Hukum Selain Allah

b. Hukum Selain Allah

Masalah hukum selain Allah tidak berbeda dengan masalah berdoa kepada selain Allah. Para penentang mereka berkata: “Alangkah miripnya malam ini dengan kemarin malam! Dan alangkah miripnya argu-mentasi mereka dengan argumentasi kaum Khawârij dalam mengkafir-kan orang-orang yang menyetujui proses penghakiman (tahkîm) pada peristiwa perang Shiffin dengan menggunakan firman Allah yang berbunyi:

1 Risalah Syifâ’ Ash-Shudûr, cet. 1, Muassasah An-Nur.

B EBERAPA K AJIAN P ENGANTAR 91

“Keputusan menetapkan [sesuatu] hanyalah hak Allah; hanya kepada- Nyalah aku bertawakal dan hendaklah hanya kepada-Nya saja orang-

orang yang bertawakal berserah dir.” (QS. Yusuf [12]:67)

Dan firman-Nya, “Patutkah aku mencari hakim selain dari Allah, padahal Dia-lah yang

telah menurunkan kitab (Al- Qur’an) kepadamu?” (QS. Al-An‘am [6]:114).

Permulaan se mua itu adalah perang Shiffin ketika Mu‘awiyah meme- rintahkan pasukannya untuk menancapkan Al- Qur’an di ujung-ujung tombak dan mengajak bala tentara Irak untuk menerima hukum dan ketentuan Allah. Mayoritas qâri’ yang terdapat di dalam barisan tentara Irak terperdaya dengan itu dan memaksa Imam Ali as. untuk meng-

h entikan peperangan dan menerima ajakan Mu‘awiyah untuk menga- dakan konsolidasi. Mu‘awiyah menentukan ‘Amr bin ‘Ash sebagai wakil (penengah) dari pihaknya dan bala tentara Irak memaksa Imam Ali as. untuk mengutus Abu Musa Al- Asy‘ari sebagai wakil (penengah) dari pihaknya. Ketika kedua wakil tersebut telah bertemu, ‘Amr bin ‘Ash menipu Abu Musa seraya berkata: “Mari kita cabut Ali dan Mu‘awiyah (dari kursi kekhalifahan) dan membiarkan masyarakat memilih pemimpin mereka sendiri.”

Abu Musa berbicara terlebih dahulu seraya berkata: “Aku men-cabut Ali dan Mu‘awiyah (dari kursi kekhalifahan) supaya muslimin dapat memilih pemimpin mereka sendiri.” Setelah itu, Ibn ‘Ash berbicara seraya berkata: “Sesungguhnya ia telah mencabut sahabatnya sendiri (dari kursi kekhalifahan) seperti kamu lihat sendiri, dan aku menobatkan sahabatku untuk memegang pucuk kepemimpinan.” Setelah itu, mereka berdua bertengkar dan saling mencaci-maki, kemu-dian berpisah.

Setelah peristiwa itu, bala tentara Irak merasa bersalah dengan menyetujui konsolidasi tersebut dan menyeru seluruh masyarakat dengan syiar lâ hukma illâ lillâh (tiada hukum kecuali hanya milik Allah). Mereka berkata: “Kami telah kafir dengan menerima penghakiman tersebut dan bertaubat kepada Allah. Orang lain juga wajib mengakui kekafirannya dan bertaubat seperti kami. Barang siapa tidak mau melaku-kannya, maka ia adalah orang kafir.”

92 S YI ’ AH DAN A HLI S UNNAH

Begitulah, pertama kali mereka mengkafirkan seluruh individu yang ikut andil dalam sel uruh peristiwa tersebut, seperti ‘Aisyah, ‘Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, Mu‘awiyah, ‘Amr bin ‘Ash, dan orang-orang yang mengikuti mereka. Setelah itu, hukum kafir mereka itu meliputi seluruh muslimin. Mereka menamakan diri mereka dengan “Khawârij”. Beberapa masa lamanya mereka selalu memanggul pedang mereka dan memerangi seluruh muslimin. 1

