Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) Berdasarkan Ketinggian Tempat (Studi Kasus Pada Hutan Pegunungan Sinabung Kabupaten Karo)

(1)

KEANEKARAGAMAN CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA (CMA) BERDASARKAN KETINGGIAN TEMPAT

(Studi Kasus Pada Hutan Pegunungan Sinabung Kabupaten Karo)

SKRIPSI

Oleh :

HERONIMUS F. ZEBUA 041202013/Budidaya Hutan

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008


(2)

KEANEKARAGAMAN CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA (CMA) BERDASARKAN KETINGGIAN TEMPAT

(Studi Kasus Pada Hutan Pegunungan Sinabung Kabupaten Karo)

SKRIPSI

Oleh :

HERONIMUS F. ZEBUA 041202013/Budidaya Hutan

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan di Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) Berdasarkan Ketinggian Tempat (Studi Kasus Pada Hutan Pegunungan Sinabung Kabupaten Karo)

Nama : Heronimus F. Zebua

NIM : 041202013

Program Studi : Budidaya Hutan

Disetujui oleh : Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

Dr. Delvian, SP. MP Dr. Deni Elfiati, SP. MP

NIP. 132 299 348 NIP. 132 299 347

Mengetahui,

Ketua Departemen Kehutanan

Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, MS. NIP. 132 287 853


(4)

ABSTRAK

Heronimus F. Zebua, Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) Berdasarkan Ketinggian Tempat (Studi Kasus Pada Hutan Pegunungan Sinabung Kabupaten Karo). Dibimbing oleh Delvian dan Deni Elfiati

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui status keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) yang ada di hutan pegunungan Sinabung Kabupaten Karo Propinsi Sumatera Utara. Sampel tanah dan akar diambil dari Hutan Pegunungan Sinabung dengan tiga tingkat ketinggian masing-masing 1500 mdpl, 1700 mdpl dan 1900 mdpl. Sedangkan pengamatan dan analisis dilakukan di Laboratorium Biologi Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Pengamatan yang dilakukan menggunakan parameter yaitu derajat infeksi akar, kepadatan spora dan identifikasi jenis spora.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kolonisasi CMA tertinggi terdapat pada ketinggian 1500 mdpl sebesar 54,69%, untuk kolonisasi pada ketinggian 1700 mdpl sebesar 36,81% sedangkan kolonisasi terendah terdapat pada ketinggian 1900 mdpl sebesar 25,54%.

Kepadatan rata-rata spora tertinggi hasil observasi di lapangan ditemukan pada ketinggian 1500 mdpl sebesar 177 spora/20 gram tanah. Jumlah rata-rata spora pada ketinggian 1700 mdpl terdapat sebanyak 160,6 spora/20 gram tanah, sedangkan kepadatan rata-rata terendah terdapat pada ketinggian 1900 mdpl sebanyak 109,3 spora/20 gram tanah.

Penyebaran spora CMA pada ketiga ketinggian ini ditemukan genus Glomus sp. sebanyak 9 jenis dan satu jenis genus Acaulospora sp. Genus Acaulospora hanya ditemukan pada ketinggian 1500 mdpl sedangkan genus Glomus ditemukan pada tiga tingkatan ketinggian tersebut.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tempat di atas permukaan laut maka tingkat kolonisasi dan produksi spora CMA semakin menurun. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor perubahan suhu yang semakin menurun dengan bertambahnya ketinggian tempat.


(5)

ABSTRACT

Heronimus F. Zebua, Diversity of Arbuscula Mycorrhiza Fungi Based of Altitude (Case study in the Sinabung Mountain, Karo Regency). Councelled by Delvian and Deni Elfiati .

This study aim to know the status of Arbuscula Mycorrhiza Fungi (CMA) diversity in the Sinabung Mountain Forest, Karo Regency, Notrh Sumatera Province. The soil sample and root were taken from Sinabung Mountain Forest with three degree of height that is 1500, 1700 and 1900 metre at sea level. But the observation and analitic were done in soil biologic laboratory, Agriculture of Faculty, North Sumatera University. The Observation that has been done used a parametre like : the root infection degree, spore density, and the identification of spore type.

The result of research show that the highest CMA colonization degree was in the 1500 metre at sea level with 54,69 %, for the colonization in the 1700 metre at sea level is 36, 81 % and the lowwest colonization is in the 1900 metre at sea level with 25,54 %.

The highest average spore density in the field were found in the 1500 metre at sea level with 177 spore/20 gr soil. The average spore in the 1700 metre at sea level is 160,6 spore/20 gr soil, and the lowwest average is in the1900 metre at sea level with 109,3 spore/20 gr soil.

The spread of CMA spore with this three height were found Glomus sp genus with 9 type and 1 type Acaulospora sp genus. Acaulospora sp genus were only found in the 1500 metre at sea level height and the Glomus sp genus were found in that height degree.

The research result show that the higher the place at sea level so that the lower the degree colonization and CMA spore production. It can be caused by the change temperature factor that become low with increasing the height oh place.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian ini tepat pada waktunya.

Adapun judul dari penelitian ini adalah “Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) Berdasarkan Ketinggian Tempat (Studi Kasus pada Hutan Pegunungan Sinabung Kabupaten Karo)”. Penelitian ini merupakan salah satu tugas akhir dalam menyelesaikan kegiatan akademik di Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada komisi pembimbing yaitu Bapak Dr. Delvian, SP. MP dan Ibu Dr. Deni Elfiati, SP. MP. yang telah membimbing dan mengarahkan dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan tulisan ini. Begitu juga kepada kedua orang tua saya yang telah membantu dalam memberikan dukungan doa, motifasi maupun materi, serta kepada teman-teman seperjuangan yang telah memberikan dukungan kepada penulis dalam penyelesaian penelitian ini.

Dalam penyusunan tulisan ini, penulis menyadari ada berbagai kekurangan serta kelemahan sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan tulisan ini di kemudian hari. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Oktober 2008 Penulis


(7)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. ... Ilustrasi

petak contoh pengambilan sampel tanah ... 16 2. ... Jumlah

spora CMA setiap ketinggian tempat ... 21 3. ... Jumlah

rata – rata kepadatan spora CMA ... 22 4. ... Persentas

e infeksi akar oleh CMA pada berbagai ketinggian tempat ... 23 5. ... Rataan

persentase infeksi akar oleh CMA ... 24 6. ... Akar

tumbuhan yang terinfeksi oleh hifa CMA ... 24 7. ... Vesikel

yang terdapat pada akar oleh adanya infeksi CMA ... 25 8. ... Arbuskul

a yang terdapat pada akar oleh adanya infeksi CMA... 25 9. ... Penampa


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Hipotesa Penelitian ... 4

Kegunaan Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Cendawan Mikoriza ... 5

Pembagian Mikoriza ... 6

Klasifikasi Cendawan Mikoriza Arbuskula ... 7

Struktur Umum Cendawan Mikoriza Arbuskula ... 8

Distribusi dan Ekologi Cendawan Mikoriza Arbuskula ... 9

KONDISI UMUM HUTAN PEGUNUNGAN SINABUNG ... 14

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ... 15

Bahan dan Alat ... 15

Metode Penelitian ... 16

Penentuan Ketinggian Tempat ... 16

Pembuatan Petak ... 16

Pengambilan Contoh Tanah ... 17

Pengambilan Contoh akar ... 17

Pengamatan Penelitian ... 17

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kepadatan Spora Cendawan Mikoriza Arbuskular (CMA) ... 21

Persentase Infeksi Akar ... 22


(9)

Pembahasan

Kepadatan Spora CMA Hasil Observasi ... 29 Penyebaran Genus Hasil Observasi ... 32 Persentase Infeksi Akar ... 34 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 37 Saran ... 37 DAFTAR PUSTAKA


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Tipe dan karakteristik spora CMA ... 26 2. Hasil analisis sampel tanah ... 29


(11)

ABSTRAK

Heronimus F. Zebua, Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) Berdasarkan Ketinggian Tempat (Studi Kasus Pada Hutan Pegunungan Sinabung Kabupaten Karo). Dibimbing oleh Delvian dan Deni Elfiati

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui status keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) yang ada di hutan pegunungan Sinabung Kabupaten Karo Propinsi Sumatera Utara. Sampel tanah dan akar diambil dari Hutan Pegunungan Sinabung dengan tiga tingkat ketinggian masing-masing 1500 mdpl, 1700 mdpl dan 1900 mdpl. Sedangkan pengamatan dan analisis dilakukan di Laboratorium Biologi Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Pengamatan yang dilakukan menggunakan parameter yaitu derajat infeksi akar, kepadatan spora dan identifikasi jenis spora.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kolonisasi CMA tertinggi terdapat pada ketinggian 1500 mdpl sebesar 54,69%, untuk kolonisasi pada ketinggian 1700 mdpl sebesar 36,81% sedangkan kolonisasi terendah terdapat pada ketinggian 1900 mdpl sebesar 25,54%.

Kepadatan rata-rata spora tertinggi hasil observasi di lapangan ditemukan pada ketinggian 1500 mdpl sebesar 177 spora/20 gram tanah. Jumlah rata-rata spora pada ketinggian 1700 mdpl terdapat sebanyak 160,6 spora/20 gram tanah, sedangkan kepadatan rata-rata terendah terdapat pada ketinggian 1900 mdpl sebanyak 109,3 spora/20 gram tanah.

Penyebaran spora CMA pada ketiga ketinggian ini ditemukan genus Glomus sp. sebanyak 9 jenis dan satu jenis genus Acaulospora sp. Genus Acaulospora hanya ditemukan pada ketinggian 1500 mdpl sedangkan genus Glomus ditemukan pada tiga tingkatan ketinggian tersebut.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tempat di atas permukaan laut maka tingkat kolonisasi dan produksi spora CMA semakin menurun. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor perubahan suhu yang semakin menurun dengan bertambahnya ketinggian tempat.


(12)

ABSTRACT

Heronimus F. Zebua, Diversity of Arbuscula Mycorrhiza Fungi Based of Altitude (Case study in the Sinabung Mountain, Karo Regency). Councelled by Delvian and Deni Elfiati .

This study aim to know the status of Arbuscula Mycorrhiza Fungi (CMA) diversity in the Sinabung Mountain Forest, Karo Regency, Notrh Sumatera Province. The soil sample and root were taken from Sinabung Mountain Forest with three degree of height that is 1500, 1700 and 1900 metre at sea level. But the observation and analitic were done in soil biologic laboratory, Agriculture of Faculty, North Sumatera University. The Observation that has been done used a parametre like : the root infection degree, spore density, and the identification of spore type.

