Pola Asuh Orangtua Difabel Terhadap Anak Yang Normal (Studi Deskriptif: Pada Keluarga Pasangan Tunanetra Yang Bekerja Sebagai Tukang Pijat di Kelurahan Sei Sikambing D Medan).

(1)

    Skrips  (         si  P

(Studi deskri

POLA ASUH O

iptif: Pada Ke

F

ORANGTUA 

eluarga Difab Si

Be

DEPA

FAKULTAS ILM

UNIVER

DIFABEL TER

bel Yang Bek kambing D M

Di susun Oleh : rtha Meka H

07090106

 

ARTEMEN SO

MU SOSIAL D

RSITAS SUMA

MEDAN

2011

RHADAP ANA

kerja Sebaga Medan) 

Hutauruk 

60 

OSIOLOGI 

DAN ILMU PO

ATERA UTARA

N  

AK YANG NO

ai Tukang Pija

OLITIK 

ORMAL 


(2)

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui oleh :

Nama : Berha Meka Hutauruk

NIM : 070901060

Departemen : Sosiologi

Judul : POLA ASUH ORANGTUA DIFABEL TERHADAP ANAK YANG NORMAL

(Studi deskriptif: Pada Keluarga Difabel Yang Bekerja Sebagai Tukang Pijat di Kelurahan Sei Sikambing D Medan)

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

(Dra. Linda Elida, M.Si) (Dra. Lina Sudarwati, M.Si) NIP. 131967683 NIP. 19660318 198903 2 001

Dekan

(Prof. Dr. Badaruddin, M.Si) NIP. 19680525 199203 1 002


(3)

ABSTRAK

Keluarga adalah kelompok primer yang terpenting dalam masyarakat. Secara historis terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan organisasi terbatas, dan mempunyai ukuran yang minimum, terutama pihak-pihak yang pada awalnya mengadakan suatu ikatan. Keluarga dapat didefenisikan sebagai suatu kelompok kecil yang disatukan dalam ikatan perkawinan, darah, ataupun adopsi. Merupakan susunan rumah tangga sendiri, berinteraksi, dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan social bagi suami istri, ayah, ibu, putra, putri, yang menganut budaya-budaya yang sama. Dengan demikian keluarga mempunyai system jaringan interaksi yang lebih bersifat hubungan inpersonal, dimana masing-masing anggota keluarga dimungkinkan mempunyai hubungan satu dengan yang lain. Misalnya antara ayah dan ibu, ibu dan anak, ayah dan anak, maupun antara anak dengan anak. Dan keluarga pada dasarnya merupakan suatu kelompok yang terbentuk dari suatu hubungan seks yang tetap, untuk menyelenggarakan hal-hal yang berkenan dengan keorangtuaan dan pengasuhan anak.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan studi deskriptif. Dalam hal ini data dikumpulkan dengan menggunakan beberapa metode pengumpulan data berupa observasi, wawancara mendalam, dokumentasi, dan penelusuran secara online kemudian data-data dan informasi yang telah diperoleh dari lapangan diinterpretasikan dan dianalisis sehingga mendapatkan kesimpulan.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan sampai kepada interpretasi dan analisis data dapat diketahui bahwa orangtua difabel bukanlah termasuk kdalam golongan orang cacat, namun termasuk kedalam golongan orang dengan kemampuan berbeda. Sebab kekurangan yang dimiliki pada indera penglihatan dapat digantikan oleh indera lain. Meskipun orangtua dfabel memiliki kekurangan, namun orangtua tetap melakukan fungsinya didalam keluarga dengan baik yaitu fungsi afeksi, fungsi perlindungan, dan fungsi sosialisasi melalui pendidikan. Orangtua difabel yang bekerja dan bertempat tinggal di Kelurahan Sei Sikambing D Medan menerapkan gaya pola asuh yang dikombinasikan antara tipe Authoritative Parenting Style dengan Authoritarian Parenting Style. Hal ini dibuktikan dengan pola asuh yang orangtua difabel berikan tidak hanya dengan keputusan mutlak yang memaksa anak, tetapi juga memberikan kepada anak kebebasan yang terkontrol dan sesuai norma-norma.


(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur yang teramat dalam Penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus sang Juruselamat yang selalu memberikan Pertolongan dan Kasih Karunia serta Kekuatan yang tidak terhitung kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul: “POLA ASUH ORANGTUA DIFABEL TERHADAP ANAK YANG NORMAL (Studi Deskriptif: Pada Keluarga Pasangan Tunanetra Yang Bekerja Sebagai Tukang Pijat di Kelurahan Sei Sikambing D Medan)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak keterbatasan, dalam penyelesaian skripsi ini, penulis juga mengucapkan terima kasih banyak terhadap segala pihak yang telah membantu dan selalu memberikan dukungan sampai akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Kedua orang tua saya Bapak H. Hutauruk dan Mama R. Silalahi dan untuk abangku Herry Hutauruk S.Kom yang selalu mendoakan, pengorbanan serta memberikan nasehat kepada saya mulai dari awal perkuliahan sampai pada penulisan skripsi ini.

2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, selaku Ketua Departemen Sosiologi.

4. Ibu Linda Elida, S.Sos, M.Si selaku dosen pembimbing yang selalu menyediakan waktu dan memberikan bimbingan, saran serta sumbangan pemikiran dan ide-ide dalam penulisan skripsi ini sehingga penulisan skripsi ini berjalan dengan lancar.


(5)

5. Seluruh staf pengajar Departemen Sosiologi, Pak Junjungan, Pak Henry, Buk Lina, Buk Ria, Pak Sismudjito, Pak Rizabuana, Pak Muba, Buk Marhaeni, Buk Rosmiani, Bang Bisruhanafi, Pak Syahrul Humaidi (statistika), Kak Feny dan Kak Betti terimakasih penulis ucapkan atas segalanya.

6. Seluruh staf pengajar FISIP USU terimakasih buat semuanya.

7. Kepada seluruh keluarga penulis yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu terimakasih atas segala doa dan motivasinya.

8. Kepada seluruh staf birokrasi Kelurahan Sei Sikambing D Medan, yang memberikan izin bagi penulis dalam melakukan penelitian.

9. Kepada seluruh informan yang telah memberikan waktu dan dengan baik menerima penulis dalam meneliti di Kelurahan Sei Sikambing D Medan.

10. Kepada abang dan kakak senior stambuk 06,05,04,03, terimakasih atas motivasinya.

11. Kepada teman-teman seperjuangan Departemen Sosiologi Stambuk 2007 Uberallez: Jefri, Martin, Dini, Ester, Lia, Romaito, Putri, Helen, Sari, Leo, Ninda, Ayu, Neko, Santi, Irna, Evi, Lona, Rini, Mutiara, Suryani, Martogi, Nanda, dan semuanya teman-teman seperjuangan yang sudah selalu memberikan semangat buat penulis.

12. Kepada adik-adik Stambuk 2008 Uberallez: Yola, Santi, Robby, Irma, Hesty, Silky, Virna, Lusi, Lia, Riama, Salmen, Vani, Pipit, Wistin, dan semuanya adik-adik junior yang sudah memberikan support buat penulis.

13. Kepada Rio Pardamean Purba, S.Sos terimakasih atas doa, dukungan, dan semangat yang selalu diberikan.


(6)

14. Kepada teman-teman SMA Methodist 1 Medan: Angel, Jesica, Steven, Frans. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih penuh dengan kekurangan dan jauh dari kesempurnaan yang disebabkan oleh keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh penulis. Dengan kerendahan hati penulis selalu mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun.

Medan, September 2011 Penulis

(BERTHA MEKA HUTAURUK)


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Persetujuan

Lembar Pengesahan

ABSTRAK ………...………...…………... i

KATA PENGANTAR …...………...………... ii

DAFTAR ISI .………...………..………...…. v

DAFTAR TABEL ..……….………... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ....………...…...………... 1

1.2. Perumusan Masalah ....………...……... 5

1.3. Tujuan Penelitian ....………...………...…….. 5

1.4. Manfaat Penelitian ....………..………... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka ………...…………...…... 7

2.1.1. Teori Peran (Role Theory) ………...…………... 7


(8)

2.1.3. Sosialisasi Primer dan Sosialisasi Sekunder .………....……... 9

2.1.4. Proses Sosialisasi ... 9

2.1.5. Agen Sosialisasi ..………...………... 11

2.1.6. Tipe Sosialisasi ..………...………...…... 11

2.1.7. Pola Sosialisasi .………...……...….... 12

2.1.8. Peran dan Fungsi Keluarga ... 12

2.1.9. Pola Asuh Orangtua ... 19

2.2. Difabel dan Tunanetra ... 24

2.2.1. Klasifikasi Tunanetra ... 26

2.2.2. Faktor Penyebab Tunanetra ... 29

2.3. Defenisi Konsep ... 30

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ………...………...……... 31

3.2. Lokasi Penelitian ………...…...…... 31

3.3. Unit Analisis dan Informan ………...…...…...…... 32

3.4. Teknik Pengumpulan Data ………...……...…... 33


(9)

3.6. Jadwal Penelitian ...………...…………. 36

BAB IV DESKRIPSI WILAYAH DAN PROFIL INFORMAN

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ………...………...……….... 37

4.1.1. Lokasi dan Keadaan Penduduk ...…………...…... 37

4.2. Data Pribadi Informan ...………...……….…………... 42

4.2.1. Profil Keluarga Dengan Orangtua Difabel Yang Bekerja Sebagai Tukang

Pijat ... 42

4.3. Interpretasi Data ……… ………...……... 54

4.3.1. Karakteristik Orangtua Difabel dan Pengaruhnya Atas Pola

Asuh Terhadap Anak Yang Normal …...…...…………... 54

4.3.2. Tingkat Pendidikan Orangtua Difabel Serta Pengaruhnya Terhadap Pola

Asuh Yang diberikan Kepada Anak …...………... 58

4.3.3. Latar Belakang Budaya Orangtua Difabel Serta Pengaruhnya Terhadap Pola

Asuh Yang diberikan Kepada Anak ... 61

4.3.4. Pola Asuh Didalam Keluarga Difabel ... 63

4.3.5. Peran Yang Dilakukan Orangtua Difabel Tukang Pijat ... 74 4.3.6. Fungsi Keluarga Oleh Orangtua Difabel Terhadap Anak Yang Normal ... 77 4.3.7. Hubungan Orangtua Dengan Pribadi Anak ... 80


(10)

4.3.8. Perilaku Anak Yang Norma ... 83

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan ... 85

5.2. Saran ... 87

DAFTAR PUSTAKA ... 88


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jadwal Penelitian ... 36

Tabel 2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 38

Tabel 3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pekerjaan ... 39

Tabel 4. Komposisi Tukang Pijat Tunanetra Berdasakan Jenis Kelamin ... 40

Tabel 5. Komposisi Tukang Pijat Tunanetra Berdasarkan Agama ... 41

Table 6. Komposisi Tukang Pijat Tunanetra Berdasarkan Etnis ... 41


(12)

ABSTRAK

Keluarga adalah kelompok primer yang terpenting dalam masyarakat. Secara historis terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan organisasi terbatas, dan mempunyai ukuran yang minimum, terutama pihak-pihak yang pada awalnya mengadakan suatu ikatan. Keluarga dapat didefenisikan sebagai suatu kelompok kecil yang disatukan dalam ikatan perkawinan, darah, ataupun adopsi. Merupakan susunan rumah tangga sendiri, berinteraksi, dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan social bagi suami istri, ayah, ibu, putra, putri, yang menganut budaya-budaya yang sama. Dengan demikian keluarga mempunyai system jaringan interaksi yang lebih bersifat hubungan inpersonal, dimana masing-masing anggota keluarga dimungkinkan mempunyai hubungan satu dengan yang lain. Misalnya antara ayah dan ibu, ibu dan anak, ayah dan anak, maupun antara anak dengan anak. Dan keluarga pada dasarnya merupakan suatu kelompok yang terbentuk dari suatu hubungan seks yang tetap, untuk menyelenggarakan hal-hal yang berkenan dengan keorangtuaan dan pengasuhan anak.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan studi deskriptif. Dalam hal ini data dikumpulkan dengan menggunakan beberapa metode pengumpulan data berupa observasi, wawancara mendalam, dokumentasi, dan penelusuran secara online kemudian data-data dan informasi yang telah diperoleh dari lapangan diinterpretasikan dan dianalisis sehingga mendapatkan kesimpulan.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan sampai kepada interpretasi dan analisis data dapat diketahui bahwa orangtua difabel bukanlah termasuk kdalam golongan orang cacat, namun termasuk kedalam golongan orang dengan kemampuan berbeda. Sebab kekurangan yang dimiliki pada indera penglihatan dapat digantikan oleh indera lain. Meskipun orangtua dfabel memiliki kekurangan, namun orangtua tetap melakukan fungsinya didalam keluarga dengan baik yaitu fungsi afeksi, fungsi perlindungan, dan fungsi sosialisasi melalui pendidikan. Orangtua difabel yang bekerja dan bertempat tinggal di Kelurahan Sei Sikambing D Medan menerapkan gaya pola asuh yang dikombinasikan antara tipe Authoritative Parenting Style dengan Authoritarian Parenting Style. Hal ini dibuktikan dengan pola asuh yang orangtua difabel berikan tidak hanya dengan keputusan mutlak yang memaksa anak, tetapi juga memberikan kepada anak kebebasan yang terkontrol dan sesuai norma-norma.


