Kedudukan lembaga perlindungan saksi dan korban di Indonesia : kajian hukum Islam

(1)

KEDUDUKAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DI INDONESIA

(KAJIAN HUKUM ISLAM) Skripsi

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

HUSNI MUBAROK

NIM : 104045101550

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

KEDUDUKAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DI INDONESIA

(KAJIAN HUKUM ISLAM) Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

HUSNI MUBAROK

NIM : 104045101550

Di Bawah Bimbingan:

Pembimbing I Pembimbing II

Asmawi, M.Ag Dedy Nursamsi, SH. M.Hum

NIP : 150 282 394 NIP : 150 264 001

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul KEDUDUKAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DI INDONESIA (KAJIAN HUKUM ISLAM) telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada . Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Jinayah Siyasah (Kepidanaan Islam).

Jakarta, 11 Januari 2009 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP : 150 210 422

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Asmawi MAg (……….)

NIP : 150 282 394

2. Sekretaris : Sri Hidayati MAg (……….) NIP : 150 282 403

3. Pembimbing I : Asmawi M.Ag (……….)

NIP : 150 282 394

4. Pembimbing II : Dedi Nursamsi, SH, MHum (……….) NIP : 150 264 001

5. Penguji I : Prof. Dr. Abduh Malik (……….) NIP : 150 094 391

6. Penguji II : Abu Tamrin SH, MHum (……….) NIP : 150 274 761


(4)

PERNYATAAN PENULIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 15 Desember 2008


(5)

! !

" #

$

%

! !

&

'

( )

" *

+ ! ! ,


(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Ilahi Rabbi yang senantiasa memberikan petunjuk dan hidayah serta selalu melimpahkan kasih sayang kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

Shalawt serta salam semoga tercurahkan atas junjungan kita sang pembawa Rahmat yakni Baginda Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan kita sebagai pengikutnya.

Maksud penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi dan menambah khazanah keilmuan serta melengkapi syarat yang menjadi ketetapan dalam menyelenggarakan studi program S1 (Strata Satu) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini berjudul

KEDUDUKAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DI

INDONESIA (KAJIAN HUKUM ISLAM)”

Sebagai manusia biasa, penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan dan kelemahan yang dimiliki oleh penulis. Tanpa bantuan dan dorongan dari semua pihak, skripsi ini tidak akan selesai pada kesempatan ini, maka penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, MA., Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

2. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Asmawi, MAg., Ketua Jinayah Syiasah serta Ibu Sri Hidayati. MAg,

Sekretaris Jinayah Syiasah, yang telah memberikan dorongan dan Administrasi kepada penulis.

4. Asmawi, MAg dan Dedy Nursamsi SH, MHum, dosen pembimbing, yang telah meluangkan waktu, memberikan arahan, dorongan dan membantu penulis dalam menyelesikan skripsi ini.

5. Pimpinan perpustakaan UIN beserta seluruh staf, yang telah membantu meminjamkan buku-buku yang diperlukan oleh penulis.

6. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.

7. Yang tercinta Ayahanda KH. Zaenuddin H.S dan Ibunda Hj. Fathonah Al-Izzi beserta keluarga besar yang tidak henti-hentinya memberikan kasih sayang serta dorongannya dalam bentuk materi dengan tulus ikhlas dan selalu mendoakan penulis.

8. Keluarga besar Pidana Islam angkatan 2004 (Zaelani, Rivai, Vito, Tomson, Devison, Nandes, Hilmi) yang telah bersama-sama berjuang dalam suka dan duka. Tidak lupa juga penulis ucapkan terima kasih kepada Sdri. Dede Nhovia yang selalu setia memberikan motivasi hingga tersusunnya karya ilmiah ini.


(8)

Semoga bantuan mereka dinilai sebagai amal shaleh dan mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Doa yang tulus dan ikhlas penulis memohonkan kepada Ayahanda serta Ibunda yang telah menanamkan semangat dan memberi motivasi untuk meraih kesuksesan ini. Dengan harapan Doa semoga Allah yang maha arif dan bijak juga maha pengasih dan maha penyayang yang telah memberi limpahan ampunan, rahmat dan karunianya kepada kita bersama.

Akhirnya skripsi ini penulis persembahkan kepada almamater dan masyarakat akademik demi perkembangan ilmu pengetahuan. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca khususnya penulis. Amien.

