ISU KEBIJAKAN PEMEKARAN KECAMATAN SUKARAME KOTA BANDAR LAMPUNG

(1)

ISU KEBIJAKAN PEMEKARAN KECAMATAN SUKARAME KOTA BANDAR LAMPUNG

Oleh

SITI RAHMATUNNISA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA ILMU PEMERINTAHAN

Pada

Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

ABSTRACT

THE ISSUE OF SUKARAME SUBDISTRICT EXPANSION IN BANDAR LAMPUNG

BY

SITI RAHMATUNNISA

Area expansion is one of the efforts to improve the society’s welfare as to obtain the convenience in the field of service. Area expansion has the function to increase efficiency for the public as a form of service from the Government. In order to increase the society’s welfare, the municipal of Bandar Lampung has the expansion done throughout the subdistricts and villages the goal of which is to get closer to the society, to reduce bureaucrats’ control range which is too far and to maximize service for the public. But in practice, the area expansion is made use of by certain parties who have other agendas instead of the original purpose of the expansion.

The purpose of this research is to find out and analyze the issue of Sukarame subdistrict expansion in Bandar Lampung. The method used in this research is qualitative. The technique used for data collection is in-depth interviews and documentation studies. The informants involved in this research consists of Tim


(3)

Pemekaran Kota (Asisten I Kota Bagian Pemerintahan dan Kasubag Tata Pemerintahan Umum), Tim Pengkaji Akademisi UNILA, Pemerintah Kecamatan Sukarame (Kasi Pemerintahan Kecamatan) and the representatives of Sukarame community.

The research results show that the emergence of the policy issue of Sukarame subdistrict expansion is a form of retribution against Mayor of Bandar Lampung parties who have assisted the head of the City Government in the framework in order to win election to the head of the City Government City Government. In regard to the policy issue of Sukarame subdistrict expansion for Bandar Lampung as a form of retribution against city government has yet to be described as a rational issue because the process of the expansion policy retrieval in Sukarame subdistrict is dominated by elite interests. The process of the expansion policy retrieval in Sukarame subdistrict does not involve the community of Sukarame, this expansion simply involves DPRD, the mayor, Tim Raperda, and Tim Pemekaran Kota. The expansion of Sukarame subdistrict has not given much effect on the society, because before or after the expansion of Sukarame subdistrict, the service received by the community is still said to be the same. Besides, the expansion also questions its validity because the process of policy retrieval does not involve the community of Sukarame.


(4)

ABSTRAK

ISU KEBIJAKAN PEMEKARAN KECAMATAN SUKARAME KOTA BANDAR LAMPUNG

Oleh

SITI RAHMATUNNISA

Pemekaran wilayah merupakan salah satu upaya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam memperoleh kemudahan di bidang pelayanan. Pemekaran wilayah bertujuan untuk memberikan efisiensi kepada masyarakat sebagai bentuk pelayanan dari pemerintah. Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat Pemerintah Kota Bandar Lampung melakukan pemekaran kecamatan dan kelurahan yang bertujuan untuk mendekatkan diri dengan masyarakat, memotong rentang kendali birokrasi yang terlalu panjang dan memaksimalkan pelayanan kepada publik. Tetapi dalam prakteknya pemekaran wilayah dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki maksud dan tujuan lain dibalik tujuan awal pemekaran.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis latar belakang Isu Kebijakan Pemekaran Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan


(5)

dengan menggunakan wawancara mendalam dan studi dokumentasi. Informan dalam penelitian ini terdiri dari Tim Pemekaran Kota (Asisten I Kota Bagian Pemerintahan dan Kasubag Tata Pemerintahan Umum), Tim Pengkaji Akademisi UNILA, Pemerintah Kecamatan Sukarame (Kasi Pemerintahan Kecamatan) dan perwakilan dari masyarakat Sukarame.

Hasil penelitian menunjukan bahwa latar belakang munculnya isu kebijakan pemekaran Kecamatan Sukarame merupakan bentuk balas jasa Wali Kota Bandar Lampung terhadap pihak-pihak yang telah membantu Wali Kota dalam rangka pemenangan pemilihan Kepala Pemerintah Kota. Berdasarkan isu kebijakan Pemekaran Kecamatan Sukarame sebagai bentuk balas jasa Pemerintah Kota Badar Lampung belum dapat dikatakan sebagai isu yang rasional, hal ini dikarenakan dalam proses pengambilan kebijakan pemekaran Kecamatan Sukarame didominasi oleh kepentingan elit. Proses pengambilan kebijakan pemekaran Kecamatan Sukarame tidak melibatkan masyarakat, pemekaran kecamatan ini hanya melibatkan DPRD, Wali Kota, Tim Raperda, dan Tim Pemekaran Kota. Pemekaran Kecamatan Sukarame belum memberikan dampak yang luas bagi masyarakat, karena sebelum ataupun sesudah terjadinya pemekaran Kecamatan Sukarame pelayanan yang dirasakan oleh masyarakat masih dikatakan sama. Selain itu, pemekaran Kecamatan Sukarame juga mempermasalahkan keabsahan (legitimasi) dari masyarakat sukarame karena dalam proses pengambilan kebijakan tidak mengikut sertakan masyarakat sukarame.


(6)

(7)

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABLE ... iii

DAFTARGAMBAR ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Kegunaan Penelitian ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Isu Kebijakan Publik ... 10

B. Tahap Formulasi Kebijakan Publik ... 16

C. Faktor Yang Mempengaruhi Proses Pembuatan Kebijakan ... 20

D. Model Perumusan Kebijakan Publik ... 21

E. Konsep Pemekaran ... 25

F. Kerangka Pikir ... 36

BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian ... 41

B. Fokus Penelitian ... 41

C. Lokasi Penelitian ... 43

D. Sumber Data ... 43

E. Teknik Pengumpulan Data ... 45

F. Teknik Pengolahan Data ... 48

G. Teknik Analisis Data ... 49

BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Kota Bandar Lampung ... 51

B. Gambaran Umum Kecamatan Sukarame ... 58

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Proses Perumusan Kebijakan Pemekaran Kec. Sukarame .... 61

B. Analisis Proses Pemekaran Kec. Sukarame ... 71


(9)

ii

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 94 B. Saran ... 95

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar

1. Model Elite-Massa ... 23 2. Kerangka Pikir ... 40


(11)

iii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel

1. Jumlah Penduduk Kota Bandar Lampung Menurut Kecamatan ... 53 2. Nama Kecamatan dan Kelurahan ... 53


(12)

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah melahirkan paradigma baru dalam pelaksanaan otonomi daerah yang meletakkan otonomi penuh, luas dan bertanggung jawab pada daerah kabupaten dan kota. Lahirnya Undang-undang ini juga memberikan dampak positif bagi masyarakat. Kebijakan daerah tidak lagi bersifat menerima dari pemerintah pusat, namun pemerintah daerah harus mengambil inisiatif dalam merumuskan kebijakan daerah yang sesuai dengan keinginan, kebutuhan masyarakat setempat agar setiap kebijakan yang di buat oleh pemerintah daerah dapat berjalan dengan efesien dan efektif demi terciptanya kesejahteraan masyarakat.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Kecamatan, menjelaskan bahwa Kecamatan dibentuk di wilayah Kabupaten/Kota dengan Peraturan Daerah yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Pembentukan kecamatan berasal dari pemekaran satu kecamatan menjadi dua atau lebih, atau berasal dari penyatuan wilayah desa atau kelurahan dari beberapa kecamatan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut, maka pembentukan kecamatan


(13)

2

harus memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik kewilayahan sehingga daerah tersebut dapat dikatakan daerah yang layak untuk dijadikan daerah pemekaran.

Pemekaran wilayah merupakan salah satu upaya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Kecamatan, pemekaran wilayah bertujuan untuk memberikan efisiensi kepada masyarakat sebagai bentuk pelayanan dari pemerintah. Thomas Bustomi1 menjelaskan bahwa pembentukan daerah otonom mempunyai dua tujuan utama, yaitu meningkatkan pelayanan publik dan sebagai sarana pendidikan politik di tingkat lokal.

Sebagai wujud dari pelayanan yang baik kepada masyarakat Pemerintah Kota Bandar Lampung kembali melakukan pemekaran kecamatan dan kelurahan. Sebelumya dengan Undang-Undang No. 5 tahun 1975 dan Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 1982 tentang perubahan wilayah, Kota Bandar Lampung diperluas dengan pemekaran dari 4 kecamatan dan 30 kelurahan menjadi 9 kecamatan dan 58 kelurahan. Kemudian berdasarkan SK Gubernur No. G/185.B.111/Hk/1988 serta surat persetujuan Mendagri nomor 140/1799/PUOD tentang pemekaran kelurahan di wilayah Kota Bandar Lampung, Kota Bandar Lampung dimekarkan kembali yang terdiri dari 9 kecamatan dan 84 kelurahan. Pada tahun 2001 berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung No. 04, Kota Bandar Lampung melakukan pemekaran kembali menjadi 13 kecamatan dengan 98 kelurahan. Kemudian pada tanggal

1


(14)

17 September 2012 bertempat di Kelurahan Sukamaju dilakukan kembali peresmian Kecamatan dan Kelurahan baru di kota Bandar Lampung yang terdiri dari 20 Kecamatan dan 126 Kelurahan sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 04 Tahun 2012 tentang Penataan dan Pembentukan Kelurahan dan Kecamatan.

Tujuan pemekaran tersebut adalah untuk mendekatkan diri dengan masyarakat, memotong rentang kendali birokrasi yang terlalu panjang, sehingga waktu menjadi efisien, dan memaksimalkan pelayanan kepada publik. Selain itu, pemekaran tidak lepas dari upaya Pemerintah Daerah untuk merealisasikan fokus program pembangunan di suatu wilayah. Mengingat beberapa kecamatan populasi penduduknya sudah sangat tidak memungkinkan lagi untuk dilayani oleh satu kecamatan salah satunya adalah Kecamatan Sukarame. Perhitungan pertumbuhan penduduk disii dilihat dari populasi pertumbuhan penduduk yang dilakukan BPS pada saat sensus 2010 sebanyak 879.651 jiwa, dengan luas wilayah sekitar 197,22 km2, maka Bandar Lampung memiliki kepadatan penduduk 4.532 jiwa/km2 dan tingkat pertumbuhan penduduk 1,79% per tahun.