Sungguh benar Rasulullah saw. ketika memberitakan tentang kaum Khawârij dalam sabdanya, “Mereka membunuh para pemeluk Islam dan menyeru para penyembah berhala. Seandainya aku memenangi mereka,

niscaya akan kubunuh mereka seperti kaum ‘Ad dibasmikan.” 2 Dan dalam riwayat- riwayat yang lain disebutkan, “Niscaya akan kubunuh mereka

sebagaimana kaum Tsamud dibasmikan.” 3

Jawaban Para Penentang

Dalam menjawab klaim mereka itu, para penentang menegaskan bahwa setiap ayat Al- Qur’an menafsirkan ayat yang lainnya. Jika di dalam Al- Qur’an terdapat firman Allah yang berbunyi: “Tiada hukum kecuali hanya bagi Allah,” di dalam Al-Qur’an juga terdapat firman Allah yang berbunyi:

“Jika mereka [orang-orang Yahudi] datang kepadamu [untuk memin-ta keputusan], maka putuskanlah [perkara itu] di antara mereka, atau

1 Tentang perang Siffin itu silakan rujuk Târîkh Ath-Thabarî, Ibn Atsîr, dan Ibn Katsîr. Begitu juga silakan rujuk informasi tentang kaum Khawârij itu di dalam buku-buku

tersebut dan buku-buku sejarah lainnya. 2 Beliau bersabda demikian ketika putra paman Rasulullah saw., Ali pulang kembali dari

Yaman dengan membawa emas dan Nabi saw. membagi-bagikannya di antara empat golongan dari orang-orang yang ingin ditarik hatinya supaya dapat melindungi Islam ( mu’allafah qulûbuhum). Orang-orang Quraisy dan Anshar marah seraya berkelakar, “Dia memberikannya kepada para pemimpin penduduk Najd dan membiarkan kita!” Beliau menjawab, “Aku ingin menarik hati mereka.” Seseorang berkepala botak maju ke depan seraya berkata, “Hai Muhammad, takutlah kepada Allah.” Beliau menjawab, “Siapakah yang taat kepada Allah jika aku bermaksiat kepada-Nya? Apakah seluruh penduduk bumi percaya kepadaku dan kamu tidak mempercayaiku?” Ketika ia telah pergi, beliau bersabda: “Sesungguhnya dari keturunan orang ini akan muncul suatu kaum yang membaca Al- Qur’an dan Al-Qur’an itu tidak melampui melebihi tenggorokan mereka. Mereka akan keluar dari Islam layaknya anak panah keluar dari busurnya. Mereka membunuh para pemeluk Islam ....” Lihat Shahîh Al-Bukhârî, kitab At-Tauhîd, bab firman Allah, “Ta ‘ruju(l) malâ’ikah ...”, jil. 4, hal. 188; Shahîh Muslim, kitab Az- Zakâh , bab Dzikr Al-Khawârij wa Shifâtihim, hadis ke-143, hal. 741.

3 Shahîh Muslim, kitab Az-Zakâh, bab Dzikr Al-Khawârij wa Shifâtihim, hadis ke-143, 144, 145, dan 146.

B EBERAPA K AJIAN P ENGANTAR 93

berpalinglah dari mereka. Jika kamu berpaling dari mereka, maka mereka tidak akan memberi mudarat kepadamu sedikit pun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah di antara mereka dengan adi.” (QS. Al-Ma’idah [5]:42)

Dalam ayat ini, Rasulullah saw. telah diberi kekuasaan untuk menen-tukan keputusan di antara orang-orang Yahudi. Dan dalam ayat yang lain, Allah memerintahkan supaya umat manusia menentukan seorang penengah dari kalangan mereka sendiri. Dia berfirman:

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimkanlah seorang penengah [hakam] dari keluarga laki-laki dan

seorang penengah dari keluarga wanita. Jika kedua orang penengah itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu.” (QS. An-Nisa’ [4]:35)

Tidak ada kontradiksi antara kedua ayat di atas. Ketika ayat pertama itu menetapkan bahwa hukum hanya milik Allah semata, ia tidak mene- tapkan sebuah hukum yang terbatas, sebagaimana halnya hukum yang dimiliki oleh para hakim dalam mahkamah-mahkamah pengadilan; mereka hanya berhak menentukan hukum di antara masyarakat sesuai dengan hukum-hukum yang telah diresmikan dan mereka tidak berhak menentukan seorang hakim sesuai dengan pilihan mereka sendiri, karena hal ini adalah kewenangan orang yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi. Atas dasar ini, para hakim tidak memiliki kewenangan hukum secara absolut. Tugas mereka hanyalah menentukan sebuah hukum di antara masyarakat saja. Akan tetapi, Allah memiliki kewenangan untuk menentukan keputusan di antara umat manusia dengan hukum-Nya dan juga berhak menentukan orang lain untuk menentukan sebuah hukum. Yaitu, Dia memiliki kewenangan untuk menentukan seorang hakim untuk urusan apa saja dalam kerajaan-Nya ini. Dengan demikian, Dia memiliki kewenangan hukum secara absolut.

