Perempuan dan Budaya Tabarruj
Perempuan dan Budaya Tabarruj
Muhbib Abdul Wahab
Fenomena jilboobs (berjilbab, tetapi mengenakan pakaian ketat sehingga –maaf,
payudara dan pantat terlihat menonjol) di era digital sungguh sangat memperihatinkan. Di satu
segi, ajaran menutup aurat dengan baik dan benar belum sepenuhnya dipahami dan diamalkan
oleh para Muslimah. Dan di segi lain, tidak jarang para Muslimah menjadi korban mode dan
busana yang dirancang dan diciptakan oleh mereka yang tidak memahami syariat tentang
busana Muslimah. Dengan kata lain, jilboobs pada dasarnya merupakan bagian dari budaya
tabarruj yang esensinya mengeksploitasi tubuh perempuan untuk kepentingan tertentu,
misal ya ta pil seksi da tre di , padahal e yalahi or a aga a.
Tabarruj berasal dari bahasa Arab yang berarti: menyingkap dan menampakkan diri
sehingga terlihat oleh pandangan mata. Contohnya kata buruj musyayyadah (benteng tinggi
yang kokoh), atau kata: buruj sama’ (bintang langit), artinya tidak ada penghalang apapun di
bawahnya yang menutupinya. (Tafsir al-Qurthubi, 12/309). Istilah tabarruj disebutkan dalam
firman Allah berikut:
ِ ْا
ِ
ُول
َ ْاهلِي ِة ْا
َْ َوقَ ْر َن ِِ بُيُوت ُكن َوََ تَبَ ر ْج َن تَبَ ر َج
”He daklah kalian (para wanita)
tetap di rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj dan (bertingkah laku) seperti tabarruj
orang-orang Jahiliyah yang dahulu…” (QS al-Ahzab/33: 33)
Bagi perempuan yang sudah akil baligh, tabarruj bukan hanya merendahkan harkat dan
martabatnya, melainkan juga mempertontonkan sesuatu yang tidak boleh dilihat oleh lelaki,
lebih-lebih di ranah publik, baik melalui tayangan televisi, media sosial, maupun di tengah
pergaulan masyarakat. Tubuh perempuan memang indah, namun keindahannya tidak
selayaknya dipertontonkan dan dipamerkan untuk konsumsi publik.
Sebaliknya, Islam mengajarkan kepada umatnya untuk berhias diri dalam batas yang
wajar, menutup aurat, anggun, dan dalam konteks tertentu. Misalnya, berhias ketika hendak
beribadah kepada Allah Swt atau berhias dan mempercantik diri di hadapan suami atau
ahra ya. Allah erfir a : Wahai a ak u u Ada ! Pakailah pakaia u ya g agus pada
setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak
menyukai orang yang berlebih-le iha . Q“ al-A’raf/7: 31 .
Budaya tabarruj termasuk budaya jahiliyah yang ditentang dan dihapuskan oleh Islam.
Karena budaya ini tidak hanya meruntuhkan kehormatan perempuan, melainkan juga dapat
menimbulkan budaya eksploitatif kaum lelaki terhadap perempuan. Budaya tabarruj dilarang
oleh Islam juga karena dapat menghilangkan rasa malu di kalangan perempuan. Padahal
perintah menutup aurat dalam Islam itu, antara lain, dimaksudkan agar perempuan merasa
malu dan dapat menjaga kehormatan dirinya.
Imam Muslim dalam Shahih-nya menjelaskan bahwa sedemikian rusaknya budaya malu
di masa Jahiliyah, sehingga banyak perempuan di masa itu melakukan tawaf, mengelilingi
Ka’ ah, de ga tela ja g ulat. Ada pula pere pua ya g se gaja e perto to ka
komolekan tubuhnya dengan pakaian minim dalam tawaf, sementara orang-orang Jahiliyah
(kaum lelaki) asyik e o to ya de ga pe uh ke uasa afsu syahwat. Tabarruj di masa itu
ter ukti e jadika pere pua
se agai
udak pe uas afsu
agi lelaki, sekaligus
e jadika ya tu a alu di hadapa pu lik.