Pemekaran yang kembali dilakukan di Kota Bandar Lampung ini dilakukan karena pertumbuhan penduduk di Kota Bandar Lampung mengalami peningkatan, demi terlaksananya program peningkatan kesejahteraan masyarakat perlu adanya peningkatan pelayanan yang maksimal dari Pemeritah terhadap masyarakat mengingat pertumbuhan penduduk di Kota Bandar Lampung mulai pesat. Berdasarkan pertimbangan tersebut pemerintah kota membentuk Tim Pemekaran Wilayah yang melakukan kajian di lapangan, lalu


(15)

4

hasilnya disampaikan ke Menteri Dalam Negeri, DPRD dan Wali Kota. Kemudian DPRD membentuk Pansus Raperda (Panitia Khusus Rancangan Peraturan Daerah) Penataan dan Pembentukan Kelurahan dan Kecamatan. Sehingga dikeluarkanlah kebijakan pemekaran wilayah kecamatan dan kelurahan yang sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 04 Tahun 2012 tentang Penataan dan Pembentukan Kelurahan dan Kecamatan, dan Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Penataan dan Pembentukan Kelurahan dan Kecamatan

Pemekaran menjadi solusi yang dilakukan Pemerintah untuk mempertegas batas-batas wilayah dan merealisasikan fokus pembangunan wilayah untuk memperpendek rentang kendali sehingga pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah kepada masyarakat akan lebih baik. Upaya Pemerintah Kota Bandar Lampung untuk merealisasikan fokus program pembangunan di suatu wilayah berlandaskan dengan Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 04 Tahun 2012 Tentang Penataan dan Pembentukan Kelurahan dan Kecamatan, dan Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Penataan dan Pembentukan Kelurahan dan Kecamatan. Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung ingin melakukan penataan pemerintahanya dalam bidang kecamatan dan kelurahan.

Meskipun demikian, di beberapa lokasi, pemekaran kecamatan di Bandar Lampung tersebut juga menemukan penolakan, misalnya di Kecamatan


(16)

Kemiling. Hal ini sejalan dengan ungkapan informan yang tidak ingin disebutkan namanya yang menyatakan bahwa2:

“Kecamatan Kemiling berada dalam proses pemekaran wilayah kecamatan, akan tetapi masyarakat setempat sempat melakukan penolakan. Hal ini dikarenakan dalam proses pembentukan kecamatan baru, kecamatan kemiling belum memiliki kesiapan dan kemandirian. Seperti kesiapan kantor/instansi baru yang belum tersedia yang mengakibatkan perebutan wilayah dan sebagainya yang dirasakan kurang efektif bagi masyarakat setempat.”

Kemiling merupakan salah satu wilayah yang mengalami pemekaran dari 13 kecamatan, dari penolakan yang sempat dilakukan oleh masyarakat kemiling tersebut terlihat bahwa masyarakat setempat kurang memiliki kesiapan dalam proses pemekaran di wilayah Kemiling. Hal ini dapat dilihat apakah dalam proses pemekaran wilayah tersebut pemerintah mengikutsertakan masyarakat setempat dalam proses pemekaran wilayah di Kemiling. Selain kemiling kecamatan yang ikut mengalami pemekaran adalah Kecamatan Sukarame. Pemekaran Kecamatan Sukarame menghasilkan dua kecamatan yaitu Kecamatan Sukarame dan Kecamatan Way Halim. Kecamatan Way Halim merupakan penyesuaian dari sebagian wilayah Kecamatan Sukarame dan Kedaton yang dipisah menjadi suatu kecamatan atau penggabungan beberapa kelurahan dari kedua kecamatan tersebut.

Sukarame merupakan salah satu kecamatan yang layak untuk ikut dimekarkan, hal ini sesuai dengan hasil dari laporan akhir uji kelayakan pemekaran kelurahan dan kecamatan di Kota Bandar Lampung yang dilakukan oleh Tim Pemekaran Kota yang bekerjasama dengan Tim Akademisi dari UNILA. Sesuai dengan tujuan utama dari pemekaran adalah dengan memotong rentang

2


(17)

6

birokrasi menjadi lebih pendek dengan tujuan untuk mendekatkan diri dengan masyarakat dalam peningkatan pelayanan terhadap masyarakat, pemekaran kecamatan sukarame dapat memfokuskan program pembangunan di wilayah sukarame karena jangkauan pelayanannya sudah menjadi lebih sedikit. Pemekaran kecamatan di sukarame selain memiliki tujuan untuk mendekatkan diri dengan masyarakat dalam memaksimalkan pelayana kepada publik, pemekaran kecamata sukarame juga bertujuan untuk memperjelas batas wilayah, posisi wilayah kecamatan sukarame sebelum dimekarkan menduduki sebagian wilayah perbatasan antara kota Bandar Lampung dengan wilayah Kabupaten Lampung Selatan.

Proses pemekaran yang dilakukan Pemerintah Kota Bandar Lampung menimbulkan persepsi lain di belakangnya, bahwa pemekaran yang terjadi sebenarnya bukan karena kepentingan dan memang keinginan masyarakat setempat, tetapi untuk mengakomodir kepentingan para penguasa yang memiliki kepentingan lain dibalik unsur pemekaran kecamatan ini. Unsur yang terdapat dalam latar belakang pemekaran wilayah kecamatan ini salah satunya adalah untuk merealisasikan janji politik sang pemimpin pada saat pecalonannya terdahulu yang telah dijanjikan kepada para kelompok pendukungnya apabila pemimpin berhasil mendapatkan tujuannya.

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu warga Sukarame yang tidak ingin disebutkan namanya mengatakan bahwa Camat Sukarame yang


(18)

memimpin di periode ini merupakan salah satu anggota dari tim sukses pemimpin3.

Pernyataan ini yang kembali menguatkan fakta bahwa pemekaran yang terjadi di Bandar Lampung ini hanyalah untuk mengakomodir janji politik penguasa adalah dengan cara pengangkatan camat baru di Kecamatan Sukarame, camat baru ini merupakan salah satu anggota dari tim sukses pemimpin pada saat pencalonan dahulu. Masalah ini menjadi fenomena di balik isu pemekaran kecamatan dan kelurahan di Kota Bandar Lampung. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah haruslah benar-benar kebijakan yang dibutuhkan oleh rakyat. Bukan kebijakan yang di buat dengan melatarbelakangi kebutuhan masyarakat tetapi menutupi kebutuhan politisasi sang pemimpin.

Dapat dilihat bahwa tidak semua kebijakan yang lahir itu berdasarkan keinginan dari masyarakat, bisa juga kebijaka itu lahir karena adanya faktor lain yang menjelaskan bahwa adanya pegaruh lain dari kelompok yang berpengaruh dalam proses pembentukan sampai dikeluarkannya suatu kebijakan tanpa adanya keikutsertaan masyarakat didalamnya mengingat masyarakat adalah objek formal pemerintah, jadi segala sesuatu yag dikerjakan oleh pemerintahan memang semata-mata untuk kesejahteraan rakyatnya bukan karna kepentingan lain yang meyimpang dari tugas pokok pemerintah sebagai pemberi pelayanan bagi masyarakat.

3


(19)

8

Sebelum dilaksanakannya suatu pemekaran sampai dikeluarkannya kebijakan terhadap pemekaran wilayah pembuat kebijakan harus mencari dan menentukan identitas masalah kebijakannya. Apakah pemekaran wilayah tersebut memang benar adanya keinginan dari masyarakat atau tidak. Hal ini dikemukakan oleh Wibawa4 bahwa proses penyusunan kebijakan adalah proses mendefinisikan masalah lalu membuat keputusan untuk mengelolanya. Bukan malah memanfaatkan peluang yang ada untuk kepentingan yang teselubung. Sebagaimana yang dapat di lihat, proses itu tidak sesederhana yang dibayangkan atau yang terlihat.

Wibawa5 kembali menyatakan bahwa dalam pengidentifikasian masalah dalam proses pemilihan isu yang sesuai untuk dijadikan masalah yang diangkat dalam mengatasi problema penentu kebijakan dalam pemekaran kecamatan harus relevan. Tingkat rasionalitasnya harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kenyataan yang ada, dalam mementukan suatu isu dalam masalah yang baru memang tidak mudah. Banyak aspek yang harus diperhatikan, dalam pelaksanaan isu kebijakan pemekaran kecamatan tersebut harus melalui tahapan-tahapan yang ada sehingga dapat dihasilkan formulasi kebijakan yang tepat. Berdasarkan penjelasan di atas, maka perlu dikaji isu kebijakan tentang proses pemekaran wilayah kecamatan.

4

Samodra Wibawa, Politik Perumusan Kebijakan Publik. Yogyakarta: Graham Ilmu: 2011, hal 59-62

5


(20)

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah penelitian ini adalah isu-isu kebijakan apa saja yang melatarbelakangi lahirnya kebijakan pemekaran wilayah Kecamatan Sukarame ?

C.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui latar belakang Isu Kebijakan Pemekaran Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung.

D.Kegunaan Penelitian

1. Secara akademis, penelitian ini mencakup kajian ilmu pemerintahan yang berkaitan mengenai Isu Kebijakan Pemekaran Wilayah Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Pemerintah Kota dalam melaksanakan suatu pembangunan/pemekaran wilayah, khususnnya bagi Pemerintah Kota Bandar Lampung.


(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Isu Kebijakan Publik

1. Makna Isu Kebijakan

Isu dalam pemahamannya memiliki makna yang berbeda-beda. Dalam pembicaraan sehari-hari isu sering diartikan sebagai kabar burung dalam pemahamannya bagi orang awam, sedangkan dalam analisis kebijakan publik (public policy analysis) dalam makna yang terkandung bukanlah seperti apa yang umum dipahami oleh orang awam. Sekalipun harus diakui dalam berbagai literatur istilah isu itu tidak pernah dirumuskan dengan

jelas, namun sebagai suatu “technical term”, utamanya dalam konteks kebijakan publik, muatan maknanya lebih kurang sama dengan apa yang kerap disebut sebagai masalah kebijakan (policy problem)6.

Istilah isu di sini bukanlah apa yang menjadi kabar burung yang sedang berkembang tetapi isu di sini diartikan sebagai masalah kebijkan dalam konteks analisis kebijakan publik. Analisis kebijakan publik ini menepati posisi sentral. Hal ini berkaitan dengan fakta, bahwa proses pembuatan

6

Pejelasan yang komprehensif dapat dibaca dalam Solichin Abdul Wahab. 2008. Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi Keimplementasi Kebijaksanaan Negara Ed.2. Jakarta. Bumi Aksara


(22)

kebijakan publik apa pun pada umumnya berawal dari adanya awareness of

a problem (kesadaran akan adanya masalah tertentu).

Misalnya, gagalnya kebijakan tertentu dalam upayanya mengatasi suatu masalah pada suatu tingkat yang dianggap memuaskan. Tapi, pada situasi lain, awal dimulainya proses pembuatan kebijakan publik juga bisa berlangsung karena adanya masalah tertentu yang sudah sekian lama dipersiapkan sebagai “belum pernah tersentuh” oleh atau ditanggulangi lewat kebijakan pemerintah.

