Pengantar Edisi Kedua Dengan nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

36 Prinsip Tauhid dan Paham Wahhabisme

ucapan beliau walaupun sahabat-sahabat yang lebih tua dari beliau tidak sepakat dengan ucapan beliau. ″Oleh karenanya, jika dua pribadi ini (Aisyah ra dan Ibnu Abbas ra) saling berbeda pendapat, maka tidak benar kita mengatakan bahwa Ibnu Abbas telah berbuat dusta besar atas Allah Swt, lantaran beliau telah menyatakan sesuatu yang ditolak oleh Aisyah ra. Bahkan kepada para ulama pun, seandainya mereka mengalami kesalahan dalam mengartikan sebagian ayat Al-Quran atau menyatakan sesuatu yang tampak bertentangan dengan sebagian hadis Nabi Saw yang jumlahnya sangat banyak, maka tetap kita tidak dibenarkan untuk menganggap bahwa mereka adalah orang-orang yang telah berbuat dusta besar terhadap Allah Swt. Jika demikian, bagaimana mungkin kita dapat menganggap seorang yang menyatakan sesuatu yang sama sekali tidak dijelaskan dalam Al-Quran dan hadis, sebagai seorang yang telah berbuat dosa besar atas Allah Swt. Maka dari itu,

pahamilah baik-baik dan janganlah berbuat kesalahan! 1 ″ Ini adalah sebagian dari ucapan Ibnu Khuzaimah, seorang yang

dianggap oleh kelompok Wahhabi sebagai guru para penulis kitab sahih dan imam para ulama. Dari ungkapannya, tampak bahwa ia terbawa oleh hawa nafsunya, sehingga ia telah melampaui batas dalam membuktikan akan kesalahan ucapan Aisyah ra yang menolak bahwa Nabi Saw telah melihat Allah Swt dengan mata kepala beliau. Perilaku buruk dan kelancangan yang dilakukannya ini, membuat peneliti kitabnya Syekh Muhammad Khalil Haras, seorang gurubesar Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar Kairo, menjadi berang, sehingga dalam catatan kaki kitab tersebut dengan nada yang keras ia menjawab ucapan Ibnu Khuzaimah dan menuliskan:

Pertama: Sesungguhnya Aisyah ra jelas-jelas menolak dan mengingkari anggapan bahwa Nabi Saw telah melihat Allah Swt. Oleh karena itu, dengan tegas beliau berkata kepada Masyruq, ″Ucapanmu telah membuat rambutku memutih!″. Tidaklah berhak bagi penulis untuk mengajari sopan santun kepada Ummul Mukminin ra, karena beliau lebih mengetahui apa yang dikatakannya daripada dirinya.

1- Al-Tawhîd, hlm. 225.

BAB I: Sepintas Masalah Ru ′yah

Kedua: Ucapan Aisyah ra tidak ditujukan untuk orang tertentu, namun beliau melontarkannya secara umum.

Ketiga: Tidak dapat dibuktikan bahwa yang dimaksud Ibnu Abbas ra adalah bahwa Nabi Saw melihat Tuhannya dengan mata kepala beliau. Namun terdapat kesaksian bahwa yang dimaksud Ibnu Abbas adalah bahwa Nabi Saw melihat Allah Swt dengan hati dan nurani beliau.

Keempat: Bagaimana mungkin ucapan Ibnu Khuzaimah ini dapat ditujukan kepada Aisyah ra, padahal mayoritas sahabat seperti Ibnu Mas ′ud dan lainnya, sepakat dengan beliau dalam masalah ini. Adapun istri-istri Nabi Saw lainnya, tidak ada bukti bahwa di antara mereka yang tidak sependapat dengan beliau dalam masalah ini. Selain itu, tidak ada satu dari mereka yang memiliki keluasan ilmu dan pemahaman seperti Aisyah ra.

Kelima: Seharusnya, mereka yang berpendapat bahwa Nabi Saw telah melihat Allah Swt, mengutarakan argumentasi yang mendukung pendapat mereka. Karena yang pertama harus kita hukumi, ialah menafikan sesuatu, sehingga kita menemukan bukti unutk dapat menetapkannya. Dan hal ini tidak dilakukan oleh mereka. Namun sebaliknya, justru Aisyah lah yang telah membawakan beberapa argumen ayat-ayat Al-Quran, padahal beliau dalam posisi menafikan sesuatu, yaitu melihat Allah Swt. Selayaknya, seorang yang ingin menetapakan sesuatulah yang harus mengutarakan argumentasi. Karena jika tidak terdapat bukti, maka penafianlah yang harus didahulukan dan untuk menafikan sesuatu tidak membutuhkan sebuah bukti.

Keenam: Cukup menakjubkan! Bagaimana mungkin seorang Imam para ulama telah mengkhianati ilmunya sendiri? Bagaimana mungkin ia dapat memahami bahwa penglihatan yang dinyatakan oleh Al- Quran tidak dapat melihat Allah Swt adalah penglihatan banyak orang dan bukan penglihatan satu orang? Apakah jika seseorang mengatakan, ″Aku tidak memakan buah delima″, maka kita akan memahami bahwa ia tidak memakan banyak buah delima, namun yang dimakannya hanya satu buah delima saja? Semoga Allah Swt merahmati Ibnu Khuzaimah! Sungguh ia telah terperosok dan melakukan kesalahan.

