ASUHAN KEPERAWATAN KELOMPOK USIA LANJUT

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Asuhan Keperawatan Kelompok Usia Lanjut Dengan Masalah Post Stroke Di Ruang
Santo Fransiscus Assisi Panti Werda Pangesti Lawang – Malang, disahkan pada :
Hari

:

Tanggal

:

Mengetahui,
Mahasiswa

( Kelompok 6 )
Pembimbing Institusi

(

Pembimbing Klinik


)

(

NIP.

)

NIP.
Kepala Ruangan

(
NIP.

)

LAPORAN PENDAHULUAN
KONSEP LANJUT USIA (LANSIA)


A. Definisi Lansia
Menurut UU no 4 tahun 1945 Lansia adalah seseorang yang mencapai umur 55 tahun,
tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima
nafkah dari orang lain (Wahyudi, 2000).
Usia lanjut adalah sesuatu yang harus diterima sebagai suatu kenyataan dan fenomena
biologis. Kehidupan itu akan diakhiri dengan proses penuaan yang berakhir dengan kematian
(Hutapea, 2005).
Usia lanjut adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari (Azwar, 2006).
Menua secara normal dari system saraf didefinisikan sebagai perubahan oleh usia yang
terjadi pada individu yang sehat bebas dari penyakit saraf “jelas” menua normal ditandai oleh
perubahan gradual dan lambat laun dari fungsi-fungsi tertentu (Tjokronegroho Arjatmo dan
Hendra Utama,1995).
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi
normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang
diderita (Constantinides 1994). Proses menua merupakan proses yang terus menerus
(berlanjut) secara alamiah dimulai sejak lahir dan umumnya dialami pada semua makhluk
hidup (Nugroho Wahyudi, 2000).
B. Batasan Lansia
Menurut WHO, batasan lansia meliputi:

1. Usia Pertengahan (Middle Age), adalah usia antara 45-59 tahun

2. Usia Lanjut (Elderly), adalah usia antara 60-74 tahun
3. Usia Lanjut Tua (Old), adalah usia antara 75-90 tahun
4. Usia Sangat Tua (Very Old), adalah usia 90 tahun keatas

Menurut Dra.Jos Masdani (psikolog UI), mengatakan lanjut usia merupakan kelanjutan dari
usia dewasa. Kedewasaan dapat dibagi menjadi 4 bagian:
1. Fase iuventus antara 25dan 40 tahun
2. Verilitia antara 40 dan 50 tahun
3. Fase praesenium antara 55 dan 65 tahun
4. Fase senium antara 65 tahun hingga tutup usia

C. Tipe-tipe Lansia
Pada umumnya lansia lebih dapat beradaptasi tinggal di rumah sendiri daripada tinggal
bersama anaknya. Menurut Nugroho W ( 2000) adalah:
1. Tipe Arif Bijaksana: Yaitu tipe kaya pengalaman, menyesuaikan diri dengan
perubahan zaman, ramah, rendah hati, menjadi panutan.
2. Tipe Mandiri: Yaitu tipe bersifat selektif terhadap pekerjaan, mempunyai kegiatan.
3. Tipe Tidak Puas: Yaitu tipe konflik lahir batin, menentang proses penuaan yang

menyebabkan hilangnya kecantikan, daya tarik jasmani, kehilangan kekuasaan,
jabatan, teman.
4. Tipe Pasrah: Yaitu lansia yang menerima dan menunggu nasib baik.
5. Tipe Bingung: Yaitu lansia yang kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder,
pasif, dan kaget.
D. Teori-teori Proses Penuaan
(1). Teori Biologi
 Teori genetic dan mutasi (Somatik Mutatie Theory)
Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk spesies-spesies
tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang terprogramoleh molekulmolekul atau DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi.
 Teori radikal bebas
Tidak setabilnya radikal bebas mengakibatkan oksidasi-oksidasi bahan organik yang
menyebabkan sel-sel tidak dapat regenerasi.