Isu kebijakan (policy issues) pada intinya lazimnya muncul karena telah terjadi silang pendapat diantara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan di tempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan itu sendiri. Hal ini sesuai dengan beberapa pendapat dari para ahli mengenai pengertian isu, berikut beberapa definisi isu menurut para ahli7:

Dunn dalam Wahab mengatakan bahwa:

Isu kebijakan dengan begitu lazimnya merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan, maupun penilaian atas suatu masalah tertentu.

Sejalan dengan pendapat Hogwood dan Gunn dalam Wahab yang menyatakan:

7

Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara Edisi Kedua (Jakarta: Bumi Aksara, 2008). Hal 35-38


(23)

12

Isu bukan hanya mengandung makna adanya masalah atau ancaman, tetapi juga peluang-peluang bagi tindakan positif tertentu dan kecenderungan-kecenderungan yang dipersiapkan sebagai memiliki nilai potensial yang signifikan.

Pemahaman dari Alford dan Friedland dalam Wahab yang menyatakan bahwa:

Isu bisa jadi merupakan kebijakan-kebijakan alternatif, atau suatu proses yang dimaksudkan untuk menciptakan kebijakan baru, atau kesadaran suatu kelompok mengenai kebijakan-kebijakan tertentu yang dianggap bermanfaat bagi mereka.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas maka isu merupakan masalah baru yang timbul dari adanya perbedaan permasalah yang memiliki potensi yang berbeda-beda dalam penanganannya di suatu masalah. Singakatnya timbulnya isu kebijakan publik terutama karena telah terjadi konflik atau perbedaan persepsional di antara para aktor atau suatu situasi problematik yang dihadapi oleh masyarakat pada suatu waktu tertentu.

2. Kriteria Isu Yang Dapat Menjadi Agenda Kebijakan

Pada praktek politik sehari-hari, ternyata tidak semua isu yang pernah atau sedang berkembang di tengah-tengah masyarakat secara otomatis menjadi kebijakan publik. Peristiwa semacam ini bukanlah suatu fenomena yang aneh, karena bisa terjadi pada sistem politik manapun. Kemudian sering mendengar dan menyaksikan ada sejumlah isu tertentu dalam bidang


(24)

tertentu yang dengan begitu mulus mendapatkan respon, masuk menjadi agenda kebijakan pemerintah (public policy agenda) untuk dibicarakan di tingkat kabinet atau parlemen, dan kemudian bahkan diambil langkah-langkah tindakan konkret terhadapnya.

Pada salah satu literatur disebutkan bahwa, secara teoritis, suatu isu akan cenderung memperoleh respon dari pembuat kebijakan, untuk dijadikan agenda kebijakan publik, kalau memenuhi beberapa keriteria tertentu. Berikut beberapa dari keriteria yang penting untuk dijadikan agenda kebijakan publik menurut Wahab8:

a. Isu tersebut telah mencapai suatu titik kritis tertentu, sehingga ia praktis tidak lagi bisa diabaikan begitu saja, atau ia telah dipersepsikan sebagai suatu ancaman serius yang jika tak segera diatasi justru akan menimbulkan luapan krisis baru yang jauh lebih hebat di massa datang.

b. Isu tersebut telah mencapai tingkat partikularitas tertentu yang dapat menimbulkan dampak (impact) yang bersifat dramatik.

c. Isu tersebut menyangkut emosi tertentu dilihat dari sudut kepentingan orang banyak, bahkan umat manusia pada umumnya, dan mendapat dukungan berupa liputan media masa yang luas.

d. Isu tersebut menjangkau dampak yang amat luas.

e. Isu tersebut mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan (legitimasi) dalam masyarakat.

8


(25)

14

f. Isu tersebut menyangkut suatu persoalan yang fasionabel, di mana posisinya sulit untuk dijelaskan tapi mudah dirasakan kehadirannya. g. Untuk kepentingan penelitian penulis akan menggunakan dua dari

keenam kriteria isu yang dapat dijadikan agenda seting yaitu Isu tersebut menjangkau dampak yang amat luas dan Isu tersebut mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan (legitimasi) dalam masyarakat.

Kriteria-kriteria ini memiliki derajat kredibilitas dan makna ilmiah yang cukup tinggi, dari beberapa kriteria ini dapat dijadikan sebagai tolak ukur kerangka acuan dalam menentukan identifikasi masalah dalam pembuatan kebijkan. Peroses pembuatan kebijakan harus memiliki alasan yang kuat, setidaknya masalah yang nantinya akan di angkat menjadi agenda kebijakan harus memiliki tingkat rasioalitas yang kuat.

3. Sifat Masalah Publik

Masalah publik berbeda dengan masalah privat. Masalah publik melibatkan banyak stakeholder9, banyak kepentingan dan sebisa mungkin solusinya mendatangkan aspek rasionalitas dan win-win solusion bagi semua

stakeholder.

Masalah publik selama ini dikenal memiliki beberapa sifat. Berikut beberapa sifat dari masalah publik menurut Indiahono10 diantaranya:

9

Kelompok atau individu yang dukungannya diperlukan demi kesejahteraan dan kelangsungan hidup organisasi

10

Dwiyanto Indiahono, Kebijakan Publik Berbasis Dynamic Policy Analysis (Yogyakarta: Gava Media, 2009) Hal 62


(26)

a. Saling ketergantungan

Masalah publik dapat dikenali jika masalah tersebut melibatkan banyak fenomena, dan konsep yang terjadi dalam masyarakat. Masalah publik tersebut seringkali memerlukan banyak pendekatan dan tidak hanya menjadi kajian tunggal.

b. Subyektif

Masalah publik dapat dikenali jika masalah tersebut melibatkan subyektifitas banyak pihak. Masalah publik dengan demikian mau tidak mau harus dikaitkan dengan kontekstual masalah publik tersebut dikenali oleh para pihak.

c. Artifisial (Artificiality)

Masalah publik juga dapat dikenali jika masalah tersebut artifisial dan berdampak luas. Artifisial disini bermakna bahwa masalah publik dapat berdampak luas. Artifisial disini bermakna bahwa masalah publik dapat lahir karena adanya keinginan untuk berubah. Perubahan inilah yang dapat menimbulkan masalah publik.

d. Dinamis

Masalah publik juga dapat dikenali jika solusi atas masalah berbeda atau berubah karena adanya pengenalan masalah yang berbeda antara ruang dan waktu. Perkembangan zaman menyebabkan masalah publik yang semula dikenali dan didekati pada satu (atau beberapa) aspek sudah tidak relevan lagi harus dikenali lagi, sehingga harus direformulasikan kembali. Meskipun konten masalahnya sama, namun


(27)

16

bisa jadi solusi yang dilahirkan dapat berbeda disetiap tempat dan berbeda waktu.

B.Tahap Formulasi Kebijakan Publik

Membuat atau merumuskan suatu kebijakan bukanlah proses yang sederhana dan mudah. Islamy11 mengemukakan pendapatnya bahwa ada empat langkah dalam proses pengambilan kebijakan publik, berikut langkah-langkah dalam proses pengambilan kebijakan publik:

1. Perumusan Masalah/Isu Kebijakan (defining problem).

Pemahaman terhadap masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, menetapkan penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan yang memungkinkan, memadukan pandangan yang bertentangan dan rancangan peluang kebijakan baru. Perumusan masalah merupakan sumber dari kebijakan publik, dengan pemahaman dan identifikasi masalah yang baik maka perencanaan kebijakan dapat disusun, perumusan masalah dilakukan oleh mereka yang terkena masalah atau orang lain yang mempunyai tanggung jawab dan pembuat kebijakan harus mempunyai kapasitas untuk itu.

Proses kebijakan publik dimulai dengan kegiatan merumuskan masalah secara benar, karena keberhasilan atau kegagalan dalam melaksanakan perumusan kebijakan ini akan sangat berpengaruh pada proses pembuatan

11

Irfan Islamy, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara (Jakarta: Bumi Aksara, 2002). Hal 78-101


(28)

kebijakan, kegiatan ini akan sangat berpengaruh pada proses pembuatan kebijaksanaan seterusnya.

2. Agenda Kebijakan

Sekian banyak problema-problema umum yang muncul hanya sedikit yang mendapat perhatian dari pembuat kebijakan publik. Pilihan dan kecondongan perhatian pemuat kebijakan menyebabkan timbulnya agenda kebijakan. Sebelum masalah-masalah berkompetensi untuk masuk dalam agenda kebijakan, masalah tersebut akan berkompetisi dengan masalah yang lain yang pada akhirnya akan masuk dalam agenda kebijakan. Mengingat pentingnya status agenda kebijakan dalam formulasi kebijakan publik, Cob dan Elder dalam Islamy mengartikan kebijakan sebagai12:

“Agenda sistemik terdiri atas semua isu-isu yang dipandang secara umum oleh anggota-anggota masyarakat politik sebagai patut memperoleh perhatian dari publik dan mencakup masalah-masalah yang berada dalam kewenangan sah setiap tingkat pemerintah

masing-masing”.

Selain itu, Abdul Wahab13 menyatakan bahwa suatu masalah untuk masuk ke dalam agenda kebijakan harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu: Pertama,isu tersebut telah mencapai suatu titik tertentu sehingga ia praktis tidak lagi bisa diabaikan begitu saja. Kedua, isu tersebut telah mencapai tingkat partikularitas tertentu yang dapat menimbulkan dampak (impact) yang bersifat dramatik. Ketiga, isu tersebut menyangkut emosi tertentu dilihat dari sudut kepentingan orang banyak. Keempat, isu tersebut menjangkau dampak yang amat luas. Kelima, isu tersebut

12

Irfan Islamy, ibid., hal. 78-101 13


(29)

18

mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan (legitimasi) dalam masyarakat. Keenam, isu tersebut menyangkut suatu persoalan yang

fasionable, di mana posisinya sulit untuk dijelaskan tapi mudah dirasakan

kehadirannya.

3. Pemilihan Alternatif Kebijakan untuk memecahkan Masalah.

Setelah masalah-masalah publik didefinisikan dengan baik dan para perumus kebijakan sepakat untuk memasukan masalah tersebut ke dalam agenda kebijakan, maka langkah selanjutnya adalah membuat pemecahan masalah. Menurut Winarno14 dalam tahap ini para perumus kebijakan akan berhadapan dengan alternatif-alternatif pilihan kebijakan untuk memecahkan masalah tersebut. Sedangkan menurut Islamy15 perumusan usulan kebijakan (policy proposals) adalah kegiatan menyusun dan mengembangkan serangkaian tindakan yang perlu untuk memecahkan masalah. Proses dalam kegiatan ini meliputi: Pertama, mengidentifikasi altenatif. Kedua, mendefinisikan dan merumuskan alternatif. Ketiga, menilai masing-masing alternatif yang tersedia. Keempat, memilih alternatif yang memuaskan atau paling mungkin untuk dilaksanakan. Pada tahap ini para perumus kebijakan akan dihadapkan pada pertarungan kepentingan antara berbagai aktor, masing-masing aktor ditawarkan alternatif dan pada tahap ini sangat penting untuk mengetahui apa alternatif yang ditawarkan oleh masing-masing aktor. Pada kondisi ini, pilihan-pilihan kebijakan akan didasarkan pada kompromi dan negoisasi

14

Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik (Jakarta: Presindo, 2002). Hal 82 15


(30)

yang terjadi antara aktor yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan tersebut.

