Pengembangan sumberdaya manusia berbasis keluarga telaah pengaruh detrimental pola keayahbundaan orangtua yang tidak sehat terhadap deficit karakter pada anak anak
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Setiap orangtua sekarang semestinya bertanya, apakah kita masih
mempunyai hak untuk berharap potensi tumbuhkembang an&-an& kita
berkembmg dengan optimal? Yakinkah kita bahwa ungkapan cinta kasih kita
bisa d h a k a n oleh anak-anak kita? Apakah kita masih boleh berharap anakanak kita mampu mencapai prestasi akadernik spektakuler atau menjadi insan-
insan berkarakter? Kalau jawabnya YA, maka mampukah kita menunjukkan
bukti bahwa kita sudah "berinvestasi" Mam bentuk materi, perhatian, kasih
sayang t u b , rneluangkan waktu untuk membina akhlak dan karakter mereka,
serta tauladan unhk tmjudnya harapan-harapan itu?
Atau juteru
sebaliknya, lataran kita sudah memberinya makan dm perlindungan, ldu
dengan sadar atau tidak sadar kita biarkan mereka tumbuhkembang sendiri
atau kita serahkm pengembangan karakter dan wataknya kepada "orangtua-
oran*
hin" seperti televisi, teman sebaya, atau guru sekali pun?
Giddens (2001) mengemukakan bahwa globalisasi bukm hanya
memberi tekanan ke atas dalam bentuk makin kaburnya batas-batas politik
sebuah negara, tetapi juga ke bawah yang bempa makin rapuhnya keluarga
sebagai wadah proses pelembagaan karakter dan watak rnanusia. Globalisasi
membuat kehidupan berputar dengan amak cepat. Menyiasati kehidupan yang
makin cepat ini, orang mulai meyakini sebuah kredo,yakni bergerak cepat atau
mati. Seperti dikemukakan oleh Leach (1995), ruh aktivitas di abad infomasi
a d a h time is money. Ini menyebabkan unpaid activities seperti parenting
kurang mendapat apresiasi dan penghargaan oleh masyarakat dan bahkan oleh
orangtua sendiri.
Selain itu, globalisasi yang menjadi penggerak dan sekdigus anak
kandung transformasi masyarakat dari masyarakat industri menuju masyarakat
informasi, dengan perangkat ideologi (kapitaIisme) dan budayanya
(postmodernisme), me n i m bu 1k an konsekuensi-konsekuensi logis yang tak
terhindarkan; satu di antaranya a&Iah apa yang oleh Fukuyama (2000) disebut
the peat disruption. Ada bekrapa indikator mengenai ha1 ini. Dua di
antaranya adalah terjadinya defisit modal sosid dan rapuhnya keluarga
(Piliang, 2004). Dua indikator ini sangat penting dalam pembentukan civil
society. Fukuyama rnengemukakan bahwa keluarga menrpakan pilar utarna
civil sociew, karena nilai-nilai pembentuknya seperti trust, kejujuran,
kerjasama, dan resiprositas dikembangkan untuk pertama kalinya dalam
institusi keluarga. Dari perspektif ini kita &pat beragumen bahwa
pemberdayaan keluarga merupakan ha1 yang h i a l . B ahk a n Giddens (2001 )
mengemukakan bahwa berhasilnya implementasi kebijakan ekonomi
politik jalan tengah (third way) juga tergantung pada terbentululya keluarga
yang demokratis.
Strategisnya penguatan institusi keluarga juga bisa dipahami dari
wacana masyarakat madani versi Madjid, yang mengemukakan bahwa
masyarakat madani merupakan sebuah tatanan masyarakat yang warganya
menjunjung tinggi nilai-nilai egalitarian dan supremasi hukum, jujur, adil, dan
menghargai pluralisme (Prasetyo et al., 2002). Watak-watak ini untuk pertama
kalinya berkembang dalam institusi keluarga (Bronfenbrenner, 1979).
Wacana pengembangan surnberdaya manusia di Indonesia beberapa
tahun terakhix mendapat tempat tersendiri baik pada aras (level) reterorika
politik maupun teoretik. Perbincangan isu ini seakan-akan mengingatkan kita
kembdi pada tulisan pujangga Jerman yang sering dikutip oleh Hatta -- von
Schiller - yang mengatakan bahwa sekarang abadnya abad besar yang
melahirkan zaman besar. Namun rnomen sebesar ini hanya mendapatkan
manusia kerdil (Oetama, 2000), yakni mmusia picik, berwawasan sempit, dm
egosentrik. Ada bukti empirik menguatkan pandangan ini untuk kasus
Indonesia sekarang ini . Data tahun 2003 mengungkapkan, negara Indonesia
menempati peringkat ke-6 sebagai negara terkorup di dunia. Pada tahun 2004,
negara Indonesia menempati peringkat ke-1 sebagai negara terkorup di Asia.
Secara konseptual, korupsi bukan hanya menjelaskan tentang penyalahgunaan
milik
publik
untuk
kepentingan
pribadi
atau
keIompok
melalui
penyalahgunaan kekuasaan, tetapi juga rnenggambarkan satu hal, yakni
maknya karakter atau moralitas yang sakit baik secara individual maupun
kolektif.
Pangkahila (2004) mengamati bahwa moralitas bangsa Indonesia kini
'
sedang sakit. Ada sepuluh indikator dia kemukakan, yakni bangsa Indonesia
mudah melakukan kecurangan, menganggap diri paling benar dm hebat,
bersikap dan bertindak tidak rasiond, emosional dan mudah menggunakan
kekerasan, cenderung bertindak seenaknya dm melanggar aturan, cenderung
hidup dalam kelompok dengan wawasan sempit, berpendirian tidak konsisten,
mengalami konflik identitas, bersikap dm bertindak munafk, serta ingin
'~arianKompas, 05 April 2004.
mendapatkan hasil tanpa kerja keras. Karakter
anak-anak dan remaja
Indonesia umumnya juga mengkhawatirkan, terutarna bila dilihat dari sembilan
indikator tentang defssit karakter sebagai berikut:
1 . Meningkatnya tindak kekerasan, seperti t a w a n antarpelajar.
2. Meningkatnya penggunaan kata-kata tak santun dalam tutur wicara.
3. Meningkatnya pengaruh negatifpeergroup.
4. Meningkatnya perilaku mervsak di, seperti merokok dm penggunaan
5.
6.
7.
8.
9.
narkoba
Makin kabumya acuan moralitas ymg tergantikan oleh moralitas
"gad."
Menurunya etos kerja, seperti malas mengerjakan pekerjaan rumah.
Merosotnya sikap respek kepada orang tua.
Meningkatnya sikap menghindar tanggung jawab.
Meningkatnya perilaku tak jujur, seperti "nyontek" dan berbohong
kepada orangtua (Lickona dalam Megawangi, 2003).
Merosotny a peringkat indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia
pada tahun 2003 ke urutan 122 (tahun 2004 naik setingkat ke urutan 1 11)
melengkapi kerumitan masalah mutu sumberdaya manusia 1ndonesia2 Ini
menunjukkan bahwa pembangunan manusia Indonesia selama ini mengalarni
kemunduran. Masalah gizi buruk pada anak balita, yang merupakan salah satu
determinan penting sumberdaya manusia berkualitas, juga tidak mampu
ditanggulangi dengan baik. Perhimpunan Ahli Gizi Indonesia mengemukakan
bahwa selama 10 tahun terakhir penanganan masalah gizi buruk pada balita
mengalarni stagna~i.~
Pada tahun 1989, dari jumlah penduduk sebanyak
177.6 14.965 jiwa, sebanyak 1 -342.796 anak balita mengalami gizi bunk. Pada
-
2 ~ & tahm 1999, IPM ernpat kabupaten di Madura bemt-turut adalah sebagai b M :
Kabupaten Bmgkalan peringkat ke-283, Kabupaten Sampang peringkat ke-292, Kabupaten
Parnekasan peringkat ke-274, dan Kabupaten Sumenep peringkat ke-278. IPM betmapa
kabupatenkota di Provinsi Kalimantan Selatan krturut-hlrut sebagai berikut: Kabupaten Banjar
peringkat ke-161, Kabupaten Hulu Sungai Selatan peringkat ke-215, Kabupaten Hulu Sungai
Tengah peringkat ke-224,Kabupaten Hulu Sungai Utara peringkat ke-247,dan Kota Banjarmasin
t ke-72 (UNDP dan BPS, 2001).
pe?arian
Kompas, 05 Fcbruari 2004.
tahun 2002, angka ini berubah menjadi 1.469.596 dari jumlah penduduk
sebanyak 208.749.460 jiwa. Woodhouse (1999) pada tahun 1999
mengemukakan bahwa setiap dua menit anak di bawah usia lima tahun
meninggal di Indonesia. Sebagian besar (60%) disebabkan oleh h a n g gizi.
Selain itu, tiap 40 detik lahir bayi dengan berat lahir h a n g dari normal
(BBLR) dm setiap 20 menit Ibu yang meldirkan meninggal dunia selarna
persalinan. Dia juga mengemukakan bahwa setiap tahun di Indonesia lahir
sebanyak 700.000 bayi dengan berat badan lahir rendah, atau setiap hari ada
2.000 bayi bergizi h a n g atau buruk lahir, atau sekitar 100 bayi per jamnya.
Wangan yang peka terhadap dampak detrimental jangka panjang
fenomena tersebut akan sepakat bahwa masalah di atas sangat strategis dan
menentukan masa depan bangsa ini. Kalau sebelumnya istilah lost generation
("generasi punah")
- sebuah konsep yang dikembangkan untuk meramallcan
lahirnya generasi yang hidupnya hanya akan menjadi beban orangtua,
keluarga, masy&t,
dm negara, karena potensi kapasitasnya (pertumbuhan
dan perkembangan) tidak dapat dioptimalkan - diaitkan dengan masalah gizi
buruk, rnaka sekarang konsep tersebut juga diaitkan dengan masdah defisit
karakter atau moralitas yang sakit, terutama di kalangan an&-anak dm remaja.
Tanggapan para ahli terhadap masdah tersebut beragam. Tidak seperti
Illich (I 977) yang menggagas masyarakat tanpa sekolah (deschoolingsociety),
karena dia anggap sekolah telah mati, Freire (1972), Goleman (1996),
Semiawan (1 999), Tilaar ( 1999), dan Lickona (Megawangi, 2003) berharap
banyak bahwa reformasi sistem pendidikan, terutama pendidikan formal,
'~arianKompas, 12 Agustus 1999.
mampu memanusiakan manusia Tetapi kinej a pendidikan formal akhir-akhir
ini dim-
oleh
banyak
kalangan.
Rachman
(2003)
misalnya
mengemukakan bahwa sekolah atau pendidikan formal belurn mampu
menanamkan perilaku terpuji sederhana sekaIi pun kepada peserta didik,
seperti membuang sampah pada ternpatnya.'
Kemguan terhadap beberapa pendekatan tersebut memuncdkan
kembali wacana pengembangan sumberdaya rnanusia berbasi keluarga. Kdau
dalil-ddiI naq2i digmakan, maka wacana ini sudah krkembang 14 abad yang
ldu. Beberapa tahun terakhir, khususnya di Indonesia, wacana ini mengarustengah kembali, khususnya ketika ramalan "generasi punah " akan menjadi
kenyataan, ketika makin banyak bukti tentang merosotnya kualitas sumberdaya
manusia baik karena masdah gizi b u d mapun defisit karakter, dan ketika
pendekatan reformasi sistem pendidikan (formal) beIum menunjukkan kinerja
menggembiian. Dalil-dalil saintifik yang menguatkan pengarus-tengahan
wacana tersebut sudah lama dikemukakan. Aristotle mengemukakan bahwa "...
kasih sayang, cinta kasih, dan rasa hormat anak kepada orangtuanya yang
dibina dalam keluarga akan membuat anak juga hormat dm rnenghargai orang
lain ketika mereka besar" (Berger dan Berger, 1984).
perspektif damp& perubahan sejagad mengemukakan
Lasch (1977) dari
bahwa institusi
keluarga &an menjadi satu-satunya lembaga yang bisa menjadi surga di
tengah kehidupan yang makin tak bemurani; a heaven in the heartless world.
Bennett mengemukakan bahwa,
"Family is the original and most efective Department of Health,
Educarion, and Werfare.lf it fails to teach honesty, courage, desire for
excellence, and a host of basic skills, if is exceedingly dzflculb for any
other agency to make upfor its failures" (Megawangi, 2000).
Menurut Rich (1997) dan Popov et al. (1997), keluarga merupakan
wahana pengembangan keterampilan-keterampilan unggul (mega skills) dan
kebajikan-kabajikan moral (virtues). Kegagalan keluarga mengembmgkan
keterampilan unggul tersebut tidak dapat diatasi oleh institusi sosial lain,
tamasuk oleh sekolah. Begitu pentingnya institusi ini, sehingga Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) pemah merancang program yang menjadikan keluarga
sebagai wahana pengembangan SDM (Myers, 1992).
Penelitian ini menelaah peran keluarga dalarn pengembangan
sumberdaya manusia, yang menernpatkan omgtua pada posisi s e n d . Salah
satu fungsi orangtua yang disorot adalah fungsi "keayahbundaan," yang
didefinisikan sebagai keterampilan orangtua memenuhi hak tumbuhkembang
anak-anaknya Asumsinya adalah bahwa tumbuhkembang anak dipengamhi
oleh tingkat keterampilan orangtua menjalankan fungsi "keayahbundaan," clan
fungsi "keayahbundaan" yang sehat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
menjadi determinannya.
Pilihan
fokus
penelitian
pada
masalah
"keayahbundaan"
dilatarbelakangi oleh beberapa pertimbangan. Para ahli sepakat bahwa
tantangan global membutuhkan individu-individu yang bukan hanya berotak
cerdas, memiliki &ya saing dm daya sanding, tetapi juga individu-individu
berkarakter atau memiliki daya saring.
Menurut Golernan (1996), keberhasilan sosial seseorang bukan saja
ditentukan oleh kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi, tetapi j uga oleh
kecerdasan emosional (EQ) yang tinggi pula. Rawley mengemukakan bahwa
"In the corporate world, IQ gets you hired, but EQ gets you promoted"
(Martin 2003). Bahkan Goleman (1996) memastikan bahwa IQ hanya
menyumbang sebagian kecil (20%) pada keberhasilan sosial seseorang.
Sayangnya, sejak pertarna kali metode peningkatan IQ diterapkan, angka IQ
meningkat lebih dari 20 poin. Tetapi ironisnya, sementara dari generasi ke
generasi anak semakin cerdas, keterarnpilan emosional d m sosialnya merosot
tajam (Flynn Mam Shapiro, 1999). Pertanyaannya adalah,
apa yang
menyebabkan itu semua?
