Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan saksi yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana korban yang kemudian menjadi saksi. Keberadaan saksi dan korban sangat penting mengingat sering kali aparat penegak hukum mengalami kesulitan dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana yang disebabkan tidak dapat menghadirkan saksi. Ketidakhadiran saksi dan korban memenuhi panggilan atau permintaan aparat penegak hukum ini sering kali disebabkan adanya ancaman., baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu yang ditujukan kepada saksi dan korban. 1 Kedudukan saksi dan korban dalam Sistem Peradilan Pidana saat ini belum ditempatkan secara adil bahkan cenderung terlupakan. Kondisi ini berimplikasi pada dua hal yang fundamental, yaitu tiadanya perlindungan hukum bagi saksi dan korban dan tiadanya putusan hakim yang memenuhi rasa keadilan bagi korban, pelaku maupun masyarakat luas. Lembaga perlindungan saksi dan korban merupakan satu wacana yang belakangan marak digulirkan karena pasal 50 sampai 68 Undang-Undang Nomor 1 Wahyu Wagiman, dkk, Naskah Akademis dan Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Pemberian Konpensasi dan Restitusi serta Bantuan Bagi Korban Jakrta: ICW, 2007, h. 9. 8 Tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Keberpihakan hukum terhadap saksi dan korban yang sangat timpang terlihat dari beberapa peraturan yang lebih banyak memberikan hak-hak istimewa kepada tersangka maupun terdakwa. KUHAP sebagai landasan untuk beracara dalam perkara pidana ternyata cenderung lebih banyak memberikan porsi perlindungan kepada terdakwa dan tersangka dari pada kepada saksi. Dengan kondisi ini, KUHAP sendiri menjadi tameng hukum yang efektif bagi dinikmatinya hak-hak terdakwa dan tersangka sedangkan posisi yang sebaliknya justru dialami oleh para korban dan saksi. Mereka tidak mendapatkan hak-hak yang seharusnya mereka terima sebagai seorang yang ikut berperan dalam penegakan hukum. Saksi dan Korban sangat jarang bahkan tidak pernah mendapatkan hak-hak pemulihan bagi dirinya maupun keluarganya. 2 Logika sederhana kenapa kemudian penting untuk melindungi para saksi dan korban. Keberadaan lembaga perlindungan saksi dan korban menjadi sedemikian pentingnya di Indonesia pada saat ini mengingat lembaga penegak hukum seperti kepolisian dan kejaasaan membutuhkan instrumen hukum untuk melakukan pekerjaan perlindungan saksi dan korban berstandarkan prinsip Internasional. 2 Supriyadi Widodo Eddyono, dkk, Perlindungan Saksi dan Korban Pelanggaran HAM Bera, Jakrta: ELSAM, 2005, h. 1. Undang-undang perlindungan saksi dan korban adalah jalan utama untuk memperbaiki konsep lembaga perlindungan saksi dan korban di Indonesia. Proses peradilan pidana yang muaranya berupa putusan hakim di pengadilan sebagaimana terjadi saat ini, tampak cenderung melupakan dan meninggalkan saksi dan korban. Para pihak terkait antara lain jaksa penuntut umum, penasihat hukum tersangkaterdakwa, saksi dan korban serta hakim dengan didukung alat bukti yang ada, cenderung berpumpun focus pada pembuktian atas tuduhan jaksa penuntut umum terhadap tersangkaterdakwa. Proses peradilan lebih berkutat pada perbuatan tersangkaterdakwa memenuhi rumusan pasal hukum pidana yang dilanggar atau tidak. Dalam proses seperti itu tampak hukum acara pidana sebagai landasan beracara dengan tujuan untuk mencari kebenaran materiil substantial truth sebagai kebenaran yang selengkap- lengkapnya dan perlindungan hak asasi manusia protection of human right tidak seluruhnya tercapai. 3 Dilupakannya unsur saksi dan korban dalam proses peradilan cenderung menjauhkan putusan hakim yang memenuhi rasa keadilan bagi pelaku maupun masyarakat. Dalam beberapa kasus, saksi dan korban dapat berperan dengan berbagai derajat kesalahan dari yang tidak bersalah sama sekali hingga derajat lebih salah daripada pelaku. 