The result of research show that the highest CMA colonization degree was in the 1500 metre at sea level with 54,69 %, for the colonization in the 1700 metre at sea level is 36, 81 % and the lowwest colonization is in the 1900 metre at sea level with 25,54 %.

The highest average spore density in the field were found in the 1500 metre at sea level with 177 spore/20 gr soil. The average spore in the 1700 metre at sea level is 160,6 spore/20 gr soil, and the lowwest average is in the1900 metre at sea level with 109,3 spore/20 gr soil.

The spread of CMA spore with this three height were found Glomus sp genus with 9 type and 1 type Acaulospora sp genus. Acaulospora sp genus were only found in the 1500 metre at sea level height and the Glomus sp genus were found in that height degree.

The research result show that the higher the place at sea level so that the lower the degree colonization and CMA spore production. It can be caused by the change temperature factor that become low with increasing the height oh place.


(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Komponen ekosistem hutan, baik hayati (mahkluk hidup) maupun non hayati (lingkungan) saling berinteraksi satu dengan yang lain (Odum, 1993). Dalam perkembangannya hubungan yang ada menunjukkan keseimbangan alam yang utuh, jika salah satu di antara komponen ini terganggu maka komponen lainnya juga ikut terganggu, dan akhirnya akan mengurangi nilai keanekaragaman hayati yang ada. Keanekaragaman hayati sangat bernilai bagi kehidupan manusia, karena hutan merupakan gudang plasma nutfah (sumber genetik ) dari berbagai jenis tumbuhan (flora), hewan (fauna), maupun organisme hidup lainnya (Indriyanto, 2006).

Pada dasarnya keanekaragaman hayati selalu berbeda di setiap tempat, hal ini dikarenakan keragaman faktor-faktor lingkungan. Lingkungan merupakan gabungan dari berbagai komponen fisik maupun hayati yang berpengaruh terhadap kehidupan organisme yang ada di dalamnya. Jadi lingkungan ini sangatlah luas dan mencakup semua hal yang ada di luar organisme yang bersangkutan misalnya radiasi matahari, suhu, curah hujan, kelembaban,

topografi, parasit, predator, kompetitor, dan simbion mutualisme

(Heddy, Soemitro dan Soekartomo, 1986).

Di alam terdapat berbagai bentuk simbiosis yang secara tidak langsung dapat meningkatkan produksi tanaman yaitu simbiosis mutualisme. Simbiosis mutualisme merupakan hubungan simbiotik yang saling menguntungkan untuk kedua organisme yang bersimbiosis. Salah satu di antaranya adalah cendawan


(14)

mikoriza. Cendawan mikoriza merupakan bentuk hubungan simbiosis mutualisme antara cendawan dengan perakaran tanaman tingkat tinggi. Hubungan simbiosis antara inang dengan cendawan meliputi penyediaan fotosintat (karbohidrat) oleh tanaman inang. Sebaliknya, tanaman inang mendapatkan tambahan nutrien yang diambil cendawan dari tanah (Musnawar, 2006).

Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan atau infeksi

CMA pada tanaman dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Tanaman Bonu (Thicospermum burretii), sengon (Paraserianthes falcataria) dan akasia (Acacia mangium), ketiga tanaman tersebut telah terbukti dapat beradaptasi dan tumbuh pada lahan-lahan pasca penambangan nikel. Ketiga jenis tanaman tersebut diinokulasi dengan CMA dan hasil pertumbuhannya dapat meningkat 2-3 kali lipat dibandingkan dengan kontrol atau tanpa pemberian inokulum CMA (Setiadi a, 2001).

Perkembangan CMA pada umumnya dipengaruhi oleh kondisi rizosfer dan spora cendawan. Kondisi rizosfer adalah kondisi di sekitar perakaran seperti suhu, pH, dan eksudat akar. Sementara kondisi spora cendawan adalah dormansi dan kematangan spora. Asosiasi yang dibentuk oleh cendawan ini, pada dasarnya tidak menyebabkan penyakit pada akar, tetapi meningkatkan penyerapan unsur hara bagi pertumbuhan tanaman. Infeksi CMA sangat membantu pertumbuhan tanaman, terutama pada tanah miskin hara (Musnawar, 2006).

Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) dapat ditemukan hampir pada sebagian besar tanah dan pada umumnya tidak mempunyai inang yang spesifik. Namun tingkat populasi dan komposisi jenis sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh karakteristik tanaman dan sejumlah faktor lingkungan seperti suhu, pH,


(15)

kelembaban tanah, kandungan fosfor dan nitrogen. Suhu terbaik untuk perkembangan CMA adalah pada suhu 30°C, tetapi untuk kolonisasi miselia yang terbaik adalah pada suhu 28°C-35°C (Suhardi, 1989; Setiadi a, 2001; Powell dan Bagyaraj, 1984).

Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) diperkirakan di masa mendatang dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif teknologi untuk membantu pertumbuhan, meningkatkan produktifitas dan kualitas tanaman hutan terutama yang ditanam pada lahan-lahan marginal yang kurang subur. Cendawan ini mempunyai peran yang cukup penting yaitu : perbaikan nutrisi tanaman, dan peningkatan pertumbuhan, sebagai pelindung hayati, meningkatkan resistensi tanaman terhadap kekeringan, terlibat dalam siklus biogeokimia, sinergis dengan

mikroorganisme lain, mempertahankan keanekaragaman tumbuhan

(Setiadi b, 2001).

Keanekaragaman dan penyebaran CMA di hutan sangat bervariasi, hal ini dapat disebabkan oleh kondisi lingkungan yang bervariasi juga. Dengan alasan tersebut penelitian ini dilakukan untuk menginventarisasi potensi dan keanekaragaman CMA yang ada di hutan pegunungan berdasarkan ketinggian tempat di atas permukaan laut. Data yang diperoleh dari penelitian ini juga diharapkan menjadi informasi awal yang dapat digunakan dalam upaya-upaya reklamasi lahan, terutama pada ketinggian yang sama.

Tujuan

Untuk mengetahui keanekaragaman CMA di hutan pegunungan Sinabung Kabupaten Karo berdasarkan ketinggian tempat di atas permukaan laut.


(16)

Hipotesis

Terdapat keanekaragaman CMA berdasarkan ketinggian tempat di atas permukaan laut di hutan pegunungan Sinabung Kabupaten Karo.

Kegunaan

1. Memberikan informasi mengenai keanekaragaman CMA yang ada di hutan

Pegunungan Sinabung berdasarkan ketinggian tempat.


(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Cendawan Mikoriza

Mikoriza adalah suatu bentuk asosiasi simbiotik antara akar tumbuhan tingkat tinggi dan miselium cendawan tertentu. Nama mikoriza pertama kali dikemukakan oleh ilmuwan Jerman Frank pada tanggal 17 April 1885. Tanggal ini kemudian disepakati oleh para pakar sebagai titik awal sejarah mikoriza. Nuhamara (1993) mengatakan bahwa mikoriza adalah suatu struktur yang khas yang mencerminkan adanya interaksi fungsional yang saling menguntungkan antara suatu autobion/tumbuhan tertentu dengan satu atau lebih galur mikobion dalam ruang dan waktu. Struktur yang terbentuk dari asosiasi ini tersusun secara beraturan dan memperlihatkan spektrum yang sangat luas, baik dalam hal tanaman inang, jenis cendawan maupun penyebarannya. Mikoriza tersebar sampai ke daerah tropis dan dari daerah bergurun pasir sampai ke hutan hujan yang melibatkan 80% jenis tumbuhan yang ada (Subiksa, 2007).

Mikoriza adalah suatu struktur sistem perakaran yang terbentuk sebagai manifestasi adanya simbiosis mutualisme antara cendawan (Myces) dan perakaran (Rhizo) tumbuhan tingkat tinggi. Dalam kenyataannya di alam, makhluk renik ini mempunyai tanggung jawab yang sangat penting yakni untuk mempertahankan kesinambungan akan ketersediaan hara dalam suatu ekosistem tumbuhan, dan adanya gangguan pada keberadaannya, maka akan berakibat fatal terhadap stabilitas ekosistem tumbuhan tersebut (Setiadi b, 2001).


(18)

Pada semua ekosistem, mikoriza berperan menghubungkan tumbuhan dengan tanah hingga kemampuan akar dalam menyerap air dan unsur hara menjadi lebih tinggi. Hubungan tersebut mampu mempengaruhi lingkungan perakaran di sekitarnya secara dinamis yang selanjutnya disebut sebagai mikorizosfer, yaitu suatu lingkungan di bawah tanah lapisan atas (top soil) yang terkondisi karena hubungan fungi pembentuk mikroriza (Widyastuti et al., 2005).

Pembagian Mikoriza

Berdasarkan struktur tumbuh dan cara infeksinya pada sistem perakaran inang (host), mikoriza dapat dikelompokkan kedalam dua golongan besar yaitu ektomikoriza dan endomikoriza (Setiadi a, 2001).

Beberapa karakteristik yang dapat dilihat pada ektomikoriza adalah : (a) akar yang terifeksi membesar, bercabang, dan rambut-rambut akar menjadi tidak nampak, (b) dalam sayatan korteks melintang akan nampak permukaan akar ditutupi oleh miselia yang disebut dengan fungal sheat (mantel), (c) nampak beberapa hifa yang keluar disebut dengan rhizomorphs. Hifa ini berfungsi sebagai alat yang efektif untuk membantu penyerapan unsur hara dan air, (d) nampak hifa yang membentuk struktur seperti net (jala) diantara dinding sel jaringan korteks yang biasa disebut dengan hartig net, (e) hifa tidak masuk ke dalam sel, tetapi

hanya berkembang diantara dinding sel jaringan korteks

(Setiadi b, 2001 dan Widyastuti at al., 2005).

Endomikoriza dicirikan oleh hifa yang intraseluler, yaitu hifa yang menembus ke dalam sel-sel korteks dan dari sel yang satu ke sel yang lain.


(19)

Diantara sel-sel terdapat hifa yang membelit atau struktur hifa yang bercabang-cabang yang disebut arbuskula dan pembengkakan yang terbentuk pada hifa yang mengandung minyak yang disebut vesikular sehingga struktur ini adalah dasar untuk menunjukkan endomikoriza sebagai mikoriza vesikuler-arbuskular. Vesikel berfungsi sebagai tempat penyimpanan yang diameternya lebih kecil dari 1 mm. Sedangkan arbuskula disebut berfungsi menyediakan unsur hara atau mentransfer hara dari tanah ke tanaman sehingga dapat dimanfaatkan oleh tanaman (Setiadi, 1999; Manan, 1976; Wydiastuti at al., 2005).

