KELOMPOK 10 Penduduk Usia Lanjut dan Pem

Makalah
Penduduk Usia Lanjut dan Pembangunan Ekonomi

Oleh Kelompok 10

Nama

: Hara Regina Oktavia Simamora

(1211021060)

Lorentina Nainggolan

(1211021072)

Yulianti Siadari

(1211021130)

Mata Kuliah


: Ekonomi Kependudukan (EBE612320)

Dosen

: Syahfirin Abdullah, S.E.,M.Si

Jurusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universiats Lampung
2014

PENDUDUK LANJUT USIA
Salah

satu

indikator

keberhasilan


pembangunan

adalah

semakin

meningkatnya usia harapan hidup penduduk. Dengan semakin meningkatnya usia
harapan hidup penduduk, menyebabkan jumlah penduduk lanjut usia terus
meningkat dari tahun ke tahun. Menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 1998
tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, yang dimaksud dengan lanjut usia adalah
penduduk yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Di seluruh dunia penduduk
Lansia (usia 60 +) tumbuh dengan sangat cepat bahkan tercepat dibanding
kelompok usia lainnya. Diperkirakan mulai tahun 2010 akan terjadi ledakan
jumlah penduduk lanjut usia. Hasil prediksi menunjukkan bahwa persentase
penduduk lanjut usia akan mencapai 9,77 persen dari total penduduk pada tahun
2010 dan menjadi 11,34 persen pada tahun 2020.

Proses penuaan penduduk tentunya berdampak pada berbagai aspek
kehidupan, baik sosial, ekonomi, dan terutama kesehatan, karena dengan semakin
bertambahnya usiLa, fungsi organ tubuh akan semakin menurun baik karena

faktor alamiah maupun karena penyakit. Dengan demikian, peningkatan jumlah
penduduk lanjut usia menjadi salah satu indikator keberhasilan pembangunan
sekaligus sebagai tantangan dalam pembangunan. Bila permasalahan tersebut
tidak diantisipasi dari sekarang, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa proses
pembangunan

akan

mengalami

berbagai hambatan. Oleh sebab itu,

permasalahan lanjut usia harus menjadi perhatian kita semua, baik pemerintah,
lembaga masyarakat maupun masyarakat itu sendiri. Mindset yang selama ini ada
bahwa penduduk lanjut usia merupakan kelompok rentan yang hanya menjadi
tanggungan keluarga, masyarakat dan negara, harus kita ubah. Kita harus
menjadikan lanjut usia sebagai aset bangsa yang harus terus diberdayakan. Hal ini
tidak akan tercapai bila kita tidak mempersiapkan diri dari sekarang. Untuk
menjadi lanjut usia yang sehat, produktif dan mandiri, kita harus mulai dengan
pola hidup sehat dan mempersiapkan masa lanjut usia secara lebih baik. Dengan

demikian, sasaran dari permasalahan lansia tidak hanya lansia itu sendiri, tetapi
juga penduduk usia muda. Pola hidup sehat harus diterapkan sejak usia dini,
bahkan sejak dalam kandungan.
Badan kesehatan dunia WHO bahwa penduduk lansia di Indonesia pada
tahun 2020 mendatang sudah mencapai angka 11,34% atau tercatat 28,8 juta
orang, balitanya tinggal 6,9% yang menyebabkan jumlah penduduk lansia terbesar
di dunia. Badan Pusat Statistik (BPS)

Penduduk Lansia Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin (Sensus Penduduk 2010)
3,500,000
3,000,000
2,500,000
2,000,000
1,500,000
1,000,000
500,000
0

60-64 65-69 70-74 75-79 80-84 85-89 90-94 95+
Jenis Kelamin Laki-laki Jenis Kelamin Perempuan


Sumber: BPS

Tabel: Jumlah Penduduk Lansia menurut Kelompok Umur dan Jenis
Kelamin (Sensus Penduduk 2010)
Kelompok Umur

Jenis
Kelamin
Laki-laki

60-64
65-69
70-74
75-79
80-84
85-89
90-94
95+
Sumber: BPS


2,927,191
2,225,133
1,531,459
842,344
481,462
182,432
63,948
36,095

Perempua
n
3,131,570
2,468,898
1,924,872
1,135,561
661,708
255,529
106,951
68,559


Laki-laki +
Perempuan
6,058,761
4,694,031
3,456,331
1,977,905
1,143,170
437,961
170,899
104,654