38 Prinsip Tauhid dan Paham Wahhabisme

Ada beberapa poin yang ingin kami tambahkan dari apa yang telah dikatakan oleh Syekh Muhammad ini. Pertama, kami tidak mendapatkan dari hadis-hadis yang termaktub dalam kitab-kitab standar saudara kami Ahli Sunnah, yang menyatakan bahwa Nabi Saw telah melihat Allah Swt saat Isra ′ dan Mi′raj, kecuali beberapa hadis yang diriwayatkan dari Abu Dzar dan Aisyah ra. Dalam hadis tersebut pun, Nabi Saw mengingkari bahwa beliau telah melihat Allah Swt dengan mata kepala beliau. Sungguh mereka yang mengatakan bahwa Nabi Saw telah melihat Allah Swt, tidak pernah membawakan satu hadis pun yang menegaskan bahwa beliau telah melihat Allah Swt dengan mata kepala beliau. Mereka berpendapat demikian semata berdasarkan ijtihad mereka sendiri. Jadi pada dasarnya, yang saling bertentangan adalah antara hadis-hadis, yang diriwayatkan oleh Aisyah dan Abu Dzar ra, yang menafikan terlihatnya Allah Swt dengan kesimpulan-kesimpulan ijtihad mereka yang menyatakan sebaliknya. Dan bukan antara satu hadis dengan hadis lainnya.

Berkaitan dengan riwayat Ibnu Abbas ra, kita temukan bahwa kandungan riwayat-riwayat tampak membingungkan. Oleh karena itu, riwayat-riwayat tersebut dinyatakan gugur dan kita harus kembali kepada hukum semula, yaitu menafikan ru ′yah sehingga ada kesaksian yang menetapkannya. Sebelum mengkritik Aisyah ra, Ibnu Khuzaimah sendiri telah menukil hadis-hadis dari Ibnu Abbas ra yang menafikan terlihatnya Allah Swt dengan mata.

Ibnu Khuzaimah menuliskan, ″Para perawi yang menukil ucapan Ibnu Abbas berselisih pendapat dalam menakwil ayat, “Dan sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada waktu yang lain ”. Sebagian mereka, dengan menukil dari Ibnu Abbas, mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah Nabi Saw melihat Allah Swt dengan hati beliau. Dengan riwayat sebagai berikut.

Qasim bin Muhammad bin Ibad Mahlabi mengabarkan kepada kami, Abdullah bin Daud Khuraibi dan A ′masy dari Ziad bin Hushain dari Abul Aliah dari Ibnu Abbas ra, mengenai ayat, “Dan sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada waktu yang lain ”, beliau (Ibnu Abbas) berkata, ″Beliau melihat-Nya dengan hati.″

Telah mengabarkan kepadaku pamanku, Ismail, bahwa Abdurazzak berkata, Dari Israil dari Samak dari Ikrimah dari Ibnu Abbas ra,

BAB I: Sepintas Masalah Ru ′yah

beliau berkata, ″Mengenai ayat, ‘Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya ’, sesungguhnya beliau telah melihat Allah Swt dengan hatinya. 1 ″

Menarik perhatian, pada permulaan ucapannya, Ibnu Khuzaimah mengabaikan hadis Aisyah ra yang secara jelas dinukil dari Nabi Saw, ia pun bersikeras menganggapnya sebagian kesimpulan dari ijtihad Aisyah sendiri. Namun, dalam ucapan selanjutnya, ia mengakui bahwa yang diucapkan oleh Aisyah adalah hadis Nabi Saw. Namun ia menganggap hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, sebagai hadis yang bertolak belakang dengan hadis Aisyah ra. Kemudian ia menyatakan bahwa hadis Ibnu Abbas diutarakan lebih akhir daripada hadis Aisyah.

Yang menjadi pertanyaan, atas dasar apakah Ibnu Khuzaimah menghukumi ucapan Ibnu Abbas ra sebagai hadis Nabi Saw? Dan darimanakah ia mengetahui bahwa riwayat Ibnu Abbas diutarakan lebih akhir daripada riwayat Aisyah ra? Kita saksikan bersama bahwa riwayat Aisyah menafikan ru ′yah secara mutlak, sedangkan riwayat Ibnu Abbas menetapkan sebagian bentuk ru ′yah. Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa riwayat Aisyah ra diutarakan untuk menyanggah riwayat-riwayat yang menetapkan terlihatnya Allah Swt. Maka itu, bagaimana mungkin kita mengatakan bahwa riwayat Ibnu Abbas diutarakan lebih akhir daripada riwayat Aisyah?

