Sejarah Hunian Pegunungan Sewu
Sejarah Hunian Pegunungan Sewu
Berdasarkan hasil penyelidikan yang ada, di wilayah Pegunungan Sewu dapat ditelusuri corak budaya prasejarah yang lengkap mulai dari paleolitik, preneolitik atau mesolitik, neolitik, hingga paleometalik. Pentarikhan umur tertua terdapat di lapisan antropik (lapisan yang menunjukkan bekas aktivitas manusia) Song Terus sekitar 300.000 tahun yang lalu (tyl) atau Plistosen Tengah bagian atas. Umur termuda diperoleh dari gerabah, senjata besi, dan manik-manik di situs Klepu, yaitu sekitar 700 tyl. Kapan wilayah ini sebenarnya mulai dihuni, tidak diketahui secara pasti, namun mungkin terjadi
Prasejarah Gunung Sewu
Hunian “Pacitanian”
“Sebagai laboratorium sejati bagi penelitian masa lampau, Pulau Jawa memperkenalkan hampir sejuta tahun pengalaman manusia kepada kita, dimulai dari Paleolitik yang sangat kuno sampai ke kehidupan para petani pada kala awal Neolitik. Dari periode manapun juga, situs-situs arkeologi yang dijumpai banyak sekali terdapat baik di udara terbuka maupun di gua dan gua payung. Tepat di sebelah tenggara Pulau Jawa, kami melakukan penelitian di suatu daerah yang biasanya disebut sebagai Gunung Sewu.”
Hubert Forestier, “Ribuan Gunung, Ribuan Alat Batu” (2007)
Oleh: Awang Harun Satyana
Ilustrasi aktivitas manusia purba di depan gua tempat tinggalnya, digambar oleh Ayi Sacadipura dari berbagai sumber.
Kali Baksoka atau Baksoko, sebelah selatan Punung, Pacitan. Tahun 1935, von Koenigswald menemukan ribuan alat-alat batu, Paleolithic, di salah satu segmen sungai ini baik pada dasar sungai maupun di tebing teras/undak sungai. Foto: Awang Harun Satyana.
pada Plistosen Tengah (800.000-120.000 tyl). Corak artefak paleolitik yang ditemukan di Kali Baksoka tidak ditemukan di Song Terus, sehingga disimpulkan bahwa paleolitik Kali Baksoka lebih tua dari umur artefak tertua di Song Terus.
Kenyataan umur yang panjang itu (300.000 - 700 tyl) menunjukkan bahwa Pegunungan Sewu sebagai suatu kesatuan geografi perbukitan kars telah memiliki sejarah hunian yang panjang, dari budaya tertua hingga termuda, bahkan berlanjut hingga sekarang. Kekayaan situs dan kemenerusan hunian dalam kurun waktu yang panjang ini menjadikan wilayah Pegunungan Sewu sebagai sasaran terpenting penelitian untuk memahami prasejarah lokal dan regional.
Menurut Sumanjuntak dkk. (“Prasejarah Gunung Sewu”, 2004), kronologi hunian di Pegunungan Sewu berdasarkan pentarikhan umur adalah: Paleolitik (>300.000-21.000 tyl), preneolitik (>12.000-4000
tyl), Neolitik (4000-1000 tyl), dan Paleometalik (1000-700 tyl). Sedangkan menurut Kherti (1964), kronologi secara umum adalah: Paleolitik (450.000- 15.000 tyl), Preneolitik (15.000-4500 tyl), Neolitik (4500-2500 tyl), dan Paleometalik (<2500 tyl).
Hunian Pegunungan Sewu menampakkan kekhasan untuk setiap tahap budaya, baik segi pola pemanfaatan lahan maupun peralatan. Pada Paleolitik, kehidupan dan pemanfaatan lahan terpusat di bentang alam terbuka, yaitu di sekitar dan di sepanjang sungai. Manusia Paleolitik cenderung mengeksploitasi semua sumber daya yang ada di sekitar sungai, seperti air, batuan, flora, dan fauna. Diduga mereka mengembara sambil menangkap binatang yang hidup di sekitarnya sebagai hal pokok. Untuk menunjang perburuan, mereka membuat berbagai peralatan batu, seperti kapak perimbas, kapak penetak, kapak genggam, dan peralatan serpih berukuran besar yang terbuat dari batugamping
kersikan, tuf kersikan, atau fosil kayu. Awal hunian Paleolitik belum diketahui karena situs-situs yang ada bisa saja telah mengalami re-sedimentasi, dan belum ditemukannya fosil fauna atau manusia. Pembuat peralatan paleolitik di Pacitan juga belum diketahui dengan pasti antara Homo erectus atau Homo sapiens.