Provinsi dengan usia harapan hidup yang lebih tinggi juga mempunyai
jumlah penduduk lanjut usia yang lebih banyak. Suatu wilayah disebut berstruktur
tua jika persentase lanjut usianya lebih dari 7 persen. Dari seluruh provinsi di
Jumlah Persentase Penduduk Lansia Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok
Umur, Tahun 2009 Indonesia, ada 10 provinsi yang penduduk lansianya sudah
lebih dari 7 persen, yaitu DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Jawa Tengah,
Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Timur, Nusa
Tenggara Barat, dan Lampung. Sedangkan lima provinsi dengan persentase lansia

terendah adalah: Papua (1.94%), Papua Barat (3.09%), Kepulauan Riau (3.38%),
Kalimantan Timur (4.02%), dan Riau (4.97%).

Diagram: Provinsi dengan Persentase Lansia Tertinggi di Indonesia (Sensus
Penduduk 2010)

PRESENTASE PENDUDUK LANSIA
SULSEL; 9.31%
SULUT; 9.44%

SUMBAR;
9.02% LAMPUNG;
8.04%
JATENG;
10.78%

NTT; 8.34%

NTB; 8.07%
DIY; 14.47%

BALI; 10.91%

JATIM; 11.61%

Perempuan lansia di Indonesia berpotensi mengalami diskriminasi ganda,
baik karena statusnya sebagai perempuan maupun karena statusnya sebagai
penduduk yang usianya sudah lanjut. Sebagai perempuan, diskriminasi yang
disebabkan oleh struktur sosial dan budaya masyarakat sebenarnya sudah terjadi
sejak usia muda. Hal ini kita ketahui sebagai akibat dari perbedaan yang sifatnya
kodrati maupun sebagai akibat dari perbedaan gender. Perbedaan tersebut juga
tercermin dari status perkawinan lanjut usia perempuan yang sebagian besar
berstatus cerai mati dan cerai hidup. Karena usia harapan hidup perempuan yang
lebih panjang dibandingkan laki-laki, maka lebih banyak lanjut usia perempuan
yang ditinggal meninggal lebih dulu oleh suaminya, dan karena perbedaan gender
menyebabkan perempuan terbiasa mengurus dirinya sendiri, sehingga lebih siap
untuk tinggal sendiri. Sedangkan lanjut usia laki-laki lebih banyak berstatus
kawin.
Kualitas hidup penduduk lanjut usia umumnya masih rendah. Kondisi ini
dapat terlihat dari pendidikan tertinggi yang ditamatkan dan angka buta huruf
lanjut usia. Sebagian besar penduduk lanjut usia tidak/belum pernah sekolah dan

tidak tamat SD. Jika dibandingkan antar jenis kelamin, pendidikan tertinggi yang
ditamatkan lanjut usia perempuan secara umum lebih rendah dibandingkan lanjut
usia laki-laki.

Angka buta huruf penduduk lanjut usia masih tinggi, sekitar 30,62 persen
pada tahun 2007. Jika dibandingkan antar jenis kelamin, angka buta huruf lanjut
usia perempuan jauh lebih tinggi dibandingkan laki-laki, yaitu 17,32 persen
berbanding 42,07 persen. Tidak berbeda dengan angka buta huruf penduduk
secara keseluruhan, angka buta huruf lanjut usia juga lebih besar di pedesaan
dibandingkan di perkotaan.

Dari sisi kualitas hidup, selain pendidikan, penduduk lanjut usia juga
mengalami masalah kesehatan. Data menunjukkan bahwa ada kecenderungan
angka kesakitan lanjut usia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kondisi
ini tentunya harus mendapatkan perhatian berbagai pihak. Lanjut usia yang sakitsakitan akan menjadi beban bagi keluarga, masyarakat dan bahkan pemerintah,
sehingga akan menjadi beban dalam pembangunan. Oleh sebab itu, kita harus
menjadikan masa lanjut usia menjadi tetap sehat, produktif dan mandiri. Hal ini
tidak akan tercapai bila kita tidak mempersiapkan masa lanjut usia sejak usia dini.
Dari sisi ekonomi, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) penduduk
lanjut usia masih cukup tinggi, meskipun kesenjangan antar jenis kelamin masih

cukup tinggi. TPAK lansia laki-laki mencapai 72,26 persen, sedangkan perempuan
37,83 persen pada tahun 2007. Dari hasil penelitian yang dilakukan Komnas
Lansia pada tahun 2008, ditemukan bahwa alasan paling umum lansia masih
bekerja adalah karena ekonomi yang tidak mencukupi, alasan lain adalah karena
ingin tetap aktif dan mandiri. Sedangkan alasan lansia tidak bekerja adalah karena
kesehatan yang memburuk. Meskipun secara umum lingkungan sosial (keluarga
dan masyarakat) cukup mendukung lansia bekerja, tetapi ada beberapa yang tidak

setuju lansia bekerja, antara lain karena adanya norma setempat yang menyatakan
bahwa jika sudah lansia tidak bekerja lagi, juga ada yang beranggapan karena
sarana dan prasarana fisik bagi lansia bekerja masih terbatas/belum memadai,
serta karena banyak lansia yang ingin menikmati pensiun.

Meningkatnya jumlah penduduk lanjut usia merupakan keberhasilan
pembangunan. Menurunnya angka kelahiran dan kematian diiringi dengan
meningkatnya angka harapan hidup menyebabkan jumlah penduduk lanjut usia
meningkat tajam. Berdasarkan hasil Sensus 1971 jumlah penduduk lanjut usia (60
tahun ke atas) di Indonesia baru sekitar 5,3 juta (4,5 Persen) namun pada tahun
2000 angka tersebut meningkat tajam lebih dari tiga kali yaitu 14,4 juta jiwa.
Perubahan struktur usia penduduk ini tak

lepas

dari

perubahan

demografis, utamanya penurunan fertilitas dan mortalitas, yang bermula sejak
dasawarsa

1970-an

di

belahan

dunia

Berkembang.

Berbagai

estimasi

menunjukkan bahwa banyak bangsa berkembang, utamanya yang mengalami
penurunan fertilitas dan mortalitas secara cepat, mulai menghadapi persoalan
pembengkakan penduduk lansia (Chen and Jones, 1988; Rowland, 1984 dan
1991). Repotnya, memasuki abad sekarang, benua Asia akan menampung hampir
separuh penduduk lansia, terutama Cina dan India

(Asia-Pacific Population

Journal, 1986).
Kenyataan tentang peledakan penduduk lansia, di satu sisi, dan suatu
anggapan

bahwa

golongan

tua

ini merupakan ‘beban,’ di lain sisi, telah

mengundang perhatian banyak pakar di berbagai disiplin. Banyak pakar
memandang fenomena lansia ini dari sisi yang serba ‘muram.’ Bahkan, banyak
pemerintah negara Berkembang belum merasa siap, dan cenderung mengabaikan,
kehadiran golongan tua ini (Hugo, forthcoming; Jones 1988). Karena itu, isu
lansia (di negara Dunia Ketiga) akan dengan sendirinya mengedepan pada abad
sekarang ini.

STATUS SOSIAL-EKONOMI GOLONGAN PENDUDUK TUA

Terdapat suatu kekhawatiran di antara para pakar bahwa golongan
penduduk lansia, utamanya yang berada di belahan Berkembang, akan semakin
memburuk kondisi hidupnya di masa-masa men-datang. Penjelasan teoritik
tentang kekhawtiran ini sebenarnya bertolak dari suatu keyakinan bahwa proses
modernisasi --yang notabene menjadi fenomena global-- cenderung membawa
akibat menurunnya kondisi para penduduk tua (Cowgill and Holmes, 1972;
Cowgill, 1974, 1980 dan 1986). Rincian tentang kaitan antara modernisasi –yang
dicirikan ke dalam bentuk teknologi kesehatan, teknologi ekonomi, urbanisasi,
dan pendidikan-- dan penurunan status golongan lansia ini disajikan pada gambar
berikut:

Model teoritik Cowgill ini telah menarik banyak

perhatian

dan,

sekaligus, mengundang perdebatan, baik dilihat dari kacamata Barat maupun
Timur. Semua ini memuncak dengan banyaknya kritik, setelah pengujian lapangan
dilakukan.

Di dunia berkembang, daya tarik model Cowgill ini utamanya menyangkut
dua isu berikut: dampak modernisasi terhadap struktur organisasi dan terhadap
pemberian perawatan golongan tua. Sementara itu, di masyarakat Barat, isu
utama terfokus pada pemahaman tentang struktur keluarga—yang disebut-sebut
sangat individualistis—dalam kaitannya dengan pemberian perawatan golongan
lansia. Berbagai kritik yang berasal dari berbagai kubu ini setidaknya dapat
menguak secara jernih permasalahan seputar penduduk lansia.
Cowgill (1986), sehubungan dengan kaitan antara struktur keluarga dan
status golongan lansia, sedikitnya mengajukan tiga tesis penting. Pertama, bahwa
keluarga luas (extended family)

jarang

ditemui

di kehidupan masyarakat

modern. Sebagai gantinya, bentuk yang banyak ditemui adalah keluarga inti
(nuclear family). Kedua, status golongan lansia cenderung tinggi di masyarakat
petani --seringkali diasumsikan ‘tradisional’-- dan cenderung rendah di
masyarakat modern (perkotaan). Ketiga, status golongan lansia cenderung tinggi
di masyarakat yang menganut struktur keluarga luas (extended family) dan,
sebaliknya, cenderung rendah di masyarakat yang menganut keluarga kecil
(nuclear family).
Pemahaman Cowgill di atas sejalan dengan kepercayaan klasik masyarakat
Barat bahwa struktur keluarga inti cenderung memperburuk kondisi dan/atau
posisi sosial-ekonomi golongan penduduk lansia. Akan tetapi, berbagai studi
lapangan menunjukkan bahwa pandangan tersebut tidak sepenuhnya benar, karena
tata hubungan dan/atau ikatan kekeluargaan di masyarakat Barat masih kukuh
Kendig, 1986a dan 1986b; Rowland, 1986

dan

1991).

Kendig

memberikan suatu argumentasi bahwa pola hubungan/interaksi

(1986a)
keluarga

masyarakat Barat lebih merupakan suatu bentuk modifikasi keluarga luas
(modified extended family). Berbagai bukti menunjukkan bahwa ikatan-ikatan
sosial antara orangtua dan anak, sekalipun mereka saling berjauhan, masih tetap
berlangsung secara baik, yang bentuknya berupa ‘keintiman jarak jauh’ (‘intimacy
at a distance’) (Rowland, 1986 dan 1991; Kendig, 1986a dan 1986b). Keintiman
ini terjalin melalui berbagai sarana kemajuan di bidang teknologi komunikasi
dan transportasi (Rowland, 1986; Kendig, 1986b).

Selain itu, berbagai temuan lapangan dari Asia berhasil menunjukkan
berbagai bukti kelemahan dasar model Cogwill. Penelitian Goldstein dan Bell
(1982) di suatu desa terpencil di perbatasan India- Nepal memberi suatu bukti
tentang perubahan struktur keluarga, yang terjadi tanpa tersentuh langsung oleh
proses modernisasi. Kemudian, Martin (1990a dan 1990b) merangkum berbagai
hasil studi di Asia dan menunjukkan bahwa prospek penurunan status golongan
lansia masih belum dapat digambarkan secara jelas. Bahkan, Martin (1990a:107)
mengajukan suatu argumentasi:
To obtain a better understanding of whether bor not the family
situation of the elderly has changed, we need to look at not the
proportion of all households that are nuclear, but rather the
proportion of elderly people living either alone, with spouse only, or
with their adult children…
Masalahnya, perbandingan data antar- periode waktu tidak mungkin
dilakukan dan sulit diperoleh, sehingga kesimpulan tentang status golongan lansia
sampai saat sekarang tetap kabur (Martin, 1990b; Mason, 1993).
Sekalipun demikian, banyak studi yang dilakukan akhir-akhir ini --di
kawasan Asia Selatan, Timur, dan Tenggara—memberikan suatu petunjuk
tentang terjadinya pergeseran nilai-nilai sosio-kultural (Martin, 1990b; Mason,
1993). Pergeseran

pola

hubungan

antar generasi dikhawatirkan makin

memojokkan keadaan golongan lansia, sebagai akibat dari masuknya nilai-nilai
Barat—suatu kecenderungan bahwa golongan muda mulai ‘cuci tangan’ dalam
urusan merawat golongan tua (Hugo, 1988; Evans, 1985 dan 1990; Guest, 1991).

IMPLIKASI KEBIJAKAN DI ABAD PENDUDUK TUA
Lansia merupakan dua kesatuan fakta—sosial dan biologi. Sebagai suatu
fakta sosial, lansia merupakan suatu proses penarikan diriseseorang dari berbagai
status dalam suatu struktur masyarakat. Secara fisik, pertambahan usia dapat
berarti semakin melemahnya manusia secara fisik dan kesehatan.
Martin (1990a) Mengatakan bahwa status sosial-ekonomi lansia tidak
sepenuhnya ditentukan oleh bentuk kebersamaan tempat tinggal dengan
keluarga dekat (coresidence Alt offsprings). Karena itu, kehidupan golongan

penduduk lansia sangat relevan dipahami dari dan/atau terkait-erat dengan
berbagai kharakteristik sosial-ekonomi yang melekat pada diri golongan lansia itu
sendiri.
Estimasi dan studi lapangan di berbagai negara berkembang seputar Asia
menunjukkan bahwa golongan lansia cenderung berkelamin wanita, terpuruk
dalam suasana kesepian dan kesendirian, miskin, dan tinggal di wilayah pedesaan
(Chen and Jones, 1988; Martin, 1990a). Selain itu, mereka, penduduk lansia ini,
sangat peka dengan berbagai bentuk penyakit kronis dan kelemahan fisik,
karena usia mereka (Siegel, 1982; Keane and Bartram,

1985).

Karenanya,

berbagai kondisi ini sedikit banyak memberi gambaran tentang semakin
besarnya ketergantungan golongan lansia dalam berbagai hal (Adi, 1982; Evans,
1985). Lebih jauh, Mason (1993) menegaskan bahwa isu lansia sebenarnya
merupakan isu wanita, karena sebagian besar golongan ini adalah wanita.
Sebagian besar pemerintah negara berkembang masih berkutat dengan
persoalan-persoalan

seputar

penduduk muda, seperti ketenagakerjaan,

pendidikan, dan kesehatan anak. Keasikan pada bentuk kebijakan seperti ini
memang

patut dimaklumi, mengingat struktur penduduk di banyak

negara

Berkembang masih didominasi oleh golongan usia muda. Selain itu, mereka—
pemerintah Berkembang—masih terlalu percaya pada kepercayaan nilai-nilai
lama tentang pola hubungan keluarga: bahwa orang tua menjadi tanggung jawab
anak (Chen and Jones, 1988; Jones, 1988). Namun demikian, banyak pakar mulai
meragukan kekukuhan ikatan tradisional ini, sehubungan mulai memudarnya
pola hubungan antar generasi di banyak masyarakat (lihat Hugo, sedang dalam
proses terbit; Tu, Liang, and Li, 1989; Martin, 1990b). Karena itu, sudah saatnya
masalah penanganan dan/atau pelayanan sosial bagi golongan lansia mendapatkan
tempat dalam berbagai rancangan kebijakan pemerintah.
Bagaimanapun, setiap kebijakan yang berkaitan dengan penduduk lansia
menuntut perubahan orientasi dan memerlukan biaya (sosial, ekonomi, politik,
dan teknologi kesehatan) yang sangat besar. Suhargo Prayitno, ”Penduduk Lanjut
Usia: Suatu Tinjauan Teori, Masalah dan Implikasi Kebijakan,” Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik,Th XII, No 4, Oktober 1999, 45-50. Utamanya, persoalan

sumber dana menjadi pertimbangan yang rumit, karena keterbatasan pemerintah
negara Berkembang. Untuk itu, membeludaknya golongan penduduk lansia ini, di
masa-masa mendatang di abad 21, akan tetap menjadi isu penting, yang dapat
merembet ke persoalan-persoalan lain.
Lanjut usia adalah seseorang yang usianya lanjut, mengalami perubahan
biologis, fisik, kejiwaan, dan sosial. Perubahan ini akan memberi pengaruh pada
seluruh aspek kehidupan, termasuk kesehatannya. Menurut UU kesehatan No 36
Tahun 2009 pasal 138 menegaskan, kesehatan manusia lanjut usia perlu mendapat
perhatian khusus dengan tetap di pelihara dan ditingkatkan agar selama mungkin
dapat hidup secara produktif sesuai dengan kemampuan nya sehingga dapat ikut
serta dalam berperan aktif dalam pembangunan.
Perkembangan Penduduk Lanjut usia (lansia) di Indonesia menarik untuk
diamati. Dari tahun ke tahun jumlahnya cenderung meningkat. Kantor
Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (KESRA) melaporkan, jika tahun
1980 usia harapan hidup (UHH) 52,2 tahun dan jumlah lansia 7.998.543 orang
(5,45%) maka pada tahun 2006 menjadi 19 juta orang (8,90%) dan UHH juga
meningkat (66,2 tahun). Pada tahun 2010 penduduk lansia di Indonesia 23,9 juta
atau 9,77 % dan UHH sekitar 67,4 tahun. Sepuluh tahun kemudian atau pada 2020
perkiraan penduduk lansia di Indonesia mencapai 28,8 juta atau 11,34 % dengan
UHH sekitar 71,1 tahun. Diperkirakan Tahun 2020-2025 Indonesia akan
menduduki peringkat keempat dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat
(Nugroho, 2008 ).
Peningkatan penduduk lansia tersebut menurut Nugroho (1995),
disebabkan oleh karena meningkatnya umur harapan hidup. Peningkatan umur
harapan hidup ini disebabkan oleh 3 hal yaitu: (1) kemajuan dalam bidang
kesehatan, (2) meningkatnya sosial ekonomi dan (3) meningkatnya pengetahuan
masyarakat.
Pada lanjut usia terjadi kemunduran sel-sel karena proses penuaan yang
dapat berakibat pada kelemahan organ, kemunduran fisik, timbulnya berbagai
macam penyakit terutama penyakit degeneratif. Hal ini akan menimbulkan
masalah kesehatan, sosial, ekonomi dan psikologis (Depkes, 2008).

Masalah kesehatan utama pada lanjut usia merupakan gabungan dari
kelainan- kelainan yang timbul akibat penyakit dan proses menua, yaitu proses
menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki
diri atau mengganti diri serta mempertahankan struktur dan fungsi normalnya,
sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki
kerusakan yang diderita.
Menurut Kane dan Ouslander ada empat belas permasalahan kesehatan
yang sering terjadi pada lansia yaitu immobility (kurang bergerak), instability
(berdiri dan berjalan tidak stabil atau mudah jatuh), incontinence (beser buang air
kecil

dan

atau

buang

air

besar),

intellectual

impairment

(gangguan

intelektual/dementia), Inspection (infeksi), impairment of vision and hearing,
taste,

smell,

communication,

convalescence,

skin

integrity

(gangguan

pancaindera, komunikasi, penyembuhan, dan kulit), impaction (sulit buang air
besar), isolation (depresi), inanition (kurang gizi), impecunity (tidak punya uang),
iatrogenesis (menderita penyakit akibat obat-obatan), insomnia (gangguan tidur),
immune deficiency daya tahan tubuh yang menurun impotence (impotensi).
Meningkatnya jumlah penduduk lanjut usia merupakan salah satu
indikator keberhasilan pembangunan dan juga sebagai tantangan dalam
pembangunan. Bila permasalahan tersebut tidak diantisipasi, maka tidak tertutup
kemungkinan bahwa proses pembangunan akan mengalami berbagai hambatan.
Oleh sebab itu, permasalahan lanjut usia harus menjadi perhatian kita semua, baik
pemerintah, lembaga masyarakat maupun masyarakat itu sendiri. Pandangan yang
selama ini bahwa penduduk lanjut usia merupakan kelompok rentan dan lemah
yang hanya menjadi tanggungan keluarga, masyarakat dan negara. Kita harus
menjadikan lanjut usia sebagai aset bangsa yang harus terus diberdayakan. Hal ini
tidak akan tercapai bila tidak dipersiapkan dari sekarang. Untuk menjadi lanjut
usia yang sehat, produktif dan mandiri, kita harus mulai dengan perilaku hidup
sehat dan mempersiapkan masa lanjut usia secara lebih baik. Dengan demikian,
sasaran dari permasalahan lansia tidak hanya lansia itu sendiri, tetapi juga
penduduk usia muda. Perilaku hidup sehat harus diterapkan sejak usia dini, juga
sejak dalam kandungan.

Fenomena di atas dapat menunjukkan adanya peningkatan derajat
kesehatan masyarakat secara umum, tetapi di sisi lain penomena tersebut
meningkatkan beban masyarakat maupun pemerintah, karena komposisi penduduk
lansia dalam jumlah besar dengan ketergantungan tinggi dan produktipitas rendah.
Lansia yang tidak aktif memanfaatkan layanan kesehatan di posyandu
lansia maka kondisi kesehatan mereka tidak dapat terpantau dengan baik.
Sehingga apabila mengalami suatu resiko penyakit akibat penurunan kondisi
tubuh dan proses penuaan dikhawatirkan dapat berakibat fatal dan mengancam
jiwa mereka.
Upaya kesehatan yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan
kesehatan masyarakat terutama para lansia yaitu dengan dibentuknya pelayanan
dasar Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), peran serta masyarakat dalam
rujukan kesehatan. Upaya kesehatan melalui Puskesmas merupakan upaya
menyeluruh dan terpadu yang meliputi peningkatan, pencegahan, pengobatan dan
pemulihan.
Departemen Kesehatan, Departemen Dalam Negeri serta Tim Penggerak
Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga telah merumuskan tatanan tersebut
yang dilaksanakan dalam bentuk Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), yang
diselenggarakan oleh masyarakat untuk masyarakat secara rutin setiap bulannya
(Departemen Kesehatan RI, 2001).
Dengan adanya posyandu lansia maka lansia dapat diberikan pelayaan
kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan mutu
kehidupan agar tercapai masa tua yang bahagia dan berguna dalam kehidupan
keluarga dan masyarakat sesuai dengan eksistensinya.
Jumlah dan pertumbuhan penduduk lanjut usia dari tahun ke tahun terus
meningkat dengan pasti. Jumlah dan pertumbuhan ini tidak terlepas dari adanya
usia harapan hidup yang terus meningkat. Usia harapan hidup meningkat terjadi
karena keberhasilan pembangunan yaitu kemajuan di bidang kesehatan,
pendidikan, pengetahuan, dan tingkat pendapatan yang semakin meningkat.
Tingkat pendidikan ini mempunyai hubungan dengan tingkat pengetahuan, serta
tingkat penghasilan seseorang. Orang yang mempunyai pendidikan dan

pengetahuan cenderung akan meningkat penghasilannya sehingga jika mereka
sakit akan memilih sarana kesehatan yang lebih baik. Oleh karenanya semua ini
akan berdampak terhadap adanya usia harapan hidup yang semakin meningkat.
Jumlah lanjut usia terus meningkat dan menurut proyeksi WHO pada 1995
dimana, pada tahun 2050 dibandingkan dengan tahun 1990 bahwa pertumbuhan
penduduk lanjut usia Indonesia mengalami pertumbuhan terbesar di Asia, yaitu
sebesar 414%, Thailand 337%, India 242%, dan China 220%.
Jumlah lanjut usia Indonesia, menurut sumber BPS bahwa pada tahun
2004 sebesar 16.522.311, tahun 2006 sebesar 17.478.282, dan pada tahun 2008
sebesar 19.502.355 (8,55% dari total penduduk sebesar 228.018.900), sedangkan
pada tahun 2020 diperkirakan jumlah lanjut usia sekitar 28 juta jiwa. Sungguh
suatu jumlah yang sangat besar sehingga jika tidak dilakukan upaya peningkatan
kesejateraan lanjut usia sejak sekarang akan menimbulkan permasalahan dan bisa
jadi merupakan bom waktu di kemudian hari. Kecenderungan timbulnya masalah
ini ditandai pula dengan angka ketergantung lanjut usia sesuai Susenas BPS 2008
sebesar 13,72%. Angka ketergantungan penduduk akan menjadi tinggi dan
dirasakan oleh penduduk usia produktif jika ditambah dengan angka
ketergantungan penduduk usia kurang dari 15 tahun, dimana saat ini jumlah
penduduk kurang dari 15 tahun sebesar 29,13%.
Hasil kajian yang dilakukan oleh Komnas Lansia pada tahun 2009 bahwa
sebagaimana disebutkan dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 13/1998 tentang
Kesejahteraan Lanjut Usia, jumlah instansi sesuai dengan tugas pokoknya yang
seharusnya memberikan layanan terhadap lanjut usia masih sangat terbatas.
Terbatasnya instansi yang seharusnya memberikan layanan tersebut antara lain
karena kurangnya pemahaman dan kesadaran pejabat dari instansi tersebut
sehingga kurang mendapat prioritas dan akibatnya dana yang disediakan oleh
instansinya terbatas dan bahkan tidak ada sama sekali. Tragis memang, kemajuan
di bidang pembangunan yang dicapai oleh pemerintah tidak pula diikuti dengan
tingkat partisipasi instansi pemerintah dalam upaya peningkatan kesejahteraan
sosial lanjut usia. Namun walaupun terbatas sudah ada layanan kesehatan,
bantuan dan perlindungan sosial di tingkat lapangan oleh beberapa instansi dan

bahkan juga diselenggarakan oleh masyakat dan keluarga. Sebagaimana
disebutkan dalam Undang-undang Nomor 13/1998 disebutkan bahwa pemerintah,
masyarakat

dan

keluarga

bertanggungjawab

dalam

upaya

peningkatan

kesejahteraan lanjut usia.
Dalam kaitannya dengan tingkat partisipasi lanjut usia dalam bidang
pembangunan yaitu adanya lanjut usia yang bekerja sebesar 36,11% (kota) dan
sebesar 52,75% (desa). Besarnya jumlah lanjut usia yang bekerja di perdesaan
lebih banyak dibandingkan dengan daerah perkotaan antara lain karena pekerjaan
di perdesaan didominasi oleh pekerjaan bidang pertanian yang pada umumnya
menjadi mata pencarian pokok. Bekerja sebagai petani tidaklah membutuhkan
tingkat pendidikan dan pengetahuan yang tinggi sehingga hal ini sesuai dengan
tingkat pendidikan lanjut usia dimana jumlah lanjut usia yang tidak sekolah, tidak
tamat SD, dan hanya berpendidikan SD totalnya sebesar sekitar 86%.
Adalah sangat ironis bahwa partisipasi lanjut usia dalam bidang
pembangunan antara lain hanya dilihat dari lanjut usia yang bekerja, padahal ada
sebesar 25,47% peranserta lanjut usia di bidang lain-lain (Sakernas BPS 2008).
Di bidang lain-lain ini bisa jadi sangatlah berkualitas misalnya yang bersangkutan
melakukan penyiapan sumber daya manusia bangsa ini, bisa jadi angka itu ada
yang menjadi pengasuh cucu-cucunya, sebagai guru ngaji, mengajar musik,
mengajarkan ilmu pengetahuan lainnya dan banyak pula yang ikutserta dalam
berbagai kegiatan kemasyarakatan dan tidak sedikit pula sebagai pemilik
perusahaan yang mempekerjaan banyak karyawan.
Adanya kepedulian yang rendah terhadap lanjut usia dapat diungkapkan
dari pernyataan yang sangat menyakitkan “Tidak perlu ada program upaya
peningkatan terhadap lanjut usia, karena lanjut usia tidak mempunyai dampak
sistemik terhadap siklus kehidupan” Pernyataan itu kurang lebih memang
terbukti jika dibandingkan dengan program dan partisipasi pemerintah dan
masyarakat dengan pelaksanaan program untuk tumbuh kembang bagi anak dan
remaja. Program ini katanya sangat berdampak secara sistemik dalam siklus
kehidupan atau penyiapan SDM bangsa. Generasi yang baik dan berkualitas akan

dipengaruhi oleh kualitas gernerasi mudanya, makanya program yang berkaitan
dengan anak dan remaja menjadi prioritas ?
Luar biasa memang, kalaulah bangsa ini berpikir seperti itu maka untuk
apa dilakukan upaya peningkatan usia harapan hidup penduduk, jika dihari tuanya
hidup lanjut usia kurang mendapat perhatian dari semua kita. Perlu diacungi
jempol ucapan seorang menteri bahwa “terpuruknya bangsa pada saat ini, karena
kita belum memberikan penghormatan yang selayaknya kepada lanjut usia”
Oleh karena itu pula kementerian tersebut secara konsekwen meningkatkan
program-programnya di bidang kelanjutusiaan.
Lantas bagi kita yang sedang memegang tampuk pimpinan, tokoh
masyarakat dan para keluarga, kapan ada suatu gerakan kepedulian terhadap lanjut
usia ? Dimulai dari mana ? Seluruh instansi pemerintah dari tingkat pusat sampai
ke tingkat daerah dan bahkan di lini terbawah yaitu perdesaan. Seluruh institusi
kemasyarakat seperti RT, RT, PKK, Karang Taruna, kelompok-kelompok
sosial atau organisasi sosial mari secara bersama-sama melakukan upaya-upaya
peningkatan kesejahteraan lanjut usia di lingkungannya secara proporsional.
Mudah-mudahan. Suatu renungan menjelang Hari Lanjut Usia Nasional 29
Mei 2011.

DAFTAR PUSTAKA
Prayitno, Suhargo. 1998. Penduduk Lanjut Usia: Suatu Tinjauan Teori, Masalah
dan Implikasi Kebijakan.