Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) di Hutan Pantai Ujung Genteng, Sukabumi-Jawa Barat

(1)

KEANEKARAGAMAN

CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA (CMA)

DI HUTAN PANTAI UJUNG GENTENG,

SUKABUMI-JAWA BARAT

RITA TRI PUSPITASARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2005


(2)

ABSTRACT

RITA TRI PUSPITASARI. Diversity of Arbuscular Mycorrhizal Fungi (AMF) at Coastal Forest Ujung Genteng, Sukabumi-West Java. Supervised by Nampiah Sukarno, Kartini Kramadibrata, dan Dede Setiadi.

Indonesia is one of the countries that has a megadiversity of microorganisms and has a large area of coastal forests. However, research on microbial diversity particularly AMF as one of the dominant microbes in a coastal forest ecosystems has not been done extensively. The main objective of this research was to study the diversity and distribution of AMF in coastal forest and to analyse effects of salinity on the fungal and plant community at Coastal Forest Ujung Genteng Cape, Sukabumi - West Java.

This research was carried out in two parts: field, green house and laboratorium experimental activities. Field experimental activities were conducted for vegetation analysis, collecting of plant root system, rhizosphere soils from tree and pole phase,. seedling of understorey plants for fungal colonization analysis, isolation and identification of AMF and soil characteristics, include salinity. Green house and laboratorium activities were carried out for isolation, identification and colonization analysis of AMF. Field research location was divided into three zones, first zone was 0 – 70 m distance from coastal area (P), second zone was 71 – 140 m distance from coastal area (T), and third zone was 141 m distance from coastal until forest up to area in the center (H).

Twenty three AMF species from 45 plant rizosphere were identified. The fungi belong to 5 species of Acaulospora, 2 species of Gigaspora, 13 species of Glomus, 1 species of Paraglomus and 2 species of Scutellospora. Glomus geosporum was the most dominant AMF in the ecosystem with the value of frequency was 16.49% - 23.67%. Glomus etunicatum, Acaulospora foveata, A. longula, A. scrobiculata, A. tuberculata, and Scutellospora auriglobosa were the AMF that had frequency higher than other species but less than G. geosporum in the field. Results from vegetation analysis indicated that Ujung Genteng Coastal Forest had 68 plant species belonging to 40 families. Dysoxylum parasiticum and Piper cf. baccatum were dominant plants in the ecosystem. The plant community measured at the three zones experimental sites were differed. The similarity index value of the plant community (Is) between coastal P) and center (T) area was 35.42%, between center (T) and forest center (H) was 32.53%, and between coastal edge (P) and forest center (H) was 27.04%. There was no correlation between diversity of plant and diversity of AMF onserved. Diversity of AMF were influenced with all interaction environment factors especially salinity. Two species of AMF had a narrow distribution and found only in a rhizosphere of one plant species . Glomus sp 5. found only in Guettarda speciosa rhizosphere and Glomus sp6. in Salacia sp. rhizosphere. Nineteen species were identified from P zone, 17 species from T zone and 14 species from H zone, with the index diversity values of AMF were 0.73 – 6.64, 0.85 – 4.93 and 1.26 – 4.84, respectively. The salinity at Ujung Genteng Cape was falled in moderate degree with the value of 420 – 1735 µs/cm. The salinity influenced the diversity of AMF and plant community structures. Nineteen species were identified from P zone, 17 species from T zone and 14 species from H zone, with the index diversity values of AMF (D) were 0.73 – 6.64, 0.73 – 6.50 and 1.26 – 4.84, respectively.


(3)

KEANEKARAGAMAN

CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA (CMA)

DI HUTAN PANTAI UJUNG GENTENG,

SUKABUMI-JAWA BARAT

RITA TRI PUSPITASARI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Depertemen Biologi Fakultas Matematika dan dan Ilmu Pengetahuan Alam

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2005


(4)

Judul Tesis : Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) di Hutan

Pantai Ujung Genteng, Sukabumi-Jawa Barat

Nama

: Rita Tri Puspitasari

NIM

: G425010141

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Nampiah Sukarno

Ketua

Dr. Kartini Kramadibrata

Dr. Ir. H. Dede Setiadi, MS.

Anggota

Anggota

Diketahui

Ketua Departemen Biologi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dedi Duryadi S., DEA

Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.


(5)

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama

: Rita Tri Puspitasari

NIM

: G425010141

Program Studi : Biologi (BIO)

dengan ini menyatakan bahwa tesis dengan judul ”

Keanekaragaman Cendawan

Mikoriza Arbuskula (CMA) di Hutan Pantai Ujung Genteng, Sukabumi-Jawa

Barat”

adalah benar-benar merupakan hasil penelitian yang saya lakukan di bawah

bimbingan Komisi Pembimbing saya, dan belum pernah diteliti oleh peneliti lain.

Penelitian tersebut dilakukan di Semenanjung Ujung Genteng, Sukabumi-Jawa Barat,

dan di Laboratorium Mikologi IPB serta di Laboratorium Mikoriza Herbarium

Bogoriense sejak Februari 2003 sampai dengan Juli 2005.

Bogor,

Desember

2005

Rita

Tri

Puspitasari


(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya

sehingga penulisan Tesis yang berjudul Keanekaragaman Cendawan Mikoriza

Arbuskula (CMA) di Hutan Pantai Ujung Genteng, Sukabumi-Jawa Barat berhasil

diselesaikan.

Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada:

Ibu Dr. Ir. Nampiah Sukarno, Ibu Dr. Kartini Kramadibrata dan Bapak Dr. Ir. H.

Dede Setiadi, MS. selaku pembimbing, yang telah banyak memberi arahan sejak

penulisan proposal, penelitian hingga penulisan tesis ini selesai. Serta Ibu Dr. Ir.

Panca Dewi Manu Hara Karti, M.Si. sebagai penguji yang telah memberi koreksi dan

masukan.

Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Dekan Fakultas Pertanian

Universitas Muhammadiyah Jakarta yang telah memberi izin untuk studi lanjut.

Pimpinan Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana dan Ketua Program

studi Biologi, atas kesempatan yang telah diberikan untuk mengikuti program S2 ini.

Kepala Botani Pusat Penelitian Biologi-LIPI, dan Kepala Laboratorium Mikologi

IPB yang telah memberi fasilitas penelitian.

Staf pengajar dan pegawai di lingkungan Program Studi Biologi, FMIPA IPB.

Teman-temanku: Dr. Ir. Happy Widiastuti, M.Si. yang telah memberi masukan dan

dukungan, Rida Oktorida, S.Si, Ijoh, Hadi Prastyo, S.Si, Yenni Lucia, SP, M.Si.,

Bapak Ujang Hapid, Nury Nuryada Aradea, S.Si. yang telah membantu selama di

laboratorium,Vivi Sumarna, S.Si pemandu saat survey, dan Nurhasanah, S.Si, M.Si.

serta Ir. Elfarisna, M.Si. yang telah memberi semangat dan bantuan selama penulisan.

Ayahanda Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, Ibunda Hj. Hafni Zahara yang telah

memberi nasehat, semangat dan doa. Khususnya pada suamiku Ir. Tejo Padmono dan

anak-anakku tercinta, Poppy, Affan dan Sekar atas segala dukungan semangat,

kesabaran, pengertian dan doa sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

Terima kasih, semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2005


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jogjakarta pada tanggal 31 Mei 1966 dari Ayah Prof. Dr.

H. Noeng Muhadjir dan Ibu Hj. Hafni Zahara. Penulis merupakan anak ke tiga dari

empat bersaudara. Pada tanggal 12 Januari 1991 penulis menikah dengan Ir.Tejo

Padmono dan dikaruniai tiga orang anak yaitu Aphrodita Puspateja (Poppy) (14

tahun), Affan Ibrahim Puspateja (11½tahun), dan Aulia Sekar Puspateja (9 tahun).

Tahun 1979 penulis lulus SD Negeri II Laboratorium IKIP Jogjakarta, Sekolah

Menengah Pertama di SMP Negeri 8 Jogjakarta lulus tahun 1982, dan Sekolah

Menengah Atas di SMA Negeri 6 Jogjakarta lulus tahun 1985. Penulis masuk

Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga tahun 1985. Penulis memilih sub

Program Mikrobiologi Industri, Program Studi Biologi Lingkungan, Fakultas Biologi

dan lulus Sarjana Biologi tahun 1990. Pada tahun 2001 penulis melanjutkan studi di

Program Pascasarjana IPB, FMIPA Program Studi Biologi, sub Program

Mikrobiologi dengan beasiswa dari Universitas Muhammadiyah Jakarta selama 1

tahun, selanjutnya BPPS sampai selesai.

Tahun 1990 penulis pertama kerja di perusahaan advertising di Jakarta dan

merangkap mengajar di Universitas Surapati Jakarta sampai tahun 1991. Dan sejak

tahun 1992 penulis menjadi staf pengajar di Fakultas Pertanian Universitas

Muhammadiyah Jakarta sampai sekarang. Selama menjadi staf pengajar, penulis

menjabat sebagai Kepala Laboratorium dari tahun 1994-1998 dan tahun 2000-2001

menjabat sebagai Sekretaris Jurusan.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………...……….

ix

DAFTAR GAMBAR ………..….………... x

DAFTAR LAMPIRAN………..…….………... xii

PENDAHULUAN ………... 1

Latar Belakang ………... 1

Tujuan Penelitian ………...… 3

Pendekatan ………... 3

Hipotesis ………... 4

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ………... 5

TINJAUAN PUSTAKA ... 6

Salinitas Tanah dan Beberapa Sifat Tanah lain ………... 6

Simbiosis Mikoriza Arbuskula (MA) …...………... 8

Kolonisasi

………..

10

Proses Infeksi CMA ..……….... 11

Pertumbuhan Hifa Eksternal dan Produksi Spora ………. 15

Cendawan Mikoriza Arbuskula ... 17

Ekologi dan Fisiologi CMA pada Kondisi Salin ……...………… 18

Peranan CMA dalam Penyerapan Unsur Hara ……….. 20

Keanekaragaman CMA dan Keanekaragaman Tumbuhan pada

berbagai Ekosistem ... 22

Peranan CMA dalam Komunitas Tumbuhan ... 24

BAHAN DAN METODE ………... 26

Waktu dan Tempat ………...

26

Bahan dan Alat ………...

26

Metode Penelitian ………... 26

Analisa Data ………...

32

Analisa Pendukung ………..

33

Penyimpanan Spesimen ………...

33

HASIL DAN PEMBAHASAN ………...

34

Analisa Vegetasi ………..

34

Keanekaragaman CMA ………...

41

Hubungan antara CMA dan Vegetasi ………..

75

PEMBAHASAN UMUM ... 95

SIMPULAN DAN SARAN……….