Goleman (1 996) mengaitkan madah di atas dengan peristi wa-peristiwa
yang dialami oIeh anak-an& dalam keluarga seperti kesepian karena sering
ditinggal sendiri, asuhannya diserahkan kepada orang lain, overdosis nonton
TV, anak mengalami deprivasi dan perlakuan kejarn orangtuanya, serta
masalah-masalah lain dalarn hubungan pernikahan. Segagasan dengan
Goleman, Zeltner mengemukakan bahwa orangtua sekarang tidak memberikan
sesuatu yang paling dibutuhan oleh anak, yakni waktu untuk berkasih sayang,
karena pekerjaan, kesibukan pribadi di rumah, dan tuntutan karier bagi orang
kota (S indhunata, 2003)~. Tuntutan agar anak berprestasi telah menjadikan
mereka stress seperti yang diamali oleh orang dewasa. Modernisasi di
Indonesia selarna ini telah memperhadapkan anak-anak pada tekanan yang
sangat berat. Fadjar (2001) mengemukakan bahwa anak-anak kini cenderung
stress di tiga tempat: di rumah, sekolah, dm di lingk~n~ann~a.~
Jadi,
rendahnya EQ, ESQ atau defisit karakter pada anak-anakdan remaja dikaitkan
dengan salah satu fungsi strategis orangtua, yakni "keayahbundaan," yang
%dm Kompas, "Republik Anak-An&," 23 Juli 2003.
'~arianKompas, "Hilangkan format itas-Birokratis dalam Penyetaram Guru SD," 6 November 2001.
didefinisikan sebagai pemaharnan, kesadaran, dan keterarnpilan orangtua
memenuhi hak tumbuhkembang an&.
Etzioni (1 993) dengan tesis an&
sejagadnya menyempurnakan
pendekatan alternatif di atas, dengan mengemukakan bahwa meskipun
keluarga merupakan lingkungan utama dan orangtua sebagai deterrninan
b i a I tumbuhkembang anak, tetapi dukungan komunitas, terutama kepada
orangtua dan anak-anak, juga penting artinya. Penelitian ini mengkaji masalah
tersebut dengan menerapkan tesis yang dikembangkan oleh Etzioni.
Masalah Penelitian
Penelitian lintas-budaya tentang hubungan antara "keayahbundaan" dan
tumbuhkembang anak (Rohner, 1986) menunjukkan, pola "keayahbundaan"
yang sehat (dimensi penerimaan) berkorelasi positif dengan berkembangnya
ksrakter pada anak-anak.Demikian juga, pola "keayahbundaan" yang ti&
sehat
(dimensi
penolakadpermusuhan) berkorelasi
positif dengan
terbentuknya watak tidak sehat pada diri an&-anak seperti agresif dm tidak
peka secara sosial dan emosional. Goleman eb al. (2004) rnengemukakan
bahwa pola "keayahbundaan" yang sehat menirnbulkan efek resonan terhadap
anak-anak, sedangkan pola "keayahbundaan" yang tidak sehat menghasilkan
efek disomn, yakni kerangka acuan sikap d m perilah buruk orangtua. Buktibukti empirik dan teoretik ini melandasi asumsi penelitian ini bahwa keluarga
merupakan wadah utama pengembangan SDM dm orangtua dengan pola
"keayahbundaan" yang sehat merupakan determinan utama optimalnya
tumbuhkembang anak. Dengan kata lain, SDM yang berkualitas dapat
diIahirkan oleh orangtua yang marnpu menerapkan pola "keayahbundaan"
yang sehat. Konsep pengembangan sumberdaya manusia berbasis keluarga
dalam penelitian ini mengandung pengertian bahwa penguatan institusi
keluarga dan peningkatan keterarnpilan "keayahbundaan" orangtua menjadi
determinan utarna optimasi potensi tumbuhkembang anak.Masdahnya addah,
apakah keluarga-keiuarga atau orangtua kajian memi1iki sumberdaya yang
dibutuhkan untuk menjdankan fungsi "keayahbundaan" dengan sehat.
Ksjian empirik dan teoretik menunjukkan, pelaksanaan fungsi
"keayahbundaan" yang sehat sebagai determinan utama tumbuhkembang anak
ditenhrkan oleh banyak faktor. Faktor-faktor hi dikelompokkan ke dalam ( 1 )
sumberdaya komunitas, (2) sumberdaya
keluarga, dan (3) sumberdaya
individu dalarn keluarga. Penelitian hi menganalisis hubungan antara
sumberdaya-sumberdaya tersebut
(peubah
input)
dm
keterarnpilan
"keayahbundaan" serta hubungan antara keterarnpilan "keayahbundaan''
(peubah proses) dan tumbuhkembang anak (peubah output) di dua etnik kajian,
yakni etnik Banjar dan Madura. Output yang baik ditentukan oleh proses yang
sehat, sedangkan proses yang sehat dipengaruhi oleh input yang baik. Dari
perspektif faktor-faktor tersebut, penelitian ini mengajukan beberapa masdah
penelitian sebagai berikut:
1. Seberapa besar sumberdaya individu dalarn keluarga, sumberdaya
keluarga, dan sumberdaya komunitas mendukung pelaksanaan fungsi
"keayahbundaan"orangtua di dua etnik kajian?
2. Seberapa tinggi keterarnpilan "keayahbundaan" orangtua di dua etnik
kajian?
3. Seberapa tinggi tumbuhkembang anak di dua etnik kajian?
4. Apakah dukungan surnberdaya individu ddam keluarga, sumberdaya
keluarga, dan sumberdaya komunitas pada peIaksanaan fungsi
"keayahbundaan"orangtua di dua etnik kajian berbeda nyata?
5. Apakah keterampilan "keayahbundaan" orangtua di dua etnik kajian
berbeda nyata?
6. Apakah ada perbedaan tingkat tumbuhkembang anak yang nyata di dua
etnik kajian?
7. Apakah faktor sumberdaya individu dalarn keluarga, sumberdaya
keluarga, dan sumberdaya komunitas berpengaruh secara nyata
terhadap pelaksanaan fbngsi "keayahbundaan"omgtua?
8. Apakah keterampilan "keayahbundaan" orangtua mempengaruhi secara
nyata tumbuhkembang anak?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan pa& rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah untuk:
1. Mendeskripsikan
tingkat dukungan sumberdaya individu dalarn
keluarga, sumberdaya keluarga, dan sumberdaya komunitas pada
pelaksanaan fungsi "keayahbundaan"orangtua di dua etnik kajian.
2. Mendeskripsikan tingkat keterampilan "keayahbundaan" orangtua di
dua etnik kajian.
3. Mendeskripsikan tingkat tumbuhkembang anak di dua etnik kajian.
4. Menganalisis perbedaan dukungan sumberdaya individu dalam
keluarga, sumberdaya keluarga, dm sumberdaya komunitas pada
pelaksanaan fungsi "keayahbundaan" orangtua di dua etnik kajian.
5 . Menganalisis perbedaan keterampilan "keayahbundaan" orangtua di
dua etnik kajian.
6. Menganalisis perbedaan tumbuhkembang anak di dua etmik kajian8
7. Menganalisis hubungan antam faktor surnberdaya individu dalam
keluarga, surnberdaya keluarga, sumberdaya komunitas, dan fungsi
"keayahbundaan" orangtua.
8. Menganalisis hubungan antara
keterampilan "keayshbundaan"
orangtua dan tumbuhkembang anak.
Selain tujuan-tujuan di atas, penelitian ini juga ingin mengembangkan model
teoretik
penyuluhan
"keayahbundaan"
(parenting
education)
untuk
pelembagaan gagasan poIa "keayahbundaan" yang sehat.
Manfaat Penelitian
Hasil penef itian ini diharapkan dapat memberi banyak manfaat sebagai
berikut:
1. Dari aspek penerapan ilrnu, penelitian ini menunjukkan betapa
strategisnya penerapan theoretical endowment ilmu penyuluhan
pembangunan pada upaya pemecahan masalah sosial, antara lain pada
masalah pengembangan SDM.
' ~ e s k i ~ ubukan
n
merupakan fokus utama, deskripsi perbedaan ini juga dilakukan
menurut faktor setting komun itas, yakn i kota dan desa.
2. Dari aspek pengembangan teori, hasil kajian ini memberikan basis
konseptual altematif dalarn pengembangan SDM, khususnya dalarn
meningkatkan kompetensi orangtua "mengasuh" anaknya melalui
learning processes yang sehat, sehingga potensi turnbuhkembangnya
dapat diiembangkan dengan optimal.
3. Dari aspek praksis, hasil kajian ini memberikan basis ilmiah dan
empirik penyusunan kebijakan publik atau intervensi sosial penyuluhan
"keayahbundaan."
4. Bagi orangtua dan calon orangtua hasil penelitian ini bisa memberi
inspirasi yang menurnbuhkan kesadaran tentang betapa pentingnya
mereka bagi masa depan anaknya. Menurut Vannoy (2000a; 2000b),
orangtua adalah kitab besar bagi anak-anak, dan anak-anaknya
merupakan cermin besar bagi orangtuanya.m
T I N J A M PUSTAKA
Landasan Filosofik dan Paradigmatik
Dalam agama-agama samawi seperti agama Islam misalnya, an&
dianggap sebagai amanat. Orangtua diingatkan bahwa mereka memiliki
kewajiban moral untuk menunaikan amanat tersebut, sehingga anak-anakti&
menjadi generasi yang lemah, yakni generasi yang khawatir akan masa
depannya. Tuhan menegaskan bahwa salah ciri dari rnanusia yang
bertanggungiawab atau takwa kepaddya adalah rnereka yang tiduk
rneninggalkan generasi yang lemah (QS : 4 : 9).
Pada tataran p d i k , peringatan tersebut seharusnya menjadi dasar
pernikiran tentang bagaimana program pengembangan SDM sejak dini seperti
digagas oleh Evans ef al. (2000) dan pengembangan SDM umurnnya &pat
diiancang. Pada tataran konseptual-teoretik, peringatan ini bisa menjadi dasar
pengembangan landasan paradigmatik dm teoretik untuk penelitian.
Paling tidak, secara konseptual konsep anak yang tidak lemah, yakni
anak yang berhasil mengoptimalkan tumbuhkembangnya bisa didekati dari
empat paradigma, yakni paradigma anak sejagad atau children of the universe
(Etzioni, 1 993), keluarga sebagai wahana pengembangan SDM (Myers, 1 992),
keseimbangan antara tanggung j awab dan kebebasan anak (Elkind, 198 1 ;
19871,dm paradigma anak yang utuh (Myers, 1992).
Paradigma anak sejagad mengemukakan beberapa ha1 penting yaitu (1 )
orangtua memi li ki tanggung jawab moral kepada masyarakat dan sejagad,
yang hams diwujudkan dalarn bentuk investasi pada "keayahbundaan" yang
sehat; ( 2 ) komunitasjuga memiliki tanggung jawab mernberi dukungan kepada
orangtua atau keluarga agar mereka mampu menunaikan tanggung jawab
moralnya; dan (3) komunitas secara keseluruhan menanggung risiko akibat
"keayahbundaan" yang tidak sehat (Etzioni, 1 993). Paradigma ini secara
eksplisit menunjdckan bahwa "keayahbundaan" yang sehat bukan saja
menrpakan tanggung jawab omgtua atau keluarga, tetapi juga merupakan
tanggung
jawab
bersama.
Etzioni
(1 993)
mengemukakan
bahwa
"keayahbundaan" yang sehat bukan hanya bermanfaat bagi anak-anak, tetapi
juga bagi masyarakat. Myers (1 992) menambahkan kini semakin banyak bukti
menunjukkan bahwa pengembangan SDM sejak dini yang difokuskan pa&
terbenthya anak yang utuh bukan hanya menguntungkan anak, tetapi juga
masyatakat. Sebaliknya, pernerintah harus membangun lingkungan kebijakan
yang memungkinkan keluarga dan komunitas untuk memenuhi tanggung
jawabnya dalam "keayahbundaan" dan perlindungan anak-anak.
Salah satu aspek yang ditekankan oIeh paradigma ini adalah peran
omgtua atau keluarga. h o l d mengemukakan bahwa,
"WorZdwide there is an emphasis on ensuring that early childhood
development programmes are firmly family-and community-based. ?%e
stress on the importance of the family is hardly surprising if we
consider a few simple questions -for example, Who knows the child
best? mere is the young child most of the time? For whom is it most
important that the child develops wells? Children learn who they are
and what lfe is all abod from the people they are with. For the vast
majority of children it is the family, in its many and variedforms, which
is the most important influence on the child's perception of self and
others" (Evans, Myers, and Ilfeld, 2000)
Penekanan tersebut juga sesuai dengan p ar a d i g m a keluarga yang
dikembangkan oleh PBB pada tahun 1982, yakni paradigma keluarga sebagai
wahana pengembangan SDM, yang mengemukakan bahwa keluarga yang
tangguh dm kokoh esensial bagi masa depan dunia; mereka merupakan
wahana bagi generasi mendatang. Resolusinya tahun 1 987 juga menyebutkan
bahwa kelwrga sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan sosidisasi
anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat
menjalankan hgsinya di masymakat dengan baik, serta memberi kepuasan
dm lhgkungan sosial yang sehat guna tercapainya kesejahteraan keluarga
(Megawangi, 1993). Menurut Rich (1997),kelwga merupakan wadah utama
pendidikan clan pengembangan ketmampilan-keterampilan unggul (mega
skills), sedangkan sistem pendidikan lain seperti sekolah menunjang proses
pendidikan di rumah. Penguatan institusi keluarga menjadi kaharusan, karena
orangtua mempunyai tanggung jawab primer membesarkan, mengembangkan,
dan mendidik anak-anaknya (Evans et al., 2000).
Paradigma ketiga menekankan keseimbangan antara tanggung jawab
d m kebebasan.
Orangtua yang membebankan tanggung jawab melebihi
kebebasan mak adalah orangtua yang tidak mampu mengembangkan
"keayahbundaan" yang sehat. Anak yang diasuh dengan cara seperti ini adalah
anak yang terlalu cepat dan terlalu dini berkembang. Elkind (1981) menyebut
anak ini sebagai anak yang mengalami aduItjCed, hurried child atau superkids.
Superkids, menurut dia, berada pada fase atau proses perkembangan yang
penuh risiko. Mereka akan menghadapi masalah baik yang bersifat fisik seperti
sakit kepala dan sakit perui akibat spess maupun psikologis seperti perilaku
memsak diri.