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 . Latar Belakang Masalah

Keluarga adalah kelompok primer yang terpenting dalam masyarakat. Secara historis terbentuk paling dari satuan yang merupakan organisasi terbatas, dan mempunyai ukuran yang minimum, terutama pihak-pihak yang pada awalnya mengadakan suatu ikatan. Keluarga dapat didefenisikan sebagai suatu kelompok kecil yang disatukan dalam ikatan perkawinan, darah, ataupun adopsi. Merupakan susunan rumah tangga sendiri, berinteraksi, dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan social bagi suami istri, ayah, ibu, putra, putri, yang menganut budaya-budaya yang sama.

Keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan seorang anak, tempat belajar segala sesuatu dan menyatakan diri sebagai mahluk sosial. Keluarga memiliki peran penting dalam pembentukan kepribadian seseorang. Dalam keluarga umumnya anak dan orang tua memiliki hubungan interaksi yang intim. Keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral dan pendidikan anak (Kartono, 1995:25).

Orang tua mempunyai berbagai macam fungsi seperti mengasuh, membimbing, memelihara dan mendidik anak-anaknya. Setiap orang tua pasti menginginkan anak-anaknya menjadi manusia yang pandai, cerdas, berakhlak dan berguna bagi semua orang. Akan tetapi banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa cara mereka mendidik membuat anak merasa tidak diperhatikan, dibatasi kebebasannya, bahkan ada yang merasa tidak disayangi oleh orang tuanya. Perasaan tersebut yang banyak mempengaruhi sikap, perasaan, cara berpikir bahkan kecerdasan mereka.


(14)

Mendidik anak dengan baik dan benar berarti menumbuhkembangkan totalitas potensi anak secara wajar. Potensi jasmaniah anak diupayakan pertumbuhannya secara wajar melalui pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmani, seperti pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan. Sedangkan potensi rohaniah anak diupayakan pengembangannya secara wajar melalui usaha pembinaan intelektual, perasaan dan budi pekerti.

Peran keluarga juga turut mempengaruhi terhadap pendewasaan seorang anggotanya. Hal ini sesuai dengan fungsi keluarga batih dalam didalam masyarakat. Keluarga batih merupakan kelompok dimana individu dapat menikmati bantuan utama dari sesamanya serta keamanan dalam hidup. Disisi lain, keluarga merupakan jembatan antara individu dengan kebudayaannya. Melalui keluarga, anak belajar mengenal nilai-nilai, peran sosial, norma-norma serta adat istiadat yang ditanamkan oleh orang tua. Praktik-praktik pengasuhan anak ini akan erat hubungannnya dengan kepribadian anak setelah menjadi dewasa. Hal ini karena ciri-ciri dan unsur watak seorang individu dewasa sebenarnya sudah diletakkan benih-benihnya ke dalam jiwa individu sejak awal, dari masih kanak-kanak. Watak juga ditentukan oeh cara-cara dia sewaktu kecil diajarkan makan, kebersihan, disiplin, main, dan bergaul dengan anak-anak lainnya. Pembentukan watak dan kepribadian ini juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain, misalnya keadaan ekonomi keluarga dan masyarakat setempat, lingkungan budaya yang berupa aturan-aturan, norma-norma, serta adat istiadat yang diwariskan secara turun menurun. Sehingga warisan ini memegang peranan yang sangat penting didalam membentuk tingkah laku.

Sosialisasi adalah cara yang pertama dilakukan orangtua dalam mendidik anak-anaknya. Istilah sosialisasi sebagai suatu konsep telah banyak didefinisikan oleh para ahli. Broom (1981) dalam Rohidi (1984) mengungkapkan pemikiran sosialisasi dari dua titik pandang yaitu masyarakat dan individual. Sosialisasi menurut sudut pandang masyarakat adalah proses


(15)

penyelarasan individu-individu baru anggota masyarakat ke dalam pandangan hidup yang terorganisasi dan mengajarkan mereka tradisi-tradisi budaya masyarakatnya. Dengan kata lain sosialisasi adalah tindakan mengubah kondisi manusia dari human-animal menjadi human-being untuk menjadi mahluk sosial dan anggota masyarakat sesuai dengan kebudayaannya.

Makna individual dari sosialisasi adalah merupakan suatu proses mengembangkan diri.. Sosialisasi memiliki fungsi untk mengembangkan komitmen-komitmen dan kapsitas-kapasitas yang menjadi prasyarat utama bagi penampilan peranan mereka di masa depan. Komitmen yang perlu dikembangkan ialah mengimplementasikan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat untuk menampilkan suatu peranan tertentu yang khusus dan spesifik dalam struktur masyarakat. Sementara kapasistas yang perlu dikembangkan dalam kemampuan atau keterampilan untuk menunjukkan kewajiban-kewajiban yang melekat dalam peran-peran yang dimiliki oleh individu yang bersangkutan dan kemampuan untuk hidup dengan orang lain yang memiliki harapan-harapan untuk saling menyesuaikan perilaku antara pribadi sesuai dengan peran-peran yang dimiliki.

Untuk menghasilkan karakter, kepribadian, dan akhlak anak maka diharapkan menggunakan cara sosialisasi yang baik. Karena sosialisasi merupakan proses belajar kebudayaan di dalam suatu system sosial tertentu. Sistem sosial berisikan berbagai kedudukan dan peranan yang terkait dengan suatu masyarakat dengan kebudayaannya. Dalam tingkat system sosial sosialisasi merupakan proses belajar mengenai nilai dan aturan untuk bertindak dan berinteraksi seorang individu dengan berbagai individu di sekitarnya dari masa kanak-kanak hingga masa tuanya.


(16)

Didalam sosialisasi terdapat interaksi sosial. Interaksi sosial menurut Bonner ( Ali 2004:66) merupakan suatu hubungan antara dua orang atau lebih individu, dimana tindakan seorang individu mempengaruhi perasaan, pikiran dan atau tindakan individu lain atau sebaliknya. Interaksi akan terjadi jika ada respon dari orang lain atas tindakan kita kepada orang lain. Melalui interaksi dengan orang lain, seseorang memperoleh identitas, mengembangkan nilai-nilai dan aspirasi-aspirasi. Artinya sosialisasi diperlukan sebagai sarana untuk menumbuhkan kesadaran diri. Bagi individu sosialisasi memiliki fungsi sebagai pengalihan sosial dan penciptaan kepribadian

Namun dalam kenyataannya tidak semua manusia yang ada didunia terlahir sebagai manusia normal. Ada manusia yang sejak lahir mengalami kecacatan atau pada masa pertumbugan mengalami kecacatan atau ketunaan secara fisik. Ketidaksempurnaan ini dapat menjadi masalah bagi orang-orang yang mengalaminya. Terutama individu yang sudah menjadi orangtua. Didalam keluarga yang memiliki orang tua difabel (memiliki kemampuan berbeda) dalam hal ini adalah penyandang cacat tunanetra akan memiliki cara atau metode yang berbeda dalam mendidik anak-anaknya, hal ini dikarenakan kekurangan fisik yang dimilikinya. Cara atau metode yang digunakan dalam mendidik dan membina anak sangat berpengaruh pada diri anak. Orang tua yang mengalami kemampuan yang berbeda atau difabel juga akan mendidik dan membina anak-anaknya agar menjadi individu yang baik di kemudian hari.

Keterbatasan orang tua yang difabel dalam hal ini penyandang cacat tuna netra tersebut menimbulkan keingintahuan saya untuk mengetahui apakah mereka kesulitan atau ktidak dalam memberikan pola asuh kepada anak-anaknya, terutama yang menjadi bahan penelitian adalah keluarga tunanetra yang bekerja sebagai tukang pijat. Maka sebab itu peneliti tertarik dan ingin mengetahui “bagaimana pola asuh orang tua difabel terhadap anak yang normal”.


(17)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

Bagaimana pola asuh orang tua difabel terhadap anak yang normal?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun yang diharapkan menjadi tujuan penelitian ini adalah:

Untuk mengetahui dan mendapatkan gambaran yang jelas mengenai pola asuh orang tua yang difabel dalam hal ini adalah penyandang cacat tunanetra terhadap anak yang normal di Kelurahan Sei Sikambing D.

1.4.Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.4.1 Manfaat Teoritis

Diharapkan dari penelitian ini dapat memberi informasi dan sumbangan kepada peneliti lain sebagai bahan perbandingan referensi dalam meneliti masalah yang mirip dengan peneliitian ini terutama dalam bidang ilmu Sosiologi, khususnya pada spesialisasi Sosiologi Keluarga.

1.4.2 Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis penelitian ini adalah:

1. Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan member pandangan mengenai pola asuh anak dan pemenuhan sosialisasi yang diberikan kepada anak yang normal oleh orangtua yang difabel yang bekerja sebagai tukang pijat di Kelurahan Sei Sikambing D Medan.


(18)

2. Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat memperoleh pemahaman yang baik mengenai pola pengasuhan anak normal oleh orangtua yang difabel yang bekerja sebagai tukang pijat di Kelurahan Sei Sikambing D Medan. 3. Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat melihat tipe pola asuh yang

dilakukan oleh orangtua yang difabel.

4. Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat melihat fungsi perlindungan, fungsi afeksi, dan fungsi sosialisasi yang dilakukan oleh orangtua yang difabel.


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kajian Pustaka

2.1.1. Teori Peran

Teori Peran menggambarkan interaksi sosial dalam terminology aktor-aktor yang bermain sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh budaya. Sesuai dengan teori ini, harapan-harapan peran merupakan pemahaman bersama yang menuntun kita untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Menurut teori ini, seseorang yang mempunyai peran tertentu misalnya sebagai pengacara, dokter, guru, orangtua, anak, wanita, pria, dan lain sebagainya, diharapkan agar seorang tersebut berperilaku sesuai dengan peran tersebut. Mengapa seseorang mengobati orang lain, karena dia adalah seorang dokter. Jadi karena statusnya adalah dokter aka ia harus mengobati orang sakit yang datang kepadanya. Perilaku ditentukan oleh peran social, kemudian sosiolog yang bernama Glen Elder (1975) membantu memperluas penggunaan teori peran. Pendekatannya dinamakan “life-course” memaknakan bahwa setiap masyarakat mempunyai harapan kepada setiap anggotanya untuk mempunyai perilaku tertentu sesuai dengan kategori-kategori usia yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Contohnya, sebagaian besar warga masyarakat Negara kita Indonesia akan menjadi murid sekolah ketika berusia lima atau enam tahun, menjadi peserta pemilu pada usia tujuh belas tahun, bekerja usia dua puluh tahun, dan pension usia lima puluh lima tahun. Urutan tadi dinamakan tahapan usia “age grading:.

Dalam masyarakat kontemporer kehidupan dibagi kedalam empat tahap, yaitu tahapa kanak-kanak, tahap remaja, tahap dewasa, dan tahap tua, dimana setiap tahap mempunyai bermacam-macam pembagian lagi.