98


(9)

ix

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Nilai penting spesies tumbuhan fase pohon dan tiang pada zona 0-70 m

dari pantai (P) daerah Ujung Genteng ..……….. 36

2 Nilai penting spesies tumbuhan fase pohon dan tiang zona di 71-140 m

dari pantai (T) daerah Ujung Genteng …….………... 37

3 Nilai penting spesies tumbuhan fase pohon dan tiang zona di 141 m

dari pantai sampai tengah hutan (H) daerah Ujung Genteng ……….. 38

4 Identitas spora CMA yang berhasil diisolasi dari vegetasi di Ujung Genteng ... 41

5 Seri pengamatan dan jumlah spesies CMA hasil identifikasi ……… 76

6 Frekuensi mutlak dan frekuensi relatif keterdapatan setiap spesies CMA …… 77

7 Nilai penting tumbuhan, dan kerapatan, kekayaan serta keragaman CMA

di lapang pada rizosfer tumbuhan ……… 80

8 Spesies tumbuhan, kekayaan, kerapatan dan keragaman CMA pada biakan pot

dengan inang tumbuhan anakan ……… 81

9 Sifat tanah Semenanjung Ujung Genteng ………... 85


(10)

x

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Struktur taksonomi secara umum pada CMA dan kaitannya dengan cendawan

lain berdasarkan urutan gen SSU rRNA (Walker dan Schü

β

ler 2004) ……... 17

2 Bagan alir penelitian ………. 28

3 Peta lokasi penelitian dan letak jalur pengamatan di hutan pantai Ujung

Genteng, Desa Batu, Kabupaten Sukabumi ………. 30

4 Spora

Acaulospora foveata

……….. 43

5 Spora

Acaulospora longula

………..……….... 44

6 Spora

Acaulospora scrobiculata

……….………... 45

7

Acaulospora tuberculata

……….………... 46

8 Spora

Acaulospora cf. undulata

………... 47

9 Spora

Gigaspora cf. gigantea

……….. 48

10 Spora

Gigaspora ramisporophora

……….. 48

11.

Glomus clavisporum

………..….. 49

12

Glomus cf. deserticola

………..……….. 50

13 Spora

Glomus etunicatum

……….. 52

14

Glomus geosporum

.………..…….. 53

15

Glomus cf. microaggregatum

….………..….. 54

16

Glomus rubiforme

……….. 56

17 Spora

Glomus tortuosum

….……….... 56

18

Glomus

sp1. ……….………..….... 57


(11)

KEANEKARAGAMAN

CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA (CMA)

DI HUTAN PANTAI UJUNG GENTENG,

SUKABUMI-JAWA BARAT

RITA TRI PUSPITASARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2005


(12)

ABSTRACT

RITA TRI PUSPITASARI. Diversity of Arbuscular Mycorrhizal Fungi (AMF) at Coastal Forest Ujung Genteng, Sukabumi-West Java. Supervised by Nampiah Sukarno, Kartini Kramadibrata, dan Dede Setiadi.

Indonesia is one of the countries that has a megadiversity of microorganisms and has a large area of coastal forests. However, research on microbial diversity particularly AMF as one of the dominant microbes in a coastal forest ecosystems has not been done extensively. The main objective of this research was to study the diversity and distribution of AMF in coastal forest and to analyse effects of salinity on the fungal and plant community at Coastal Forest Ujung Genteng Cape, Sukabumi - West Java.

This research was carried out in two parts: field, green house and laboratorium experimental activities. Field experimental activities were conducted for vegetation analysis, collecting of plant root system, rhizosphere soils from tree and pole phase,. seedling of understorey plants for fungal colonization analysis, isolation and identification of AMF and soil characteristics, include salinity. Green house and laboratorium activities were carried out for isolation, identification and colonization analysis of AMF. Field research location was divided into three zones, first zone was 0 – 70 m distance from coastal area (P), second zone was 71 – 140 m distance from coastal area (T), and third zone was 141 m distance from coastal until forest up to area in the center (H).

Twenty three AMF species from 45 plant rizosphere were identified. The fungi belong to 5 species of Acaulospora, 2 species of Gigaspora, 13 species of Glomus, 1 species of Paraglomus and 2 species of Scutellospora. Glomus geosporum was the most dominant AMF in the ecosystem with the value of frequency was 16.49% - 23.67%. Glomus etunicatum, Acaulospora foveata, A. longula, A. scrobiculata, A. tuberculata, and Scutellospora auriglobosa were the AMF that had frequency higher than other species but less than G. geosporum in the field. Results from vegetation analysis indicated that Ujung Genteng Coastal Forest had 68 plant species belonging to 40 families. Dysoxylum parasiticum and Piper cf. baccatum were dominant plants in the ecosystem. The plant community measured at the three zones experimental sites were differed. The similarity index value of the plant community (Is) between coastal P) and center (T) area was 35.42%, between center (T) and forest center (H) was 32.53%, and between coastal edge (P) and forest center (H) was 27.04%. There was no correlation between diversity of plant and diversity of AMF onserved. Diversity of AMF were influenced with all interaction environment factors especially salinity. Two species of AMF had a narrow distribution and found only in a rhizosphere of one plant species . Glomus sp 5. found only in Guettarda speciosa rhizosphere and Glomus sp6. in Salacia sp. rhizosphere. Nineteen species were identified from P zone, 17 species from T zone and 14 species from H zone, with the index diversity values of AMF were 0.73 – 6.64, 0.85 – 4.93 and 1.26 – 4.84, respectively. The salinity at Ujung Genteng Cape was falled in moderate degree with the value of 420 – 1735 µs/cm. The salinity influenced the diversity of AMF and plant community structures. Nineteen species were identified from P zone, 17 species from T zone and 14 species from H zone, with the index diversity values of AMF (D) were 0.73 – 6.64, 0.73 – 6.50 and 1.26 – 4.84, respectively.


(13)

KEANEKARAGAMAN

CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA (CMA)

DI HUTAN PANTAI UJUNG GENTENG,

SUKABUMI-JAWA BARAT

RITA TRI PUSPITASARI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Depertemen Biologi Fakultas Matematika dan dan Ilmu Pengetahuan Alam

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2005


(14)

Judul Tesis : Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) di Hutan

Pantai Ujung Genteng, Sukabumi-Jawa Barat

Nama

: Rita Tri Puspitasari

NIM

: G425010141

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Nampiah Sukarno

Ketua

Dr. Kartini Kramadibrata

Dr. Ir. H. Dede Setiadi, MS.

Anggota

Anggota

Diketahui

Ketua Departemen Biologi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dedi Duryadi S., DEA

Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.


(15)

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama

: Rita Tri Puspitasari

NIM

: G425010141

Program Studi : Biologi (BIO)

dengan ini menyatakan bahwa tesis dengan judul ”

Keanekaragaman Cendawan

Mikoriza Arbuskula (CMA) di Hutan Pantai Ujung Genteng, Sukabumi-Jawa

Barat”

adalah benar-benar merupakan hasil penelitian yang saya lakukan di bawah

bimbingan Komisi Pembimbing saya, dan belum pernah diteliti oleh peneliti lain.

Penelitian tersebut dilakukan di Semenanjung Ujung Genteng, Sukabumi-Jawa Barat,

dan di Laboratorium Mikologi IPB serta di Laboratorium Mikoriza Herbarium

Bogoriense sejak Februari 2003 sampai dengan Juli 2005.

Bogor,

Desember

2005

Rita

Tri

Puspitasari


(16)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya

sehingga penulisan Tesis yang berjudul Keanekaragaman Cendawan Mikoriza

Arbuskula (CMA) di Hutan Pantai Ujung Genteng, Sukabumi-Jawa Barat berhasil

diselesaikan.

Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada:

Ibu Dr. Ir. Nampiah Sukarno, Ibu Dr. Kartini Kramadibrata dan Bapak Dr. Ir. H.

Dede Setiadi, MS. selaku pembimbing, yang telah banyak memberi arahan sejak

penulisan proposal, penelitian hingga penulisan tesis ini selesai. Serta Ibu Dr. Ir.

Panca Dewi Manu Hara Karti, M.Si. sebagai penguji yang telah memberi koreksi dan

masukan.

Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Dekan Fakultas Pertanian

Universitas Muhammadiyah Jakarta yang telah memberi izin untuk studi lanjut.

Pimpinan Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana dan Ketua Program

studi Biologi, atas kesempatan yang telah diberikan untuk mengikuti program S2 ini.

Kepala Botani Pusat Penelitian Biologi-LIPI, dan Kepala Laboratorium Mikologi

IPB yang telah memberi fasilitas penelitian.

Staf pengajar dan pegawai di lingkungan Program Studi Biologi, FMIPA IPB.

Teman-temanku: Dr. Ir. Happy Widiastuti, M.Si. yang telah memberi masukan dan

dukungan, Rida Oktorida, S.Si, Ijoh, Hadi Prastyo, S.Si, Yenni Lucia, SP, M.Si.,

Bapak Ujang Hapid, Nury Nuryada Aradea, S.Si. yang telah membantu selama di

laboratorium,Vivi Sumarna, S.Si pemandu saat survey, dan Nurhasanah, S.Si, M.Si.

serta Ir. Elfarisna, M.Si. yang telah memberi semangat dan bantuan selama penulisan.

Ayahanda Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, Ibunda Hj. Hafni Zahara yang telah

memberi nasehat, semangat dan doa. Khususnya pada suamiku Ir. Tejo Padmono dan

anak-anakku tercinta, Poppy, Affan dan Sekar atas segala dukungan semangat,

kesabaran, pengertian dan doa sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

Terima kasih, semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2005


(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jogjakarta pada tanggal 31 Mei 1966 dari Ayah Prof. Dr.

H. Noeng Muhadjir dan Ibu Hj. Hafni Zahara. Penulis merupakan anak ke tiga dari

empat bersaudara. Pada tanggal 12 Januari 1991 penulis menikah dengan Ir.Tejo

Padmono dan dikaruniai tiga orang anak yaitu Aphrodita Puspateja (Poppy) (14

tahun), Affan Ibrahim Puspateja (11½tahun), dan Aulia Sekar Puspateja (9 tahun).

Tahun 1979 penulis lulus SD Negeri II Laboratorium IKIP Jogjakarta, Sekolah

Menengah Pertama di SMP Negeri 8 Jogjakarta lulus tahun 1982, dan Sekolah

Menengah Atas di SMA Negeri 6 Jogjakarta lulus tahun 1985. Penulis masuk

Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga tahun 1985. Penulis memilih sub

Program Mikrobiologi Industri, Program Studi Biologi Lingkungan, Fakultas Biologi

dan lulus Sarjana Biologi tahun 1990. Pada tahun 2001 penulis melanjutkan studi di

Program Pascasarjana IPB, FMIPA Program Studi Biologi, sub Program

Mikrobiologi dengan beasiswa dari Universitas Muhammadiyah Jakarta selama 1

tahun, selanjutnya BPPS sampai selesai.

Tahun 1990 penulis pertama kerja di perusahaan advertising di Jakarta dan

merangkap mengajar di Universitas Surapati Jakarta sampai tahun 1991. Dan sejak

tahun 1992 penulis menjadi staf pengajar di Fakultas Pertanian Universitas

Muhammadiyah Jakarta sampai sekarang. Selama menjadi staf pengajar, penulis

menjabat sebagai Kepala Laboratorium dari tahun 1994-1998 dan tahun 2000-2001

menjabat sebagai Sekretaris Jurusan.


(18)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………...……….

ix

DAFTAR GAMBAR ………..….………... x

DAFTAR LAMPIRAN………..…….………... xii

PENDAHULUAN ………... 1

Latar Belakang ………... 1

Tujuan Penelitian ………...… 3

Pendekatan ………... 3

Hipotesis ………... 4

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ………... 5

TINJAUAN PUSTAKA ... 6

Salinitas Tanah dan Beberapa Sifat Tanah lain ………... 6

Simbiosis Mikoriza Arbuskula (MA) …...………... 8

Kolonisasi

………..