Paradigma keempat menekankan pentingnya perkembangan anak secara
total atau utuh (whole child). Investasi atau program tumbuhkembang anak
dalam konteks pernbangunan sosial bukan hanya difokuskan pada peningkatan
status gizi dan kesehatan, serta perkembangan mental-kognitihya (IQ), tetapi
juga pada perkembangan emosional dan sosialnya. Anak yang menikmati hak
seluruh dirnensi turnbuhkembangnya memiGki peluang dm potensi untuk
menjadi rnanusia bermutu. Landasan filosofik dan paradigmatik penelitian ini
disajikan pada Gambar 1 .
i
Anak ShaIeh
P
k l u a r g r 'Cmgguh
&n Produktir
Tanggungjwab
Btrmmr:
D
u
Keayahbundaan
Yang S o I u t
S u m W p Ycluvp*
k h~
mi-
-lear
pcPsr(n-
( A u M u d r o -ring)
ohnatch. lssl)
o r q
(Eagles d.,1997)
D-4-
Tumbuhlcembg
Armk Y u t g Utuh
(My-. 1992)
Keluarga Yang
Komunitas Yang
Tangguh
Sebt
(Ue, 1995: GddmIdt. 1996)
(h+wmgi*d.
IWS)
Tesiw ~ e l u a r g a
=bPgai Wahana
Pengembangan
Teais Anak
Sejagad
(E~oni,1993)
Tcris
Keimhangan
SDM
(PBB drlva Mym. IW2)
t
T e s i s Anak Yang
TanggungjawabKcbebasan
(Elkind, 1911. 1917)
v
r
Gambar 1. Landasan Filosofik dan Paradigmntik Penelitian
Utuh
(Mycn. 1992)
Hak Anak untuk Mewujudkan Potensi Tumbuhkembangnya
Landasan filosofik di atas menunjukkan bahwa anak bukan hanya
memiliki kebutuhan untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrah atau
innate capacities dm g$s within-nya, tetapi kebutuhan itu sekaligus
merupakan hak mereka. Evans et al. (2000) memandang perlu untuk
membedakan cara pandang terhadap tumbuhkembang anak sebagai hak asasi
anak (rights perspective) dari cara pandang sebagai kebutuhan anak
(needs
perspective). Sejumlah implikasi potensid dikemukakan oleh mereka dari
perbedaan perspehif ini. Misainya, pendekatan kebutuhan tidak memahami
pemenuhan kebutuhan tumbuhkembang anak sebagai kewajiban, tetapi
perspektif hak asasi justeru secara pasti memahaminya sebagai sebuah
kewajiban baik orangtua dan komunitas maupun pemerintah.
Orangtua,
keluarga, pemerhtah, clan komunitas memiliki tanggung jawab untuk
memenuhi hak tersebut. Ada beberapa alasan mengenai ha1 ini.
Pertuma adalah alasan berbasis hak asasi manusia. An& mempunyai
hak untuk hidup dan rnengembangkan seluruh potensinya (innate capacities).
Deklarasi Hak-Hak Anak Tahun 1959 mengemukakan bahwa anak harus
mendapat perlindungan khusus baik berdasarkan hukum rnaupun perangkat
lain, yang rnemungkinkan perkembangan fisik, mental, moral, spiritual dan
sosialnya berlangsung dengan sehat dan normal. Konvensi Nak-Hak Anak
Tahun 1989, yang disepakati oleh banyak negara, memberi mandat kepada
pemerintah yang menandatangani konvensi itu untuk menjamin pemberian hak
kepada an&
guna
kebedangsungan hidup
dan tumbuhkembangnya.
Pelaksanaan konvensi-konvensi ini akan menjadi dukungan komunitas bagi
keluarga atau orangtua d a m pelaksanaan h g s i "keayahbundaannya."
Kedua adalah alasan nilai-nilai sosid. Masa depan dunia bergantung
pada keberhasilan penanaman nilai-nilai kebaji kan kepada anak, yang bukan
s4a dianggap seb&
our f i t w e , tetapi juga sebagai pengawal nilai-nilai
kemanusiaan.
Ketiga addah dasan pembangunan ekonomi. Konig (Jalal dan
Atmodjo, 1998) menunjukkan, keberhasilan mewujudkan tumbuhkembang
anak menjadi modal strategis bagi peningkatan produktivitas anatan kerja,
penurunan angka kerniskinan, dan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, investasi
pada tumbuhkembang anak menghasilkan economic rate of return yang
menguntungkan negara (Todaro, 1985; Bmo, 1991; Hartoyo, 1998).
Keempat adalah dasan keadilan sosial. Keadilan lintas generasi yang
muncul ddam isu pembangunan yang berkelanjutan dalam konteks
tumbuhkembang anak dipahami dari sudut pandang penyediaan a fair start
untuk bisa menghadapi tantangan dan peluang kehidupan dalam masyarakat.
Jadi, intervensi berencana terhadap hunbuhkembang anak, baik melalui
intervensi stimulasi psikososiai langsung kepada anak maupun pendidiian
"keayahbundam," rnernbantu mengatasi ketidakadilan, yang disebabkan oleh
perbedam start hidup anak. Myers (1 992) rnengemukakan bahwa Investment
in early childhood development can help to modtfi inequalities rooted in
povew and discrimination (social, religious, gender) by giving children from
so-called disadvantaged backgrounds a fair start. Preskripsi the children $rst
Leach (1995) juga hams dipahami ddam konteks di atas.
Kelima adalah alasan dinamika sosial dan kependudukan, terutarna yang
menyangkut tingkat partisipasi perempuan (Ibu) dalam aktivitas publik.
Dengan alasan persamaan gender, hak asasi manusia dm pengembangan diri,
kaum perempuan, termasuk Ibu, mulai memanfaatkan potensi dan waktunya
untuk berperan di sektor publik. Tingkat partisipasi angkatan kej a perempuan
setiap tahun semakin meningkat. Salah satu dampak fenomena ini adalah
berkumngnya curahan waktu orangtua untuk dm bersarna dengan anak
(togetherness). Di negara berkembang, termasuk di Indonesia, kajian tentang
perubahan curahan waktu orangtua untuk dan dengan anak serta dampaknya
terhadap mutu interaksi orangiua-anak, belum banyak dilakukan. Ini menjadi
salah satu indikator tentang kurangnya kesadaran terhadap masalah tersebut.
Unhrk kasus Ameri ka Serikat, Etzioni ( 1 993) melaporkan, selama 20
tahun, yakni dari 1965 hingga 1985, curahan waktu orangtua untuk anaknya
berkurang sebanyak harnpir 50%, yakni dari rata-rata 30 jam menjadi 17 jam
per minggu. Asuhan anak diserahkan kepada pusat-pusat asuhan (child-care
centres). Ymg merisaukan ahli sosiologi dan psikologi perkembangan di
negeri ini adalah dampak negatif kecenderungan ini terhadap perkembangan
anak. Mereka mulai mengaitkan perilaku sosial menyimpang anak dengan
pergeseran pola asuhnn ini. Pemisahan anak dari orangtua menyebabkan
emotional and psychological bonding and attachment antara anak dan
orangtua tidak sehat. Anak yang mengalami pemisahan mungkin secara fisik
tumbuh normal, tetapi secara psikologis tidak matang. Mencermati
kecenderungan ini, Ziglen
mengemukakan bahwa We are cannibalizing
children. Children are dying in the system, never mind achieving optimum
development (Etzioni, 1993).
Schickedanz (1995) mengaitkan pergeseran pola asuh ini dengan
rendahnya prestasi akademik anak Amerika dibandingkan dengan sebayanya
dari Jepang dan C h i . Dia mengajurkan agar kita berhenti rnenyalahkan
sekolah, karena prestasi akademik anak rendah: "... even though school and
teacher eforts are extremely important, conditions outside of schools hold the
key to increasing academic achievement substantially."
Stevenson
menguatkan pendapat itu dengan mengemukakan bahwa rendahnya prestasi
akademik anak h a m ditelusuri dari sumber lain di luar sekolah. Surnber lain
itu adalah parental factors, yakni pola muh orangtua dalarn keluarga
(Schickedanz, 1995).
Tumbuhkembang Anak
Konsep hunbuhkembang merupakan perpadurn antara konsep
pertumbuhan dan perkembangan. Secara ilmiah, dua konsep ini mempunyai
pengertian yang sangat berbeda, tetapi karena saling krkaitan, penyebutannya
kerap disatukan. Sebagai panduan awal untuk elaborasi teoretik kajian ini,
perbedaan konseptual yang dikembangkan oleh Myers ( 1 992) dikemukakan
dalam bagian ini. Dia mengemukakan bahwa
size." Pe-buhan
"... to grow is to increase in
lebih mudah diamati dm dapat langsung diukur daripada
perkembangan (S atoto,
1 990). Status gizi
dijadikan peubah proxy
pertumbuhan. Ukuran-ukuran yang dikembangkan lebih mudah diaplikasikan.
Salah satu alat ukur yang umum digunakan adalah indeks antropometri, seperti
berat badan menurut umur atau BBm, panjang badan menurut umur atau
PBAJ, dan berat badan menurut tinggi badan atau BB/TB.
Konsep perkembangan lebih rumit lagi. Ia merujuk pada pembahan
kompleksitas dan fungsi. Myers (1 992) mengemukakan bahwa
"...
child
akvelopment is process of change in which the child learns ro handle ever
more complex levels of moving, thinking, feeling, and relating to others." Ia
mencakup empat aspek, yakni aspek motorik: kemampuan bergerak dan
mengkoordinasi gerakan; aspek mental atau kognitif: kemampuan berfdcir dan
h a l a r ; aspek emosional: kemampuan merasakan; aspek sosial: kemampuan
berhubungan dengan orang lain.
Kajian tentang gizi sendiri sebagai salah satu indikator perhmbuhan
anak mengalami pergeseran perspektif. Awalnya, pandangan secara klinis
sangat dorninan. Tetapi sekarang sudah bergeser ke aspek pengetahuan, sosial
budaya, dan keperilakuan (Sanjur, 1982). Bahkan dari ternuan penelitian,
masalah gizi mulai dikaitkan dengan perm penting "keayahbundaan" orangtua
dalam keluarga (UNICEF dalam Engle ef al., 1997).
Sarna halnya dengan kajian tentang pertumbuhan anak, kajian tentang
perkernbangan anak juga sudah lama dilakukan, dan secara teoretik mengalami
p e r g e s m yang evolusioner. Secara teoretik, penjelasan perkembangan anak
bergeser dari determinisme biologik, determinisme lingkungan, ke kombinasi
keduanya (Salkind, 1985; Hoffman et a/.,1994). Bronfenbrenner (1 979)
memberi tekanan pada lingkungan keluarga sebagai ekologi perkembangan
yang utama, dimana orangtua sebagai socialization agent yang paling penting.
Temuan Rohner (1986) mengungkap satu fakta penting tentang perkembangan
anak, yakni faktor intervening developmental process; sebuah faktor yang
memungkinkan dilakukannya pencegahan dampak negatif "keayahbundaan"
yang tidak sehat terhadap perkembangan anak.
Baik pergeseran teoretik yang terjadi ddam kajian gizi (pertumbuhan)
maupun perkembangan memberi tekanan yang amat penting pada peranan
institusi keluarga dan salah satu fungsi strategisnya, yakni "keayahbundaad'
atau parenting. Dengan kata lain, keluarga diposisikan sebagai wadah utama
tumbuhkembang anak.
Pikunas (1976) mengemukakan bahwa ada banyak meliu, lingkungan
atau setting yang mempengaruhi perkernbangan manusia. Semua setting ini
memberi pengaruh dan tekanan pada anak melalui lingkungan clan orang-orang
lain terdekat, yakni orangtua. Kemudian, berdasarkan keterampilan, motivasi,
nilai-nilaikultural dan sosial yang dianut, dinamika dan sumberdaya keluarga,
orangtua mengeIola pengamh itu menjadi sebuah respon yang disebut
"keayahbundaan." Respon yang sehat terjadi bila ia lebih baik daripada
pengaruh lingkungan. Dengan kata lain, bagaimana orangtua mengelola semua
potensi dan pengaruh internal dan eksternal menjadi respon "keayahbundaan"
yang sehat
dan menjadikan keluarga sebagai institmi yang kondusif &an
sangat menentukan optimasi tumbuhkembang anak. Tentang
strategisnya
keluarga sebagai institusi utarna dan pertama bagi an&-anak, Hogg (2004)
mengemukakan bahwa,
"Pada mulanya dunia anak-anak masih kecil, terbatas pada keluarga dan
orangtuanya. Ji ka lingkungan pertama ini man, ri Ieks, positif,
memungkinkan anak-an& untuk menjelajah dan bereksperimen, orangorang di dalarnnya bisa diandalkan, maka mereka akan lebih siap
menghadapi lingkungan yang lebih luas."
Konsep "bisa diandalkan" pada kutipan di atas mengandung banyak arti
yang berkaitm dengan keterarnpilan "keayahbundaan." Salah satu di antaranya
keterampilan melaksanakan tugas perkembangan sesuai dengan usia
&ah
atau fase turnbuhkembang anak. Sebagai contoh, ketika anak berusia 0 - 18
bulan tugas perkembangan yang hams dilewati adalah apakah saya dapat
mempercayai dunia atau segala sesuatu di luar saya? Psychosocial crisis yang
diadapi pada fase ini adalah antara frust and mistrust (Erikson, 1984). Orang
lain terdekat pada fase ini adalah Ibu, atau orang lain yang menjadi
representasi Ibu (alternative caregiver).
Dalam teori bonding atau attachment, respon orangtua dalam
menghadapi krisis tersebut adalah satu di antara dua aiternatif di bawah ini.
1. Marnpu dan terampil memberikan kelekatan yang aman (warm and
responsive care), sehingga anak berhasil melewati krisis itu;
2. Atau, orangtua j usteru mefakukan avoidant dm unsecured attachment,
sehingga anak kurang atau bahkan tidak berhasil melewati krisis
tersebut.
Kalau yang pertama yang mampu diberikan oleh orangtua (Ibu), maka
anak akan berhasil rnelewati krisis itu.
Orrtpuhya adalah
anak rnerasa aman,
percaya terhadap segala sesuatu yang ada di luar dirinya dan memiliki perspesi
(perasaan) bahwa dunia merupakan tempat yang positif.