Klasifikasi Cendawan Mikoriza Arbuskula

Cendawan mikoriza arbuskula (CMA) merupakan salah satu tipe cendawan endomikoriza yang masuk dalam kelas zygomycetes dengan ordo Glomales. Terdiri dari dua sub ordo yaitu sub ordo satu Gigasporineae famili Gigasporaceae dengan dua genus yaitu Gigaspora dan Scuttellospora, sub ordo dua yaitu Glomineae dan terdiri dari dua famili yaitu Glomaceae dengan genus Sclerocytis dan Glomus, famili Acaulosporaceae dengan genus Acaulospora dan Entrophospora (Kramadibrata, 1999 dan Setiadi, 1999).

Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) dapat dibedakan dari ektomikoriza dengan memperhatikan karakteristik sebagai berikut : (1) sistem perakaran yang terinfeksi tidak membesar, (2) cendawannya membentuk struktur lapisan hifa tipis dan tidak merata pada permukaan akar, (3) hifa menyerang kedalam individu sel jaringan korteks, (4) pada umumnya ditemukan struktur khusus berbentuk oval yang disebut vesikel. Pada tipe CMA dikenal enam genus yaitu : Glomus,


(20)

Sclerocytis, Gigaspora, Scutellospora, Acaulaspora, dan Entrophospora (Setiadi b, 2001).

Struktur Umum Cendawan Mikoriza Arbuskula

Mikoriza Arbuskula (CMA) dapat dibedakan dari ektomikoriza dengan memperhatikan karakteristik berikut ini : (a) sistem perakaran yang terinfeksi tidak membesar, (b) cendawannya membentuk struktur lapisan hifa tipis dan tidak merata pada permukaan akar, (c) hifa menyerang kedalam individu sel jaringan korteks, (d) pada umumnya ditemukan struktur percabangan hifa yang disebut dengan arbuskula dan struktur khusus berbentuk oval yang disebut dengan vesikel (Setiadi b, 2001).

Struktur CMA meliputi hifa eksternal, hifa internal, spora, arbuskula atau vesikula. Infeksi cendawan hanya pada korteks primer sehingga tidak menyebabkan kerusakan pada jaringan akar. Proses infeksi dimulai dengan pembentukan apresorium pada permukaan akar oleh hifa eksternal, dan selanjutnya hifa akan menembus sel-sel korteks akar melalui rambut akar atau sel epidermis. Hifa dari CMA tidak bersekat, hifa ini terdapat diantara sel-sel korteks akar dan bercabang-cabang di dalamnya, tetapi tidak sampai masuk ke jaringan stele. Di dalam sel-sel yang terinfeksi terbentuk gelung hifa atau cabang-cabang hifa kompleks yang dinamakan arbuskula (Moose, 1981).

Terdapat tiga komponen dalam sistem asosiasi akar CMA yaitu akar tanaman inangnya sendiri, hifa eksternal yaitu bagian hifa yang menjulur ke luar akar dan menyebar dalam tanah dan hifa internal yaitu bagian hifa yang masuk ke


(21)

dalam akar dan menyebar dalam akar. Pengamatan terhadap hifa internal sangat penting untuk menentukan sampai sejauh mana tingkat kolonisasi akar tersebut oleh CMA. Hifa CMA ini sangat halus dengan diameter bervariasi antara 2-27 µm dan transparan. Oleh karena itu untuk pengamatannya diperlukan pewarnaan (Sumarni, 2001).

Distribusi dan Ekologi Cendawan Mikoriza Arbuskula

Cendawan mikoriza arbuskula mulai ditemukan pada profil tanah sekitar kedalaman 20 cm tetapi walaupun demikian juga, masih terdapat pada kedalaman 70-100 cm. CMA tersebar secara aktif (tumbuh dengan mycelium dalam tanah) dan tersebar secara pasif dimana CMA tersebar dengan angin, air atau mikroorganisme dalam tanah (Coyne, 1999).

Cendawan mikoriza arbuskula dapat berasosiasi dengan hampir 90% jenis tanaman dimana tiap jenis tanaman dapat juga berasosiasi dengan satu atau lebih jenis CMA. Tetapi tidak semua jenis tumbuhan dapat memberikan respon pertumbuhan positif terhadap inokulasi CMA. Konsep ketergantungan tanaman akan CMA adalah relatif dimana tanaman tergantung pada keberadaan CMA untuk mencapai pertumbuhannya. Tanaman yang mempunyai ketergantungan yang tinggi pada keberadaan CMA, biasanya akan menunjukkan pertumbuhan yang nyata terhadap inokulasi CMA, dan sebaliknya tidak dapat tumbuh sempurna tanpa adanya asosiasi dengan CMA (Setiadi a,2001).

Lingkungan dan faktor biotik diketahui memiliki pengaruh terhadap pembentukan CMA dan derajat infeksi dari sel korteks inang. Perbedaan waktu yang diperlukan untuk infeksi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara


(22)

lain : kerapatan akar, rata-rata pertumbuhan akar, jumlah spora/unit volume tanah, persentase perkecambahan spora dan rata-rata pertumbuhan hifa. Interaksi antar faktor-faktor biotik memiliki efek yang signifikan dalam merespon pertumbuhan tanaman yang diinokulasi. Faktor lingkungan berpengaruh terhadap pembentukan CMA dalam hal suplai dan keseimbangan hara, kelembaban dan pH tanah (Richards,1987).

Perbedaan lokasi dan rizosfer menyebabkan perbedaan keanekaragaman spesies dan populasi CMA. Tanah yang didominasi oleh fraksi lempung (clay) merupakan kondisi yang diduga sesuai untuk perkembangan spora Glomus, dan tanah berpasir genus Gigaspora ditemukan dalam jumlah tinggi. Pada tanah berpasir, pori-pori tanah terbentuk lebih besar dibanding tanah lempung dan keadaan ini diduga sesuai untuk perkembangan spora Gigaspora yang berukuran lebih besar daripada spora Glomus (Baon,1998).

Cendawan mikoriza arbuskula yang membentuk asosiasi simbiotik dengan akar tanaman inangnya hidup di dalam dan di luar jaringan akar (dalam tanah), fenomena ini dapat secara langsung berinteraksi dengan mikroba tanah lainnya atau secara tidak langsung melalui perubahan fisiologi inang (akar dan pola eksudasi). Hal yang sama juga dapat disebabkan oleh simbion akar lain, seperti bintil akar yang secara tidak langsung mempengaruhi perilaku CMA dengan mengubah fisiologi inangnya. Perubahan yang terjadi pada mikrorizosper dipengaruhi oleh inang dan faktor-faktor edafik seperti pH tanah, kelembaban, komposisi nutrisi, bahan organik dan fisik inang. Faktor edafik ini bersama dengan iklim mempengaruhi pertumbuhan dan fisiologi tanaman inang (Lestari, 1998).


(23)

Bahan organik merupakan salah satu komponen penyusun tanah yang penting di samping air dan udara. Jumlah spora CMA tampaknya berhubungan erat dengan kandungan bahan organik didalam tanah. Jumlah maksimum spora ditemukan pada tanah-tanah yang mengandung bahan organik 1-2 persen sedangkan pada tanah-tanah berbahan organik kurang dari 0,5 persen kandungan spora sangat rendah (Pujianto, 2001).

Residu akar mempengaruhi ekologi CMA, karena serasah akar yang terinfeksi mikoriza merupakan sarana penting untuk mempertahankan generasi CMA dari satu tanaman ke tanaman berikutnya. Serasah akar tersebut mengandung hifa,vesikel dan spora yang dapat menginfeksi CMA. Disamping itu juga berfungsi sebagai inokulasi untuk tanaman berikutnya (La AN, 2007).

Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) mengekstrak sumber ion P dari pool posfat yang solubel dalam tanah, bentuk P yang diserap yaitu H2PO4ˉ, selain posfat hifa eksternal CMA dapat meningkatkan penyerapan unsur-unsur nutrien lain seperti N (NH4 atau NO3ˉ, K+ dan Mg+ yang bersifat mobil dan juga unsur-unsur mikro seperti Zn, Cu, Mn, B, Mo (Sieverding, 1991).

Secara fisik pada tanah yang dikatakan subur terdapat sejumlah besar agregat, baik makro ataupun mikro yang stabil. Hifa eksternal CMA yang berkembang ke dalam tanah dapat mengikat partikel-partikel tanah dan membentuk agregat sehingga jumlah partikel tanah yang terdegradasi jauh lebih banyak dibandingkan tanaman yang bermikoriza. Pembentukan agregat tanah yang stabil dengan CMA merupakan faktor penting dalam meningkatkan kesuburan fisik tanah (Baon, 1998).


(24)

Jamur mikoriza vasikular arbuskular (MVA) mengadakan asosiasi dengan akar tanaman dan infeksinya pada bagian korteks akar. Di dalam akar, jamur CMA membentuk arbuskular dan vesikel. Arbuskul merupakan hifa bercabang halus yang dapat meningkatkan 2 – 3 kali luas permukaan plasmolema akar, dan dapat digunakan untuk memindahkan nutrien antara jamur dan tanaman. Arbuskul dapat terbentuk 2 – 3 hari setelah infeksi. Di dalam akar juga terbentuk vesikel yang merupakan organ penyimpan. Jika korteks sobek, vesikel dibebaskan ke dalam tanah, dan selanjutnya dapat berkecambah yang merupakan propagul yang efektif. Bagian penting pada CMA ialah hifa eksternal yang dibentuk di luar akar tanaman. Hifa ini membantu untuk memperluas daerah penyerapan akar tanaman. Panjang miselium eksternal dapat mencapai 80 cm per cm panjang akar (Hidayat at al., 2006).

Suhu yang relatif tinggi akan meningkatka aktifitas cendawan. Untuk daerah tropika basah, hal ini menguntungkan. Proses perkecambahan pembentukkan CMA melalui tiga tahap yaitu perkecambahan spora di tanah, penetrasi hifa ke dalam sel akar dan perkembangan hifa didalam konteks akar. Suhu optimum untuk perkecambahan spora sangat beragam tergantung jenisnya.