(20)

2.1.2. Sosialisasi

Broom (1981) dalam Rohidi (1984) mengungkapkan pemikiran sosialisasi dari dua titik pandang yaitu masyarakat dan individual (Kamanto Sunarto 1993:27). Sosialisasi menurut sudut pandang masyarakat adalah proses penanaman atau tranfer individu-individu baru anggota masyarakat ke dalam pandangan hidup yang terorganisasi dan mengajarkan mereka tradisi-tradisi budaya masyarakatnya. Dengan kata lain sosialisasi adalah tindakan mengubah kondisi manusia dari human-animal menjadi human-being untuk menjadi mahluk sosial dan anggota masyarakat sesuai dengan kebudayaannya. Sedang arti individual, sosialisasi merupakan suatu proses mengembangkan diri. Melalui interaksi dengan orang lain, seseorang memperoleh identitas, mengembangkan nilai-nilai dan aspirasi-aspirasi. Artinya sosialisasi diperlukan sebagai sarana untuk menumbuhkan kesadaran diri. Bagi individu sosialisasi memiliki fungsi sebagai pengalihan sosial dan penciptaan kepribadian.

Sosialisasi memiliki fungsi untk mengembangkan komitmen-komitmen dan kapsitas-kapasitas yang menjadi prasyarat utama bagi penampilan peranan mereka di masa depan. Komitmen yang perlu dikembangkan ialah mengimplementasikan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat untuk menampilkan suatu peranan tertentu yang khusus dan spesifik dalam struktur masyarakat. Kemudian Berger mendefenisikan sosialisasi sebagai “a process by which a child learns to be a participant member of society” proses melalui dimana seorang anak belajar menjadi seorang anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat (Kamanto Sunarto 1993:27). Sejumlah sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory), karena dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran yang harus dijalankan oleh individu. Berdasarkan jenisnya, sosialisasi dibagi menjadi dua yaitu: sosialisasi primer (dalam keluarga) dan sosialisasi sekunder (dalam masyarakat).


(21)

2.1.3. Sosialisasi Primer dan Sosialisasi Sekunder

Sosialisasi primer didefenisikan Peter.L.Berger dan Luckman sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar menjadi anggota masyarakat (keluarga). Sosialisasi primer berlangsung saat anak berusia 1-5 tahun atau saat anak belum masuk sekolah. Anak mulai mengenal anggota keluarga dan lingkungan keluarga. Secara bertahap dia mampu membedakan dirinya dengan orang lain disekitar keluarganya. Dalam tahap ini, orang-orang yang terdekat menjadi sangat penting sebab seorang anak melakukan pola interaksi bersama orang terdekat dengannya. Warna kepribadian anak akan sangat ditentukan oleh warna kepribadian dan interaksi yang terjadi anatar anak dengan anggota keluarga terdekatnya. Berdasarkan jenisnya, sosialisasi dibagi menjadi dua: sosialisasi primer (dalam keluarga) dan sosialisasi sekunder (dalam masyarakat). (Kamanto Sunarto, 1993:23).

Sosialisasi sekunder adalah suatu proses sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi primer yang memperkenalkan individu kedalam kelompok tertentu dalam masyarakat. Salah satu bentuknya adalah resosialisasi dan desosialisasi. Dalam proses resosialisasi, seseorang diberi suatu identitas diri yang baru, sedangkan dalam proses desosialisasi, seseorang mengalami pencabutan identitas diri yang lama . (Kamanto Sunarto, 1993:31). 

2.1.4. Proses Sosialisasi

George Herbert Mead berpendapat bahwa sosialisasi yang dilalui seseorang dapat dibedakan melalui tahap-tahap sebagai berikut:

1. Tahap Persiapan (Prepatory Stage), tahap ini dialami sejak manusia dilahirkan, saat seorang anak mempersiapkan diri untuk mengenal dunia sosialnya, termasuk untuk


(22)

memperoleh pemahaman tentang diri. Pada tahap ini juga anak-anak mulai melakukan kegiatan meniru meski tidak sempurna.

2. Tahap meniru (Play Stage), tahap ini ditandai dengan sempurnanya seorang anak menirukan peran-peran yang dilakukan oleh orang dewasa. Pada tahap ini mulai terbentuk kesadaran tentang nama diri, nama orang tua, dan nama kakak atau abangnya, dan sebagainya. Anak mulai menyadari tentang apa yang dilakukan seorang ibu dan apa yang diharapkan seorang ibu dari anaknya. Dengan kata lain, kemampuan untuk menempatkan diri pada posisis orang lain juga mulai terbentuk pada tahap ini. Kesadaran bahwa dunia social manusia berisikan banyak orang mulai terbentuk. Sebagian dari orang tersebut merupakan orang-orang yang dianggap penting bagi pembentukan dan bertahannya diri, yakni dari mana anak menyerap norma dan nilai. Bagi seorang anak, orang-orang ini disebut orang-orang yang amat berarti.

3. Tahap siap bertindak (Game Stage) peniruan yang dilakukan sudah mulai berkurang dan digantikan oleh peran yang secara langsung dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuannya menetapkan diri pada posisi orang lain pun meningkat sehingga memungkinkan adanay kemampuan bermain secara bersama-sama. Anak mulai menyadari adanya tuntutan untuk membela keluarga dan bekerja sama dengan teman-temannya. Pada tahap ini lawan berinteraksi semakin banyak dan hubungannya semakin kompleks. Individu mulai berhubungan dengan teman-teman sebaya diluar rumah. Peraturan-peraturan yang berlaku diluar keluarganya secara bertahap juga mulai dipahami. Bersamaan dengan itu, anak mulai menyadari bahwa ada norma tertentu yang berlaku dikeluarganya.


(23)

4. Tahap penerimaan norma kolektif (Generalized Stage), pada tahap ini seseorang telah dianggap dewasa. Dia sudah dapat menempatkan dirinya pada posisi masyarakat secara luas. Dengan kata lain, ia dapat bertenggang rasa tidak hanya dengan orang-orang yang berinteraksi dengannya tetapi juga dengan masyarakat luas. Manusia dewasa menyadari pentingnya peraturan, kemampuan bekerja sama bahkan dengan orang lain yang tidak dikenalnya secara matang. Manusia dengan perkembangan diri pada tahap ini telah menjadi warga masyarakat dalam arti sepenuhnya.

2.1.5. Agen Sosialisasi

Fuuler dan Jacobs dalam (Kamanto Sunarto 1993:30-35) meengidentifikasikan lima agen sosialisasi utama yaitu keluarga, kelompok bermain, media massa dan sekolah. Agen sosialisasi adalah pihak-pihak yang melaksanakan atau melakukan sosialisasi. Dalam hal ini yang menjadi agen sosialisasi adalah orangtua difabel yang bekerja sebagai tukang pijat di Kelurahan Sei Sikambing D Medan.

2.1.6 Tipe Sosialisasi

Agar sosialisasi dapat berjalan dengan lancar tertib dan berlangsung terus menerus maka terdapat dua tipe sosialisasi yaitu sosialisasi formal dan sosialisasi informal. Sosialisasi formal adalah sosialisasi yang terbentuk melalui lembaga yang dibentuk oleh pemerintah dan masyarakat yang memiliki tugas khusus dalam mensosialisasikan nilai, norma dan peranan-peranan yang harus dipelajari oleh masyarakat. Artinya adalah sosialisasi formal yang diberikan oleh guru-guru disekolah.


(24)

Sosialisasi informal adalah sosialisasi yang terdapat dalam pergaulan sehari-hari yang bersifat kekeluargaan. Artinya sosialisasi yang diberikan oleh keluarga seperti dengan diskusi dan penanaman norma-norma baik yang ada dikeluarga maupun yang ada dimasyarakat. 

(http://sharenexchange.blogspot.com/2010/02/sosialisasi-masyarakat8061.html diakses tanggal 21-02-2011 pukul 09.44)

2.1.7. Pola Sosialisasi

Bronfrenbrenner, Kohn dan Jaeger dalam (Kamanto Sunarto 1993;33) meyebutkan ada dua pola sosialisasi yaitu pola sosialisasi represif dan pola sosialisasi partisipatoris. Sosialisasi represif menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan, menekankan pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan. Dalam hal ini yang dimaksud dari pengertian tersebut adalah apabila anak melakukan kesalahan pasti akan mendapat yang hukuman atau ganjaran. Sosialisasi partisipatoris merupakan pola yang didalamnya anak diberi imbalan manakala berperilaku baik, hukuman dan imbalan bersifat simbolik, anak diberi kebebasan, penekanan diletakkan pada interaksi, komunikasi bersifat lisan, anak menjadi pusat sosialisasi, keperluan anak dianggap penting.

2.1.8. Peran dan fungsi Keluarga

Keluarga

Keluarga adalah ikatan yang sedikit banyak berlangsung lama antar suami istri, dengan atau tanpa anak. Sedangkan mnurut Sumner dan Keller merumuskan keluarga sebagaiminiatur dari organisasi social, meliputi sedikitnya dua generasi dan terbentuk secara khusus melalui ikatan darah (Gunarsa,1993:230)


(25)

Keluarga merupakan kelompok primer yang paling penting didalam masyarakat. Keluarga merupakan sebuah grup yang terbentuk dari perhubungan antara laki-laki dan perempuan, hubungan ini sedikit banyak berlangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan anak-anak. Didalam keluarga memiliki sifat-sifat tertentu yang sama, dimana saja dalam satuan masyarakat.

2.1.8.1. Peran Keluarga

Peranan Keluarga

Struktur dalam keluarga dimulai dari ayah dan ibu, kemudian bertambah dengan adanya anggota lain yaitu anak. Dengan demikian, terjadi hubungan segitiga antara orangtua-anak, yang kemudian membentuk suatu hubungan yang berkesinambungan. Peranan keluarga mengasuh membimbing, melindungi, merawat, mendidik anak, menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Orangtua didalam keluarga memiliki peran yang besar dalam menanamkan dasar kepribadian yang ikut menentukan corak dan gambaran kepribadian seseorang setelah dewasa kelak. Peran orangtua merupakan gambaran tentang sikap dan perilaku orangtua dan anak dalam berinteraksi, berkomunikasi selama mengadakan kegiatan pengasuhan (Khairuddin.1997:34) 2.1.8.2. Fungsi- fungsi

UU No. 10 tahun 1992 PP No. 21 tahun 1994

Secara umum fungsi keluarga adalah sebagai berikut:

a. Fungsi keagamaan

• Membina norma ajaran-ajaran agama sebagai dasar dan tujuan hdiup seluruh anggota keluarga


(26)

• Menerjemahkan agama kedalam tingkah laku hidup sehari-hari kepada seluruh anggota keluarga

• Memberikan contoh konkrit dalam hidup sehari-hari dalam pengalaman dari ajaran agama

• Melengkapi dan menambah proses kegiatan belajar anak tentang keagamaan yang kurang diperolehnya disekolah atau masyarakat

• Membina rasa, sikap dan praktek kehidupan keluarga beragama sebagai fondasi menuju keluarga kecil bahagia sejahtera

b. Fungsi budaya

• Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga untuk meneruskan norma-norma dan budaya masyarakat dan bangsa yang ingin dipertahankan

• Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga untuk menyaring norma dan budaya asing yang tidak sesuai

• Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga yang anggotanya mencari pemecahan masalah dari berbagai pengaruh negatif gobalisasi dunia

• Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga yang anggotanya dapat berperilaku yang baik sesuai dengan norma bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan globalisasi

• Membina budaya keluarga yang sesuai, selaras, dan seimbang dengan budaya masyarakat atau bangsa untuk menjunjung terwujudnya norma keluarga kecil bahagia sejahtera


(27)

• Menumbuhkan kembangkan potensi kasih sayang yang telah ada antara anggota keluarga kedalam simbol-simbol nyata secara optimal dan terus menerus • Membina tingkah laku saling menyayangi baik antar anggota keluarga secara kuantitatif dan kualitatif

• Membina praktik kecintaan terhadap kehidupan duniawi dan ukhrowi dalam keluarga secara serasi, selaras dan seimbang

• Membina rasa, sikap, dan praktik hidup keluarga yang mampu memberikan dan menerima kasih sayang sebagai pola hidup ideal menuju keluarga kecil bahagia sejahtera. d. Fungsi perlindungan

