21 penelitian yang berkaitan dengan hal tersebut, diantaranya penelitian yang sudah
pernah dilakukan adalah sebagai berikut: 1.
“Pemanfaatan Barang Gadai Oleh Pemberi Gadai Rahn Dalam Perspekif Hukum Islam dan KUH P
erdata”. Oleh Nur asyah, Nim 2101171. Mahasiswi
Fakultas Syari‟ahMuamalah lulus tahun 2006.
Hasil temuan dalam penelitian ini adalah pertama mengenai pemanfaatan barang gadai, bahwa dalam KUH Perdata, pemegang gadai tidak boleh mengambil
manfaat dari barang gadai demikian pula dalam hukum Islam. Pemegang gadai tidak boleh mengambil manfaat dari barang gadai, inilah persamaannya. Akan
tetapi, dalam hukum Islam ditentukan bahwa pemegang gadai dapat mengambil manfaat terhadap barang gadai apabila barang gadainya berupa binatang ternak
yang tentunya memerlukan pembiayaan. Maka sekedar mengambil manfaat untuk membiayai perawatan dan pemeliharaan terhadap barang gadai itu
diperkenankan. Kedua gadai pand dalam KUH Perdata hanya menyangkut
benda bergerak, sedangkan dalam hukum Islam, gadai itu meliputi benda bergerak dan benda tidak bergerak. Dengan demikian, gadai dalam hukum Islam
merupakan kombinasi dari gadai dalam KUH Perdata dan Hukum Adat.
15
2. “Tinjauan Hukum Islam Pemanfaatan Barang Gadai Sepeda Motor Studi
Kasus Di Desa Karangmulyo Pegandon Kendal, oleh Nur
Rif‟ati mahasiswa
angkatan 2002 jurusan muamalah Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang.
15
Nur asyah, Pemanfaatan Barang Gadai Oleh pemberi Gadai Rahn Dalam Perspektif Hukum Islam Dan KUH Perdata, S1 Muamalah IAIN Walisongo Semarang ,2006
22
Dalam skripsi tersebut membidik pada pemanfaatan barang gadai sepeda motor
ditinjau dari segi hukum Islam.
16
3.
Tinjauan Hukum Terhadap Gadai Emas Syariah oleh PT. Persero Pegadaian menurut hukum Islam dikaitkan dengan Fatwa Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor : 26DSNMUIIII2002 Tentang Rahn Emas.
Oleh Tino Julyanto, NIM 110113080049. Jurnal Hukum Mahasiswa Universitas Padjajaran Bandung tahun 2011. Hasil temuan dalam
penelitian ini, bahwa perkembangan praktik penerapan gadai emas syariah lebih digunakan untuk mendatangkan keuntungan yang spekulatif. Kemudian,
penegakan hukum Islam syariat Islam dalam praktik gadai syariah di Indonesia dan terjadinya dualisme hukum dalam aktivitas ekonomi serta nyata dengan
adanya konsep hukum gadai konvensional yang sebelumnya sudah ada, dianggap merupakan implikasi yuridis yang mungkin terjadi.
17
4.
Pelaksanaan Gadai Syariah Pada Perum Pegadaian Syariah Studi Kasus Pegadaian Syariah Cabang Ujung Gurun Padang.
Oleh Hanisisva, NIM 07.940.211, Program Kekhususan Hukum Perdata Bisnis, Fakultas Hukum
Universitas Andalas 2011. Berdasarkan hasil penelitian maka didapat kesimpulan bahwa pelaksanaan gadai syariah sangatlah sederhana dan dapat dilakukan dalam
waktu yang relatif singkat, dengan memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan
16
Nur Rif‟ati, Analisis Hukum Islam Pemanfaatan Barang Gadai Sepeda Motor Studi Kasus Di Desa Karangmulyo Pegandon Kendal, SI Muamalah IAIN Walisongo Semarang, 2006
17
Tino Julyanto, Tinjauan Hukum Terhadap Gadai Emas Syariah oleh PT. Persero Pegadaian menurut hukum Islam dikaitkan dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia Nomor : 26DSNMUIIII2002 Tentang Rahn Emas, Mahasiswa Universitas Padjajaran Bandung, 2011
23 oleh Perum Pegadaian Syariah itu sendiri. Alternatif penyelesaian masalah
tentang wanprestasi dalam pelaksanaan gadai syariah dengan beberapa tahap, tahap pertama kreditur akan melakukan pendekatan persuasif dan jika debitur
belum memenuhi kewajibannya, maka tahap kedua yaitu dengan memberikan surat peringatan pertama SP1, masih belum menanggapi maka akan
dikeluarkan surat peringatan kedua SP2 yang menyatakan bila debitur tidak segera melunasi maka barang jaminan akan dieksekusi atau dilelang sebagai
bentuk pelunasan utang dari debitur.