Jakarta, November 2008


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan saksi yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana (korban yang kemudian menjadi saksi). Keberadaan saksi dan korban sangat penting mengingat sering kali aparat penegak hukum mengalami kesulitan dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana yang disebabkan tidak dapat menghadirkan saksi. Ketidakhadiran saksi dan korban memenuhi panggilan atau permintaan aparat penegak hukum ini sering kali disebabkan adanya ancaman., baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu yang ditujukan kepada saksi dan korban.1

Kedudukan saksi dan korban dalam Sistem Peradilan Pidana saat ini belum ditempatkan secara adil bahkan cenderung terlupakan. Kondisi ini berimplikasi pada dua hal yang fundamental, yaitu tiadanya perlindungan hukum bagi saksi dan korban dan tiadanya putusan hakim yang memenuhi rasa keadilan bagi korban, pelaku maupun masyarakat luas.

Lembaga perlindungan saksi dan korban merupakan satu wacana yang belakangan marak digulirkan karena pasal 50 sampai 68 Undang-Undang Nomor

1

Wahyu Wagiman, dkk, Naskah Akademis dan Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Pemberian Konpensasi dan Restitusi serta Bantuan Bagi Korban (Jakrta: ICW, 2007), h. 9.


(10)

8 Tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Keberpihakan hukum terhadap saksi dan korban yang sangat timpang terlihat dari beberapa peraturan yang lebih banyak memberikan hak-hak istimewa kepada tersangka maupun terdakwa. KUHAP sebagai landasan untuk beracara dalam perkara pidana ternyata cenderung lebih banyak memberikan porsi perlindungan kepada terdakwa dan tersangka dari pada kepada saksi. Dengan kondisi ini, KUHAP sendiri menjadi tameng hukum yang efektif bagi dinikmatinya hak-hak terdakwa dan tersangka sedangkan posisi yang sebaliknya justru dialami oleh para korban dan saksi. Mereka tidak mendapatkan hak-hak yang seharusnya mereka terima sebagai seorang yang ikut berperan dalam penegakan hukum. Saksi dan Korban sangat jarang bahkan tidak pernah mendapatkan hak-hak pemulihan bagi dirinya maupun keluarganya.2 Logika sederhana kenapa kemudian penting untuk melindungi para saksi dan korban.

Keberadaan lembaga perlindungan saksi dan korban menjadi sedemikian pentingnya di Indonesia pada saat ini mengingat lembaga penegak hukum seperti kepolisian dan kejaasaan membutuhkan instrumen hukum untuk melakukan pekerjaan perlindungan saksi dan korban berstandarkan prinsip Internasional.

2

Supriyadi Widodo Eddyono, dkk, Perlindungan Saksi dan Korban Pelanggaran HAM Bera,


(11)

Undang-undang perlindungan saksi dan korban adalah jalan utama untuk memperbaiki konsep lembaga perlindungan saksi dan korban di Indonesia.

Proses peradilan pidana yang muaranya berupa putusan hakim di pengadilan sebagaimana terjadi saat ini, tampak cenderung melupakan dan meninggalkan saksi dan korban. Para pihak terkait antara lain jaksa penuntut umum, penasihat hukum tersangka/terdakwa, saksi dan korban serta hakim dengan didukung alat bukti yang ada, cenderung berpumpun (focus) pada pembuktian atas tuduhan jaksa penuntut umum terhadap tersangka/terdakwa. Proses peradilan lebih berkutat pada perbuatan tersangka/terdakwa memenuhi rumusan pasal hukum pidana yang dilanggar atau tidak. Dalam proses seperti itu tampak hukum acara pidana sebagai landasan beracara dengan tujuan untuk mencari kebenaran materiil (substantial truth) sebagai kebenaran yang selengkap-lengkapnya dan perlindungan hak asasi manusia (protection of human right) tidak seluruhnya tercapai.3

Dilupakannya unsur saksi dan korban dalam proses peradilan cenderung menjauhkan putusan hakim yang memenuhi rasa keadilan bagi pelaku maupun masyarakat. Dalam beberapa kasus, saksi dan korban dapat berperan dengan berbagai derajat kesalahan dari yang tidak bersalah sama sekali hingga derajat lebih salah daripada pelaku.

3

Angkasa, dkk, “ Kedudukan Korban Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana “(Kajian Tentang Model Perlindungan Hukum Bagi Korban Serta Pengembangan Model Pemidanaan Dengan Mempertimbangkan Peranan Korban), Penelitian Hukum "Supremasi Hukum" Vol. 12 No. 2 Agustus 2007, FH UNIB Bengkulu, hal. 119-128.