• Memenuhi kebutuhan rasa aman anggota keluarga baik dari rasa tidak aman yang timbul dari dalam maupun dari luar keluarga

• Membina keamanan keluarga baik fisik maupun psikis dari berbagai bentuk ancaman dan tantangan yang datang dari luar

• Membina dan menjadikan stabilitas dan keamanan keluarga sebagai modal menuju keluarga kecil bahagia sejahtera

e. Fungsi reproduksi

• Membina kehidupan keluarga sebagai wahana pendidikan reproduksi sehat baik bagi anggota keluarga maupun bagi keluarga sekitarnya

• Memberikan contoh pengamalan kaidah-kaidah pembentukan keluarga dalam usia, pendewasaan keluarga dalam hal usia, pendewasaan fisik maupun mental

• Mengamalkan kaidah-kaidah reproduksi sehat, baik yang berkaitan dengan waktu melahirkan, jarak antara 2 anak dan jumlah ideal anak yang diinginkan dalam keluarga


(28)

• Mengembangkan kehidupan reproduksi sehat sebagai modal yang kondusif menuju keluarga kecil sejahtera

f. Fungsi sosialisasi

• Menyadari, merencanakan dan menciptakan lingkungan keluarga sebagai wahana pendidikan dan sosialisasi anak pertama dan utama

• Membina proses pendidikan dan sosialisasi yang terjadi dalam keluarga sehingga tidak saja dapat bermanfaat positif bagi anak, tetapi juga bagi orangtua dalam rangka perkembangan dan kematangan hidup bersama menuju keluarga kecil bahagia sejahtera g. Fungsi ekonomi

• Membina kegiatan dan hasil ekonomi keluarga sebagai modal untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera

• Mengatur waktu sehingga kegiatan orang tua diluar rumah dan perhatiannya terhadap anggota keluarga berjalan secara serasi, selaras dan seimbang

h. Fungsi pelestarian lingkungan

• Membina kesadaran, sikap, dan praktik pelestarian lingkungan intern keluarga • Membina kesadaran, sikap, dan praktik pelestarian lingkungan ekstern keluarga • Membina kesadaran, sikap, dan praktik pelestarian lingkungan yang serasi, selaras dan seimbang antara lingkungan keluarga dengan lingkungan hidup masyarakat sekitarnya. http://www.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=print&sid=704 (diakses tanggal 6 April 2011).


(29)

Dari berbagai fungsi di atas ada 3 fungsi pokok keluarga, yaitu :

1. Asih adalah memberikan kasih sayang, perhatian, rasa aman, kehangatan,pada anggota keluarga sehingga memungkinkan mereka tumbuh dan berkembang sesuai usia dan kebutuhannya.

2. Asuh adalah menuju kebutuhan pemeliharaan dan perawatan anak agar kesehatannya selalu terpelihara sehingga memungkinkan menjadi anak-anak sehat baik fisik, mental, sosial, dan spiritual.

3. Asah adalah memenuhi kebutuhan pendidikan anak, sehingga siap menjadi manusia dewasa yang mandiri dalam mempersiapkan masa depannya.

Peranan dan fungsi keluarga sangat luas, dan uraian mengenai ini sangat bergantung dari sudut orientasi mana dilakukan. Peranan dan fungsi keluarga diantaranya yaitu:

1. Dari sudut biologi, keluarga berfungsi untuk melanjutkan garis keturunan.

2. Dari sudut psikologi perkembangan, keluarga berfungsi untuk mengembangkan seluruh aspek kepribadian sehingga bayi yang kecil menjadi anak yang besar dan berkembang dan dikembangkan seluruh kepribadiannya, sehingga tercapai gambaran kepribadian yang matang, dewasa, dan harmonis.

3. Dari sudut pendidikan, keluarga berfungsi sebagai tempat pendidikan informal, yaitu tempat dimana anak mengembangkan dan dikembangkan kemampuan-kemampuan dasar yang dimiliki, sehingga dapat mencapai dan memaksimalkan potensi dan prestasi yang sesuai dengan kemampuan dasarnya. Dan memperlihatkan perubahan perilaku dalam berbagai aspek seperti yang diharapkan atau direncanakan kedua orang tuanya.


(30)

4. Dari sudut sosiologi, keluarga berfungsi sebagai tempat untuk menanamkan aspek social agar dapat menjadi anggota masyarakat yang mampu berinteraksi, bergaul, dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Pada dasarnya tugas pokok dari keluarga adalah:

a. Pemeliharaan fisik setiap anggota keluarganya

b. Pemeliharan sumber-sumber daya yang ada dalam keluarga

c. Pembagian tugas masing-masing anggota keluarga sesuai kedudukan masing-masing. d. Sosialisasi antar anggota keluarga

e. Pengaturan jumlah anggota keluarga f. Pemeliharaan ketertiban anggota keluarga

g. Penempatan anggota keluarga dalam lingkungan masyarakat h. Membangkitkan semangat dan dorongan para anggotanya

Ciri-ciri Struktur Keluarga Menurut Anderson Carter ciri-ciri struktur keluarga : 1. Terorganisasi : saling berhubungan, saling ketergantungan, antara anggota keluarga.

2. Ada keterbatasan : setiap anggota memiliki kebebasan tetapi mereka juga mempunyai keterbatasan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya masing-masing.

3. Ada perbedaan dan kekhususan : setiap anggota keluarga mempunyai peranan dan fungsinya masing-masing (Goodej,1991:20).

2.1.9. Pola Asuh Orang Tua

Pola asuh adalah perlakuan orang tua dalam rangka berinteraksi dengan anak untuk menanamkan pendidikan, memenuhi kebutuhan , melatih sosialisasi, memberikan perlindungan


(31)

dalam kehidupan sehari-hari. Kohn (dalam Taty Krisnawaty 1986:46) menyatakan bahwa pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap orangtua meliputi cara orangtua memberikan peraturan-peraturan, hadiah, maupun hukuman, cara orangtua menunjukkan otoritasnya, dan cara orangtua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anaknya.

Tipologi gaya pola asuh Baumrind (1971) mengidentifikasi pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anak-anaknya dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: authoritarian parenting, authoritative parenting, permissive parenting (William.1991:70)

1. Authoritative Parenting (Pola asuh authoritatif/demokrasi)

Kebanyakan orang tua yang menerapkan pola asuh jenis autoritarian ini lebih memilih untuk bertindak rasional dan demokrasi terhadap anak-anaknya. Dalam penerapan pola asuh autoritatif (demokrasi) orang tua lebih banyak memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk melakukan apa pun, seperti belajar, beraktivitas, bermain, dan berkreasi mengikuti keinginan dan kemampuan dari anak-anaknya. Anak-anak bebas bersosialisasi dengan siapa saja yang ada di sekelilingnya, namun masih berada dibawah pengawasan kedua orangtuanya.

Disisi yang lain orang tua menunjukan sikap tegas dan konsisten dengan membuat peraturan dirumah, dan menerapkan disiplin, nilai-nilai dan aturan-aturan yang jelas serta tidak bisa dilanggar. Namun orang tua tetap mau mendengarkan keinginan dan pandangan dan pendapat dari anak-anaknya. Didalam pola pengasuhan demokrasi ini orang tua juga mendidik anak-anaknya untuk tidak meminta secara sesuatu berlebihan, dan tetap memikirkan kondisi dan kesanggupan kedua orangtunya untuk memenuhi permintaan derta keinginannya. Orang tua bernegosiasi dan menghargai hak anak sehingga ikatan kekeluargaan bagaikan hubungan antar


(32)

teman yang lebih erat dan akrab. Secara keseluruhan, pendekatan orang tua terhadap anaknya tercipta kehangatan dan mesra.

2. Authoritarian Parenting (Pola asuh otoriter)

Orang tua atau keluarga yang menggunakan metode pengasuhan otoriter ini menganggap bahwa anak adalah hak mutlak yang dimiliki oleh karena itu orang tua cenderung menerapkan standart mutlak pada anaknya. Orang tua menganggap mereka dapat memperlakukan anak-anak dengan sesuka hati. Orang tua selalu dianggap paling benar dan anak-anak-anak-anak salah. Orang tua suka memperlakukan anak secara kasar seperti dengan membentak, berlaku kasar, bahkan tega untuk memukul anak yang dianggap melenceng dari peraturan yang ada dirumah. Meskipun awalnya mungkin hanya untuk menakut-nakuti anak-anak, agar anak-anak tidak berani melawan kedua orangtuanya. Padahal tanpa disadari orang tua yang menerapkan pola asuh ini, anaknya tersebut sebenarnya membantah segala aturan dan perintah yang ditetapkan oleh kedua orangtunya dirumahhnya. Sehingga di masa yang akan datang anak ini akan menentang aturan dan perintah dengan cara kekerasan juga.

Anak-anak yang dididik dengan pola asuh ini kebanyakan menuruti orangtuanya bukan karena rasa hormat, tetapi karena rasa takut akan hukuman yang akan diberikan kepadanya seandainya tidak menuruti, maka biasanya anak akan berdiam diri dan tidak berani untuk berinisiatif dalam melakukan sesuatu. Komunikasi yang tecipta diantara orang tua dan anak lebih bersifat satu arah dimana segalanya ditentukan oleh orang tua tanpa mendengarkan dan mempertimbangkan pendapat, pikiran dan perasaan anak. Orang tua dengan pola pengasuhan seperti ini cenderung menjaga jarak dengan anaknya, dan jarang untuk mengajak anak berdiskusi tentang hal apa pun. Biasanya orang tua berbicara kasar kepada anak meskipun ingin meminta


(33)

bantuan dari anaknya. Tidak ada keramahan dan kelembutan dalam berkomunikasi diantara anggota keluarga. Anak akan menghindar dan menjauh dari orang tuanya ketika harus bertemu didalam suatu kondisi atau suatu ruang, karena anak merasa kaku dan takut bertemu orangtuanya.

Kebanyakan anak yang diasuh dengan pola pengasuuhan otoriter ini cenderung menarik diri secara social, kurang percaya diri, dan berkata dan bertingkah laku kasar. Pola pengasuhan ini sering kali menjadi pola pengasuhan warisanyang secara berulang-ulang diberikan kepada generasi keluarga berikutnya. Karena seseorang cenderung akan menerapkan pola asuh yang sama dirasakannya sebelumnya kepada keturunan berikutnya.

3. Permisive Parenting Style (Pola asuh permisif)

Pola asuh permisif menekankan ekspresi diri dan self regulation anak. Orangtua yang permisif membuat beberapa peraturan dan mengijinkan anak-anaknya untuk memonitor kegiatan mereka sebanyak mungkin. Ketika mereka membuat peraturan biasanya mereka menjelaskan terlebih dahulu, orangtua berdiskusi dahulu dengan anak dan orang tua tidak mau menghukum anak jika melakukan pelanggaran. Maccoby dan Martin (1983) menambahkan tipologi ini karena adanya tingkat tuntutan orangtua dan tanggapan yang ada. Dengan demikian pola asuh permisif terbagi dua jenis yaitu:

a. Pola asuh penyabar b. Dan pola asuh penelantar


(34)

a. Pola asuh penyabar

Pola asuh jenis ini bertolak belakang atau kebalikan dari pola pengasuhan otoriter. Orang tua yang mendidik anak dengan cara ini justru memprioritaskan kebutuhan dan kepentingan anak-anak di posisi yang paling utama. Semua haapan dan keinginan anak dipenuhi tanpa bertanya apa alasan, dan tujuan anak menginginkan kemauannya dipenuhi. Selain itu orang tua juga tidak memikirkan apakah dengan memenuhi dan menuruti segala keinginan si anak tersebut akann member manfaat yang baik untuk si anak. Orang tua lebih suka anaknya memperoleh sesuatu dngan cara yang mudah tanpa perlu mempersulit diri si anak.