18
Adapun yang penulis lakukan dalam penelitian ini yaitu ga dai syari‟ah dalam
produk pembiayaan Gadai Emas di Bank Syariah Mandiri tentang Rahn. dan sepengetahuan penulis, belum ada tulisan yang membahas masalah tersebut. Sehingga
penelitian ini berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya seperti yang penulis paparkan di atas.
F.
Kerangka Teoritis 1. Tinjauan Umum tentang Akad atau Perjanjian
Perjanjian dalam bahasa Arab diistilahkan dengan janji atau kesepakatan Mu’ahadah Ittifa’ atau akad. Dalam bahasa Indonesia disebut dengan kontrak,
perjanjian atau persetujuan yang artinya adalah suatu perbuatan dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seseorang lain atau lebih.
19
Dalam Alqur‟an setidaknya ada dua istilah yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu kata
18
Hanisisva, Pelaksanaan Gadai Syariah Pada Perum Pegadaian Syariah Studi Kasus Pegadaian Syariah Cabang Ujung Gurun Padang, Mahasiswa program Kekhususan Hukum Perdata
Bisnis, Fakultas Hukum Universitas Andalas, padang, 2011
19
Abdullah Jayadi, Beberapa Aspek Tentang Perbankan Syariah, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2011, hal. 1
24 Akad al-
‘aqadu dan kata ‘ahd kata al’ahdu. Alqur‟an memakai kata pertama dalam arti perikatan atau perjanjian, sedangkan kata yang kedua dalam Alqur‟an
seperti masa, pesan, penyempurnaan dan janji atau perjanjian.
20
Dengan demikian, istilah akad dapat disamakan dengan istilah perikatan atau verbintenis, sedangkan kata Al-
‘ahdu dapat dikatakan sama dengan istilah perjanjian atau overeenkomst, yang dapat diartikan sebagai suatu pernyataan dari
seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu, dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan pihak lain. Janji hanya mengikat bagi orang
yang bersangkutan, sebagaimana yang telah diisyaratkan dalam Alqur‟an surat Ali Imran ayat 76.
21
Unsur akad itu sendiri terdiri atas pihak-pihak yang berakad orang atau badan hukum yang memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum, objek
akad barang atau jasa yang dibutuhkan oleh masing-masing pihak, tujuan pokok akad untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pengembangan usaha masing-masing
pihak, dan bentuk akad.
22
Rumusan akad di atas mengindikasikan bahwa perjanjian harus merupakan perjanjian kedua belah pihak yang bertujuan untuk saling mengikatkan diri tentang
perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal yang khusus setelah akad secara efektif mulai diberlakukan. Dengan demikian akad diwujudkan dalam ijab dan
qabul yang menunjukan adanya kesukarelaan secara timbal balik terhadap perikatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang harus sesuai dengan
20
Ibid.
21
Ibid.
22
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah KHES
25 kehendak syariat, atinya bahwa seluruh perikatan yang diperjanjikan oleh kedua
belah pihak atau lebih baru dianggap sah apabila secara keseluruhan tidak bertentangan dengan agama Islam. Dengan adanya ijab qabul yang didasarkan
pada ketentuan syariat, maka suatu akad akan menimbulkan akibat hukum pada objek perikatan, yaitu terjadinya pemudahan kepemilikan atau pengalihan
kemamfaatan dan seterusnya.
23
Perjanjian adalah hal yang sangat penting pada zaman sekarang ini, karena merupakan langkah awal dalam sebuah perbuatan hukum. Melalui perjanjian akan
terlindungi hak para pihak dan dapat meminta ganti rugi karena biasanya dalam suatu perjanjian terdapat klausula seperti itu. Menurut R. Subekti suatu perjanjian
adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal, dari peristiwa ini
timbul suatu hubungan perikatan.
24
Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Selain perjanjian, perikatan juga lahir dari Undang-undang. Jadi, ada perikatan yang lahir
dari perjanjian dan ada perikatan yang lahir karena Undang-undang.
25
Dalam pasal 1320 ayat 1 KUHPerdata disebutkanya syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu :
1 Sepakat mereka yang mengikatkan diri
2 Cakap untuk membuat suatu perjanjian
3 Mengenai suatu hal tertentu
4 Suatu sebab yang halal
23
Abdullah Jayadi, Ibid.,hal. 10
24
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Internusa, Jakarta, 1987, hal. 1
25
Ibid. hal. 3
26 Setiap perjanjian itu hendaknya dibuat secara tertulis. Ini sesuai dengan
asas hukum perjanjian dalam Islam yaitu Al-Kitabah tertulis, sebagaimana yang tercantum dalam Alqur‟an surat Al-Baqarah ayat 282-283, yang intinya
menyatakan bahwa dalam Islam ketika seorang subjek hukum hendak membuat perjanjian dengan subjek hukum lainya selain harus didasari dengan adanya kata
sepakat juga dianjurkan untuk dituangkan dalam bentuk tertulis dan diperlukan kehadiran saksi-saksi.
2. Tinjauan Umum tentang Gadai dan Rahn