(12)

Ketika terjadi suatu tindak pidana biasanya yang paling dirugikan adalah korban. Bukan hanya ketika korban menjadi Victim, tetapi saat pemeriksaaan di kepolisian, kemudian stigmatisasi negatif dari masyarakat –untuk kejahatan kekerasan seksual-, pergantian kerugian memakan waktu yang lama –kalaupun ada- berminggu-minggu, serta bentuk perlindungan dari negara yang tidak jelas. Secara psikologis korban lebih “tersiksa” dari pada saksi ketika harus berhadapan dengan masyarakat.

Pasal 3,4 dan 5 DUHAM pada dasarnya menegasakan hak hidup dan mendapatkan perlindungan pada diri setiap orang, tanpa membeda-bedakan suku warna kulit dan agama yang dianutya.4

Sehubungan dengan hal tersebut al-Qur’an surat al-Isra` ayat 31 dan 33:

!

"#

$% &'(

$)

*, -&.

/

012#

3

45#

$)! 6 *

&5* 7

089 :;

<=-#>?

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu Karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”. (Q.S. 17 : 31)

6

@A B4<

0

CDEF

0

&GA-

H

'I0

J #

4

Ahmad Kosasih, HAM Dalam Perspektif Islam, Menyingkap Persamaan dan Perbedaan Antara Islam dan Barat, (Jakarta, Salemba Diniyah, 2003), h. 68


(13)

KL

00#/

M

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar……… “. (Q.S. 17 : 33)

Surat al-Balad ayat 12-16:

I0&"

NO PQ

0&"

&N

0

RN S

T &> * P

UV

#

R#X

YZ

&2

[\]

N &N&_&"

0`aQ\b&2

]

T &/&-

&"

0c<Q;M_\"

]

N &/ = d&"

-“Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?. (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan. Atau memberi makan pada hari kelaparan. (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat. Atau kepada orang miskin yang sangat fakir”. (Q.S. 90 : 12-16)

Jadi, perlindungan tidak hanya diberikan kepada orang yang sedang teraniaya (korban) melainkan kepada orang yang menganiaya (pelaku) itu sendiri yaitu dengan jalan melepaskan tangannya dari perbuatan aniaya (zalim) tersebut.

Dalam konteks persidangan hakim membutuhkan sesuatu yang otentik dan orisinil yang kemudian dapat dijadikan pegangan yang kuat untuk mengambil suatu putusan. Saksi dan korban merupakan bagian dari persidangan yang keterangannya sangat dibutuhkan untuk mendapatkan kebenaran materil.

Menurut Hukum Islam ada beberapa tindak pidana yang ancaman sanksinya sangat berat sampai hukuman mati. Seperti pada perkara pembunuhan,


(14)

murtad (keluar dari agama), dan bughat (pemberontakan). Sedangkan hukuman mati adalah bagian dari hukuman yang sifatnya irreversible, yaitu hukuman yang seketika dijatuhkan dan dilaksanakan maka tak ada kesempatan bagi hakim untuk memperbaiki.

Untuk hukuman seperti ini Hakim harus mendapatkan keterangan yang orisinil dan se-faktual mungkin dari para saksi dan korban. Dari para korban yang kemudian menjadi saksi korban, hakim juga perlu menggali keterangan yang terkait dengan perkara yang sedang ditanganinya. Bukan hanya karena ancaman hukuman yang dijatuhkan berat, tetapi lebih kepada untuk menghargai hak tersangka untuk tidak dipidana, baik secara sosial maupun legal formal sebelum adanya putusan hukum (in kraht van gewijscd).

Keberadaan saksi dan korban sebagai bagian dari alat bukti merupakan sesuatu yang wajib. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana diterangkan bahwa alat bukti yang sah ada lima, yaitu; 1. keterangan saksi; 2. keterangan ahli; 3. surat; 4. petunjuk; 5. keterangan terdakwa. 5

Dalam hukum acara pidana keberadaan saksi dan korban merupakan faktor yang sangat penting. Keterangan korban juga merupakan dari keterangan saksi. Hukum Islam juga mengatur eksistensi keterangan saksi, korban yang juga menjadi saksi. Al-Qur’an al-Baqarah ayat 282 menjelaskan

$ #e

&6f0

KX g

i

1

%\"

5


(15)

j>\

*

%eP

5#k S

F

0&.

