Keanekaragaman cendawan mikoriza arbuskula di hutan SUB pegunungan Kamojang Jawa Barat

(1)

KEANEKARAGAMAN CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA DI HUTAN SUB PEGUNUNGAN

KAMOJANG JAWA BARAT

OLEH EDI TARMEDI

E14202078

PROGRAM STUDI BUDIDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

RINGKASAN

Edi Tarmedi (E 14202078). Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula di Hutan Sub Pegunungan Kamojang Jawa Barat. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R, MS.

Hutan merupakan suatu potensi sumber kekayaan alam anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dilindungi dan dimanfaatkan secara bijak dan lestari bagi pembangunan yang berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hutan juga merupakan kesatuan ekosistem yang saling berinteraksi hingga membentuk keseimbangan. Komponen ekosistem hutan ini terdiri dari produsen, konsumen dan pengurai. Suatu pohon akan tumbuh dengan baik apabila didukung oleh adanya suatu mikroba yang bisa menjaga kestabilan hutan. Mikroba yang dimaksud salah satunya adalah mikoriza.

Mikoriza merupakan suatu struktur khas pada sistem perakaran tanaman yang merupakan simbiosis mutualisme antara cendawan (myces) dengan perakaran (rhiza). Mikoriza dikelompokan kedalam 2 golongan besar yaitu ektomikoriza dan endomikoriza. Seiring dengan berjalannya pembangunan kehutanan yang berwawasan lingkungan, maka salah satu cara pendekatan yang dapat dilakukan untuk menjaga kestabilan hutan yaitu dengan aplikasi tekhnologi mikroba yaitu berupa pemanfatan mikoriza.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji struktur dan komposisi vegetasi Hutan Sub Pegunungan, mengkaji keanekaragaman cendawan endomikoriza dari Hutan Sub Pegunungan dan mengkulturkan CMA sebagai bagian dari pemanfaatannya untuk pupuk biologi.

Penelitian ini dilaksanakan di Hutan Sub Pegunungan Kamojang, Laboratorium Silvikultur dan rumah kaca Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, dan berlangsung selama 6 bulan yaitu dari bulan September 2005 – Maret 2006.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: akar dan tanah yang diambil dari kawasan Hutan Sub Pegunungan Kamojang Jawa Barat, benih tanaman sorgum, bahan-bahan kimia (Alkohol 70 %, HCl 2 %, KOH 2,5 %, Glukosa 60 %, Larutan Trypan Blue dan Aquades). Sedangkan untuk alat-alat yang digunakan yaitu: mikroskop stereo, petridish, timbangan, gunting, pinset,


(3)

cover slide, mesin dan tabung centifuge, saringan spora (saringan bertingkat tiga 250 μm, 125μm, dan 63 μm).

Dari penelitian diperoleh hasil pada tumbuhan bawah didominasi oleh jenis Toddalia aculenta dengan nilai INP sebesar 82.24 %.Tingkat semai didominasi oleh jenis Ficus lepicarpa dengan nilai INP sebesar 70.15 %. Tingkat pancang didominasi oleh jenis Ficus fistulosa Reinw dengan nilai INP sebesar 52.91 %. Tingkat tiang didominasi oleh jenis Eugenia polyanthum dengan nilai INP sebesar 109.13 %. Tingkat pohon didominasi oleh jenis Sloanea tiqum dengan nilai INP sebesar 95.06 %.

Persentase infeksi CMA pada akar di alam terbesar terdapat pada jenis Sp3 sebesar 40 %. Pada kedalaman 0 - 10 cm jumlah spora terbanyak terdapat pada plot 1 yaitu sebanyak 29, sedangkan pada kedalaman 10 - 20 cm jumlah spora terbanyak terdapat pada plot 2 yaitu sebanyak 38. Jumlah kekayaan spora terbanyak terdapat pada tanaman Eupatorium riparum pada kedalaman 10 - 20 sebanyak 2. Sedangkan jumlah kekayaan spora paling sedikit yaitu terdapat pada tanaman Elastosema parvum dan Sp1 pada kedalaman 0 – 10 yaitu sebanyak 0. Perserntase rata-rata infeksi akar terbesar pada tanaman sorgum yaitu terdapat pada plot 5 dengan nilai persentase sebesar 95%. Sedangkan nilai persentase rata-rata infeksi akar terendah terdapat pada plot 8 dengan nilai persentase sebesar 55%.

Kepadatan Glomus pada kedalaman 0 – 10 cm adalah 67/ 50 g tanah, sedangkan pada kedalaman 10 – 20 cm jumlah Glomus hanya 54/ 50 g tanah. Acaulospora tidak dijumpai pada kedalaman 0 – 10 cm, sedangkan pada kedalaman 10 – 20 cm kepadatannya adalah 1/ 50 g tanah. Nilai kelimpahan relatif Glomus yaitu sebesar 99.18 %, sedangkan untuk Acaulospora hanya 0.82 %. Genus Glomus memiliki frekuensi paling besar dengan nilai 100 %. Genus Acaulospora memiliki nilai frekuensi sebesar 5 %.

Perserntase rata-rata infeksi akar terbesar pada tanaman sorgum yaitu terdapat pada plot 5 dengan nilai persentase sebesar 95%. Sedangkan nilai persentase rata-rata infeksi akar terendah terdapat pada plot 8 dengan nilai persentase sebesar 55%.


(4)

Judul : Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula di Hutan Sub Pegunungan Kamojang Jawa Barat

Oleh : Edi Tarmedi

NRP : E14202078

Menyetujui: Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R, MS NIP. 131 781 161

Mengetahui:

Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS NIP. 131 430 799


(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Keboncau, Kecamatan Ujung Jaya, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat pada tanggal 31 Agustus 1983. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan keluarga Bapak Tata Darsita dan Ibu Imik Kasmi (Alm).

Pendidikan yang pernah diikuti penulis adalah, pada tahun 1990 masuk Sekolah Dasar Negeri Cimanuk dan lulus pada tahun 1996. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Tomo dan lulus pada tahun 1999. Kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Tomo dan lulus pada tahun 2002.

Penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui ujian tulis SPMB dan diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Kehutanan, Jurusan Manajemen Hutan, Program Studi Budidaya Hutan pada tahun 2002.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana kehutanan, penulis melakukan penelitian yang berjudul Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula di Hutan Sub Pegunungan Kamojang Jawa Barat dibawah bimbingan Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R, MS.


(6)

KEANEKARAGAMAN CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA DI HUTAN SUB PEGUNUNGAN

KAMOJANG JAWA BARAT

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kehutanan

Pada

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Oleh Edi Tarmedi

E14202078

PROGRAM STUDI BUDIDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT atas segala nikmat, rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini berhasil disusun. Sholawat dan salam atas suri tauladan Rosulullah SAW dan seluruh pengikutnya sampai akhir jaman.

Dengan penuh ketulusan dan keikhlasan penulis menyampaikan terima kasih sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi penelitian yang berjudul Keragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula di Hutan Sub Pegunungan Kamojang Jawa Barat. Dengan rasa hormat penulis sampaikan terima kasih sedalam-dalamnya kepada :

1. Ibu dan Bapak yang telah mendidik dan membina dengan penuh kasih sayang yang tiada hentinya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

2. Bapak Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R, MS sebagai pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, pengarahan dan nasehat yang sangat berharga selama penulis menyelesaikan studi.

3. Harra Santika teman sepenelitian yang selalu membantu sampai skripsi ini terselesaikan.

4. Fian Riadi, Eka Yanuar, Benu Setiawan, Fery, Agus Triono, Heri Sulistiyono dan teman-teman Asrama Sylvasari yang telah memberikan dukungan dan tenaga selama proses penelitian.

5. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu sehingga skripsi ini berhasil disusun.

Semoga Allah SWT memberikan balasan yang setimpal dan mencatat sebagai amal shaleh atas kebaikan yang telah diberikan. Amien.

Sebagai manusia biasa, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih ada kekurangannya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk lebih menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan khususnya untuk kepentingan pengembangan kehutanan. Amien.

Bogor, Agustus 2006 Penulis


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... ... i

DAFTAR ISI... ii

DATAR TABEL... ... iv

DAFTAR GAMBAR... ... v

DATAR LAMPIRAN... vi

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1

B. Tujuan ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Mikoriza... 3

A.1. Batasan Mikoriza... 3

A.2. Tipe-Tipe Mikoriza... 3

A.3. Manfaat Mikoriza... 5

A.4. Perkembangan Mikoriza Pada CMA... 6

A.5. Inokulasi Mikoriza... 7

A.6. Asosiasi CMA Pada Tumbuhan... 11

B. Tinjauan Umum Hutan... 12

B.1. Batasan Hutan... 12

B.2. Klasifikasi Hutan ... 12

B.3. Tinjauan Umum Analisis vegetasi Hutan... 13

B.3.1. Batasan Analisis Vegetasi... 13

B.3.2. Analisis Kualitatif... 15

III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu... 16

B. Bahan dan Alat... 16

C. Metode Penelitian...16

C.1. Analisis Vegetasi dan Pengambilan Contoh Tanah... 16

C.2. Analisis Spora... 16


(9)

C.4. Kultur Spora... 18

C.5. Identifikasi Spora Mikoriza... 18

D. Parameter Yang Diamati Dalam Penelitian... 18

E. Analisis Data... 19

E.1. Vegetasi... 19

E.2. Spora Mikoriza... 19

E.3. Infeksi Mikoriza... 20

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas... 21

B. Iklim... 22

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Status Vegetasi Pada Hutan Sub Pegunungan... 23

B. Status CMA Pada Hutan Sub Pegunungan... ... 25

C. Status Spora CMA... 26

1. Kepadatan Spora... 26

2. Kekayaan Spora... 28

D. Kultur CMA... 31

VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... 34

B. Saran... 34

DAFTAR PUSTAKA... ... 35

LAMPIRAN... 37


(10)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Infeksi CMA Pada Akar di Alam... 25 2. Data Nilai Kualitatif Spora Di Alam... 38 3. Data Nilai Kualitatif Kelimpahan Relatif... 30


(11)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Histogram Kepadatan Spora... 28

2. Histogram Sebaran Genus Spora CMA Berdasarkan Kedalaman... 31

3. Histogram Frekuensi Sebaran Genus Spora di Alam... 32


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Tabel Persentase Infeksi Akar……….. 37

2. Table Persentase Infeksi Akar Setelah Perbanyakan………. 37

3. Table Jumlah Spora………... 38

4. Tabel Sebaran Jumlah Genus Spora CMA... 38

5. Tabel Data Nilai Kualitatif Spora Di Alam………...………… 39

6. Tabel Frekuensi Sebaran Genus Spora Di Alam... 39

7. Tabel Data Nilai Kuantitatif Vegetasi Pada Tingkat Tumbuhan Bawah... 39

8. Tabel Data Nilai Kuantitatif Vegetasi Pada Tingkat Semai………….. 40

9. Tabel Data Nilai Kuantitatif Vegetasi Pada Tingkat Pancang... 40

10. Tabel Data Nilai Kuantitatif Vegetasi Pada Tingkat Tiang... 40

11. Tabel Data Nilai Kuantitatif Vegetasi Pada Tingkat Pohon... 40

12. Tally Sheet Vegetasi Semai……… 41

13. Tally Sheet Vegetasi Pancang……… 41

14. Tally Sheet Vegetasi Tiang……… 43


(13)

I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Hutan merupakan suatu potensi sumber kekayaan alam anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dilindungi dan dimanfaatkan secara bijak dan lestari bagi pembangunan yang berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hutan juga merupakan kesatuan ekosistem yang saling berinteraksi hingga membentuk keseimbangan. Komponen ekosistem hutan ini terdiri dari produsen, konsumen dan pengurai. Suatu pohon akan tumbuh dengan baik apabila didukung oleh adanya suatu mikroba yang bisa menjaga kestabilan hutan. Mikroba yang dimaksud salah satunya adalah mikoriza.