Didalam pola asuh ini, kasih sayang yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya terlalu berlebihan sehingga akan mencapai suatu tahap dimana orang tua tidak akan tega untuk menegur, atau mengajar anak dengan keras ketika si anak melakukan kesalahan. Karena takut anaknya menjadi sakit hati, sedih, kecewa, nakal, dan memberontak. Didalam pola pengasuhan ini orang tua cenderung bersikap sangat melindungi anak dalam kondisi apa pun, meskipun si anak sebenarnya didalam kondisi yang salah. Bagi orang tua, anak mereka selalu berada pada kondisi yang benar walaupunsebenarnya si anak melakukan kesalahan, sehingga mengakibatkan anak tidak disiplin dan melakukan segala sesuatu dengan sesuka hati.

Orang tua ttidak pernah berfikir bahwa anak yang diperlakukan seperti itu suatu saat nanti akan cenderung menjadi implusive (memerlukan dorongan dari orang lain), akan bersifat manja, kurang mandiri, egois dan mau menang sendiri, tidak percaya diri, sombong, dan lain-lain. Dari segi hubungan dengan dunia luar selain lingkungan keluarga, kebanyakan anak yang datang dari latar belakang dengan pola pengasuhan penyabar menjadi anak yang kurang matang secara sosial. Mereka tidak mau memikirkan perasaan dan hati orang lain karena hanya menuntut pemahaman dan pengertian dari orang lain terhadap diri mereka. Hal yang paling utama, mereka


(35)

harus menjadi yang pertama dalam segala-segalanya dengan kata lain selalu tidak memperdulikan orang lain.

Walaupun anak yang dididik dengan pola asuh ini kebanyakan akan cenderung menjadi implusive (memerlukan dorongan dari orang lain), manja, kurang mandiri, egois, mau menang sendiri, kurang percaya diri, sombong, dan masih banyak sisi negative yang timbul akibat pola asuh ini, namun pada kenyataannya banyak juga anak yang menjadi agresif, tidak patuh, dan menentang kedua orang tuanya. Hal ini dikarenakan orang tua tidak mau menegur, memarahi, ketika anak melakukan kesalahan atau tidak disiplin. Biasanya hal sperti mulai kelihatan apabila orang tua sudah mulai bertindak tegas, dan membatasi anak.

b. Pola asuh penelantar

Anak yang diasuh dengan pola ini adalah anak yang kurang mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari oaring tuanya. Orang ttua selalu sibuk bekerja, sehingga lupa atas tanggung jawabnya sebagai ayah atau ibu yang merupakan sosok yang paling penting dalam mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan mental, fisik, dan psikologis anak. Orang tua banyak menghabiskan waktu hanya untuk kepentingan pribadinya, seperti bekerja, berbincang-bincang dengan teman, arisan, belanja, dan lain-lain. Terkdang orang tua yang menganut pola asuh ini akan memberikan uang yang bayak kepada anak agar anak tidak merasa kesepian. Anak dibiarkan tumbuh dan berkembang dengan cara dan kemampuannya sendiri. Dan terkadang di tambah dengan pengalaman-pengalaman yang dilihat dan dirasakan anak dilingkungan sekitarnya tanpa mendapat tuntunan dari kedua orang tuanya. Selain itu tidak jarang juga ditemukan anak yang diterlantarkan oleh orang tuanya ini mendapatkan pendidikan akademik dan pendidikan agama yang menunjang kehidupannya di masa yang akan datang.


(36)

Terdapat berbagai macam alasan yang menyebabkan orang tua tega menerapkan pola asuh penelantar ini. Dan salah satu alasannya adalah anak yang ditolak kehadirannya didalam keluarga. Banyak kasus yang terjadi di dalam kehidupan nyata diaman orang tua yang menolak kehadiran anaknya tersebut karena anak adopsi, anak tiri, akan dari hasil perselingkuhan, dan anak yang kurang sempurna, seperti anak cacat fisik, cacat mental, dan cacat psikis. Anak yang tidak mampu uuntuk hidup sendiri dibiarkan terlantar tanpa diperhatikan. Orang tua menganggap bahwa memiliki anak dalam kondisi seperti itu malah memberikan kesusahan dan hanya akan menambah beban dalam hidup mereka.

Selain itu, yang menjadi factor pendukung seseorang menjadi orang tua mengasuh dengan pola ini yaitu factor kemiskinan. Mereka masih belum mampu untuk melakukan pekerjaan lain atau tidak bisa mendapsatkan pekerjaan yang lebih baik karena tidak memiliki pendidikan. Pola asuh penelantar merupakan pola asuh yang beresiko paling tinggi menyebabkan penyimpakan kepribadian dan perilaku anti social.

2.2. Difabel dan Tunanetra

Istilah difabel merupakan pengindonesiaan dari kependekan istilah different abilities

people (orang dengan kemampuan yang berbeda). Dengan istilah difabel, masyarakat diajak

untuk merekonstruksi nilai-nilai sebelumnya, yang semula memandang kondisi cacat atau tidak normal sebagai kekurangan atau ketidakmampuan menjadi pemahaman terhadap difabel sebagai manusia dengan kondisi fisik berbeda yang mampu melakukan aktivitas dengan cara dan pencapaian yang berbeda pula.

Istilah difabel pertama kali dicetuskan oleh beberapa aktivis di Yogyakarta yang salah satunya adalah almarhum Dr. Mansour Fakih pada awal tahun 1997 (Ambulangsih, 2007; 45) . Istilah ini merupakan salah satu upaya untuk merekontruksi pandangan, pemahaman, dan


(37)

persepsi masyarakat umum pada nilai-nilai sebelumnya yang memandang seorang difabel adalah seseorang yang tidak normal, memiliki kecacatan sebagai sebuah kekurangan dan ketidakmampuan. Pemakaian kata difabel dapat dimaksudkan sebagai kata eufemisme, yaitu penggunaan kata yang memperhalus kata atau istilah yang digunakan sebelumnya. Tetapi secara luas Istilah difabel digunakan sebagai salah satu usaha untuk merubah persepsi dan pemahaman masyarakat bahwa setiap manusia diciptakan berbeda dan seorang difabel hanyalah sebagai seseorang yang memiliki perbedaan kondisi fisik dan dia mampu melakukan segala aktivitas dengan cara dan pencapaian yang berbeda. Pemakaian istilah difabel memiliki nilai lebih humanis dan sebagai suatu usaha untuk menghilangkan kekuatan ruang yang memiliki hubungan tidak adil/diskriminasi serta mendorong eksistensi dan peran difabel dalam lingkungan mereka (Priyadi 2006; 23).

Dengan pemahaman baru itu masyarakat diharapkan tidak lagi memandang para difabel sebagai manusia yang hanya memiliki kekurangan dan ketidakmampuan. Sebaliknya, para difabel, sebagaimana layaknya manusia umumnya, juga memiliki potensi dan sikap positif terhadap lingkungannya. Difabel terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, dan lain-lain.

Tunanetra dari segi etimologi bahasa. “tuna” artinya “rusak” “netra” artinya “mata” atau dapat disimpulkan mata yang rusak. Sehingga tunanetra dapat disimpulkan yakni tidak berfungsinya indera penglihatan secara normal. Tunanetra termasuk kedalam bagian dari difabel. Karena tunanetra adalah suatu keadaan cacat fisik yang dapat digantikan dengan indera lain, seperti indera peraba, dan indera perasa. Berdasarkan Organisasi Badan Kesehatan Dunia WHO merillis data bahwa setidaknya ada 40 – 45 juta penderita kebutaan (cacat netra)gangguan penglihatan. Pertahunnya tak kurang dari 7 juta orang mengalami kebutaan atau permenitnya


(38)

terdapat satu pentuduk bumi menjadi buta dan perorang mengalami kebutaan perduabelas menit dan ironisnya, lagi-lagi wilayah dan negara miskinlah yang kebanyakan penduduknya mengalami kebutaan dan gangguan penglihatan, yaitu sekitar 90%.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Sosial, jumlah penyandang cacat tuna netra tahun 2009 adalah sebanyak 3.474.035 orang, Sedangkan dari data Kemenakertrans tahun 2009, jumlah tenaga kerja penyandang cacat tunanetra yang bekerja sebanyak 2.137.923 orang. (http://www.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=print&sid=704 (diakses tanggal 6 April 2011).

2.2.1. Klasifikasi Tunanetra

Menurut Depdiknas kelasifikasi tunanetra secara garis besar dibagi lima yaitu:

A. Berdasarkan tingkat kebutaannya yaitu:

1. Dikatakan buta total jika sama sekali tidak mampu menerima rangsang cahaya dari luar. Kebutaan total memiliki keterbatasan dalam penglihatan antara lain:

- Tidak dapat melihat gerakan tangan pada jarak kurang dari 1 meter.

- Ketajaman penglihatan 20/200 kali yaitu ketajaman yang mampu melihat suatu benda pada jarak 20 kaki.

- Bidang penglihatnya tidak lebih luas dari 20 meter.

2. Dikatakan Low Vision bila masih mampu menerima rangsa cahaya dari luar. Berdasarkan definisi World Health Organization (WHO),seseorang dikatakan low vision apabila:

- Memiliki kelainan fungsi penglihatan meskipun telah dilakukan pengobatan, misalnya operasi atau koreksi refleksi standar (kacamata atau lensa).


(39)

http://bamperxii.com/2008/11/penegertian-tuna-netra.html (diakses tanggal 7 April 2011 pada pukul 12.10 WIB)

B. Berdasarkan waktu terjadinya kebutaan:

1. Tunanetra sebelum dan sejak lahir yakni yang mereka asma sekali tidak memiliki pengalaman penglihatan.

2. Tunanetra setelah lahir atau pas usia kecil yakni mereka telah memiliki kesan-kesan serta pengalaman visual tetapi belum kuat da mudah terlupakan.

3. Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja mereka telah memiliki kesan-kesan visual dan meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap peroses perkembangan pribadi.

4. Tunanetra pada usia dewasa pada umumnya mereka yang dengan segala kesadaran mampu melakukan latihan-latiha penyesuaian diri.

5. Tunanera dalam usia lanjut, sebagian besar sudah sulit untuk mengikuti latihan-latihan kecerdasan kinestetik yang berpengaruh terhadap gerak motorik seseorang penyandang (http://id.wikipedia.org/wiki/Anaka_berkebutuhan_khusus diakses tanggal 1 April 2011 pada pukul 11.12 WIB)

C. Berdasarkan kemampuan daya penglihatan

1. Tunanetra ringan (defective vision/low vision);yakni mereka yang memiliki hambatan dalam penglihatan akan tetapi mereka masih dapat mengikuti perogram-program pendidikan dan pampu melakukan pekerjaan/kegiatan yang mengunakan fungsi penglihatan.


(40)

2. Tunanetra setengah berat (partially sighted);yakni mereka yang kehilagan sebagian daya penglihat,hanya menggunakan kaca pembesar.mereka mampu mengikuti pendidikan biasa atau mampu membaca tulisan yang ercatak tebal.

3. Tunanetra berat (totally blind);yakni mereka yang sama ssekali tidak dapat melihat.

D. Berdasarkan pemeriksaan klinis

1. Tunanera yang memiliki ketajaman penglihatan kurang dari 20/200 dan atau memiliki bidang penglihatan kurang dari 20 derajat.

2. Tunanera yang memiliki ketajaman penglihatan kurang dari 20/200 dan atau memiliki bidang penglihatan kurang dari 20 derajat.

E. Berdasarkan kelainan-kelainan pada mata:

1. Mayopia : adalah penglihatan jarak dekat, bayak yang tidak tetfokuds dan jatuh di belakang retina.penglihata akan terlihat jelas kalau objek didekatka. Untuk membantu peroses penglihatan pada penderita mayopi digunakan kacamata koreksi dengan lensa negatif.

2. Hyperopia : adalah penglihatan jarak jauh,banyak yang tidak terfokus da jatuh didepa retina. Penglihatan akan terlihat jelas jika objek dijauhkan. Untuk menbantu peroses pemulihan pada penderita heyperopia digunakan kacamata koreksi dengan lensa posotif. 3. Astigmatisme : adalah penyimpanan atau peglihatan kabur yang disebabkan karna

kerusakan pada kornea mata atau pada permukaan lain pada bola mata sehingga banyak benda baik pada jarak dekat maupun jauh tidak terfokus jatuh pada retina.


(41)

2.2.2 Faktor Penyebab Tunanetra

Ada dua faktor penyebab seseorang menderita tunanetra yaitu:

1. Faktor endogen, ialah faktor dari dalam kandungan atau dapat dikatakan faktor genetic. Misalnya perkawinan antar sesama tunanetra, atau memiliki nenek moyang yang penyandang tunanetra.