M&2

KXl! m P

nom&- S

K50

p q0

%ra\"

&5

st

-%\"

\ I

iRu

0

5

4o;U

0

a$)O

!#

&-;v7? 6 S

0

a$)O

!#

M[&- wx0

3

TSy&2

z I

iRu

0

]#

0&"

$Q

…….

-Artinya: “Dan hendaklah kamu mengadakan dua orang saksi lelaki dari kalangan kamu. kemudian kalau tidak ada saksi dua orang lelaki, maka bolehlah, seorang lelaki dan dua orang perempuan dari orang-orang yang kamu setujui menjadi saksi, supaya jika yang seorang lupa dari saksi-saksi perempuan yang berdua itu maka dapat diingatkan oleh Yang seorang lagi. dan jangan saksi-saksi itu enggan apabila mereka dipanggil…………”(Q.S; 2 : 282).

Padahal keberadaan saksi dan korban merupakan unsur yang sangat menentukan dalam proses peradilan pidana. Keberadaan saksi dan korban dalam proses peradilan pidana selama ini kurang mendapat perhatian masyarakat dan penegak hukum. Kasus-kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan banyak disebabkan oleh saksi dan korban takut memberikan kesaksian pada penegak hukum karena mendapat ancaman tertentu. Padahal saksi adalah kunci untuk memperoleh kebenaran materil.

Berdasarkan asas kesamaan di depan hukum atau Equality Before The Law yang menjadi salah satu ciri negara hukum seperti Indonesia. Maka saksi


(16)

dan korban harus dijamin haknya dan diberi perlindungan hukum lewat payung hukum formal yang jelas.

Ada beberapa kasus di Indonesia yang sangat sensitif dan cukup besar hingga menyita perhatian masyarakat. Salah satunya yang agak pelik adalah kasus kejahatan di Timor Leste. Fakta riel menunjukkan sangat pincangnya proses peradilan atas kasus-kasus kejahatan HAM di Timor Leste yang saat ini sedang berlangsung di Pengadilan HAM akibat tidak adanya mekanisme perlindungan saksi dan korban.

Sejak bulan Februari 2002, Pengadilan HAM mulai beroperasi mengadili kasus-kasus kejahatan kemanusiaan di Timor Leste. Bulan Mei 2002, persidangan kasus-kasus ini sampai pada tahap pembuktian, yakni tahap mendengarkan keterangan saksi dan memeriksa alat bukti lainnya. Berdasarkan pengamatan, pengadilan sangat timpang akibat tidak mampu memberikan jaminan perlindungan saksi dan korban selama persidangan berlangsung.

Di sisi lain, keterbatasan saksi untuk berbicara dalam bahasa Indonesia juga tidak disikapi oleh Majelis Hakim dengan baik. Majelis Hakim yang diketuai oleh Cicut Sutiarso dalam perkara dengan terdakwa Herman Sedyono, dkk, misalnya, menolak penterjemah bahasa Tetun yang disediakan untuk membantu saksi Dominggas Dos Santos Mauzinho hanya karena alasan sepele tidak ada surat pengantar dan sertifikat penterjemah.6

6

Supriyadi Widodo Eddyino, Saksi dalam ancaman: Dokumentasi Kasus, (Jakarta: ELSAM, 2005), h. 29


(17)

Contoh kasus di Timor Leste ini adalah contoh yang nyata bahwa ada semacam tindakan diskriminatif bagi para saksi dan korban yang kemudian juga dibiarkan oleh majelis hakim. Ini hanya satu contoh yang terungkap di media. Belum pada kasus kecil yang kemudian tenggelam dan berimplikasi pada gagalnya menghadirkan persidangan yang jujur dan obyektif di Indonesia.

Berangkat dari hal seperti ini dalam konsep lembaga perlindungan saksi dan korbanlah, penulis berniat untuk mengangkat tema ini sebagai bahan penelitian. Penulis penting untuk mnggali apa-apa saja dasar hukum perlindungan saksi dan korban baik ditinjau dari hukum pidana maupun Hukum Islam.

Penulis mencoba untuk menyusun satu karya ilmiah dengan judul :

“KEDUDUKAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DI INDONESIA (KAJIAN HUKUM ISLAM)”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Penelitian ini akan menjelaskan sejauh mana urgensi perlindungan saksi dan korban serta bagaimana konsep lembaga perlindungan saksi dan korban yang dicerminkan pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Dari pokok masalah tersebut disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut:


(18)

2. Bagaimanakah wewenang, tugas dan tanggung jawab lembaga perlidungan saksi dan korban di Indonesia?

3. Bagaimanakah pandangan hukum pidana Islam terhadap kedudukan lembaga perlindungan saksi dan korban di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini bertujuan untuk :

a. Menjelaskan tingkat urgensi perlindungan saksi dan korban di Indonesia. b. Menjelaskan wewenang, tugas dan tanggung jawab lembaga perlidungan

saksi dan korban di Indonesia.

c. Menjelaskan pandangan hukum pidana Islam terhadap kedudukan lembaga perlindungan saksi dan korban di Indonesia.

2. Manfaat Penalitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Hukum Pidana yang berwawasan keislaman. Selain itu, diharapkan pula dapat memberikan informasi tentang kedudukan lembaga perlindungan saksi dan korban kepada masyarakat luas. Lebih dari itu, hasil penelitian dapat dijadikan sebagai masukan kepada kalangan Hakim yang berwenang dalam memutuskan perkara yang tidak mengabaikan keberadaan saksi dan korban, sehingga dapat dilaksanakan perbaikan yang diperlukan untuk


(19)

dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang Hukum, khususnya mengenai perlindungan saksi dan korban.

D. Review Studi Terdahulu

Dalam menghimpun bahan yang dijadikan materi penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode library research yaitu penelitian kepustakaan dan literatur yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini. Buku-buku yang dijadikan sumber materi, terutama buku-buku fiqh, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap saksi dan korban Pelanggaran HAM Berat, Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Korban pelanggaran HAM Berat. Disamping itu penulis mengambil bahan-bahan dari buku-buku, tulisan-tulisan ilmiah yang membahas tentang perlindungan saksi dan korban yang dijadikan sebagai sumber pokok pembahasan skripsi ini.

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kualitatif. Sebenarnya banyak yang mendefinisikan apa itu penelitian kualitatif. Tapi Moleong


(20)

mensintesiskan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain., secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.7 Penelitian ini terdiri dari penelitian hukum normatif (penelitian hukum kepustakaan) yang mengkaji asas-asas dan norma-norma suatu sistem hukum. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.8 Penelitian ini juga menuturkan dan menafsirkan data yang berkenaan dengan satu variabel, dengan menyajikannya apa adanya.

2. Teknik Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan teknik studi dokumentasi, yakni mengkaji : Bahan Hukum, terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Dalam kaitan ini peraturan perundang-undangan yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara

7

Lexi J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung, Remaja Rosda Karya,2005) cet ke- 21, h.6

8

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004), cet. ke 8, h. 13


(21)

Pidana serta Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Sedangkan bahan hukum sekundernya adalah buku-buku hukum serta catatan dan tulisan-tulisan lain yang mendukung dan memperjelas bahan hukum primer serta bahan hukum lain yang penulis dapatkan baik melalui penelusuran buku-buku yang berkaitan, surfing internet, artikel-artikel, jurnal-jurnal, ataupun dari sumber lainnya.

3. Teknik Analisa Data

Dalam menganalisis data, diterapkan teknik analisis isi secara kualitatif. Jadi, dengan teknik ini penulis berusaha untuk mengkualifikasikan data-data yang telah diperoleh dan disusun, kemudian melakukan interpretasi dan formulasi.

Untuk mencapai sasaran seperti yang diharapkan maka sistematika pembahasan ini dibagi menjadi lima bab. Teknik Penulisan yang digunakan dalam skripsi ini mengacu kepada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007.

F. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika pembahasan sebagai berikut:

BAB I Merupakan bagian pendahuluan atau berisikan pengantar, yang memuat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan


(22)

penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Dimaksudkan dengan pendahuluan, agar para pembaca sudah dapat mengetahui garis besar penelitian. Bab pertama ini adalah sebagai pengantar.

BAB II Terdiri dari dua sub bab yang membahas membahas tentang, Pertama; Perlindungan Saksi Dalam Hukum Pidana Islam, Kedua; Perlindungan Korban Dalam Hukum Pidana Islam.