4. Tahap Penetapan Kebijakan.

Setelah salah satu dari sekian alternatif kebijakan diputuskan, untuk diambil sebagai cara memecahkan masalah kebijakan, maka tahap paling akhir dalam pembuat kebijakan adalah penetapan kebijakan, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Proses pembuatan kebijakan tidak dapat dipisahkan dengan proses penetapan atau pengesahan kebijakan. Menurut Islamy16 proses pengesahan kebijakan adalah proses penyesuaian dan penerimaan secara bersama tehadap prinsip-prinsip yang diakui dan ukuran-ukuran yang diterima.

Pada proses pengesahan kebijakan terdapat kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Menurut Anderson dalam Islamy17, proses pengesahan kebijakan diawali dengan kegiatan: (a) Persuasion, yaitu usaha-usaha untuk meyakinkan orang lain tentang suatu kebenaran atau nilai kedudukan seseorang dan mereka mau menerimanya sebagai milik sendiri;

(b) Barganing, yaitu suatu proses di mana kedua orang atau lebih

mempunyai kekuasaan atau otoritas mengatur setidak-tidaknya tujuan-tujuan mereka tidak sepakati agar dapat merumuskan serangkaian tindakan yang dapat diterima bersama tetapi tidak ideal bagi mereka. Barganing meliputi perjanjian (negotation); saling memberi dan menerima (take and

give); dan kompromi (copromise).

16

Op.cit., hal 100

17


(31)

20

Pada tahap ini para aktor berjuang agar alternatifnya yang diterima dan juga terjadi interaksi dengan aktor-aktor lain yang memunculkan

persuasion dan bargaining. Selain itu, penetapan kebijakan dilakukan agar

sebuah kebijakan mempunyai kekuatan hukum yang dapat mengikat dan ditaati oleh siapa saja, dan bentuk kebijakan yang dihasilkan seperti undang-undang, keputusan presiden, keputusn-keputusan menteri dan sebagainya.

C.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Pembuatan Kebijakan

Proses pembuatan keputusan atau kebijaksanaan bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah dan sederhana. Setiap administrator dituntut memiliki kemampuan atau keahlian, tanggungjawab dan kemauan, sehingga dapat menghasilkan kebijaksanaan dengan segala resikonya, baik yang diharapkan

(intended risks) maupun yang tidak diharapkan (unintended risks).

James Anderson18 melihat adanya beberapa macam nilai yang melandasi tingkahlaku pembuat keputusan dalam proses pembuatan keputusan, yaitu:

1. Nilai-nilai Politis (political values), keputusan-keputusan dibuat atas dasar kepentingan politik dari partai politik atau kelompok kepentingan tertentu.

2. Nilai-nilai Organisasi (organization values), keputusan-keputusan dibuat atas dasar nilai-nilai yang dianut organisasi, seperti balas jasa

18


(32)

(rewards) dan sanksi (sanctions) yang dapat mempengaruhi anggota organisasi untuk menerima dan melaksanakannya.

3. Nilai-nilai Pribadi (personal values), seringkali pula keputusan dibuat atas dasar nilai-nilai pribadi yag dianut oleh pribadi pembuat keputusan untuk mempertahankan status quo, reputasi, kekayaan dan sebagainya. 4. Nilai-nilai Kebijaksanaan (policy values), keputusan dibuat atas dasar

persepsi pembuat kebijaksanaan tentang kepentingan politik atau

pembuata kebijaksanaan yang secara moral dapat

dipertanggungjawabkan.

5. Nilai-nilai Ideologi (ideological values), nilai ideologi seperti misalnya nasionalisme dapat menjadi landasan pembuatan kebijakasanaan seperti misalnya kebijaksanaan dalam dan luar negeri.

Berdasarkan beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembuatan kebijakan nilai-nilai organisasilah yang dirasa tepat untuk mengetahuin bagaimana proses atau faktor apa saja yang mempengaruhi dalam proses pengambilan keputusan kebijakan pemekaran kelurahan dan kecamatan di Kota Bandar Lampung.

D.Model Perumusan Kebijakan Publik

Terdapat sejumlah model perumusan kebijakan publik yang dikemukakan oleh para ahli antara lain : Model Institusional, Model Elit–Massa, Model


(33)

22

Kelompok, Model Sistem–Politik, Model Rational-Comprehensive, Model

Incremental, Model Mixed-Scanning19.

Untuk kepentingan penelitian penulis akan menggunakan model elite-massa dan Model Rational-Comprehensive. Model Elit-Massa ini merupakan abstraksi dari suatu proses pembuatan kebijakan, di mana kebijakan publik identik dengan perspektif elit politik karena kebijakan negara itu ditentukan semata-mata oleh kelompok elit. Maka kebijakan publik mengalir dari atas ke bawah, yaitu dari golongan elit kepada golongan massa, dengan demikian kebijakan publik adalah perwujudan keinginan-keinginan utama dan nilai-nilai elit yang berkuasa.

Model elit-massa ini dapat dirumuskan secara singkat sebagai berikut: a. Masyarakat dibagi menjadi dua yaitu kelompok kecil (golongan elit)

yang mempunyai kekuasaan (penguasa) dan kelompok besar (golongan non-elit) yang tidak mempunyai kekuasaan (dikuasai). b. Kelompok elit yang berkuasa tidak mempunyai tipe yang sama

(berbeda) dengan kelompok non-elit yang dikuasai.

c. Perpindahan posisi/kedudukan dari non-elit harus diusahakan selambat mungkin dan terus menerus untuk mempertahankan stabilitas dan menghindari pergolakan (revolusi).

d. Gologan elit menggunakan konsensus tadi untuk mendukung nilai-nilai dasar dan sistem sosial dan untuk melindungi sistem tersebut. e. Kebijaksanaan negara tidaklah menggambarkan keinginan masa tetapi

keinginan elit.

f. Golongan elit yang aktif relatif sedikit sekali memperoleh pengaruh dari massa yang apatis/pasif.

19


(34)

Sehingga model elit-massa digambarkan dengan bagan sebagai berikut:

Arah Kebijaksanaan Pelaksanaan

Kebijaksanaan.

Gambar 1. Model Elit-Massa

Model ini hendak menyatakan bahwa proses formulasi kebijakan publik merupakan abstraksi dari keinginan elite yang berkuasa. Hal ini dapat dirujuk pemahaman teorinya dalam konteks teori politik konvensional yang menyatakan dalam masyarakat hanya terdapat dua kelompok masyarakat. Leo Agustino20 menjelaskan mengenai kedua kelompok tersebut, kelompok masyarakat yang pertama adalah kelompok masyarakat yang berkuasa yang biasanya jumlahnya lebih sedikit, kelompok kedua adalah kelompok masyarakat yang dikuasai. Kelompok masyarakat pertama yang terdiri atas elite yang berkuasa menyatakan bahwa kenyataan yang berlangsung dalam dunia real pragmatis bahwa pemegang kekuasaan politiklah yang akan melaksanakan tugas formulasi kebijakan.

20

Leo Agustino, Dasar-dasar Kebijakan Publik (Bandung: Alfabeta, 2008). Hal 132 Pejabat Pemerintah

Massa Elit


(35)

24

Kelompok elit yang bertugas membuat dan melaksanakan kebijaksanaan digambarkan dalam model ini sebagai mampu bertindak atau berbuat dalam suatu lingkungan yang ditandai dengan sikap massa yang apatis, kerancuan informasi, sehingga massa menjadi pasif. Kebijaksanaan negara mengalir dari atas ke bawah, yaitu dari golongan elit ke golongan massa. Kelompok elit yang mempunyai kekuasaan dan nilai-nilai elit berbeda dengan massa. Dengan demikian, kebijaksanaan negara merupakan perwujudan keinginan-keinginan utama dan nilai-nilai golongan elit yang berkuasa.

Kebijaksanaan negara itu ditentukan semata-mata oleh kelompok elit, maka pejabat pemerintah hanyalah sekedar pelaksana-pelaksana dari kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh para elit. Pada dasarnya kebijaksanaan negara itu di buat sesuai dengan kepentingan kelompok elit, maka tuntutan dan keinginan rakyat banyak (non-elit) tidak diperhatikan21. Disinilah isu elit diproduksi oleh kelompok elit untuk memaksakan kepentingan aktor-aktor yang bermain.

Model Rational-Comprehensive dalam kebijakan publik dipandang sebagai pencapaian tujuan secara efisien harus menempatkan pengambilan keputusan dalam posisi strategis, sebagai pusat perhatian utamanya. Pembuatan keputusan yang rasional (rational decision-maker) harus memilih alternative yang dirasanya paling tepat guna mencapai hasil akhir (outcome) yang diinginkan. Dengam demikian, pembuatan keputusan yang rasional pada hakikatnya mencakup pemilihan alternatif terbaik yang akan memaksimalkan tingkat kepuasan nilai-nilai pembuatan keputusan dan pemilihan alternatif itu dibuat

21

Pejelasan yang komprehensif dapat dibaca dalam Irfan Islamy. 2002. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanan Negara .Jakarta: Bumi Aksara


(36)

sesudah diadakan analisis yang menyeluruh terhadap alternatif-alternatif yang tersedia dan mempertimbangkan segala akibatnya.

Menurut Simon dalam Islamy22 konsep ini, pembuat keputusan hanya mempertimbangkan beberapa alternatif yang mungkin tersedia kemudian memilih satu aternatif yang lebih cocok untuk mengatasi masalahnya. Model

Rational-Comprehensive, menekan pada pembuatan keputusan yang rasional

dengan bermodalkan pada komprehensivitas informasi dan keahlian pembuat keputusan. Dalam model ini konsep rasionalitas sama dengan konsep efisiensi. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa suatu kebijaksanaan yang rasional itu adalah suatu kebijakan yang sangat efisien, dimana rasio antara nilai yang dicapai dan nilai yang dikorbankannya adalah positif dan lebih tinggi dibandingkan dengan alternatif-alternatif yang ada.