2. Faktor eksogen atau faktor luar seperti:

a. Penyakit atau virus rubella yang menjadikan seseorang menjadi sakit campak, yang lama kelamaan akan mengganggu saraf penglihatan dan bias menghilangkan fungsi penglihatan secara permanen. Ada juga dikarrenakan oleh kuman syphilis, yang mengakibatkan kerapuhan pada lensa mata yang mengakibatkan pandangan mata keruh.

c. Kecelakaan yaitu kecelakaan fisik akibat tabrakan yang berakibatkan langsung merusak saraf mata. Ada juga yang diakibatkan oleh radiasi ultra violet atau gas beracun yang dapat menybabkan seseorang kehilangan fungsi mata untuk melihat Error! Hyperlink reference not valid..com (diakses tanggal 11 april 2011 pada pukul 10.15)


(42)

2.3. Defenis Konsep

Penelitian ini mengenai interaksi sosial pada keluarga pasangan tuna netra ditujukan untuk mengetahui bagaimana cara interaksi yang dilakukan keluarga yang kedua orangtuanya adalah penyandang cacat tunanetra. Maka agar penelitian ini tetap terfokus dan tidak menimbulkan penafsiran ganda, maka digunakan beberapa defenisi konsep sebagai berikut:

1. Keluarga : Keluarga adalah sekelompok orang yang kedua orangtuanya adalah penyandang cacat tunanetra dan memiliki anak yang normal yang terikat oleh tali perkawinan.

2. Anak : Keturunan yang normal dari orang tua yang difabel yang bekerja sebagai tukang pijat. Yang berusia 0-30 tahun.

3. Pola asuh : kegiatan orangtua mengasuh, mendidik, membimbing, mendisiplinkan dan melindungi anak sampai pada masa kedewasaan sesuai dengan norma yang ada didalam masyarakat.

4. Orangtua Difabel : Orangtua adalah penyandang cacat tunanetra yang memiliki kerusakan pada indera penglihatan (mata) yang mengakibatkan tidak berfungsi secara baik indera penglihatan atau buta.

5. Panti pijat : Panti pijat adalah tempat yang digunakan oleh penyandang cacat tunanetra dalam memberikan pelayanan pijat.

6. Lingkungan kelurahan Sei sikambing D Medan : adalah lingkungan tempat tinggal sekaligus tempat praktek pijat keluarga yang kedua orangtuanya difabel atau penyandang cacat tunanetra.


(43)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan study deskriptif. Sebagaimana dikemukakan oleh Bagong Suyanto dan Sutinah bahwa penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa tulisan, dan penggambaran perilaku yang dapat diamati oleh peneliti dari orang-orang subjek itu sendiri. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi.

Sedangkan penelitian kualitatif menurut Sugiyono adalah metode penelitian yang digunakann untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah. Dimana peneliti adalah instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara gabungan, analisis data bersifat induktif, da hasil penelitian bersifat generalisasi. Alasan penelitian dilakukan penelitian kualitatif adalah karena penelitian kualitatif dapat memberikan keleluasan dan kesempatan peneliti untuk bisa menggali informasi secara lebih mendalam terutama permasalahan yang akan diangkat tergolong hal yang sensitive ( Bagong,2005; 166).

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan dibeberapa panti pijat tunanetra yang berijazah khususnya yang berada di kelurahan sei sikambing D, peneliti memilih lokasi ini karena didaerah ini peneliti


(44)

dapat menemukan banyak keluarga penyandang cacat tuna netra yang bekerja sebagai tukang pijat.

3.3 Unit Analisis dan Informan

3.3.1. Unit Analisis

Unit analisis adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian (Arikunto, 2002 : 121). Salah satu ciri atau karakteristik dari penelitian sosial (social scientific research) adalah menggunakan apa yang disebut dengan “unit of analysis”. Ada sejumlah unit analisis yang lazim digunakan pada kebanyakan penelitian sosial, yaitu individu, kelompok dan sosial (Danandjaja, 2005 : 31).

3.3.2. informan

Informan dalam penelitian ini adalah beberapa keluarga penyandang cacat tuna netra. Keluarga tersebut terdiri dari ayah dan ibu yang penyandang cacat tuna netra. Dan anak-anak dari keluarga tersebut yang akan ditemui peneliti.

Yang menjadi informan utama adalah penyandang cacat tuna netra dan seluruh anggota keluarga. Sedangkan yang menjadi informan biasa adalah anggota masyarakat dan para anggota dinas social yang mengetahui banyak mengenai tuna netra

Adapun informan utama adalah penyandang cacat tuna netra yang berprofesi sebagai tukang pijat. Agar sesuai dengan tujuan penelitian maka perlu ditetapkan kriteria-kriterianya sebagai berikut:

1. Keluarga pasangan tunanetra yaitu ayah dan ibu 2. Memiliki anak


(45)

3. Pekerjaan sebagai tukang pijat 4. Memiliki tempat praktek panti pijat

5. Lamanya menjadi tukang pijat kurang lebih 2 tahun

Untuk memperkuat data yang diperoleh maka peneliti yang menentukan batasan bagi informan pelengkap yaitu anggota masyarakat dan Dinas Sosial dengan kriteria sebagai berikut:

1. Sudah mengetahui banyak mengenai tunanetra

2. Pernah memberikan keterampilan kepada penyandang cacat tuunanetra.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengumpulan data primer dan sekunder.

3.4.1. Data primer

Data primer adalah data yang diambil dari sumber data sumber pertama dilapangan. Untuk mendapatkan data primer dalam penelitian ini dilakukan dengan mengadakan studi lapangan yaitu:

3.4.1.1 Metode Wawancara

Teknik wawancara merupakan salah satu elemen penting dalam proses penelitian. Wawancara (interview) dapat diartikan sebagai cara yang dipergunakan untuk mendapatkan informasi atau data dari responden dengan cara bertanya langsung secara bertatap muka atau face to face. Namun, teknik wawancara dapt juga dilakukan dengan memanfaatkan sarana komunikasi lain, misalnya telepon dan internet ( Bagong Suyanto dan Sutinah, 2005 : 69).


(46)

Wawancara merupakan sebuah percakapan antara 2 (dua) orang atau lebih, yang pertanyaannya diajukan oleh peneliti kepada subjek atau sekelompok subjek penelitian untuk dijawab (Sudarwan Danim, 2002 :130). Salah satu bentuk wawancara yang dipakai dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (depth interview). Wawancara mendalam merupakan proses tanya jawab secara langsung yang ditujukan terhadap informan di lokasi penelitian dengan menggunakan panduan wawancara adalah berupa informasi mengenai pola pengasuhan orangtua difabel terhadap anak yang normal, di Kelurahan Sei Sikambing D Medan.

3.4.1.2. Metode Observasi

Observasi adalah Pengamatan atau observasi dalam kamus, berarti melihat dengan penuh perhatian. Dalam hal pengamatan, apa yang diamati, siapa yang mengamati, kesalahan-kesalahan apa saja yang sering terjadi pada waktu pengamatan perlu diketahui oleh peneliti sebelum melakukan tahap-tahap penelitian (Bagong Suyanto dan Sutinah, 2005 : 81-82). Fokus perhatian paling esensial dari penelitian kualitatif adalah pemahaman dan kemampuannya dalam membuat makna atas suatu kejadian atau fenomena pada situasi yang tamapak bahkan harus melakukan perenungan dan refleksi atas kemungkinan-kemungkinan yang ada dibalik penampakan itu. Observasi merupakan pengamatan langsung terhadap berbagai gejala yang tampak pada penelitian seperti orang tua dan pola pengasuhannya kepada anak yang normal. Disini peneliti akan melakukan observasi ke daerah penelitian, yang melakukan pola pengasuhan di rumah sekalian menjadi tempat praktek pijat tunanetra.

3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari sumber kedua yaitu dengan menggunakan data dan mengambil informasi dari beberapa literature diantaranya buku-buku referensi,


(47)

dokumen majalah, jurnal, maupun data yang diperoleh dari internet yang dianggap relevan serta berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Oleh karena itu, sumber data sekunder diharapkan dapat berperan membantu mengungkapakan data yang diharapkan, membantu member keterangan sebagai pelengkap dan bahan pembanding (Bungin,2001:129)

3.5. Interpretasi Data

       Interpretasi data merupakan tahap penyederhanaan setelah data dan informasi yang dibutuhkan atau diharapkan sudah terkumpul. Data-data atau informasi yang diperoleh dalam penelitian ini akan dinterpretasikan berdasarkan dukungan teori dalam kajian pustaka.

Interpretasi mempunyai dua aspek, yaitu sebagai berikut:

1. Untuk menegakkan keseimbangan suatu penelitian, dalam pengertian menghubungkan hasil suatu penelitian dengan penemuan-penemuan lainnya.

2. Untuk membuat atau menghasilkan suatu konsep yang bersifat menerangkan atau menjelaskan.

Sesuai dengan metode penelitian, teknik analisa data yang dipergunakan penulis adalah teknik analisa kualitatif. Analisa data kualitatif adalah analisa terhadap data yang diperoleh berdasarkan kemampuan nalar peneliti dalam mengumpulkan fakta, data, dan informasi sehingga sampai pada akhirnya akan disusun laporan akhir penelitian.


(48)

3.6.Jadwal Kegiatan

No Jenis Kegiatan Bulan Ke

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1 Pra Observasi √

2 ACC Judul √

3 Penyusunan Proposal Penelitian √ √

4 Seminar Penelitian √

5 Revisi Proposal Penelitian √ 6 Penyerahan Hasill Seminar

Proposal

7 Operasional Penelitian √

8 Bimbingan √ √ √

9 Penulisan Laporan Akhir √ √


(49)

BAB IV

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1. Lokasi dan Keadaan Penduduk

Kelurahan Sei Sikambing D adalah salah satu dari tujuh kelurahan yang ada di Kecamatan Medan Petisah. Luas dari kelurahan Sei Sikambing D adalah sekitar 91 Ha. Sebagian besar daerah ini terdapat pemukiman penduduk. Jumlah penduduk keseluruhan adalah 13.405 jiwa, dengan jumlah 1.773 Kepala keluarga. Kelurahan Sei Sikambing D berbatasan antara lain dengan:

1. Sebelah utara berbatasan dengan jalan Jendral Gatot Subroto, Kelurahan Sei Putih Barat, dan Sei Putih Tengah Kecamatan Medan Petisah.

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan jalan Gajah Mada, Kelurahan Babura, Kecamatan Medan Baru

3. Sebelah Barat berbatasan dengan jalan Sei Sikambing, Kelurahan Simpang Tanjung Kecamatan Medan Sunggal

4. Sebelah Timur berbatasan dengan jalan Iskandar Muda, Kelurahan Petisah Tengah, Kecamatan Medan Petisah

Lokasi Kelurahan Sei Sikambing D terletak cukup strategis, karena kelurahan ini berbatasan dengan jalan-jalan protokol yang dapat dengan mudah dijangkau oleh masyarkat. Masyarakat di Kelurahan Sei Sikambing D memiliki latar belakang suku, agama dan jenis pekerjaan yang berbeda-beda. Secara latar belakang agama masyarakat di kelurahan ini menganut berbagai jenis agama antara lain seperti Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan,


(50)

Hindu, dan Budha. Begitu juga dari segi latar belakang budaya atau etnis, masyarakat yang bermukim di Kelurahan Sei Sikambing D memiliki etnis antara lain seperti etnis Jawa, etnis Batak, etnis Minang, etnis Gayo, etnis Thionghoa, dan lain lain. Sehingga kelurahan ini dapat dikategorikan sebagai kelurahan yang multibudaya.