Tujuan Islam menghapuskan budaya tabarruj adalah untuk menjaga kesucian,
kemuliaan, dan harga diri perempuan, sekaligus melindunginya dari marabahaya dan
e jauhka diri ya dari fit ah da ko ersialisasi tu uh - ya. Oleh itu, peri tah u tuk tetap
di ru ah dalam ayat tersebut bagi perempuan harus dimaknai sebagai upaya preventif agar
perempuan tidak gemar memamerkan dan mengkomersialisasikan tubuhnya untuk sekedar
di ila g seksi da /atau e uaska afsu syahwat lelaki. Tetap di ru ah tidak erarti
lantas perempuan tidak boleh meraih pendidikan setinggi mungkin dan berkarir di ranah publik.
“ekira ya harus keluar ru ah , Isla
e eri tahka pere pua u tuk e utup aurat ya.
Yang boleh diperlihatkan dari tubuh perempuan adalah kedua telapak tangan dan mukanya.
Selain sebagai pelindung dan perhiasan diri, menutup aurat bagi perempuan merupakan
salah satu identitas diri sebagai Muslimah yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dalam hal ini
Allah erfir a : Wahai Na i! Kataka lah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan
istri-istri orang mukmin, "Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka."
Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu.
Da Allah Maha Pe ga pu , Maha Pe yaya g. Q“. al-Ahzab/33: 59)
Jadi, tabarruj ya g ere ak di era oder i i sejati ya erupaka rei kar asi tradisi
Jahiliyah ya g sa gat tidak edukatif. A eka taya ga si etro , usik, film dan sebagainya di
TV Swasta kita seringkali menyuguhkan budaya tabarruj secara berlebihan, sehingga anak-anak
yang sudah dididik berjilbab dengan benar di sekolah menjadi runtuh moralitasnya begitu
menonton tayangan yang bernuansa tabarruj. Karena itu, para perempuan dewasa yang
meyakini bahwa Allah itu Maha Indah, dan menyukai keindahan, sudah saatnya merubah
mindset-nya agar dapat memberi teladan yang baik bagi generasi muda bangsa ini dengan
berbusana Muslimah yang tidak bernuansa tabarruj.
Jika budaya tabarruj di negeri tercinta ini semakin permisif, maka boleh jadi perempuan
semakin tidak memiliki rasa malu, bahkan mungkin semakin bangga apabila aurat dan
kemolekan tubuhnya dipertontonkan. Jika rasa malu ini sudah tercerabut dari hati sanubari
perempuan, niscaya harkat dan martabatnya akan semakin rendah. Oleh sebab itu, Nabi SAW
bersabda: إذا لم تستحي فاصنع ما شئتJika e gkau tidak lagi e pu yai rasa alu, aka
perbuatlah sekehendak hatimu. (HR Muslim).
Dalam perspektif akidah (teologi), perempuan yang berhenti dari tabarruj dengan
menutup aurat sesuai syariat berarti tidak melampaui batas, tidak mengikuti selera kehidupan
duniawi yang glamour, dan tidak mementingkan hawa nafsunya. Sebaliknya, ia telah menjadi
orang yang takut kepada kebesaran Allah dan kedahsyatan siksa-Nya, sehingga ia selalu
berusaha menjadi hamba-Nya yang taat dan selalu mengharap surga-Nya. Dalam hal ini, Allah
erfir a : Adapu ora g ya g ela paui atas, da le ih e guta aka kehidupa du ia,
maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Sedangkan orang yang takut kepada
kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya
surgalah te pat ti ggal ya . Q“. A -Nazi’at/79: 37-41).
Sungguh, dengan memakai busana untuk menutup aurat secara baik, benar, wajar, dan
anggun, serta tidak melakukan tabarruj, para Muslimah pasti akan mendapat perlindungan dari
Allah SwT, dan akan tampil lebih cantik sekaligus menjadi model teladan (role model) yang
dapat menentramkan hati dan pikiran generasi muda bangsa. Yakinlah bahwa busana Islami itu
indah sekaligus mengindahkan dan memuliakan para Muslimah. Wallahu a’la bish shawab!