Menjelang akhir Plistosen tampak perubahan penting dalam pola hunian antara memanfaatkan ceruk-ceruk (gua-gua payung) atau gua-gua biasa. Studi terbaru menunjukkan bahwa penghunian gua- gua di Pegunungan Sewu diperkirakan sudah terjadi pada 300.000 tyl saat Homo erectus menghuni gua. Namun, gua menjadi tempat tinggal signifikan terjadi pada 40.000 tyl bersamaan dengan bermigrasinya Homo sapiens ke wilayah Indonesia. Penggunaan alat- alat masif yang sangat menonjol telah ditinggalkan, digantikan dengan penggunaan alat-alat serpih dan tulang dengan berbagai variasi bentuk, menghasilkan corak kebudayaan Preneolitik. Sebagai tambahan, peralatan lain pada masa ini dibuat dari tanduk rusa dan cangkang kerang. Pada masa ini pun telah dikenal kebiasaan menguburkan orang.
Kehidupan Preneolitik berlajut ke Neolitik yang dicirikan oleh muncul dan berkembangnya gerabah dan beliung batu. Pada awalnya, perkembangan Preneolitik masih berpusat di gua dan ceruk, tetapi hal ini tidak berlangsung lama. Mereka pun kemudian pindah ke bentang alam terbuka pada dataran dan lereng perbukitan. Budaya Neolitik di wilayah ini dapat dipandang sebagai puncak kemahiran teknologi litik yang menghasilkan beliung-beliung persegi dan mata panah. Ratusan situs perbengkelan Neolitik dengan wilayah yang luas membuktikan pernah berlangsungnya industri besar yang membentuk kelompok-kelompok di bagian timur Pegunungan Sewu. Budaya ini diperkirakan berkembang hingga sekitar 1000 tyl.
Dari Neolitik kehidupan berkembang ke Paleometalik yang tetap memanfaatkan lahan terbuka sebagai pusat kegiatan. Tradisi pemangkasan batu untuk menghasilkan peralatan masih berlanjut meskipun berangsur ditinggalkan. Hal yang menonjol dalam periode ini adalah pemakaian peralatan dan senjata logam, khususnya berbahan besi dan manik- manik. Gerabah yang mulai berkembang pada masa Neolitik masih berlanjut. Menurut T. Simanjuntak dkk (“Kronologi Hunian di Gunung Sewu”, 2004) Paleometalik Pegunungan Sewu diperkirakan berlangsung sampai 700 tyl yang merupakan suatu perlambatan yang signifikan mengingat pada 1600 tyl di daerah lain Jawa sudah mengenal peradaban Hindu.
Sejumlah penelitian dan penemuan yang terjadi di wilayah ini telah menjadikan Pegunungan
Sewu dikenal luas di kalangan peneliti prasejarah. Dari penelitian-penelitian ini tampak bahwa wilayah Pegunungan Sewu merupakan kompleks hunian prasejarah yang sangat luas, intensif, dan berkesinambungan dalam rentang waktu Plistosen- Holosen, dari ratusan ribu tyl sampai beberapa ribu atau ratus tyl. Proses adaptasi terhadap lingkungan dan pengaruh luar telah menciptakan dinamika budaya yang berkembang, mulai dari yang bercorak paleolitik, preneolitik/mesolitik, neolitik, hingga paleometalik pada masa protosejarah. Manusia datang ke wilayah ini dan mendiami lembah- lembah sempit di antara perbukitan kars, daerah aliran sungai, dan gua. Menurut Forestier (“Ribuan Gunung, Ribuan Alat Batu–Prasejarah Song Keplek, Gunung Sewu, Jawa Timur”, 2007), ketersediaan berbagai sumberdaya, seperti batuan yang baik untuk peralatan, air, fauna dan flora di lingkungan sekitarnya menjadi penopang kehidupan berkelanjutan dalam rentang ratusan ribu bahkan mungkin jutaan tahun.