Dalam teori bonding dan atrachrnent, pemaan percaya (trust)
merupakan faktor yang sangat penting bagi terciptanya persepsi pada anak
bahwa dunia dan lingkungan selain dirinya merupakan tempat yang aman,
yang
merupakan modal strategis bagi anak untuk mengeksplorasi alam
sekeliling dan berhubungan dengan orang lain; sebuah perkembangan yang
sangat penting bagi perkembangan berikutnya seperti otonomi dan rasa
percaya diri. Bowbly mengemukakan bahwa bonding atau attachment antma
an&
dan orangtua juga merupakan satu jenis sistem keperilakuan yang
diiembangksn untuk kelestarian perkembangan organisme (Salkind, 1 985;
Karen, 1990; Hoffman et al., 1994). Yang dimaksud dengan attachment di sini
adalah ikatan sosial yang primer (the primary social bonding) yang terjalin
antam anak dm orangtua (caregiver) dm yang memberikan keamanan
emosional kepada anak.
Temuan ini memperluas basis teoretik awalnya, yakni teori survival for
the $nest Darwin. Tetapi temuan hi sekaligus menjadi awal gugurnya
keyakinan Gessel terhadap peran utama faktor biologik sebagai determinan
utama perkembangan manusia Menurut Skeels dan Dye, keyakinm ini tidak
realistik karena didasarkan pada asumsi bahwa lingkungan tempat anak
berkembang bersifat normal (Karen, 1 990). Padahal proses perkembangan an&
tidak berlangsung Mam suasana vakum (Bigner, 1979). Dengan kata lain,
organisme (manusia) bisa survive bukan hanya karena kemarnpuan
biologiknya untuk berkompetisi dengan sesamanya, tetapi juga dengan
membina kedekatan dan ikatan dengan orang lain. Untuk kasus anak, orang
lain itu adalah orangtuanya.
Karen (1990) mengemukakan bahwa kedekatan orangtua dengan mak
memberikan pengalaman emosional dan lingkungan yang man, yang
membuat anak mempersepsi dunia sebagai tempat yang arnan dan positif.
Pengalaman kedekatan positif akan membuat anak percaya diri, sehingga
mereka mampu mengeksplorasi lingkungan, membina hubungan sehat dengan
orang lain dan rnampu menangani keragamm. Ainsworth melalui metode
Strange Situation membagi attachment ke dalam tiga kelompok, yakni secure
attached, insecurely attached dan avoidant attached (Karen,
1990;
Schickedanz, 1995). Secure infant menggunakan orangha, terutama Ibunya,
sebagai agent atau basis rasa ingin tahu atau untuk mengeksplorasi Iingkungan.
Kedekatan, kehangatan, dan kepekaan orangtua terhadap anak me numb^
persepsi positif pada diri anak bahwa dunia atau lingkungan merupakan tempat
arnan, sehingga mereka bebas mengeksplorasi lingkungan dan berhubungan
dengan orang lain ("... responsive mother provides a secure base"). Ainsworth
menambahkan, rasa arnan memungkinkan mak untuk bergerak memahami
lingkungan, belajar darinya dm mendapatkan keterampilan untuk mengatasi
apa saja yang dia hadapi di luar (Karen, 1990). Dia juga mengemukakan
bahwa,
"...young children securely attached to their parents are the ones most
likely to comply with farnib rules. n e s e children actively seek and
accept the adult's guidance. In this sense, secure chil&en obey
voluntarily #om within the relationship, rather than out of coercion
fear.
"
Temuan Ainsworth menggugurkan pandangan sebelumnya, yang
menyatakan kedekatan menciptakan ketergantungan (Karen, 1990). Dia
mengemukakan bahwa kedekatan, kehangatan, dm ''keayahbundaan" yang
peka tidak menciptakan ketergantungan, tetapi kemandirian ("... it liberates
and enable autonomy"). Ainsworth menganggap secure attachment dianggap
sebagai strategi "keayahbundaan" yang memungkinkan anak untuk otonom,
ingin tahu dan memacu perkembangan kognitif, emosional anak, serta
mensernaikan mentalitas kepekaan dan kerjasarna (Karen, 1 990). Justeru anak
yang berada dalarn kondisi anxiously attachment tidak marnpu mengeksplorasi
lingkungan dan berhubungan dengan orang lain. Dia sangat Iengket (cling)
dengan orangtua, terutarna Ibunya.
Dalarn eksperimen yang dilakukan oleh Ainsworth, anriozcs& attached
child menangis ketika dipisafikan dari Ibunya dan tetap menangis ketika
Ibunya ada kembali. Sebaliknya, avoihnt attached child memperlihatkan
kemandiian yang ekstrem. Ia tidak menangis ketika dipisahkan dari Ibunya
clan ucuh ketika Ibunya dihadirkan kembali. "Keayahbundaan" seperti ini
menekankan
individual
autonomy,
yang
merupakan
paradigma
"keayahbundaan" di negara Barat (Megawangi, 1993). Paradigma ini sangat
meyakini otonomi individual merupakan karakter utama manusia modern.
Tetapi Damon menyanggah pendapat itu, dengan mengemukakan bahwa tidak
banyak bukti ilmiah mendukung pandangan itu (Megawangi, 1 993). Justeru
sinergi dan kesalingbergantungan oleh Naisbitt ( I 996) dan Covey ( 1994)
dianggap sebagai karakter kepribadian tertinggi dalam perkembangan
kepribadian manusia, sedangkan kemandirian merupakan tahrtpan menengah.
Pye rnenarnbahkan, kebudayaan y ang mementingkan keding-
bergantungan akan sangat efektif, karena individu yang merasa berada &lam
lindungan kelompoknya akan kreatif dalarn memajukan kelompoknya,
sedangkan kebudayaan yang mementingkan kemandirian individual
mendorong an&
akan
menjadi anarkis, selalu merasa paling benar dan Iebih
mementingkan s e u daripada reZatiunsh@ (Megawangi, 1 993). Pada tataran
makro, Ketcham mengemukakan bahwa sikap kesaling-berganhmganjusteru
berandil besar pada pembangunan sosial ekonomi dan SDM (Megawangi,
1993).
Megawangi (1993) menegaskan, sikap kebersamaan dm saling
ketergantungan antarindividu akan membawa individu merasa aman. Rasa
m a n ini akan membuat manusia merasa bebas dari tekanan-tekanan, sehingga
dapat mendorong individu untuk bertindak kreatif. Pembentukan sikap-sikap
seperti ini h a m dimulai di dalam kelwga.
Kaidah seperti ini juga berlaku untuk Mapan perkembangan
berikutnya. Sebagai contoh, fase kedua (early childhood) dan ketiga (play
age), menurut teori Freud, merupakan periode yang sangat kritis, karena anak
dapat memahami dm menyerap stimulus dari lingkungan, terutama orangtua
(Salkind, 1985). Orangtua lebih dorninan pada fase ini daripada hanya Ibu
(mothering). Ruben (1988) mengemukakan bahwa pada periode kritis ini
sosialisasi dan cara berkomunikasi orangtua dengan anak sangat berpengaruh
terhadap pembentukan perilaku dm kepribadian anak. Masalahnya adalah,
mampu clan terarnpilkah orangtua berinteraksi dan berkomudasi secara sehat
dengan
anaknya?
Atau,
mampukah
orangtua
menunaikan
tugas
perkembangannya untuk mendukung tugas perkembangan anak?
Teori kedekatan positif di atas memiliki implikasi praksis yang
strategis. Pertama berkaitan dengan persoalan
berapa jam yang hams
dicurahkan oleh orangtua dan Ibu Wlususnya untuk dan bersama anak. Dengan
kata lain, berapa jam
orangtua hams
rnenyisihkan waktu
untuk
"keayahbundaan"? Di Amerika Serikat, seperti dikemukakan oleh Etzioni
(1 993), persoalan ini menjadi isu yang kritis dalam seluruh kehidupan mereka,
sehingga Wexler mengemukakan bahwa "... the great test for American
Society will be this: Whether we are capable of caring and sacrificing for the
future of children" (Etzioni, 1993).
Kedun, teori kedekatan positif sedang mengalami benturan dengan
feminisme, yang menganggap teori ini secara tidak langsung menyarankan a
stay-at-home role bagi perempuan atau Ibu (Etzioni, 1993). Untuk kasus
negm Jepang, hasiI kajian Imamura (199 1) rnenggugurkan anggapan bahwa
keterlibatan perempuan, Ibu khususnya, da1a.m s e b r publik bertentangan atau
bahkan mengalahican "keayahbundaan": It is likely that women will continue to
sustain traditional Japanese values while preparing their children and
adjmting themselves to new economic realities. Jadi, partisipasi perempuan di
sektor publik ti&
ditafsirkan dalarn konteks pembebasan perempuan dari
peran keibu-rumahtanggaan, seperti yang menjadi pilar gerakan feminisme di
Barat. Menurut Dizard dan Gddin motivasi untuk semata pemenuhan
pengembangan diri sendiri dari partisipasi perempuan dalam sektor publik
akan membentuk lingkungan atau ekologi tumbuhkembang anak dalam
keluarga yang tidak kondusif (Myers, 1 992).
Keterarnpilan "Keayahbundaan" dan Perkembangan Anak
Beberapa istilah memiliki arti harnpir sama dengan konsep
"keayahbundaan," seperti caring, rearing, socializabion, mothering dan
fathering. Penelitian ini berfokus pada asuhan (caring) yang dilakukan oleh
Ibu dan Ayah dalam institusi keluarga. Asuhan yang dilakukan oleh Ibu
disebut mothering, dan oleh Ayah disebut fathering. Kombinasi keduanya
disebut "keayahbundaan," yakni seluruh aktivitas yang berorientasi pada
pemenuhan hak tumbuhkembang anak. la menyangkut, kesadaran, perilaku,
dan keterarnpilan orangtua dalarn rnelakukan aktivitas-aktivitas itu.
Klasifikasi parenting menjadi mothering dm fathering ada kaitannya
dengan pergeseran "keayahbunbn" dalarn keluarga dm munculnya ideologi
fatherhood, yakni sebuah ideologi yang menyadari pentingnya kehadiran ayah
secara fisik, psikologis, dan emosional dalarn proses tumbuhkembang anak.
Shapiro (2003) mengemukakan bahwa kini semakin sulit ditemukan
pembagian Ayah dm 1bu seketat yang pernah dulu kita yakini. Ayah dapat
berperan pada aktivitas apa saja sesuai kesepakatan bersarna. 13anyak mitos
peran Ayah dalarn keluarga sekarang mulai didekonstruksi seperti mitos
pendisiplinan anak hanya tugas ayah, mengganti popok monopoli urusan Ibu,
tugas Ayah mendidik anak laki-laki, dan sikap I bu mempengaruhi janin.
Dalam
banyak
bahan
pustaka
diperkenalkan
ragarn
model
"keayahbundaan." Becker mengajukan model tiga dimensi "keayahbundaan"
(Schikendanz,
1995).
Dimensi
perkma
disebut
serba
tak
boleh
(restrictiveness) dm serba boleh (permissiveness). Dimensi ini membentuk
sebuah kontinum pada sumbu aksis horisontal. Dia mengemukakan bahwa
perilaku serba tidak boleh menunjukkan penggunaan kekuasaan orangtua d m
penekanan pada kepatuhan dengan sejumlah aturan-aturan main - sebagai alat
kontrol -- yang sudah ditetapkan untuk dipatuhi oleh anak.
Dimensi kedua adalah warmth-hostility yang merentang membentuk
sebuah kontinum pada sumbu aksis vertikal. Warmth behavior menunjukkan
sikap kasih sayang (tenderness), hangat, afektif, memberi penjelasan dalarn
membatasi aktivitas anak. Omgtua dalarn perilaku ini juga sangat kurang
menggunakan hukuman fisik.
Dimensi ketiga adalah anxiom emotional involvement-calm detachment.
Perilah yang anxious e m o t i o d involvement ditandai oleh "keayahbundaan"
yang cuek dm kurang memkrikan perhatian yang memadai terhadap
kebutuhan anak. Sebaliknya, perilaku yang calm detachment cenderung
melindungi secara agak berlebihan dengan tingkat keserbabolehan yang tinggi.
Selain tiga dimensi tersebut, model ini juga mengajukan beberapa
model "keayahbundaan," seperti perilaku demokratik, yakni perilaku yang
tinggi tingkat keserbabolehan, kehangatan, dan calm defacfment-nya.Perilaku
autoritarian addah perilaku yang tinggi aspek permusuhan (hostiIity),
keserbatakbolehan, dan kecuekannya, sedangkan perilaku melindungi adalah
perilaku yang tinggi kehangatannya, tetapi sangat rendah aspek kecuekan dan
keserbatakbolehannya.
Baumrind mengemukakan tiga perilaku "keayahbundaan," yalcni
authoritative, authoritarian, dan permissive parenting (Munn, 1974;
Schikendanz, 1995). Tiga perilaku ini dikaitkan dengan aspek kehangatan
(warmth atau nwtwunce), kontrol dm kematangan. Menurut Baumrind,
perilaku yang autoritatif tinggi aspek kehangatan, kontrol dan kematangannya.
Sebaliknya, perilaku yang permisif, sangat tinggi aspek kehangatannya, tetapi
sangat rendah aspek kontrol dan kematangannya, sedangkan perilaku
autoritarian sangat tinggi kontrolnya, tetapi rendah kehangatannya. Perilaku
autoritatif dan autoritarian sarna-sama tinggi aspek kontrolnya. Tetapi menurut
Baumrind, keduanya berbeda dalam pelaksanaan kontrol. Pada periIaku
autoritatif, orangtua selalu memberi alasan mengapa mereka melarang atau
menuntut sesuatu, dan menunjukkan dampak akibat perilaku an&. Orangtua
juga memberi kesempatan kepada anak untuk mengajukan pandangannya.
Perilaku permisif terlalu memanjakan dan melindungi anak, sehingga
anak terlambat perkembangan kemandiriannya dan selalu bergantung kepada
orangtua. Menurut Shafer, pola "keayahbundaan" seperti ini &an membuat
anak cepat menyerah, taklik dan selalu minta izin sebelurn metakukan sesuatu
@a&man, 2000). Apabita palindungan diberikan berlebihan, maka anak tidak
kreatif, tidak agresif dalarn mematuhi aturan, dm bahkan tidak mudah
bemhabat atau mengembangkan hubungan dengan orang lain.
Menurut Baumrind, "keayahbundaan" yang sehat adalah perilaku yang
autoritatif. Megawangi (1993; 2000) mengemukakan bahwa orangtua yang
mampu menerapkan perilaku hi akan dapat mengarahkan anaknya dengan
efektif, yakni mampu dengan persuasif mendorong maknya berbuat baik, bisa
menetapkan dan menegakkan aturan yang jelas, yang disampaikan secara
komunikatif, sehingga anak menjadi lebih peka, mudah mengontrol
tindakannya dm menghargai peraturan, sedangkan orangtua yang menerapkan
perilaku yang autoritarian lebih menekankan kekuasaan, sehingga anak
menjadi takut. Ini kemudian akan rnengharnbat kreativitasnya.