Atas dasar ini, ketika para nabi menentukan sebuah hukum, mere-ka telah menentukannya dengan hukum dan ketentuan Allah. Begitu kedua penengah tersebut yang bertindak menjadi penengah antara suami istri.

Oleh karena itu, hukum para hakim (yang telah ditunjuk oleh Allah itu) —ketika mereka menentukan sebuah hukum atas dasar hukum-Nya— tidak bisa dianggap sebagai selain hukum Allah, hukum selain Allah, hukum tanpa restu Allah, dan hukum yang setara dengan hukum Allah.

94 S YI ’ AH DAN A HLI S UNNAH

Bahkan hukum mereka itu adalah sebuah hukum dengan perintah dan izin Allah.

Jawaban atas mereka berkenaan dengan masalah “berdoa kepada sela in Allah” akan disebutkan setelah ini dalam pembahasan “Menyeru

Rasulullah saw. dan Menjadikan Beliau Perantara Menuju Allah”, insyâ- Allah .

Begitu juga halnya berkenaan dengan ayat-ayat lain yang menetapkan sebagian sifat Allah, karena ayat-ayat tersebut tidak menetapkannya bagi Allah sebagai sifat yang terbatas dengan batasan tertentu. Bahkan, ia menetapkannya bagi Allah secara absolut, seperti sifat “Maha Raja” bagi Allah swt.

Sifat Maha Raja Bagi Allah

Tidak ada kontradiksi antara penetapan sifat “Maha Raja ” bagi Allah swt. dalam firman-Nya:

“Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya. Dan hanya kepada Allah-lah tempat kembali

[segala sesuatu]” (QS. Al-Ma’idah [5]:18), “Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan tidak memiliki sekutu dalam kerajaan- Nya.” (QS. Al-Isra’ [18]:111),

Dan firman-Nya yang terdapat di dalam surat Al-Furqan [25], ayat 2 dan lain sebagainya dengan firman-Nya yang berbunyi:

“Sahaya-sahaya yang kamu miliki” (QS. An-Nisa’ [4]:3, 24, 25, dan 36)

Serta ayat-ayat yang lain yang memiliki kandungan yang serupa dengannya, karena Allah swt. berfirman:

“Katakanlah, ‘Wahai Tuhan yang memiliki kerajaan, Engkau beri-kan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki, Engkau mulia-kan orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan orang yang Engkau

kehendaki. Di tangan-Mu-lah segala kebajikan. Sesungguh-nya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali ‘Imran [3]:26).

Dengan demikian, ketika Allah memberikan hak memiliki kepada hamba- Nya, hamba tersebut tidak memiliki hak memiliki yang setara dengan (hak kepemilikan) Allah; ia tidak memiliki selain Allah dan tidak memiliki tanpa Allah. Sesungguhnya hamba dan segala yang dimilikinya itu adalah milik Allah semata, dan hak kepemilikan hamba dengan hanya izin Allah

B EBERAPA K AJIAN P ENGANTAR 95

ini adalah salah satu manifestasi “segala kerajaan adalah milik Allah”. Artinya, kerajaan Allah tidak terbatas seperti kerajaan hamba-Nya yang

dibatasi dengan batasan-batasan kehendak Allah dan izin-Nya. Hamba tidak memiliki daya untuk memanfaatkan apa yang telah dikuasakan oleh Allah atasnya melebihi batasan-batasan yang telah ditentukan oleh-Nya, baik dari sisi masa, tempat, dan hegemoni. Begitu juga halnya dengan sifat “Maha Pencipta”.