3 Angkasa, dkk, “ Kedudukan Korban Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana “Kajian Tentang Model Perlindungan Hukum Bagi Korban Serta Pengembangan Model Pemidanaan Dengan Mempertimbangkan Peranan Korban, Penelitian Hukum Supremasi Hukum Vol. 12 No. 2 Agustus 2007, FH UNIB Bengkulu, hal. 119-128. Ketika terjadi suatu tindak pidana biasanya yang paling dirugikan adalah korban. Bukan hanya ketika korban menjadi Victim, tetapi saat pemeriksaaan di kepolisian, kemudian stigmatisasi negatif dari masyarakat –untuk kejahatan kekerasan seksual-, pergantian kerugian memakan waktu yang lama –kalaupun ada- berminggu-minggu, serta bentuk perlindungan dari negara yang tidak jelas. Secara psikologis korban lebih “tersiksa” dari pada saksi ketika harus berhadapan dengan masyarakat. Pasal 3,4 dan 5 DUHAM pada dasarnya menegasakan hak hidup dan mendapatkan perlindungan pada diri setiap orang, tanpa membeda-bedakan suku warna kulit dan agama yang dianutya. 4 Sehubungan dengan hal tersebut al-Qur’an surat al-Isra` ayat 31 dan 33:   , -. 012 3 45 6 5 7 089 :; =-? “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu Karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”. Q.S. 17 : 31 6 A B4 CDEF GA- H I0 J 4 Ahmad Kosasih, HAM Dalam Perspektif Islam, Menyingkap Persamaan dan Perbedaan Antara Islam dan Barat, Jakarta, Salemba Diniyah, 2003, h. 68 KL 00 M “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah membunuhnya, melainkan dengan suatu alasan yang benar……… “. Q.S. 17 : 33 Surat al-Balad ayat 12-16 : I0 NO PQ N RN S T P  UV  RX YZ 2 [\] N N_ 0`aQ\b2 ] T -  0cQ;M_\ ] N = d - “Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?. yaitu melepaskan budak dari perbudakan. Atau memberi makan pada hari kelaparan. kepada anak yatim yang ada hubungan kerabat. Atau kepada orang miskin yang sangat fakir”. Q.S. 90 : 12-16 Jadi, perlindungan tidak hanya diberikan kepada orang yang sedang teraniaya korban melainkan kepada orang yang menganiaya pelaku itu sendiri yaitu dengan jalan melepaskan tangannya dari perbuatan aniaya zalim tersebut. Dalam konteks persidangan hakim membutuhkan sesuatu yang otentik dan orisinil yang kemudian dapat dijadikan pegangan yang kuat untuk mengambil suatu putusan. Saksi dan korban merupakan bagian dari persidangan yang keterangannya sangat dibutuhkan untuk mendapatkan kebenaran materil. Menurut Hukum Islam ada beberapa tindak pidana yang ancaman sanksinya sangat berat sampai hukuman mati. Seperti pada perkara pembunuhan, murtad keluar dari agama, dan bughat pemberontakan. Sedangkan hukuman mati adalah bagian dari hukuman yang sifatnya irreversible, yaitu hukuman yang seketika dijatuhkan dan dilaksanakan maka tak ada kesempatan bagi hakim untuk memperbaiki. Untuk hukuman seperti ini Hakim harus mendapatkan keterangan yang orisinil dan se-faktual mungkin dari para saksi dan korban. Dari para korban yang kemudian menjadi saksi korban, hakim juga perlu menggali keterangan yang terkait dengan perkara yang sedang ditanganinya. Bukan hanya karena ancaman hukuman yang dijatuhkan berat, tetapi lebih kepada untuk menghargai hak tersangka untuk tidak dipidana, baik secara sosial maupun legal formal sebelum adanya putusan hukum in kraht van gewijscd. Keberadaan saksi dan korban sebagai bagian dari alat bukti merupakan sesuatu yang wajib. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana diterangkan bahwa alat bukti yang sah ada lima, yaitu; 1. keterangan saksi; 2. keterangan ahli; 3. surat; 4. petunjuk; 5. keterangan terdakwa. 