Mikoriza merupakan suatu struktur khas pada sistem perakaran tanaman yang merupakan simbiosis mutualisme antara cendawan (myces) dengan perakaran (rhiza). Mikoriza dikelompokan kedalam 2 golongan besar yaitu ektomikoriza dan endomikoriza. Seiring dengan berjalannya pembangunan kehutanan yang berwawasan lingkungan, maka salah satu cara pendekatan yang dapat dilakukan untuk menjaga kestabilan hutan yaitu dengan aplikasi tekhnologi mikroba yaitu berupa pemanfatan mikoriza.

CMA (Cendawan Mikoriza Arbuskula) merupakan salah satu tipe cendawan pembentuk mikoriza yang akhir-akhir ini cukup populer mendapat perhatian para ahli lingkungan dan biologi karena peranannya yang sangat besar dalam kestabilan ekosistem. Informasi mengenai status cendawan mikoriza arbusula pada suatu tipe ekosistem sangat diperlukan sehingga pemanfaatan cendawan mikoroiza arbusula sebagai agen biologi bisa dikembangkan.

Potensi dari adanya simbiosis cendawan mikoriza arbuskula dengan tumbuhan sangat penting untuk dimanfaatkan bagi kepentingan budidaya tumbuhan tersebut terutama pada lahan marginal. Hal tersebut mengingat besarnya manfaat cendawan mikoriza arbuskula bagi tanaman diantaranya yaitu : meningkatkan penyerapan unsur hara, meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan patogen akar.

Tanaman menunjukan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan tanaman yang tidak bermikoriza hal ini terjadi karena akar yang terinfeksi


(14)

mikoriza dapat meningkatkan absorbsi pospat terutama pada tanah-tanah daerah tropis yang kekurangan unsur pospat.

Oleh karena potensi CMA pada hutan sub pegunungan ini belum banyak diteliti, maka penelitian keanekaragaman dalam status CMA di daerah ini sangat diperlukan.

B. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Mengkaji struktur dan komposisi vegetasi Hutan Sub Pegunungan

2. Mengkaji keanekaragaman cendawan endomikoriza dari Hutan Sub Pegunungan.

3. Mengkulturkan CMA sebagai bagian dari pemanfaatannya untuk pupuk biologi.

Hipotesis:

1. Struktur dan komposisi vegetasi dalam keadaan normal.

2. Terdapat berbagai macam jenis cendawan mikoriza dari daerah yang diteliti.

3. Cendawan endomikoriza dari daerah yang diteliti dapat diperbanyak sebagai sumber potensi inokulum.


(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Mikoriza A.1. Batasan Mikoriza

Menurut Setiadi (1988) mikoriza adalah suatu bentuk hubungan simbiosis mutualistik antara cendawan (myces) dengan perakaran (rhiza) tumbuhan tinggi. Mikoriza pada hakikatnya adalah struktur yang terbentuk oleh akar dan fungi atau jamur atau cendawan secara simbiotik. Kedua simbion mendapat manfaat. Umumnya tumbuhan yang memiliki akar yang bersangkutan dapat dibantu dalam penyerapan air dan hara mineral dari dalam tanah. Sedangkan fungi atau jamur memperoleh bahan-bahan organik dari tumbuhan (Hadi, 2001).

Pada dasarnya asosiasi mikoriza terbentuk sebagai suatu hubungan simbiosis mutualistik antara cendawan pembentuk mikoriza dengan perakaran tanaman. Akar tanaman akan mengeluarkan cairan karbohidrat, dan hal ini akan dimanfaatkan oleh cendawan pembentuk mikoriza sebagai sumber energi. Kemudian cendawan pembentuk mikoriza akan menyerahkan berbagai hara mineral yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Akar-akar bermikoriza tanpa tudung akar, tidak bercabang dan tanpa akar-akar rambut. Hifa cendawan bertindak sebagai akar-akar rambut dan berfungsi menyerap air serta hara dalam tanah, kemudian memberikannya kepada tanaman (Fakuara, 1988)

Salah satu interaksi antara dua komponen yang tidak mencolok terlihat, karena posisi dan ukuranya yang sangat kecil adalah mikoriza. Ia merupakan struktur yang terbentuk oleh berbagai akar jenis tumbuhan, baik tumbuhan jenis semusim maupun jenis tumbuhan tahunan dan fungi (dikenal sebagai jamur atau cendawan) (Hadi, 2001)

A.2. Tipe-Tipe Mikoriza

Pada umumnya dapat dibedakan 3 bentuk mikoriza, yaitu berdasarkan terbentuk atau tidak terbentuknya selubung hifa pada mikoriza. Perbedaan ini lebih jelas baik kita memeriksa sayatan melintang mikoriza. Bila pada permukaan luar akar terbentuk selubung jalinan hifa fungi maka struktur tersebut disebut ektomikoriza. Apabila fungi pembentuk mikoriza berkembang hanya di sel-sel


(16)

korteks aja dan tidak terbentuk selubung hifa pada akar, maka struktur yang terbentuk disebut endomikoriza. Adapula struktur yang memiliki kedua ciri tersebut yaitu adanya fungi di dalam sel-sel korteks dan juga terbentuknya selubung hingga pada permukaan akar. Struktur demikian disebut ektendomikoriza. Orang biasa menyebut endomikoriza sebagai mikoriza vesikular arbuskular. Berdasarkan struktur vegetatif fungi yang ada di dalam sel-sel korteks. Endomikoriza disebut vesikular bila terbentuk hifa yang menggelembung di dalam sel-sel korteks tersebut dan disebut arbuskular bila terbentuk percabangan-percabangan kecil di dalam sel-sel korteks (Hadi, 2001).

Berdasarkan struktur tubuhnya dan cara infeksi terhadap tanaman inang, mikoriza dapat dikelompokan kedalam 3 golongan besar, yairu : Ektomikoriza, Endomikoriza atau lebih dikenal dengan VA Mikoriza dan Ektendomikoriza (Setiadi, 1989). Harley (1972) membagi mikoriza menjadi 2 golongan, yaitu Ektomikoriza dan Endomikoriza. Ektomikoriza umumnya terdapat pada tanaman jenis konifer dimana akar pohon hutan tersebut dibedakan atas akar panjang dan akar pendek. Endomikoriza memiliki karakteristik di dalam sel-selnya, dimana sel-sel tersebut dibedakan adanya pembengkakan miselia yang akhirnya lenyap separuh atau seluruhnya karena dicerna oleh sel-sel yang dimasukinya. Mantel cendawan Endomikoriza tidak tampak dan tidak terjadi pembengkakan.

Cendawan endomikoriza dapat dibedakan dari ektomikoriza, karena beberapa karakteristik berikut ini (Setiadi, 1988):

1. Perakaran yang terkena infeksi tidak membesar

2. Cendawan membentuk struktur lapisan hifa tipis pada permukaan akar, tetapi tidak setebal mantel pada ektomikoriza

3. Hifa menyerang ke dalam individu sel jaringan korteks

4. Adanya struktur khusus berbentuk oval yang disebut ‘vesicules’ dan sistem percabangan hifa yang disebut ‘arbuscules’

Struktur dari akar yang terinfeksi umumnya tidak menunjukan tanda morfologi yang mudah dikenali seperti pada ektomikoriza. Banyak akar yang terinfeksi VA-Mikoriza penampilannya tidak berbeda dengan akar-akar yang tidak terinfeksi, yaitu benar-benar tidak berubah bentuk dan mempunyai rambut akar (Tedja et. al., 1989).


(17)

A.3. Manfaat Mikoriza

Beberapa manfaat yang dapat diperoleh oleh tanaman inang dari adanya asosiasi mikoriza adalah:

1. Meningkatkan penyerapan unsur hara

Mekanisme peningkatan penyerapan unsur hara diantaranya dapat diterangkat sebagai berikut (Setiadi, 1989):

• Terbentuknya selubung hifa yang tebal, jaring hartig dan peningkatan areal permukaan karena hipertrofi memungkinkan sistem perakaran mengambil unsur hara lebih banyak

• Kegiatan metabolisme akar yang bermikoriza lebih tinggi

• Jamur mikoriza memiliki enzim phosphatase yang dapat membantu penyerapan posfor tak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman. 2. Meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan

Tanaman yang bermikoriza biasanya lebih tahan kering daripada yang tidak bermikoriza. Kekeringan yang menyebabkan rusaknya jaringan korteks kemudian matinya perakaran pengaruhnya tidak akan permanen pada akar yang bermikoriza. Akar yang bermikoriza akan cepat kembali pulih setelah periode kekurangan air (water stress) berlaku. Hal ini disebabkan karena hifa cendawan masih mampu untuk menyerap air pada pori-pori tanah, pada saat akar tanaman sudah kesulitan. Selain itu penyebaran hifa di dalam tanah sangat luas sehingga dapat mengambil air relatif lebih banyak

3. Tahan terhadap serangan patogen akar

Mikoriza dapat berfungsi sebagai pelindung biologi bagi terjadinya infeksi patogen akar. Hal tersebut dapat diterangkan sebagai berikut (Zak, 1967 dalam Setiadi et.al., 1989):

• Adanya lapisan hifa (mantel) dapat berfungsi sebagai pelindung fisik untuk masuknya patogen

• Mikoriza menggunakan hampir semua kelebihan karbohidrat dan eksudat akar lainnya, sehingga tercipta lingkungan yang tidak cocok bagi patogen


(18)

• Cendawan mikoriza dapat melepaskan antibiotik yang dapat mematikan patogen

4. Mikoriza dapat memproduksi hormon dan zat pengatur tumbuh. Cendawan mikoriza dapat memberikan hormon seperti auxin, citokinin, dan gibberelin, juga zat pengatur tumbuh seprti vitamin kepada inangnya (Musnamar, 2004 dalam Setiadi, 1989)

Penambahan bahan organik ke dalam tanah terbukti dapat menurunkan intensitas serangan beberapa macam penyakit akar. Penurunan intensitas penyakit terjadi melalui antagonisme. Mekanisme penekanan perkembangan patogen terjadi melalui proses-proses kompetisi, predasi, parasitisme, antibiotik atau mekanisme lain yang bersifat merugikan bagi patogen (Patrick dan Tonsoun, 1965 dalam Hadi, 2001)

A.4. Perkembangan Spora Pada CMA

Sampai saat ini hanya ada 6 genus cendawan yang diketahui menghasilkan CMA dengan tanaman. Dua genus yaitu Glomus dan Sclerocystis menghasilkan Chlaydospora dan empat genus yaitu, Gigaspora, Scutellaspora, Acaulaspora dan Entrophospora menghasilkan Azygospora (Setiadi, 1992).

Karakteristik-karakteristik yang khas untuk masing-masing genus: 1. Glomus

Proses perkembangan spora Glomus adalah dari hifa. Ujung dari hifa akan membesar sampai ukuran maksimum dan terbentuk spora karena sporanya berasal dari perkembangan hifa maka disebut Chlamydospores (Setiadi et.al., 1992).

2. Schlerocystis

Proses perkembangan spora Schlerocystis sama dengan Glomus yaitu dari hifa, oleh karena itu juga disebut Clamidospores. Hanya pada perkembangan genus schlerocystis ini ujung hifa yang bercabang banyak dan tiap-tiap cabang membentuk Chlamidospora sehingga membentuk sporacarp (Setiadi et.al., 1992).

3. Gigaspora

Proses perkembangan spora Gigaspora tidak langsung berasal dari hifa. Pertama-tama ujung hifa membulat dan dinamankan suspensor. Di atas


(19)

bulbour suspensor ini timbul bulatan kecil yang semakin lama semakin besar dan mencapai ukuran maksimum akhirnya menjadi spora (Setiadi et.al., 1992).

4. Scutellispora

Proses perkembangan Scutellispora sama persis dengan Gigaspora hanya untuk membedakan dengan genus Gigaspora, pda Scutellispora terdapat “Germination shield” (Setiadi et.al., 1992).

5. Acaulospora

Proses perkembangan spora Acaulospora seolah-olah dari hifa tapi sebenarnya tidak. Pertama-tama ada hifa yang ujungnya membesar seperti spora yang dibuat “hypal terminus”. Diantara hypal terminus dan subtending hypa akan timbul bulatan kecil yang semakin lama semakin besar. Selama proses perkembangan spora ini hypa terminus akan rusak dan hancur dan isi dari hypa terminus pada spora, maka pada spora yang sudah masak akan terdapat satu lubang yang disebut Ciatric. Karena perkembangan spora juga bahkan dari hyfa, maka disebut Azygospora (Setiadi et.al., 1992).

