Pidana Cambuk; Aspek al-Tsawabit dan Mutaghayyirat-nya.

“Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”

C. Pidana Cambuk; Aspek al-Tsawabit dan Mutaghayyirat-nya.

Dalam doktrin hukum pidana Islam terdapat dua aspek doktrin yaitu, diantaranya adalah aspek at-tsawabit yang bersifat qath’iy pasti dan aspek al- mutaghayyirot yang bersifat zhanniy relatif. 22 Kata al-Tsawabit berasal dari bahsa Arab, isim fa’il kata ﺮﻴﻐﺘ ﻻ ﺖ ﺎﺛ yang berarti tetap tidak berubah. 23 Sedangkan kata تاﺮﻴﻐﺘ berasal dari ﺮﻴﻐ yang berarti mengubahmengganti 24 , اﺮﻴﻐﺘ yang berubah. 25 Sedangakan istilah dari kedua kata tersebut yaitu adalah hal-hal baku yang bersifat tetap dan permanen adalah masalah- masalah ushul prinsip di dalam ajaran Islam al-tsawabit, dan mutaghayyirat 22 Asmawi, Catatan Perkuliahan, Kapita Selekta Hukum Pidana Islam, Semester VII, Prodi Jinayah Siyasah, Jurusan Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syahid Jakarta. 05 Oktober 2009. 23 Ali Mutahar, Kamus Muthahar; Arab-Indonesia, Cet. 1. Jakarta: Hikam, 2005, h. 372. 24 Ibid, h. 804. 25 Abu Khalid, Kamus Al-Huda; Arab-indonesia, Surabaya: Fajar Mulya, h. 423. Tsawabit adalah masalah-masalah prinsip yang berdalil ﻄﻗ mutlak dan pasti, baik تﻮ ﺜ ا ﻄﻗ kehujjahannya mutlak dan pasti serta tidak diperselisihkan diantara para ulama, maupun ﺔ ﻻﺪ ا ﻰﻴ ﻄﻗ makna dan pengertiannya mutlak, pasti dan tidak diperdebatkan di antara para ulama Ahlussunnah Waljama’ah. Adapun Mutaghayyirat adalah masalah-masalah furu’ yang berdalil zhanniy tidak mutlak dan pasti, serta multi interpretasi, baik dalam hal tsubut kehujjahan-nya, dilalah kandungan makna dan pengertian-nya, maupun kedua-duanya. Dari pengertian di atas, penulis mengkaitkan dengan ayat dan hadits yang menetapkan ketentuan hukum cambuk seperti yang sudah penulis sebutkan sebelumnya 27 merupakan salah satu ketetapan yang tidak bisa dirubah lagi, yaitu pidana cambuk bagi pelanggar kejahatan menurut hukum pidana Islam. Ketentuan pidana cambuk yang sudah ditetapkan merupakan ketentuan yang sudah pasti dan tidak bisa digantikan dengan ketentuan lain. ☺ ......... Artinya: 26 Ahmad Mudzoffar Jufri, Urgensi Fiqih Tsawabit dan Mutaghayyirat . http:konsultasisyariah.netcontentview81126 . Artikel ini diakses pada 10 Maret 2010 27 Lihat pada halaman sebelumnya Pengertian dan Dasar Hukum Cambuk. “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera..... Q.S An-Nur; ayat 2 Kata “fajlidu” dan “ ةﺪ ﺔﺋﺎ ” serta “ﺎ ﻬ اﺬ ﺪﻬﺸﻴ و” persaksikanlah oleh orang banyak pada ayat di atas merupakan perintah ketetapan hukum mencambuk sebanyak seratus kali terhadap orang yang telah melakukan zina baik laki-laki maupun perempuan dan dilaksanakan dimuka umum. Hal ini merupakan salah satu ketetapan tsawabit yang tidak bisa ditawar-tawar lagi oleh siapapun dan tidak akan berubah selama-lamanya. Mengutip dari pendapat Ibnu Hazam, menyatakan bahwa; “Sesugguhnya apa yang telah tetap itu, akan tetap selama-lamanya, untuk setiap waktu, setiap tempat dan setiap keadaan, sampai ada nash lain yang datang menggesernya, sebagai hukum pada waktu lain, tempat yang lain, dan kesempatan yang lain pula”. 