapat orang yang ia merasa yakin akan kebenarannya daripada para imam. Sedangkan kelompok ketiga, ia

harus mengikuti seorang imam dari para imam yang ada yang telah ia tanyakan dan memberi fatwa kepadanya. Ia boleh beramal dengan fatwanya itu, bila yang ditanya memang berhak mengeluarkan fatwa. Karena itu para ulama mengatakan: “Orang awam tidak memiliki madzhab. Madzhabnya adalah muftinya.” harus mengikuti seorang imam dari para imam yang ada yang telah ia tanyakan dan memberi fatwa kepadanya. Ia boleh beramal dengan fatwanya itu, bila yang ditanya memang berhak mengeluarkan fatwa. Karena itu para ulama mengatakan: “Orang awam tidak memiliki madzhab. Madzhabnya adalah muftinya.”

Dalam hal ini Ustadz Hasan al-Banna pada prinsip ketujuh mengatakan, “Setiap muslim yang belum mampu meneliti dalil-dalil hukum far'iyat (cabang), hendaknya ia mengikuti salah seorang

imam madzhab. 65 Dan diharapkan bersamaan dengan mengikutinya, baik sekali bilai ia berupaya sebatas kemampuannya untuk mengetahui dalil, dan menerima semua arahan disertai dalilnya. Bila

dalil itu benar menurutnya, baru ia membenarkan isi arahan tersebut. Dan hendaknya, ia terus berupaya menyempumakan kekurangan kekurangan wawasan ilmunya, bila ia adalah seorang yang memiliki kecenderungan pada ilmu, sampai ia mencapai derajat mampu meneliti dalil.”

Demikianlah esensi perkataan salaf ridhwanullahi'alaihim secara global tentang masalah ini. Mereka membolehkan orang awam untuk mengikuti, tapi tidak memperbolehkannya bagi orang yang berilmu. Dalam penjelasan terdahulu kami telah menerangkannya, yakni pada bagian pertama.