6. Entrophospora

Proses perkembangan spora Entroshpospora hampir sama dengan proses perkembangan spora Acoulospora, yaitu diantara “hypal terminus” dengan “subtending hypa”. Hanya pada proses perkembangan Entrophospora Azygosporanya berada di dalam, sehingga pada spora yang telah matang akan terbentuk dua lubang yang simetri (Setiadi et.al., 1992).

A.5. Inokulasi Mikoriza

Inokulasi atau penularan adalah suatu cara pemberian bahan inokulan berupa cendawan atau bagian lain dari cendawan yang mampu membentuk struktur mikoriza, kegiatan inokulasi dapat dilakukan pada waktu, sebelum biji disemai, pada saat biji disemai dan sesudah semai tumbuh (Fakuara, 1993 dalam Hermayadi, 2005).

Intensitas infeksi VA-Mikoriza dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, meliputi pemupukan dan nutrisi tanaman, pestisida, intensitas cahaya, musim,


(20)

kelembaban tanah, pH, kepadatan inokulum dan tingkat kerentanan tanaman (Fakuara, 1988)

Terdapat dua pola interaksi yang dilakukan oleh cendawan pada akar inang yakni pola infeksi primer dan pola interaksi sekunder. Infeksi primer akan muncul pada anakan yang baru ditulari. Pada saat daun pertama muncul, hifa akan terbentuk pada induk akar dan pada saat ini belum terjdi penetrasi interseluler. Penetrasi interseluler dan hartig net akan terbentuk pada saat protoxylem muncul di dalam xylem. Infeksi sekunder akan terjadi pada akar yang baru tumbuh atau pada jaringan yang lebih tua tetapi belum suberisasi, hal ini terus menjadi bersamaan dengan pertumbuhan pohon (Setiadi, 1988).

Terdapat beberapa tehnik metode produksi inokulum mikoriza, yaitu: 1. Kultur Tanah

Metode yang paling umum dan paling diandalkan untuk memproduksi inokulum VAM adalah metode kultur tanah. Jamur mikoriza pertama kali harus diisolasi dari lapangan. Akar-akar atau tanah dari lapangan dapat digunakan untuk menginokulasi inang yang cocok dan ditumbuhkan pada tanah steril untuk mendapat isolat plot kultur di lapangan. Pot kultur yang berasal dari lapangan, biasanya banyak mengandung mikroorganisme yang tidak diinginkan, karena itu dianjurkan untuk memulai produksi inokulum dengan menggunakan spora tunggal yang bebas dari semua organisme lain, 10-20 spora biasanya cukup untuk menginokulasi anakan muda yang ditumbuhkan secara aseptik di dalm rumah kaca, spora harus diletakan dekat akar (Setiadi et.al., 1992).

2. Pemeliharaan Pot Kultur VA Mikoriza a. Pemeliharaan rumah kaca

Sebaiknya pemelihraan pot kultur di rumah kaca meliputi beberapa kultur praktis yang didesain untuk: mencegah kontaminasi kultur dari patogen dan penempatan kultur dalam rak harus menjamin tidak ada kontaminasi dari pot-pot di sebelahnya dari jenis mikoriza lain (Setiadi et.al., 1992).

b. Kontainer

Untuk mencegah kontaminasi dari bangku rumah kaca yang tidak steril, pot kultur dapat diletakan atau ditumpangkan pada pot-pot lain yang dibalik dan sebelumnya telah disterlilkan. Medium yang sering digunakan adalah tanah dan


(21)

pasir yang sedikit mengandung pospor. Sebelum pengisian medium, lubang pot harus ditutup dengan kertas sehingga mediumnya tidak keluar. Pengisian medium harus bertahap dan tiap tahap harus diairi dan biarkan sampai kompak sebelum pemberian tahap berikutnya. Tahap pertama pot diisi 1/3 bagian kemudian diairi sampai kompak, tahap kedua 2/3 bagian dan diairi sampai kompak dan tahap ketiga setelah biji atau anakan ditanam (Setiadi et.al., 1992)

c. Pemupukan

Pemberian pupuk harus hati-hati karena konsentrasi pospor yang tinggi di dalam tanah menghambat infeksi mikoriza. Pasir kuarsa yang diberi pupuk dengan larutan Hoagland minus pospor dapat merangsang perkembangan simbiosis mikoriza, bila akan menggunakan pupuk granular ke dalam medium pertumbuhan, harus menghilangkan unsur pospor, tetapi unsur mikro tetap digunakan (Setiadi et.al., 1992).

3. Manipulasi Lingkungan a. Tanaman Inang

Pemilihan tanaman inang yang akan digunakan untuk produksi masal inokulum harus mempunyai syarat-syarat; dapat beradaptasi dengan baik dimana inokulum akan diproduksi, harus dapat berasosiasi dengan jamur VAM yang akan diproduksi, harus cepat tumbuh dan cepat menghasilkan akar yang banyak dan tidak rentan terhadap patogen yang dapat mengganggu inokulum, beberapa tanaman yang biasa digunakan diantaranya jeruk, jagung, kacang tanah, kapas, asparagus, sorgum dan pueraria (Setiadi et.al., 1992). b. Medium Pertumbuhan

Aspek yang paling penting untuk memproduksi inokulum VA mikoriza adalah pemilihan jenis medium yang akan digunakan. Tanah biasanya merupakan komponen yang kritis di dalam medium pertumbuhan, karena merupakan sumber P dan unsur mikro dan juga berfungsi sebagai buffer alami bagi ketersediaan unsur hara. Dianjurkan memilih medium yang sedikit mengandung unsur hara mempunyai kapasitas tukar kation yang tinggi dan ketersediaan unsur P yang sedikit. Pemilihan medium juga harus mempertimbangkan pengangkutan. Tanah biasanya berat dibandingkan


(22)

dengan medium lain. Oleh karena itu dapat menggunakan medium vermikulit, gambut, serbuk gergaji, perlit atau campuran dari medium lain.

4. Aerasi Air

Penurunan konsentrasi O2 dapat menghambat perkecambahan spora VA mikoriza dan kolonisasi akar, oleh sebab itu tanaman yang diinfeksi oleh jamur VA mikoriza lebih baik jangan terlalu banyak diberi air (Setiadi et.al., 1992). 5. pH

Karena pH mempengaruhi berbagai macam kondisi tanah maka sering kali sulit untuk menentukan pengaruh perubahan pH pada produksi inokulum yang terbaik pada kisaran pH yang luas. Pengaturan pH pad medium petumbuhan tanaman harus dilakukan dengan hati-hati sesuai dengan jenis VA mikoriza yang ditumbuhkan (Setiadi et.al., 1992).

6. Cahaya dan Photoperiode

Intensitas cahaya dan hari panjang yang lama akan memperbaiki kolonisasi dan produksi spora pada jagung, semanggi, rumput sudan, jeruk, bawang dan lain-lain (Graham et.al., 1982 dalam Setiadi et.al., 1992). Meningkatnya kolonisasi VA mikoriza adalah akibat dari meningkatnya senyawa-senyawa eksudat untuk memaksimumkan fotosintesa inang dengan cahaya. Photoperiode yang lebih lama dapat meningkatkan kolonisasi VA mikoriza yang lebih besar daripada intensitas cahaya (Setiadi et.al., 1992).

7. Suhu

Suhu dapat mempengaruhi pertumbuhan baik inang maupun jamurnya. Suhu tanah lebih penting daripada suhu udara di dalam memproduksi inokulum VA mikoriza. Dianjurkan untuk memproduksi inokulum VA mikoriza pada suhu di atas suhu optimum tanaman inang (Setiadi et.al., 1992).

8. Pemangkasan

Pemangkasan tanaman inang dapat menurunkan infeksi VA mikoriza dan pembentukan spora. Hal ini kemunkinan diakibatkan oleh pengurangan hasil fotosintesa dari dalam ke akar (Setiadi et.al., 1992).

9. Ukuran Pot

Ukuran tanaman inang dan masa akar dapat dipengaruhi oleh ukuran pot, ketersediaan tanah. Produksi spora VA mikoriza per gram tanah dan per gram


(23)

akar sebagian besar akan meningkat dengan meningkatnya ukuran pot (Setiadi et.al., 1992).

10.Pemakaian Bahan Kimia

Beberapa pestisida dapat menganggu infeksi dan produksi spora VA mikoriza, tetapi ada beberapa jenis yang sangat menguntungkan, karena dapat mengurangi konsentrasi dari mikroorganisme yang tidak diinginkan, dan dapat mengurangi dari patogen tanaman atau parasit yang dapat menjadi pesaing bagi jamur VA mikoriza baik terhadap inang ataupun unsur hara sebagai contoh DBCP, 1-3D, ethanol, sodium acide, captan dan metalaxyl (Setiadi et.al., 1992).

A.6. Asosiasi CMA Pada Tumbuhan

CMA dapat berasosiasi dengan tumbuhan Bryophita, Pteridophyta, Angiospermae dan Gymnospermae. Selanjutnya Meyer (1973) dalam Setiadi (1989) menyebutkan bahwa sebagian besar tumbuhan dapat berasosiasi dengan CMA, berlawanan dengan ektomikoriza yang hanya berasosiasi dengan 3% tumbuhan saja.

Menurut Setiadi (1989), simbiosis yang terjadi antara CMA dengan tanaman adalah saling menguntungkan. Cendawan memperoleh karbohidrat dan faktor pertumbuhan lain dari tanaman inang dengan cara membantu meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan tanaman akan tahan terhadap serangan patogen.

Adanya asosiasi antara cendawan mikoriza dengan akar, sebenarnya adalah suatu bentuk parasitism, cendawan menyerang sistem perakaran, tetapi tidak sebagaimana halnya penyakit yang berbahaya (patogen). Dalam hal ini cendawan tidak merusak atau membunuh tanaman inangnya tetapi memberikan suatu keuntungan kepada tanaman inang (host) dan sebaliknya cendawan dapat memperoleh karbohidrat dan faktor pertumbuhan lainnya dari tanaman inang (Setiadi et.al 1989).


(24)

B. Tinjauan Umum Hutan B.1. Batasan Hutan

Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. (Departemen Kehutanan, 1999)

B.2. Klasifikasi Hutan

Sebagai ilmu, hutan dibagi kedalam beberapa daerah yakni bagian atas tanah yang meliputi tajuk-tajuk pepohonan, batang kayudan tumbuhan bawah; bagian permukaan tanah meliputi semak, rumput-rumputan dan serasah yang sering disebut lantai hutan (forest floor) yang terdiri dari tumpukan daun, ranting, bunga dan buah, serta bagian dalam tanah yang meliputi akar dari semua vegetasi. Formasi Hutan Utama Di Indonesia (Kusmana, 1995):

ƒ Hutan Payau ƒ Hutan Rawa ƒ Hutan Pantai ƒ Hutan Gambut ƒ Hutan Kerangas ƒ Hutan HujanTropika ƒ Hutan Musim

Menurut Soerianegara (1976) Pada ketinggian diatas 1000 m dpl akan dijumpai formasi-formasi hutan sebagai berikut:

ƒ Hutan hujan peguinungan (1000 – 2400 m dpl) ƒ Hutan musim pegunungan (1000 – 2400 m dpl) ƒ Hutan subalpin (2400 – 4000 m dpl)

Hutan Pegunungan adalah hutan yang tumbuh di daerah dengan ketinggian diatas dengan ketinggian 1000 m permukaan laut. Umumnya daerah ini dibagi menjadi 4 golongan, yakni :

1) Daerah ketinggian 700 – 1000 m dpl yang disebut Montaine Rain Forest 2) Daerah ketinggian 1000 – 2500 m dpl yang disebut High Montaine Forest 3) Daerah ketinggian 2500 – 4000 m dpl yang disebut Sub Alpine Montaine 4) Daerah ketinggian 4000 m dpl yang disebut Alpine Forest.