10

Proses Infeksi CMA ..……….... 11

Pertumbuhan Hifa Eksternal dan Produksi Spora ………. 15

Cendawan Mikoriza Arbuskula ... 17

Ekologi dan Fisiologi CMA pada Kondisi Salin ……...………… 18

Peranan CMA dalam Penyerapan Unsur Hara ……….. 20

Keanekaragaman CMA dan Keanekaragaman Tumbuhan pada

berbagai Ekosistem ... 22

Peranan CMA dalam Komunitas Tumbuhan ... 24

BAHAN DAN METODE ………... 26

Waktu dan Tempat ………...

26

Bahan dan Alat ………...

26

Metode Penelitian ………... 26

Analisa Data ………...

32

Analisa Pendukung ………..

33

Penyimpanan Spesimen ………...

33

HASIL DAN PEMBAHASAN ………...

34

Analisa Vegetasi ………..

34

Keanekaragaman CMA ………...

41

Hubungan antara CMA dan Vegetasi ………..

75

PEMBAHASAN UMUM ... 95

SIMPULAN DAN SARAN……….

98


(19)

ix

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Nilai penting spesies tumbuhan fase pohon dan tiang pada zona 0-70 m

dari pantai (P) daerah Ujung Genteng ..……….. 36

2 Nilai penting spesies tumbuhan fase pohon dan tiang zona di 71-140 m

dari pantai (T) daerah Ujung Genteng …….………... 37

3 Nilai penting spesies tumbuhan fase pohon dan tiang zona di 141 m

dari pantai sampai tengah hutan (H) daerah Ujung Genteng ……….. 38

4 Identitas spora CMA yang berhasil diisolasi dari vegetasi di Ujung Genteng ... 41

5 Seri pengamatan dan jumlah spesies CMA hasil identifikasi ……… 76

6 Frekuensi mutlak dan frekuensi relatif keterdapatan setiap spesies CMA …… 77

7 Nilai penting tumbuhan, dan kerapatan, kekayaan serta keragaman CMA

di lapang pada rizosfer tumbuhan ……… 80

8 Spesies tumbuhan, kekayaan, kerapatan dan keragaman CMA pada biakan pot

dengan inang tumbuhan anakan ……… 81

9 Sifat tanah Semenanjung Ujung Genteng ………... 85


(20)

x

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Struktur taksonomi secara umum pada CMA dan kaitannya dengan cendawan

lain berdasarkan urutan gen SSU rRNA (Walker dan Schü

β

ler 2004) ……... 17

2 Bagan alir penelitian ………. 28

3 Peta lokasi penelitian dan letak jalur pengamatan di hutan pantai Ujung

Genteng, Desa Batu, Kabupaten Sukabumi ………. 30

4 Spora

Acaulospora foveata

……….. 43

5 Spora

Acaulospora longula

………..……….... 44

6 Spora

Acaulospora scrobiculata

……….………... 45

7

Acaulospora tuberculata

……….………... 46

8 Spora

Acaulospora cf. undulata

………... 47

9 Spora

Gigaspora cf. gigantea

……….. 48

10 Spora

Gigaspora ramisporophora

……….. 48

11.

Glomus clavisporum

………..….. 49

12

Glomus cf. deserticola

………..……….. 50

13 Spora

Glomus etunicatum

……….. 52

14

Glomus geosporum

.………..…….. 53

15

Glomus cf. microaggregatum

….………..….. 54

16

Glomus rubiforme

……….. 56

17 Spora

Glomus tortuosum

….……….... 56

18

Glomus

sp1. ……….………..….... 57


(21)

xi

20 Spora

Glomus

sp3 ………... 59

21

Glomus

sp4. ………..……….… 60

22 Kelompok

Glomus

sp5. ……….…… 61

23 Spora

Glomus

sp6. ……….…… 61

24 Spora

Paraglomus occultum

……… 62

25

Scutellospora cf. auriglobosa

………... 64

26 Spora

Scutellospora cf. heterogama

……….. 64

27 Frekuensi relatif keterdapatan spesies CMA di lapang, biakan pot dan anakan.. 78

28 Perbandingan kerapatan spora dan persentase kolonisasi akar dari lapang, dan

biakan pot ……… 83

29 Perbandingan kerapatan spora dan persentase kolonisasi akar dari lapang,

biak pot dan anakan dengan spesies tumbuhan yang sama ………....……….. 84

30 Sebaran CMA dan tumbuhan di Ujung Genteng ………... 86


(22)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Hasil Analisa Vegetasi Metoda Kuadran seluruh Semenanjung ... 107

2 Hasil Analisa Vegetasi Metoda Garis Menyinggung ……….... 108

3 Hasil Analisa Vegetasi Metoda Kuadran 0-70 m dari pantai ……… 110

4 Hasil Analisa Vegetasi Metoda Kuadran 71-140 m dari pantai ……… 111

5 Hasil Analisa Vegetasi Metoda Kuadran 141 m dari pantai sampai tengah

hutan ... 112

6 Persentase kolonisasi CMA di lapang, biakan pot dan anakan ………. 113

7 Sebaran CMA dan Tumbuhan di Semenanjung Ujung Genteng ……...……… 114

8 Gambar Biakan Pot ………... 115

9 Gambar Kolonisasi CMA ………... 116

10 Gambar Tumbuhan di Tepi Pantai ………. 117

11 Gambar Tumbuhan di Tengah Hutan ……… 118

12 Gambar Semenanjung Ujung Genteng, Sukabumi – Jawa Barat ……….. 119

13 Pembuatan Larutan Stock – Johnson Nutrient Solution ……… 120


(23)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Dalam ekosistem alami, cendawan mikoriza terutama cendawan mikoriza arbuskula (CMA) merupakan cendawan tanah yang paling dominan baik dalam jumlah maupun fungsinya. Hal ini disadari tidak saja oleh peneliti-peneliti dalam bidang mikrobiologi tetapi juga oleh peneliti-peneliti dalam bidang ekologi tumbuhan. Interaksi simbiosis mutualisme antara tumbuhan dan CMA ini merupakan bagian penting dalam ekosistem karena tumbuhan merupakan sumber utama penghasil karbon bagi mikroorganisme tanah termasuk CMA. Cendawan mikoriza arbuskula merupakan cendawan simbion obligat sehingga seluruh kebutuhan unsur karbonnya sangat bergantung pada tumbuhan. Sebaliknya, CMA mempunyai kemampuan untuk menyerap nutrisi dan air dari tanah dalam jumlah yang cukup besar dan mentransfernya kepada tumbuhan. Eratnya hubungan interaksi antara tumbuhan dengan CMA memungkinkan adanya peranan yang sangat besar dari tumbuhan dalam menentukan struktur keanekaragaman dan fungsi CMA dalam komunitas alami tersebut. Hal sebaliknya juga mungkin dapat terjadi yaitu keanekaragaman CMA merupakan faktor penentu dalam terpeliharanya keanekaragaman tumbuhan dalam komunitas alami (Johnson et al. 2005).

Cendawan mikoriza arbuskula selain mempunyai peranan penting dalam penyerapan nutrisi terutama P, juga mempunyai peran penting lainnya dalam ekosistem yaitu membantu meningkatkan resistensi tumbuhan terhadap faktor lingkungan yang ekstrim seperti kekeringan, salinitas dan kemasaman, kandungan logam berat dan bahan toksik lainnya pada tanah serta serangan hama dan


(24)

2 penyakit pada tumbuhan. Struktur keanekaragaman tumbuhan pada suatu ekosistem dapat terjaga dengan adanya simbiosis ini melalui mekanisme transfer nutrisi. Transfer nutrisi dilakukan oleh jaringan miselia atau hifa-hifa CMA dari satu akar tumbuhan dewasa ke akar tumbuhan anakannya. Jaringan miselia ini tidak saja berfungsi untuk menyerap air dan nutrisi dari dalam tanah, tetapi juga membantu mengalokasikan unsur karbon dari tumbuhan induk kepada anakannya. Mekanisme ini berperan sangat penting dalam membantu proses kelangsungan hidup suatu spesies tumbuhan terutama bagi anakan yang tumbuh dibawah kanopi yang cukup rapat. Sinar matahari yang sampai ke dasar hutan sangat rendah sehingga menghambat proses fotosintesa. Simbiosis mutualisme antara tumbuhan dan CMA tersebut selain dapat menjaga kesuburan tanah, dan nutrisi tumbuhan, juga dapat memelihara stabilitas dan biodiversitas komunitas tumbuhan (Smith & Read 1997).

Hutan pantai semenanjung Ujung Genteng merupakan salah satu hutan pantai yang masih tersisa di pulau Jawa. Ekosistem hutan pantai ini terletak di Desa Gunung Batu, Kecamatan Ciracap, Sukabumi, Jawa Barat. Posisi Semenanjung menghadap ke Samudra Hindia, dikelilingi batu karang yang cukup landai, dan jauh menjorok ke laut. Oleh karena areal hutan dikelilingi laut, maka ekosistem hutan tersebut dipengaruhi oleh salinitas.

Salinitas tanah mempengaruhi penyerapan hara karena cekaman salinitas dapat menurunkan kemampuan tumbuhan dalam menyerap air, dan ion serta dapat mengakibatkan perubahan fisik dan kimia tanah, menurunkan potensial osmotik larutan tanah yang mengganggu penyerapan hara. Jika hal tersebut terjadi dalam jangka maka berdampak negatif panjang akan mempunyai efek merugikan


(25)

3 terhadap produktivitas tumbuhan pada ekosistem tersebut (Al-Karaki 2000 dan Sumner 2000).

Tumbuhan bermikoriza umumnya memiliki toleransi lebih baik terhadap salinitas tanah sehingga pemanfaatan CMA dapat menjadi suatu pilihan dalam menanggulangi masalah rendahnya produktivitas tumbuhan di tanah salin. Namun penelitian terhadap peranan CMA pada tanah salin belum banyak dilakukan di Indonesia. Begitu pula penelitian tentang keanekaragaman CMA dengan faktor-faktor yang berkaitan di ekosistem hutan pantai, terutama keanekaragaman vegetasi tumbuhan yang tumbuh di atasnya dan sifat-sifat tanah khususnya salinitas belum dilakukan. Oleh karena itu penelitian mengenai keanekaragaman CMA di hutan pantai ini perlu dilakukan. Luaran dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dasar mengenai keanekaragaman CMA di Indonesia, khususnya di Semenanjung Ujung Genteng yang dalam jangka panjang data ini dapat memberikan tambahan informasi untuk pemanfaatan CMA yang potensial sebagai sumber pupuk hayati yang dapat beradaptasi pada kondisi salin.

Tujuan Penelitian

Mempelajari keanekaragaman dan sebaran CMA pada tumbuhan hutan pantai dan hubungannya dengan sifat-sifat tanah, khususnya salinitas di Semenanjung Ujung Genteng, Sukabumi, Jawa Barat.

Pendekatan

1. Mengamati perbedaan populasi, keragaman dan kolonisasi CMA langsung dari rizosfer berbagai jenis tumbuhan hasil analisis vegetasi di lapang.


(26)

4 2. Mengamati perbedaan populasi, keragaman dan kolonisasi CMA dari

berbagai tumbuhan dari lapang setelah dibiakan dalam pot menggunakan inang Pueraria phaseoloides dan Shorghum sp.

3. Mengamati perbedaan populasi, keragaman dan kolonisasi CMA pada biakan pot menggunakan inang anakan / tumbuhan bawah dari lapang. 4. Hubungan keragaman tumbuhan dan keragaman CMA

Hipotesis

1. Terdapat hubungan antara keragaman tumbuhan dengan CMA.

2. Perbedaan sifat tanah, khususnya salinitas mempengaruhi keanekaragaman, sebaran, kolonisasi CMA dan jenis vegetasi tumbuhan di atasnya.