E.Konsep Pemekaran

1. Tinjauan Tentang Pemekaran a. Definisi Pemekaran

Decentralization boom yang berlangsung di Indonesia sejak

diberlakukannya UU Nomor. 22 Tahun 1999 antara lain berakibat pada meningkatnya pembentukkan-pembentukan daerah otonom baru yang lazim disebut dengan pemekaran wilayah, hal ini sering kita jumpai di berbagai daerah yang sedang mengalami pemekaran dan pengembagan

22


(37)

26

terutama di kota Bandar Lampung yang sekarang telah kembali mengembangkan wilayah pemerintahan kelurahan dan kecamatan baru.

Menurut Pasal 1 ayat 10 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor. 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, definisi Pemekaran daerah adalah pemecahan propinsi atau kabupaten/kota menjadi dua daerah atau lebih. Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti meyimpulkan bahwa pemekaran merupakan penggabungan atau pemisahan suatu wilayah baru yang kemudian dijadikan daerah baru yang nantinya akan memiliki strulktural baru dalam pengolahannya.

b. Tujuan Pemekaran Daerah

Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 78 Tahun 2007, menyebutkan bahwa yang menjadi tujuan dari pemekaran daerah yaitu,

1. Peningkatan pelayanan publik kepada masyarakat

2. Percepatan kehidupan pertumbuhan kehidupan demokrasi 3. Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah 4. Percepatan pengelolaan potensi daerah

5. Peningkatan keamanan dan ketertiban

6. Peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah

c. Konsep Pemekaran Daerah

Menurut Djohan23 dalam penguraiannya pemekaran daerah memiliki beberapa konsep, berikut beberapa konsep dalam pemekaran daerah;

23

Djohermansyah Djohan, Problematika Pemerintahan dan Politik Lokal (Jakarta: Bumi Aksara,1990). Hal 42


(38)

1. Dimensi Politik

Kebutuhan akan desentralisasi atau pembentukan daerah otonomi sejak awal sebenarnya bukan didasarkan pada pertimbangan teknis, tetapi lebih merupakan hasil dari tarik menarik atau konflik politik antara daerah dengan pusat. Dimensi politik dari pembentukan daerah atau desentralisasi adalah pemerintahan yang dilokalisir sebagai bagian dari suatu landasan pengakuan suatu kelompok masyarakat sebagai entitas politik, sebagai bagian dari suatu landasan untuk kesamaan dan kebebasan politik.

Dimensi politik memiliki beberapa faktor, yaitu : a. Faktor Geografis

Faktor geografis yaitu faktor yang mengasumsikan bahwa kondisi geografis suatu daerah akan berpengaruh terhadap pembentukan identitas suatu kelompok masyarakat yang akhirnya akan berkembang menjadi satu kesatuan politik. Geografi menjadi batas yuridiksi wilayah yang ditempati oleh sekelompok masyarakat yang menjadi syarat pembentukan daerah otonom.

b. Faktor Sosial Budaya

Faktor sosial budaya mengasumsikan, jika suatu masyarakat terikat dengan suatu sistem budaya tersendiri yang memberi perbedaan identitas budaya dengan masyarakat lain, maka secara politis ikatan kesatuan masyarakat tersebut akan lebih


(39)

28

kuat. Faktor ini secara langsung terkait dengan persoalan etnisitas dan mungkin saja keagamaan.

c. Faktor Demografi

Faktor demografi, yaitu faktor yang mengasumsikan bahwa homogenitas penduduk akan mendorong lahirnya kesatuan penduduk secara politis. Jika faktor homogenitas ini dikolaborasikan dengan kesatuan secara geografis, maka secara politis kekuatan pembentukan kesatuan masyarakat tersebut akan lebih kuat dan secara langsung akan semakin mendorong tuntunan terbentuknya daerah otonom.

d. Faktor Sejarah

Faktor yang keempat, adalah faktor sejarah, faktor ini mengasumsikan, bahwa struktur kepemerintahan masa lalu dari suatu masyarakat akan berpengaruh terhadap keinginan masyarakat tersebut menjadi suatu daerah otonom.

2. Dimensi Administrasi/Teknis

Wilayah-wilayah yang diberi status otonom atau yang didesentralisasikan diyakini akan meningkatkan pelaksanaan administrasi dan pelayanan kepada masyarakat, karena desentralisasi dapat memberi peluang pada penyesuaian administrasi dan pelayanan terhadap karakteristik wilayah-wilayah yang bervariasi sebagai konsekuensi dari pembedaan-pembedaan yang membentuk geografis. Dari sudut pandang administrasi,


(40)

pemberian desentralisasi selain menyangkut soal teknis pelaksanaan juga pembentukan kelembagaan yang objektif Sharpe.

3. Dimensi Kesenjangan Wilayah

Kasus penyelenggaraan pemerintahan nasional dalam hubungannya dengan pemerintahan daerah sering terjadi ketidakseimbangan perkembangan antar daerah. Ada daerah yang menjadi sangat maju, tetapi sebaliknya ada daerah yang relative tidak berkembang dan bahkan mengalami kemunduran. Konsep inilah yang melandasi pemikiran hubungan antara daerah dalam melihat persoalan pembentukan daerah otonom. Menurut teori ini, daerah otonom terbentuk karena munculnya kesenjangan antara wilayah dalam suatu daerah. Daerah yang diterlantarkan pertumbuhannya akan menggalang kesatuan sebagai kelompok yang termarginalisasikan, untuk selanjutnya menuntut pembentukan daerah otonom sendiri agar dapat secara bebas mengembangkan dan mengelola daerah mereka.

d. Syarat-syarat Pemekaran

Menurut pasal 4 ayat 1 dan 2 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 dijelaskan bahwa Pembentukan daerah kabupaten/kota berupa pemekaran kabupaten/kota dan penggabungan beberapa kecamatan yang bersandingan pada wilayah kabupaten/kota yang berbeda harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.


(41)

30

Berdasarkan syarat-syarat di atas, untuk syarat administratif dijelaskan pada pasal 5 PP No. 78 Tahun 2007, sebagai berikut:

(1) Syarat administratif pembentukan daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) meliputi:

a. Keputusan masing-masing DPRD kabupaten/kota yang akan menjadi cakupan wilayah calon provinsi tentang persetujuan pembentukan calan provinsi berdasarkan hasil Rapat Paripurna;

b. Keputusan bupati/walikota ditetapkan dengan keputusan bersama bupati/walikota wilayah calon provinsi tentang persetujuan pembentukan calon provinsi:

c. Keputusan DPRD provinsi induk tentang persetujuan pembentukan calon provinsi berdasarkan hasil Rapat Paripurna;

d. Keputusan gubernur tentang persetujuan pembentukan calon provinsi; dan

e. Rekomendasi Menteri.

(2) Syarat administratif pembentukan daerah kabupaten/kota dimaksud dalam pasal 4 ayat (2), meliputi:

a. Keputusan DPRD kabupaten/kota induk tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota

b. Keputusan bupati/walikota induk tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota

c. Keputusan DPRD provinsi tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota

d. Keputusan gubernur tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota dan

e. Rekomendasi Menteri.

(3) Keputusan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a diproses berdasarkan aspirasi sebagian besar masyarakat setempat.

(4) Keputusan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berdasarkan aspirasi sebagian besar masyarakat setempat yang dituangkan dalam keputusan DPRD kabupaten/kota yang akan menjadi cakupan wilayah calon provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3).


(42)

Syarat teknis dijelaskan pada pasal 6 yang menyebutkan sebagai berikut:

(1) Syarat teknis sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 meliputi faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan daerah.

(2) Faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai berdasarkan hasil kajian daerah terhadap indikator sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peraturan pemerintah ini.

(3) Suatu calon daerah otonom direkomendasikan menjadi daerah otonom baru apabila calon daerah otonom dan daerah induknya mempunyai total nilai seluruh indikator dan perolehan nilai indikator faktor kependudukan, faktor kemampuan ekonomi; faktor potensi daerah dan faktor kemampuan keuangan dengan kategori sangat mampu atau mampu.

Sedangkan syarat fisik kewilayahan dijelaskan pada pasal 7, menyebutkan syarat fisik kewilayahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 meliputi cakupan wilayah, lokasi calon ibu kota, sarana dan prasarana pemerintahan

e. Permasalahan Pemekaran

Syafarudin24 menyebutkan faktor penyebab langsung maupun tidak langsung munculnya persoalan pasca pembentukan daerah baru dapat diidentifikasi dalam 3 (tiga) aspek sebagai berikut:

Pertama, manipulasi data awal dan proses pembentukan. Apabila

daerah pemekaran baru benar-benar memenuhi syarat dan memenuhi semua prosedur substantif maka problem pasca pemekaran bisa dihindari. Kuat dugaan bahwa selama ini ada pemaksaan dan manipulasi syarat-syarat teknis, administrasi, dan kewilayahan. Politik

24


(43)

32

uang (money politics) di tingkat lokal dan nasional, meski sulit untuk dibuktikan, nampaknya kuat sekali menjadi faktor memuluskan persyaratan dan memenuhi prosedur formal.

Kedua, nafsu politik elit lokal dan nasional memberangus kesadaran

kolektif. Walaupun daerah tidak layak dimekarkan, namun kenyataannya hampir semua riset kampus dan lembaga penelitian menyatakan layak 179 daerah untuk dimekarkan. Nafsu elit lokal dan nasional memekarkan wilayah demi motif ekonomi dan politik ini didukung pula dengan sikap DPR dan DPD sebagai penyambung aspirasi rakyat. Akibatnya kesadaran kolektif hilang, tenggelam oleh histeria/euforia politisi dan massa yang ikut-ikutan terbuai bayang-bayang kenikmatan pemekaran daerah.

Ketiga, kemanjaan fiskal yang dijamin UU bagi daerah-daerah

pemekaran seperti DAU, bagi hasil dari SDA, PAD, dll. Salah satu sebab terjadinya gelombang pemekaran daerah karena adanya jaminan dalam UU 32/2004, PP 129/2000, dan PP 78/2007 bahwa daerah baru hasil pemekaran akan memperoleh DAU (dana alokasi umum) dari pusat. DAU pusat diharapkan turun sebanyak-banyaknya ke daerah yang akan dipergunakan untuk membangun. Kenyataan ini semakin ironis mengingat PAD daerah minim dan banyak mengandalkan pembiayan pembangunan dari pusat. Akibatnya daerah makin banyak


(44)

Badan Perencanaan dan pembangunan Nasional dalam penelitian mengenai Studi Evaluasi Pemekaran Daerah, menyebutkan dua masalah utama yang diidentifikasi dalam pemekaran daerah, yaitu:

1. Pembagian Potensi Ekonomi Tidak Merata. Dari perkembangan data yang ada menunjukkan bahwa dari aspek ekonomi, daerah-daerah DOB menunjukkan potensi ekonomi yang lebih rendah daripada daerah induk. Hal ini ditunjukkan oleh nilai PDRB daerah DOB yang lima tahun terakhir masih di bawah daerah induk meskipun PP 129/2000 mensyaratkan adanya kemampuan yang relative tidak jauh berbeda antara daerah induk dengan calon daerah DOB. Secara riil potensi yang dimaksud yakni kawasan industri, daerah pertanian dan perkebunan yang produktif, tambak, pertambangan, maupun fasilitas penunjang perekonomian.