BAB III Terdiri dari tiga sub bab yang membahas tentang, Pertama; Urgensi Perlindungan Saksi dan Korban, Kedua; Kedudukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Ketiga; Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

BAB IV Merupakan Analisis Hukum Pidana Islam terhadap Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia. Bab ini terbagi dalam tiga sub bab. Pertama ; Makna Perlindungan Saksi dan Korban dalam Hukum Pidana Islam, Kedua ; Kedudukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Menurut Hukum Pidana Islam,

Ketiga Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban Menurut Hukum Pidana Islam. BAB V Adalah Penutup, terdiri dari kesimpulan dan saran-saran. Bab V

sebagai kesimpulan adalah konsekuensi dari metodologi. Pengambilan kesimpulan ini harus dilakukan untuk menemukan jawaban yang diajukan pada penelitian ini.


(23)

BAB II

TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DALAM HUKUM ISLAM

A. Perlindungan Saksi Dalam Hukum Pidana Islam

Istilah saksi sudah dikenal mulai dari adanya perbuatan pidana dan pelaku tindak pidana. Bisa dikatakan bahwa, tidak akan ada tindak pidana tanpa adanya korban dan pelaku tindak pidana serta tidak akan pernah efektif jalannya persidangan jika tidak ada saksi.

Kata adalah bentuk jama’ dari yaitu

memberitahukan. Sedangkan saksi menurut syara’ adalah pemberitahuan oleh seseorang menggunakan lafadz tertentu mengenai adanya hak yang berada pada tanggungan orang lain.9

Dalam hukum pidana Islam, kesaksian disebut dengan Syahadah yang dapat didefinisikan sebagai berikut:

!

"

#

$%ﺏ'

( ) *+

,- ﺏ *+

Artinya: “bahwasanya kesaksian itu adalah memberitahukan dengan sebenarnya hak seseorang terhadap orang lain dengan lafadz aku bersaksi”.10

9

Aliy As’ad, Terjemah Fathul Mu’in, (Kudus: Menara Kudus, 1979), Jilid 3, h. 459.

10

Jalaluddin Muhammad Bin Ahmad Mahali, Hasyiyatan, (Beirut: Daar al-Fiqri, 2006), Jilid 4, h. 319.


(24)

BAB III

LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DI INDONESIA

A. Urgensi Perlindungan Saksi dan Korban

Sampai saat ini, posisi saksi dan korban cenderung diperlakukan hanya bagian dari salah satu alat bukti. Saksi selalu saja didorong untuk bersuara di depan pengadilan (dalam pemeriksaan) sedangkan korban yang biasanya dijadikan sebagai seorang saksi korban hanya ”ditunjukkan” di depan pengadilan untuk mendukung argumentasi jaksa penuntut umum. Setelah itu tidak ada upaya untuk menjamin adanya upaya perlindungan kepada saksi yang memberikan keterangan di pengadilan, demikian juga bagi korban tidak ada upaya pemulihan yang memadai untuk mengembalikan posisi korban seperti semula.11

Keberpihakan hukum terhadap saksi dan korban yang sangat timpang terlihat dari beberapa peraturan yang lebih banyak memberikan hak-hak istimewa kepada tersangka maupun terdakwa. KUHAP sendiri menjadi tameng hukum yang efektif bagi dinikmatinya hak-hak terdakwa dan tersangka sedangkan posisi yang sebaliknya justru dialami oleh para korban dan saksi.

11

Supriyadi Widodo Eddyono, Perlindungan Saksi dan Korban Pelanggaran HAM Berat, Seri Kampanye RUU Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 2 Tahun 2005, (Jakarta: Elsam, 2005), h. 1.


(25)

BAB IV

ANALISA HUKUM ISLAM TERHADAP LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DI INDONESIA

A. Makna Perlindungan Saksi dan Korban dalam Hukum Islam

Hukum Islam bersumber pada al-Qur’an, al-Hadits dan Ijma’ para sahabat dan tabi’in. Al-Qur’an dan al-Hadits melengkapi sebagian besar dari hukum Ilam, kemudian para sahabat dan tabi’in menambahkan atas hukum-hukum itu. Aneka hukum-hukum yang diperlukan untuk menyelesaikan kemusykilan-kemusykilan tang terjadi dalam masyarakat. Karenanya dapat dikatakan bahwa Syariat (hukum) Islam, adalah hukum-hukum yang bersifat umum yang dapat diterapkan dalam perkembangan hukum Islam menurut kondisi dan situasi masyarakat. Hukum Islam mempunyai gerak yang tetap dan perkembangan yang terus menerus karenanya hukum Islam senantiasa berkembang dan perkembangan itu merupakan tabi’at hukum Islam yang terus hidup.12

Tidak ada satupun agama seperti Islam yang menyadari hak orang-orang yang didzalimi (korban) dan berbuat untuk melindungi mereka dari kesewenang-wenangan pelaku tindak pidana, tanpa bisa menuntut apapun

12


(26)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melakukan penelitian, akhirnya rumusan masalah dalam penelitian mendapatkan jawabannya.