Beberapa Gigaspora yang diisolasi dari tanah Florida, diwilayah subtropika

mengalami perkecambahan paling baik pada suhu 34°C, sedangkan untuk spesies Glomus yang berasal dari wilayah beriklim dingin, suhu optimal untuk perkecambahan adalah 20°C. Penetrasi dan perkecambahan hifa diakar peka pula terhadap suhu tanah. Pada umumnya infeksi oleh cendawan CMA meningkat dengan naiknya suhu. Schreder (1974) dalam Atmaja (2001) menemukan bahwa infeksi maksimum oleh spesies Gigaspora yang diisolasi dari tanah Florida terjadi


(25)

pada suhu 30-33°C. Suhu yang tinggi pada siang hari (35°C) tidak menghambat perkembangan dan aktivitas fisiologis CMA. Peran mikoriza hanya menurun pada suhu diatas 40°C. Suhu bukan merupakan faktor pembatas utama dari aktifitas CMA. Suhu yang sangat tinggi berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman inang. CMA mungkin lebih mampu bertahan terhadap suhu tinggi pada tanah bertekstur berat dari pada di tanah berpasir (La AN, 2007).

Kondisi lingkungan tanah yang cocok untuk perkecambahan biji juga cocok untuk perkecambahan spora mikoriza. Demikian pula kindisi edafik yang dapat mendorong pertumbuhan akar juga sesuai untuk perkembangan hifa. Jamur mikoriza mempenetrasi epidermis akar melalui tekanan mekanis dan aktivitas enzim, yang selanjutnya tumbuh menuju korteks. Pertumbuhan hifa secara eksternal terjadi jika hifa internal tumbuh dari korteks melalui epidermis. Pertumbuhan hifa secara eksternal tersebut terus berlangsung sampai tidak memungkinnya untuk terjadi pertumbuhan lagi. Bagi jamur mikoriza, hifa eksternal berfungsi mendukung funsi reproduksi serta untuk transportasi karbon serta hara lainnya kedalam spora, selain fungsinya untuk menyerap unsur hara dari dalam tanah untuk digunakan oleh tanaman (Pujianto, 2001).


(26)

KONDISI UMUM HUTAN PEGUNUNGAN SINABUNG

Hutan pegunungan Sinabung merupakan hutan lindung berupa hutan alam pengunungan yang tergabung dalam Tahura Bukit Barisan. Gunung Sinabung ini mempunyai ketinggian mencapai 2.451 mdpl dan dikenal secara lokal, nasional bahkan Internasional. Dilihat dari letak geografisnya gunung ini berada pada 03011’’ – 03012’’ LU dan 98022’’- 98024’’ BT. Sedangkan secara administrasi daerah ini berada di desa Kuta Gugung Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo Propinsi Sumatera Utara.

Ditinjau dari kondisi topografinya, wilayah Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi bukit barisan dengan elevasi terendah + 140 m di atas permukaan laut (PAYA LAH-LAH MARDINGDING) dan yang tertinggi ialah + 2.451 meter diatas permukaan laut (GUNUNG SINABUNG). Daerah Kabupaten Karo yang berada di daerah dataran tinggi Bukit Barisan dengan kondisi topografi yang berbukit dan bergelombang, maka di wilayah ini ditemui banyak lembah-lembah dan alur-alur sungai yang dalam dan lereng-lereng bukit yang curam/terjal. Sebagaian besar (90%) wilayah Kabupaten Karo berada pada ketinggian/elevasi +140 m s/d 1400 meter di atas permukaan air laut.

Tipe iklim daerah ini adalah E2 menurut klasifikasi Oldeman dengan bulan basah lebih tiga bulan dan bulan kering berkisar 2-3 bulan. Curah hujan tahunan berkisar antara 1.000 - 4.000 mm/tahun, dimana curah hujan terbesar terjadi pada bulan basah yaitu Agustus sampai dengan Januari dan Maret sampai dengan Mei. Suhu udara berkisar antara 18,40C sampai dengan 19,30C dengan kelembaban udara rata-rata setinggi 88,39 persen (BPS SUMUT, 2007).


(27)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2007 sampai Desember 2007. Pengambilan tanah dan akar tanaman dilakukan di hutan pegunungan Sinabung Kabupaten Karo. Ekstraksi spora, identifikasi dan perhitungan persentase kolonisasi CMA pada akar tanaman dilakukan di Laboratorium Biologi Tanah dan dokumentasi sampel dilakukan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Bahan dan Alat

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Sampel tanah dan akar tanaman inang, larutan KOH 10%, larutan HCl 2%, Trypan Blue, larutan glukosa 60%, larutan pewarna Melzer’s, dan aquades.

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : altimeter, kamera, kompas, tali, meteran, sekop, kantong plastik, kertas label, cangkul, parang, saringan test sieve 710 µ m; 215 µ m; 50 µ m, tabung sentrifuge, pipet, cawan petri, mikroskop binokuler dan mikroskop compound, pinset spora, kertas tissue, tabung reaksi, kaca preparat, gelas penutup.


(28)

Metode Penelitian

1. Penentuan Ketinggian Tempat

Penentuan ketinggian tempat di atas permukaan laut dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan alat Altimeter. Ketinggian tempat I = 1500 mdpl, tempat II = 1700 mdpl dan tempat III = 1900 mdpl.

2. Pembuatan Petak

Petak penelitian dibuat berdasarkan metode ICRAF

(Ervayenri at al., 1999). Ukuran petak 20 m × 20 m dibuat sebanyak tiga petak setiap ketinggian tempat yaitu tempat I, tempat II, dan tempat III.

Gambar 1. Ilustrasi petak contoh pengambilan sampel tanah Keterangan :

: tempat pengambilan sampel tanah

20 m 20 m


(29)

3. Pengambilan Contoh Tanah

Pengambilan contoh tanah dilakukan sebanyak lima titik dalam setiap petak secara acak dengan kedalaman 0-20 cm. Berat tanah yang diambil setiap titik sebanyak 200 gram kemudian dicampur dalam satu tempat mewakili satu petak.

4. Pengambilan Sampel Akar

Akar tumbuhan yang diambil yaitu akar anakan Aleurites molucana yang ditemukan di setiap ketinggian tempat. Diameter akar yang diambil berukuran 0,5 – 1,0 milimeter.

5. Pengamatan Penelitian

a. Pengamatan Sampel Tanah

Pengamatan kelimpahan spora CMA dapat dilakukan dengan beberapa cara pengukuran, seperti kepadatan spora atau derajat infeksi CMA pada akar tanaman inangnya (Abbot dan Robson, 1991 dalam Delvian, 2003). Dalam penelitian ini dilakukan identifikasi genus CMA dan persentase kolonisasi akar CMA.

Ekstraksi CMA dilakukan pada contoh tanah untuk memisahkan CMA dari contoh tanah sehingga dapat dilakukan identifikasi CMA dan dapat mengatahui populasi serta genus yang ada. Teknik yang digunakan untuk mengisolasi spora CMA dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan

metode tuang sari basah dan teknik sentrifugasi sukrosa


(30)

Prosedur kerja teknik tuang-saring ini selengkapnya adalah :

1) Mencampurkan tanah sampel sebanyak 50 gr dengan 200-300 ml air dan

diaduk sampai butiran-butiran tanah hancur.

2) Selanjutnya disaring dalam satu set saringan dengan ukuran 710 µ m; 215 µ m; dan 50 µ m secara berurutan dari atas ke bawah.

3) Dari saringan bagian atas disemprot dengan air keran untuk memudahkan

bahan saringan lolos. Kemudian saringan paling atas dilepas dan saringan kedua kembali disemprot dengan air keran.

4) Setelah saringan kedua dilepas sejumlah tanah sisa yang tertinggal pada saringan terbawah dipindahkan kedalam tabung setrifuse.

5) Ekstraksi spora teknik tuang-saring ini kemudian diikuti dengan teknik

sentrifugasi dari Brundrett et al. (1996). Hasil saringan dalam tabung sentrifuse ditambahkan dengan glukosa 60 % yang diletakkan pada bagian bawah dari larutan tanah dengan menggunakan pipet.

6) Tabung sentrifuse ditutup rapat dan disentrifuse dengan kecepatan 2500

rpm selama 3 menit.

7) Selanjutnya larutan supernatan tersebut dituang kedalam saringan 45 µ m, dicuci dengan air mengalir (air keran) untuk menghilangkan glukosa.

8) Endapan yang tersisa dalam saringan di atas dituangkan kedalam cawan

petri dan kemudian diamati di bawah mikroskop binokuler untuk perhitungan kepadatan spora dan pembuatan preparat guna identifikasi spora CMA yang ada.


(31)

b. Pengamatan Kolonisasi Cendawan Mikoriza Arbuskula pada Akar Pengamatan kolonisasi CMA pada akar tanaman dilakukan melalui

pewarnaan akar (staining akar). Struktur infeksi akan terlihat melalui

pewarnaan. Tanda–tanda anatomis yang mencirikan adanya infeksi CMA tidak dapat dilihat dengan mikroskop, oleh sebab itu teknik pewarnaan sangat penting dalam identifikasi penularan CMA (Sukarno, 1999).

Prosedur kerja teknik pewarnaan akar (staining akar) adalah :

1) Pilih akar-akar halus dengan diameter 0,5-2,0 mm (Rajapakse dan Miler

Jr., 1992) segar dan dicuci dengan air mengalir hingga bersih.

2) Akar sampel dimasukkan kedalam larutan KOH 10 % dan dibiarkan

selama lebih kurang 24 jam sehingga akar akan berwarna putih atau pucat. Tujuannya adalah untuk mengeluarkan isi sitoplasma dari sel akar sehingga akan memudahkan pengamatan struktur infeksi CMA.

3) Larutan KOH 10 % kemudian dibuang dan akar contoh dicuci pada air

mengalir selama 5-10 menit.

4) Selanjutnya akar contoh direndam dalam larutan HCl 2 % dan diinapkan

selama 1 malam.

5) Larutan HCl 2 % kemudian dibuang dengan mengalirkannya secara

perlahan-lahan.

6) Selanjutnya akar sampel direndam dalam larutan Trypan blue 0,05 %.

7) Kemudian larutan Trypan blue dibuang dan diganti dengan larutan lacto


(32)

8) Secara acak diambil potongan-potongan akar yang telah diwarnai dengan panjang ± 1 cm sebanyak 10 potongan akar dan disusun pada kaca preparat, untuk setiap tanaman sampel dibuat 2 buah preparat akar.

9) Letakkan kaca penutup (cover glass) di atas potongan-potangan akar

(usahakan semua potongan akar tertutup) kemudian dengan menggunakan ujung pinset yang tumpul tekan potongan akar secara perlahan-lahan sehingga potongan akar menjadi lembaran tipis.