4.1.1.1.Kepadatan Penduduk

Table 4.1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

No Keterangan Jumlah

1 Laki-laki 6.482 Jiwa

2 Perempuan 6.923 Jiwa

3 Jumlah Penduduk 13.405 Jiwa

4 Kepadatan Penduduk 147 Jiwa per km

Sumber: Data Kelurahan Sei Sikambing D Medan Tahun 2009

Masyarakat di Kelurahan Sei Sikambing D didominasi oleh perempuan, namun jumlahnya tidak jauh berbeda dengan penduduk yang berjenis kelamin laki-laki. Kelurahan Sei Sikambing D ini tidak termasuk kedalam kategori lingkungan padat penduduk. Karena kepadata penduduk hanya 147 jiwa per Km. Masyarakat di kelurahan ini adalah masyarakat yang dinamis, dan tidak bias gender. Karena baik laki-laki maupun perempuan didaerah ini dapat melakukan dan memilih pekerjaan yang diinginkan.


(51)

Table 4.2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pekerjaan

No Status/ Jenis Jasa/ Perdagangan Jumlah (orang)

1 2 3

a. Pegawai Negeri Sipil 1.Pegawai Kelurahan 2.Guru

3.Pegawai Negri Sipil/ ABRI 4.Mantri Kesehatan/ Perawat 5.Bidan

6.Dokter 7. PNS lainnya b. Pensiunan ABRI c. Pegawai Swasta

c. Pegawai BUMN/BUMD d. Pensiunan Swasta

5 28 102 12 7 12 - 438 536 27 13 Sumber: Data Kelurahan Sei Sikambing D Medan Tahun 2009

Masyarakat di Kelurahan Sei Sikambing D memiliki berbagai jenis profesi. Profesi yang mendominasi masyarakat di kelurahan ini adalah profesi di bidang wiraswasta. Profesi wiraswasta banyak ditekuni oleh masyarakat di kelurahan tersebut, salah satu diantaranya adalah profesi dibidang jasa panti pijat tunanetra. Namun karena data dari kelurahan tidak mencantumkan jenis-jenis pekerjaan dibidang swasta, maka peneliti mencari data yang lebih akurat mengenai panti pijat tunanetra yang berada di Kelurahan Sei Sikambing D melalui Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia) yang berada di Medan. Panti pijat tunanetra di Kelurahan Sei Sikambing D adalah:


(52)

1.Panti Pijat Tunanetra Cemerlang Abadi 2. Panti Pijat Tunanetra West

3. Panti Pijat Tunanetra Yakestra 4. Panti Pijat Tunanetra Sumatera Jaya

Sumber: Data Pertuni 2008 Medan

4.1.1.2.Komposisi Tukang Pijat Tunanetra Berdasarkan Jenis Kelamin

Table 4.2. Komposisi Tukang Pijat Tunanetra Berdasakan Jenis Kelamin

No Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)

1 Laki-laki 12 60%

2 Perempuan 8 40%

3 Jumlah 20 100% Sumber: Data Kelurahan Sei Sikambing D Medan Tahun 2009

Dari table diatas dapat kita lihat bahwa jumlah tukang pijat di Kelurahan Sei sikambing D Medan didominasi oleh laki. Yang ditunjukkan dengan jumlah pemijat jenis kelamin laki-laki sebanyak 12 orang dengan jumlah persentase sebesar 60%, dan selebihnya adalah tukang pijat dengan jenis kelamin perempuan sebayak 8 orang dengan persentase sebesar 40%. Meskipun profesi memijat didominasi oleh pria, namun wanita juga dapat melakukannya.


(53)

4.1.1.3.Komposisi Tukang Pijat Tunanetra Berdasarkan Agama

Table 4.3. Komposisi Tukang Pijat Tunanetra Berdasarkan Agama

No Agama Jumlah Persentase (%)

1 Islam 10 50%

2 Kristen Katolik 5 25%

3 Kristen Protestan 5 25%

4 Hindu - -%

5 Budha - -%

6 Kong hu chu - -%

Jumlah 20 100%

Sumber: Data Kelurahan Sei Sikambing D Medan Tahun 2009

Dari table diatas dapat dilihat bahwa agama mayoritas tukang pijat adalah agama Islam, hal ini dibuktikan dengan besarnya persentase tukang pijat yang beragama Islam yaitu 50%. Agama yang dianut oleh tukang pijat lain adalah Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Meskipun memiliki agama yang berbeda-beda namun para pemijat ini saling menghormati satu sama lain.

4.1.1.4.Komposisi Tukang Pijat Tunanetra Berdasarkan Etnis Table 4.4. Komposisi Tukang Pijat Tunanetra Berdasarkan Etnis

No Etnis Jumlah Persentase (%)

1 Batak 10 50%

2 Jawa 4 20%

3 Minang 2 10%

4 Melayu 4 20%

Jumlah 20 100%

Sumber: Data Kelurahan Sei Sikambing D Medan Tahun 2009

Dari table diatas terlihat bahwa tukang pijat difabel mayoritas berlatar belakang etnis atau suku Batak. Hal ini terlihat dari persentase etnis Batak mencapai 50 % dari jumlah keseluruhan


(54)

pemijat. Meskipun memiliki latar belakang suku yang berbeda-beda namun rasa toleransi sangat dijunjung tinggi.

4.1.1.5.Komposisi Tukang Pijat Tunanetra Berdasarkan Tingkat Pendidikan Table 4.7 Komposisi Tukang Pijat Tunanetra Berdasarkan tingkat Pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase (%)

1 SD 12 60%

2 SMP 5 25%

3 SMA 2 10%

4 Diploma dan Sarjana 1 5%

Jumlah 20 100%

Sumber: Data Kelurahan Sei Sikambing D Medan Tahun 2009

Berdasarkan table diatas dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan tukang pijat difabel masih cukup rendah. Hal ini terlihat jelas dari persentase yang ada bahwa 60% tukang pijat difabel hanya menyelesaikan pendidikan di tingkat sekolah dasar. Namun meskipun demikian bukan berarti tukang pijat difabel tidak ada yang berpendidikan tinggi, ada satu orang yang dapat menyelesaikan pendidikannya dari perguruan tinggi.


(55)

PROFIL INFORMAN

4.2 . Data Pribadi Informan

4.2.1. Profil keluarga yang orangtua difabel yang bekerja sebagai tukang pijat

4.2.1.1. Keluarga Lukman Harahap

Bapak Lukman Harahap berusia 43 tahun. Ia berasal dari Kabupaten Tapanuli Tengah. Namun sejak berusia 13 tahun keluarganya tinggal berdomisili di Medan. Bapak Lukman berlatar belakang suku Batak Mandailing. Ia menganut agama Islam. Meskipun difabel namun Pak Lukman mampu menyelesaikan pendidikan terakhirnya di salah satu perguruan tinggi swasta di Bandung. Istrinya bernama Kamilawati. Ia berusia 39 tahun, berlatar belakang suku Jawa dan Melayu. Ibu Kamila juga beragama agama Islam. Asalnya asli dari Medan. Pendidikan terakhir Ibu Kamila hanya sampai pada tingkat sekolah dasar. Mereka menikah pada tahun 1999, tepatnya tanggal 26 September 1999. Keluarga ini dikaruniai satu orang putri yang diberi nama Diah. Diah tidak mengalami seperti kedua orangtuanya, karena Diah adalah anak yang normal. Hal tersebut membuat orangtuanya semakin bersemangat didalam kehidupannya. Karena orangtuanya sangat menggantungkan harapan kepada Diah agar menjadi orang yang sukses, tidak seperti orangtuanya alami sekarang ini. Diah sekarang berusia tujuh tahun, yang sedang duduk dibangku sekolah dasar swasta di Medan.

Bapak Lukman mengalami kebutaan pertama sekali pada usia 9 tahun, saat ia duduk dibangku sekolah dasar. Sedangkan Ibu Kamila mengalami kebutaan saat berusia 15 tahun, Kedua orangtua Pak Lukman bukan individu yang difabel. Begitu juga dengan orangtua Ibu Kamila bukanlah individu yang difabel. Bapak Lukman dan Ibu Kamila secara tidak sengaja mengalami kebutaan karena factor yang sama, yaitu karena demam/panas tinggi yang dialami


(56)

mereka saat itu yang perlahan-lahan membuat mata mereka rabun dan lambat laun mengakibatkan kebutaan total pada indera matanya. Sehingga dapat dikatakan faktor yang menyebabkan mereka mengalami kebutaan bukanlah karena faktor keturunan, namun karena penyakit. Tidak hanya kedua orangtua, saudara dari Pak Lukman dan Ibu Kamila juga tidak mengalami hal sama. Mereka berdua tidak pernah merasa malu dengan kondisi yang dialaminya sekarang ini. Justru mereka bersyukur dengan kondisinya ini, karena dengan kondisi yang dialami membuat mereka terhindar dari perbuatan dosa yang disebabkan oleh kedua mata mereka.

Bapak Lukman dan Ibu Kamila menyatakan bahwa meskipun mereka merupakan individu difabel, namun mereka tidak pernah diasingkan atau dikucilkan didalam keluarga. Karena pada faktanya yang terjadi adalah sebaliknya, mereka merasakan kasih sayang yang begitu besar yang diberikan oleh keluarga. Maka secara langsung hal tersebut membentuk kepribadian mereka dan menjadikan mereka individu yang tegar, kuat dan iklas menerima keadaan. Sehingga mereka tidak pernah merasa malu dan minder saat berada ditengah-tengah masyarakat. Karena mendapatkan keluarga penuh dengan kasih sayang, sehingga dalam mendidik anak mereka tidak merasa kesulitan. Sejak dini mereka mendidik anak agar dapat menerima kondisi kedua orangtuanya. Mereka senantiasa membawa anak mereka kemana pun mereka pergi, pada jarak yang dekat sampai pada jarak yang jauh sekalipun mereka tetap membawanya. Sehingga anak terbiasa dengan pandangan dan asumsi masayarakat mengenai kedua orangtuanya. Dengan cara demikian anak dapat menerima dan tidak malu lagi dengan orang lain meskipun kondisi orangtuanya tidak sempurna.

Bapak Lukman sudah menekuni profesi sebagai tukang pijat sudah 20 tahun. Istrinya sudah menekuni profesi memijat sudah 15 tahun. Mereka mendapatkan kesempatan belajar


(57)

memijat saat berada di panti sosial milik Pemerintah yang berada di kota Tebing tinggi, yang bernama Panti Sosial Bina Netra. Di panti tersebut Pak Lukman dan istri tinggal selama 3 tahun. Selama berada dipanti mereka diberikan banyak pengetahuan, antara lain seperti pengetahuan umum, pembentukan mental, dan keterampilan atau skill. Sebelum memasuki tahap pendidikan mengenai teknik memijat terlebih dahulu mereka memasuki tahap pendidikan dan pembentukan psikologis, lalu selanjutnya mereka memasuki tahap pendidikan keterampilan umum seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah yang secara bersamaan diberikan pendidikan berkomposisi seperti pengetahuan agama, dan pengetahuan umum, jika sudah menyelesaikan kedua tahap tersebut mereka maka akan diberikan pendidikan mengenai teknik memijat. Mereka mempelajari teknik memijat selama kurang lebih 1,5 tahun. Tidak seluruh difabel yang dapat menyelesaikan pendidikan dipanti selama 3 tahun, karena tergantung dengan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing difabel. Setelah menyelesaikan pendidikan di Panti Sosial tersebut mereka mendapatkan sertifikat resmi dari Dinas Sosial. Sertifikat tersebut harus dimiliki setiap difabel yang ingin membuka panti pijat. Karena sertifikat adalah bukti kongkrit yang menunjukkan nahwa Pak Lukman dan istri telah lulus dan dapat membuka praktek memijat. Di tahun 2002 Pak Lukman membuka panti pijat yang diberi nama “Cemerlang Abadi”. Sebelum membuka panti pijat tersebut mereka masih bekerja di tempat praktek teman sesama difabel. Sekarang ini Pak Lukman dan Istri tidak lagi bekerja untuk teman namun mereka sudah mampu membuka praktek pijatnya sendiri.

Mereka memiliki keahlian lain yang dapat digunakan untuk mencari nafkah, misalnya Pak Lukman mampu mengajar mengaji, dan Ibu Kamila mampu memasak kue. Sehingga dengan keterampilan yang mereka miliki, dapat menambah pendapatan sehari-hari. Keahlian yang mereka miliki dapat mereka gunakan disaat pendapatan dari memijat menurun. Memijat dipanti


(58)

pijat ini ditarif Rp.30.000. Meskipun demikian pendapatan keluarga ini tidak dapat ditetapkan, karena setiap harinya pasien yang datang kepanti pijat tidak dapat dipastikan jumlahnya. Meskipun pasien yang datang tidak tentu jumlahnya, namun mereka tidak pernah mau dikasihani oleh orang lain. Mereka selalu berusaha mencari uang tambahan dengan cara yang lain. Sehingga mereka mengatakan pendapatan setiap bulan dapat mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari.