Penulis mengabil kesimpulan pentingnya peran lembaga dalam perlindungan saksi dan korban sebagai berikut:

a. Keberadaan saksi dan korban sangat penting mengingat sering kali aparat penegak hukum mengalami kesulitan dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana yang disebabkan tidak dapat menghadirkan saksi dan korban.

b. Dalam pemeriksaan terhadap perkara pidana untuk mengungkap kebenaran dan memberi keadilan berkaitan erat dengan alat bukti. Saksi dan korban memiliki kedudukan yang sangat signifikan dalam pengungkapan kebenaran materiil. Pada posisi itulah saksi dan korban melekat potensi ancaman. Ketidakhadiran saksi dan korban memenuhi


(27)

panggilan atau permintaan aparat penegak hukum ini sering kali disebabkan adanya ancaman., baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu yang ditujukan kepada saksi dan korban.


(28)

DAFTAR PUSTAKA

Abi Zakaria Yahya Bin Syarif an-Nawawi, Syeh al-Islamyi, Riyadussalihin, (Pekalongan: Raja Murah,tth).

Al-Kattani, Abdul Hayyie, dan Kamaluddin Nurdin, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Hukum Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2000), Cet. Ke-1.

Al-Maududi, Abul A’la, Maulana, Hak Asasi Manusia Dalma Islam, Terjemahan Ahmad Nashir Budiman, (Bandung, Pustaka, 1995,).

Al-‘Audah, Abdul al-Qodir, al-Tasyri’ al-Jina’iy al-Islamiy, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Juz ke-1.

Al-‘Audah, Abdul al-Qadir, al-Tasyri’ al-Jina’iy al-Islamiy, (Beirut: al-Muassasah al-Risalah, t.th.), Juz ke-2.

Al-‘Awwa, Muhammad Salim, al-Fiqh al-Islamiy Fi Tariq al-Tajdid, (Beirut: al-Maktab al-Islamiy, 1998).

Amin Suma, Muhammad, Pidana Islam di Indonesia “Peluang, Prospek dan Tantangan”, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), Cet. Ke-1.

Asshiddiqie, Jimly, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia : Studi Tentang Bentuk-bentuk Pidana Dalam tradisi Fiqih Dan Relevansinya Bagi Usaha Pembaharuan KUHP Nasional, (Bandung: Penerbit Angkasa, 1996).

Ash-Shiddiqi, Hasbi, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975). As’ad, Aliy, Terjemah Fathul Mu’in, (Kudus: Menara Kudus, 1979), Jilid 3.

Djaelani, Abdul Qadir, Sekitar Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Media Dakwah, t.th).

Earley, Pete, dan Gerarld Shur, WITSEC: Pengalaman Program Perlindungan Saksi Federal AS, (Jakarta; ELSAM, 2005).


(29)

(1)

BAB III

LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DI INDONESIA

A. Urgensi Perlindungan Saksi dan Korban

Sampai saat ini, posisi saksi dan korban cenderung diperlakukan hanya bagian dari salah satu alat bukti. Saksi selalu saja didorong untuk bersuara di depan pengadilan (dalam pemeriksaan) sedangkan korban yang biasanya dijadikan sebagai seorang saksi korban hanya ”ditunjukkan” di depan pengadilan untuk mendukung argumentasi jaksa penuntut umum. Setelah itu tidak ada upaya untuk menjamin adanya upaya perlindungan kepada saksi yang memberikan keterangan di pengadilan, demikian juga bagi korban tidak ada upaya pemulihan yang memadai untuk mengembalikan posisi korban seperti semula.11

Keberpihakan hukum terhadap saksi dan korban yang sangat timpang terlihat dari beberapa peraturan yang lebih banyak memberikan hak-hak istimewa kepada tersangka maupun terdakwa. KUHAP sendiri menjadi tameng hukum yang efektif bagi dinikmatinya hak-hak terdakwa dan tersangka sedangkan posisi yang sebaliknya justru dialami oleh para korban dan saksi.