 Teori autoimun
Penurunan sistem limfosit T dan B mengakibatkan gangguan pada keseimbangan
regulasi system imun (Corwin, 2001). Sel normal yang telah menua dianggap benda asing,
sehingga sistem bereaksi untuk membentuk antibody yang menghancurkan sel tersebut. Selain
itu atripu tymus juga turut sistem imunitas tubuh, akibatnya tubuh tidak mampu melawan
organisme pathogen yang masuk kedalam tubuh.Teori meyakini menua terjadi berhubungan

dengan peningkatan produk autoantibodi.
 Teori stress
Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan tubuh. Regenerasi
jaringan tidak dapat mempertahankan kesetabilan lingkungan internal, dan stres menyebabkan
sel-sel tubuh lelah dipakai.
 Teori telomer
Dalam pembelahan sel, DNA membelah denga satu arah. Setiap pembelaan akan
menyebabkan panjang ujung telomere berkurang panjangnya saat memutuskan duplikat
kromosom, makin sering sel membelah, makin cepat telomer itu memendek dan akhirnya
tidak mampu membelah lagi.
 Teori apoptosis
Teori ini disebut juga teori bunuh diri (Comnit Suitalic) sel jika lingkungannya
berubah, secara fisiologis program bunuh diri ini diperlukan pada perkembangan persarapan
dan juga diperlukan untuk merusak sistem program prolifirasi sel tumor. Pada teori ini
lingkumgan yang berubah, termasuk didalamnya oleh karna stres dan hormon tubuh yang
berkurang konsentrasinya akan memacu apoptosis diberbagai organ tubuh.
(2). Teori Kejiwaan Sosial
 Aktifitas atau kegiatan (Activity theory)
Teori ini menyatakan bahwa pada lanjut usia yang sukses adalah mereka yang aktif
dan ikut bnyak kegiatan social.


 Keperibadian lanjut (Continuity theory)
Teori ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada seseorang yang lanjut usia
sangat dipengaruhi tipe personality yang dimilikinya.
 Teori pembebasan (Disengagement theory)
Dengan bertambahnya usia, seseorang secara berangsur-angsur melepaskan diri dari
kehidupan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan sekitarnya. Keadaan ini mengakibatkan
interaksi lanjut usia menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas.
(3). Teori Lingkungan
 Exposure theory: Paparan sinar matahari dapat mengakibatkat percepatan proses
penuaan.
 Radiasi theory: Radiasi sinar y, sinar xdan ultrafiolet dari alat-alat medis memudahkan
sel mengalami denaturasi protein dan mutasi DNA.
 Polution theory: Udara, air dan tanah yang tercemar polusi mengandung subtansi
kimia, yang mempengaruhi kondisi epigenetik yang dpat mempercepat proses
penuaan.
 Stress theory: Stres fisik maupun psikis meningkatkan kadar kortisol dalam darah.
Kondisi stres yang terus menerus dapat mempercepat proses penuaan.
Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia :
Banyak kemampuan berkurang pada saat orang bertambah tua. Dari ujung rambut

sampai ujung kaki mengalami perubahan dengan makin bertambahnya umur. Menurut
Nugroho (2000) perubahan yang terjadi pada lansia adalah sebagai berikut:
(1) Perubahan Fisik
 Sel
Jumlahnya menjadi sedikit, ukurannya lebih besar, berkurangnya cairan intra seluler,
menurunnya proporsi protein di otak, otot, ginjal, dan hati, jumlah sel otak menurun,
terganggunya mekanisme perbaikan sel.
 Sistem Persyarafan

Respon menjadi lambat dan hubungan antara persyarafan menurun, berat otak
menurun 10-20%, mengecilnya syaraf panca indra sehingga mengakibatkan berkurangnya
respon penglihatan dan pendengaran, mengecilnya syaraf penciuman dan perasa, lebih
sensitive terhadap suhu, ketahanan tubuh terhadap dingin rendah, kurang sensitive terhadap
sentuhan.
 Sistem Penglihatan.
Menurun lapang pandang dan daya akomodasi mata, lensa lebih suram (kekeruhan
pada lensa) menjadi katarak, pupil timbul sklerosis, daya membedakan warna menurun.
 Sistem Pendengaran.
Hilangnya atau turunnya daya pendengaran, terutama pada bunyi suara atau nada yang
tinggi, suara tidak jelas, sulit mengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia diatas umur 65 tahun,

membran timpani menjadi atrofi menyebabkan otosklerosis.
 Sistem Cardiovaskuler.
Katup jantung menebal dan menjadi kaku,Kemampuan jantung menurun 1% setiap
tahun sesudah berumur 20 tahun, kehilangan sensitivitas dan elastisitas pembuluh darah:
kurang efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi perubahan posisidari tidur ke
duduk (duduk ke berdiri)bisa menyebabkan tekanan darah menurun menjadi 65mmHg dan
tekanan darah meninggi akibat meningkatnya resistensi dari pembuluh darah perifer, sistole
normal ±170 mmHg, diastole normal ± 95 mmHg.
 Sistem pengaturan temperatur tubuh
Pada pengaturan suhu hipotalamus dianggap bekerja sebagai suatu thermostat yaitu
menetapkan suatu suhu tertentu, kemunduran terjadi beberapa factor yang mempengaruhinya
yang sering ditemukan antara lain: Temperatur tubuh menurun, keterbatasan reflek
menggigildan tidak dapat memproduksi panas yang banyak sehingga terjadi rendahnya
aktifitas otot.
 Sistem Respirasi.
Paru-paru kehilangan elastisitas, kapasitas residu meningkat, menarik nafas lebih
berat, kapasitas pernafasan maksimum menurun dan kedalaman nafas turun. Kemampuan

batuk menurun (menurunnya aktifitas silia), O2 arteri menurun menjadi 75 mmHg, CO2 arteri
tidak berganti.

 Sistem Gastrointestinal.
Banyak gigi yang tanggal, sensitifitas indra pengecap menurun, pelebaran esophagus,
rasa lapar menurun, asam lambung menurun, waktu pengosongan menurun, peristaltik lemah,
dan sering timbul konstipasi, fungsi absorbsi menurun.
 Sistem Genitourinaria.
Otot-otot pada vesika urinaria melemah dan kapasitasnya menurun sampai 200 mg,
frekuensi BAK meningkat, pada wanita sering terjadi atrofi vulva, selaput lendir mongering,
elastisitas jaringan menurun dan disertai penurunan frekuensi seksual intercrouse berefek
pada seks sekunder.
 Sistem Endokrin.
Produksi hampir semua hormon menurun (ACTH, TSH, FSH, LH), penurunan sekresi
hormone kelamin misalnya: estrogen, progesterone, dan testoteron.
 Sistem Kulit.
Kulit menjadi keriput dan mengkerut karena kehilangan proses keratinisasi dan
kehilangan jaringan lemak, berkurangnya elastisitas akibat penurunan cairan dan
vaskularisasi, kuku jari menjadi keras dan rapuh, kelenjar keringat berkurang jumlah dan
fungsinya, perubahan pada bentuk sel epidermis.
 System Muskuloskeletal.
Tulang kehilangan cairan dan rapuh, kifosis, penipisan dan pemendekan tulang,
persendian membesar dan kaku, tendon mengkerut dan mengalami sclerosis, atropi serabut

otot sehingga gerakan menjadi lamban, otot mudah kram dan tremor.
 Perubahan Mental
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental adalah:
1. Perubahan fisik.

2. Kesehatan umum.
3. Tingkat pendidikan.
4. Hereditas.
5. Lingkungan.
6. Perubahan kepribadian yang drastis namun jarang terjadi misalnya kekakuan sikap.
7. Kenangan, kenangan jangka pendek yang terjadi 0-10 menit.
8. Kenangan lama tidak berubah.
9. Tidak berubah dengan informasi matematika dan perkataan verbal, berkurangnya
penampilan, persepsi, dan ketrampilan, psikomotor terjadi perubahan pada daya
membayangkan karena tekanan dari factor waktu.
 Perubahan Psikososial
o

Perubahan lain adalah adanya perubahan psikososial yang menyebabkan rasa tidak
aman, takut, merasa penyakit selalu mengancam sering bingung panic dan depresif.


o

Hal ini disebabkan antara lain karena ketergantungan fisik dan sosioekonomi.

o

Pensiunan, kehilangan financial, pendapatan berkurang, kehilangan status, teman atau
relasi

o

Sadar akan datangnya kematian.

o

Perubahan dalam cara hidup, kemampuan gerak sempit.

o

Ekonomi akibat perhentian jabatan, biaya hidup tinggi.

o

Penyakit kronis.

o

Kesepian, pengasingan dari lingkungan social.

o

Gangguan syaraf panca indra.

o

Gizi

o

Kehilangan teman dan keluarga.

o

Berkurangnya kekuatan fisik.
Menurut Hernawati Ina MPH (2006) perubahan pada lansia ada 3 yaitu perubahan

biologis, psikologis, sosiologis.
(1). Perubahan biologis meliputi :
 Massa otot yang berkurang dan massa lemak yang bertambah mengakibatkan jumlah
cairan tubuh juga berkurang, sehingga kulit kelihatan mengerut dan kering, wajah
keriput serta muncul garis-garis yang menetap.

 Penurunan indra penglihatan akibat katarak pada usia lanjut sehingga dihubungkan
dengan kekurangan vitamin A vitamin C dan asam folat, sedangkan gangguan pada
indera pengecap yang dihubungkan dengan kekurangan kadar Zn dapat menurunkan
nafsu makan, penurunan indera pendengaran terjadi karena adanya kemunduran fungsi
sel syaraf pendengaran.
 Dengan banyaknya gigi geligih yang sudah tanggal mengakibatkan ganguan fungsi
mengunyah yang berdampak pada kurangnya asupan gizi pada usia lanjut.
 Penurunan mobilitas usus menyebabkan gangguan pada saluran pencernaan seperti
perut kembung nyeri yang menurunkan nafsu makan usia lanjut. Penurunan mobilitas
usus dapat juga menyebabkan susah buang air besar yang dapat menyebabkan wasir .
 Kemampuan motorik yang menurun selain menyebabkan usia lanjut menjadi lanbat
kurang aktif dan kesulitan untuk menyuap makanan dapat mengganggu aktivitas/
kegiatan sehari-hari.
 Pada usia lanjut terjadi penurunan fungsi sel otak yang menyebabkan penurunan daya
ingat jangka pendek melambatkan proses informasi, kesulitan berbahasa kesultan
mengenal benda-benda kegagalan melakukan aktivitas bertujuan apraksia dan ganguan
dalam menyusun rencana mengatur sesuatu mengurutkan daya abstraksi yang
mengakibatkan kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari yang disebut dimensia
atau pikun.
 Akibat penurunan kapasitas ginjal untuk mengeluarkan air dalam jumlah besar juga
berkurang. Akibatnya dapat terjadi pengenceran nutrisi sampai dapat terjadi
hiponatremia yang menimbulkan rasa lelah.
 Incotenensia urine diluar kesadaran merupakan salah satu masalah kesehatan yang
besar yang sering diabaikan pada kelompok usia lanjut yang mengalami IU sering kali
mengurangi minum yang mengakibatkan dehidrasi.
(2). Kemunduran psikologis
 Pada usia lanjut juga terjadi yaitu ketidak mampuan untuk mengadakan penyesuaian–
penyesuaian terhadap situasi yang dihadapinya antara lain sindroma lepas jabatan
sedih yang berkepanjangan.
(3). Kemunduran sosiologi
 Pada usia lanjut sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan pemahaman usia
lanjut itu atas dirinya sendiri. Status social seseorang sangat penting bagi

kepribadiannya di dalam pekerjaan. Perubahan status social usia lanjut akan membawa
akibat bagi yang bersangkutan dan perlu dihadapi dengan persiapan yang baik dalam
menghadapi perubahan tersebut aspek social ini sebaiknya diketahui oleh usia lanjut
sedini mungkin sehingga dapat mempersiapkan diri sebaik mungkin.
Perawatan Lansia
 Perawatan pada lansia dapat dilakukan dengan melakukan pendekatan yaitu:
Pendekatan Psikis.
 Perawat punya peran penting untuk mengadakan edukatif yang berperan sebagai
support system, interpreter dan sebagai sahabat akrab.

Pendekatan Sosial.
 Perawat mengadakan diskusi dan tukar pikiran, serta bercerita, memberi kesempatan
untuk berkumpul bersama dengan klien lansia, rekreasi, menonton televise, perawat
harus mengadakan kontak sesama mereka, menanamkan rasa persaudaraan.
Pendekatan Spiritual.
 Perawat harus bisa memberikan kepuasan batin dalam hubungannya dengan Tuhan
dan Agama yang dianut lansia, terutama bila lansia dalam keadaan sakit.

DAFTAR PUSTAKA
1. Darmawan. 2008.Lansia Sebaiknya Jangan Kelebihan atau Kekurangan gizi.www.
Keluarga Berencana & Kependudukan.com tanggal 5 januari 2009 jam 14.00.
2. Maryam, S dkk, 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya .Salemba
Medika:Jakarta
3. Nugroho, W. 2008.Gerontik dan Geriatik. EGC: Jakarta
4. Nursalam.2008. Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan:
5. Zakiah, Handayani.2007. Motivasi Keluarga, Pemenuhan Gizi, Lanjut Usia.wwwt.top
gdlnode-gdl-res.com diperoleh tanggal 3 januari 2009 jam 15. 19

LAPORAN PENDAHULUAN
STROKE ATAU CEDERA CEREBROVASKULAR (CVA)
A. Pengertian
Stroke atau cerebrovaskula accident (CVA) adalah kehilangan fungsi otak yang
diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak (Smeltzer & Bare, 2002). Stroke
adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progesi cepat, berupa defisit
neurologis fokal dan/ atau global, yang berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung
menimbulkan kematian, dan semata–mata disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak
non traumatik (Mansjoer, 2000).
Menurut Price & Wilson (2006) pengertian dari stroke adalah setiap gangguan neurologik
mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui sistem suplai
arteri otak. Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian stroke adalah
gangguan sirkulasi serebral yang disebabkan oleh sumbatan atau penyempitan pembuluh
darah oleh karena emboli, trombosis atau perdarahan serebral sehingga terjadi penurunan
aliran darah ke otak yang timbulnya secara mendadak.
Stroke diklasifikasikan menjadi dua :
1.

Stroke Non Hemoragik
Suatu gangguan peredaran darah otak tanpa terjadi suatu perdarahan yang ditandai

dengan kelemahan pada satu atau keempat anggota gerak atau hemiparese, nyeri kepala, mual,
muntah, pandangan kabur dan dysfhagia (kesulitan menelan). Stroke non haemoragik dibagi
lagi menjadi dua yaitu stroke embolik dan stroke trombotik (Wanhari, 2008).
2.

Stroke Hemoragik
Suatu gangguan peredaran darah otak yang ditandai dengan adanya perdarahan intra

serebral atau perdarahan subarakhnoid. Tanda yang terjadi adalah penurunan kesadaran,
pernapasan cepat, nadi cepat, gejala fokal berupa hemiplegi, pupil mengecil, kaku kuduk
(Wanhari, 2008).
B.

Etiologi
Menurut Smeltzer & Bare (2002) stroke biasanya diakibatkan dari salah satu empat

kejadian yaitu:

1.

Thrombosis yaitu bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher.

2.

Embolisme serebral yaitu bekuan darah atau material lain yang di bawa ke otak dari

bagian tubuh yang lain.
3.

Iskemia yaitu penurunan aliran darah ke area otak

4.

Hemoragi serebral yaitu pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahan ke dalam

jaringan otak atau ruang sekitar otak.
Akibat dari keempat kejadian diatas maka terjadi penghentian suplai darah ke otak, yang
menyebabkan kehilangan sementara atau permanen gerakan, berpikir, memori, bicara, atau
sensasi.
Faktor resiko terjadinya stroke menurut Mansjoer (2000) adalah:
1.

Yang tidak dapat diubah: usia, jenis kelamin, ras, riwayat keluarga, riwayat stroke,

penyakit jantung koroner, dan fibrilasi atrium.
2.

Yang dapat diubah: hipertensi, diabetes mellitus, merokok, penyalahgunaan alkohol dan

obat, kontrasepsi oral, dan hematokrit meningkat.
C. Patofisiologi
Otak sangat tergantung kepada oksigen, bila terjadi anoksia seperti yang terjadi pada
stroke di otak mengalami perubahan metabolik, kematian sel dan kerusakan permanen yang
terjadi dalam 3 sampai dengan 10 menit (non aktif total). Pembuluh darah yang paling sering
terkena ialah arteri serebral dan arteri karotis Interna.
Adanya gangguan peredaran darah otak dapat menimbulkan jejas atau cedera pada otak
melalui empat mekanisme, yaitu :
a.

Penebalan dinding arteri serebral yang menimbulkan penyempitan sehingga aliran
darah dan suplainya ke sebagian otak tidak adekuat, selanjutnya akan mengakibatkan
perubahan-perubahan iskemik otak.

b.

Pecahnya dinding arteri serebral akan menyebabkan bocornya darah ke kejaringan
(hemorrhage).

c.

Pembesaran sebuah atau sekelompok pembuluh darah yang menekan jaringan otak.

d.

Edema serebri yang merupakan pengumpulan cairan di ruang interstitial jaringan otak.