10)Selanjutnya kegiatan pengamatan siap dilakukan.

11)Penghitungan persentase kolonisasi akar menggunakan metoda panjang

akar terkolonisasi (Giovannetti dan Mosse, 1980). Potongan-potongan akar pada kaca preparat diamati untuk setiap bidang pandang. Bidang pandang yang menunjukkan tanda-tanda kolonisasi (terdapat hifa, arbuskula dan atau vesikula) diberi tanda positif (+), sedangkan yang tidak terdapat tanda-tanda kolonisasi diberi tanda negatif (-). Derajat persentase kolonisasi akar dihitung dengan menggunakan rumus :

% kolonisasi akar = (+)×100%

n keseluruha pandang

bidang

bersimbol pandang


(33)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Perbedaan ketinggian tempat di atas permukaan laut akan mempengaruhi

tingkat kepadatan spora dan kolonisasi CMA pada akar tumbuhan.

2. Persentase kolonisasi dan kepadatan spora CMA tertinggi terdapat pada

ketinggian 1500 mdpl sedangkan terendah terdapat pada ketinggian 1900 mdpl.

3. Glomus sp mempunyai penyebaran yang lebih luas daripada Acaulospora sp di hutan pegunungan Sinabung.

Saran

Dalam penelitian ini banyak ditemukan jumlah spora yang rusak dan sulit untuk diidentifikasi. Kondisi ini disebabkan oleh arus listrik yang tidak stabil (sering terjadi pemadaman listrik) sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama dalam melakukan ekstrasi spora sementara spora menjadi sumber makanan bagi organisme tanah. Untuk itu diharapkan sebelum melakukan kegiatan ekstraksi spora sebaiknya lebih awal telah memastikan kestabilan sumber arus listrik atau pun menyiapkan sumber arus listrik alternatif.


(34)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Kepadatan Spora Cendawan Mikoriza Arbuskular (CMA)

Kepadatan spora CMA hasil observasi di lapangan dalam 20 gr tanah yang dijadikan sebagai sampel, menunjukkan hasil yang berbeda dari setiap perubahan ketinggian tempat di atas permukaan laut. Jumlah spora tertinggi ditemukan di petak 1 pada ketinggian 1500 mdpl sebesar 252 spora/20 gram tanah. Sedangkan jumlah spora terendah ditemukan pada petak 3 di ketinggian 1900 mdpl sebesar 91 spora/20 gram tanah. Kepadatan spora dari masing-masing petak ukur setiap ketinggian dapat dilihat pada Gambar 2.


(35)

Kepadatan rata spora pada setiap ketinggian tempat ditemukan rata-rata tertinggi terdapat pada ketinggian 1500 mdpl yaitu sebesar 177 spora/20 gr tanah sedangkan kepadatan rata-rata terendah terdapat pada daerah ketinggian 1900 mdpl yaitu sebesar 109,33 spora/20 gr tanah. Kepadatan rata-rata spora CMA yang didapat setiap ketinggian tempat dapat ditampilkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Rata – rata kepadatan spora CMA setiap ketinggian tempat

Persentase infeksi akar

Hasil pengamatan pada akar anakan kemiri (Aleurites molucana), didapat kisaran persentase infeksi akar oleh CMA mulai dari 12,49 % hingga 72,37 %. Nilai persentase tertinggi didapat pada petak ukur 2 di ketinggian 1500 mdpl sebesar 72,37 %, Sedangkan terendah didapat pada petak ukur 2 di ketinggian 1900 mdpl. Persentase infeksi akar masing-masing petak ukur setiap ketinggian tempat dapat diamati pada Gambar 4.


(36)

Gambar 4. Persentase infeksi akar oleh CMA pada berbagai ketinggian tempat Dilihat dari rataan persentase infeksi akar setiap ketinggian didapatkan rataan persentase tertinggi terdapat pada ketinggian tempat 1500 mdpl yaitu sebesar 54,69 %, untuk rataan infeksi akar pada ketinggian tempat 1700 mdpl sebesar 36,81 %, sedangkan persentase infeksi rataan terendah terdapat pada ketinggian tempat 1900 mdpl yaitu sebesar 25,54 %. Hasil dari rataan persentase akar terinfeksi setiap ketinggian tempat ditampilkan pada Gambar 5.


(37)

Gambar 5. Rataan persentase infeksi akar setiap ketinggian tempat

Struktur yang dibentuk oleh adanya infeksi CMA pada akar anakan Aleurites molucana seperti hifa dapat ditampilkan pada Gambar 6., vesikula ditampilkan pada Gambar 7. dan arbuskula ditampilkan pada Gambar 8. Sedangkan akar yang tidak terinfeksi ditampilkan pada gambar 9.

Gambar 6. Akar tumbuhan yang terinfeksi oleh Hifa CMA


(38)

Gambar 7. Vesikula yang terdapat pada akar tumbuhan oleh adanya infeksi CMA

Gambar 8. Arbuskula yang terdapat pada akar tumbuhan oleh adanya infeksi CMA

Gambar 9. Akar yang tidak terinfeksi oleh CMA

Vesikula


(39)

Tipe dan karakteristik spora CMA hasil observasi

Tipe dan karakteristik spora yang ditemukan dari hasil observasi di lapangan mempunyai berbagai perbedaan mulai dari bentuk, warna, corak maupun ukuran. Tipe dan karakter spora tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Dari hasil isolasi, pengamatan dan identifikasi yang dilakukan didapatkan dua genus spora

CMA yaitu Glomus dan Acaulospora sedangkan genus lainnya belum ditemukan.

Untuk genus Glomus ditemukan sebanyak 9 jenis dan untuk genus Acaulospora hanya satu jenis.

Tabel 1. Tipe Spora CMA dan Karakteristik

Tipe Spora CMA Perbesaran Karakteristik

Glomus sp. -1

400 X

Spora berwarna merah kecoklatan dan berbentuk bulat. Permukaan spora tidak begitu halus, agak bercorak. Dinding spora agak tebal dan tidak mempunyai tangkai spora (Hyfal attchment).

Glomus sp.-2

200 X

Spora memiliki tangkai spora (Hyfal attchment) dan pemukaan spora agak halus berwarna coklat kemerahan, bentuk spora bulat, dinding spora agak tebal.


(40)

Glomus sp.-3

400 X

Bentuk spora bulat, permukaan spora agak bercorak, tidak halus. Dinding spora agak tebal, berwarna coklat kemerahan. tidak memiliki tangkai spora (Hyfal attchment)

Glomus sp.-4

200 X

Spora berbentuk bulat, dan permukaannya halus. Dinding spora tipis dan memiliki tangkai spora (Hyfal attchment). Spora berwarna coklat kemerahan.

Glomus sp.-5

200 X

Bentuk spora seperti ellips (lonjong) memiliki tangkai spora (Hyfal attchment) yang panjang. Permukaan spora agak halus dan berwarna kecoklatan.

Glomus sp.-6

400 X

Spora memiliki tangkai spora (Hyfal attchment) dan bercorak. Warna spora kecoklatan dan dinding spora agak tipis dan agak kasar. Spora berbentuk bulat.


(41)

Glomus sp.-7

400 X

Spora berbentuk bulat berwarna merah gelap, memiliki tangkai spora (Hyfal attchment). Permukaan spora agak halus dan dinding spora agak tebal tidak bercorak.

Glomus sp.-8

400 X

Spora berwarna merah terang, permukaan spora agak halus dan transparan. Bentuk spora bulat, tidak memiliki tangkai spora (Hyfal attchment). Dinding spora agak tipis.

Glomus sp.-9

200 X

Spora berbentuk bulat, memiliki tangkai spora (Hyfal attchment), berwarna coklat gelap. Permukaan spora agak halus dan dinding spora tebal.

Acaulospora sp.

400 X

Permukaan spora berwarna merah tua kecoklatan dan membentuk ornamen berbintik-bintik seperti kulit jeruk. Memiliki tangkai spora (Hyfal attchment) berbentuk bulat, dinding spora agak tebal.


(42)

Kondisi fisik dan kimia tanah

Kondisi fisik dan kimia tanah yang dijadikan sebagai sampel pengamatan dari ketiga ketinggian tempat tersebut terdapat berbagai perbedaan sifat. pH H2O tertinggi didapat pada ketinggian 1500 mdpl sebesar 4,95 dan terendah pada ketinggian 1900 mdpl. Jumlah persentase C-organik tertinggi didapat pada ketinggian 1500 mdpl sebesar 11,15 % dan terendah pada ketinggian 1700 mdpl sebesar 6,40 %. Jumlah P tersedia tertinggi didapat pada ketinggian 1900 mdpl sebesar 7,16 ppm dan terendah pada ketinggian 1500 mdpl. Sedangkan suhu tanah tertinggi terdapat pada ketinggian 1500 mdpl sebesar 21,6 0C dan terendah pada ketinggian 1900 mdpl sebesar 18,1 0C. Hasil analisis tanah yang diamati dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil analisis tanah yang dijadikan sampel isolasi spora CMA

Ketinggian

Tempat (mdpl) pH H2O

C- Organik (%) P Tersedia (ppm)

P2O5

Total (%)

Suhu Tanah (0C)

1500 4,95 11,15 3,93 0,039 21,6

1700 4,90 6,40 5,14 0,038 19,7

1900 4,66 6,55 7,16 0,043 18,1

Pembahasan

Kepadatan Spora CMA Hasil Observasi di Hutan Pegunungan Sinabung Hasil pengamatan dari sampel yang diambil menunjukkan bahwa kepadatan spora CMA di hutan pegunungan Sinabung berkisar 91 spora/20 gram tanah hingga 252 spora/ 20 gram tanah atau sama dengan 4 – 12 spora tiap gram tanah. Kepadatan spora ini dapat digolongkan kedalam kriteria padat jika


(43)

dibandingkan dengan hasil penelitian Smith and David (1998) yang menyatakan bahwa kepadatan spora di dalam tanah sangat bervariasi dengan rata – rata 1- 5 spora tiap gram tanah. Variasi kepadatan spora setiap tempat pengambilan sampel tanah ini dapat diperkirakan oleh adanya faktor lingkungan di luar spora CMA tersebut. Hal ini dibenarkan oleh Baon (1998) yang menyatakan bahwa perbedaan lokasi dan rizosfer menyebabkan perbedaan keanekaragaman spesies dan populasi CMA.