Maha Pencipta dan Maha Penghidup

Begitu juga halnya dengan sifat ‘Maha Pencipta’ dan ‘Maha Penghidup’. Allah swt. berfirman:

“Pencipta segala sesuatu.” (QS. Al-An‘am [6]:102) “Adakah pencipta selain Allah?” (QS. Fathir [35]:3), “Ingatlah, mencipta dan memerintah hanyalah hak Allah.” (QS. Al- A‘raf [7]:54). “Dan Dialah yang menghidupkan dan mematikan.” (QS. Al- Mu’minun [23]:80) “Maka Allah, Dia-lah pelindung [yang yang sebenarnya] dan Dia menghidupkan orang- orang yang mati.” (QS. Asy-Syura [42]:9)

Tidak ada kontradiksi antara semua ayat itu dengan realita bahwa Allah telah memberikan izin kepada Nabi Isa bin Maryam as. untuk mencip- takan dan menghidupkan, sebagaimana Allah swt. berfirman kepadanya dengan menjadikannya sebagai lawan bicara:

“Dan [ingatlah] di waktu kamu membentuk dari tanah [suatu bentuk] yang berupa burung dengan izin-Ku, kemudian kamu meniup padanya, lalu bentuk itu menjadi burung [yang sebenarnya] dengan seizin-Ku. Dan [ingatlah] ketika kamu menyembuhkan orang yang buta sejak

dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan seizin- Ku, dan [ingatlah] waktu kamu mengeluarkan orang yang mati dengan izin- Ku.” (QS. Al-Ma’idah [5]110)

Dan firman-Nya ketika mensenyalir kalimat Isa as.: “Aku membuat untuk kamu [sesuatu] yang berbentuk burung dari tanah, kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan aku menyembuhkan orang yang buta dari sejak

lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak, dan aku menghidupkan orang yang mati dengan seizin Allah ....” (QS. Ali ‘Imran [3]:49)

96 S YI ’ AH DAN A HLI S UNNAH

Sesungguhnya Allah swt. ketika mencipta, Dia tidak mencipta seperti layaknya alat-alat (mekanik) yang dapat membuat sesuatu, tapi tidak dapat mengontrol tindakannya (dengan sendirinya) —Allah Maha Agung dari itu semua —dan tidak pula seperti layaknya manusia yang—ketika beraktifitas— tidak dapat memberikan kekuatan untuk beraktifitas kepa-da selainnya. Tetapi, Dia mampu untuk menciptakan kehidupan, baik bagi manusia maupun binatang, melalui perantara hubungan badan antara suami dan istri, mampu untuk menciptakan dengan kedua tangannya tanpa peran- tara seorang ayah dan ibu, seperti Nabi Adam, dan Dia juga mampu untuk memberikan izin kepada Nabi Isa as. untuk mencipta. Dan pencipta (hakiki) dalam semua itu adalah Allah swt.

Begitu juga halnya berkenaan dengan menghidupkan. Dia mampu untuk menghidupkan orang yang mati tanpa perantara pada Hari Kiamat, mampu untuk memberikan kemampuan menghidupkan kepa-da rasul- Nya, Isa bin Maryam as., lalu dengan itu ia menghidupkan orang yang mati dengan izin-Nya, dan juga mampu untuk menjadikan kemampuan menghidupkan di dalam pukulan sebagian daging sapi berwarna kuning yang dimiliki oleh Bani Israil ketika daging itu dipukulkan kepada orang yang telah mati di antara mereka, lalu ia hidup kembali dan member- tahukan pembunuh dirinya kepada mereka. 1

Ketika Isa bin Maryam menciptakan burung dan menghidupkan orang yang telah mati, semua itu terjadi dengan izin Allah. Dan atas dasar ini, ketika Isa menciptakan burung dan menghidupkan orang yang mati, ia tidak menciptakan dan menghidupkan beserta Allah, tidak menciptakan dan menghidupkan selain Allah, serta tidak menciptakan dan menghidup- kan di luar kehendak Allah. Akan tetapi, ia menciptakan dan menghidup- kan dengan izin Allah.

Pelindung dan Pemberi Syafaat

Begitu juga halnya dengan sifat ‘Pelindung’ dan ‘Pemberi syafaat’. Ayat-ayat yang berbunyi:

“Apakah mereka mengambil pemberi syafaat selain Allah? Katakan-lah, ‘Dan apakah [kamu mengambilnya juga] meskipun mereka tidak memiliki sesuatu apa pun dan tidak berakal?’ Katakanlah, ‘Hanya milik Allah seluruh syafaat itu. Hanya milik-Nya kerajaan langit dan

1 Hal ini mengisyaratkan kepada kandungan surat Al-Baqarah, ayat 67-73.

B EBERAPA K AJIAN P ENGANTAR 97

bumi. Kemudian hanya kepada-Nya-lah kamu akan dikembali- kan.’” (QS. Az-Zumar [39]:43-44)

“Tidak ada bagi kamu selain-Nya seorang pelindung pun dan tidak [pula] seorang pemberi syafaat. Apakah kamu tidak memperhati- kan?” (QS. As-Sajdah [32]:4)

“Bagi mereka tidak tidak ada seorang pelindung dan pemberi syafaat pun selain Allah.” (QS. Al-An‘am [6]:51) “Peringatkanlah [mereka] dengan Al-Qur’an agar masing-masing diri tidak dijerumuskan ke dalam neraka karena per buatannya sendiri. Tidak akan ada baginya pelindung dan tidak [pula] pemberi syafaat selain dari Allah.” (QS. Al-An‘am [6]:70)

Ayat-ayat ini tidaklah bertentangan dengan ayat-ayat yang menegaskan: “Tidak seorang pun yang dapat memberi syafaat kecuali setelah ada izin-

Nya.” (QS. Yunus [10]:3) “Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2]:255) “Pada hari itu tidak berguna syafaat, kecuali [syafaat] orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya dan Dia telah meridai ucapannya.” (QS. Thaha [20]:109)

“Dan tiadalah berguna syafaat di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan- Nya.” (QS. Saba’ [34]:23), “Mereka tidak ber-hak

mendapatkan syafaat kecuali orang yang telah mendapatkan per-janjian di sisi Tuhan Yang Maha Pemurah.” (QS. Maryam [19]:87)

“Dan mereka tidak memberi syafaat kecuali kepada orang yang diridai Allah.” (QS. Al-Anbiya’ [21]:28)

Sesungguhnya ketika Allah swt. memberikan izin kepada para hamba-Nya yang salih untuk memberikan syafaat, syafaat itu adalah milik Allah, lalu Dia memberikan izin kepada mereka untuk memberikan syafaat. Dengan demikian, pemberi syafaat tidaklah memberi syafaat di luar izin Allah.

Begitu juga halnya dengan sifat ‘Pelindung’. Sesungguhnya firman- firman Allah yang menegaskan: “Sesungguhnya kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi. Dia menghidupkan dan mematikan. Dan sekali-kali tidak ada pelindung dan penolong bagimu selain Allah.” (QS. At-Taubah [9]:116)

98 S YI ’ AH DAN A HLI S UNNAH

“Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah? Dan tiada bagimu, selain Allah, seorang pelindung

maupun seorang penolong.” (QS. Al-Baqarah [2]:107) “Apakah orang-orang kafir menyangka bahwa mereka [dapat] meng- ambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain Aku? Sesungguhnya Kami telah menyediakan Neraka Jahanam tempat tinggal bagi orang- orang kafir.” (QS. Al-Kahfi [18]:102)

Ayat-ayat di atas ini juga tidak bertentangan dengan firman-Nya: “Sesungguhnya wali [pelindung]mu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang menegakkan salat dan menunaikan zakat sedangkan mereka sedang dalam kondisi rukuk.” (QS. Al-

Ma’idah [5]:55)

Tidak ada kontradiksi antara kedua klasifikasi ayat tersebut dan tidak pula syirik ketika kita berkata: “Allah, Rasul-Nya, dan mukminin yang mene- gakkan salat dan menunaikan zakat dalam kondisi rukuk adalah pelindung (wali) kita, karena wilâyah adalah milik Allah semata dan Dia telah menganugerahkannya kepada mereka berdua, sebagaimana Dia telah memberikan wilâyah kepada orang tua atas anaknya.