Hasil penelitian Baumrind menunjukkan bahwa anak yang dididik
Latar Belakang
Setiap orangtua sekarang semestinya bertanya, apakah kita masih
mempunyai hak untuk berharap potensi tumbuhkembang an&-an& kita
berkembmg dengan optimal? Yakinkah kita bahwa ungkapan cinta kasih kita
bisa d h a k a n oleh anak-anak kita? Apakah kita masih boleh berharap anakanak kita mampu mencapai prestasi akadernik spektakuler atau menjadi insan-
insan berkarakter? Kalau jawabnya YA, maka mampukah kita menunjukkan
bukti bahwa kita sudah "berinvestasi" Mam bentuk materi, perhatian, kasih
sayang t u b , rneluangkan waktu untuk membina akhlak dan karakter mereka,
serta tauladan unhk tmjudnya harapan-harapan itu?
Atau juteru
sebaliknya, lataran kita sudah memberinya makan dm perlindungan, ldu
dengan sadar atau tidak sadar kita biarkan mereka tumbuhkembang sendiri
atau kita serahkm pengembangan karakter dan wataknya kepada "orangtua-
oran*
hin" seperti televisi, teman sebaya, atau guru sekali pun?
Giddens (2001) mengemukakan bahwa globalisasi bukm hanya
memberi tekanan ke atas dalam bentuk makin kaburnya batas-batas politik
sebuah negara, tetapi juga ke bawah yang bempa makin rapuhnya keluarga
sebagai wadah proses pelembagaan karakter dan watak rnanusia. Globalisasi
membuat kehidupan berputar dengan amak cepat. Menyiasati kehidupan yang
makin cepat ini, orang mulai meyakini sebuah kredo,yakni bergerak cepat atau
mati. Seperti dikemukakan oleh Leach (1995), ruh aktivitas di abad infomasi
a d a h time is money. Ini menyebabkan unpaid activities seperti parenting
kurang mendapat apresiasi dan penghargaan oleh masyarakat dan bahkan oleh
orangtua sendiri.
Selain itu, globalisasi yang menjadi penggerak dan sekdigus anak
kandung transformasi masyarakat dari masyarakat industri menuju masyarakat
informasi, dengan perangkat ideologi (kapitaIisme) dan budayanya
(postmodernisme), me n i m bu 1k an konsekuensi-konsekuensi logis yang tak
terhindarkan; satu di antaranya a&Iah apa yang oleh Fukuyama (2000) disebut
the peat disruption. Ada bekrapa indikator mengenai ha1 ini. Dua di
antaranya adalah terjadinya defisit modal sosid dan rapuhnya keluarga
(Piliang, 2004). Dua indikator ini sangat penting dalam pembentukan civil
society. Fukuyama rnengemukakan bahwa keluarga menrpakan pilar utarna
civil sociew, karena nilai-nilai pembentuknya seperti trust, kejujuran,
kerjasama, dan resiprositas dikembangkan untuk pertama kalinya dalam
institusi keluarga. Dari perspektif ini kita &pat beragumen bahwa
pemberdayaan keluarga merupakan ha1 yang h i a l . B ahk a n Giddens (2001 )
mengemukakan bahwa berhasilnya implementasi kebijakan ekonomi
politik jalan tengah (third way) juga tergantung pada terbentululya keluarga
yang demokratis.
Strategisnya penguatan institusi keluarga juga bisa dipahami dari
wacana masyarakat madani versi Madjid, yang mengemukakan bahwa
masyarakat madani merupakan sebuah tatanan masyarakat yang warganya
menjunjung tinggi nilai-nilai egalitarian dan supremasi hukum, jujur, adil, dan
menghargai pluralisme (Prasetyo et al., 2002). Watak-watak ini untuk pertama
kalinya berkembang dalam institusi keluarga (Bronfenbrenner, 1979).
Wacana pengembangan surnberdaya manusia di Indonesia beberapa
tahun terakhix mendapat tempat tersendiri baik pada aras (level) reterorika
politik maupun teoretik. Perbincangan isu ini seakan-akan mengingatkan kita
kembdi pada tulisan pujangga Jerman yang sering dikutip oleh Hatta -- von
Schiller - yang mengatakan bahwa sekarang abadnya abad besar yang
melahirkan zaman besar. Namun rnomen sebesar ini hanya mendapatkan
manusia kerdil (Oetama, 2000), yakni mmusia picik, berwawasan sempit, dm
egosentrik. Ada bukti empirik menguatkan pandangan ini untuk kasus
Indonesia sekarang ini . Data tahun 2003 mengungkapkan, negara Indonesia
menempati peringkat ke-6 sebagai negara terkorup di dunia. Pada tahun 2004,
negara Indonesia menempati peringkat ke-1 sebagai negara terkorup di Asia.
Secara konseptual, korupsi bukan hanya menjelaskan tentang penyalahgunaan
milik
publik
untuk
kepentingan
pribadi
atau
keIompok
melalui
penyalahgunaan kekuasaan, tetapi juga rnenggambarkan satu hal, yakni
maknya karakter atau moralitas yang sakit baik secara individual maupun
kolektif.
Pangkahila (2004) mengamati bahwa moralitas bangsa Indonesia kini
'
sedang sakit. Ada sepuluh indikator dia kemukakan, yakni bangsa Indonesia
mudah melakukan kecurangan, menganggap diri paling benar dm hebat,
bersikap dan bertindak tidak rasiond, emosional dan mudah menggunakan
kekerasan, cenderung bertindak seenaknya dm melanggar aturan, cenderung
hidup dalam kelompok dengan wawasan sempit, berpendirian tidak konsisten,
mengalami konflik identitas, bersikap dm bertindak munafk, serta ingin
'~arianKompas, 05 April 2004.
mendapatkan hasil tanpa kerja keras. Karakter
anak-anak dan remaja
Indonesia umumnya juga mengkhawatirkan, terutarna bila dilihat dari sembilan
indikator tentang defssit karakter sebagai berikut:
1 . Meningkatnya tindak kekerasan, seperti t a w a n antarpelajar.
2. Meningkatnya penggunaan kata-kata tak santun dalam tutur wicara.
3. Meningkatnya pengaruh negatifpeergroup.
4. Meningkatnya perilaku mervsak di, seperti merokok dm penggunaan
5.
6.
7.
8.
9.
narkoba
Makin kabumya acuan moralitas ymg tergantikan oleh moralitas
"gad."
Menurunya etos kerja, seperti malas mengerjakan pekerjaan rumah.
Merosotnya sikap respek kepada orang tua.
Meningkatnya sikap menghindar tanggung jawab.
Meningkatnya perilaku tak jujur, seperti "nyontek" dan berbohong
kepada orangtua (Lickona dalam Megawangi, 2003).
Merosotny a peringkat indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia
pada tahun 2003 ke urutan 122 (tahun 2004 naik setingkat ke urutan 1 11)
melengkapi kerumitan masalah mutu sumberdaya manusia 1ndonesia2 Ini
menunjukkan bahwa pembangunan manusia Indonesia selama ini mengalarni
kemunduran. Masalah gizi buruk pada anak balita, yang merupakan salah satu
determinan penting sumberdaya manusia berkualitas, juga tidak mampu
ditanggulangi dengan baik. Perhimpunan Ahli Gizi Indonesia mengemukakan
bahwa selama 10 tahun terakhir penanganan masalah gizi buruk pada balita
mengalarni stagna~i.~
Pada tahun 1989, dari jumlah penduduk sebanyak
177.6 14.965 jiwa, sebanyak 1 -342.796 anak balita mengalami gizi bunk. Pada
-
2 ~ & tahm 1999, IPM ernpat kabupaten di Madura bemt-turut adalah sebagai b M :
Kabupaten Bmgkalan peringkat ke-283, Kabupaten Sampang peringkat ke-292, Kabupaten
Parnekasan peringkat ke-274, dan Kabupaten Sumenep peringkat ke-278. IPM betmapa
kabupatenkota di Provinsi Kalimantan Selatan krturut-hlrut sebagai berikut: Kabupaten Banjar
peringkat ke-161, Kabupaten Hulu Sungai Selatan peringkat ke-215, Kabupaten Hulu Sungai
Tengah peringkat ke-224,Kabupaten Hulu Sungai Utara peringkat ke-247,dan Kota Banjarmasin
t ke-72 (UNDP dan BPS, 2001).
pe?arian
Kompas, 05 Fcbruari 2004.
tahun 2002, angka ini berubah menjadi 1.469.596 dari jumlah penduduk
sebanyak 208.749.460 jiwa. Woodhouse (1999) pada tahun 1999
mengemukakan bahwa setiap dua menit anak di bawah usia lima tahun
meninggal di Indonesia. Sebagian besar (60%) disebabkan oleh h a n g gizi.
Selain itu, tiap 40 detik lahir bayi dengan berat lahir h a n g dari normal
(BBLR) dm setiap 20 menit Ibu yang meldirkan meninggal dunia selarna
persalinan. Dia juga mengemukakan bahwa setiap tahun di Indonesia lahir
sebanyak 700.000 bayi dengan berat badan lahir rendah, atau setiap hari ada
2.000 bayi bergizi h a n g atau buruk lahir, atau sekitar 100 bayi per jamnya.
Wangan yang peka terhadap dampak detrimental jangka panjang
fenomena tersebut akan sepakat bahwa masalah di atas sangat strategis dan
menentukan masa depan bangsa ini. Kalau sebelumnya istilah lost generation
("generasi punah")
- sebuah konsep yang dikembangkan untuk meramallcan
lahirnya generasi yang hidupnya hanya akan menjadi beban orangtua,
keluarga, masy&t,
dm negara, karena potensi kapasitasnya (pertumbuhan
dan perkembangan) tidak dapat dioptimalkan - diaitkan dengan masalah gizi
buruk, rnaka sekarang konsep tersebut juga diaitkan dengan masdah defisit
karakter atau moralitas yang sakit, terutama di kalangan an&-anak dm remaja.
Tanggapan para ahli terhadap masdah tersebut beragam. Tidak seperti
Illich (I 977) yang menggagas masyarakat tanpa sekolah (deschoolingsociety),
karena dia anggap sekolah telah mati, Freire (1972), Goleman (1996),
Semiawan (1 999), Tilaar ( 1999), dan Lickona (Megawangi, 2003) berharap
banyak bahwa reformasi sistem pendidikan, terutama pendidikan formal,
'~arianKompas, 12 Agustus 1999.
mampu memanusiakan manusia Tetapi kinej a pendidikan formal akhir-akhir
ini dim-
oleh
banyak
kalangan.
Rachman
(2003)
misalnya
mengemukakan bahwa sekolah atau pendidikan formal belurn mampu
menanamkan perilaku terpuji sederhana sekaIi pun kepada peserta didik,
seperti membuang sampah pada ternpatnya.'
Kemguan terhadap beberapa pendekatan tersebut memuncdkan
kembali wacana pengembangan sumberdaya rnanusia berbasi keluarga. Kdau
dalil-ddiI naq2i digmakan, maka wacana ini sudah krkembang 14 abad yang
ldu. Beberapa tahun terakhir, khususnya di Indonesia, wacana ini mengarustengah kembali, khususnya ketika ramalan "generasi punah " akan menjadi
kenyataan, ketika makin banyak bukti tentang merosotnya kualitas sumberdaya
manusia baik karena masdah gizi b u d mapun defisit karakter, dan ketika
pendekatan reformasi sistem pendidikan (formal) beIum menunjukkan kinerja
menggembiian. Dalil-dalil saintifik yang menguatkan pengarus-tengahan
wacana tersebut sudah lama dikemukakan. Aristotle mengemukakan bahwa "...
kasih sayang, cinta kasih, dan rasa hormat anak kepada orangtuanya yang
dibina dalam keluarga akan membuat anak juga hormat dm rnenghargai orang
lain ketika mereka besar" (Berger dan Berger, 1984).
perspektif damp& perubahan sejagad mengemukakan
Lasch (1977) dari
bahwa institusi
keluarga &an menjadi satu-satunya lembaga yang bisa menjadi surga di
tengah kehidupan yang makin tak bemurani; a heaven in the heartless world.
Bennett mengemukakan bahwa,
"Family is the original and most efective Department of Health,
Educarion, and Werfare.lf it fails to teach honesty, courage, desire for
excellence, and a host of basic skills, if is exceedingly dzflculb for any
other agency to make upfor its failures" (Megawangi, 2000).
Menurut Rich (1997) dan Popov et al. (1997), keluarga merupakan
wahana pengembangan keterampilan-keterampilan unggul (mega skills) dan
kebajikan-kabajikan moral (virtues). Kegagalan keluarga mengembmgkan
keterampilan unggul tersebut tidak dapat diatasi oleh institusi sosial lain,
tamasuk oleh sekolah. Begitu pentingnya institusi ini, sehingga Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) pemah merancang program yang menjadikan keluarga
sebagai wahana pengembangan SDM (Myers, 1992).
Penelitian ini menelaah peran keluarga dalarn pengembangan
sumberdaya manusia, yang menernpatkan omgtua pada posisi s e n d . Salah
satu fungsi orangtua yang disorot adalah fungsi "keayahbundaan," yang
didefinisikan sebagai keterampilan orangtua memenuhi hak tumbuhkembang
anak-anaknya Asumsinya adalah bahwa tumbuhkembang anak dipengamhi
oleh tingkat keterampilan orangtua menjalankan fungsi "keayahbundaan," clan
fungsi "keayahbundaan" yang sehat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
menjadi determinannya.
Pilihan
fokus
penelitian
pada
masalah
"keayahbundaan"
dilatarbelakangi oleh beberapa pertimbangan. Para ahli sepakat bahwa
tantangan global membutuhkan individu-individu yang bukan hanya berotak
cerdas, memiliki &ya saing dm daya sanding, tetapi juga individu-individu
berkarakter atau memiliki daya saring.
Menurut Golernan (1996), keberhasilan sosial seseorang bukan saja
ditentukan oleh kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi, tetapi j uga oleh
kecerdasan emosional (EQ) yang tinggi pula. Rawley mengemukakan bahwa
"In the corporate world, IQ gets you hired, but EQ gets you promoted"
(Martin 2003). Bahkan Goleman (1996) memastikan bahwa IQ hanya
menyumbang sebagian kecil (20%) pada keberhasilan sosial seseorang.
Sayangnya, sejak pertarna kali metode peningkatan IQ diterapkan, angka IQ
meningkat lebih dari 20 poin. Tetapi ironisnya, sementara dari generasi ke
generasi anak semakin cerdas, keterarnpilan emosional d m sosialnya merosot
tajam (Flynn Mam Shapiro, 1999). Pertanyaannya adalah,
apa yang
menyebabkan itu semua?