Lokasi spora yang memiki kepadatan rata-rata tertinggi terdapat pada ketinggian tempat 1500 mdpl yaitu sebesar 177 spora/20 gr tanah dan kepadatan rata-rata terendah terdapat pada daerah ketinggian 1900 mdpl yaitu sebesar 109,33 spora/20 gr tanah, sedangkan pada ketinggian 1700 mdpl kepadatan rata-rata sebesar 160,66 spora/20 gram tanah. Hasil ini menunjukan bahwa perbedaan ketinggian tempat yang ada di hutan pegunungan Sinabung mempengaruhi kepadatan spora. Berdasarkan data perbedaan ketinggian tempat di atas permukaan laut terlihat bahwa dengan bertambahnya ketinggian tempat maka terjadi penurunan suhu. Jadi dapat dikatakan menurunnya suhu lingkungan dapat menurunkan tingkat kepadatan spora. Suhardi (1989) menyatakan bahwa CMA mampu beradaptasi secara optimal pada kisaran suhu 18 0C sampai 35 0C.

Spora yang dihasilkan oleh CMA akan semakin banyak jika perkembangan kolonisasinya juga tinggi. Kolonisasi yang tinggi sangat ditentukan oleh keterbukaan lingkungan tajuk tanaman inang dan suhu lingkungan seperti yang disampaikan oleh Suhardi (1989) bahwa suhu maupun sinar menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap koloni dan perkembangan spora CMA. Peningkatan intensitas sinar biasanya meningkatkan kolonisasi akar.


(44)

Dalam perkembangannya CMA sangat membutuhkan kondisi lingkungan yang optimum. Kondisi lingkungan tersebut seperti dijelaskan oleh Musnawar (2006) bahwa pH tanah, eksudat akar dan suhu akan mempengaruhi perkembangan CMA di alam. Suhu yang optimum bagi CMA akan mempercepat terjadinya perkembangbiakan baik dalam hal menginfeksi akar tanaman (inang) maupun dalam menghasilkan spora-spora sebagai bagian dari perkembangan berikutnya. La AN (2007) menyatakan bahwa suhu yang relatif tinggi akan meningkatkan aktifitas cendawan. Namun dalam Suhardi (1989) menyatakan

bahwa CMA mampu beradaptasi secara optimal pada kisaran suhu 18 0C sampai

35 0C. Proses perkecambahan dan pembentukkan CMA melalui tiga tahap yaitu perkecambahan spora di tanah, penetrasi hifa ke dalam sel akar dan perkembangan hifa di dalam korteks akar.

Hasil analisis tanah yang dijadikan sampel dalam mengisolasi spora CMA didapatkan kisaran pH tanah dari ketiga ketinggian tempat yaitu 4,66 sampai 4,95. Sedangkan P tersedia didapatkan sebesar 3,93 sampai 7,16 ppm. Kisaran pH tanah tersebut termasuk dalam kriteria masam dan kandungan P tersedia termasuk dalam kriteria sangat rendah sesuai dengan kriteria Pusat Penelitian Tanah (1983) bahwa tanah dengan nilai pH 4,5 – 5,5 termasuk masam sedangkan kandungan P tersedia di bawah 8 ppm termasuk sangat rendah. Namun dilihat dari kondisi lingkungan lainnya seperti suhu, mempunyai perbedaan yang tinggi. Pada ketinggian tempat 1500 mdpl memiliki suhu 21,6 0C, untuk ketinggian tempat

1700 mdpl didapatkan kisaran suhu 19,7 0C sedangkan pada ketinggian tempat

1900 mdpl didapatkan kisaran suhu 18,1 0C. Dilihat dari perbedaan ketiga tempat dan kisaran suhu ini, dapat dikatakan bahwa daerah yang memiliki ketinggian


(45)

tempat 1500 mdpl dengan suhu 21,6 0C mempunyai tingkat kepadatan spora yang padat.

Keasaman (pH) tanah selain memainkan peran penting dalam ketersediaan beberapa macam unsur hara juga mempengaruhi perkecambahan spora CMA. Suhardi (1989) menyatakan bahwa pada perkecambahan spora, pH dapat berpengaruh langsung terhadap aktivitas enzim yang berperan dalam perkecambahan. Namun ini juga sangat sulit untuk dipastikan karena di sisi lain perkembangan CMA sangat dipengaruhi oleh ketersediaan kandungan P di dalam tanah. Sedangkan ketersediaan P juga erat kaitannya dengan tingkat keasaman tanah. Menurut Widyastuti et al (2005) bahwa fosfat sulit untuk diserap tumbuhan pada pH di bawah 5,5 atau di atas 6,5. pH tinggi fosfat secara umum berbentuk kalsium fosfat yang tidak terlarut dan pada pH rendah berbentuk aluminium fosfat.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pH tanah yang diobservasi termasuk dalam kategori masam. Sedangkan kandungan P tersedia dikategorikan dalam jumlah yang sangat rendah. Kondisi kedua sifat tanah ini sangat dimungkinkan mempunyai hubungannya timbal-balik. Rendahnya kandungan P tersedia dalam tanah menyebabkan tumbuhan mampu membentuk simbiosis dengan CMA. Sedangkan perbedaan-perbedaan tingkat kolonisasi yang terdapat di setiap ketinggian dapat disebabkan oleh pengaruh perbedaan suhu.

Penyebaran Genus CMA Hasil Observasi di Lapangan

Penyebaran genus CMA yang ditemukan di lapangan mempunyai variasi


(46)

penyebaran tertinggi dan ditemukan pada ketiga ketinggian tempat tersebut. Hal

ini disebabkan karena genus Glomus mempunyai tingkat adaptasi yang cukup

tinggi terhadap lingkungan baik pada kondisi tanah yang masam maupun pada kondisi suhu yang bervariasi sehingga dapat ditemukan di berbagai tempat. Genus Glomus secara keseluruhan terdapat sembilan jenis dengan bentuk dan ukuran yang berbeda – beda. Genus lainnya yang ditemukan yaitu genus Acaulospora yang hanya terdapat pada ketinggian 1500 mdpl.

Genus Acaulospora dalam penelitian ini belum bisa dipastikan secara

akurat tentang distribusinya karena dari seluruh jumlah spora yang ditemukan hanya sedikit yang dapat diidentifikasi. Kondisi ini dikarenakan oleh banyak ditemukan spora-spora yang rusak. Kerusakan spora ini bisa disebabkan oleh serangan parasit yang ada di dalam tanah, spora CMA ini juga merupakan makanan atau kebutuhan dari makrofauna tanah yang mudah didapatkan.

Penyebaran genus – genus CMA sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan atau edafis. Tingkat adaptasi genus ini memiliki variasi toleransi dan keunikan tersendiri. Glomus dan Acaulospora merupakan dua genus yang berbeda dan secara tidak langsung mempunyai adaptasi lingkungan yang berbeda. Jika dikaitkan dengan hasil analisis tanah yang terdapat pada Tabel 2, maka dapat dikatakan bahwa genus Acaulospora dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan ketinggian tempat 1500 mdpl, pH 4,95 ; karbon 11.15 % ; suhu 21,6 0 ; fosfor 3,93 ppm. Genus Glomus masih memiliki adaptasi yang cukup tinggi dibandingkan dengan Acaulospora. Menurut Suhardi (1989) bahwa genus Glomus memiliki perkecambahan terbaik yakni pada suhu 18 0C sampai dengan 20 0C.


(47)

Persentase Infeksi Akar

Pada hutan pegunungan Sinabung yang dijadikan sebagai objek penelitian didapatkan hasil bahwa vegetasi di pegunungan ini mampu berasosiasi dengan CMA. Walaupun demikian, persentase kolonisasi ini juga bervariasi dari setiap ketinggian tempat di atas permukaan laut.

Berdasarkan hasil pengamatan, struktur yang dihasilkan oleh infeksi CMA pada akar tumbuhan dapat dilihat seperti pada Gambar 6. Akar tumbuhan yang terifeksi oleh hifa CMA, Gambar 7. Vesikula yang terdapat pada akar oleh adanya infeksi CMA dan Gambar 8. Arbuskula oleh adanya infeksi CMA. Hal yang utama yaitu ditandai dengan adanya hifa yang menjalar pada sel korteks akar dan kemudian membentuk arbuskulus. Hidayat dkk (2006) menyatakan bahwa Arbuskulus merupakan hifa bercabang halus yang dapat meningkatkan 2 – 3 kali luas permukaan plasmolema akar, dan dapat digunakan untuk memindahkan hara antara jamur dan tanaman. Vesikela yang merupakan bagian dari struktur tersebut juga ditemukan. Vesikula merupakan organ penyimpan yang berasal dari menggelembungnya hifa CMA dan juga dapat menjadi propagul yang efektif apabila vesikel dibebaskan ke dalam tanah.

Persentase kolonisasi akar yang terinfeksi oleh CMA dari ketiga perbedaan ketinggian tempat tersebut dapat dilihat dari Gambar 4. Rataan infeksi akar menunjukkan pada ketinggian 1500 mdpl merupakan rataan tertinggi sebesar 54.69 %, untuk ketinggian 1700 mdpl sebesar 36.81 % sedangkan untuk rataan terendah terdapat pada ketinggian tempat 1900 mdpl yaitu sebesar 25,54 %. Hasil ini menerangkan bahwa persentase kolonisasi CMA berbanding terbalik dengan pertambahan tinggi tempat di atas permukaan laut.


(48)

Berdasarkan kriteria persentase kolonisasi akar menurut Setiadi et al. (1992) maka persentase kolonisasi CMA 54,69 % pada ketinggian 1500 mdpl termasuk kategori tinggi, untuk ketinggian 1700 mdpl tingkat kolonisasi CMA 36,81 % termasuk kategori sedang. Sedangkan pada ketinggian 1900 mdpl dengan tingkat persentase kolonisasi sebesar 25,54 % termasuk kategori rendah. Perbedaan tingkat kolonisasi dari ketiga ketinggian tempat ini dapat disebabkan oleh faktor perbedaan suhu tanah di setiap ketinggian tempat. Suhardi (1989) menyatakan bahwa suhu dari tanah juga sangat berpengaruh terhadap terbentuknya koloni akar dan kemampuan membentuk spora serta kemampuan hidup dari alat –alat perkembangbikan CMA. Suhu dijadikan sebagai faktor utama pada kolonisasi CMA ini juga dikarenakan dari hasil analisis contoh tanah setiap ketinggian memiliki sifat kimia tanah yang sama di antaranya kriteria pH tanah yaitu masam, P tersedia termasuk sangat rendah dan C-organik juga sangat tinggi.