(25)

Hutan pegunungan secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:

1) Hutan pegunungan bawah (sub pegunungan), dengan ketinggian 1000 – 1500 m dpl

2) Hutan Pegunungan atas, dengan ketinggian > 1500 m dpl

Hutan hujan pegunungan merupakan bagian dari hutan hujan tropika. Menurut Richad (1964) hutan hujan tropika tersebar bagaikan sabuk yang mengelilingi bumi sepanjang khatulistiwa dengan bagian terbesar terletak di bagian utara. Tidak teraturnya penyebaran hutan hujan tropika disebabkan adanya dataran-dataran tinggi serta tidak teraturnya penyebaran faktor iklim yang diakibatkan tidak seragamnya penyebaran daratan dan lautan.

Soerianegara dan Indrawan (1988) menyebutkan ciri-ciri hutan hujan tropika adalah sebagai berikut:

1) Iklim selalu basah

2) Tanah kering dan bermacam-macam jenis tanah

3) Di pedalaman pada tanah rendah atau berbukit (<1000 m dpl) dan pada tanah tinggi ( sampai 4000 m dpl)

4) Dapat dibedakan menjadi 3 zona menurut ketinggian: ƒ Hutan hujan bawah (2 – 1000 m dpl)

ƒ Hutan hujan tengah (1000 – 3000 m dpl) ƒ Hutan hujan atas (3000 – 4000 m dpl) B.3. Tinjauan Umum Analisis Vegetasi Hutan B.3.1. Batasan Analisis Vegetasi

Analisis vegetasi adalah cara mempelajari susunan (komposisi jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan. Dalam ekologi hutan satuan yang diselidiki adalah suatu tegakan, yang merupakan asosiasi konkrit (Soerianegara, 1976).

Dalam analisis vegetasi ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh seorang surveyor agar survey vegetasi yang dilakukan dapat memberikan data/ informasi yang teliti dan dapat dipertangguangjawabkan. Hal-hal tersebut adalah ukuran, jumlah dan bentuk petak contoh yang akan dipilih, cara meletakan petak


(26)

contoh, objek yang akan diamati, parameter vegetasi yang akan diukur, dan tehnik analisis vegetasi yang digunakan (Kusmana, 1995)

Secara ekologis cukup penting untuk membeda-bedakan tumbuhan ke dalam stadium pertumbuhan yang berbeda-beda. Untuk keperluan ini kriteria yang digunakan adalah (Soerianegara, 1976):

ƒ Semai : permudaan mulai dari kecambah sampai anakan setinggi kurang dari 1,5 m.

ƒ Pancang : permudaan dengan tinggi 1,5 m sampai anakan berdiameter kurang dari 10 cm.

ƒ Tiang : pohon muda berdiameter 10 cm sampai kurang dari 20 cm.

ƒ Pohon : pohon dewasa berdiameter 20 cm dan lebih. ƒ Tumbuhan bawah : tumbuhan selain permudaan pohon. Misal

rumput, herba, dan semak belukar. -Petak Contoh Vegetasi

Untuk mempelajari komposisi jenis dan struktur komunitas tumbuhan umumnya dilakukan dengan sampling. Dalam hal ini ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu ukuran bentuk danjumlah petak contoh, cara meletakan petak, dan teknik analisa vegetasi yang harus digunakan (Kusmana, 1995)

-Jalur/ Transek

Cara ini digunakan untuk mempelajari perubahan keadaan vegetasi seperti tanah, topografi dan elevasi dari kelompok hutan yang luas dan belum diketahui keadaan sebelumnya.

Metode jalur paling efektif untuk mempelajari perubahan keadaan vegetasi menurut kondisi tanah, topografi dan elevasi. Jalur-jalur contoh ini harus dibuat memotong garis-garis topografi. Misal tegak lurus garis pantai, memotong sungai, dan menaiki atau menuruni lereng gunung (Kusmana, 1995)

Untuk keperluan risalah tumbuhan bawah, permudaan dan pohon di dalam petak contoh seyogyanya dilakukan di dalam sub-plot-sub-plot contoh agar memudahkan dalam risalahnya dan tidak terjadi duplikasi perhitungan. Tehnik pembuatan sub-plot tersebut biasanya dilakukan secara nested sampling. Yaitu sub-plot yang berukuran lebih besar mengandung sub-plot yang lebih kecil.


(27)

Dalam hal ini ukuran sub-plot untuk berbagai stadium pertumbuhan adalah (Kusmana, 1995):

ƒ Semai dan tumbuhan bawah : 2 x 2 m atau 1 x 1 m atau 2 x 5 m

ƒ Pancang : 5 x 5 m

ƒ Tiang : 10 x 10 m ƒ Pohon : 20 x 20 atau 20 x 50 m

B.3.2. Analisis Kualitatif

Dalam menganalisis data kualitatif suatu jenis vegetasi hutan terdapat beberapa data nilai yang dapat diketahui berupa (Kusmana, 1995):

ƒ Kerapatan (K) adalah jumlah suatu spesies dalam suatu unit area. Kerapatan menunjukan kelimpahan suatu spesies dalam suatu komunitas.

ƒ Kerapatan Relatif (KR) adalah persentase kerapatan suatu spesies terhadap jumlah kerapatan semua spesies.

ƒ Frekuensi (F) adalah derajat penyebaran suatu jenis di dalam komunitas yang diekspresikan sebagai perbandingan antara banyaknya petak yang diisi oleh suatu jenis terhadap jumlah petak contoh seluruhnya.

ƒ Frekuensi Relatif (FR) adalah persentase frekuensi suatu spesies terhadap jumlah frekuensi semua spesies.

ƒ Dominansi (D) adalah luas penutupan tajuk atau luas bidang dasar suatu spesies dalam satuan unit area tertentu.

ƒ Dominansi Relatif adalah persentase dominansi suatu spesies terhadap jumlah dominansi seluruh jenis.

ƒ Indeks Nilai Penting (INP) menggambarkan besarnya pengaruh yang diberikan oleh suatu spesies tanaman terhadap komunitasnya. INP dihitung berdasarkan penjumlahan dari nilai FR, KR dan DR.


(28)

III. BAHAN DAN METODE

A. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Hutan Sub Pegunungan Kamojang Jawa Barat, Laboratorium Silvikultur dan rumah kaca Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, dan berlangsung selama 6 bulan yaitu dari bulan September 2005 – Maret 2006.

B. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: akar dan tanah yang diambil dari kawasan Hutan Sub Pegunungan Kamojang Jawa Barat, benih tanaman sorgum, bahan-bahan kimia (Alkohol 70%, HCl 2%, KOH 2,5%, Glokosa 60%, Larutan Trypan Blue dan Aquades).

Sedangkan untuk alat-alat yang digunakan yaitu: mikroskop stereo, petridish, timbangan, gunting, pinset, cover slide, mesin dan tabung centifuge, saringan spora (saringan bertingkat tiga 250 μm, 125 μm, dan 63 μm)

C. Metode Penelitian

C.1. Analisis Vegetasi dan Pengambilan Contoh Tanah

Analisis komposisi vegetasi dilakukan dengan menggunakan metode jalur berpetak menurut Soerianegara dan Indrawan (1988). Jalur dibuat sepanjang 100 m, kemudian dibuat petak-petak yang berukuran 20x20 m, 10x10 m, 5x5 m dan 2x2 m yang masing-masing digunakan untuk pengambilan contoh pohon, pancang, tiang dan semai.

Pada petak ukur 2x2, juga diambil contoh tanah sebanyak 500 g, untuk diamati spora mikorizanya. Pada setiap semai yang dijumpai juga diambil contoh akar untuk analisis infeksi mikorizanya.

C.2. Analisis Spora

Tanah yang telah diambil kemudian diamati kandungan sporanya. Metoda analisis yang digunakan adalah metoda tuang basah menurut Gerdermann dan Nickolson (1963), dilanjutkan dengan metoda Delp (1983). Tanah yang digunakan masing-masing sebanyak 50 gram. Adapun prosedur kerja yang dilakukan untuk mendapatkan perhitungan jumlah spora yaitu:


(29)

¾ Sejumlah contoh tanah dan masukan ke dalam wadah aqua atau gelas yang berisi air (tanah yang diambil sebanyak 40 gram).

¾ Aduk tanah tersebut dengan hati-hati selama ± 16 detik.

¾ Tuangkan tanah yang sudah diaduk ke dalam saringan tingkat tiga (dengan ukuran 250 μm, 125 μm dan 63 μm). Cucilah tanah sampai airnya jernih. ¾ Kumpulkan tanah yang menempel pada saringan yang berukuran 63 μm di

dalam cawan petridish.

¾ Tuangkan tanah-tanah tersebut ke dalam tabung centifuge.

¾ Tambahkan larutan glukosa 60 % ke dalam tabung centrifuge sampai terisi 2/3 isi tabung.

¾ Centrifugelah selama 5 menit dengan kecepatan 2500 rpm.

¾ Sedotlah cairan yang bening dengan menggunakan saringan yang berukuran 63μm.

¾ Cucilah dengan air mengalir yang deras untuk menghilangkan gulanya. ¾ Setelah dicuci, pindahkan spora yang menempel ke dalam cawan petri.

Spora yang telah dipindahkan ke dalam cawan petri dapat dilihat di bawah mikroskop untuk dihitung jumlah sporanya.

C.3. Metode Analisis Mikoriza Pada Akar

Akar-akar yang diambil dari lapang diamati infeksi mikorizanya dengan metode Phyllip and Hayman (1970). Agar akar dapat diamati untuk menganalisis infeksi mikoriza, maka diperlukan beberapa perlakuan terhadap akar berupa pembersihan dan pewarnaan sehingga dapat dilihat melalui mikroskop untuk menentukan bentuk infeksinya. Tahapan perlakuan tersebut yaitu:

¾ Akar yang diambil yaitu akar serabut dengan cara dipotong dan diambil pada bagian samping kanan, samping kiri, samping utara dan samping barat dari batang pokok.

¾ Akar kemudian dibilas dengan air kemudian dimasukan pada tabung foto dan direndam dengan alkohol 70 %.

¾ Akar dibilas dengan air hingga bersih sampai alkoholnya hilang. ¾ Akar direndam dengan larutan KOH 2,5 % selama 24 jam. ¾ Akar dibilas dengan air bersih agar larutan KOH-nya hilang. ¾ Akar direndam dengan larutan HCl 2 % selama 24 jam.


(30)

¾ Akar dibilas dengan air bersih agar larutan HCl-nya hilang.

¾ Akar direndam dengan larutan staining blue selama 24 jam sampai akar berwarna biru.

¾ Larutan staining di buang dan diganti dengan larutan destaining selama 24 jam sampai warna akar tidak biru pekat lagi.

C.4. Kultur Spora

Percobaan kedua meliputi kultur spora berupa penanaman pada media tanah contoh dengan menggunakan tanaman sorgum. Penyediaan tanaman sorgum dilakukan dengan menanam benih yang telah direndam air terlebih dahulu. Benih kemudian ditumbuhkan dalam bak tanam dengan media zeolit selama 2 minggu. Tanaman sorgum kemudian dipindahkan ke dalam gelas aqua, dan ditumbuhkan menggunakan media tanah sisa pada percobaan pertama dan dicampur zeolit. Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan penyiraman setiap hari. Untuk kebutuhan nutrisinya dilakukan pemupukan menggunakan hyponex. Pemberian hyponex dilakukan seminggu satu kali dengan dosis 1 gram untuk pengenceran 1 liter air dan masing-masing gelas diberikan 25 ml.

C.5. Identifikasi Spora Mikoriza

Spora yang didapat dari contoh tanah yang diambil, kemudian diidentifikasi jenisnya dengan menggunakan metode Scenck dan Perez (1990). D. Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah:

1. Komposisi vegetasi

Nilai kualitatif dari kondisi vegetasi yang ditemukan pada tempat yang diteliti.

2. Keragaman spora

Nilai kualitatif dan kuantitatif dari spora CMA yang di dapat dari hasil penyaringan tanah pada tempat penelitian. Identifikasi spora berupa penentuan jenis spora berdasarkan ciri fisik yang diamati menggunakan berbagai literatur. 3. Infeksi akar


(31)

Akar yang terinfeksi ditunjukan dengan adanya hifa, vesikel dan atau arbuskula. Struktur tersebut bisa terdapat dalam suatu akar, tetapi bisa juga salah satu atau dua struktur saja.