Goleman (1 996) mengaitkan madah di atas dengan peristi wa-peristiwa
yang dialami oIeh anak-an& dalam keluarga seperti kesepian karena sering
ditinggal sendiri, asuhannya diserahkan kepada orang lain, overdosis nonton
TV, anak mengalami deprivasi dan perlakuan kejarn orangtuanya, serta
masalah-masalah lain dalarn hubungan pernikahan. Segagasan dengan
Goleman, Zeltner mengemukakan bahwa orangtua sekarang tidak memberikan
sesuatu yang paling dibutuhan oleh anak, yakni waktu untuk berkasih sayang,
karena pekerjaan, kesibukan pribadi di rumah, dan tuntutan karier bagi orang
kota (S indhunata, 2003)~. Tuntutan agar anak berprestasi telah menjadikan
mereka stress seperti yang diamali oleh orang dewasa. Modernisasi di
Indonesia selarna ini telah memperhadapkan anak-anak pada tekanan yang
sangat berat. Fadjar (2001) mengemukakan bahwa anak-anak kini cenderung
stress di tiga tempat: di rumah, sekolah, dm di lingk~n~ann~a.~
Jadi,
rendahnya EQ, ESQ atau defisit karakter pada anak-anakdan remaja dikaitkan
dengan salah satu fungsi strategis orangtua, yakni "keayahbundaan," yang
%dm Kompas, "Republik Anak-An&," 23 Juli 2003.
'~arianKompas, "Hilangkan format itas-Birokratis dalam Penyetaram Guru SD," 6 November 2001.
didefinisikan sebagai pemaharnan, kesadaran, dan keterarnpilan orangtua
memenuhi hak tumbuhkembang an&.
Etzioni (1 993) dengan tesis an&
sejagadnya menyempurnakan
pendekatan alternatif di atas, dengan mengemukakan bahwa meskipun
keluarga merupakan lingkungan utama dan orangtua sebagai deterrninan
b i a I tumbuhkembang anak, tetapi dukungan komunitas, terutama kepada
orangtua dan anak-anak, juga penting artinya. Penelitian ini mengkaji masalah
tersebut dengan menerapkan tesis yang dikembangkan oleh Etzioni.
Masalah Penelitian
Penelitian lintas-budaya tentang hubungan antara "keayahbundaan" dan
tumbuhkembang anak (Rohner, 1986) menunjukkan, pola "keayahbundaan"
yang sehat (dimensi penerimaan) berkorelasi positif dengan berkembangnya
ksrakter pada anak-anak.Demikian juga, pola "keayahbundaan" yang ti&
sehat
(dimensi
penolakadpermusuhan) berkorelasi
positif dengan
terbentuknya watak tidak sehat pada diri an&-anak seperti agresif dm tidak
peka secara sosial dan emosional. Goleman eb al. (2004) rnengemukakan
bahwa pola "keayahbundaan" yang sehat menirnbulkan efek resonan terhadap
anak-anak, sedangkan pola "keayahbundaan" yang tidak sehat menghasilkan
efek disomn, yakni kerangka acuan sikap d m perilah buruk orangtua. Buktibukti empirik dan teoretik ini melandasi asumsi penelitian ini bahwa keluarga
merupakan wadah utama pengembangan SDM dm orangtua dengan pola
"keayahbundaan" yang sehat merupakan determinan utama optimalnya
tumbuhkembang anak. Dengan kata lain, SDM yang berkualitas dapat
diIahirkan oleh orangtua yang marnpu menerapkan pola "keayahbundaan"
yang sehat. Konsep pengembangan sumberdaya manusia berbasis keluarga
dalam penelitian ini mengandung pengertian bahwa penguatan institusi
keluarga dan peningkatan keterarnpilan "keayahbundaan" orangtua menjadi
determinan utarna optimasi potensi tumbuhkembang anak.Masdahnya addah,
apakah keluarga-keiuarga atau orangtua kajian memi1iki sumberdaya yang
dibutuhkan untuk menjdankan fungsi "keayahbundaan" dengan sehat.
Ksjian empirik dan teoretik menunjukkan, pelaksanaan fungsi
"keayahbundaan" yang sehat sebagai determinan utama tumbuhkembang anak
ditenhrkan oleh banyak faktor. Faktor-faktor hi dikelompokkan ke dalam ( 1 )
sumberdaya komunitas, (2) sumberdaya
keluarga, dan (3) sumberdaya
individu dalarn keluarga. Penelitian hi menganalisis hubungan antara
sumberdaya-sumberdaya tersebut
(peubah
input)
dm
keterarnpilan
"keayahbundaan" serta hubungan antara keterarnpilan "keayahbundaan''
(peubah proses) dan tumbuhkembang anak (peubah output) di dua etnik kajian,
yakni etnik Banjar dan Madura. Output yang baik ditentukan oleh proses yang
sehat, sedangkan proses yang sehat dipengaruhi oleh input yang baik. Dari
perspektif faktor-faktor tersebut, penelitian ini mengajukan beberapa masdah
penelitian sebagai berikut:
1. Seberapa besar sumberdaya individu dalarn keluarga, sumberdaya
keluarga, dan sumberdaya komunitas mendukung pelaksanaan fungsi
"keayahbundaan"orangtua di dua etnik kajian?
2. Seberapa tinggi keterarnpilan "keayahbundaan" orangtua di dua etnik
kajian?
3. Seberapa tinggi tumbuhkembang anak di dua etnik kajian?
4. Apakah dukungan surnberdaya individu ddam keluarga, sumberdaya
keluarga, dan sumberdaya komunitas pada peIaksanaan fungsi
"keayahbundaan"orangtua di dua etnik kajian berbeda nyata?
5. Apakah keterampilan "keayahbundaan" orangtua di dua etnik kajian
berbeda nyata?
6. Apakah ada perbedaan tingkat tumbuhkembang anak yang nyata di dua
etnik kajian?
7. Apakah faktor sumberdaya individu dalarn keluarga, sumberdaya
keluarga, dan sumberdaya komunitas berpengaruh secara nyata
terhadap pelaksanaan fbngsi "keayahbundaan"omgtua?
8. Apakah keterampilan "keayahbundaan" orangtua mempengaruhi secara
nyata tumbuhkembang anak?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan pa& rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah untuk:
1. Mendeskripsikan
tingkat dukungan sumberdaya individu dalarn
keluarga, sumberdaya keluarga, dan sumberdaya komunitas pada
pelaksanaan fungsi "keayahbundaan"orangtua di dua etnik kajian.
2. Mendeskripsikan tingkat keterampilan "keayahbundaan" orangtua di
dua etnik kajian.
3. Mendeskripsikan tingkat tumbuhkembang anak di dua etnik kajian.
4. Menganalisis perbedaan dukungan sumberdaya individu dalam
keluarga, sumberdaya keluarga, dm sumberdaya komunitas pada
pelaksanaan fungsi "keayahbundaan" orangtua di dua etnik kajian.
5 . Menganalisis perbedaan keterampilan "keayahbundaan" orangtua di
dua etnik kajian.
6. Menganalisis perbedaan tumbuhkembang anak di dua etmik kajian8
7. Menganalisis hubungan antam faktor surnberdaya individu dalam
keluarga, surnberdaya keluarga, sumberdaya komunitas, dan fungsi
"keayahbundaan" orangtua.
8. Menganalisis hubungan antara
keterampilan "keayshbundaan"
orangtua dan tumbuhkembang anak.
Selain tujuan-tujuan di atas, penelitian ini juga ingin mengembangkan model
teoretik
penyuluhan
"keayahbundaan"
(parenting
education)
untuk
pelembagaan gagasan poIa "keayahbundaan" yang sehat.
Manfaat Penelitian
Hasil penef itian ini diharapkan dapat memberi banyak manfaat sebagai
berikut:
1. Dari aspek penerapan ilrnu, penelitian ini menunjukkan betapa
strategisnya penerapan theoretical endowment ilmu penyuluhan
pembangunan pada upaya pemecahan masalah sosial, antara lain pada
masalah pengembangan SDM.
' ~ e s k i ~ ubukan
n
merupakan fokus utama, deskripsi perbedaan ini juga dilakukan
menurut faktor setting komun itas, yakn i kota dan desa.
2. Dari aspek pengembangan teori, hasil kajian ini memberikan basis
konseptual altematif dalarn pengembangan SDM, khususnya dalarn
meningkatkan kompetensi orangtua "mengasuh" anaknya melalui
learning processes yang sehat, sehingga potensi turnbuhkembangnya
dapat diiembangkan dengan optimal.
3. Dari aspek praksis, hasil kajian ini memberikan basis ilmiah dan
empirik penyusunan kebijakan publik atau intervensi sosial penyuluhan
"keayahbundaan."
4. Bagi orangtua dan calon orangtua hasil penelitian ini bisa memberi
inspirasi yang menurnbuhkan kesadaran tentang betapa pentingnya
mereka bagi masa depan anaknya. Menurut Vannoy (2000a; 2000b),
orangtua adalah kitab besar bagi anak-anak, dan anak-anaknya
merupakan cermin besar bagi orangtuanya.m
T I N J A M PUSTAKA
Landasan Filosofik dan Paradigmatik
Dalam agama-agama samawi seperti agama Islam misalnya, an&
dianggap sebagai amanat. Orangtua diingatkan bahwa mereka memiliki
kewajiban moral untuk menunaikan amanat tersebut, sehingga anak-anakti&
menjadi generasi yang lemah, yakni generasi yang khawatir akan masa
depannya. Tuhan menegaskan bahwa salah ciri dari rnanusia yang
bertanggungiawab atau takwa kepaddya adalah rnereka yang tiduk
rneninggalkan generasi yang lemah (QS : 4 : 9).
Pada tataran p d i k , peringatan tersebut seharusnya menjadi dasar
pernikiran tentang bagaimana program pengembangan SDM sejak dini seperti
digagas oleh Evans ef al. (2000) dan pengembangan SDM umurnnya &pat
diiancang. Pada tataran konseptual-teoretik, peringatan ini bisa menjadi dasar
pengembangan landasan paradigmatik dm teoretik untuk penelitian.
Paling tidak, secara konseptual konsep anak yang tidak lemah, yakni
anak yang berhasil mengoptimalkan tumbuhkembangnya bisa didekati dari
empat paradigma, yakni paradigma anak sejagad atau children of the universe
(Etzioni, 1 993), keluarga sebagai wahana pengembangan SDM (Myers, 1 992),
keseimbangan antara tanggung j awab dan kebebasan anak (Elkind, 198 1 ;
19871,dm paradigma anak yang utuh (Myers, 1992).
Paradigma anak sejagad mengemukakan beberapa ha1 penting yaitu (1 )
orangtua memi li ki tanggung jawab moral kepada masyarakat dan sejagad,
yang hams diwujudkan dalarn bentuk investasi pada "keayahbundaan" yang
sehat; ( 2 ) komunitasjuga memiliki tanggung jawab mernberi dukungan kepada
orangtua atau keluarga agar mereka mampu menunaikan tanggung jawab
moralnya; dan (3) komunitas secara keseluruhan menanggung risiko akibat
"keayahbundaan" yang tidak sehat (Etzioni, 1 993). Paradigma ini secara
eksplisit menunjdckan bahwa "keayahbundaan" yang sehat bukan saja
menrpakan tanggung jawab omgtua atau keluarga, tetapi juga merupakan
tanggung
jawab
bersama.
Etzioni
(1 993)
mengemukakan
bahwa
"keayahbundaan" yang sehat bukan hanya bermanfaat bagi anak-anak, tetapi
juga bagi masyarakat. Myers (1 992) menambahkan kini semakin banyak bukti
menunjukkan bahwa pengembangan SDM sejak dini yang difokuskan pa&
terbenthya anak yang utuh bukan hanya menguntungkan anak, tetapi juga
masyatakat. Sebaliknya, pernerintah harus membangun lingkungan kebijakan
yang memungkinkan keluarga dan komunitas untuk memenuhi tanggung
jawabnya dalam "keayahbundaan" dan perlindungan anak-anak.
Salah satu aspek yang ditekankan oIeh paradigma ini adalah peran
omgtua atau keluarga. h o l d mengemukakan bahwa,
"WorZdwide there is an emphasis on ensuring that early childhood
development programmes are firmly family-and community-based. ?%e
stress on the importance of the family is hardly surprising if we
consider a few simple questions -for example, Who knows the child
best? mere is the young child most of the time? For whom is it most
important that the child develops wells? Children learn who they are
and what lfe is all abod from the people they are with. For the vast
majority of children it is the family, in its many and variedforms, which
is the most important influence on the child's perception of self and
others" (Evans, Myers, and Ilfeld, 2000)
Penekanan tersebut juga sesuai dengan p ar a d i g m a keluarga yang
dikembangkan oleh PBB pada tahun 1982, yakni paradigma keluarga sebagai
wahana pengembangan SDM, yang mengemukakan bahwa keluarga yang
tangguh dm kokoh esensial bagi masa depan dunia; mereka merupakan
wahana bagi generasi mendatang. Resolusinya tahun 1 987 juga menyebutkan
bahwa kelwrga sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan sosidisasi
anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat
menjalankan hgsinya di masymakat dengan baik, serta memberi kepuasan
dm lhgkungan sosial yang sehat guna tercapainya kesejahteraan keluarga
(Megawangi, 1993). Menurut Rich (1997),kelwga merupakan wadah utama
pendidikan clan pengembangan ketmampilan-keterampilan unggul (mega
skills), sedangkan sistem pendidikan lain seperti sekolah menunjang proses
pendidikan di rumah. Penguatan institusi keluarga menjadi kaharusan, karena
orangtua mempunyai tanggung jawab primer membesarkan, mengembangkan,
dan mendidik anak-anaknya (Evans et al., 2000).
Paradigma ketiga menekankan keseimbangan antara tanggung jawab
d m kebebasan.
Orangtua yang membebankan tanggung jawab melebihi
kebebasan mak adalah orangtua yang tidak mampu mengembangkan
"keayahbundaan" yang sehat. Anak yang diasuh dengan cara seperti ini adalah
anak yang terlalu cepat dan terlalu dini berkembang. Elkind (1981) menyebut
anak ini sebagai anak yang mengalami aduItjCed, hurried child atau superkids.
Superkids, menurut dia, berada pada fase atau proses perkembangan yang
penuh risiko. Mereka akan menghadapi masalah baik yang bersifat fisik seperti
sakit kepala dan sakit perui akibat spess maupun psikologis seperti perilaku
memsak diri.