(27)

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Letak Lokasi Penelitian

Secara geografis daerah penelitian terletak antara 07o15’ Lintang Selatan – 106o15’ Bujur Timur. Lokasi penelitian berada di Desa Gunung Batu, Kecamatan Ciracap, Sukabumi, Jawa Barat (Badan Meteorologi dan Geofisika Balai Wilayah

II Stasiun Klimatologi Klas I Darmaga Bogor 2003). Semenanjung Ujung

Genteng posisinya menghadap ke Samudra Hindia, dikelilingi batu karang yang

cukup landai, dan jauh menjorok ke laut. Semenanjung ini merupakan tempat

penunjang pangkalan Radar AURI Surade, dengan luas area hutan kurang lebih

34.7 Ha dari luas Desa Gunung Batu 85.82 Ha.

Kondisi Lahan

Pantai semenanjung berpasir putih dengan kandungan pasir berkisar dari

43.98% sampai 96.12 %, jenis tanah litosol, ditengah hutan tanah banyak

bercampur dengan karang laut. Tanah mempunyai pH agak alkalis sampai alkalis.

Salinitas berkisar antara 420 sampai 1 735 μs/cm (moderat sampai salin).

Iklim

Menurut Schmidt dan Ferguson kawasan Semenanjung Ujung Genteng

termasuk ke dalam tipe iklim A. Curah hujan rata-rata tahunan 3107.4 mm

dengan jumlah hari hujan 186 per tahun. Temperatur rata-rata tahunan relatif

merata sepanjang tahun yaitu berkisar antara 19.6 oC sampai 31.6 oC,. Kelembaban nisbi bulanan rata-rata berkisar antara 75% sampai 95% (Badan

Meteorologi dan Geofisika Balai Wilayah II Stasiun Klimatologi Klas I Darmaga


(28)

TINJAUAN PUSTAKA

Salinitas Tanah dan Beberapa Sifat Tanah lain

Tanah yang disebut tanah salin ialah tanah yang mempunyai nilai salinitas

lebih dari 4 mmho/cm. Secara alternatif, jika tanah dinyatakan dalam konteks

konsentrasi garam, tanah bergaram/salin ialah tanah yang mengandung garam

lebih dari 0.1% (1000 ppm) (Tan 1991). Sedangkan salinitas air untuk irigasi lahan

pertanian dibagi menjadi 4 kelas, yaitu salinitas rendah (0 - 0.4 dS/m), salinitas

moderat ( 0.4 - 1.2 dS/m), salinitas tinggi (1.2 - 2.25 dS/m) dan salinitas sangat

tinggi ( 2.25 - 5 dS/m) (Sumner 2000).

Di daerah pantai, limpasan air laut ke daratan/tanah akan menyebabkan tanah

tersebut mempunyai salinitas tinggi. Selain itu tanah salin dapat juga terdapat pada

tanah yang secara alami memang mempunyai deposit garam. Air tanah salin

biasanya mengandung 500 – 30 000 mg/l bahan terlarut (EC 0.7 - 42 dS/m),

sementara air laut konsentrasi bahan terlarutnya ialah 33 000 mg/l dan Laut Mati

di Israel mengandung kadar garam 270 000 mg/l (hipersalin) (Sumner 2000).

Membandingkan hasil-hasil penelitian tentang salinitas tanah cukup rumit karena

adanya perbedaan dalam metode pengukuran salinitas tersebut (Bernstein 1981).

Salinitas tanah akan menjadi masalah jika konsentrasi natrium klorida

(NaCl), natrium karbonat (NaCO3), natrium sulfat (Na2SO4) atau garam-garam

dari magnesium (Mg) terdapat dalam jumlah yang berlebih. Terdapat banyak

faktor yang dapat menyebabkan tingginya salinitas pada suatu areal. Sebagai

contoh, kandungan garam-garam yang tertinggal dalam larutan tanah dapat

mencapai 4-10 kali lebih tinggi pada tanah-tanah beririgasi akibat adanya proses


(29)

7 Al-Karaki (2000) melaporkan bahwa apabila terjadi cekaman salinitas yang

tinggi pada tumbuhan pertanian, Lycopersicum esculentum Mill cv. Pello, Arachis hypogaea cv. JL 24 (Gupta & Krisnamurthy 1996), dan Lactuca sativa (Ruiz-Lazano et al. 1996) akan menyebabkan terjadi penurunan kandungan P. Namun pemberian CMA pada lahan tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil

panennya (Al-Karaki et al. 2001; Ruiz-Lazano et al. 1996).

Salinitas tanah tidak hanya bergantung pada konsentrasi garam dalam tanah,

tetapi juga pada volume air dalam tanah. Salinitas pada tanah bertekstur kasar akan

meningkat sampai 5 kali lipat dibandingkan dengan tanah yang bertekstur halus

(Bernstein 1981, Hardjowigeno 1995).

Tumbuhan yang hidup di tanah salin dapat mengalami berbagai macam

tekanan fisiologis karena pengaruh racun dari ion sodium dan klorida yang

terdapat dalam tanah salin. Ion tersebut dalam jumlah tinggi pada tumbuhan akan

menghancurkan struktur enzim dan makromolekul lainnya, merusak organel sel,

mengganggu fotosintesis dan respirasi, dan menghambat sintesis protein. Selain

itu, tingginya salinitas akan menurunkan permeabilitas akar terhadap air dan

mengakibatkan penurunan laju masuknya air ke dalam tumbuhan (Marschner

1995), sehingga produktivitasnya menurun.

Salinitas tanah akan menghambat pembentukan akar-akar baru dan

mengganggu peyerapan air karena tingginya tekanan osmotik larutan tanah.

Selanjutnya hal ini akan menyebabkan tumbuhan mengalami kekeringan dan

kekurangan kalium. (Jacobby 1999). Nilai pH tanah menentukan mudah tidaknya

unsur-unsur hara diserap tumbuhan. Pada umumnya unsur hara mudah diserap


(30)

8 unsur hara mudah larut dalam air. Pada tanah alkalis, unsur P difiksasi oleh Ca

sehingga tidak dapat diserap tumbuhan, sedangkan pada tanah masam unsur P

diikat (difiksasi) oleh Al (Sumner 2000). Menurut Leiwakabessy et al. (2003), reaksi tanah (pH) mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap retensi P.

Ketersediaan fosfat tanah tertinggi terjadi pada selang pH 6.0 - 6.6. Pada pH yang

lebih rendah aktifitas fosfat berkurang karena mengalami retensi oleh R2O3

sedangkan pH di atasnya retensi terjadi oleh ion-ion Ca dan Mg. Namun apabila

ion Na yang dominan terdapat pada tanah tersebut seperti pada tanah-tanah salin

atau alkalin, maka retensi fosfat rendah.

Simbiosis Mikoriza Arbuskula (MA)

Mikoriza adalah suatu bentuk hubungan simbiosis mutualisma antara

cendawan dengan perakaran tumbuhan. Istilah mikoriza berasal dari bahasa

Yunani yaitu kata “Myces” yang berarti cendawan dan “Rhiza” yang berarti akar (Smith & Read 1997). Dalam simbiosis ini cendawan mendapatkan unsur karbon

dari tumbuhan, sedangkan tumbuhan mendapatkan air dan nutrisi terutama P dari

cendawan.

Berdasarkan struktur cendawan yang dibentuk dalam akar dan jenis

tumbuhan inang, maka mikoriza dikelompokkan ke dalam 2 golongan besar yaitu

ektomikoriza dan endomikoriza. Di dalam kelompok endomikoriza terdapat enam

subtipe yaitu : mikoriza arbuskula, mikoriza ektendo, mikoriza arbutoid, mikoriza

monotropoid, mikoriza erikoid dan mikoriza anggrek (Smith & Read 1997).

Mikoriza arbuskula (MA) atau sering juga disebut mikoriza vesikula arbuskula

(MVA) merupakan mikoriza yang paling umum dijumpai pada kondisi alami dan


(31)

9 arbuskula dijumpai pada hampir semua jenis tumbuhan yang termasuk dalam

Angiospermae, Gymnospermae, Pteridophyta dan Bryophyta kecuali pada famili tumbuhan dari Cruciferae, Cyperaceae, Chenopodiaceae, Brasicaceae dan tumbuhan bermikoriza lain (Smith & Read 1997).

Mikoriza arbuskula mempunyai karakteristik yang khas yaitu: a). perakaran

yang terkena infeksi tidak membesar, b). cendawan tidak membentuk struktur

lapisan hifa pada permukaan akar, c). hifa menginfeksi sel korteks secara intra dan

interseluler, d). membentuk struktur khusus berupa sistem percabangan hifa di

dalam akar yang disebut arbuskula, e). beberapa membentuk struktur vesikula

(Harley & Smith 1983).

Nama vesikula arbuskula merupakan derivat dari karakter stukturnya,

arbuskula dan vesikula. Namun karena tidak semua CMA mempunyai struktur

vesikula maka sebagian ahli mikoriza menyebutnya sebagai mikoriza arbuskula

(MA). Mayoritas, sekitar 80% MA membentuk arbuskula dan vesikula, sedangkan

lainnya hanya membentuk arbuskula tetapi tidak membentuk vesikula (Smith &

Read 1997). Mikoriza arbuskula mempunyai tiga komponen penting, yaitu: akar,

struktur cendawan dalam sel akar dan miselium ekstraradikal dalam tanah.

Dalam asosiasinya dengan tumbuhan, MA membentuk organ pada bagian

dalam dan bagian luar akar tumbuhan. Beberapa organ yang terbentuk di dalam

akar yaitu hifa internal, vesikula, hifa gelung, arbuskula dan spora, sedangkan

organ MA yang terdapat pada bagian luar akar yaitu hifa eksternal dan spora.

Arbuskula berfungsi sebagai tempat pertukaran nutrisi antara cendawan dan sel

inang. Vesikula mengandung butiran-butiran lemak dan berfungsi sebagai


(32)

10 ialah organ istirahat karena jumlah selnya akan meningkat pada saat tumbuhan

menua atau saat tumbuhan akan mati (Abbot & Robson 1982; Bonfante-Fosolo

1984).

Adanya simbiosis mutualisma antara CMA dengan perakaran tumbuhan

dapat membantu pertumbuhan tumbuhan menjadi lebih baik, terutama pada

tanah-tanah marjinal. Hal ini disebabkan MA efektif dalam meningkatkan penyerapan

unsur hara makro dan mikro (Karagiannidis et al. 1995), kitinase berperan dalam melawan cendawan patogen yaitu dengan reaksi hidrolisis (Pozo et al. 2002). Sebagai contoh Phythoptora parasitica menurun pada akar yang diinokulasi cendawan mikoriza (Cordier 1998), MA juga dapat meningkatkan ketahanan

tumbuhan inang dari kekeringan (Munyanziza et al. 1997; Kling & Jakobsen 1998) dan membantu pertumbuhan tumbuhan inang pada lahan yang tercemar

logam berat (Munyanziza et al. 1997). Mikoriza arbuskula dapat pula menghasilkan zat pengatur tumbuh seperti auksin, sitokinin dan giberelin yang

ditransfer kepada tumbuhan inangnya (Marschner 1995). Ludwig-Muller (2000)

melaporkan bahwa peningkatan persentase kolonisasi akar jagung setelah

diinokulasi oleh Glomus intraradices berkaitan dengan sintesis IBA.