Walaupun tingkat kolonisasi CMA dari hasil pengamatan terdapat variasi setiap ketinggian tempat tetapi masih ditemukan adanya hubungan CMA dengan tumbuhan di hutan Pegunungan Sinabung. Kondisi ini dimungkinkan oleh pengaruh kandungan P tersedia yang sangat rendah di dalam tanah. Kandungan P tersedia di dalam tanah pada dasarnya sangat mempengaruhi terbentuknya CMA. Rendahnya jumlah P tersedia akan meningkatkan terbentuknya CMA karena kondisi tanah yang seperti ini, tumbuhan akan cenderung memanfaatkan CMA sebagai salah satu cara untuk mendapatkan unsur hara dari dalam tanah. Namun ketersediaan P di dalam tanah juga dipengaruhi oleh kondisi pH tanah. Kondisi pH tanah yang masam dan alkalis akan mengakibatkan P tidak tersedia untuk tanaman.


(49)

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa kepadatan spora berbanding lurus dengan persentase kolonisasi akar dikarenakan semakin tinggi kepadatan spora maka persentasi kolonisasi atau simbiosis CMA pada akar juga semakin tinggi. Kolonisasi sangat erat kaitannya dengan kondisi lingkungan edafis baik itu nutrien (unsur hara tanah) maupun suhu. Dalam perkembangbiakannya CMA sangat membutuhkan bahan organik. Pujianto (2001) menyatakan bahwa bahan organik merupakan salah satu komponen penyusun tanah yang penting di samping air dan udara bagi CMA, diperkirakan sekitar 1-2 persen bahan organik CMA mampu meghasilkan spora terbanyak. Jumlah spora CMA tampaknya berhubungan erat dengan kandungan bahan organik didalam tanah. Dari data hasil analisis tanah seperti pada Tabel 2. menunjukkan bahwa persentase karbon lebih tinggi di ketinggian tempat 1500 mdpl yaitu 11,15 %. Kondisi ini juga dapat dijadikan salah satu alasan selain suhu yang menyebabkan persentase kolonisasi CMA pada akar tanaman termasuk tinggi di ketinggian 1500 mdpl.

Kepadatan spora tidak terlepas dari kondisi lingkungan seperti pH tanah, suhu, bahan organik, dan kandungan tanah lainnya. Manfaat dari pH tanah yaitu dapat berpengaruh langsung terhadap aktivitas enzim yang berperan dalam perkecambahan. Suhu disisi lain mampu membantu kematangan spora sehingga proses perkecambahan spora semakin meningkat. Namun bahan organik yang tinggi dapat menurunkan tingkat perkecambahan karena dapat meningkatkan kegiatan mikrobia tanah untuk kemudian menghambat perkecambahan spora. Spora memungkinkan untuk dormansi, sementara di sisi lain perkecambahannya dibantu oleh kondisi/suhu lingkungan tanah.


(50)

DAFTAR PUSTAKA

Abbott, L.K. and Robson, A.D. 1991. The Effect of Mycorrizha on Plant Growth. CRC Press, Inc., Boca Raton, Florida

Baon, J. B. 1998. Peranan Mikoriza VA pada Kopi dan Kakao. Makalah disampaikan dalam workshoop Aplikasi Cendawan Mikoriza Arbuskular pada Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan. Oktober 1998. Bogor

Brundrett, M.,N. Bougher, B. Dell, T. Grave and N. Malajezuk. 1996. Working with Mycorrizha in Forestry and Agriculture. Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR), Carbera

Coyne, M.C. 1999. Soil Microbiologi an Exploratotory Approach. Delmar Publisher, ITP

Delvian, 2003. Studi Keanekaragaman dan Potensi Pemanfaatan Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) di Hutan Pantai. Disertasi Program Pasca Sarjana IPB, Bogor.

Ervayenri., Y. Setiadi., N. Sukarno., dan C. Kusmana. 1999. Arbuskular Mycorrhiza Fungi (AMF) Diversity in Peat Soil Influenced By Land Vegetation Types. Proceedings of International Conference on Mycorrhizas in Sustainable Tropical Agriculture and Forest Ecosystems. 27-30 Oktober 1997 Bogor, Indonesia

Heddy S.,S.B. Soemitro, dan S. Soekartomo. 1986. Pengantar Ekologi. Rajawali. Jakarta

Indriyanto, 2006. Ekologi Hutan. Bumi Aksara. Jakarta

Kramadibrata, K. 1999. Identifikasi Tipe Spora CMA Pengenalan Jamur MA. Makalah Workshop Aplikasi CMA pada Pertanian, Perkebunan dan kehutanan. 27 September – 2 Oktober 1999. Bogor

La An, 2007. Mikoriza.

[20 March 2008 Pukul 13.01]

Lestari, Y. 1998. Interaksi CMA dengan Mikroba Tanah Selektif. Makalah disampaikan dalam Workshop Aplikasi Cendawan Mikoriza Arbuskula pada Tanaman Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan. 5-10 Oktober 1998, Bogor.

Mosse, B. 1981. Vesicular – Arbuscular Mycorrhiza Research for Tropical


(51)

Musnawar, E.I. 2006. Pupuk Organik. Penebar Swadaya. Jakarta

Odum, E. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Terjemahan oleh Tjahjono Samingan. Gadjah University Press. Yogyakarta

Powell, C.L. dan Bagyaraj, J. 1984. VA Mycorrhiza. CRC Press. Inc. Boca Raton. Florida

Pujiyanto. 2001. Pemanfatan Jasad Mikro, Jamur Mikoriza dan Bakteri dalam Sistem Pertanian Berkelanjutan di Indonesia: Tinjauan Dari Perspektif Falsafah Sains. Makalah Falsafah Sains Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor

Rhicards, B. N. 1987. The Microbiology of Teresterial Ecosystem. Jhon Wiley and Sons. New York

Setiadi, Y. 1999. Status Penelitian dan Pemanfaatann Cendawan Mikoriza Arbuskula dan Rhizobium untuk Merehabilitasi Lahan Terdegradasi. Prosiding Seminar Nasional Mikoriza I. Bogor 15-16 November 1999 Setiadi, Ya. 2001. Peranan Mikoriza Arbuskula Dalam Rehabilitasi Lahan Kritis

di Indonesia. Disampaikan dalam Rangka Seminar Penggunaan Cendawan Mikoriza dalam Sistem Pertanian Organik dan Rehabilitasi Lahan Kritis. Bandung 23 April 2001

Setiadi, Yb. 2001. Optimalisasi Penggunaan Mikoriza Arbuskula dalam

Rehabilitasi Lahan-Lahan Kritis. Disampaikan dalam Rangka “Workshop Mikoriza untuk Pertanian Organik dan Rehabilitasi Lahan Kritis. Balitsa, Lembang 24-29 April 2001

Sieverding, E. 1991. Vesicular Arbuscular Mycorrizha Management in Tropical Agrosystem. Deutche Gessellsschaft fur Tecnosche Zusmmenourheit (GTZ) Gmbh, Federal Republic Germany.

Smith, S.E. and Read D.J. (1998) Mycorrhizal Symbiosis. Second Edition.

Academic Press Harcourt Brace and Company. New York

Subiksa, 2008. Pemanfaatan Mikoriza untuk Penanggulangan Lahan Kritis. shantybio.transdigit.com/?Biology_-_Dasar_Pengolahan_Limbah. [20 Maret 2008]

Suhardi, 1989. Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA). UGM Press. Yogyakarta Sumarni, 2001. Pewarnaan Akar pada Cendawan Mikorriza Arbuskular. Fakultas

Pertanian UNPAD, Bandung

Wydiastuti, S.M., Sumardi dan Harjono. 2005. Patologi Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta


(52)

RIWAYAT HIDUP

Penulis, Heronimus F. Zebua, dilahirkan di Nias pada tanggal

10 Februari 1984 dari pasangan Baziduhu Zebua dan Mareani Ziliwu. Penulis

merupakan anak keempat dari enam bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar (SD) di SDN Inpres Afilaza Gunungsitoli pada tahun 1996 dan melanjutkan pendidikan di SLTPN 6 Gunungsitoli hingga selesai pada tahun 1999. Pada tahun 2001 melanjutkan pendidikan di SMUS Pembda 2 Gunungsitoli.

Tahun 2004, diterima di Program Studi Budidaya Hutan Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur seleksi Pemanduan Minat dan Prestasi (PMP).

Dalam menyelesaikan kegiatan akademik, pada tahun 2006 penulis telah mengikuti kegiatan Praktik Pengenalan dan Pegelolaan Hutan (P3H) di kawasan Taman Nasional Batang Gadis, Mandailing Natal Kabupaten Tapanuli Selatan. Tahun 2008 melakukan Praktik Kerja Lapang di HTI PT Riau Andalan Pulp and Paper Propinsi Riau. Selanjutnya melakukan penelitian berjudul “Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula Berdasarkan Ketinggian Tempat (Studi Kasus Pada Hutan Pegunungan Sinabung Kabupaten Karo).


(1)

Persentase Infeksi Akar

Pada hutan pegunungan Sinabung yang dijadikan sebagai objek penelitian didapatkan hasil bahwa vegetasi di pegunungan ini mampu berasosiasi dengan CMA. Walaupun demikian, persentase kolonisasi ini juga bervariasi dari setiap ketinggian tempat di atas permukaan laut.

Berdasarkan hasil pengamatan, struktur yang dihasilkan oleh infeksi CMA pada akar tumbuhan dapat dilihat seperti pada Gambar 6. Akar tumbuhan yang terifeksi oleh hifa CMA, Gambar 7. Vesikula yang terdapat pada akar oleh adanya infeksi CMA dan Gambar 8. Arbuskula oleh adanya infeksi CMA. Hal yang utama yaitu ditandai dengan adanya hifa yang menjalar pada sel korteks akar dan kemudian membentuk arbuskulus. Hidayat dkk (2006) menyatakan bahwa Arbuskulus merupakan hifa bercabang halus yang dapat meningkatkan 2 – 3 kali luas permukaan plasmolema akar, dan dapat digunakan untuk memindahkan hara antara jamur dan tanaman. Vesikela yang merupakan bagian dari struktur tersebut juga ditemukan. Vesikula merupakan organ penyimpan yang berasal dari menggelembungnya hifa CMA dan juga dapat menjadi propagul yang efektif apabila vesikel dibebaskan ke dalam tanah.