Paradigma keempat menekankan pentingnya perkembangan anak secara
total atau utuh (whole child). Investasi atau program tumbuhkembang anak
dalam konteks pernbangunan sosial bukan hanya difokuskan pada peningkatan
status gizi dan kesehatan, serta perkembangan mental-kognitihya (IQ), tetapi
juga pada perkembangan emosional dan sosialnya. Anak yang menikmati hak
seluruh dirnensi turnbuhkembangnya memiGki peluang dm potensi untuk
menjadi rnanusia bermutu. Landasan filosofik dan paradigmatik penelitian ini
disajikan pada Gambar 1 .
i
Anak ShaIeh
P
k l u a r g r 'Cmgguh
&n Produktir
Tanggungjwab
Btrmmr:
D
u
Keayahbundaan
Yang S o I u t
S u m W p Ycluvp*
k h~
mi-
-lear
pcPsr(n-
( A u M u d r o -ring)
ohnatch. lssl)
o r q
(Eagles d.,1997)
D-4-
Tumbuhlcembg
Armk Y u t g Utuh
(My-. 1992)
Keluarga Yang
Komunitas Yang
Tangguh
Sebt
(Ue, 1995: GddmIdt. 1996)
(h+wmgi*d.
IWS)
Tesiw ~ e l u a r g a
=bPgai Wahana
Pengembangan
Teais Anak
Sejagad
(E~oni,1993)
Tcris
Keimhangan
SDM
(PBB drlva Mym. IW2)
t
T e s i s Anak Yang
TanggungjawabKcbebasan
(Elkind, 1911. 1917)
v
r
Gambar 1. Landasan Filosofik dan Paradigmntik Penelitian
Utuh
(Mycn. 1992)
Hak Anak untuk Mewujudkan Potensi Tumbuhkembangnya
Landasan filosofik di atas menunjukkan bahwa anak bukan hanya
memiliki kebutuhan untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrah atau
innate capacities dm g$s within-nya, tetapi kebutuhan itu sekaligus
merupakan hak mereka. Evans et al. (2000) memandang perlu untuk
membedakan cara pandang terhadap tumbuhkembang anak sebagai hak asasi
anak (rights perspective) dari cara pandang sebagai kebutuhan anak
(needs
perspective). Sejumlah implikasi potensid dikemukakan oleh mereka dari
perbedaan perspehif ini. Misainya, pendekatan kebutuhan tidak memahami
pemenuhan kebutuhan tumbuhkembang anak sebagai kewajiban, tetapi
perspektif hak asasi justeru secara pasti memahaminya sebagai sebuah
kewajiban baik orangtua dan komunitas maupun pemerintah.
Orangtua,
keluarga, pemerhtah, clan komunitas memiliki tanggung jawab untuk
memenuhi hak tersebut. Ada beberapa alasan mengenai ha1 ini.
Pertuma adalah alasan berbasis hak asasi manusia. An& mempunyai
hak untuk hidup dan rnengembangkan seluruh potensinya (innate capacities).
Deklarasi Hak-Hak Anak Tahun 1959 mengemukakan bahwa anak harus
mendapat perlindungan khusus baik berdasarkan hukum rnaupun perangkat
lain, yang rnemungkinkan perkembangan fisik, mental, moral, spiritual dan
sosialnya berlangsung dengan sehat dan normal. Konvensi Nak-Hak Anak
Tahun 1989, yang disepakati oleh banyak negara, memberi mandat kepada
pemerintah yang menandatangani konvensi itu untuk menjamin pemberian hak
kepada an&
guna
kebedangsungan hidup
dan tumbuhkembangnya.
Pelaksanaan konvensi-konvensi ini akan menjadi dukungan komunitas bagi
keluarga atau orangtua d a m pelaksanaan h g s i "keayahbundaannya."
Kedua adalah alasan nilai-nilai sosid. Masa depan dunia bergantung
pada keberhasilan penanaman nilai-nilai kebaji kan kepada anak, yang bukan
s4a dianggap seb&
our f i t w e , tetapi juga sebagai pengawal nilai-nilai
kemanusiaan.
Ketiga addah dasan pembangunan ekonomi. Konig (Jalal dan
Atmodjo, 1998) menunjukkan, keberhasilan mewujudkan tumbuhkembang
anak menjadi modal strategis bagi peningkatan produktivitas anatan kerja,
penurunan angka kerniskinan, dan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, investasi
pada tumbuhkembang anak menghasilkan economic rate of return yang
menguntungkan negara (Todaro, 1985; Bmo, 1991; Hartoyo, 1998).
Keempat adalah dasan keadilan sosial. Keadilan lintas generasi yang
muncul ddam isu pembangunan yang berkelanjutan dalam konteks
tumbuhkembang anak dipahami dari sudut pandang penyediaan a fair start
untuk bisa menghadapi tantangan dan peluang kehidupan dalam masyarakat.
Jadi, intervensi berencana terhadap hunbuhkembang anak, baik melalui
intervensi stimulasi psikososiai langsung kepada anak maupun pendidiian
"keayahbundam," rnernbantu mengatasi ketidakadilan, yang disebabkan oleh
perbedam start hidup anak. Myers (1 992) rnengemukakan bahwa Investment
in early childhood development can help to modtfi inequalities rooted in
povew and discrimination (social, religious, gender) by giving children from
so-called disadvantaged backgrounds a fair start. Preskripsi the children $rst
Leach (1995) juga hams dipahami ddam konteks di atas.
Kelima adalah alasan dinamika sosial dan kependudukan, terutarna yang
menyangkut tingkat partisipasi perempuan (Ibu) dalam aktivitas publik.
Dengan alasan persamaan gender, hak asasi manusia dm pengembangan diri,
kaum perempuan, termasuk Ibu, mulai memanfaatkan potensi dan waktunya
untuk berperan di sektor publik. Tingkat partisipasi angkatan kej a perempuan
setiap tahun semakin meningkat. Salah satu dampak fenomena ini adalah
berkumngnya curahan waktu orangtua untuk dm bersarna dengan anak
(togetherness). Di negara berkembang, termasuk di Indonesia, kajian tentang
perubahan curahan waktu orangtua untuk dan dengan anak serta dampaknya
terhadap mutu interaksi orangiua-anak, belum banyak dilakukan. Ini menjadi
salah satu indikator tentang kurangnya kesadaran terhadap masalah tersebut.
Unhrk kasus Ameri ka Serikat, Etzioni ( 1 993) melaporkan, selama 20
tahun, yakni dari 1965 hingga 1985, curahan waktu orangtua untuk anaknya
berkurang sebanyak harnpir 50%, yakni dari rata-rata 30 jam menjadi 17 jam
per minggu. Asuhan anak diserahkan kepada pusat-pusat asuhan (child-care
centres). Ymg merisaukan ahli sosiologi dan psikologi perkembangan di
negeri ini adalah dampak negatif kecenderungan ini terhadap perkembangan
anak. Mereka mulai mengaitkan perilaku sosial menyimpang anak dengan
pergeseran pola asuhnn ini. Pemisahan anak dari orangtua menyebabkan
emotional and psychological bonding and attachment antara anak dan
orangtua tidak sehat. Anak yang mengalami pemisahan mungkin secara fisik
tumbuh normal, tetapi secara psikologis tidak matang. Mencermati
kecenderungan ini, Ziglen
mengemukakan bahwa We are cannibalizing
children. Children are dying in the system, never mind achieving optimum
development (Etzioni, 1993).
Schickedanz (1995) mengaitkan pergeseran pola asuh ini dengan
rendahnya prestasi akademik anak Amerika dibandingkan dengan sebayanya
dari Jepang dan C h i . Dia mengajurkan agar kita berhenti rnenyalahkan
sekolah, karena prestasi akademik anak rendah: "... even though school and
teacher eforts are extremely important, conditions outside of schools hold the
key to increasing academic achievement substantially."
Stevenson
menguatkan pendapat itu dengan mengemukakan bahwa rendahnya prestasi
akademik anak h a m ditelusuri dari sumber lain di luar sekolah. Surnber lain
itu adalah parental factors, yakni pola muh orangtua dalarn keluarga
(Schickedanz, 1995).
Tumbuhkembang Anak
Konsep hunbuhkembang merupakan perpadurn antara konsep
pertumbuhan dan perkembangan. Secara ilmiah, dua konsep ini mempunyai
pengertian yang sangat berbeda, tetapi karena saling krkaitan, penyebutannya
kerap disatukan. Sebagai panduan awal untuk elaborasi teoretik kajian ini,
perbedaan konseptual yang dikembangkan oleh Myers ( 1 992) dikemukakan
dalam bagian ini. Dia mengemukakan bahwa
size." Pe-buhan
"... to grow is to increase in
lebih mudah diamati dm dapat langsung diukur daripada
perkembangan (S atoto,
1 990). Status gizi
dijadikan peubah proxy
pertumbuhan. Ukuran-ukuran yang dikembangkan lebih mudah diaplikasikan.
Salah satu alat ukur yang umum digunakan adalah indeks antropometri, seperti
berat badan menurut umur atau BBm, panjang badan menurut umur atau
PBAJ, dan berat badan menurut tinggi badan atau BB/TB.
Konsep perkembangan lebih rumit lagi. Ia merujuk pada pembahan
kompleksitas dan fungsi. Myers (1 992) mengemukakan bahwa
"...
child
akvelopment is process of change in which the child learns ro handle ever
more complex levels of moving, thinking, feeling, and relating to others." Ia
mencakup empat aspek, yakni aspek motorik: kemampuan bergerak dan
mengkoordinasi gerakan; aspek mental atau kognitif: kemampuan berfdcir dan
h a l a r ; aspek emosional: kemampuan merasakan; aspek sosial: kemampuan
berhubungan dengan orang lain.
Kajian tentang gizi sendiri sebagai salah satu indikator perhmbuhan
anak mengalami pergeseran perspektif. Awalnya, pandangan secara klinis
sangat dorninan. Tetapi sekarang sudah bergeser ke aspek pengetahuan, sosial
budaya, dan keperilakuan (Sanjur, 1982). Bahkan dari ternuan penelitian,
masalah gizi mulai dikaitkan dengan perm penting "keayahbundaan" orangtua
dalam keluarga (UNICEF dalam Engle ef al., 1997).
Sarna halnya dengan kajian tentang pertumbuhan anak, kajian tentang
perkernbangan anak juga sudah lama dilakukan, dan secara teoretik mengalami
p e r g e s m yang evolusioner. Secara teoretik, penjelasan perkembangan anak
bergeser dari determinisme biologik, determinisme lingkungan, ke kombinasi
keduanya (Salkind, 1985; Hoffman et a/.,1994). Bronfenbrenner (1 979)
memberi tekanan pada lingkungan keluarga sebagai ekologi perkembangan
yang utama, dimana orangtua sebagai socialization agent yang paling penting.
Temuan Rohner (1986) mengungkap satu fakta penting tentang perkembangan
anak, yakni faktor intervening developmental process; sebuah faktor yang
memungkinkan dilakukannya pencegahan dampak negatif "keayahbundaan"
yang tidak sehat terhadap perkembangan anak.
Baik pergeseran teoretik yang terjadi ddam kajian gizi (pertumbuhan)
maupun perkembangan memberi tekanan yang amat penting pada peranan
institusi keluarga dan salah satu fungsi strategisnya, yakni "keayahbundaad'
atau parenting. Dengan kata lain, keluarga diposisikan sebagai wadah utama
tumbuhkembang anak.
Pikunas (1976) mengemukakan bahwa ada banyak meliu, lingkungan
atau setting yang mempengaruhi perkernbangan manusia. Semua setting ini
memberi pengaruh dan tekanan pada anak melalui lingkungan clan orang-orang
lain terdekat, yakni orangtua. Kemudian, berdasarkan keterampilan, motivasi,
nilai-nilaikultural dan sosial yang dianut, dinamika dan sumberdaya keluarga,
orangtua mengeIola pengamh itu menjadi sebuah respon yang disebut
"keayahbundaan." Respon yang sehat terjadi bila ia lebih baik daripada
pengaruh lingkungan. Dengan kata lain, bagaimana orangtua mengelola semua
potensi dan pengaruh internal dan eksternal menjadi respon "keayahbundaan"
yang sehat
dan menjadikan keluarga sebagai institmi yang kondusif &an
sangat menentukan optimasi tumbuhkembang anak. Tentang
strategisnya
keluarga sebagai institusi utarna dan pertama bagi an&-anak, Hogg (2004)
mengemukakan bahwa,
"Pada mulanya dunia anak-anak masih kecil, terbatas pada keluarga dan
orangtuanya. Ji ka lingkungan pertama ini man, ri Ieks, positif,
memungkinkan anak-an& untuk menjelajah dan bereksperimen, orangorang di dalarnnya bisa diandalkan, maka mereka akan lebih siap
menghadapi lingkungan yang lebih luas."
Konsep "bisa diandalkan" pada kutipan di atas mengandung banyak arti
yang berkaitm dengan keterarnpilan "keayahbundaan." Salah satu di antaranya
keterampilan melaksanakan tugas perkembangan sesuai dengan usia
&ah
atau fase turnbuhkembang anak. Sebagai contoh, ketika anak berusia 0 - 18
bulan tugas perkembangan yang hams dilewati adalah apakah saya dapat
mempercayai dunia atau segala sesuatu di luar saya? Psychosocial crisis yang
diadapi pada fase ini adalah antara frust and mistrust (Erikson, 1984). Orang
lain terdekat pada fase ini adalah Ibu, atau orang lain yang menjadi
representasi Ibu (alternative caregiver).
Dalam teori bonding atau attachment, respon orangtua dalam
menghadapi krisis tersebut adalah satu di antara dua aiternatif di bawah ini.
1. Marnpu dan terampil memberikan kelekatan yang aman (warm and
responsive care), sehingga anak berhasil melewati krisis itu;
2. Atau, orangtua j usteru mefakukan avoidant dm unsecured attachment,
sehingga anak kurang atau bahkan tidak berhasil melewati krisis
tersebut.
Kalau yang pertama yang mampu diberikan oleh orangtua (Ibu), maka
anak akan berhasil rnelewati krisis itu.
Orrtpuhya adalah
anak rnerasa aman,
percaya terhadap segala sesuatu yang ada di luar dirinya dan memiliki perspesi
(perasaan) bahwa dunia merupakan tempat yang positif.
Dalam teori bonding dan atrachrnent, pemaan percaya (trust)
merupakan faktor yang sangat penting bagi terciptanya persepsi pada anak
bahwa dunia dan lingkungan selain dirinya merupakan tempat yang aman,
yang
merupakan modal strategis bagi anak untuk mengeksplorasi alam
sekeliling dan berhubungan dengan orang lain; sebuah perkembangan yang
sangat penting bagi perkembangan berikutnya seperti otonomi dan rasa
percaya diri. Bowbly mengemukakan bahwa bonding atau attachment antma
an&
dan orangtua juga merupakan satu jenis sistem keperilakuan yang
diiembangksn untuk kelestarian perkembangan organisme (Salkind, 1 985;
Karen, 1990; Hoffman et al., 1994). Yang dimaksud dengan attachment di sini
adalah ikatan sosial yang primer (the primary social bonding) yang terjalin
antam anak dm orangtua (caregiver) dm yang memberikan keamanan
emosional kepada anak.