Kolonisasi

Kolonisasi akar dipengaruhi oleh suhu, cahaya, eksudat akar dan kondisi

fisiologis propagul. Suhu mempunyai pengaruh paling signifikan terhadap

perkecambahan spora, pertumbuhan hifa, kolonisasi dan sporulasi dibanding

dengan faktor-faktor lainnya (Bendavid-Val et al. 1997; Muin 2003). Suhu yang tinggi umumnya menghasilkan kolonisasi yang lebih tinggi. Perkecambahan


(33)

11 miselium pada permukaan akar paling baik diantara 28 - 34 oC, suhu 20 - 30 oC merupakan kondisi yang terbaik bagi CMA untuk meningkatkan kolonisasi pada

akar tumbuhan (Estaun, Camprubi & Calvet 1996).

Cahaya juga menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap kolonisasi CMA

(Hayman 1974). Kolonisasi cendawan pada akar anakan ramin sangat rendah jika

anakan ramin disemaikan pada intensitas cahaya kurang dari 5 570 lux atau lebih

dari 16 300 lux (Muin 2003).

Munculnya kolonisasi dapat berubah-ubah menurut musim, tipe tanah,

kandungan air tanah, konsentrasi P, komposisi komunitas dan spesies tumbuhan

(Allosopp 1998). Smith & Read (1997) menyatakan bahwa kolonisasi akar oleh

CMA dapat berasal dari tiga sumber inokulum yaitu spora, potongan akar yang

terinfeksi dan hifa secara keseluruhan yang disebut propagul.

Proses Infeksi CMA

Secara umum proses infeksi CMA pada akar tumbuhan melewati empat

tahap, yaitu 1) induksi perkecambahan propagul dan pertumbuhan hifa, 2) kontak

antara hifa dan permukaan akar serta pembentukan apresorium, 3) penetrasi hifa ke

dalam akar, dan 4) perkembangan struktur arbuskula internal untuk selanjutnya

terjadi simbiosis yang fungsional (Bonfante & Perotto 1995).

Infeksi diawali dengan perkecambahan propagul dan dilanjutkan

pertumbuhan hifa. Dalam proses selanjutnya terjadi kontak antara hifa dengan

permukaan akar inang yang akan menghasilkan apresoria. Kemudian terjadi

infeksi jaringan akar dan membentuk hifa interseluler dan intraseluler, hifa

eksternal, hifa koil, arbuskula dan tidak semua MA membentuk vesikula. Jaringan


(34)

12 spesifik seperti epidermis dan korteks yang dapat dikolonisasi. Hal ini disebabkan

CMA tidak mempunyai enzim yang dapat mendegradasi lignin dan suberin yang

merupakan penyusun meristem. (Bonfante & Perotto 1995).

Senyawa seperti CO2, eksudat akar tumbuhan dan faktor lingkungan lainnya

dapat menstimulasi perkecambahan propagul CMA. Eksudat akar tumbuhan inang

berupa flavonoid dapat menstimulir perkecambahan spora CMA dan pertumbuhan

hifa (Giovanneti et al. 1993a; 1993b). Isoflavon dapat menginduksi pertumbuhan hifa, percabangan, dan diferensiasi serta penetrasi sel ke inang. Propagul cendawan

akan berkecambah pada saat spora, molekul lipid, protein, glikogen yang

terkandung di dalam spora terhidrolisis membentuk senyawa yang kaya akan

energi, sehingga dapat digunakan untuk aktivitas metabolisme dan sintesis DNA

(Becard et al. 1995).

Penetrasi CMA ke jaringan inang dilakukan secara enzimatis maupun secara

mekanis. Awalnya apresorium menekan dengan tekanan yang tinggi pada jaringan

akar yang diinfeksi. Tekanan mekanis tersebut menyebabkan cendawan mampu

menembus sel khususnya melalui pembentukan kaki penetrasi. Melanin

merupakan salah satu komponen yang berperan penting dalam meningkatkan

tekanan hidrostatik. Tekanan hidrostatik komponen dinding sel tersebut

disebabkan karena melanin menangkap cairan dalam apresoria sehingga

menyebabkan terjadinya peningkatan gradien osmose dan penyerapan air

(Bonfante & Perotto 1995). Pembentukan apresorium dapat dianggap sebagai

tanda keberhasilan CMA menginfeksi inangnya, seperti halnya cendawan patogen


(35)

13 Penetrasi CMA ke akar, tumbuhan melakukan serangkaian mekanisme

pertahanan yang hampir sama dengan mekanisme apabila terjadi infeksi patogen

pada tumbuhan. Mekanisme ini melewati beberapa tahapan yaitu pengenalan

signal, transduksi signal dan aktivasi gen pertahanan (Garcia-Garrido & Ocampo

2002). Tumbuhan mempunyai pertahanan diri dengan mengkodekan gen yang

dapat menghasilkan enzim pendegradasi dinding cendawan seperti kitinase dan β -1,3 glukanase, serta enzim yang terlibat dalam biosintesis fitoaleksin seperti

fenilalanin ammonia liase. Namun pertahanan tumbuhan sebagai inang dapat

ditekan dilawan dengan penyebaran hifa cendawan sehingga CMA tetap dapat

berinteraksi dengan tumbuhan. Serangkaian mekanisme pertahanan tumbuhan

yang lainnya yaitu mengakumulasi protein yang dapat menekan aktivitas patogen.

Enzim yang berkaitan dengan pertahanan tumbuhan seperti kitinase dapat dilawan

dengan penyebaran hifa cendawan tersebut. Kitinase berperan dalam melawan

cendawan patogen yaitu dengan reaksi hidrolisis (Pozo et al. 2002)

Apresorium adakalanya bercabang sebelum penetrasi ke dalam epidermis.

Setelah melewati epidermis umumnya hifa bercabang dalam berbagai arah,

kadang-kadang tumbuh secara lateral (intraseluler) diantara sel-sel lapisan

berikutnya sebelum masuk ke dalam sel korteks (Widden 1996). Penetrasi CMA

melalui apresoria kemudian membentuk hifa koil di dalam sel-sel korteks dan

berkembang menuju sel-sel korteks didekatnya menjadi arbuskula (Cooke, Widden

& O’Halloran 1993).

Arbuskula merupakan struktur utama dalam kompleks simbiosis tumbuhan

dan cendawan simbion tersebut. Arbuskula terbentuk setelah hifa mengalami


(36)

14 berbutir-butir yang bercampur dengan protoplas sel inang. Analisa morfologi dan

morfometrik menunjukkan bahwa arbuskula melengkapi perkembangannya dalam

2.5 sampai 4 hari (Alexander et al. 1989). Struktur hidup arbuskula relatif singkat berkisar antara 4 sampai 15 hari, bahkan dalam tumbuhan legum hanya 2-5 hari

(Cooke, Widden & O’Hallora 1993). Di dalam arbuskula terjadi pertukaran

metabolisme antara tumbuhan inang dan cendawan simbion.

Pembentukan arbuskula diawali dari suatu struktur batang, kemudian

mengalami percabangan hifa dan tipe percabangannya dipengaruhi oleh tumbuhan

inang (Cooke, Widden & O’Halloran 1993). Balestrini et al. (1992) melaporkan bahwa dengan terbentuknya arbuskula dalam sel korteks inang maka terjadi

invaginasi plasmalema tumbuhan, fragmentasi vakuola, hilangnya amiloplas dan

kenaikan jumlah organel seperti aparatus golgi. Adanya cendawan juga

mempengaruhi posisi nukleus tumbuhan yang bergerak dari posisi tepi ke posisi

sentral pada sel yang terinfeksi. Pada saat akar dikolonisasi CMA dan membentuk

hifa koil, hifa interseluler atau arbuskula, plasmalema inang mengalami invaginasi

dan proliferasi di sekitar perkembangan cendawan. Material apoplas yang terletak

antara membran plasma tumbuhan yang mengalami invaginasi dan permukaan sel

cendawan memberikan suatu ruang baru yang disebut ruang interfase.

Membran cendawan merupakan bagian yang penting karena pada membran

ini terjadi transfer dua arah antara tumbuhan dan cendawan. Ruang interfase

merupakan suatu ekspresi struktural terjadinya simbiosis yaitu tempat terjadinya

pertukaran hara dua arah. Invaginasi membran perifungi disekitar arbuskula

menunjukkan adanya aktivitas H+/ATPase, jadi kemungkinan membran di sekitar cendawan (perifungi) sangat berperan untuk transpot hara. Adanya aktivitas


(37)

15 H+/ATPase mencirikan simbiosis mutualisma sebagaimana juga dijumpai pada membran tumbuhan yang berbintil akar dan hal ini tidak dijumpai pada membran

sekitar haustoria, tempat interaksi patogen tumbuhan (Bonfante & Perotto 1995).

Vesikula merupakan organ penyimpanan karbon untuk cendawan, dan

vesikula ini juga menunjukkan awal infeksi baru. Vesikula merupakan struktur

berbentuk bulat atau lonjong yang terbentuk dari hifa internal yang membengkak

(Bonfante-Fosolo 1984).

Pertumbuhan Hifa Eksternal dan Produksi Spora

Adanya hifa eksternal memungkinkan tumbuhan mengeksploitasi volume

tanah lebih besar. Friese & Allen (1991) melaporkan bahwa eksploitasi fisik pada

absorbsi unsur hara difasilitasi oleh kecilnya diameter hifa yaitu berkisar 2-15 µm

dengan rata-rata 3-4 µm. Tipisnya hifa dengan diameter kurang dari 10 µm lebih

cocok untuk memanfaatkan P yang terdapat di ruang pori mikro tanah yang tidak

dapat dicapai oleh akar dan rambut akar, sehingga dapat mengatasi keterbatasan

difusi Pi yang lambat dalam tanah. Selain itu, hifa juga dapat menyerap air.

Sehingga hifa eksternal dapat meningkatkan potensi sistem perakaran untuk

mengabsorbsi unsur hara dan air. Beberapa studi menunjukkan bahwa daerah

deplesi sekitar akar tumbuhan, lebih besar pada tumbuhan yang bermikoriza

daripada tumbuhan yang tidak bermikoriza (Smith & Read 1997).

Pertumbuhan dan perkembangan hifa eksternal mikoriza arbuskula sangat

berbeda-beda tergantung pada jenis tanah, tumbuhan dan cendawannya. Dalam

beberapa kasus, pertumbuhan cendawan dalam tanah dapat mencapai 80 sampai

134 kali panjang akar yang dapat dikolonisasinya. Selain itu, cendawan dapat pula


(38)

16 miselium eksternal ini dapat tumbuh dan menuju ke permukaan akar untuk

membentuk unit kolonisasi.

Semua organisme merespon pengaruh temperatur. Hifa ekstraradikal miselia

dari Glomus caledonium semuanya tidak dapat tumbuh pada suhu 10 oC namun dapat tumbuh baik pada suhu 25 oC (Gavito 2003). Pada suhu 0 oC G. intraradices

tidak mampu mengabsorbsi P namun dapat aktif kembali mengangkut P pada suhu

15 oC (Wang et al. 2002)

Banyaknya miselium eksternal ini sangat bervariasi, dapat sangat banyak

pada beberapa contoh tanah atau bahkan menutupi akar namun tidak sampai

membentuk selubung cendawan seperti pada ektomikoriza (Harley & Smith 1983).