11

Supriyadi Widodo Eddyono, Perlindungan Saksi dan Korban Pelanggaran HAM Berat, Seri Kampanye RUU Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 2 Tahun 2005, (Jakarta: Elsam, 2005), h. 1.


(2)

BAB IV

ANALISA HUKUM ISLAM TERHADAP LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DI INDONESIA

A. Makna Perlindungan Saksi dan Korban dalam Hukum Islam

Hukum Islam bersumber pada al-Qur’an, al-Hadits dan Ijma’ para sahabat dan tabi’in. Al-Qur’an dan al-Hadits melengkapi sebagian besar dari hukum Ilam, kemudian para sahabat dan tabi’in menambahkan atas hukum-hukum itu. Aneka hukum-hukum yang diperlukan untuk menyelesaikan kemusykilan-kemusykilan tang terjadi dalam masyarakat. Karenanya dapat dikatakan bahwa Syariat (hukum) Islam, adalah hukum-hukum yang bersifat umum yang dapat diterapkan dalam perkembangan hukum Islam menurut kondisi dan situasi masyarakat. Hukum Islam mempunyai gerak yang tetap dan perkembangan yang terus menerus karenanya hukum Islam senantiasa berkembang dan perkembangan itu merupakan tabi’at hukum Islam yang terus hidup.12

Tidak ada satupun agama seperti Islam yang menyadari hak orang-orang yang didzalimi (korban) dan berbuat untuk melindungi mereka dari kesewenang-wenangan pelaku tindak pidana, tanpa bisa menuntut apapun

12


(3)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melakukan penelitian, akhirnya rumusan masalah dalam penelitian mendapatkan jawabannya.

Penulis mengabil kesimpulan pentingnya peran lembaga dalam perlindungan saksi dan korban sebagai berikut:

a. Keberadaan saksi dan korban sangat penting mengingat sering kali aparat penegak hukum mengalami kesulitan dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana yang disebabkan tidak dapat menghadirkan saksi dan korban.

b. Dalam pemeriksaan terhadap perkara pidana untuk mengungkap kebenaran dan memberi keadilan berkaitan erat dengan alat bukti. Saksi dan korban memiliki kedudukan yang sangat signifikan dalam pengungkapan kebenaran materiil. Pada posisi itulah saksi dan korban melekat potensi ancaman. Ketidakhadiran saksi dan korban memenuhi


(4)

panggilan atau permintaan aparat penegak hukum ini sering kali disebabkan adanya ancaman., baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu yang ditujukan kepada saksi dan korban.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Abi Zakaria Yahya Bin Syarif an-Nawawi, Syeh al-Islamyi, Riyadussalihin, (Pekalongan: Raja Murah,tth).

Al-Kattani, Abdul Hayyie, dan Kamaluddin Nurdin, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Hukum Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2000), Cet. Ke-1.

Al-Maududi, Abul A’la, Maulana, Hak Asasi Manusia Dalma Islam, Terjemahan Ahmad Nashir Budiman, (Bandung, Pustaka, 1995,).

Al-‘Audah, Abdul al-Qodir, al-Tasyri’ al-Jina’iy al-Islamiy, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Juz ke-1.

Al-‘Audah, Abdul al-Qadir, al-Tasyri’ al-Jina’iy al-Islamiy, (Beirut: al-Muassasah al-Risalah, t.th.), Juz ke-2.

Al-‘Awwa, Muhammad Salim, al-Fiqh al-Islamiy Fi Tariq al-Tajdid, (Beirut: al-Maktab al-Islamiy, 1998).

Amin Suma, Muhammad, Pidana Islam di Indonesia “Peluang, Prospek dan Tantangan”, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), Cet. Ke-1.

Asshiddiqie, Jimly, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia : Studi Tentang Bentuk-bentuk Pidana Dalam tradisi Fiqih Dan Relevansinya Bagi Usaha Pembaharuan KUHP Nasional, (Bandung: Penerbit Angkasa, 1996).

Ash-Shiddiqi, Hasbi, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975). As’ad, Aliy, Terjemah Fathul Mu’in, (Kudus: Menara Kudus, 1979), Jilid 3.

Djaelani, Abdul Qadir, Sekitar Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Media Dakwah, t.th).

Earley, Pete, dan Gerarld Shur, WITSEC: Pengalaman Program Perlindungan Saksi Federal AS, (Jakarta; ELSAM, 2005).


(6)