2. Beban Penduduk Miskin Lebih Tinggi. terdapat suatu kesimpulan bahwa daerah pemekaran umumnya memiliki jumlah penduduk miskin yang relatif lebih besar, khususnya daerah DOB. Hal ini membawa implikasi bahwa untuk menggerakkan perekonomian daerah sehingga terjadi peningkatan pendapatan masyarakat memerlukan upaya yang jauh lebih berat. Penduduk miskin umumnya memiliki keterbatasan sumberdaya manusia, baik pendidikan, pengetahuan maupun kemampuan dalam rangka menghasilkan pendapatan. Di samping itu, sumberdaya alam di kantungkantung kemiskinan umumnya juga sangat terbatas,


(45)

34

misalnya hanya dapat ditanami tanaman pangan dengan produktivitas rendah.

2. Tinjauan Tentang Kecamatan

Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor. 05 Tahun 2008 tentang Fungsi dan Tata Kerja Kecamatan dan Kelurahan Kota Bandar Lampung pada BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 13 yaitu camat adalah kepala kecamatan Kota Bandar lampung. Sedangkan pada pasal 1 ayat 12 menjelaskan, kecamatan adalah wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah Kota Bandar Lampung.

Kecamatan merupakan perangkat daerah Kota Bandar Lampung yang mempunyai wilayah kerja tertentu yang dipimpin oleh seorang Camat yang berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah. Kecamatan mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian kewenangan Pemeritahan yang dilimpahka oleh Walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pelayanan umum, pemberdayaan masyarakat, ketentrama dan ketertiban masyarakat dalam kecamatan. Dalam melaksanakan tugas kecamatan memiliki fungsi sebagai berikut:

a. Pengoordinasian kegiatan pemberdayaan masyarakat

b. Pengoordinasian upaya peyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum

c. Pengoordinasian penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan

d. Pengoordinasian pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum

e. Pengoordinasian penyelenggaraan kegiatan pemerintahandi tingkat kecamatan


(46)

f. Pembinaan penyelenggaraan pemerintahan kelurahan

g. Pelaksanaan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan kelurahan

h. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan walikota

3. Tinjauan Pemekaran Kecamatan

Menurut PP No. 78 Tahun 2007 tentang Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah menyebutkan, Pemekaran daerah adalah pemecahan propinsi atau kabupaten/kota menjadi dua daerah atau lebih. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, belum ada ketentuan hukum yang benar-benar membicarakan perihal pemekaran kecamatan. Namun, pada dasarnya pemekaran daerah baik provinsi, kabupaten/kota maupun kecamatan berpedoman pada Peraturan Pemerintah nomor 78 Tahun 2007.

Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung nomor 04 tahun 2012 tentang Penataan dan Pembentukan Kelurahan dan Kedamatan, dan Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung nomor 12 tahun 2012 tentang Perugahan Atas Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung nomor 4 tahun 2012 Tentang Penataan dan Pembentukan Kelurahan dan Kecamatan pada BAB II dalam pasal 2 dan 3 menyebutkan maksud dan tujuan dari pemekaran kecamatan dimaksudkan dalam rangka meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan di dasarkan pada pertimbangan demografi dan luas wilayah. Sedangkan tujuan dari di bentukya kecamatan adalah sebagai upaya untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, melaksanakan fungsi pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat yang


(47)

36

didasarkan pada jumlah penduduk yang ada di kelurahan dan kecamatan tersebut.

F. Kerangka Fikir

Sebelum sebuah kebijakan diformulasikan maka terlebih dahulu harus dilakukan pengidentifikasian terhadap masalahnya, hal ini sering disebut dengan proses identifikasi isu kebijakan. Berikut beberapa tahapan dalam pemprosesan isu yang dapat diangkat dan di jadikan agenda setting menurut Wibawa25 pada dasarnya perjalanan isu menjadi kebijakan dapat digambarkan sebagai berikut:

Isu Opini Publik Agenda Kebijakan Kebijakan

Lahirnya sebuah kebijakan bermula dari adanya suatu masalah yang sedang berkembang. Awalya masalah tersebut bermula dari adanya isu publik. Dari isu publik itulah kemudian berkambang menjadi opini publik. Dari kedua hal inilah yang akhirnya menyebabkan timbulnya masalah kebijakan. Dari sekian banyak masalah kebijakan yang timbul hanya sedikit masalah yang mengalami perhatian karena masalah tersebut harus melewati tahap pengidentifikasian, dari proses pengidentifikasian masalah inilah dapat ditemukan masalah mana yang lebih berpeluang. Dari penyeleksian masalah inilah kemudian diangkat menjadi Agenda kebijakan. Di agenda kebijakan inilah tahapa yang paling

25

Samodra Wibawa, Politik Perumusan Kebijakan Publik (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011). Hal 59-62


(48)

penting sebelum akhirnya masalah tersebut menjadi penyusunan alternative kebijakan yang akhirnya dikeluarkan sebagai kebijakan.

Apakah suatu isu dari suatu kelompok akan mempengaruhi opini publik, ini tergantung pada kondisi objektif dari isu itu, misalnya apakah menyangkut sejumlah besar orang atau menyentuh rasa kemanusiaan. Namun juga tergantung pada siapa yang tersentuh oleh isu tersebut dan siapa yang menyentuhkannya. Dengan kata lain seberapa besar kekuatan politik dari pihak-pihak yang terkait atau berkepentingan dengan isu tersebut. Semakin besar kekuatan politik aktor yang bersangkutan, semakin besar pula peluangnya menjadi opini publik, diagendakan dan dirumuskan kebijakannya.

Pencarian masalah adalah suatu tahap dalam rangka mengenali masalah yang dipersepsikan secara beragam oleh para stakeholder. Pencarian masalah ini dapat dilakukan dengan melakukan survey kepada warga masyarakat atau suatu fenomena tertentu, meminta aspirasi dari berbagai lembaga swadaya masyarakat intens mengikuti isu tertentu dan juga mendapatkan informasi dari media massa. Setelah mendapatkan berbagai masukan, aspirasi dan saran dari berbagai sumber, tugas analisi kebijakaan adalah mendefinisikan masalah yang beragam yang dipersepsikan oleh para pihak menjadi satu atau beberapa masalah subtantif yang akan dijadikan sebagai masalah formal. Proses penentuan suatu masalah harus melewati beberapa tahap, apakah masalah tersebut benar-benar memerlukan peyelesaian atau hanya sebagai kabar burung saja. Proses pendefiisian masalah yang beragam oleh para pihak menjadi suatu atau beberapa masalah subtantif yang akan dijadikan sebagai masalah formal


(49)

38

tidaklah mudah. Setelah medapatkan masalah subtantif maka dapat dilakukan spesifikasi masalah, yaitu suatu proses mencari mana masalah yang akan diselesaikan terlebih dahulu oleh pemerintah, dengan mempertimbagkan segala sumber daya yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah subtantif tersebut26.

Tahap menentukan masalah merupakan merupakan tahap yang krusial, yaitu menunjuk pentingnya isu dikemas sedemikian rupa sehingga dapat masuk dalam agenda pemerintah. Masalah publik yang kemungkian besar dapat masuk dalam agenda pemerintah adalah masalah yang memenuhi persyaratan: pertama adalah rasionalitas, yaitu menunjuk bahwa masalah tersebut benar-benar menjadi tuntutan publik dan penting untuk diselesaikan dengan segera oleh kebijakan pemerintah; kedua adalah politis, yaitu menujuk bahwa masalah tersebut mendapatkan dukungan kekuatan politik untuk masuk dalam agenda pemerintah dan diperoses lebih lanjut dalam kebijakan publik.

Proses penentuan dalam menentukan isu dapat menjadi masalah publik dan diangkat menjadi agenda kebijakan pada dasarnya memiliki tahap-tahap tertentu dan memiliki kriteria tersendiri. Oleh karena itu penelitian ini perlu melakukan kajian dengan perbandingan kriteria isu yang dapat menjadi agenda kebijakan dengan identifikasi atau faktor-faktor yang melatarbelakangi pemekaran yang terjadi di Kota Bandar lampung khususnya di wilayah Kecamatan Sukarame. Untuk kebutuhan penelitian kriteria isu yang dapat menjadi masalah publik hanya dibatasi oleh kriteria yang relevan dengan isu

26

Pejelasan yang komprehensif dapat dibaca dalam Dwiyanto Indiahono. 2009. Kebijakan Publik Berbasis Dynamoc Policy Analysis. Yogyakarta: Gava Media


(50)

kebijakan pemekaran kecamatan sukarame di Kota Bandar Lampung yaitu isu tersebut menjangkau dampak yang amat luas dan Isu tersebut mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan (legitimasi) dalam masyarakat.


(51)

Kerangak Pikir dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam bentuk bagan sebagai berikut:

Gambar 2. Bagan Kerangka Fikir Kebijakan Pemekaran Wilayah Kecamatan

Sukarame Kota Bandar Lampung

Analisis Isu Kebijakan Pemekaran Kecamatan

Sukarame

1. Isu tersebut menjangkau dampak yang amat luas.

2. Isu tersebut mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan

(legitimasi) dalam masyarakat.

Kriteria Isu Yang Dapat Menjadi Agenda Kebijakan


(52)

III METODE PENELITIAN

A.Tipe Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis Isu Kebijakan Pemekaran Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung, maka peneliti menggunakan metode penelitian Kualitatif. Alasan penulis menggunakan metode kualitatif, karena penelitian kualitatif sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan dari pihak-pihak yang terkait mengenai Isu Kebijakan Dalam Pemekaran Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung dengan cara eksplorasi dan klarifikasi mengenai fenomena kenyataan sosial dengan mendeskripsikan mendalam kondisi riil di lapangan berdasarkan dukungan fakta dan informasi yang ada.

B.Fokus Penelitian

Fokus penelitian memberikan batasan dalam pengumpulan data sehingga dengan pembatasan ini peneliti akan memahami masalah-masalah yang menjadi tujuan penelitian.


(53)

42

Peneliti akan membatasi penelitian ini dengan hanya perlu melakukan kajian dengan perbandingan kriteria isu yang dapat menjadi agenda kebijakan dengan identifikasi atau faktor-faktor yang melatar belakangi pemekaran yang terjadi di Kota Bandar Lampung khususnya di wilayah Kecamatan Sukarame.