4.2.1.2. Keluarga Pak Payan Simanjuntak

Bapak Payan lahir di Laguboti pada tahun 1956, saat ini ia sudah berusia 45 tahun. Ia berasal dari Kabupaten Tapanuli Utara. Bapak Payan berlatar belakang suku Batak Toba. Agama Pak Payan adalah Kristen Protestan. Pendidikan trakhir yang dapat diselesaikan oleh Pak Payan hanya sampai sekolah dasar. Istri Pak Payan bernama Sri Tambunan. Ia berusia 41 tahun, berlatar belakang suku Batak Toba. Ibu Sri juga beragama Kristen Protestan. Ia berasal dari Balige. Pendidikan terakhir Ibu Sri hanya sampai pada tingkat sekolah dasar. Mereka menikah pada tahun 1992. Keluarga ini memiliki tiga orang anak yang terdiri dari dua orang putra dan satu orang putri. Anak pertama bernama Budi, anak kedua bernama Panji, dan anak ketiga bernama. Ketiga anak Pak Payan sedang menimba ilmu di salah satu perguruan swsata di Medan. Anak-anaknya tidak mengalami kondisi seperti mereka, anak-anak Pak Payan adalah anak-anak yang normal. Memiliki anak yang normal membuat Pak Payan dan Ibu Sri sangat bahagia dan selalu bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Karena dengan demikian harapan Pak Payan agar anak-anaknya menjadi individu yang sukses dapat tercapai. Mereka tidak menginginkan anak-anaknya merasakan kesusahan dikemudian hari seperti yang mereka rasakan sekarang ini.

Bapak Payan buta sejak pada usia 6 tahun, sedangkan Ibu Sri buta saat berusia 2 tahun. Kebutaan yang mereka alami bukan merupakan faktor keturunan, didalam keluarga Pak Payan


(59)

dan Ibu Sri tidak ada yang mengalami hal yang sama dengan mereka. Faktor penyebab kebutaan Pak Payan dan Ibu Sri adalah sakit campak yang mereka alami saat kecil. Perlahan-lahan membuat mata mereka rabun dan mengakibatkan kebutaan total pada mata. Sehingga dapat disimpulka faktor penyebab kebutaan mereka bukan karena faktor keturunan, namun karena penyakit.

Saat masih kecil Pak Payan dan Ibu Sri merasa sangat malu dan tidak dapat menerima keadaan yang mereka alami. Mereka menginginkan agar mereka dapat melihat kembali. Keluarga besar Pak Payan dan Ibu Sri juga melakukan usaha agar mereka dapat melihat lagi, namun dokter mengatakan bahwa virus yang menyerang merusak kornea mata mereka sehingga mata mereka tidak dapat melihat kembali. Saat duduk dibangku sekolah dasar banyak teman yang mengejek dan mengina keadaan mereka. Hal tersebut membuat mereka terpuruk dan akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah lagi.

Didalam keluarga Pak Payan dan Ibu Sri tidak pernah diasingkan atau dijauhkan didalam keluarga. Karena keluarga mereka tidak berasumsi bahwa buta bukanlah suatu aib yang memalukan. Karena kasih sayang keluarga cukup besar kepada mereka, sehingga membuat Pak Payan dan Ibu Sri menjadi individu yang kuat dan sabar dan tidak merasa malu lagi dengan keadaan yang mereka alami. Begitu juga mereka lakukan dalam mengasuh dan mendidik anak-anak mereka. Mereka membiasakan agar anak-anak-anak-anak tidak malu dan minder dengan kondisi orangtuanya.

Bapak Payan profesi sebagai tukang pijat sudah 24 tahun. Istrinya juga berprofesi sebagai tukang pijat yang sudah memijat selama 15 tahun. Mereka belajar memijat di panti sosial yang sama dengan keluarga pak Lukman yakni panti social yang bernama Panti Sosial Bina Netra.


(1)

Gunarsa. Singgih dan Ny. SD. Gunarsa. 1991. Psikologi Praktis Anak Remaja dan Keluarga. Jakarta. BPK Gunung Mulia.

Gunarsa. Singgih. 1992. Psikologi Perkembangan. Jakarta. BPK Gunung Mulia.

Guritnaningsih. 1990. Faktor-faktor Sosial Psikologi Yang Berpengaruh Terhadap Tindakan Orangtua Untuk Melanjutkan Pendidikan Anak ke SLTP (Disertasi), Universitas Padjajaran, Bandung.

Horton, Paul B Dan Chester L. Hunt. 1996. Sosiologi. Jakarta : Penerbit Erlangga

Khairuddin. H. Drs. 1997. Sosiologi Keluarga. Medan. Liberty.

Moleong, J. Lexy. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Nawawi, Hadari. 1994. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.

Paul. Doyle Johnson. 1980. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta. Rajawali.

Poloma. Margaret. 2004. Sosiologi Kontemporer. Rajawali Press, PT. Grafindo.

Rosmiani Dan Maryanti. 2007. Keluarga Bercerai dan Intensitas Interaksi Anak Terhadap Orangtua. Harmoni Sosial, 1(2):60-68.

Soenarto, Kamanto. 2000. Pengantar Sosiologi. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Suyanto, Bagong, dan Sutinah. 2008. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Penerbit Kencana.


(2)

Wirutomo. Paulus. 1994. Sosialisasi Dalam Keluarga Indonesia, Suatu Perspektif Perubahan Sosial. Jakarta. Prisma.

Zeitlin. Irving. M. 1995. Memahami Kembali Sosiologi. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.

Sumber Lain:

Website

(http://sharenexchange.blogspot.com/2010/02/sosialisasi-masyarakat8061.html diakses tanggal 21-02-2011 pukul 09.44)

http://hendraxz.wordpress.com.2009/12/29/pengertian-tuna-netra-secara-umum (diakses tanggal 11 april 2011)

http://id.wikipedia.org/wiki/Anaka_berkebutuhan_khusus (diakses tanggal 1 April 2011)

http://bamperxii.blogspot.com/2008/11/penegertian-tuna-netra.html (diakses tanggal 7 April 2011)

http://www.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=print&sid=704 (diakses tanggal 10 April 2011)

Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1980 Tentang Usaha Kesejahteraan Sosial Bagi Penderita Cacat.

www.depdiknas.go.id  


(3)

Draf Wawancara

I. Profil informan Orang tua : 1. Siapa nama bapak /ibu?

2. Apa agama atau keyakinan bapak/ibu? 3. Apa suku atau etnis bapak atau ibu? 4. Apakah pendidikan terakhir bapak/ibu? 5. Berasal dari daerah mana bapak/ibu? 6. Sudah berapa lama bapak/ibu menikah?

7. Apakah bapak/ibu sudah dikaruniai anak dan berapa jumlah anak bapak/ibu? 8. Apakah anak bapak/ibu mengalami hal yang sama dengan bapak/ibu?

II. Karakteristik Orang tua Difabel

9. Sudah berapa lama bapak/ibu mengalami kebutaan?

10.Factor apa yang menyebabkan bapak/ibu mengalami kebutaan?

11.Apakah orangtua dari bapak/ibu juga mengalami hal yang sama dengan bapak/ibu? 12.Apakah bapak/ibu pernah merasa malu dengan kondisi yang bapak/ibu alami?

13.Apakah bapak/ibu pernah diasingkan dari keluarga karena kondisi yang bapak/ibu alami? 14.Bagaiman cara bapak/ibu mengajarkan kepada anak-anak agar dapat menerima kondisi

yang bapak/ibu alami, dan bagaimana hubungan bapak/ibu setelah mengerti keadaan bapak/ibu?


(4)

III. Profesi Orangtua Difabel

15.Sudah berapa lama bapak/ibu berprofesi sebagai tukang pijat? 16.Darimana bapak/ibu mengetahui teknik memijat?

17.Berapa lama bapak/ibu belajar teknik memijat?

18.Apakah bapak/ibu memiliki keahlian lain selain memijat?

19.Apakah bapak/ibu pernah bekerja dengan profesi lain selain memijat? 20.Apakah bapak/ibu memiliki sertifikat memijat resmi?

21.Berapakah jumlah pendapatan bapak/ibu perbulan?

22.Apakah pendapatan bapak/ibu dapat mencukupi kebutuhan keluarga setiap hari?

IV. Pola Asuh

23.Bagaimana cara bapak/ibu dalam mendidik anak-anak?

24.Darimana bapak/ibu mengetahui cara atau metode dalam mengasuh dan mendidik anak? 25.Berapa lama bapak/ibu belajar cara atau metode dalam mengasuh dan mendidik anak? 26.Apakah bapak/ibu mengalami kesulitan dalam mendidik dan mengasuh anak-anak

dengan keterbatasan yang bapak/ibu miliki?

27.Kesulitan atau kendala-kendala apa saja yang bapak/ibu alami dalam mendidik anak? 28.Apakah bapak/ibu memiliki metode atau cara tertentu dalam mengasuh dan mendidik

anak?

V. Pola Asuh Authoritative/ Pola Asuh Demokratis. 29.Apakah bapak/ibu membuat peraturan dirumah?


(5)

31.Apa yang bapak/ibu lakukan jika anak melanggar peraturan tersebut?

32.Apakah bapak/ibu memberikan kebebasan kepada anak-anak misalnya dalam hal bergaul, bermain, dan belajar?

33.Apakah bapak /ibu tetap menemani anak dalam belajar dirumah?

34.Apakah bapak/ibu membantu anak jika anak mengalami kesulitan dalam belajar? 35.Apakah bapak/ibu mau mendengarkan keinginan atau pendapat dari anak?

36.Apakah anak bapak/ibu adalah termasuk anak yang mandiri? 37.Apakah bapak/ibu memberikan tugas rumah kepada anak-anak? 38.Apakah bapak/ibu mengetahui nilai pelajaran anak-anak di sekolah? 39.Apakah bapak/ibu selalu mengajarkan pendidikan agama kepada anak?

40.Seberapa seringkah bapak/ibu melakukan bincang-bincang dengan anak-anak? 41.Apakah bapak/ibu mengetahui teman-teman dari anak-anak?

42.Seberapa seringkah anda melakukan rekreasi/ jalan-jalan bersama anak-anak? VI. Pola Asuh Authoritarian/Otoriter

43.Apakah bapak/ibu membatasi ruang gerak/ pergaulan dari anak? 44.Apakah bapak/ibu pernah bertengkar dengan anak-anak?

45.Apakah bapak/ibu pernah memukul anak-anak? 46.Apakah bapak/ibu pernah membentak anak-anak?

47.Apakah bapak/ibu pernah memaksa anak-anak untuk menuruti semua yang bapak/ibu inginkan?

48.Apakah anak bapak/ibu pernah melawan atau membangkang terhadap bapak/ibu? 49.Menurut bapak/ibu apakah anak-anak takut kepada bapak/ibu?


(6)

51.Apakah anak bapak/ibu memiliki teman yang banyak di luar rumah? 52.Apakah anak bapak/ibu selalu mengerjakan tugas sekolah dirumah?

VII. Pola asuh Permisive a. Pola Asuh Penyabar

53.Apakah bapak/ibu memberikan segala sesuatu yang diinginkan anak tanpa mnanyakan alasan yang tepat kepada anak?

54.Apakah bapak/ibu pernah membela anak meskipun anak berada posisi yang salah? 55.Apakah anak bapak/ibu termasuk anak yang manja?

56.Apakah anak bapak/ibu memiliki sifat egois?

b. Pola Asuh Penelantar

57.Apakah bapak/ibu selalu meluangkan waktu kepada anak setiap hari?.

58.Apakah bapak/ibu menanyai kepada anak mengenai masalah yang dihadapinya? 59.Apakah bapak/ibu sering melakukan makan malam bersama dengan anak-anak? 60.Apakah bapak/ibu sering menghabiskan waktu diluar?