Temuan ini memperluas basis teoretik awalnya, yakni teori survival for
the $nest Darwin. Tetapi temuan hi sekaligus menjadi awal gugurnya
keyakinan Gessel terhadap peran utama faktor biologik sebagai determinan
utama perkembangan manusia Menurut Skeels dan Dye, keyakinm ini tidak
realistik karena didasarkan pada asumsi bahwa lingkungan tempat anak
berkembang bersifat normal (Karen, 1 990). Padahal proses perkembangan an&
tidak berlangsung Mam suasana vakum (Bigner, 1979). Dengan kata lain,
organisme (manusia) bisa survive bukan hanya karena kemarnpuan
biologiknya untuk berkompetisi dengan sesamanya, tetapi juga dengan
membina kedekatan dan ikatan dengan orang lain. Untuk kasus anak, orang
lain itu adalah orangtuanya.
Karen (1990) mengemukakan bahwa kedekatan orangtua dengan mak
memberikan pengalaman emosional dan lingkungan yang man, yang
membuat anak mempersepsi dunia sebagai tempat yang arnan dan positif.
Pengalaman kedekatan positif akan membuat anak percaya diri, sehingga
mereka mampu mengeksplorasi lingkungan, membina hubungan sehat dengan
orang lain dan rnampu menangani keragamm. Ainsworth melalui metode
Strange Situation membagi attachment ke dalam tiga kelompok, yakni secure
attached, insecurely attached dan avoidant attached (Karen,
1990;
Schickedanz, 1995). Secure infant menggunakan orangha, terutama Ibunya,
sebagai agent atau basis rasa ingin tahu atau untuk mengeksplorasi Iingkungan.
Kedekatan, kehangatan, dan kepekaan orangtua terhadap anak me numb^
persepsi positif pada diri anak bahwa dunia atau lingkungan merupakan tempat
arnan, sehingga mereka bebas mengeksplorasi lingkungan dan berhubungan
dengan orang lain ("... responsive mother provides a secure base"). Ainsworth
menambahkan, rasa arnan memungkinkan mak untuk bergerak memahami
lingkungan, belajar darinya dm mendapatkan keterampilan untuk mengatasi
apa saja yang dia hadapi di luar (Karen, 1990). Dia juga mengemukakan
bahwa,
"...young children securely attached to their parents are the ones most
likely to comply with farnib rules. n e s e children actively seek and
accept the adult's guidance. In this sense, secure chil&en obey
voluntarily #om within the relationship, rather than out of coercion
fear.
"
Temuan Ainsworth menggugurkan pandangan sebelumnya, yang
menyatakan kedekatan menciptakan ketergantungan (Karen, 1990). Dia
mengemukakan bahwa kedekatan, kehangatan, dm ''keayahbundaan" yang
peka tidak menciptakan ketergantungan, tetapi kemandirian ("... it liberates
and enable autonomy"). Ainsworth menganggap secure attachment dianggap
sebagai strategi "keayahbundaan" yang memungkinkan anak untuk otonom,
ingin tahu dan memacu perkembangan kognitif, emosional anak, serta
mensernaikan mentalitas kepekaan dan kerjasarna (Karen, 1 990). Justeru anak
yang berada dalarn kondisi anxiously attachment tidak marnpu mengeksplorasi
lingkungan dan berhubungan dengan orang lain. Dia sangat Iengket (cling)
dengan orangtua, terutarna Ibunya.
Dalarn eksperimen yang dilakukan oleh Ainsworth, anriozcs& attached
child menangis ketika dipisafikan dari Ibunya dan tetap menangis ketika
Ibunya ada kembali. Sebaliknya, avoihnt attached child memperlihatkan
kemandiian yang ekstrem. Ia tidak menangis ketika dipisahkan dari Ibunya
clan ucuh ketika Ibunya dihadirkan kembali. "Keayahbundaan" seperti ini
menekankan
individual
autonomy,
yang
merupakan
paradigma
"keayahbundaan" di negara Barat (Megawangi, 1993). Paradigma ini sangat
meyakini otonomi individual merupakan karakter utama manusia modern.
Tetapi Damon menyanggah pendapat itu, dengan mengemukakan bahwa tidak
banyak bukti ilmiah mendukung pandangan itu (Megawangi, 1 993). Justeru
sinergi dan kesalingbergantungan oleh Naisbitt ( I 996) dan Covey ( 1994)
dianggap sebagai karakter kepribadian tertinggi dalam perkembangan
kepribadian manusia, sedangkan kemandirian merupakan tahrtpan menengah.
Pye rnenarnbahkan, kebudayaan y ang mementingkan keding-
bergantungan akan sangat efektif, karena individu yang merasa berada &lam
lindungan kelompoknya akan kreatif dalarn memajukan kelompoknya,
sedangkan kebudayaan yang mementingkan kemandirian individual
mendorong an&
akan
menjadi anarkis, selalu merasa paling benar dan Iebih
mementingkan s e u daripada reZatiunsh@ (Megawangi, 1 993). Pada tataran
makro, Ketcham mengemukakan bahwa sikap kesaling-berganhmganjusteru
berandil besar pada pembangunan sosial ekonomi dan SDM (Megawangi,
1993).
Megawangi (1993) menegaskan, sikap kebersamaan dm saling
ketergantungan antarindividu akan membawa individu merasa aman. Rasa
m a n ini akan membuat manusia merasa bebas dari tekanan-tekanan, sehingga
dapat mendorong individu untuk bertindak kreatif. Pembentukan sikap-sikap
seperti ini h a m dimulai di dalam kelwga.
Kaidah seperti ini juga berlaku untuk Mapan perkembangan
berikutnya. Sebagai contoh, fase kedua (early childhood) dan ketiga (play
age), menurut teori Freud, merupakan periode yang sangat kritis, karena anak
dapat memahami dm menyerap stimulus dari lingkungan, terutama orangtua
(Salkind, 1985). Orangtua lebih dorninan pada fase ini daripada hanya Ibu
(mothering). Ruben (1988) mengemukakan bahwa pada periode kritis ini
sosialisasi dan cara berkomunikasi orangtua dengan anak sangat berpengaruh
terhadap pembentukan perilaku dm kepribadian anak. Masalahnya adalah,
mampu clan terarnpilkah orangtua berinteraksi dan berkomudasi secara sehat
dengan
anaknya?
Atau,
mampukah
orangtua
menunaikan
tugas
perkembangannya untuk mendukung tugas perkembangan anak?
Teori kedekatan positif di atas memiliki implikasi praksis yang
strategis. Pertama berkaitan dengan persoalan
berapa jam yang hams
dicurahkan oleh orangtua dan Ibu Wlususnya untuk dan bersama anak. Dengan
kata lain, berapa jam
orangtua hams
rnenyisihkan waktu
untuk
"keayahbundaan"? Di Amerika Serikat, seperti dikemukakan oleh Etzioni
(1 993), persoalan ini menjadi isu yang kritis dalam seluruh kehidupan mereka,
sehingga Wexler mengemukakan bahwa "... the great test for American
Society will be this: Whether we are capable of caring and sacrificing for the
future of children" (Etzioni, 1993).
Kedun, teori kedekatan positif sedang mengalami benturan dengan
feminisme, yang menganggap teori ini secara tidak langsung menyarankan a
stay-at-home role bagi perempuan atau Ibu (Etzioni, 1993). Untuk kasus
negm Jepang, hasiI kajian Imamura (199 1) rnenggugurkan anggapan bahwa
keterlibatan perempuan, Ibu khususnya, da1a.m s e b r publik bertentangan atau
bahkan mengalahican "keayahbundaan": It is likely that women will continue to
sustain traditional Japanese values while preparing their children and
adjmting themselves to new economic realities. Jadi, partisipasi perempuan di
sektor publik ti&
ditafsirkan dalarn konteks pembebasan perempuan dari
peran keibu-rumahtanggaan, seperti yang menjadi pilar gerakan feminisme di
Barat. Menurut Dizard dan Gddin motivasi untuk semata pemenuhan
pengembangan diri sendiri dari partisipasi perempuan dalam sektor publik
akan membentuk lingkungan atau ekologi tumbuhkembang anak dalam
keluarga yang tidak kondusif (Myers, 1 992).
Keterarnpilan "Keayahbundaan" dan Perkembangan Anak
Beberapa istilah memiliki arti harnpir sama dengan konsep
"keayahbundaan," seperti caring, rearing, socializabion, mothering dan
fathering. Penelitian ini berfokus pada asuhan (caring) yang dilakukan oleh
Ibu dan Ayah dalam institusi keluarga. Asuhan yang dilakukan oleh Ibu
disebut mothering, dan oleh Ayah disebut fathering. Kombinasi keduanya
disebut "keayahbundaan," yakni seluruh aktivitas yang berorientasi pada
pemenuhan hak tumbuhkembang anak. la menyangkut, kesadaran, perilaku,
dan keterarnpilan orangtua dalarn rnelakukan aktivitas-aktivitas itu.
Klasifikasi parenting menjadi mothering dm fathering ada kaitannya
dengan pergeseran "keayahbunbn" dalarn keluarga dm munculnya ideologi
fatherhood, yakni sebuah ideologi yang menyadari pentingnya kehadiran ayah
secara fisik, psikologis, dan emosional dalarn proses tumbuhkembang anak.
Shapiro (2003) mengemukakan bahwa kini semakin sulit ditemukan
pembagian Ayah dm 1bu seketat yang pernah dulu kita yakini. Ayah dapat
berperan pada aktivitas apa saja sesuai kesepakatan bersarna. 13anyak mitos
peran Ayah dalarn keluarga sekarang mulai didekonstruksi seperti mitos
pendisiplinan anak hanya tugas ayah, mengganti popok monopoli urusan Ibu,
tugas Ayah mendidik anak laki-laki, dan sikap I bu mempengaruhi janin.
Dalam
banyak
bahan
pustaka
diperkenalkan
ragarn
model
"keayahbundaan." Becker mengajukan model tiga dimensi "keayahbundaan"
(Schikendanz,
1995).
Dimensi
perkma
disebut
serba
tak
boleh
(restrictiveness) dm serba boleh (permissiveness). Dimensi ini membentuk
sebuah kontinum pada sumbu aksis horisontal. Dia mengemukakan bahwa
perilaku serba tidak boleh menunjukkan penggunaan kekuasaan orangtua d m
penekanan pada kepatuhan dengan sejumlah aturan-aturan main - sebagai alat
kontrol -- yang sudah ditetapkan untuk dipatuhi oleh anak.
Dimensi kedua adalah warmth-hostility yang merentang membentuk
sebuah kontinum pada sumbu aksis vertikal. Warmth behavior menunjukkan
sikap kasih sayang (tenderness), hangat, afektif, memberi penjelasan dalarn
membatasi aktivitas anak. Omgtua dalarn perilaku ini juga sangat kurang
menggunakan hukuman fisik.
Dimensi ketiga adalah anxiom emotional involvement-calm detachment.
Perilah yang anxious e m o t i o d involvement ditandai oleh "keayahbundaan"
yang cuek dm kurang memkrikan perhatian yang memadai terhadap
kebutuhan anak. Sebaliknya, perilaku yang calm detachment cenderung
melindungi secara agak berlebihan dengan tingkat keserbabolehan yang tinggi.
Selain tiga dimensi tersebut, model ini juga mengajukan beberapa
model "keayahbundaan," seperti perilaku demokratik, yakni perilaku yang
tinggi tingkat keserbabolehan, kehangatan, dan calm defacfment-nya.Perilaku
autoritarian addah perilaku yang tinggi aspek permusuhan (hostiIity),
keserbatakbolehan, dan kecuekannya, sedangkan perilaku melindungi adalah
perilaku yang tinggi kehangatannya, tetapi sangat rendah aspek kecuekan dan
keserbatakbolehannya.
Baumrind mengemukakan tiga perilaku "keayahbundaan," yalcni
authoritative, authoritarian, dan permissive parenting (Munn, 1974;
Schikendanz, 1995). Tiga perilaku ini dikaitkan dengan aspek kehangatan
(warmth atau nwtwunce), kontrol dm kematangan. Menurut Baumrind,
perilaku yang autoritatif tinggi aspek kehangatan, kontrol dan kematangannya.
Sebaliknya, perilaku yang permisif, sangat tinggi aspek kehangatannya, tetapi
sangat rendah aspek kontrol dan kematangannya, sedangkan perilaku
autoritarian sangat tinggi kontrolnya, tetapi rendah kehangatannya. Perilaku
autoritatif dan autoritarian sarna-sama tinggi aspek kontrolnya. Tetapi menurut
Baumrind, keduanya berbeda dalam pelaksanaan kontrol. Pada periIaku
autoritatif, orangtua selalu memberi alasan mengapa mereka melarang atau
menuntut sesuatu, dan menunjukkan dampak akibat perilaku an&. Orangtua
juga memberi kesempatan kepada anak untuk mengajukan pandangannya.
Perilaku permisif terlalu memanjakan dan melindungi anak, sehingga
anak terlambat perkembangan kemandiriannya dan selalu bergantung kepada
orangtua. Menurut Shafer, pola "keayahbundaan" seperti ini &an membuat
anak cepat menyerah, taklik dan selalu minta izin sebelurn metakukan sesuatu
@a&man, 2000). Apabita palindungan diberikan berlebihan, maka anak tidak
kreatif, tidak agresif dalarn mematuhi aturan, dm bahkan tidak mudah
bemhabat atau mengembangkan hubungan dengan orang lain.
Menurut Baumrind, "keayahbundaan" yang sehat adalah perilaku yang
autoritatif. Megawangi (1993; 2000) mengemukakan bahwa orangtua yang
mampu menerapkan perilaku hi akan dapat mengarahkan anaknya dengan
efektif, yakni mampu dengan persuasif mendorong maknya berbuat baik, bisa
menetapkan dan menegakkan aturan yang jelas, yang disampaikan secara
komunikatif, sehingga anak menjadi lebih peka, mudah mengontrol
tindakannya dm menghargai peraturan, sedangkan orangtua yang menerapkan
perilaku yang autoritarian lebih menekankan kekuasaan, sehingga anak
menjadi takut. Ini kemudian akan rnengharnbat kreativitasnya.
Hasil penelitian Baumrind menunjukkan bahwa anak yang dididik