Dalam semua sifat tersebut di atas dapat dikatakan bahwa Allah adalah penentu ketentuan, pemilik, pemberi syafaat, dan pelindung, dan dapat juga dikatakan bagi orang yang telah diberi anugerah tersebut bahwa ia adalah pemilik, penentu ketentuan, pembeir syafaat, dan pelindung. Contoh paling gamblang atas apa yang telah kami jelaskan tersebut adalah hal-hal berikut ini:

Malaikat Pencabut Nyawa

Allah swt. berfirman: “[Yaitu] orang-orang yang diwafatkan oleh para malaikat dalam

keadaan zalim kepada diri mer eka sendiri.” (QS. An-Nahl [16]:28)

“[Yaitu] orang-orang yang diwafatkan oleh para malaikat dalam keadaan baik ....” (QS. An-Nahl [16]:32)

“Katakanlah: ‘Malaikat maut yang diserahi [tugas untuk mencabut nayawa]mu akan mewafatkanmu, kemudian hanya kepada Tuhan-

mulah kamu akan dikembalikan.’” (QS. As-Sajdah [32]:11)

B EBERAPA K AJIAN P ENGANTAR 99

“Allah memegang jiwa [orang] ketika matinya.” (QS. Az-Zumar [39]:42)

Orang yang mengatakan bahwa para malaikat akan mewafatkan jiwa manusia ketika kematiannya (tiba) dengan izin Allah, ia tidak ber-bohong dan tidak syirik, dan juga orang yang mengatakan bahwa malaikat maut, Izra’il mewafatkan jiwa (seseorang) ketika ajalnya (tiba) dengan izin Allah, ia tidak berbohong dan tidak syirik. Di dalam seluruh kondisi tersebut, bukan selain Allah dan juga bukan seseorang beserta Allah yang telah mewafatkan jiwa seseorang. Tetapi, Allah-lah yang telah mewafatkannya. 1 Begitu juga halnya berkenaan dengan sifat-sifat lain yang telah disebutkan sebelumnya.

Menyeru Nabi saw. dan Bertawasul Kepada Beliau

Berdasarkan penjelasan yang telah kami paparkan bahwa jika masing- masing penentu hukum, pemilik, pemberi syafaat, pencipta, orang yang menghidupkan dan mematikan telah mendapatkan izin dari Allah, maka tidak ada sesuatu yang lain selain Allah, tanpa Allah, dan beserta Allah. Menyeru Rasulullah saw. dan bertawasul kepada beliau untuk menuju kepada Allah pun jika berlandaskan izin Allah, maka dalam hal ini tidak ada sesuatu yang lain selain Allah, tanpa Allah, dan beserta Allah, dan hal itu bukan termasuk hal-hal yang telah dilarang oleh Allah dalam firman- Nya: “Dan janganlah kamu menyeru seseorang beserta Allah.”

Dan kita telah ketahui bersama dalam hadis yang diriwayatkan dalam Musnad Ahmad , Sunan At-Tirmidzî, Ibn Majah, dan riwayat Al-Baihaqî sebelum ini dan telah disahihkan oleh mereka bahwa Rasulullah saw. pernah mengajarkan kepada seorang sahabat yang ditimpa penyakit untuk membaca (doa berikut ini) seusai mengerjakan salat:

1 Argumentasi ini disadur dari ucapan Imam Ali as. dalam rangka mengkritisi klaim kaum zindîq dan pengikut aliran Tsanawiyah yang diriwayatkan oleh Syaikh Shadûq

dalam buku At-Tauhîd, hal. 241.

S YI ’ AH DAN A HLI S UNNAH

Lalu Allah mengabulkan hajatnya dan menjadikan Rasul-Nya sebagai pemberi syafaatnya, serta menyembuhkan penyakitnya. 1 Jenis tawasul

semacam ini adalah salah satu manifestasi dari firman Allah: “Dan carilah perantara untuk mendekatkan diri kepada-Nya.” (QS. Al-

Ma’idah [5]:35) “Mereka sendiri mencari perantara [untuk menuju] kepada Tuhan mereka.” (QS. Al-Isra’ [17]:57)

Sampai di sini, kini telah kami paparkan sebagian masalah yang menjadi ajang perbedaan pendapat dan telah kami sebutkan sumber —yang secara lahiriah —menjadi pemicu munculnya perbedaan tersebut. Pada pembaha- san berikut ini, kita akan menelaah faktor hakiki atas kemunculan perbedaan pendapat itu. Faktor hakiki tersebut adalah dua hal:

Pertama , kesombongan para makhluk untuk selamanya. Kedua , kebutuhan kaum penguasa dalam umat ini untuk mem-

perlihatkan kehidupan para figur insaniah sedemikian rupa sekiranya tidak bertentangan dengan kehidupan mereka yang selalu bergelimang dalam lumpur syahwat.

Penjelasan kedua faktor tersebut adalah sebagai berikut:

1. Faktor Pertama Terjadinya Perbedaan Pendapat