E. Analisis Data E.1. Vegetasi

Pada vegetasi bawah yang diamati dilakukan analisis data berupa perhitungan data kualitatifnya sebagai berikut (Soerianegara dan Indrawan, 1988):

• Kerapatan (K)

contoh luas individu dari jumlah =

• Kerapatan Relatif (KR) x100% spesies seluruh kerapatan spesies suatu kerapatan =

• Frekuensi (F) x100%

petak seluruh jumlah spesies ya ditemukann petak jumlah =

• Frekuensi Relati (FR) x100% spesies seluruh frekuensi spesies suatu frekuensi =

• Dominansi (D) x100%

petak seluruh jumlah spesies ya ditemukann petak jumlah =

• Dominansi Relati (FR) x100%

spesies seluruh frekuensi spesies suatu frekuensi =

• Indeks Nilai Penting (INP) = Kerapatan Relatif (KR) + Frekuensi Relatif (FR) + Dominansi Relatif (DR)

E.2. Spora Mikoriza

Dihitung berdasarkan rumus (Shi et. al, 2004) : Kepadatan Spora = Jumlah Spora/ 50 gram


(32)

• Kelimpahan Relatif x100% spora

total

genus Jumlah =

• Frekuensi x100%

sampel Total

spora ditemukan sampel

Jumlah

= E.3. Infeksi Mikoriza

Perhitungan persentase infeksi akar dilakukan dengan meletakan 10 potongan akar dengan panjang masing-masing 1 cm pada kaca objek dan ditutup dengan gelas penutup, kemudian diamati di bawah mikroskop. Perhitungan infeksi akar dapat menggunakan rumus (Giovannety dan Mosse, 1980) :

% infeksi = jumlah akar yang terinfeksi x 100 % Jumlah contoh akar


(33)

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas

Secara administratif pemerintahan, kawasan cagar alam dan taman wisata kamojang terletak di 2 kabupaten yaitu sebagian berada di kabupaten Garut dan sebagian lagi berada di kabupaten Bandung provinsi Jawa Barat.

Menurut geografis terletak antara 0o53’11’’sampai1050’02’’BT dan antara 7o06’57’’ samapai 7o00’12’’ LS dengan batas-batas sebagai berikut:

ƒ Sebelah utara: Kecamatan Paseh dan Ibun, Kabupaten Bandung ƒ Timur Kecamatan Leles dan Tarogong, Kabupaten Garut ƒ Selatan: Kecamatan Samarang Kabupaten Garut

ƒ Barat: Kecamatan Pacet kabupaten Bandung

Sedangkan letak menurut administrasi pengelolaan termauk kedalam wilayah kerja resort Kamojang barat dan Kamojang Timur. Kesatuan kerja Papandayan dan sekitarnya. Seksi konservasi wilayah II Garut, Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat II.

Kawasan hutan kawah Kamojang ditetapkan sebagai Cagar Alam/ Taman Wisata Alam dengan surat keputusan menteri Kehutanan 110/KPTS/II/1990 Tanggal 14 maret 1990 dengan luas 8284 ha dengan rincian sebagai berikut:

ƒ Luas cagar alam : 7.805 ha ƒ Luas Taman wisata Alam: 479 ha

Selanjutnya berdasarkan keputusan menteri kehutanan dan Perkebunan Nomor: 274/Kpts-II/1999 terdapat perubahan luas cagar alam kawah kamojang dari 7.805 ha menjadi:

ƒ Luas cagar alam: 7.536 ha

ƒ Luas TWA Gunung Guntur : 250 ha ƒ Luas hutan lindung : 500 ha

Kemudian ada tambahan luas dari lahan kompensasi yang diserahkan Pertamina unit eksplorasi dan produksi II Cirebon seluas : 12,196 ha yang berhimpit dengan Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi di desa Patrol Kecamatan Paseh Kabupaten Bandung.


(34)

B. Iklim

Keadaan iklim di Cagar Alam Kamojang menurut peta pembagian iklim Shcmidt dan Ferguson termasuk ke dalam type iklim B dengan nilai Q antara: 14,3 – 33,3 % serta memiliki curah hujan pertahunnya antara 2000 – 2500 mm

Temperatur udara minimum di kawasan ini mencapai: 15 oC, temperatur maksimum mencapai sebesar: 25 oC, sedangkan temperatur rata-rata adalah : 18 – 20 oC dengan kelembaban udara: 30 – 70 %.


(35)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Status Vegetasi Pada Hutan Sub Pegunungan

Masyarakat tumbuh-tumbuhan dalam arti luas disebut vegetasi. Untuk mengetahui status vegetasi yang ada pada hutan sub pegunungan maka dilakukan analisis vegetasi. Dalam penelitian ini analisis vegetasi yang dilakukan pada hutan sub pegunungan meliputi data-data kerapatan (K), kerapatan relatif (KR), frekuensi (F), frekuensi relatif (FR) dan indeks nilai penting (INP). Analisis vegetasi yang dilakukan yaitu pada vegetasi tumbuhan bawah, semai, pancang, tiang dan pohon.

Tumbuhan bawah merupakan vegetasi dasar yang secara alami tumbuh di bawah tegakan pohon atau lantai hutan selain anakan pohon yaitu meliputi semak kecil, herba, rumput, paku-pakuan, alang-alang, tumbuhan merambat di atas permukaan tanah dan tumbuhan herba lainnya. Pada tumbuhan bawah terdapat 13 jenis tumbuhan bawah diantaranya yaitu Panicum palmifolium, Pilea trinervia,. Toddalia aculenta, Polanisia viscose, Asplenium adiatoides, Impomoea pescaprae, Eupatorium riparium, Sariuh, Commelina benghalensis, Eupatorium inulifolium, Derris scandens, Costus sp, Polygonum chinense. Pada tumbuhan bawah didominasi oleh jenis Toddalia aculenta dengan nilai Kerapatan (K) sebesar 42250 ind/ha, Frekuensi (F) sebesar 1 dan INP sebesar 82.24 %. Sedangkan tumbuhan bawah yang paling jarang ditemui yaitu jenis Costus sp dengan nilai Kerapatan (K) sebesar 250 ind/ha, Frekuensi (F) sebesar 0.1, INP sebesar 2.62 % dan jenis Polygonum chinense dengan nilai Kerapatan (K) sebesar 250 ind/ha, Frekuensi sebesar 0.1 dan INP sebesar 2.62 %.

Untuk tingkat semai ada 9 jenis tanaman diantaranya yaitu Schefflera aromatic Harms, Ficus lepicarpa, Hypobatrum fructescens BL, Laportea stimulans, Eugenia polyanthum, Macropanas sp, Litsea sp, Engelhardia serata, Xanthopyllum lanceatum. Pada tingkat semai didominasi oleh jenis Ficus lepicarpa dengan nilai Kerapatan (K) sebesar 7250 ind/ha, Frekuensi (F) sebesar 0.8 dan INP sebesar 70.15 %. Sedangkan jenis semai yang paling jarang ditemui yaitu jenis Macropanas sp dengan nilai Kerapatan (K) sebesar 250 ind/ha, Frekuensi (F) sebesar 0.1, INP sebesar 5.57 % dan jenis Xanthopyllum lanceatum


(36)

dengan nilai Kerapatan (K) sebesar 250 ind/ha, Frekuensi sebesar 0.1 dan INP sebesar 5.57 %.

Pada tingkat pancang terdapat 10 jenis tanaman diantaranya yaitu. Schefflera aromatic Harms, Litsea sp, Ficus fistulosa Reinw, Eugenia polyanthum, Kicareh, Quercus sundaica, Macropanas sp, Schima wallichii, Macaranga semiglobosa, Alstonia angustiluba. Pada tingkat pancang didominasi oleh jenis Ficus fistulosa Reinw dengan nilai Kerapatan (K) sebesar 680 ind/ha, Frekuensi (F) sebesar 0.6 dan INP sebesar 52.91 %. Sedangkan jenis pancang yang paling jarang ditemui yaitu jenis Kicareh, Quercus sundaica, Macaranga semiglobosa, Alstonia angustiluba dengan nilai Kerapatan (K) sebesar 40 ind/ha, Frekuensi (F) sebesar 0.1 dan INP sebesar 5.6 %.

Pada tingkat tiang terdapat 7 jenis tanaman diantaranya yaitu Eugenia polyanthum, Sauruja pendula, Ficus fistulosa Reinw, Xanthopyllum lanceatum, Sloanea tiqum, Kicareh, Laportea stimulans. Pada tingkat tiang didominasi oleh jenis Eugenia polyanthum dengan nilai Kerapatan (K) sebesar 60 ind/ha, Frekuensi (F) sebesar 0.4 dan INP sebesar 109.13 %. Sedangkan jenis tiang yang paling jarang ditemui yaitu jenis Sloanea tiqum dengan nilai Kerapatan (K) sebesar 10 ind/ha, Frekuensi (F) sebesar 0.1 dan INP sebesar 18.59 %.

Pada tingkat pohon terdapat 11 jenis tanaman diantaranya yaitu Neonauclea lanceolata Merrill,. Macropanas sp,Sloanea tiqum, Sauruja pendula, Quercus sundaica,Eugenia polyanthum, Ficus fistulosa Reinw, Cloaxyloan polot Merr, Litsea sp, Macaranga semiglobosa, Engelhardia serata. Pada tingkat pohon didominasi oleh jenis Sloanea tiqum dengan nilai Kerapatan (K) sebesar 25 ind/ha, Frekuensi (F) sebesar 0.8 dan INP sebesar 95.06 %. Sedangkan jenis pohon yang paling jarang ditemui yaitu jenis Ficus fistulosa Reinw dengan nilai Kerapatan (K) sebesar 2.5 ind/ha, Frekuensi (F) sebesar 0.1 dan INP sebesar 7.75 %.

Keadaan Hutan Sub Pegunungan Kamojang, dapat dikatakan sudah tidak normal lagi karena ada beberapa jenis pohon yang tidak ditemukan anakannya pada tingkat semai, pancang dan tiang. Hal ini disebabkan karena di Hutan Sub Pegunungan sudah terjadi perambahan hutan oleh warga sekitar hutan tersebut.


(37)

B. Status CMA Pada Hutan Sub Pegunungan

Hasil pengamatan infeksi CMA pada akar tumbuhan bawah dan semai yang berasal dari Hutan Sub Pegunungan di Kamojang diperoleh jumlah presentasi infeksi akar yang berbeda tiap jenisnya seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Infeksi CMA Pada Akar di Alam

No Nama Jenis Infeksi akar (%)

1 Oplismenus compositus 16.67

2 Ficus sinuata 30

3 Elatostema macrophyllum 0

4 Elatostema sp1 0

5 Eupatorium riparium 10

6 Villebrunea rubescens x

7 Alternarthera sp1 0

8 Syzygium jamboloides x

9 Alternarthera sp2 6.67

10 Syzygium sp 0

11 Elatostema sp2 0

12 Elatostema parvum 0

13 Sp1 x

14 Sp2 10

15 Sp3 40

16 Sp4 x

Ket : x = infeksinya tidak terditeksi

Sp = Spesies yang tidak diketahui nama ilmiahnya

Pada Tabel 1, dapat dilihat bahwa persentase infeksi akar yang terjadi pada tiap jenis tanaman di alam sangat bervariasi. Persentase infeksi akar yang tertinggi terdapat pada jenis Sp3 dengan nilai persentase sebesar 40 %. Ada beberapa jenis yang memiliki nilai infeksi 0 %. Pada jenis Villebrunea rubescens, Syzygium jamboloides, Sp1, Sp4 infeksi mikoriza tidak terdeteksi karena terhalang oleh lignin.

Intensitas infeksi Cendawan Mikoriza Arbuskula dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, meliputi pemupukan dan nutrisi tanaman, pestisida, intensitas cahaya, musim, kelembaban tanah, pH, kepadatan inokulum dan tingkat kerentanan tanaman. Tanah yang mengandung unsur posfat yang banyak sering dihubungkan dengan menurunya infeksi CMA. Namun demikian tidak ada penyamarataan penyebaran yang luas untuk kondisi lapangan tertentu, karena pada beberapa lokasi penelitian hasilnya tidak sama, dalam hal ini infeksi CMA


(38)

disebabkan oleh kesuburan tanah yang berbeda-beda untuk setiap lokasi pengambilan sampel.

Suhu dan kelembaban merupakan unsur iklim yang sangat mempengaruhi proses infeksi CMA. Suhu tanah 25 0C - 30 0C merupakan suhu optimum untuk perkembangan dan keefektifan CMA. Suhu pada Hutan Sub Pegunungan sekitar 19 0C, sehingga dengan kondisi suhu yang berada di bawah suhu optimum menyebabkan niali infeksinya rendah. Seperti terlihat pada tabel 1, nilai infeksi akar yang diperoleh dari Hutan Sub Pegunungan memiliki nilai infeksi akar yang rendah.

Cendawan mikoriza bersifat aerobik atau membutuhkan oksigen yang cukup. Kekurangan okisgen menghambat perkembangan baik tumbuhan maupun simbiosis mikorizanya. Pada Hutan Sub Pegunungan, intensitas cahaya matahari yang sampai ke lantai hutan rendah, hal ini dipengaruhi oleh adanya kerapatan tajuk. Kondisi seperti ini menyebabkan kelembabannya cukup tinggi dan suplay oksigen di dalam tanah rendah. Sehingga menyebabkan infeksi mikorizanya rendah.

C.Status Spora CMA

Hasil pengamatan status spora di Hutan Sub Pegunungan Kamojang meliputi kepadatan spora, kekayaan spora dan kelimpahan relatif.

1) Kepadatan spora

Kepadatan spora merupakan jumlah spora yang dijumpai pada saat pengamatan. Kepadatan spora pada setiap plot disajikan pada Gambar 1

29

10 0

5 17

0

10 14 12

38

4 2 7 3 2 5

0 10 20 30 40

1 2 3 4 5 6 7 8

plot

indi

v

idu s

por

a

0-10 cm 10-20 cm


(39)

Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa pada kedalaman 0-10 cm jumlah spora terbanyak terdapat pada plot 1 yaitu sebanyak 29, sedangkan pada kedalaman 10-20 cm jumlah spora terbanyak terdapat pada plot 2 yaitu sebanyak 38. Hal ini menunjukan bahwa pada plot 2 sangat mendukung untuk tumbuhnya spora.

Pada penelitian ini, jumlah spora yang ditemukan pada setiap plotnya berbeda-beda jumlahnya. Jumlah spora yang didapat, diperoleh dari contoh tanah yang diambil dari lapangan sebanyak 40 gram tiap sub plotnya dengan menggunakan metode tuang basah. Jumlah spora dapat dihubungkan dengan jumlah infeksi akar. Pada umumnya pada waktu spora membentuk miselium di sekeliling akar yang menghambat perkembangan miselium bagian luar atau pertumbuhan akar dihambat oleh miskinnya suplai unsur hara. Spora lebih banyak pada tingkat posfat sedang daripada tingkat posfat rendah, jika kekurangan posfat akan membatasi pertumbuhan dan mempengaruhi keseluruhannya. Faktor kesuburan tanah sangat mempengaruhi jumlah spora.

Selain itu, menurut Gunawan (1993), persentase infeksi pada akar dan produksi spora oleh CMA dipengaruhi oleh spesies CMA itu sendiri, lingkungan dan tanaman inangnya, sehingga baik jumlah spora maupun persentase infeksi akar tidak dipengaruhi oleh satu faktor saja, melainkan akumulasi dari berbagai faktor yang dapat mempengaruhinya.

Jumlah spora juga sangat dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban. Semakin tinggi suatu daerah, maka suhunya akan semakin rendah. Suhu yang rendah dapat berpengaruh negatif terhadap tanaman. Diantaranya yaitu dapat menurunkan laju fotosintesis dan dapat mengurangi serapan unsur hara. Kelembaban yang tinggi menandakan kandungan air yang tinggi dan suhu yang rendah pada suatu lahan hutan, akibatnya unsur hara akan semakin rendah akibat proses pencucian pada lahan tersebut.

Pada kondisi seperti ini, beberapa vegetasi akan mengalami kesulitan dalam proses pertumbuhan dan menyerap beberapa unsur hara. Sebagai salah satu solusinya vegetasi tersebut akan lebih meningkatkan simbiosisnya terhadap mikoriza untuk membantu dalam penyerapan unsur hara. Dan mikoriza itu sendiri apabila mengalami tekanan pada lingkungannya, maka akan cenderung membentuk alat reproduksi (spora) lebih banyak.


(40)

Di dalam tanah, CMA pada umumnya berbentuk spora dalam keadaan istirahat (dorman) baik tunggal maupun dalam bentuk sporocarp. Dalam penelitian ini spora CMA yang ditemukan pada umumnya berbentuk tungggal, artinya spora CMA ditemukan dalam bentuk bulat utuh. Namun diantara spora-spora tersebut tidak semua ditemukan dalam bentuk utuh lengkap tapi ada beberapa spora yang mengalami kerusakan.

2) Kekayaan Spora

Kekayaan Spora merupakan kekayaan jenis spora pada suatu lokasi pengamatan yang merupakan hasil identifikasi sampai pada tingkat genus. Genus spora CMA yang ditemukan dalam di lokasi penelitian adalah genus Glomus dan Acaulospora.

Tabel 2. Data Nilai Kualitatif Spora Di Alam

Plot Jenis

Tanaman

Kedalaman (cm)

Kepadatan Spora

Kekayaan Spora

1 Ficus sinuata 0 - 10 29 1

10 - 20 12 1

2 Eupatorium riparum 0 - 10 10 1

10 - 20 38 2

3 Elastosema parvum 0 - 10 0 0

10 - 20 4 1

4 Oplismenus compositus 0 - 10 5 1

10 - 20 2 1

5 Sp2 0 - 10 17 1

10 - 20 7 1

6 Sp1 0 - 10 0 0

10 - 20 3 1

7 Alternarthera sp 0 - 10 10 1

10 - 20 2 1

8 Syzygium jamboloides 0 - 10 14 1

10 - 20 5 1

Dari data di atas dapat diketahui bahwa jumlah Kekayaan Spora terbanyak terdapat pada tanaman Eupatorium riparum pada kedalaman 10 - 20 sebanyak 2. sedangkan jumlah Kekayaan Spora paling sedikit yaitu terdapat pada tanaman Elastosema parvum dan Sp1 pada kedalaman 0 – 10 yaitu sebanyak 0. Adanya perbedaan jumlah kekayaan spora ini diduga karena adanya perbedaan jenis vegetasi yang berasosiasi dengan jenis spora disamping faktor lingkungan yang


(41)

berperan didalamnya, seperti pangaruh suhu, ketinggian, kedalaman dan kelembaban.

Sampai saat ini hanya ada 6 genus cendawan yang diketahui menghasilkan CMA dengan tanaman. Dua genus yaitu Glomus dan Sclerocystis menghasilkan Chlaydospora dan empat genus yaitu, Gigaspora, Scutellaspora, Acaulospora dan Entrophospora menghasilkan Azygospora (Setiadi, 1992).

Hasil identifikasi spora berdasarkan kedalaman disajikan pada Gambar 2

67

54

0 1

0 20 40 60 80

0-10cm 10-20cm kedalaman

indi

v

idu

s

p

or

a

glomus acaulospora

Gambar 2. Sebaran Genus Spora CMA Berdasarkan Kedalaman

Dari Gambar 2 dapat diketahui bahwa pada kedalaman 0 – 10 cm jumlah Glomus adalah 67, sedangkan pada kedalaman 10 – 20 cm jumlah Glomus hanya 54. Untuk Acaulospora, pada kedalaman 0 – 10 cm jumlahnya 0, sedangkan pada kedalaman 10 – 20 cm jumlah Acaulospora adalah 1. Dari gambar dapat dilihat perbedaannya, bahwa jumlah Glomus jauh lebih banyak daripada jumlah Acaulospora.

Pada penelitian ini genus Glomus memiliki populasi terbesar dan penyebaran yang paling luas, hampir di setiap plot ditemukan Glomus. Jumlah populasi yang tinggi ini disebabkan karena genus Glomus merupakan genus yang mempunyai jenis paling banyak yaitu 70 jenis yang kemudian diikuti oleh genus Acaulospora sebanyak 22 jenis, Sclerocystis 9jenis, Gigaspora 6 jenis dan Entrospora sebanyak 3 jenis (Shenck dan Peres, 1990 dalam Irmawati, 2001). Selain itu dominannya genus Glomus ini juga diperkirakan karena kemampuan


(42)

Glomus untuk dapat tumbuh pada kisaran lingkungan yang lebih luas dibandingkan dengan genus lainnya.

Karakteristik-karakteristik yang khas untuk masing-masing genus yang ditemukan :

1.Glomus

Hifanya relatif lurus dan bercabang sepanjang lapisan korteks akar, staining hifanya relative susah, bentuk vesikelnya oval, selalu terbentuk diantara sel korteks, vesikel ini berada di dalam akar dan sering berkembang membengkak atau dinding sporanya berlapis-lapis.

2 Acaulospora

Hifa yang di dalam sel korteks mempunyai karakteristik yang teratur, sedang hifa yang di luar sel korteks umumnya mempunyai percabangan yang tidak teratur dan lebih berliku-liku dibandingkan dengan Glomus, internal hifanya mempunyai dinding yang tipis sehingga susah untuk melihatnya, vesikel diisi oleh lapisan minyak intraseluler, bentuknya persegi panjang tapi bentuknya sering menjadi tidak teraturapbila vesikel ini mengadakan ekspansi yang terdekat dan vesikelnya mempunyai dinding yang tipis.

Selain dari data kepadatan spora dan kekayaan spora terdapat pula data kelimpahan relatif yang merupakan salah satu penentu dari penilaian kualitatif spora. Kelimpahan relatif ialah jumlah genus yang terdapat pada lokasi pengamatan dibagi dengan total spora yang ada pada lokasi pengamatan dengan dikali 100 %. Data ini menunjukan besarnya kelimpahan suatu jenis spora dalm suatu lokasi pengamatan.

Tabel 3. Data Nilai Kualitatif Kelimpahan Relatif

Genus Jumlah individu Kelimpahan Relatif (%)

Glomus 121 99.18

Acaulospora 1 0.82

Dari Tabel 3 di atas dapat diketahui bahwa jumlah Glomus sebanyak 121, sedangkan jumlah Aculospora sebanyak 1. Untuk nilai kelimpahan relatif, pada Glomus yaitu sebesar 99.18 %, sedangkan untuk Acaulospora hanya 0.82 %.


(43)

Dari data di atas dapat diketahui bahwa genus Glomus dapat tumbuh dengan baik pada Hutan Sub Pegunungan. Hal ini disebabkan karena genus Glomus selain penyebarannya sangat luas juga genus ini memiliki kesesuaian yang optimal terhadap faktor lingkungan yang ada di Hutan Sub Pegunungan Kamojang.

Selain data-data diatas terdapat data yang menggambarkan penyebaran dari suatu jenis spora yaitu frekuensi. Frekuensi pada spora yang diamati disajikan pada Gambar 3.

100

5 0

20 40 60 80 100 120

glomus acaulospora genus spora

fr

e

k

ue

ns

i

Gambar 3. Histogram Frekuensi Sebaran Genus Spora di Alam Dari Gambar 3 di atas, dapat diketahui bahwa genus Glomus memiliki frekuensi paling besar dengan nilai 100 %. Hal tersebut menjelaskan bahwa genus tersebut terdapat dan menyebar di setiap lokasi pengamatan (sub-plot). Pada genus Acaulospora memiliki nilai frekuensi sebesar 5 % yang berarti keberadaan penyebarannya hanya 5 % dari seluruh lokasi pengamatan (sub-plot) yang ada. Dari data di atas dapat diketahui bahwa sebaran genus yang mendominasi pada Hutan Sub Pegunungan yaitu genus Glomus. Hal ini disebabkan karena genus Glomus merupakan genus yang mempunyai jenis paling banyak dan juga diperkirakan karena kemampuan Glomus untuk dapat tumbuh pada kisaran lingkungan yang lebih luas dibandingkan dengan genus lainnya.

D.Kultur CMA

Hasil pengamatan infeksi akar pada tanaman sorgum setelah 3 bulan kultur disajikan pada Gambar 4.


(44)

75 75 80 65

95 75

60 55

0 20 40 60 80 100

1 2 3 4 5 6 7 8

plot

pe

rs

e

n (

%

)

Gambar 4. Histogram Infeksi Akar Setelah Perbanyakan

Gambar 4 merupakan histogram persentase infeksi akar setelah perbanyakan. Tanaman inang yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman sorgum. Adapun alasan kenapa digunakan tanaman sorgum sebagai tanaman inang yaitu karena tanaman sorgum dapat memperbanyak jumlah dan persentase infeksi CMA pada akar.

Dari Gambar 4 dapat diketahui bahwa perserntase rata-rata infeksi akar terbesar yaitu terdapat pada plot 5 dengan nilai persentase sebesar 95 %. Sedangkan nilai persentase rata-rata infeksi akar terendah terdapat pada plot 8 dengan nilai persentase sebesar 55 %.

Pada Gambar 4 menunjukan bahwa semua akar yang diamati dari hasil inokulasi telah terinfeksi oleh Cendawan Mikoriza Arbuskula. Hal ini diketahui dari adanya penetrasi hifa Cendawan Mikoriza Arbuskula pada akar yang diteliti. Selain adanya hifa ditemukan juga arbuskula dan vesikula.

Struktur umum dari CMA terdiri dari dua organ yang terdapat di dalam jaringan akar yang terinfeksi yaitu vesikula dan arbuskula. Vesikula adalah struktur yang menggelembung yang dibentuk pada hifa utama berfungsi sebagai organ simpan. Struktur ini mengandung minyak kadang-kadang berupa satu globul tunggal pada akar yang tua juga berfungsi sebagai spora istirahat. Sedangkan arbuskular berperan sebagai pemindah unsur hara (Hudson, 1986 dalam Sukito, 2003).

Dijelaskan oleh Setiadi (1998), simbiosis yang terjadi antar CMA dengan tanaman adalah saling menguntungkan. Cendawan memperoleh karbohidrat dari


(45)

tanaman inang dengan cara membantu meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan tanaman akan tahan terhadap serangan patogen. Peningkatan penyerapan unsur hara oleh mikoriza dimungkinkan karena akar yang bermikoriza memiliki hifa yang berasal dari cendawan pembentuk mikoriza.

Akar yang terinfeksi oleh Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) ini umumnya pada akar muda atau rambut akar. Rambut akar atau bulu-bulu akar merupakan struktur yang membantu dalam kegiatan absorpsi dengan meningkatkan pertumbuhan akar dan meningkatkan hubungan dengan partikel-partikel tanah. Tumbuhan dapat menyerap air melalui rambut akar. Air dan mineral diserap oleh akar-akar muda melalui sel epidermis yang terletak diantara rambut-rambut akar dan bagian akar diantara ujung akar dan daerah rambut akar, dimana CMA melakukan infeksi disekitarnya.

Infeksi mikoriza pada tanaman dapat meningkatkan translokasi hara ke bagian atas tanaman, sehingga terjadi peningkatan laju fotosintesis dan penggunaan asimilat dalam tajuk serta peningkatan suplay fotosintat dari daun ke akar. Pembentukan mikoriza dimungkinkan karena adanya eksudat akar yang merangsang pertumbuhan CMA. Peningkatan kecepatan fotosintesis juga akan meningkatkan kandungan dankelebihan karbohidrat, yang disebarkan ke perakaran tanaman, selanjutnya meningkatkan infeksi CMA pada akar tanaman.

Terdapat dua pola interaksi yang dilakukan oleh cendawan pada akar inang yakni pola infeksi primer dan pola infeksi sekunder. Infeksi primer akan muncul pada anakan yang baru ditulari. Pada saat daun pertama muncul, hifa akan terbentuk pada induk akar dan pada saat ini belum terjdi penetrasi interseluler. Penetrasi interseluler dan hartig net akan terbentuk pada saat protoxylem muncul di dalam xylem. Infeksi sekunder akan terjadi pada akar yang baru tumbuh atau pada jaringan yang lebih tua tetapi belum suberisasi, hal ini terus menjadi bersamaan dengan pertumbuhan pohon (Setiadi, 1988).

Di samping infeksi akar, dijumpai juga miselium yang berkembang namun belum dijumpai adanya spora, dengan demikian maka ada potensi pemanfaatan CMA untuk agen biologi.


(46)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:

1. Terdapat jenis yang ditemukan pada tingkat semai, pancang, tiang dan pohon yaitu jenis Eugenia polyanthum.

2. Terdapat 6 jenis tumbuhan bawah dan semai yang bermikoriza yang ditemukan di Hutan Sub Pegunungan Kamojang diantaranya yaitu : Oplismenus compositus, Ficus sinuate, Eupatorium riparium, Alternarthera sp2, Sp2, Sp3.

3. Terdapat 2 jenis genus spora CMA yang ditemukan. Genus yang paling banyak ditemukan ialah Glomus dan yang paling sedikit ialah Acaulospora. 4. Cendawan endomikoriza dari hutan sub pegunungan Kamojang dapat diisolasi

dan diinokulasi dengan menghasilkan jumlah infeksi akar yang lebih banyak sehingga diharapkan dapat digunakan sebagai sumber potensi inokulum.

B. Saran

Perlu dilakukan pengujian lebih lanjut mengenai efektifitas CMA terhadap pertumbuhan tanaman sebagai alternatif penggunaan CMA untuk pupuk biologi.


(47)

IV. DAFTAR PUSTAKA

Asriyal. 2001. Isolasi dan Seleksi Cendawan Endomikoriza serta Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Sorgum. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor

Departemen Kehutanan. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta

Fakuara, Y. 1988. Mikoriza, Teori dan Kegunaannya dalam Praktek. Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor Bekerjasama Dengan Lembaga Swadaya Informasi IPB. Bogor

Gerdermann, JW and TH, Nicholson 1963. Spores of Mychorrizal Endogone Species Extracted from Soil by Wet Sieving and Decanting. Trans. Brit. Mycol. Soc. 426(2): 235-244

Giovannety and B Mosse. 1980. Host-Fungus Specificity, Recognition and Compatibility in Mycorrhizae, Station d’ Amelioration Des Plantes. INRA. France

Gunawan, A.W. 1993. Bahan Pengajaran Mikoriza Arbuskula. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Hadi, S. 2001. Patologi Hutan Perkembangannya di Indonesia. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Hermayadi. 2005. Perbanyakan Dan Aplikasi Mikoriza Pada Kegiatan Agroforestry Di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi – Jawa Barat. Program Diploma III Budidaya Hutan Tanaman. Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor (Tidak Dipublikasikan)

Imas, T dan Y, Setiadi. 1988. Mikrobiologi Tanah. Pusat Antar Universitas, Studi Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. Bogor

Kusmana, C dan Istomo. 1995. Ekologi Hutan. Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor

Manan, S. 1993. Silvikultur. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Musnawar, IE. 2004. Pupuk Organik. Penebar Swadaya. Jakarta

Phyllip, JM and DS, Hayman 1970. Improved Procedures for Clearing Roots Staining Parasitics and VAM Fungi for Rapid Accesment of Infection. Trans. Brit. Mycol. Soc. 46(2): 235-244


(48)

Richards, PW. 1964. The Tropical Rain Forest. Cambridge

Schenck, NC and Perez. 1990. Manual For The Identification of VA Mycorrhizal Fungi. Synergistic Publication Gainesville. Florida USA

Setiadi, Y. 1989a. Pemanfaatan Mikroorganisme Dalam Kehutanan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Setiadi, et.al. 1989b. Mikrobiologi Tanah II. Pusat Antar Universitas, Studi Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. Bogor

Setiadi, YI, Mansur, SW, Budi, Achmad. 1992. Mikrobiologi Tanah Hutan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Shi, et. al. 2004. Arbuscular Mycorrhizal Fungi Associated With the Meliace on Hainan Island, China. College of Resources and Environmental Science. China Agricultural University. China

Soerianegara, Ishemat. 1976. Ekologi Hutan. Pusat Pendidikan Kehutanan Cepu Direksi Perum Perhutani. Cepu.

Soerianegara, I dan A, Indrawan. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sukito, A. 2003. Status Rizobium dan Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) pada Kedawung (Parkia timoriana (DC.) Merr.) di Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor


(49)

Lampiran 1. Tabel Persentase Infeksi Akar

jalur plot

persentase infeksi pada

tanaman persen

rata2

T1 T2 T3 T4 T5 T6

2 1 10 x 20 x 15

2 2 0 x 0 0 0

2 3 0 20 0 6.67

2 4 40 40 0 10 x x 22.5

2 5 x 20 40 0 20

2 6 40 30 x 35

2 7 x 30 x 30

2 8 0 x 0 0

Lampiran 2. Table Persentase Infeksi Akar Setelah Perbanyakan jalur plot kedalaman %

infeksi Rata2

2 1 0-10 50

75

2 1 10-20 100

2 2 0-10 100

75

2 2 10-20 50

2 3 0-10 60

80

2 3 10-20 100

2 4 0-10 40

65

2 4 10-20 90

2 5 0-10 100

95

2 5 10-20 90

2 6 0-10 100

75

2 6 10-20 50

2 7 0-10 40

60

2 7 10-20 80

2 8 0-10 100

55


(50)

Lampiran 3. Table Jumlah Spora

jalur plot kedalaman jumlah Rata-rata

2 1 0 - 10 23

16

2 1 10 - 20 9

2 2 0 - 10 8

19

2 2 10 - 20 30

2 3 0 - 10 0

2

2 3 10 - 20 3

2 4 0 - 10 4

3

2 4 10 - 20 1

2 5 0 - 10 13

9

2 5 10 - 20 5

2 6 0 - 10 0

1

2 6 10 - 20 2

2 7 0 - 10 8

5

2 7 10 - 20 1

2 8 0 - 10 11

8

2 8 10 - 20 4

Lampiran 4. Tabel Sebaran Jumlah Genus Spora CMA plot sub plot Glomus Acaulospora

1 0 - 10 23 0

1 10 - 20 9 0

2 0 - 10 8 0

2 10 - 20 29 1

3 0 - 10 0 0

3 10 - 20 3 0

4 0 - 10 4 0

4 10 - 20 1 0

5 0 - 10 13 0

5 10 - 20 5 0

6 0 - 10 0 0

6 10 - 20 2 0

7 0 - 10 8 0

7 10 - 20 1 0

8 0 - 10 11 0


(51)

Lampiran 5. Tabel Data Nilai Kualitatif Spora Di Alam Plot Kedalaman (cm) Spore Richner Relatif Abundance

1 0 - 10 1 0.63

1 10 - 20 1 0.63

2 0 - 10 1 0.63

2 10 - 20 2 1.27

3 0 - 10 0 0

3 10 - 20 1 0.63

4 0 - 10 1 0.63

4 10 - 20 1 0.63

5 0 - 10 1 0.63

5 10 - 20 1 0.63

6 0 - 10 0 0

6 10 - 20 1 0.63

7 0 - 10 1 0.63

7 10 - 20 1 0.63

8 0 - 10 1 0.63

8 10 - 20 1 0.63

Lampiran 6. Tabel Frekuensi Sebaran Genus Spora Di Alam

Genus Frekuensi (%)

Glomus 100

Acaulospora 5

Lampiran 7. Tabel Data Nilai Kuantitatif Vegetasi Pada Tingkat Tumbuhan Bawah

Nama Jenis K

(Ind/ha) KR (%) F FR (%) INP (%)

Panicum palmifolium 500 0.70 0.1 2.27 2.97

Pilea trinervia 3000 4.22 0.3 6.82 11.04

Toddalia aculenta 42250 59.51 1 22.73 82.24

Polanisia viscosa 11500 16.2 0.7 15.91 32.11

Asplenium adiatoides 1750 2.46 0.4 9,09 11.55

Impomoea pescaprae 500 0.7 0.1 2.27 2.97

Eupatorium riparium 4000 5.63 0.4 9.09 14.72

Sariuh 750 1.06 0.2 4.55 5.61

Commelina benghalensis 1750 2.46 0.3 6.82 9.28

Eupatorium inulifolium 3500 4.93 0.5 11.36 16.29

Derris scandens 1000 1.41 0.2 4.55 5.96

Costus sp. 250 0.35 0.1 2.27 2.62


(1)

Lampiran 5. Tabel Data Nilai Kualitatif Spora Di Alam

Plot

Kedalaman (cm)

Spore Richner

Relatif Abundance

1 0 - 10 1 0.63

1 10 - 20 1 0.63

2 0 - 10 1 0.63

2 10 - 20 2 1.27

3 0 - 10 0 0

3 10 - 20 1 0.63

4 0 - 10 1 0.63

4 10 - 20 1 0.63

5 0 - 10 1 0.63

5 10 - 20 1 0.63

6 0 - 10 0 0

6 10 - 20 1 0.63

7 0 - 10 1 0.63

7 10 - 20 1 0.63

8 0 - 10 1 0.63

8 10 - 20 1 0.63

Lampiran 6. Tabel Frekuensi Sebaran Genus Spora Di Alam Genus Frekuensi (%)

Glomus 100 Acaulospora 5

Lampiran 7. Tabel Data Nilai Kuantitatif Vegetasi Pada Tingkat Tumbuhan Bawah

Nama Jenis K

(Ind/ha)

KR (%)

F FR (%)

INP (%)

Panicum palmifolium 500 0.70 0.1 2.27 2.97

Pilea trinervia 3000 4.22 0.3 6.82 11.04

Toddalia aculenta 42250 59.51 1 22.73 82.24

Polanisia viscosa 11500 16.2 0.7 15.91 32.11

Asplenium adiatoides 1750 2.46 0.4 9,09 11.55

Impomoea pescaprae 500 0.7 0.1 2.27 2.97

Eupatorium riparium 4000 5.63 0.4 9.09 14.72

Sariuh 750 1.06 0.2 4.55 5.61 Commelina benghalensis 1750 2.46 0.3 6.82 9.28 Eupatorium inulifolium 3500 4.93 0.5 11.36 16.29

Derris scandens 1000 1.41 0.2 4.55 5.96

Costus sp. 250 0.35 0.1 2.27 2.62


(2)

Lampiran 8. Tabel Data Nilai Kuantitatif Vegetasi Pada Tingkat Semai

No Nama Jenis K

(Ind/Ha)

KR (%)

F FR (%)

INP (%) 1 Schefflera aromatic Harms 3000 14.63 0.4 17.39 32.02

2 Ficus lepicarpa 7250 35.37 0.8 34.78 70.15

3 Hypobatrum fructescens BL

500 2.44 0.1 4.35 6.79 4 Laportea stimulans 5250 25.61 0.4 17.39 43

5 Eugenia polyanthum 1750 8.54 0.2 8.70 17.24

6 Macropanas sp. 250 1.22 0.1 4.35 5.57

7 Litsea sp. 1250 6.10 0.1 4.35 10.54

8 Engelhardia serata 1000 4.88 0.1 4.35 9.23

9 Xanthopyllum lanceatum 250 1.22 0.1 4.35 5.57

Lampiran 9. Tabel Data Nilai Kuantitatif Vegetasi Pada Tingkat Pancang

No Nama Jenis K

(Ind/Ha)

KR (%)

F FR (%)

INP (%)

1 Schefflera aromatic Harms 360 15.79 0.6 23.08 38.87

2 Litsea sp. 240 10.55 0.2 7.69 18.22

3 Ficus fistulosa Reinw 680 29.83 0.6 23.08 52.91

4 Eugenia polyanthum 80 3.51 0.1 3.85 7.36

5 Kicareh 40 1.75 0.1 3.85 5.6

6 Quercus sundaica 40 1.75 0.1 3.85 5.6

7 Macropanas sp. 160 7.02 0.2 7.69 14.71

8 Schima wallichi 160 24.56 0.4 15.38 39.94

9 Macaranga semiglobosa 40 1.75 0.1 3.85 5.6

10 Alstonia angustiluba 40 1.75 0.1 3.85 5.6

Lampiran 10.Tabel Data Nilai Kuantitatif Vegetasi Pada Tingkat Tiang

No Nama Jenis K

(Ind/Ha) KR (%)

F FR (%)

D (m2/Ha)

DR (%)

INP (%) 1 Eugenia

polyanthum

60 37.5 0.4 30.78 1.152 40.85 109.13 2 Sauruja

pendula

20 12.5 0.2 15.38 0.388 13.80 41.68 3 Ficus fistulosa

Reinw

40 25 0.3 23.08 0.556 19.75 67.83 4 Xanthopyllum

lanceatum

10 6.25 0.1 7.69 0.244 7.95 21.89

5 Sloanea Tiqum 10 6.25 0.1 7.69 0.127 4.65 18.59

6 Cikareh 10 6.25 0.1 7.69 1.232 8.25 22.19

7 Laportea stimulans


(3)

Lampiran 11. Tabel Data Nilai Kuantitatif Vegetasi Pada Tingkat Pohon

No Nama Jenis K

(Ind/Ha)

KR (%)

F FR (%)

D (m2/Ha)

DR (%)

INP (%) 1 Neonauclea

lanceolata Merrill.

7.5 9.38 0.3 11.11 1.99 20.31 40.8

2 Macropanas sp.

7.5 9.38 0.2 7.41 0.64 6.53 23.32 3 Sloanea

Tiqum

25 31.25 0.8 29.63 3.35 34.18 95.06 4 Sauruja

pendula

7.5 9.38 0.3 11.11 0.35 3.57 24.06 5 Quercus

sundaica

7.5 9.38 0.3 11.11 0.44 4.49 24.98 6 Eugenia

polyanthum

5 6.25 0.2 7.41 0.23 2.35 16.01 7 Ficus

fistulosa Reinw

2.5 3.13 0.1 3.70 0.09 0.92 7.75

8 Cloaxyloan polot Merr

2.5 3.13 0.1 3.70 0.18 1.84 8.67 9 Litsea sp. 2.5 3.13 0.1 3.70 0.64 6.53 13.36 10 Macaranga

semiglobosa

10 12.5 0.2 7.41 1.25 12.76 32.67 11 Engelhardia

serata

2.5 3.13 0.1 3.70 0.64 6.53 13.36

Lampiran 12. Tally Sheet Vegetasi Semai

Azimuth : 1300 Tipe Hutan : Sub Pegunungan

Ukuran Jalur : 20 m x 200 m Lokasi : Blok Pasir Luhur

Ukuran petak : 2 m x 2 m

No Petak Nama Jenis Jumlah Keterangan

I Schefflera aromatic Harms 3

Ficus fistulosa Reinw 2

II Schefflera aromatic Harms 4

Ficus fistulosa Reinw 10 Hypobatrum fructescens BL 2 III Schefflera aromatic Harms 2 Ficus fistulosa Reinw 5

IV Ficus fistulosa Reinw 1

Laportea stimulans 1

V Ficus fistulosa Reinw 5

Eugenia polyanthum 2


(4)

Laportea stimulans 12

VIII Ficus fistulosa Reinw 2

Eugenia polyanthum 5

Macropanas sp. 1

IX Laportea stimulans 3

Litsea sp. 4

Engelhardia serata 5

X Schefflera aromatic Harms 3

Ficus fistulosa Reinw 2 Laportea stimulans 5 Xanthopyllum lanceatum 1 Lampiran 13. Tally Sheet Vegetasi Pancang

Azimuth : 1300 Tipe Hutan : Sub Pegunungan

Ukuran Jalur : 20 m x 200 m Lokasi : Blok Pasir LuhurUkuran petak : 2 m x 2 m

No Petak Nama Jenis Jumlah Keterangan

I Schefflera aromatic Harms 6

Litsea sp. 2

II Schefflera aromatic Harms 2

Litsea sp. 2

Ficus fistulosa Reinw 6 III Schefflera aromatic Harms 1 Ficus fistulosa Reinw 2

Eugenia polyanthum 2

Quercus sundaica 1

Kicareh 1

IV Ficus fistulosa Reinw 1

Macropanas sp. 3

V Schefflera aromatic Harms 1

Ficus fistulosa Reinw 4

VI Schefflera aromatic Harms 1

Ficus fistulosa Reinw 2 Laportea stimulans 3 VII Laportea stimulans 2

VIII Laportea stimulans 2

Macropanas sp. 1

Alstonia angustiluba 1

Macaranga semiglobosa 1

IX Ficus fistulosa Reinw 2

Macaranga semiglobosa 1

X Schefflera aromatic Harms 2


(5)

Lampiran 14. Tally Sheet Vegetasi Tiang

Azimuth : 1300 Tipe Hutan : Sub Pegunungan

Ukuran Jalur : 20 m x 200 m Lokasi Blok PasirLuhur Ukuran petak : 2 m x 2 m

No Petak

Nama Jenis D (cm)

Kel (cm)

Tinggi (m) LBDS (m2)

Ket TT Tbc

I Eugenia polyanthum

14 45 8 3 0.0161 Saurania

bracteosa D.C.

19 61 8 5 0.0296 II Eugenia

polyanthum

16 51 5 3 0.0207 Eugenia

polyanthum

17 54 6 2 0.0232 Eugenia

polyanthum

15 47 6 2 0.0176 III Eugenia

polyanthum

11 35 4 2 0.0098 Saurania

bracteosa D.C.

11 34 3 2 0.0092 Ficus fistulosa

Reinw

10 32 6 3 0.0082 IV Eugenia

polyanthum

19 59 8 2 0.0278 V Ficus fistulosa

Reinw

12 39 5 2 0.0121 Ficus fistulosa

Reinw

16 50 7 3 0.0199

VI - - - - - -

VII Xanthopyllum lanceatum

17 53 5 5 0.0224

Sloanea Tiqum 13 40 3 1 0.0127

VIII - - - - - -

IX - - - - - -

X Kicareh 17 54 16 12 0.0232 Ficus fistulosa

Reinw

14 44 6 2 0.0154 Laportea

stimulans

13 41 4 2 0.0133

Lampiran 15. Tally Sheet Vegetasi Pohon

Azimuth : 1300 Tipe Hutan : Sub Pegunungan


(6)

Ukuran Jalur : 20 m x 200 m Lokasi : Blok Pasir Luhur

Ukuran petak : 2 m x 2 m No

Petak

Nama Jenis D

(cm)

Kel (cm)

Tinggi (m) LBDS (m2)

Ket TT Tbc

I Neonauclea lanceolata Merrill.

66 210 15 7 0.341

Macropanas sp. 47 148 9 3.5 0.173

Sloanea Tiqum 30 93 8 3 0.070

Sloanea Tiqum 49 154 20 6 0.188

Saurania bracteosa D.C.

23 71 6 3 0.041

II Quercus sundaica 27 84 10 3 0.057

Neonauclea lanceolata Merrill.

38 118 10 6 0.113 III Saurania bracteosa

D.C.

26 81 8 4 0.053

Sloanea Tiqum 31 98 15 8 0.075

Eugenia polyanthum 27 84 7 4 0.057

Sloanea Tiqum 38 118 15 10 0.113

V Sloanea Tiqum 49 155 14 2 0.188

Macropanas sp. 21 65 6 3 0.034

Saurania bracteosa D.C.

24 74 610 3 0.045

Quercus sundaica 26 81 19 8 0.053

Neonauclea lanceolata Merrill.

66 208 8 2 0.341

Ficus fistulosa Reinw 22 70 14 4 0.037

Macropanas sp. 25 78 20 8 0.049

VI Sloanea Tiqum 51 160 14 7 0.204

Quercus sundaica 29 90 8 8 0.066

Eugenia polyanthum 21 67 3.5 3.5 0.034

VII Cloaxyloan polot Merr 30 94 12 4 0.070

Sloanea Tiqum 35 110 20 8 0.096

Litsea sp. 57 180 10 2 0.255

VIII Sloanea Tiqum 57 180 22 5 0.080 Macaranga

semiglobosa

32 100 18 6 0.255 Macaranga

semiglobosa

57 180 18 6 0.075 Macaranga

semiglobosa

31 98 15 4 0.090 IX Macaranga

semiglobosa

34 108 10 3 0.255

X Engelhardia serata 57 180 16 2.5 0.255

Sloanea Tiqum 25 78 11 8 0.49