5 Dalam hukum acara pidana keberadaan saksi dan korban merupakan faktor yang sangat penting. Keterangan korban juga merupakan dari keterangan saksi. Hukum Islam juga mengatur eksistensi keterangan saksi, korban yang juga menjadi saksi. Al-Qur’an al-Baqarah ayat 282 menjelaskan e 6f0 KX g i 1 \ 5 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana pasal 184 j\ eP 5k S F 0. M2 KXl m P nom- S K50 p q0 ra\ 5 st - \ \ I iRu 5 4o;U aO  -;v7? 6 S aO  M[- wx0 3 TSy2 z I iRu ] Q ……. - Artinya: “Dan hendaklah kamu mengadakan dua orang saksi lelaki dari kalangan kamu. kemudian kalau tidak ada saksi dua orang lelaki, maka bolehlah, seorang lelaki dan dua orang perempuan dari orang-orang yang kamu setujui menjadi saksi, supaya jika yang seorang lupa dari saksi-saksi perempuan yang berdua itu maka dapat diingatkan oleh Yang seorang lagi. dan jangan saksi-saksi itu enggan apabila mereka dipanggil…………” Q.S; 2 : 282. Padahal keberadaan saksi dan korban merupakan unsur yang sangat menentukan dalam proses peradilan pidana. Keberadaan saksi dan korban dalam proses peradilan pidana selama ini kurang mendapat perhatian masyarakat dan penegak hukum. Kasus-kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan banyak disebabkan oleh saksi dan korban takut memberikan kesaksian pada penegak hukum karena mendapat ancaman tertentu. Padahal saksi adalah kunci untuk memperoleh kebenaran materil. Berdasarkan asas kesamaan di depan hukum atau Equality Before The Law yang menjadi salah satu ciri negara hukum seperti Indonesia. Maka saksi dan korban harus dijamin haknya dan diberi perlindungan hukum lewat payung hukum formal yang jelas. Ada beberapa kasus di Indonesia yang sangat sensitif dan cukup besar hingga menyita perhatian masyarakat. Salah satunya yang agak pelik adalah kasus kejahatan di Timor Leste. Fakta riel menunjukkan sangat pincangnya proses peradilan atas kasus-kasus kejahatan HAM di Timor Leste yang saat ini sedang berlangsung di Pengadilan HAM akibat tidak adanya mekanisme perlindungan saksi dan korban. Sejak bulan Februari 2002, Pengadilan HAM mulai beroperasi mengadili kasus-kasus kejahatan kemanusiaan di Timor Leste. Bulan Mei 2002, persidangan kasus-kasus ini sampai pada tahap pembuktian, yakni tahap mendengarkan keterangan saksi dan memeriksa alat bukti lainnya. Berdasarkan pengamatan, pengadilan sangat timpang akibat tidak mampu memberikan jaminan perlindungan saksi dan korban selama persidangan berlangsung. Di sisi lain, keterbatasan saksi untuk berbicara dalam bahasa Indonesia juga tidak disikapi oleh Majelis Hakim dengan baik. Majelis Hakim yang diketuai oleh Cicut Sutiarso dalam perkara dengan terdakwa Herman Sedyono, dkk, misalnya, menolak penterjemah bahasa Tetun yang disediakan untuk membantu saksi Dominggas Dos Santos Mauzinho hanya karena alasan sepele tidak ada surat pengantar dan sertifikat penterjemah. 6 6 Supriyadi Widodo Eddyino, Saksi dalam ancaman: Dokumentasi Kasus, Jakarta: ELSAM, 2005, h. 29 Contoh kasus di Timor Leste ini adalah contoh yang nyata bahwa ada semacam tindakan diskriminatif bagi para saksi dan korban yang kemudian juga dibiarkan oleh majelis hakim. Ini hanya satu contoh yang terungkap di media. Belum pada kasus kecil yang kemudian tenggelam dan berimplikasi pada gagalnya menghadirkan persidangan yang jujur dan obyektif di Indonesia. Berangkat dari hal seperti ini dalam konsep lembaga perlindungan saksi dan korbanlah, penulis berniat untuk mengangkat tema ini sebagai bahan penelitian. Penulis penting untuk mnggali apa-apa saja dasar hukum perlindungan saksi dan korban baik ditinjau dari hukum pidana maupun Hukum Islam. Penulis mencoba untuk menyusun satu karya ilmiah dengan judul : “KEDUDUKAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DI INDONESIA KAJIAN HUKUM ISLAM”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah