Pajak Karbon untuk Redam Perubahan Iklim
Pajak Karbon untuk Redam Perubahan Iklim
Untuk mengerem terus naiknya emisi CO2, pakar lingkungan Jerman Ottmar Edenhofer usulkan
pajak karbon. Dengan itu pendosa lingkungan dan iklim harus membayar mahal jika tidak mau
mereduksi tingkat emisinya.
Sebuah gagasan yang terdengar kontroversial. Pakar iklim Ottmar Edenhofer dari Institut Riset
Dampak Perubahan Iklim di Potsdam, Jerman dalam kerangka KTT Iklim PBB di Lima
mengusulkan penerapan pajak karbon untuk pendosa iklim. Apakah ada manfaatnya bagi negara
yang menerapkannya? Berikut wawancara dengan redaktur iptek dan lingkungan DW Irene
Quaile .
DW: Anda mengusulkan pajak CO2 dalam 10 tahun ke depan, mengapa kita perlu langkah ini?
Edenhofer: Kita perlu pajak CO2 karena kapasitas penyimpanan di atmosfir kini makin terbatas,
hanya tersisa untuk 1000 gigaton CO2. Artinya, jika makin langka, perlu harga. Jika tidak
investor, konsumen dan perusahaan tidak tahu, ke arah mana mereka harus menanamkan
investasi. Jika kelangkaan ditegaskan dalam harga, maka investasi juga akan ditanamkan pada
arah yang tepat.
DW: Kita tahu sejak lama ada masalah iklim, tapi problem apa yang kini makin mendesak?
Edenhofer : Yang paling gawat adalah tertutupnya pintu peluang. Jika laju emisi tetap seperti
saat ini, hanya dalam dua sampi tiga dekade, kapasitas penampungan CO2 di atmosfir akan
habis. Tapi dengan penerimaan dari pajak CO2 kita mungkin punya kemungkinan bertindak lebih
besar. Misalnya digunakan membangun infrastruktur yang lebih baik dan mengurangi utang luar
negeri di banyak negara berkembang.
DW: Bagaimana Anda meyakinkan para politisi pada tema ini?
Edenhofer: Saya bisa berargumentasi, pajak CO2 bisa memperbaiki drastis kualitas udara lokal,
misalnya di Cina atau Meksiko. Jadi kepada politisi lokal, saya bisa mengatakan, dengan
pendapatan dari pajak karbon, kalian punya dana untuk pembangunan infrastruktur yang
diperlukan dalam kurun 10 hingga 20 tahun ke depan.
DW: Bagaimana memotivasi negara-negara yang masih punya cadangan besar bahan bakar
fossil dan industrinya juga diuntungkan, untuk ikut melindungi iklim.
Edenhofer: Yang menentukan adalah menanamkan visi jangka panjang, dampak dari kebijakan
mereka saat ini, bisa memicu perubahan iklim yang dampaknya juga akan melanda negara
bersangkutan. Para politisi juga melihat keuntungan jangka pendek dari perlindungan iklim.
Kualitas buruk udara di Beijing misalnya, merugikan lokasi investasi ibukota Cina itu.
Karenanya pemerintah Cina kini mempertimbangkan intensif tema perlindungan iklim.
DW: Tapi negara Eropa mencemaskan kerugian bagi lokasi industri mereka akibat pajak CO2?
Edenhofer: Kerugian dari pajak CO2 bisa diatasi secara mudah, dengan menginvestasikan
penerimaan untuk meningkatkan kualitas lokasi produksi. Kita bisa menginvestasikannya pada
sistem pendidikan dan infrastruktur, yang disebut pelan-pelan mulai turun mutunya. Amat logis,
jika kita juga membiayai pembangunan infrastruktur dengan pendapatan dari pajak karbon atau
lelang sertifikat CO2.
Ottmar Edenhofer adalah wakil direktur Institut Riset Dampak Iklim di Potsdam, Jerman
sekaligus ketua kelompok kerja III pada Dewan Iklim PBB-IPCC.
SUMBER : http://www.dw.com/id/pajak-karbon-untuk-redam-perubahan-iklim/a18105673
Pajak karbon: Solusi Perbaikan Kualitas Lingkungan?
Dibuat: Kamis, 14 April 2011 11:01
Ditulis oleh BPPK
Ditulis oleh
: Rahadi Nugroho
Dulu pada waktu SD saya diajarkan bahwa musim penghujan di Indonesia berlangsung dari
bulan Oktober hingga April sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan April hingga Oktober.
Namun beberapa tahun yang lalu kita mengalami musim kemarau yang sangat panjang bahkan
akhir-akhir ini hujan dengan intensitas yang cukup tinggi disertai badai seperti tak kenal musim
melanda Indonesia. Fenomena-fenomena anomali cuaca dan cuaca ekstrem tidak hanya terjadi di
Indonesia. Mungkin masih segar dalam ingatan kita banjir besar yang melanda Australia dan
badai salju yang melanda Eropa dan Amerika yang menyebabkan ditundanya sebagian besar
penerbangan. Apa yang menyebabkan perubahan cuaca akhir-akhir ini?
Para ahli berpendapat bahwa fenomena cuaca ektsrem akhir-akhir ini disebabkan oleh
pemanasan global yang mengakibatkan menipisnya lapisan es di kutub utara dan selatan bumi
yang menyebabkan air laut di daerah tersebut terkena radiasi sinar matahari secara langsung. Ya,
suhu bumi telah meningkat dalam beberapa dekade dan menyebabkan menipisnya lapisan es
serta meningkatkan permukaan air laut sebesar 10 sampai 25 cm selama abad 20 dan diprediksi
meningkat 9 sampai 88 cm selama abad 21. Mengapa suhu bumi meningkat? Meningkatnya
temperatur bumi disebabkan oleh semakin banyaknya energi matahari yang dipantulkan kembali
oleh bumi terperangkap oleh gas-gas seperti karbondioksida (CO2) dan metana yang semakin
banyak terkandung di dalam atmosfer. Fenomena ini yang dikenal sebagai efek rumah kaca
(greenhouse effect).
Pada tahun 2008, Indonesia tercatat sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ketiga di
dunia setelah Amerika Serikat dan China. Emisi gas rumah kaca di Indonesia disebabkan oleh
penggundulan hutan dan konversi lahan (85%), sektor energi (9%) dan sektor pertanian (6%).
Hal inilah yang membuat Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon
sebesar 26% pada tahun 2020 atau turun 6% dari emisi saat ini. Bahkan dengan bantuan
international Indonesia dapat menurunkan emisi karbon hingga 41% pada tahun 2020
sebagaimana yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam KTT tentang iklim
di Copenhagen, Denmark beberapa waktu yang lalu.
Bagaimana Strategi Penurunan Emisi Karbon yang dilakukan Pemerintah Indonesia?
Emisi karbon Indonesia didominasi oleh konversi lahan dan penggundulan hutan, namun
demikian dalam beberapa dekade ke depan emisi dari sektor energi bisa jadi lebih tinggi dari
emisi karbon dari penggundulan hutan dan konversi lahan apabila tidak dilakukan upaya yang
serius untuk membatasi emisi karbon dari sektor energi. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi
Indonesia permintaan energi Indonesia tumbuh 7% tiap tahun. Ketergantungan yang tinggi
terhadap batu bara sebagai sumber energi bagi pembangkit listrik dikhawatirkan akan menaikan
posisi sektor energi sebagai penghasil emisi karbon tertinggi menggantikan konversi lahan dan
penggundulan hutan. Oleh karena itu, perlu upaya serius untuk mengendalikan emisi karbon dari
sektor energi, diantaranya dengan:
1. Pemanfaatan sumber energi panas bumi
Seperti diketahui 40% sumber panas bumi dunia ada di Indonesia, dengan kata lain Indonesia
adalah penghasil panas bumi terbesar di dunia. Energi panas bumi menghasilkan emisi
mendekati nol atau bisa dikatakan tanpa emisi sama sekali. Namun, pengembangan energi panas
bumi di Indonesia baru mencapai 3%. Subsidi listrik bisa jadi merupakan penyebab dari tidak
berkembangnya pemanfaatan panas bumi sebagai sumber energi terutama untuk pembangkit
listrik. Listrik yang dihasilkan dari pembangkit dengan sumber energi dari fosil seperti batu bara
dan minyak bumi lebih murah dibandingkan dengan listrik yang dihasilkan dengan pembangkit
dari panas bumi sehingga memberikan keunggulan komparatif kepada listrik dari pembangkit
fosil. Pengembangan sumber energi yang rendah emisi seperti panas bumi penting bagi
Indonesia. Dalam beberapa tahun ke depan dengan perhatian terhadap iklim yang cukup tinggi,
negara dengan sumber energi yang rendah emisi mempunyai keunggulan komparatif tersendiri.
Jadi, perlu dipertimbangkan pencabutan subsidi listrik terbatas sebagai insentif investor untuk
mengembangkan listrik dari panas bumi.
2. Pajak karbon
Keunggulan komparatif sumber energi fosil dibandingkan dengan energi panas bumi tidak saja
disebabkan oleh subsidi tetapi juga karena selama ini biaya produksi listrik atau energi sebagai
komponen harga listrik atau harga energi tidak memasukan biaya kerusakan lingkungan atau
biaya emisi yang timbul akibat emisi karbon dari sumber energi fosil. Hal yang demikian akan
mengakibatkan harga energi dari sumber fosil lebih rendah dari yang seharusnya (apabila biaya
kerusakan lingkungan atau biaya emisi dimasukan dalam struktur biaya). Biaya emisi tersebut
kita kenal sebagai biaya emisi karbon atau lebih dikenal dengan carbon tax atau pajak karbon,
yaitu pajak atau biaya yang dikenakan untuk konsumsi barang yang menghasilkan emisi karbon.
Berdasarkan economic and fiscal policy strategies for climate change mitigation in Indonesia
yang dirilis Kementerian Keuangan atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ministry of Finance
Green Paper, Pemerintah Indonesia berencana untuk memberlakukan pajak karbon pada tahun
2014. Pajak karbon sejumlah Rp 80.000 setiap ton emisi CO2 akan diterapkan dan dijadwalkan
naik 5% setiap tahun. Pajak karbon akan dikenakan kepada penggunaan listrik dari bahan bakar
fosil, minyak solar, minyak tanah dan bensin. Sebagai akibat pengenaan pajak karbon, harga
listrik diperkirakan naik Rp 60 per kwh, minyak solar dan minyak tanah naik Rp 225 per liter
dan harga bensin diperkirakan naik sekitar Rp 190 per liter. Selain dikenakan pada konsumsi
listrik dari bahan bakar fosil, minyak tanah dan bensin, Wardhana dalam policy papernya
mengusulkan agar pajak karbon juga dikenakan untuk konsumsi bahan bakar cair seperti avtur
dan naphta serta bahan bakar gas seperti gas alam, propana, butana dan etana.
Penerapan pajak karbon akan efektif jika pajak yang dikenakan lebih besar dari biaya untuk
mengurangi emisi karbon. Penerapan pajak karbon dan penghapusan subsidi tidak saja akan
mengurangi emisi tetapi juga meningkatkan pendapatan pemerintah.
Pemanfaatan Pendapatan dari Pajak Karbon
Dengan pajak karbon sebesar Rp 80.000 per ton emisi CO 2 pada tahun 2014 dan direncanakan
naik secara real 5% setiap tahun, pendapatan negara yang diperoleh dari pajak karbon
diperkirakan mencapai Rp 95 trilyun pada tahun 2020. Pendapatan tersebut dapat dipergunakan
untuk membantu masyarakat yang kurang mampu menghadapi kenaikan harga yang diperkirakan
terjadi karena penerapan pajak karbon. Selain untuk membantu masyarakat yang kurang mampu,
pendapatan dari pajak karbon juga dapat dipergunakan sebagai insentif untuk investasi pada
sumber-sumber energi yang rendah emisi karbon.
Kesimpulan
Penerapan pajak karbon dan penggunaan energi yang ramah lingkungan semoga menjadi
alternatif kebijakan publik untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik bagi Indonesia tidak
saja bagi kita sekarang tetapi juga bagi anak cucu kita dengan pembangunan ekonomi yang
berkesinambungan dan berorientasi kepada lingkungan.
“Pada hakekatnya bumi yang kita tempati sekarang bukanlah kita warisi dari nenek moyang kita
tetapi kita pinjam dari anak cucu kita”.
Dimuat pada Majalah Gagas Pajak Edisi III
SUMBER : http://www.bppk.kemenkeu.go.id/berita-pajak/12268-pajak-karbon-solusiperbaikan-kualitas-lingkungan
Untuk mengerem terus naiknya emisi CO2, pakar lingkungan Jerman Ottmar Edenhofer usulkan
pajak karbon. Dengan itu pendosa lingkungan dan iklim harus membayar mahal jika tidak mau
mereduksi tingkat emisinya.
Sebuah gagasan yang terdengar kontroversial. Pakar iklim Ottmar Edenhofer dari Institut Riset
Dampak Perubahan Iklim di Potsdam, Jerman dalam kerangka KTT Iklim PBB di Lima
mengusulkan penerapan pajak karbon untuk pendosa iklim. Apakah ada manfaatnya bagi negara
yang menerapkannya? Berikut wawancara dengan redaktur iptek dan lingkungan DW Irene
Quaile .
DW: Anda mengusulkan pajak CO2 dalam 10 tahun ke depan, mengapa kita perlu langkah ini?
Edenhofer: Kita perlu pajak CO2 karena kapasitas penyimpanan di atmosfir kini makin terbatas,
hanya tersisa untuk 1000 gigaton CO2. Artinya, jika makin langka, perlu harga. Jika tidak
investor, konsumen dan perusahaan tidak tahu, ke arah mana mereka harus menanamkan
investasi. Jika kelangkaan ditegaskan dalam harga, maka investasi juga akan ditanamkan pada
arah yang tepat.
DW: Kita tahu sejak lama ada masalah iklim, tapi problem apa yang kini makin mendesak?
Edenhofer : Yang paling gawat adalah tertutupnya pintu peluang. Jika laju emisi tetap seperti
saat ini, hanya dalam dua sampi tiga dekade, kapasitas penampungan CO2 di atmosfir akan
habis. Tapi dengan penerimaan dari pajak CO2 kita mungkin punya kemungkinan bertindak lebih
besar. Misalnya digunakan membangun infrastruktur yang lebih baik dan mengurangi utang luar
negeri di banyak negara berkembang.
DW: Bagaimana Anda meyakinkan para politisi pada tema ini?
Edenhofer: Saya bisa berargumentasi, pajak CO2 bisa memperbaiki drastis kualitas udara lokal,
misalnya di Cina atau Meksiko. Jadi kepada politisi lokal, saya bisa mengatakan, dengan
pendapatan dari pajak karbon, kalian punya dana untuk pembangunan infrastruktur yang
diperlukan dalam kurun 10 hingga 20 tahun ke depan.
DW: Bagaimana memotivasi negara-negara yang masih punya cadangan besar bahan bakar
fossil dan industrinya juga diuntungkan, untuk ikut melindungi iklim.
Edenhofer: Yang menentukan adalah menanamkan visi jangka panjang, dampak dari kebijakan
mereka saat ini, bisa memicu perubahan iklim yang dampaknya juga akan melanda negara
bersangkutan. Para politisi juga melihat keuntungan jangka pendek dari perlindungan iklim.
Kualitas buruk udara di Beijing misalnya, merugikan lokasi investasi ibukota Cina itu.
Karenanya pemerintah Cina kini mempertimbangkan intensif tema perlindungan iklim.
DW: Tapi negara Eropa mencemaskan kerugian bagi lokasi industri mereka akibat pajak CO2?
Edenhofer: Kerugian dari pajak CO2 bisa diatasi secara mudah, dengan menginvestasikan
penerimaan untuk meningkatkan kualitas lokasi produksi. Kita bisa menginvestasikannya pada
sistem pendidikan dan infrastruktur, yang disebut pelan-pelan mulai turun mutunya. Amat logis,
jika kita juga membiayai pembangunan infrastruktur dengan pendapatan dari pajak karbon atau
lelang sertifikat CO2.
Ottmar Edenhofer adalah wakil direktur Institut Riset Dampak Iklim di Potsdam, Jerman
sekaligus ketua kelompok kerja III pada Dewan Iklim PBB-IPCC.
SUMBER : http://www.dw.com/id/pajak-karbon-untuk-redam-perubahan-iklim/a18105673
Pajak karbon: Solusi Perbaikan Kualitas Lingkungan?
Dibuat: Kamis, 14 April 2011 11:01
Ditulis oleh BPPK
Ditulis oleh
: Rahadi Nugroho
Dulu pada waktu SD saya diajarkan bahwa musim penghujan di Indonesia berlangsung dari
bulan Oktober hingga April sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan April hingga Oktober.
Namun beberapa tahun yang lalu kita mengalami musim kemarau yang sangat panjang bahkan
akhir-akhir ini hujan dengan intensitas yang cukup tinggi disertai badai seperti tak kenal musim
melanda Indonesia. Fenomena-fenomena anomali cuaca dan cuaca ekstrem tidak hanya terjadi di
Indonesia. Mungkin masih segar dalam ingatan kita banjir besar yang melanda Australia dan
badai salju yang melanda Eropa dan Amerika yang menyebabkan ditundanya sebagian besar
penerbangan. Apa yang menyebabkan perubahan cuaca akhir-akhir ini?
Para ahli berpendapat bahwa fenomena cuaca ektsrem akhir-akhir ini disebabkan oleh
pemanasan global yang mengakibatkan menipisnya lapisan es di kutub utara dan selatan bumi
yang menyebabkan air laut di daerah tersebut terkena radiasi sinar matahari secara langsung. Ya,
suhu bumi telah meningkat dalam beberapa dekade dan menyebabkan menipisnya lapisan es
serta meningkatkan permukaan air laut sebesar 10 sampai 25 cm selama abad 20 dan diprediksi
meningkat 9 sampai 88 cm selama abad 21. Mengapa suhu bumi meningkat? Meningkatnya
temperatur bumi disebabkan oleh semakin banyaknya energi matahari yang dipantulkan kembali
oleh bumi terperangkap oleh gas-gas seperti karbondioksida (CO2) dan metana yang semakin
banyak terkandung di dalam atmosfer. Fenomena ini yang dikenal sebagai efek rumah kaca
(greenhouse effect).
Pada tahun 2008, Indonesia tercatat sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ketiga di
dunia setelah Amerika Serikat dan China. Emisi gas rumah kaca di Indonesia disebabkan oleh
penggundulan hutan dan konversi lahan (85%), sektor energi (9%) dan sektor pertanian (6%).
Hal inilah yang membuat Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon
sebesar 26% pada tahun 2020 atau turun 6% dari emisi saat ini. Bahkan dengan bantuan
international Indonesia dapat menurunkan emisi karbon hingga 41% pada tahun 2020
sebagaimana yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam KTT tentang iklim
di Copenhagen, Denmark beberapa waktu yang lalu.
Bagaimana Strategi Penurunan Emisi Karbon yang dilakukan Pemerintah Indonesia?
Emisi karbon Indonesia didominasi oleh konversi lahan dan penggundulan hutan, namun
demikian dalam beberapa dekade ke depan emisi dari sektor energi bisa jadi lebih tinggi dari
emisi karbon dari penggundulan hutan dan konversi lahan apabila tidak dilakukan upaya yang
serius untuk membatasi emisi karbon dari sektor energi. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi
Indonesia permintaan energi Indonesia tumbuh 7% tiap tahun. Ketergantungan yang tinggi
terhadap batu bara sebagai sumber energi bagi pembangkit listrik dikhawatirkan akan menaikan
posisi sektor energi sebagai penghasil emisi karbon tertinggi menggantikan konversi lahan dan
penggundulan hutan. Oleh karena itu, perlu upaya serius untuk mengendalikan emisi karbon dari
sektor energi, diantaranya dengan:
1. Pemanfaatan sumber energi panas bumi
Seperti diketahui 40% sumber panas bumi dunia ada di Indonesia, dengan kata lain Indonesia
adalah penghasil panas bumi terbesar di dunia. Energi panas bumi menghasilkan emisi
mendekati nol atau bisa dikatakan tanpa emisi sama sekali. Namun, pengembangan energi panas
bumi di Indonesia baru mencapai 3%. Subsidi listrik bisa jadi merupakan penyebab dari tidak
berkembangnya pemanfaatan panas bumi sebagai sumber energi terutama untuk pembangkit
listrik. Listrik yang dihasilkan dari pembangkit dengan sumber energi dari fosil seperti batu bara
dan minyak bumi lebih murah dibandingkan dengan listrik yang dihasilkan dengan pembangkit
dari panas bumi sehingga memberikan keunggulan komparatif kepada listrik dari pembangkit
fosil. Pengembangan sumber energi yang rendah emisi seperti panas bumi penting bagi
Indonesia. Dalam beberapa tahun ke depan dengan perhatian terhadap iklim yang cukup tinggi,
negara dengan sumber energi yang rendah emisi mempunyai keunggulan komparatif tersendiri.
Jadi, perlu dipertimbangkan pencabutan subsidi listrik terbatas sebagai insentif investor untuk
mengembangkan listrik dari panas bumi.
2. Pajak karbon
Keunggulan komparatif sumber energi fosil dibandingkan dengan energi panas bumi tidak saja
disebabkan oleh subsidi tetapi juga karena selama ini biaya produksi listrik atau energi sebagai
komponen harga listrik atau harga energi tidak memasukan biaya kerusakan lingkungan atau
biaya emisi yang timbul akibat emisi karbon dari sumber energi fosil. Hal yang demikian akan
mengakibatkan harga energi dari sumber fosil lebih rendah dari yang seharusnya (apabila biaya
kerusakan lingkungan atau biaya emisi dimasukan dalam struktur biaya). Biaya emisi tersebut
kita kenal sebagai biaya emisi karbon atau lebih dikenal dengan carbon tax atau pajak karbon,
yaitu pajak atau biaya yang dikenakan untuk konsumsi barang yang menghasilkan emisi karbon.
Berdasarkan economic and fiscal policy strategies for climate change mitigation in Indonesia
yang dirilis Kementerian Keuangan atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ministry of Finance
Green Paper, Pemerintah Indonesia berencana untuk memberlakukan pajak karbon pada tahun
2014. Pajak karbon sejumlah Rp 80.000 setiap ton emisi CO2 akan diterapkan dan dijadwalkan
naik 5% setiap tahun. Pajak karbon akan dikenakan kepada penggunaan listrik dari bahan bakar
fosil, minyak solar, minyak tanah dan bensin. Sebagai akibat pengenaan pajak karbon, harga
listrik diperkirakan naik Rp 60 per kwh, minyak solar dan minyak tanah naik Rp 225 per liter
dan harga bensin diperkirakan naik sekitar Rp 190 per liter. Selain dikenakan pada konsumsi
listrik dari bahan bakar fosil, minyak tanah dan bensin, Wardhana dalam policy papernya
mengusulkan agar pajak karbon juga dikenakan untuk konsumsi bahan bakar cair seperti avtur
dan naphta serta bahan bakar gas seperti gas alam, propana, butana dan etana.
Penerapan pajak karbon akan efektif jika pajak yang dikenakan lebih besar dari biaya untuk
mengurangi emisi karbon. Penerapan pajak karbon dan penghapusan subsidi tidak saja akan
mengurangi emisi tetapi juga meningkatkan pendapatan pemerintah.
Pemanfaatan Pendapatan dari Pajak Karbon
Dengan pajak karbon sebesar Rp 80.000 per ton emisi CO 2 pada tahun 2014 dan direncanakan
naik secara real 5% setiap tahun, pendapatan negara yang diperoleh dari pajak karbon
diperkirakan mencapai Rp 95 trilyun pada tahun 2020. Pendapatan tersebut dapat dipergunakan
untuk membantu masyarakat yang kurang mampu menghadapi kenaikan harga yang diperkirakan
terjadi karena penerapan pajak karbon. Selain untuk membantu masyarakat yang kurang mampu,
pendapatan dari pajak karbon juga dapat dipergunakan sebagai insentif untuk investasi pada
sumber-sumber energi yang rendah emisi karbon.
Kesimpulan
Penerapan pajak karbon dan penggunaan energi yang ramah lingkungan semoga menjadi
alternatif kebijakan publik untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik bagi Indonesia tidak
saja bagi kita sekarang tetapi juga bagi anak cucu kita dengan pembangunan ekonomi yang
berkesinambungan dan berorientasi kepada lingkungan.
“Pada hakekatnya bumi yang kita tempati sekarang bukanlah kita warisi dari nenek moyang kita
tetapi kita pinjam dari anak cucu kita”.
Dimuat pada Majalah Gagas Pajak Edisi III
SUMBER : http://www.bppk.kemenkeu.go.id/berita-pajak/12268-pajak-karbon-solusiperbaikan-kualitas-lingkungan