Selain miselium, CMA membentuk struktur lain yang dikenal sebagai spora, dapat

dibentuk secara tunggal, berkelompok, atau di dalam suatu sporokarp tergantung

jenis cendawannya. Miselium eksternal merupakan hal yang penting dalam

produksi spora CMA, karbohidrat banyak di translokasikan ke tempat tersebut.

Spora CMA dalam tanah merupakan bagian dari cendawan di luar akar penyusun

biomassa (Smith & Read 1997).

Menurut Sieverding (1991) sporulasi CMA di dalam tanah terjadi pada pH

sekitar 3.8 sampai 8.0. Toleransi dan kemampuan tumbuhan untuk tumbuh pada

kondisi pH yang tidak menguntungkan ada kemungkinan karena asosiasi

kolonisasi CMA dengan akar dan kemampuan CMA beradapatasi terhadap kondisi

tersebut.

Sieverding et al. (1989) menemukan bahwa tanah maksimum mengandung 28 spora / g tanah pada Cassava dan biomassanya di atas 919 kg/ha. Biakan pot dari hasil isolasi individu spesies cendawan dapat diperoleh informasi yang


(39)

17 banyak, dapat menghasilkan cendawan dengan sporulasi yang lebih cepat, dan

lebih banyak. (Brundrett 1996).

Cendawan Mikoriza Arbuskula

Menurut klasifikasi dari Morton & Benny (1990) cendawan mikoriza

arbuskula (CMA) merupakan cendawan simbion obligat, mempunyai hifa aseptat,

dan reproduksinya dilakukan secara aseksual. CMA digolongkan dalam filum

Zygomycota kelas Zygomycetes dengan ordo Glomales. Dasar utama pembedaan adalah perkembangan, morfologi, dan struktur dinding pada globos zigospora,

azigospora, klamidospora dan sporangianya. Cendawan-cendawan yang

dimasukkan ke dalam ordo Glomales, ialah anggota genus Gigaspora, Scutellospora, Glomus, Sclerocystis, Acaulospora, dan Entrophospora. Menurut laporan Schüβler et al. (2001), cendawan mikoriza arbuskula (CMA) tidak digolongkan ke dalam Zygomycota lagi berdasarkan urutan gen SSU rRNA tapi digolongkan dalam filum baru, yaitu Glomeromycota (Gambar 1). Filum

Gambar 1 Struktur taksonomi secara umum pada CMA dan kaitannya dengan Cendawan lain berdasarkan urutan gen SSU rRNA (Walker & Schüßler 2004).


(40)

18 ini mempunyai Kelas Glomeromycetes dengan 4 ordo, yaitu Glomerales, Diversisporales, Archaeosporales, dan Paraglomerales. Ordo Glomerales

dengan famili Glomeraceae. Ordo Diversisporales terdiri dari 4 famili, yaitu

Gigasporaceae, Diversisporaceae, Acaulosporaceae dan Pacisporaceae. Ordo

Archaeosporales terdiri dari 2 famili, yaitu Archaeosporaceae dan

Geosiphonaceae. Ordo Paraglomerales mempunyai famili Paraglomeraceae

(Walker & Schüßler 2004). Pacisporaceae pada Schüβler et al. (2001) belum tercantum.

Ekologi dan Fisiologi CMA pada Kondisi Salin

Hetrick (1984) mengatakan CMA dapat dijumpai di hampir semua jenis

tanah, dari tanah masam sampai alkalin. Namun demikian komposisi kelimpahan

spesies CMA dan derajat kolonisasinya berubah dengan adanya peningkatan

salinitas tanah. Kim & Weber (1985) menyatakan bahwa CMA ditemukan pada

vegetasi halofit pada tanah yang memiliki salinitas tinggi, namun kolonisasi akar

oleh CMA menurun sejalan dengan kenaikan salinitas berdasarkan kandungan

sodium tanah. Pendapat yang sama juga dilaporkan oleh Delvian (2003) bahwa

keberadaan dan kelimpahan CMA di hutan pantai berhubungan negatif dengan

tingkat salinitas tanah. Penurunan tingkat salinitas tanah akan meningkatkan

kepadatan spora dan persentase kolonisasi CMA pada akar tumbuhan.

Ragupathy & Mahadevan (1991) meneliti penyebaran CMA pada kawasan

pantai menyebutkan bahwa pengurangan salinitas berhubungan erat dengan

peningkatan kepadatan spora atau dengan kata lain salinitas menekan infeksi


(41)

19 Pada percobaan yang dilakukan oleh Juniper & Abbot (2004) diperoleh

bahwa, pengaruh NaCl pada pertumbuhan hifa G. decipiens dan S. calospora

bersifat dapat balik. Hifa yang berasal dari perkecambahan spora pada pasir dengan kandungan NaCl 300 mmol/l NaCl pertumbuhannya bertambah setelah

dipindahkan ke lingkungan yang kadar salinnya lebih rendah. Tetapi hifa dari

perkecambahan spora yang di tumbuhkan pada pasir nonsalin pertumbuhannya

melambat setelah dipindahkan ke lingkungan salin. Morfologi hifa antara G. decipiens yang ditumbuhkan di substrat salin dan nonsalin berbeda. Panjang hifa yang dihasilkan oleh A. laevis, G. decipiens dan S. calospora berkurang dengan bertambahnya konsentrasi NaCl. Diameter hifa G. decipiens bertambah dengan semakin bertambahnya kadar NaCl. Hifa G. decipiens menebal dengan adanya NaCl, sitoplasmanya kosong dan septatnya banyak.

Coperman et al. (1996) menduga bahwa terdapat perbedaan sifat dan efisiensi pada setiap spesies CMA yang disebabkan oleh faktor genetik CMA itu

sendiri. Menurut Ruiz-Lozano & Azcon (2000) bahwa perbedaan spesies CMA

dan ekosistem asalnya akan menghasilkan respon pertumbuhan yang berbeda.

Contohnya pada keadaan ekosistem yang salin dua jenis CMA dibandingkan,

ternyata mempunyai respon yang berbeda. Glomus sp. melindungi tumbuhan dari cekaman salinitas didasarkan pada perkembangan akar, sedangkan Glomus deserticola berdasarkan perbaikan nutrisi tumbuhan.

Menurut Delvian (2003) efektivitas kerja CMA jauh lebih baik pada kondisi

cekaman salinitas. Pada kondisi tanpa cekaman salinitas peningkatan tinggi

tumbuhan bermikoriza dengan nilai 85.78%, sedangkan pada kondisi tumbuhan


(42)

20

Peranan CMA dalam Penyerapan Unsur Hara

Cendawan mikoriza arbuskula mampu memperbaiki nutrisi dan

meningkatkan pertumbuhan tumbuhan inang. Seperti dijelaskan oleh Marschner

(1995) simbiosis mikoriza arbuskula membentuk jalinan hifa secara intensif

sehingga tumbuhan bermikoriza akan mampu meningkatkan kapasitasnya dalam

menyerap unsur hara dan air. Fosfat adalah salah satu unsur hara utama yang dapat

diserap oleh tumbuhan bermikoriza. Fosfat adalah salah satu unsur hara esensial

yang diperlukan dalam jumlah relatif banyak oleh tumbuhan, tetapi

ketersediaannya pada tanah-tanah tertentu terbatas, sehingga seringkali menjadi

salah satu pembatas utama dalam peningkatan produktivitas tumbuhan. Cara yang

umum untuk mengatasi hal ini salah satunya yaitu memberikan input energi yang

tinggi berupa pemupukan fosfat. Untuk mengurangi input kimia tersebut yang

relatif mahal, maka aplikasi inokulum CMA dapat dijadikan sebagai salah satu

alternatif yang dapat digunakan dan dikembangkan. Unsur makro lainnya yang

dapat diserap oleh MA ialah N dan K. Pada tumbuhan bermikoriza NH4+ dan mungkin NO3- meningkat. Unsur K konsentrasinya pada tumbuhan bermikoriza

lebih tinggi dari pada tumbuhan tidak bermikoriza (Sieverding 1991; Read &

Smith 1997). Anakan ramin yang terkolonisasi CMA tanpa dipupuk, rata-rata

meningkatkan N sebanyak 57,3%, P sebanyak 145,7%, K sebanyak 200,2% dan

Mg sebanyak 220,5% (Muin 2003). Meningkatnya fosfor dalam tumbuhan

mempengaruhi aktivitas fotosintesis karena laju fotosintesis yang lebih tinggi pada

tumbuhan yang bermikoriza berhubungan dengan meningkatnya unsur hara P


(43)

21 Selain unsur makro, CMA juga dapat membantu penyerapan unsur hara

mikro seperti Cu, Zn, S, Mo dan B. (Sieverding 1991; Read & Smith 1997). Mg

konsentrasinya pada tumbuhan bermikoriza lebih tinggi dari pada tumbuhan tidak

bermikoriza. Penyerapan Ca terlihat dipengaruhi oleh interaksi dengan unsur-unsur

nutrisi yang lain.

Mikroelemen esensial bagi tumbuhan seperti Fe, Mn dan Cl secara umum

juga ditemukan lebih tinggi konsentrasinya pada tumbuhan yang berasosiasi

dengan cendawan tersebut. Muin (2003) melaporkan bahwa anakan ramin yang

terkolonisasi CMA menyerap unsur hara mikro Mn, Fe dan Zn lebih banyak

dibanding tumbuhan yang tidak terkolonisasi CMA. Serapan Fe meningkat sejalan

dengan dosis fosfat alam yang diberikan. Na, Co dan Si tidak esensial untuk

pertumbuhan tumbuhan, namun mereka cenderung kadang-kadang diserap

tumbuhan yang bermikoriza. Beberapa logam berat dan beracun seperti Cd, Ni, Sr,

Pb dan Cs serta beberapa non nutrisi seperti Br dan I juga mungkin dapat diserap

(Read & Smith 1997; Sieverding 1991)

Secara umum unsur-unsur yang tidak mobil seperti P, Zn dan Cu meskipun

berada di daerah rizosfer, sulit diserap oleh tumbuhan. Namun dengan adanya

simbiosis CMA pada tumbuhan unsur-unsur tersebut dapat dengan baik diserap

oleh tumbuhan (Read & Smith 1997).

Mikoriza arbuskula dapat melakukan beberapa cara untuk meningkatkan

penyerapan nutrien dari dalam tanah dengan cara memperluas area permukaan dan

jangkauan karena adanya hifa eksternal yang berukuran lebih kecil (1/10)

dibandingkan dengan akar. Mikoriza arbuskula mampu mempercepat pergerakan


(44)

22 ambang yang diperlukan P untuk berdifusi, dan merubah lingkungan organik

rhizosfer secara kimia misalnya melalui pelepasan asam organik, dan peningkatan

aktivitas fosfatase, serta meningkatkan produksi fitohormon yang dapat merubah

fenotipe akar yaitu dengan pembentukan akar dengan nodus yang lebih tinggi juga

dapat membuat umur akar menjadi lebih lama sehingga meningkatkan kapasitas

penyerapan hara total (Orcutt & Nielsen 2000). Mikoriza arbuskula juga

mengakibatkan terjadinya akumulasi asam-asam amino, protein, klorofil dan

kandungan gula dibandingkan dengan tumbuhan nonmikoriza (Mathur & Vyas

2000).

Pertumbuhan dan fungsi mikoriza tergantung pada suplai karbon sebagai

derivat fotosintesis dari tumbuhan inang. Cendawan mikoriza menerima

karbohidrat dari tumbuhan inang sebanyak 4-14% dari total karbon hasil

fotosintesis (Clark 1997). Allsopp (1998) menyatakan bahwa faktor-faktor yang

menurunkan kapasitas fotosintesis tumbuhan akan berpengaruh terhadap fungsi

MA, karena cendawan sebagai pasangan tumbuhan dalam bersimbiosis sangat

tergantung pada karbon yang dihasilkan tumbuhan tersebut.

Keanekaragaman CMA dan Keanekaragaman Tumbuhan pada berbagai Ekosistem

Cendawan mikoriza arbuskula merupakan cendawan yang penyebarannya

sangat luas di alam, dapat diisolasi mulai dari daerah tropis, savana, hutan hujan,

pantai, tanah gambut, tanah asam, tanah salin, tanah ber-sodium, tanah kapur,

bukit batu, padang pasir, atau daerah-daerah kering lainnya, juga tempat-tempat

terganggu (Brundrett et al. 1999; Ervayenri 1998; Delvian 2003; Landwehr et al. 2002; Widiastuti 2004). Berbagai seri komunitas yang bervariasi diteliti oleh


(45)

23 Heijden (1998) hasilnya menunjukkan bahwa keragaman jenis CMA dapat

mempengaruhi biomassa tumbuhan, biomassa cendawan, keanekaragaman jenis

tumbuhan dan tumbuhan yang mengandung P.

Studi-studi tentang keanekaragaman CMA pada tanah salin menunjukkan

bahwa Glomus merupakan genus dari CMA yang dominan (Delvian 2003, Landwehr et al. 2002, Purwanto 1999, Ragupathy dan Mahadevan 1991). Pada ekosistem gambut genus yang banyak ditemukan yaitu Glomus dan Acaulospora

(Muin 2003; Ekamawanti 1999).

Oehl et al. (2003) melaporkan bahwa intensifikasi pertanian akan mempengaruhi kelimpahan CMA dan struktur komunitasnya. Komunitas CMA

berubah tidak hanya keanekaragamannya namun juga aspek fungsionalnya

(kecepatan berkolonisasi dan kecepatan sporulasi pada biakan pot).

Ekosistem yang tergenang merupakan tempat dengan ketersediaan oksigen

di daerah perakaran dengan jumlah sedikit. Cendawan mikoriza arbuskula

merupakan organisme aerob, sehingga ketersediaan oksigen akan mempengaruhi

formasi CMA di ekosistem tersebut. Contohnya pada ekosistem hutan rawa jumlah

spora dan persentase kolonisasi lebih rendah dari pada ekosistem terestrial atau

tanah kering (Khan 1993).

Disamping peranannya terhadap tumbuhan inang, CMA memegang peranan

penting dalam ekosistem terrestrial. Tidak hanya keberadaanya, tetapi secara

genetik dan diversitas fungsional sangat penting. Keragaman CMA menentukan

struktur komunitas tumbuhan dan produktivitas ekosistem (Tilman et al. 2001). Cendawan mikoriza arbuskula berhubungan erat dengan


(46)

24 tertentu mempunyai relung ekologis yang sangat khusus yang tidak umum, seperti

halnya organisme lain, sehingga konsekuensinya, keanekaragaman komunitas

CMA ini mungkin sangat peka terhadap perubahan lingkungan (Fitter et al. 2004). Pada beberapa keadaan, kekayaan tumbuhan berhubungan dengan kekayaan

spesies CMA sementara itu keragaman mikoriza sangat erat kaitannya dengan

fungsi pada lingkungan setempat. Tumbuhan tidak banyak mempunyai pengaruh

pada keanekaragaman CMA dan keanekaragam CMA mampu membantu kearah

pemeliharaan sekumpulan tumbuhan yang berbeda (Johnson etal. 2005).

Peranan CMA dalam Komunitas Tumbuhan

Peranan yang paling menonjol dari CMA dibanding dengan tipe-tipe

cendawan mikoriza lainnya dalam komunitas tumbuhan, yaitu kemampuannya

untuk berasosiasi dengan sekitar 80% jenis tumbuhan. Sehingga CMA berperan

penting dalam mempertahankan stabilitas keanekaragaman tumbuhan dengan cara

transfer nutrisi dari satu akar tumbuhan ke akar tumbuhan yang lain yang

berdekatan melalui struktur yang disebut dengan ‘ bridge hypha’ (Allen & Allen

1992).

Distribusi kepadatan CMA di komunitas alam biasanya dapat dilihat bagian

per bagian dengan skala yang terukur. Tetapi bila diteliti lebih lanjut, CMA

sebenarnya mempunyai pola infeksi yang kompleks. Variasi infeksi akar

tumbuhan oleh CMA di alam berbeda dengan berbedanya tempat dan waktu (Fitter

& Merryweather (1992). Hal tersebut dapat dilihat pula dalam penelitian Delvian

(2003) bahwa pembentukan spora CMA bersifat musiman dan setiap jenis CMA

memberikan respon yang berbeda terhadap perubahan musim. Dan penelitian


(47)

25 menyebabkan perbedaan keanekaragaman spesies dan populasi CMA. Perubahan

vegetasi dalam merespon perubahan lingkungannya mungkin mempunyai peranan

yang besar dalam menentukan struktur komunitas CMA. Dan dari bukti-bukti

menunjukkan bahwa CMA rentan terhadap perubahan lingkungan biotik maupun

abiotik (Fitter et al. 2004). Sehingga peranan CMA dalam komunitas tumbuhan sangat erat kaitannya dengan perubahan lingkungannya.

Jaringan hubungan hifa mikoriza yang saling berkaitan dari dua sistem akar

atau lebih dapat mentransfer karbon atau nutrien dari satu tumbuhan ke tumbuhan

yang lain. Bertambahnya jumlah spesies CMA, frekuensi hubungan, jumlah

tumbuhan maupun jumlah spesies tumbuhan akan semakin menambah

kompleksitas hubungan tersebut. Kompleksitas juga akan bertambah dengan

adanya organisme-organisme lain yang berinteraksi di dalam tanah seperti cacing

tanah, nematoda dan bakteri (Simard & Durall 2004). Menurut Fitter et al. (2004) mungkin keanekaragaman komunitas CMA dapat berfungsi sebagai peyangga


(48)

BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Tempat

Penelitian di laksanakan di Ujung Genteng-Sukabumi, di rumah kaca

Gunung Gede, di laboratorium Mikologi Gunung Gede dan di laboratorium

Sitologi dan Mikroriza Herbarium Bogoriense-LIPI, Bogor. Penelitian dimulai

dari bulan Februari 2003 sampai Juli 2005.

B. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah contoh tanah/pasir dan

akar yang diambil dari hutan semenanjung Ujung Genteng Kabupaten Sukabumi,

zeolit, PVLG, hara Johnson, sukrosa, aquades, alkohol 50 dan 70%, benih

Puerareaphaseoloides dan Sorghum sp. , KOH 2%; 2,5% dan 10%, HCl 1% dan 2%, Clorox, gliserin 50%, pewarna biru tripan.

Alat yang digunakan adalah kompas, pH tanah, pengukur tinggi pohon,

plastik, koran, label, karet gelang, patok, pemukul, tali rafia, jerigen, spidol

permanen, tustel, bak semai, pot, sendok tanah, cangkul, golok, saringan tanah

bertingkat ukuran 750, 250, 100 dan 50 μm, sentrifus, mikroskop stereo dan mikroskop binokuler, cawan petri, gelas obyek, gelas penutup, pinset spora,

pinset, erlenmeyer, pipet, botol film, sarung tangan dan tabung reaksi.

C. Metode Penelitian

Secara garis besar penelitian ini dibagi menjadi 2 bagian yaitu :

1. Kegiatan di lapang meliputi analisa vegetasi, pengambilan contoh tanah


(49)

27 biakan pot cendawan (trapping) dan analisa sifat-sifat tanah khususnya salinitas.

2. Kegiatan di rumah kaca dan di laboratorium meliputi isolasi dan

identifikasi CMA, yang menggunakan perbanyakan biakan pot dan

persentase kolonisasi CMA pada akar tumbuhan.

Bagan alir penelitian yang dilakukan seperti tersebut, dapat dilihat pada

Gambar 2.

C.1. Di Lapang

C.1.1. Analisa Vegetasi

Analisa vegetasi dimulai dengan melakukan pengukuran terhadap fase

pohon dengan keliling batas tinggi dada / 1,30 m (О > 62,8 cm) dan tiang (О : 31,4 – 62,8 cm) juga (О < 6,28 cm) anakan dan tumbuhan bawah.

Metode kuadran (Cox 1972) digunakan untuk menghitung nilai kerapatan

relatif, frekuensi relatif, dominasi relatif dan indek nilai penting jenis pohon dan

tiang. Metode garis menyinggung digunakan untuk analisa vegetasi fase anakan

dan tumbuhan bawah. Penentuan tumbuhan dominan dilakukan berdasarkan nilai

kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominasi relatif dan indeks nilai penting jenis.

Fase sapihan tidak diamati karena fase sapihan banyak dimanfaatkan

penduduk untuk kayu bakar, sehingga pada populasi setiap jenis tumbuhan, fase

ini dapat dikatakan sangat sedikit dan hanya ada di tengah hutan, yaitu daerah

yang jarang dijamah oleh penduduk.

Pembagian wilayah penelitian dilakukan berdasarkan keadaan lingkungan

dan arah angin. Wilayah zona Barat menghadap teluk, sebagian pasir lebih


(50)

28 Penentuan Lokasi Penelitian

Lapang :

1. Analisa vegetasi, 2. Pengambilan contoh tanah, akar, anakan dan tumbuhan bawah

Biakan pot dengan inang Pueraria phaseoloides dan

Sorghum sp.

Biakan Pot dengan inang anakan dan tumbuhan

bawah dari lapang Anakan dan tumbuhan bawah Pengamatan Kolonisasi Penyaringan dengan saringan bertingkat Tanah Akar Identifikasi CMA Analisa sifat kimia tanah

Analisa hasil penelitian Identifikasi Tumbuhan Data Analisa Vegetasi 1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3) 3) 3) 2) 2) 1) 1)

Keterangan : 1) lapang, 2) biakan pot, 3) anakan


(51)

29 menghadap laut lepas Samudera Hindia, karang lebih menjorok ke laut, pasir lebih

kasar, landai dan lebih dangkal dengan air menggenang bila air surut. Zona tengah

hutan memiliki suatu spesies tumbuhan yang rapat/mendominasi zona tersebut.

Selanjutnya areal penelitian dibagi menjadi 5 zona, yaitu Pantai Barat (PB),

Tengah Barat (TB), Tengah Hutan (TH), Tengah Timur (TT) dan Pantai Timur

(PT). Pembagian zona tersebut berlaku untuk melihat sebaran CMA dan

Tumbuhan. Pembagian zona untuk melihat perbedaan komunitas tumbuhan dan

hubungannya dengan CMA, areal penelitian dibagi menjadi 3 zona, yaitu 0-70 m

dari pantai (P), 71-140 m dari pantai (T) dan 141 m dari pantai sampai tengah

hutan (H).

C.1.2. Pengambilan Contoh Tanah, Akar untuk Pohon dan Tiang, serta Anakan dan Tumbuhan Bawah

Teknik pengambilan contoh tanah dan akar dari berbagai tipe vegetasi dan

zonasi mengikuti metode kuadran untuk analisa vegetasi dengan berpedoman pada

peta areal yang akan dianalisa. Langkah awal pengambilan contoh dilakukan

dengan membuat transek, yaitu garis lurus yang memotong areal yang diamati.

Selanjutnya menentukan satu titik sebagai pedoman untuk membuat garis tegak

lurus terhadap transek. Sehingga terbentang garis dari arah Utara, Selatan, Barat

dan Timur (Gambar 3). Akhirnya dari garis transek tersebut diperoleh 24 titik

masing-masing 4 kuadran. Pengambilan contoh tanah dan akar diambil

berdasarkan kuadran yang telah ditentukan, dibeberapa titik sekitar tumbuhan

tersebut. Akar sebanyak 5-10 g dan tanah sebanyak 700-1000g diambil dari

daerah rizosfer. Daerah rizosfer yang dimaksud ialah bagian ujung akar

tumbuhan yang berada di bawah kanopi terluarnya dengan kedalaman


(52)

30 sama pada kuadrannya, maka hanya dipilih salah satu tumbuhan untuk diambil

contoh tanah dan akarnya. Contoh tumbuhan yang tidak diketahui nama ilmiahnya

di ambil sebagai contoh untuk identifikasi. Beberapa tumbuhan (anakan dan

tumbuhan bawah) dalam keadaan hidup diambil sebagai contoh untuk biakan pot

cendawan. Akar yang diambil sebagian disimpan sementara dalam alkohol 50%

setelah dicuci bersih, selama perjalanan dari lapang ke laboratorium.

Gambar 3 Peta lokasi penelitian dan letak jalur pengamatan di hutan pantai Ujung Genteng, Desa Batu, Kabupaten Sukabumi.

C.2. Percobaan di Rumah Kaca dan Laboratorium

Sebanyak 79 contoh tanah rizosfer pohon dan tiang serta akarnya berasal

dari 24 titik metoda kuadran dibawa ke rumah kaca dan laboratorium. Selain itu,

juga diperoleh beberapa jenis tumbuhan anakan dan tumbuhan bawah yang

digunakan untuk inang dalam biakan pot anakan.

Samudera Hindia

U

Samudera Hindia

Tenda o

Keterangan : = garis transek kuadran = garis menyinggung

Kabupaten Sukabumi


(53)

31 Kegiatan penelitian di rumah kaca dan laboratorium meliputi penghitungan

jumlah spora, identifikasi CMA dan mengamati persentase kolonisasi. Identifikasi

CMA saat ini hanya dapat dilakukan dengan menggunakan spora. Di alam pada

umumnya CMA memproduksi spora dalam jumlah sangat sedikit sehingga teknik

penyuburan dengan biakan pot perlu dilakukan. Contoh tanah, akar dan tumbuhan

bawah yang didapat dari lapang digunakan untuk biakan pot cendawan.

Tumbuhan inang yang digunakan untuk biakan potialah Pueraria phaseoloides

dan Sorghum sp. Biakan pot dipelihara di rumah kaca kurang lebih 12 bulan, dengan pemberian pupuk Johnson tanpa P. Setelah 12 bulan dilakukan analisa

biakan pot dengan menghitung jumlah spora, identifikasi spora dan persentase

kolonisasi CMA. Untuk mendapatkan spora, tanah disaring dengan saringan

bertingkat (Brundett et al. 1994). Selain dari biakan pot, spora dari tanah yang diambil langsung dari lapang juga disaring, untuk dihitung jumlah spora dan

diidentifikasi CMAnya. Spora yang baik dipilih dan diletakkan pada kaca obyek

dengan media PVLG untuk selanjutnya diidentifikasi (Schenck & Perez. 1990).

Akar baik yang diperoleh dari lapang maupun hasil biakan pot dianalisa

peresentase kolonisasi CMAnya. Analisa kolonisasi cendawan pada akar

dilakukan setelah proses pewarnaan dengan biru tripan (Brundrett et al. 1996).)

Secara garis besar teknik pewarnaan akar yang diperoleh dari lapang dilakukan

dengan cara : akar dicuci, direndam dalam KOH 10% semalam, kemudian KOH

dibuang, dan dicuci dengan air mengalir. Apabila akar masih berwarna gelap

maka dilakukan proses pemutihan dengan Clorox 0,01% selama beberapa saat.

Selanjutnya direndam dalam HCl 2% selama 12 jam. Setelah itu HCl dibuang, dan

terakhir akar diwarnai dengan pewarna biru tripan. Akar selanjutnya disimpan


(54)

32 persentase kolonisasi. Teknik pewarnaan akar tumbuhan yang berasal dari kultur

pot yaitu Pueraria phaseoloides dan Sorghum sp. dilakukan dengan menggunakan metoda Koske dan Gemma (1989). Metode tersebut dilakukan untuk mencegah

kerusakan akar, karena akar tumbuhan inang tersebut lebih kecil dan halus

daripada akar tumbuhan dari hutan. Teknik pewarnaan akar tersebut dilakukan

dengan cara : akar dicuci, dimasukkan dalam KOH 2,5% dan direbus pada suhu

60-90o C sampai akar menjadi bersih kurang lebih 10-30 menit. Selanjutnya KOH dibuang, dicuci air mengalir, kemudian direndam dalam HCl 1% selama 12 jam.

Setelah itu HCl dibuang, dan terakhir akar diwarnai dengan pewarna biru tripan.

Akar selanjutnya disimpan dalam asam gliserol 50% sampai dilakukan

pengamatan dan penghitungan persentase kolonisasi.

Penghitungan kolonisasi CMA pada akar menggunakan Metoda Visual Assay, dan dilanjutkan dengan Metoda slide (Giovanneti dan Mosse 1980). Kolonisasi ditandai adanya minimal salah satu struktur berikut ini, yaitu entry point, hifa internal, arbuskula, vesikula atau koil. Persen kolonisasi CMA dihitung dengan rumus :

Jumlah akar yang terkolonisasi

% Kolonisasi CMA = --- X 100% total panjang akar

Data persen kolonisasi, keanekaragaman dan jumlah spora CMA di lapang

dan biakan pot dibandingkan dan dihubungkan dengan data lainnya.

D. Analisa Data

Frekuensi relatif setiap jenis spora CMA yang ditemukan dihitung dan

dibandingkan antara contoh dari lapang dan biakan pot. Frekuensi relatif jenis


(55)

33 Σ titik jenis A ditemukan

Frekuensi jenis A = --- x 100% Σ titik keseluruhan

Frekuensi jenis A

Frekuensi relatif jenis A = --- x 100% Σ frekuensi keseluruhan

Selain kerapatan spora CMA setiap 100 g-1tanah kering, dihitung kekayaan (R),

dimana R = jumlah jenis yang ditemukan pada sampel), dan keragaman CMA (D).

Keragaman CMA (D) dihitung dengan rumus :

S D = ---

Log N

dimana : S = jumlah total spesies pada sampel

N = jumlah total spora pada sampel

E. Analisa Pendukung

Analisa pendukung terdiri dari 2, yaitu Identifikasi Tumbuhan dan

analisa beberapa sifat tanah. Tumbuhan yang belum teridentifikasi nama

ilmiahnya diidentifikasi di Herbarium Bogoriense, LIPI, Bogor. Analisa sifat

tanah yaitu pH, jenis tanah, salinitas, P total, P tersedia dan tekstur tanah

dilakukan di Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian IPB, Bogor.

F. Penyimpanan Spesimen

Sebagian besar spesimen disimpan di Fakultas Pertanian, Universitas

Muhammadiyah Jakarta dan sebagian lagi disimpan di laboratorium


(56)

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisa Vegetasi

A.1. Hasil

Dari keseluruhan hasil analisa vegetasi di hutan pantai Semenanjung Ujung Genteng,ditemukan 68 spesies tumbuhan yang terdiri dari 40 famili. Ke 68 spesies tumbuhan tersebut terdiri dari 32 spesies fase pohon dan tiang dari 20 famili, serta 51 spesies anakan dan tumbuhan bawah dari 35 famili. Hasil analisa vegetasi hutan secara keseluruhan disajikan pada Lampiran 1 dan 2.

Tumbuhan fase pohon dan tiang secara keseluruhan pada Lampiran 1 terdiri dari 32 spesies tumbuhan. Tiga spesies tumbuhan diantaranya merupakan tumbuhan yang mempunyai indeks nilai penting (NP) tertinggi, yaitu Dysoxylum parasiticum (Meliaceae), Syzygium javanicum (Myrtaceae), dan Guettarda speciosa (Rubiaceae) dengan nilai masing-masing 38.35%, 23.08% dan 17.40%. Frekuensi ke 3 spesies tersebut juga merupakan spesies yang tercatat mempunyai nilai lebih tinggi dari tumbuhan lain ialah D. parasiticum, S. javanicum, G. speciosa dengan nilai masing-masing 13.7%, 9.59 % dan 8.22%.

Dua puluh satu famili tumbuhan fase pohon dan tiang seluruh Semenanjung, terdapat 4 famili yang mempunyai sebaran paling luas (Lampiran 1). Ke 4 famili tersebut ialah Moraceae (4 spesies), Euphorbiaceae (3 spesies), Lauraceae (3 spesies), dan Rubiaceae (3 spesies). Dan dari seluruh tumbuhan yang terdiri dari 41 famili yang tercatat di seluruh semenanjung, famili-famili yang anggotanya lebih dari 3 yaitu dari Moraceae (5 spesies), Euphorbiaceae (4 spesies), Fabaceae (4 spesies), dan Lauraceae (4 spesies).


(1)

LAMPIRAN 8 Gambar Biakan Pot

Biakan Pot dengan Inang Pueraria phaseoloides dan Sorghum sp.

Biakan Pot dengan inang anakan / tumbuhan bawah dari Lapang o


(2)

Spora CMA dalam jaringan akar Pandanus tectorius

Arbuskula pada Planchonella obovata

Hifa interpoint pada Pandanus tectorius Koil pada Pandanus tectorius LAMPIRAN 9 Kolonisasi CMA


(3)

Pandanus tectorius Guettarda speciosa

Pongamia pinnata Terminalia cattapa

Soneratia pinnata, tidak ter-plot, hanya <20 pohon

Cerbera manghas


(4)

LAMPIRAN 11 Gambar Tumbuhan di Tengah Hutan

Pohon Dysoxylum parasiticum

Tumbuhan bawah : (1) Piper cf. baccatum

dan

(2) Scindapsus hederacens (1)

(2)

Anakan Dysoxylum parasiticum

Pohon Syzygium javanicum roboh karena mencengkeram tanah berkarang rapuh di tengah hutan


(5)

(6)

LAMPIRAN 13 Pembuatan Larutan Stok – Johnson Nutrient Solution

Hara Makro :

1. KNO3 = 10.111 g/100 ml aquades

2. CaNO3.4H2O = 23.615 g/100 ml aquades

3. MgSO4.7H2O = 24.648 g/100 ml aquades

4. (NH4). H2PO4 = 11.503 g/100 ml aquades

Hara Mikro :

1. KCI = 3.728 g

2. H3BO3 = 1.546 g dalam 1000 ml aquades

3. MnSO4.H2O = 0.338 g

4. ZnSO4.7H2O = 0.575 g

5. CuSO4.5H2O = 0.125 g

6. (NH4)6. Mo7O24. 4H2O = 0.092 g

Fe-EDTA : 20 mmol untuk 25 ml aquades

Pembuatan Fe-EDTA 0.00893 M

26.1 g EDTA + 33.2436 g Na-EDTA + 25.6 ml KOH1 N + 24.9 g FeSO4

Larutakan hingga 1 liter dengan aquades, aerasi selama 1 malam. kemudian disaring.

Pembuatan KOH 1 N