Persentase kolonisasi akar yang terinfeksi oleh CMA dari ketiga perbedaan ketinggian tempat tersebut dapat dilihat dari Gambar 4. Rataan infeksi akar menunjukkan pada ketinggian 1500 mdpl merupakan rataan tertinggi sebesar 54.69 %, untuk ketinggian 1700 mdpl sebesar 36.81 % sedangkan untuk rataan terendah terdapat pada ketinggian tempat 1900 mdpl yaitu sebesar 25,54 %. Hasil ini menerangkan bahwa persentase kolonisasi CMA berbanding terbalik dengan pertambahan tinggi tempat di atas permukaan laut.


(2)

Berdasarkan kriteria persentase kolonisasi akar menurut Setiadi et al. (1992) maka persentase kolonisasi CMA 54,69 % pada ketinggian 1500 mdpl termasuk kategori tinggi, untuk ketinggian 1700 mdpl tingkat kolonisasi CMA 36,81 % termasuk kategori sedang. Sedangkan pada ketinggian 1900 mdpl dengan tingkat persentase kolonisasi sebesar 25,54 % termasuk kategori rendah. Perbedaan tingkat kolonisasi dari ketiga ketinggian tempat ini dapat disebabkan oleh faktor perbedaan suhu tanah di setiap ketinggian tempat. Suhardi (1989) menyatakan bahwa suhu dari tanah juga sangat berpengaruh terhadap terbentuknya koloni akar dan kemampuan membentuk spora serta kemampuan hidup dari alat –alat perkembangbikan CMA. Suhu dijadikan sebagai faktor utama pada kolonisasi CMA ini juga dikarenakan dari hasil analisis contoh tanah setiap ketinggian memiliki sifat kimia tanah yang sama di antaranya kriteria pH tanah yaitu masam, P tersedia termasuk sangat rendah dan C-organik juga sangat tinggi.

Walaupun tingkat kolonisasi CMA dari hasil pengamatan terdapat variasi setiap ketinggian tempat tetapi masih ditemukan adanya hubungan CMA dengan tumbuhan di hutan Pegunungan Sinabung. Kondisi ini dimungkinkan oleh pengaruh kandungan P tersedia yang sangat rendah di dalam tanah. Kandungan P tersedia di dalam tanah pada dasarnya sangat mempengaruhi terbentuknya CMA. Rendahnya jumlah P tersedia akan meningkatkan terbentuknya CMA karena kondisi tanah yang seperti ini, tumbuhan akan cenderung memanfaatkan CMA sebagai salah satu cara untuk mendapatkan unsur hara dari dalam tanah. Namun ketersediaan P di dalam tanah juga dipengaruhi oleh kondisi pH tanah. Kondisi pH tanah yang masam dan alkalis akan mengakibatkan P tidak tersedia untuk tanaman.


(3)

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa kepadatan spora berbanding lurus dengan persentase kolonisasi akar dikarenakan semakin tinggi kepadatan spora maka persentasi kolonisasi atau simbiosis CMA pada akar juga semakin tinggi. Kolonisasi sangat erat kaitannya dengan kondisi lingkungan edafis baik itu nutrien (unsur hara tanah) maupun suhu. Dalam perkembangbiakannya CMA sangat membutuhkan bahan organik. Pujianto (2001) menyatakan bahwa bahan organik merupakan salah satu komponen penyusun tanah yang penting di samping air dan udara bagi CMA, diperkirakan sekitar 1-2 persen bahan organik CMA mampu meghasilkan spora terbanyak. Jumlah spora CMA tampaknya berhubungan erat dengan kandungan bahan organik didalam tanah. Dari data hasil analisis tanah seperti pada Tabel 2. menunjukkan bahwa persentase karbon lebih tinggi di ketinggian tempat 1500 mdpl yaitu 11,15 %. Kondisi ini juga dapat dijadikan salah satu alasan selain suhu yang menyebabkan persentase kolonisasi CMA pada akar tanaman termasuk tinggi di ketinggian 1500 mdpl.

Kepadatan spora tidak terlepas dari kondisi lingkungan seperti pH tanah, suhu, bahan organik, dan kandungan tanah lainnya. Manfaat dari pH tanah yaitu dapat berpengaruh langsung terhadap aktivitas enzim yang berperan dalam perkecambahan. Suhu disisi lain mampu membantu kematangan spora sehingga proses perkecambahan spora semakin meningkat. Namun bahan organik yang tinggi dapat menurunkan tingkat perkecambahan karena dapat meningkatkan kegiatan mikrobia tanah untuk kemudian menghambat perkecambahan spora. Spora memungkinkan untuk dormansi, sementara di sisi lain perkecambahannya dibantu oleh kondisi/suhu lingkungan tanah.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abbott, L.K. and Robson, A.D. 1991. The Effect of Mycorrizha on Plant Growth. CRC Press, Inc., Boca Raton, Florida

Baon, J. B. 1998. Peranan Mikoriza VA pada Kopi dan Kakao. Makalah disampaikan dalam workshoop Aplikasi Cendawan Mikoriza Arbuskular pada Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan. Oktober 1998. Bogor

Brundrett, M.,N. Bougher, B. Dell, T. Grave and N. Malajezuk. 1996. Working with Mycorrizha in Forestry and Agriculture. Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR), Carbera

Coyne, M.C. 1999. Soil Microbiologi an Exploratotory Approach. Delmar Publisher, ITP

Delvian, 2003. Studi Keanekaragaman dan Potensi Pemanfaatan Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) di Hutan Pantai. Disertasi Program Pasca Sarjana IPB, Bogor.

Ervayenri., Y. Setiadi., N. Sukarno., dan C. Kusmana. 1999. Arbuskular Mycorrhiza Fungi (AMF) Diversity in Peat Soil Influenced By Land Vegetation Types. Proceedings of International Conference on Mycorrhizas in Sustainable Tropical Agriculture and Forest Ecosystems. 27-30 Oktober 1997 Bogor, Indonesia

Heddy S.,S.B. Soemitro, dan S. Soekartomo. 1986. Pengantar Ekologi. Rajawali. Jakarta

Indriyanto, 2006. Ekologi Hutan. Bumi Aksara. Jakarta

Kramadibrata, K. 1999. Identifikasi Tipe Spora CMA Pengenalan Jamur MA. Makalah Workshop Aplikasi CMA pada Pertanian, Perkebunan dan kehutanan. 27 September – 2 Oktober 1999. Bogor

La An, 2007. Mikoriza.

[20 March 2008 Pukul 13.01]

Lestari, Y. 1998. Interaksi CMA dengan Mikroba Tanah Selektif. Makalah disampaikan dalam Workshop Aplikasi Cendawan Mikoriza Arbuskula pada Tanaman Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan. 5-10 Oktober 1998, Bogor.

Mosse, B. 1981. Vesicular – Arbuscular Mycorrhiza Research for Tropical Agriculture. Hawai Inst. Top Agric. Human Reseorce


(5)

Musnawar, E.I. 2006. Pupuk Organik. Penebar Swadaya. Jakarta

Odum, E. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Terjemahan oleh Tjahjono Samingan. Gadjah University Press. Yogyakarta

Powell, C.L. dan Bagyaraj, J. 1984. VA Mycorrhiza. CRC Press. Inc. Boca Raton. Florida

Pujiyanto. 2001. Pemanfatan Jasad Mikro, Jamur Mikoriza dan Bakteri dalam Sistem Pertanian Berkelanjutan di Indonesia: Tinjauan Dari Perspektif Falsafah Sains. Makalah Falsafah Sains Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor

Rhicards, B. N. 1987. The Microbiology of Teresterial Ecosystem. Jhon Wiley and Sons. New York

Setiadi, Y. 1999. Status Penelitian dan Pemanfaatann Cendawan Mikoriza Arbuskula dan Rhizobium untuk Merehabilitasi Lahan Terdegradasi. Prosiding Seminar Nasional Mikoriza I. Bogor 15-16 November 1999 Setiadi, Ya. 2001. Peranan Mikoriza Arbuskula Dalam Rehabilitasi Lahan Kritis

di Indonesia. Disampaikan dalam Rangka Seminar Penggunaan Cendawan Mikoriza dalam Sistem Pertanian Organik dan Rehabilitasi Lahan Kritis. Bandung 23 April 2001

Setiadi, Yb. 2001. Optimalisasi Penggunaan Mikoriza Arbuskula dalam Rehabilitasi Lahan-Lahan Kritis. Disampaikan dalam Rangka “Workshop Mikoriza untuk Pertanian Organik dan Rehabilitasi Lahan Kritis. Balitsa, Lembang 24-29 April 2001

Sieverding, E. 1991. Vesicular Arbuscular Mycorrizha Management in Tropical Agrosystem. Deutche Gessellsschaft fur Tecnosche Zusmmenourheit (GTZ) Gmbh, Federal Republic Germany.

Smith, S.E. and Read D.J. (1998) Mycorrhizal Symbiosis. Second Edition. Academic Press Harcourt Brace and Company. New York

Subiksa, 2008. Pemanfaatan Mikoriza untuk Penanggulangan Lahan Kritis. shantybio.transdigit.com/?Biology_-_Dasar_Pengolahan_Limbah. [20 Maret 2008]

Suhardi, 1989. Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA). UGM Press. Yogyakarta Sumarni, 2001. Pewarnaan Akar pada Cendawan Mikorriza Arbuskular. Fakultas

Pertanian UNPAD, Bandung

Wydiastuti, S.M., Sumardi dan Harjono. 2005. Patologi Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis, Heronimus F. Zebua, dilahirkan di Nias pada tanggal 10 Februari 1984 dari pasangan Baziduhu Zebua dan Mareani Ziliwu. Penulis

merupakan anak keempat dari enam bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar (SD) di SDN Inpres Afilaza Gunungsitoli pada tahun 1996 dan melanjutkan pendidikan di SLTPN 6 Gunungsitoli hingga selesai pada tahun 1999. Pada tahun 2001 melanjutkan pendidikan di SMUS Pembda 2 Gunungsitoli.

Tahun 2004, diterima di Program Studi Budidaya Hutan Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur seleksi Pemanduan Minat dan Prestasi (PMP).

Dalam menyelesaikan kegiatan akademik, pada tahun 2006 penulis telah mengikuti kegiatan Praktik Pengenalan dan Pegelolaan Hutan (P3H) di kawasan Taman Nasional Batang Gadis, Mandailing Natal Kabupaten Tapanuli Selatan. Tahun 2008 melakukan Praktik Kerja Lapang di HTI PT Riau Andalan Pulp and Paper Propinsi Riau. Selanjutnya melakukan penelitian berjudul “Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula Berdasarkan Ketinggian Tempat (Studi Kasus Pada Hutan Pegunungan Sinabung Kabupaten Karo).