Muhbib Abdul Wahab, Dosen Pascasarjana FITK UIN
Syarif Hidayatullah dan UMJ
Sumber: Artikel ini pernah dimuat dalam Majalah Suara Muhammadiyah, Edisi 16-31 Mei 2015
Muhbib Abdul Wahab
Fenomena jilboobs (berjilbab, tetapi mengenakan pakaian ketat sehingga –maaf,
payudara dan pantat terlihat menonjol) di era digital sungguh sangat memperihatinkan. Di satu
segi, ajaran menutup aurat dengan baik dan benar belum sepenuhnya dipahami dan diamalkan
oleh para Muslimah. Dan di segi lain, tidak jarang para Muslimah menjadi korban mode dan
busana yang dirancang dan diciptakan oleh mereka yang tidak memahami syariat tentang
busana Muslimah. Dengan kata lain, jilboobs pada dasarnya merupakan bagian dari budaya
tabarruj yang esensinya mengeksploitasi tubuh perempuan untuk kepentingan tertentu,
misal ya ta pil seksi da tre di , padahal e yalahi or a aga a.
Tabarruj berasal dari bahasa Arab yang berarti: menyingkap dan menampakkan diri
sehingga terlihat oleh pandangan mata. Contohnya kata buruj musyayyadah (benteng tinggi
yang kokoh), atau kata: buruj sama’ (bintang langit), artinya tidak ada penghalang apapun di
bawahnya yang menutupinya. (Tafsir al-Qurthubi, 12/309). Istilah tabarruj disebutkan dalam
firman Allah berikut:
ِ ْا
ِ
ُول
َ ْاهلِي ِة ْا
َْ َوقَ ْر َن ِِ بُيُوت ُكن َوََ تَبَ ر ْج َن تَبَ ر َج
”He daklah kalian (para wanita)
tetap di rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj dan (bertingkah laku) seperti tabarruj
orang-orang Jahiliyah yang dahulu…” (QS al-Ahzab/33: 33)
Bagi perempuan yang sudah akil baligh, tabarruj bukan hanya merendahkan harkat dan
martabatnya, melainkan juga mempertontonkan sesuatu yang tidak boleh dilihat oleh lelaki,
lebih-lebih di ranah publik, baik melalui tayangan televisi, media sosial, maupun di tengah
pergaulan masyarakat. Tubuh perempuan memang indah, namun keindahannya tidak
selayaknya dipertontonkan dan dipamerkan untuk konsumsi publik.
Sebaliknya, Islam mengajarkan kepada umatnya untuk berhias diri dalam batas yang
wajar, menutup aurat, anggun, dan dalam konteks tertentu. Misalnya, berhias ketika hendak
beribadah kepada Allah Swt atau berhias dan mempercantik diri di hadapan suami atau
ahra ya. Allah erfir a : Wahai a ak u u Ada ! Pakailah pakaia u ya g agus pada
setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak
menyukai orang yang berlebih-le iha . Q“ al-A’raf/7: 31 .
Budaya tabarruj termasuk budaya jahiliyah yang ditentang dan dihapuskan oleh Islam.
Karena budaya ini tidak hanya meruntuhkan kehormatan perempuan, melainkan juga dapat
menimbulkan budaya eksploitatif kaum lelaki terhadap perempuan. Budaya tabarruj dilarang
oleh Islam juga karena dapat menghilangkan rasa malu di kalangan perempuan. Padahal
perintah menutup aurat dalam Islam itu, antara lain, dimaksudkan agar perempuan merasa
malu dan dapat menjaga kehormatan dirinya.
Imam Muslim dalam Shahih-nya menjelaskan bahwa sedemikian rusaknya budaya malu
di masa Jahiliyah, sehingga banyak perempuan di masa itu melakukan tawaf, mengelilingi
Ka’ ah, de ga tela ja g ulat. Ada pula pere pua ya g se gaja e perto to ka
komolekan tubuhnya dengan pakaian minim dalam tawaf, sementara orang-orang Jahiliyah
(kaum lelaki) asyik e o to ya de ga pe uh ke uasa afsu syahwat. Tabarruj di masa itu
ter ukti e jadika pere pua
se agai
udak pe uas afsu
agi lelaki, sekaligus
e jadika ya tu a alu di hadapa pu lik.
Tujuan Islam menghapuskan budaya tabarruj adalah untuk menjaga kesucian,
kemuliaan, dan harga diri perempuan, sekaligus melindunginya dari marabahaya dan
e jauhka diri ya dari fit ah da ko ersialisasi tu uh - ya. Oleh itu, peri tah u tuk tetap
di ru ah dalam ayat tersebut bagi perempuan harus dimaknai sebagai upaya preventif agar
perempuan tidak gemar memamerkan dan mengkomersialisasikan tubuhnya untuk sekedar
di ila g seksi da /atau e uaska afsu syahwat lelaki. Tetap di ru ah tidak erarti
lantas perempuan tidak boleh meraih pendidikan setinggi mungkin dan berkarir di ranah publik.
“ekira ya harus keluar ru ah , Isla
e eri tahka pere pua u tuk e utup aurat ya.
Yang boleh diperlihatkan dari tubuh perempuan adalah kedua telapak tangan dan mukanya.
Selain sebagai pelindung dan perhiasan diri, menutup aurat bagi perempuan merupakan
salah satu identitas diri sebagai Muslimah yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dalam hal ini
Allah erfir a : Wahai Na i! Kataka lah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan
istri-istri orang mukmin, "Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka."
Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu.
Da Allah Maha Pe ga pu , Maha Pe yaya g. Q“. al-Ahzab/33: 59)
Jadi, tabarruj ya g ere ak di era oder i i sejati ya erupaka rei kar asi tradisi
Jahiliyah ya g sa gat tidak edukatif. A eka taya ga si etro , usik, film dan sebagainya di
TV Swasta kita seringkali menyuguhkan budaya tabarruj secara berlebihan, sehingga anak-anak
yang sudah dididik berjilbab dengan benar di sekolah menjadi runtuh moralitasnya begitu
menonton tayangan yang bernuansa tabarruj. Karena itu, para perempuan dewasa yang
meyakini bahwa Allah itu Maha Indah, dan menyukai keindahan, sudah saatnya merubah
mindset-nya agar dapat memberi teladan yang baik bagi generasi muda bangsa ini dengan
berbusana Muslimah yang tidak bernuansa tabarruj.
Jika budaya tabarruj di negeri tercinta ini semakin permisif, maka boleh jadi perempuan
semakin tidak memiliki rasa malu, bahkan mungkin semakin bangga apabila aurat dan
kemolekan tubuhnya dipertontonkan. Jika rasa malu ini sudah tercerabut dari hati sanubari
perempuan, niscaya harkat dan martabatnya akan semakin rendah. Oleh sebab itu, Nabi SAW
bersabda: إذا لم تستحي فاصنع ما شئتJika e gkau tidak lagi e pu yai rasa alu, aka
perbuatlah sekehendak hatimu. (HR Muslim).
Dalam perspektif akidah (teologi), perempuan yang berhenti dari tabarruj dengan
menutup aurat sesuai syariat berarti tidak melampaui batas, tidak mengikuti selera kehidupan
duniawi yang glamour, dan tidak mementingkan hawa nafsunya. Sebaliknya, ia telah menjadi
orang yang takut kepada kebesaran Allah dan kedahsyatan siksa-Nya, sehingga ia selalu
berusaha menjadi hamba-Nya yang taat dan selalu mengharap surga-Nya. Dalam hal ini, Allah
erfir a : Adapu ora g ya g ela paui atas, da le ih e guta aka kehidupa du ia,
maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Sedangkan orang yang takut kepada
kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya
surgalah te pat ti ggal ya . Q“. A -Nazi’at/79: 37-41).
Sungguh, dengan memakai busana untuk menutup aurat secara baik, benar, wajar, dan
anggun, serta tidak melakukan tabarruj, para Muslimah pasti akan mendapat perlindungan dari
Allah SwT, dan akan tampil lebih cantik sekaligus menjadi model teladan (role model) yang
dapat menentramkan hati dan pikiran generasi muda bangsa. Yakinlah bahwa busana Islami itu
indah sekaligus mengindahkan dan memuliakan para Muslimah. Wallahu a’la bish shawab!
Muhbib Abdul Wahab, Dosen Pascasarjana FITK UIN
Syarif Hidayatullah dan UMJ
Sumber: Artikel ini pernah dimuat dalam Majalah Suara Muhammadiyah, Edisi 16-31 Mei 2015