Dan juga, atas dasar apakah ia membuat sebuah kaidah bahwa saat ada dua riwayat yang saling bertentangan, maka kita harus berpegangan dengan riwayat yang berisikan penetapan dan menganggap riwayat ini sebagai riwayat yang menggugurkan (menasikh) riwayat yang mengandung penafian? Apakah Ibnu Khuzaimah sendiri konsisten dengan kaidah yang buatnya tersebut? Apakah yang dilakukannya saat menghadapi dua riwayat yang saling bertentangan, yang satu menetapkan wasiat Nabi Saw akan kekhilafahan setelah beliau dan yang satunya menafikan? Apakah ia tetap akan mengatakan bahwa yang harus menjadi pegangan adalah riwayat yang menetapkan bahwasanya Nabi Saw telah berwasiat mengenai siapakah khalifah setelah beliau?

1- Ibid., hlm. 200.

40 Prinsip Tauhid dan Paham Wahhabisme

Apakah dikarenakan Ibnu Abbas ra lebih luas ilmunya dibanding Aisyah ra, maka ucapan Ibnu Abbas ra senantiasa harus lebih didahulukan daripada ucapan Aisyah ra? Jika demikian, maka hendaknya Ibnu Khuzaimah lebih berpegang kepada ucapan Ibnu Abbas ra yang mengabarkan bahwa Nabi Saw telah mengangkat Imam Ali as sebagai khalifah setelah beliau dan memerintahkan kepada seluruh umat Islam untuk berbaiat kepadanya di daerah yang

bernama Ghadir Khum 1 . Mengapa dalam masalah ini Ibnu Khuzaimah malah berpegangan kepada ucapan Aisyah yang

menafikan wasiat Nabi Saw dalam perkara ini? Saya tidak yakin Ibnu Khuzaimah akan komitmen dengan segala apa

yang telah dikatakannya. Apa yang dilakukannya adalah semata untuk menetapkan ru ′yah atas Allah Swt dengan mata kepala. Hal ini disebabkan dirinya telah terdoktrin untuk meyakini pemikiran tersebut sehingga hatinya tertutup untuk kembali merenungkannya. Akibatnya, untuk mempertahankan ideologi tersebut, ia bersedia merancang berbagai kaidah dan hukum, walaupun ia harus terjerumus dalam kontradiksi yang nyata.

Lain halnya dengan Syekh Muhammad Abduh, beliau tampak objektif saat memandang permasalahan ini. Dalam kitab tafsirnya, ia menuliskan, ″Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa pernyataan akan kontradiksinya riwayat Ibnu Abbas dan riwayat Aisyah adalah hasil ijtihadnya (Ibnu Khuzaimah) semata yang tidak didasari oleh satu pun hadis Nabi. Riwayat Ibnu Abbas ra yang menyatakan bahwa Nabi Saw telah melihat Allah Swt dengan mata hatinya lebih dapat kita terima, karena tidak bertentangan dengan riwayat Aisyah ra yang memberitakan bahwa yang dimaksud dua ayat surah Al-Najm adalah Nabi Saw telah melihat Jibril dengan rupa dan penciptaan aslinya.

″Adapun hadis yang dikatakan telah dinukil Ikrimah dari Ibnu Abbas ra, tidak menutup kemungkinan bahwa sebenarnya Ikrimah menukil hadis tersebut dari dari Ka ′ab Ahbar yang diriwayatkan oleh Muawiyah. Akan tetapi, riwayat ini tercatat dalam kitab Bukhari. Adapun riwayat Ibnu Ishaq menyatakan, sesungguhnya riwayat ini

1- Wasiat ini disampaikan oleh Nabi Saw sepulang beliau dari Haji Wada ′, haji terakhir yang beliau tunaikan.

41

BAB I: Sepintas Masalah Ru ′yah

sama sekali tidak dapat dijadikan sandaran dalam masalah ini. Karena Ibnu Ishaq adalah seorang pemalsu hadis. Walaupun ia adalah seorang yang dapat dipercaya dalam masalah peperangan, namun tidak demikian dalam meriwayatkan hadis. Dengan demikian, hadis Ibnu Abbas yang menetapkan penglihatan dengan hati, lebih dapat

dan layak untuk kita terima. 1 ″ Seandainya benar bahwa yang disampaikan Aisyah adalah hasil

ijtihad beliau sendiri, maka ijtihad tersebut merupakan ijtihad yang berdasarkan bukti dan dalil. Sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh Muhammad Abduh, ″Sesungguhnya Aisyah adalah orang yang paling fasih dari kalangan Quraisy yang berdalil guna menafikan ru ′yah atas Allah Swt. Beliau berdalil dengan membawakan ayat, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata. Dan tidak mungkin bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir ”. Beliau menjadikan kedua ayat tersebut sebagai bukti dalam menafikan ru ′yah atas Allah Swt di dunia ini. Namun perlu diingat, sebagaimana di dunia ini, melihat Allah Swt di akhirat pun merupakan suatu hal

yang mustahil. 2

1- Tafsîr Al-Manâr, jld. 9, hlm. 148. 2- Ibid., jld. 9, hlm. 139.