Kriteria isu yang dapat dijadikan sebagai agenda kebijakan sebagai berikut26: 1. Isu tersebut telah mencapai suatu titik kritis tertentu, sehingga ia praktis

tidak lagi bisa diabaikan begitu saja, atau ia telah dipersepsikan sebagai suatu ancaman serius yang jika tak segera diatasi justru akan menimbulkan luapan krisis baru yang jauh lebih hebat di massa datang.

2. Isu tersebut telah mencapai tingkat partikularitas tertentu yang dapat menimbulkan dampak (impact) yang bersifat dramatik.

3. Isu tersebut menyangkut emosi tertentu dilihat dari sudut kepentingan orang banyak, bahkan umat manusia pada umumnya, dan mendapat dukungan berupa liputan media masa yang luas.

4. Isu tersebut menjangkau dampak yang amat luas.

5. Isu tersebut mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan (legitimasi) dalam masyarakat.

6. Isu tersebut menyangkut suatu persoalan yang baru (fasionabel), dimana posisinya sulit untuk dijelaskan tapi mudah dirasakan kehadirannya.

Berdasarkan dari ke enam keriteria tersebut penulis akan membatasi penelitiannya, dengan menganalisis beberapa identifikasi isu yang relevan dengan isu pemekaran keecamatan sukarame dengan menggunakan dua kriteria

26

Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara Edisi Kedua (Jakarta: Bumi Aksara, 2008). Hal 35-38


(54)

isu yaitu Isu tersebut menjangkau dampak yang amat luas dan Isu tersebut mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan (legitimasi) dalam masyarakat.

C.Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat peneliti melakukan penelitian dengan melihat fenomena atau peristiwa yang sebenarnya terjadi dari objek yang diteliti dalam rangka mendapatkan data-data penelitian yang akurat dan valid. Lokasi penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung, Alasan, memilih lokasi penelitian di kecamatan dikarenakan Pemerintah Kota memekarkan Kecamatan dan Kelurahan dan salah satunya adalah Kecamatan Sukarame.

D.Sumber Data

Dalam penelitian ini, data didapatkan dari dua sumber yaitu: 1. Data Primer

Data yang telah diperoleh langsung dari informan, dengan memakai teknik pengumpulan data berupa interview (wawancara) langsung, serta melakukan purposive sampling yaitu berdasarkan pemikiran logis informan sengaja dipilih oleh peneliti guna memperoleh informasi yang sesuai dengan permasalahan penelitian. Penentuan informan ini dilakukan dengan cara menunjuk sesuai kemampuan dan pengetahuan mereka guna


(55)

44

mendapatkan informasi yang mendukung penelitian ini dan data yang diperoleh dari dokumentasi.

Sumber informasi dalam penelitian ini adalah : 1. Tim Pemekaran Kota Bandar Lampung

- Deddy Amrullah, selaku Asisten I Kota Bagian Pemerintahan. Wawancara, Selasa 27 Agustus 2013 pukul 11.48.

- Ahmad Efendi, selaku Kasubag Tata Pemerintahan Umum. Wawancara, Senin 26 Agustus 2013 pukul 13.27.

2. Tim Pengkaji Akademisi UNILA

- Syafarudin, selaku Akademisi UNILA. Wawancara, Selasa 30 Juli 2013 pukul 10.00.

3. Kecamatan Sukarame

- Ali Pompidu, selaku Kasi Pemerintahan Kecamatan. Wawancara, Selasa 20 Agustus 2013 pukul 10.41

4. Masyarakat

- Rifki, selaku Ketua Lingkungan II Kelurahan Way Dadi Baru. Wawancara, Rabu 28 Agustus 2013 pukul 13.48. - Arinza Justistio selaku masyarakat Way Dadi. Wawancara,

Jumat 6 September 2013 pukul 15.05

- Lidya Anjani selaku masyarakat Lingkungan II RT 001 Kelurahan Way Dadi Baru. Wawancara, Rabu 4 September 2013 pukul 11.00


(56)

- Chintia selaku masyarakat Korpri Raya. Wawacara, Selasa 3 September 2013 pukul 10:30

- Umik selaku masyarakat Korpri Raya. Wawancara, Senin 23 September 2013 pukul 13.30

2. Data sekunder

Data yang telah diperoleh berdasarkan dokumen-dokumen, catatan-catatan, Arsip-arsip resmi, serta literatur lainnya yang relevan dalam melengkapi data primer penelitian. Data yang berupa dokumen di peroleh dari Laporan Studi Kelayakan Pemekaran Kelurahan dan Kecamatan di Kota Bandar Lampung.

E.Teknik Pengumpulan Data

Sesuai dengan metode penelitian maka untuk memperoleh data-data maka penulis menggunakan teknik pengumpulan data dengan:

1. Wawancara.

Wawancara adalah pertemuan antara periset dan reponden, dimana jawaban responden akan menjadi data mentah. Menurut Stedward dalam Harrison27 mengatakan wawancara adalah alat yang baik untuk menghidupkan topik riset, wawancara juga merupakan metode bagus untuk pengumpulan data tentang subjek kontemporer yang belum dikaji secara ekstensif dan tidak banyak literatur yang membahasnya.

27


(57)

46

Penelitian ini dilakukan dengan wawancara secara mendalam (Indepht

Interview) yaitu melakukan wawancara secara langsung dengan subyek

penelitian. Teknik pengumpulan data dengan bertanya langsung kepada sumber informan untuk menjawab pokok-pokok persoalan yang menjadi substansi perumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dibuat oleh peneliti.

Peneliti melakukan wawancara kepada informan dengan menggunakan sistem Purposive Sampling yaitu berdasarkan pemikiran logis informan yang sengaja dipilih oleh peneliti guna memperoleh informasi yang sesuai dengan permasalahan penelitian. Peneliti melakukan penelitian dengan pihak-pihak yang terkait mengenai proses pemekaran kelurahan dan kecamatan di Bandar Lampung.

Pertama peneliti melakukan penelitian di tingkat kota yang melibatkan Tim Pemekaran Kota yang terdiri dari Asisten I Kota Bagian Pemerintahan Bapak Dedi Amrullah dan dan Kepala Bagian Tata Pemerintahan Umum yang dialih tugaskan kepada Kasubag Tata Pemeritahan Umum Ahmad Efendi. Kemudian peneliti juga melakukan wawancara kepada Tim Pengkaji Lapangan Safarudin yang merupakan salah satu dari tim pengkaji yang melakukan kajian mengenai pemekaran kelurahan dan kecamatan di Bandar Lampung di beberapa daerah yang hendak dimekarkan. Peneliti juga melakukan wawancara terhadap salah satu dari pegawai Kecamatan Sukarame selaku Kasi Pemerintahan Kecamatan Ali Pompidu.


(58)

Peneliti juga mewawancari masyarakat sukarame yang yang terdiri dari 1 Kepala Lingkungan II Kelurahan Way Dadi Baru Bapak Rifki dan beberapa masyarakat Sukarame yang berlatarbelakang pendidikan sebagai mahasiswa di perguruan tinggi di Bandar Lampung yaitu Arinza Justistio, Lidya Anjani dan Chintia, dan salah seorang ibu rumah tangga yaitu Ibu Umik.

Peneliti membutuhkan tenaga ekstra untuk menjelaskan dan menerangkan siapa peneliti sebenarnya dan apa tujuan peneliti sebelum melakukan wawancara kepada setiap aparat pemerintah kota yang masuk dalam kategori informan berdasarkan Purposive Sampling yang telah di tetapkan sebelumnya.

2. Studi Dokumentasi

Menurut Nawawi28 dokumen yang berupa tulisan atau film bagi peneliti dapat digunakan untuk proses (melalui pencatatan, pengetikan, atau alat tulis), tetapi kualitatif tetap menggunakan kata-kata, yang biasanya disusun kedalam teks yang diperluas. Teknik dokumentasi pada penelitian ini dengan cara mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis.

Dokumentasi yang didapat oleh peneliti yaitu foto-foto peneliti dengan beberapa informan yag terdiri dari Tim Pemekaran Kota, Tim Pengkaji UNILA, dan masyarakat kecamata sukarame. Dokumentasi yang berupa foto-foto peneliti dengan informan dijadikan sebagai bukti bahwa peneliti sudah melakukan penelitian.

28

Hadari Nawawi, Metodo Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gajah Mada University,1991). Hal 33


(59)

48

F. Teknik Pengolahan Data

Setelah data diperoleh oleh peneliti dan terkumpul dari lapangan, tahap selanjutnya adalah mengolah data tersebut. Adapun kegiatan dalam pengolahan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tahapan Editing

Tahap kegiatan dalam penelitian ini adalah kegiatan memeriksa hasil wawancara yang telah dilakukan dengan sumber informasi (informan) mengenai Isu Kebijakan Dalam Pemekaran Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung.

2. Tahap Koding

Tahap ini yaitu dengan mengklasifikasi jawaban-jawaban para informan yang menjadi sumber data menurut macam-macamnya atau kelompoknya. Klasifikasi ini dilakukan dengan cara memberi tanda masing-masing jawaban dengan tanda-tanda tertentu mengenai Isu Kebijakan Dalam Pemekaran Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung.

3. Tahapan Interpretasi

Pada tahapan ini, yaitu memberikan penafsiran atau penjabaran atas hasil wawancara dengan pihak terkait mengenai Isu Kebijakan Dalam Pemekaran Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung.


(60)

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif, maka teknis analisis datanya disajikan dalam bentuk paparan atau gambaran dari temuan-temuan dilapangan baik berupa data dan informasi hasil wawancara, dokumentasi dan lain sebagainya. Menurut Mattew B. Miles dan A. Michael Huberman dalam Burhan Bungin29, Teknik analisis data adalah sebagai berikut:

1. Reduksi Data

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, dan tranformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di palangan. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengoorganisasikan data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.

2. Penyajian Data

Penyajian data dibatasi sebagai usaha menampilkan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dengan penyajian tersebut akan dapat dipahami apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan, menganalisis ataukah mengambil tindakan berdasarkan pemahaman yang didapat dari penyajian-penyajian tersebut.

29


(61)

50

3. Menarik Kesimpulan (Verifikasi)

Kesimpulan diverifikasi selama penelitian berlangsung, makna-makna yang muncul dari data yang ada diuji kebenaran, kekokohan, dan kecocokannya yang merupakan validitasnya, sehingga akan diperoleh kesimpulan yang jelas kebenaran dan kegunaanya.