28 Adapun mutaghayyirot dari ketentuan pidana cambuk dan pelaksanaannya di atas adalah cara dan bagaimana cambuk itu dilakukan bisa saja berbeda dan dapat pula berubah tergantung pada ijtihad yang digunakan. Mushthafa Az-arqa’i dalam pembahasannya mengatakan, “Diantara yang telah ditetapkan dalam fiqh syari’ah adalah perubahan keadaan dan waktu berpengaruh besar terhadap hukum-hukum syar’i yang bersifat ijtihadiyah”. 29 28 Busthami Muhammad Sa’id, Gerakan Pembaruan Agama: Antara Moderenisme dan Tajdiduddin, Judul Asli, Mafhum Tajdidudd lin. Cet. I, Kuwait, Darud-Da’wah, 1405 H1984 M. Penerbit Edisi Indonesia Bekasi: PT Wacanalazuardi, 1995, h. 296. 29 Ibid , Busthami: h. 295 Mutaghayyirot dalam konteks pidana cambuk banyak kita dapati dalam suatu pelaksanaan dan tatacara yang digunakan. Misalnya alat yang digunakan nabi Muhammad SAW untuk mencambuk adalah pelepah pohon kurma 30 . Hal ini didasarkan atas hadits Rasulullah saw: “Kepada Nabi Didatangkan seseorang yang telah meminum khamar. Lalu Rasulullah saw. menderanya dengan dua pelapah kurma sebanyak 40 kali dera” H.R Ahmad bin Hambal, Muslim, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi dari Anas bin Malik. Di lain hal, ada beberapa ketentuan lain yang tatacara dan alat yang digunakan dalam melaksanakan hukum cambuk menggunakan rotan yang mempunyai ketentuan khusus seperti yang terdapat pada qanun Aceh. Menurut Abul A’laa Al-Maududi alat yang dipakai sebagai pemukul alat untuk mencambuk hendaknya berbentuk sedang, tidak terlalu besar, tidak terlalu kecil, tidak terlalu keras, dan tidak terlalu halus. Alat pemukulnya pula tidak diperkenankan menggunakan pemukul bercabang dua apalagi tiga. Rasulullah saw. pernah memerintahkan menghukum dengan cambuk kepada seseorang yang datang kepadanya kaena ia mengakui bahwa dirinya telah berzina. Kemudian Rasulullah saw. memerintahkan untuk mendatangkan alat pemukul untuknya. Dan ketika itu didatangkannya kepada beliau sebuah pemukul yang mudah patah dan mudah pecah. Setelah melihat pemukul itu Rasulullah saw. meminta agar menukarnya dengan yang lebih keras dan besar. Kemudian didatangkan lagi tongkat yang tidak begitu keras dan besar, lalu beliau menerimanya kemudian memerintahkan 30 Ibid, Topo Santoso: h, 202. agar menghukumnya. Juga pada masa Khalifah Umar bin Khattab r.a. ia memakai alat cambuk yang begiu lunak dan tidak keras. 31 Kutipan keterangan di atas, menjelaskan bahwa tidak ada ketentuan yang pasti mengenai alat yang dipakai untuk mencambuk. Hal tersebut mengindikasikan bahwa alat yang dipakai untuk mencambuk akan dapat berubah sesuai berubahnya zaman dan kebutuhan akan hukum. Begitupun halnya mengenai ketentuan bagaian tubuh mana yang harus dicambuk. Akan tetapi para ahli tafsir dan ahli kamus sepakat, dalam melaksanakan pencambukan hendaklah hanya sampai batas permukaan kulit, tidak sampai melukai daging 32 dan tidak boleh mengenai bagian wajah dan alat kelamin. 31 Muhammad ‘Aashim Al-Hadad, Kejamkah Hukum Islam, Terjemahan Tafsir Surat An-Nur yang ditulis oleh Abul-A’la Al- Maududi, Lahor: tanpa penerbit, 1959, h. 78-79. 32 Ibid, h. 78.

BAB III KONSEP PELAKSANAAN HUKUM CAMBUK