(62)

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A.Gambaran Umum Kota Bandar Lampung

1. Sejarah Singkat Kota Bandar Lampung

Kota Bandar Lampung merupakan Ibu Kota Provinsi Lampung, selain merupakan pusat kegiatan pemerintahan, sosial, politik, pendidikan dan kebudayaan, kota ini juga merupakan pusat kegiatan perekonomian. Wilayah Bandar lampung terletak di wilayah yang strategis karena merupakan daerah transit kegiatan perekonomian antar pulau Sumatra dan pulau Jawa, sehingga menguntungkan bagi pertumbuhan dan pengembangan kota sebagai pusat perdagangan, industri dan pariwisata.

Sebelum tanggal 18 Maret 1964 Provinsi Lampung merupakan Keresidenan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang nomor 3 Tahun 1964, yang kemudian menjadi Undang-undang nomor 14 Tahun 1964, Keresidenan Lampung ditingkatkan menjadi Provinsi Lampung dengan Ibu Kotanya Tanjungkarang-Telukbetung. Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 1983. Kotamadya Daerah Tingkat II Tanjungkarang-Telukbetung diganti namanya menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Bandar Lampug terhitung sejak tanggal 17 Juni 1983, dan sejak tahun 1999 berubah nama menjadi Kota Bandar Lampung.


(63)

52

Berdasarkan Undang-undang nomor 5 Tahun 1975 dan Peraturan Pemerintah nomor 3 Tahun 1982 tentang perubahan wilayah maka Kota Bandar Lampung dimekarkan dari 4 Kelurahan dan 30 Kecamatan menjadi 9 Kecamatan dan 58 Kelurahan. Berdasarkan surat Keputusan Gubernur/KDH Tingkat I Lampung Nomor G/185.B.111/Hk/1988 tanggal 6 Juli 1988 serta Surat Persetujuan MENDAGRI nomor 140/1799/PUOD tanggal 19 Mei 1987 tentang pemekaran kelurahan di wilayah Kota Bandar Lampung, maka Kota Bandar Lampung dimekarkan menjadi 9 Kecamatan dan 84 Kelurahan.

Kemudian berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 4 Tahun 2001 tentang pembentukan, penghapusan dan penggabungan kecamatan dan kelurahan, maka kota Bandar Lampung kembali dimekarkan menjadi 13 Kecamatan dan 98 Kelurahan. Terakhir pada tanggal 17 September 2012 bertempat di Kelurahan Sukamaju dilakukan kembali peresmian kecamatan dan kelurahan baru di Kota Bandar Lampung yang terdiri dari 20 kecamatan dan 126 kelurahan sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 04 Tahun 2012 tentang Penataan dan Pembentukan Kelurahan dan Kecamatan.

2. Letak Geografi

Secara geografis Kota Bandar Lampung terletak pada 5o20’ sampai dengan

5o30’ lintang selatan dan 105o28’ sampai dengan 105o37’ bujur timur. Ibukota provinsi Lampung ini berada di Teluk Lampung yang terletak di ujung selatan pulau Sumatra. Kota Bandar Lampung sendiri memiliki luas


(64)

wilayah 197,22 Km2 yang terdiri dari 20 kecamatan dan 126 Kelurahan. Kota Bandar Lampung merupakan sebuah kota, sekaligus Ibu Kota Provinsi Lampung. Secara geografis, kota ini menjadi pintu gerbang utama pulau Sumatera, tepatnya kurang lebih 165 km sebelah barat laut Jakarta, memiliki andil penting dalam jalur transportasi darat dan aktivitas pendistribusian logistik dari Jawa menuju Sumatera maupun sebaliknya.

Secara administratif Kota Bandar Lampung dibatasi oleh:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan Natar kabupaten Lampung Selatan.

2. Sebelah Selata berbatasan dengan Teluk Betung.

3. Sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Gedung Tataan dan Padang Cermin kabupaten Pesawara.

4. Sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan Tanjung Bintang kabupaten Lampung Selatan.

Kota Bandar Lampung terletak pada ketinggian 0 sampai 700 meter diatas permukaan laut dengan topografi yag terdiri dari:

1. Daerah pantai yaitu sekitar Teluk Betung bagian selatan dan panjag. 2. Daerah perbukitan yaitu sekitar teluk Betung bagian utara

3. Daerah daratan tinggi serta sedikit bergeleombang terdapat di sekitar Tajung Karang bagian Barat yang dipengaruhi oleh gunung Balau srta perbukitan Batu Serampok dibagia Timur Selatan.

4. Teluk Lampung dan pulau-pulau kecil bagian Selatan.

Ditengah-tengah kota mengalir beberapa sugai seperti sungai Way Halim, Way Balau, Way Awi, Way Simpur di wilayah tanjung Karang, dan Way Kuripan, Way Kupang, Way Garuntang, Way Kuwala mengalir di wilayah Teluk Betung. Daerah hulu sungai berada di bagia barat, daerah hilir sungai berada di sebelah selatan yaitu di wilayah pantai. Luas wilayah yang datar hingga landai maliputi 60 persen total wilayah, landai hingga miring meliputi 35 persen total wilayah, dan sangat miring hingga curam maliputi 4


(1)

60

Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Penataan dan Pembentukan Kelurahan dan Kecamatan yang dikeluarkan oleh Walikota. Sesuai dengan Peraturan Daerah tersebut Kecamatan Sukarame membawahi 6 kelurahan yang terdiri dari 3 kelurahan lama yang di mekarkan, yakni:

1. Kelurahan Sukarame 2. Kelurahan Sukarame Baru 3. Kelurahan Way Dadi 4. Kelurahan Way Dadi Baru

5. Kelurahan Harapan Jaya, yang selanjutnya berganti nama manjadi Korpri Jaya

6. Kelurahan Korpri Raya

Letak geografis dan wilayah administratif Kecamatan Sukarame, dengan batas-batasannya sebagai berikut:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Lampung Selatan 2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Sukabumi

3. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Way Halim dan Kecamatan Kedamaian

4. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Kabupaten Lampung Selatan


(2)

VI. SIMPULAN DAN SARAN

A.Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan melakukan pengkajian dilapangan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Latar Belakang munculnya isu kebijakan Pemekaran Kecamatan Sukarame merupakan bentuk balas jasa Wali Kota Bandar Lampung terhadap pihak-pihak yang telah membantu Wali Kota dalam rangka penemangan pemilihan Kepala Pemerintah Kota.

2. Berdasarkan isu kebijakan Pemekaran Kecamatan Sukarame yaitu sebagai bentuk balas jasa Pemerintah Kota Badar Lampung belum dapat dikatakan sebagai isu yang rasional, hal ini dikarenakan dalam proses pengambilan kebijakan pemekaran Kecamatan Sukarame didominasi oleh kepentingan elit. Proses pengambilan kebijakan pemekaran Kecamatan Sukarame tidak melibatkan masyarakat, pemekaran kecamatan ini hanya melibatkan DPRD, Wali Kota, Tim Raperda, dan Tim Pemekaran Kota.


(3)

96

3. Adanya pemekaran Kecamatan Sukarame belum memberikan dampak yang luas bagi masyarakat, karena sebelum ataupun sesudah terjadinya pemekaran Kecamatan Sukarame pelayanan yang dirasakan oleh masyarakat masih dikatakan sama. Selain itu, pemekaran Kecamatan Sukarame juga mempermasalahkan keabsahan (legitimasi) dari masyarakat sukarame karena dalam proses pengambilan kebijakan tidak mengikut sertakan masyarakat sukarame.

B.Saran

Berdasarkan kesimpulan dari hasil dan pembahasan permasalahan penelitian, maka peneliti memberikan saran mengenai Isu Kebijakan Pemekaran Kecamatan Sukarame sebagai berikut:

1. Sebaiknya Pemerintah Kota Bandar Lampung dalam menentukan isu/masalah kebijakan lebih memperhatikan isu kebijakan yang menyangkut kepentingan masyarakat, terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat demi tercapainya kesejahteraan masyarakat. 2. Sebaiknya dalam pengambilan kebijakan pemekaran kecamatan,

pemerintah harus melibatkan stakeholder yang berpengaruh, yaitu pihak swasta dan tokoh masyarakat sehigga kebijakan yang diambil oleh Pemerintah dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat.

3. Sebaiknya Pemerintah Kecamatan Sukarame lebih meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, hal ini dikarenakan rentang kendali Pemerintah Kecamatan sudah menjadi lebih pendek. Sehingga Pemerintah Kecamatan Sukarame lebih memaksimalkan pelayanan kepada masyarakat.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Agustino, Leo. 2008. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.

Bungin, Burhan. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rajawali Pers.

Danim, Sudarwan. 1997. Pengantar Studi Penelitian Kebijakan. Jakarta: Bumi Aksara.

Djohan, Djohermansyah. 1990. Problematika Pemerintahan dan Politik Lokal. Jakarta: Bumi Aksara.

Harrison, Lisa. 2009. Metodologi Penelitian Politik. Jakarta: Prenada Media Group.

Ida, Laode. 2005. Permasalahan Pemekaran Daerah di Indonesia. Jakarta: Media Indonesia.

Indiahono, Dwiyanto. 2009. Kebijakan Publik Berbasis Dynamic Policy Analysis. Yogykarta: Gava Media.

Islamy, Irfan. 2002. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.


(5)

Nawawi, Hadari. 1991. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University.

Nugroho, Riant. 2008. Public Policy. Jakarta: PT Alex Media Komputindo.

Wahab, Solichin Abdul. 2004. Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara. --- 2008, Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi

ke Implementasi Kebijaksanaan Negara Edisi Kedua. Jakarta: Bumi Aksara.

--- 2008. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Malang: Muhammadiyah University Press.

Wibawa, Samodra. 2011. Politik Perumusan Kebijakan Publik. Yogyakarta: Graham Ilmu

Winarno, Budi.2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Jakarta: Presindo

Dokumen-dokumen :

Gelombang Pemekaran Daerah Pasca Orde Baru. Laporan Penelitian.

Studi Kelayakan Pemekaran Kelurahan dan Kecamatan di Kota Bandar Lampung. Laporan Akhir.

Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 04 Tahun 20012 Tentang Penataan dan Pembentukan Kelurahan dan Kecamatan. Dan Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan


(6)

Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Penataan dan Pembentukan Kelurahan dan Kecamatan.

Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 05 Tahun 2008 tentang Fungsi dan Tata Kerja Kecamatan dan Kelurahan Kota Bandar Lampung

Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2008 tentang Kecamatan

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia, Jakarta : 2004

Webside:

Chao Li. 2012 www.welcometobdl.blogspot.com diakses tanggal 31 maret 2013 Qassam. 2011www.pks.bandarlampung.com diakses tanggal 31 maret 2013 Reza Aditya. 2011 www.rezaaditya.com diakses tanggal 7 mei 2013

Syamsuri. 2012www.tentangpelayananpublik.blogspot.com diakses tanggal 20 Oktober 2013