Konstriksi lokal sebuah arteri mula-mula menyebabkan sedikit perubahan pada aliran
darah dan baru setelah stenosis cukup hebat dan melampaui batas kritis terjadi pengurangan
darah secara drastis dan cepat. Oklusi suatu arteri otak akan menimbulkan reduksi suatu area
dimana jaringan otak normal sekitarnya yang masih mempunyai pendarahan yang baik
berusaha membantu suplai darah melalui jalur-jalur anastomosis yang ada. Perubahan awal
yang terjadi pada korteks akibat oklusi pembuluh darah adalah gelapnya warna darah vena,
penurunan kecepatan aliran darah dan sedikit dilatasi arteri serta arteriole. Selanjutnya akan
terjadi edema pada daerah ini. Selama berlangsungnya perisriwa ini, otoregulasi sudah tidak
berfungsi sehingga aliran darah mengikuti secara pasif segala perubahan tekanan darah arteri..
Berkurangnya aliran darah serebral sampai ambang tertentu akan memulai serangkaian
gangguan fungsi neural dan terjadi kerusakan jaringan secara permanen.

Skema Patofisiologi

D. Tanda dan Gejala
Menurut Smeltzer & Bare (2002) dan Price & Wilson (2006) tanda dan gejala penyakit
stroke adalah kelemahan atau kelumpuhan lengan atau tungkai atau salah satu sisi tubuh,
hilangnya sebagian penglihatan atau pendengaran, penglihatan ganda atau kesulitan melihat
pada satu atau kedua mata, pusing dan pingsan, nyeri kepala mendadak tanpa kausa yang
jelas, bicara tidak jelas (pelo), sulit memikirkan atau mengucapkan kata-kata yang tepat, tidak
mampu mengenali bagian dari tubuh, ketidakseimbangan dan terjatuh dan hilangnya
pengendalian terhadap kandung kemih.

E.

Penatalaksanaan Medis
Penatalaksaan medis menurut menurut Smeltzer & Bare (2002) meliputi:
a. Diuretik untuk menurunkan edema serebral yang mencapai tingkat maksimum 3
sampai 5 hari setelah infark serebral.
b. Antikoagulan untuk mencegah terjadinya thrombosis atau embolisasi dari tempat lain
dalam sistem kardiovaskuler.
c. Antitrombosit

karena

trombosit

memainkan

peran

sangat

penting

dalam

pembentukan thrombus dan embolisasi.
F.

Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit stroke menurut Smeltzer & Bare (2002)

adalah:
a. Hipoksia serebral, diminimalkan dengan memberi oksigenasi darah adekuat ke otak.
Fungsi otak bergantung pada ketersediaan oksigen yang dikirimkan ke jaringan.
Pemberian oksigen suplemen dan mempertahankan hemoglobin serta hematokrit pada
tingkat dapat diterima akan membantu dalam mempertahankan oksigenasi jaringan.
b. Penurunan aliran darah serebral, bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan
integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan intrvena) harus menjamin
penurunan viskositas darah dan memperbaiki aliran darah serebral. Hipertensi dan
hipotensi ekstrim perlu dihindari untuk mencegah perubahan pada aliran darah serebral
dan potensi meluasnya area cedera.
c. Embolisme serebral, dapat terjadi setelah infark miokard atau fibrilasi atrium atau dapat
berasal dari katup jantung prostetik. Embolisme akan menurunkan aliran darah ke otak

dan selanjutnya akan menurunkan aliran darah serebral. Disritmia dapat mengakibatkan
curah jantung tidak konsisten dan penghentian trombus lokal. Selain itu, disritmia dapat
menyebabkan embolus serebral dan harus diperbaiki.

G.

Pemeriksaan Diagnostik
Menurut (Doenges dkk, 1999) pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada

penyakit stroke adalah:
a. Angiografi serebral: membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti
perdarahan, obstruksi arteri atau adanya titik oklusi/ ruptur.
b. CT-scan: memperhatikan adanya edema, hematoma, iskemia, dan adanya infark.
c. Pungsi lumbal: menunjukkan adanya tekanan normal dan biasanya ada thrombosis,
emboli serebral, dan TIA (Transient Ischaemia Attack) atau serangan iskemia otak
sepintas. Tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukkan adanya
hemoragik subarakhnoid atau perdarahan intra kranial. Kadar protein total meningkat
pada kasus thrombosis sehubungan dengan adanya proses inflamasi.
d. MRI (Magnetic Resonance Imaging): menunjukkan daerah yang mengalami infark,
hemoragik, dan malformasi arteriovena.
e. Ultrasonografi Doppler: mengidentifikasi penyakit arteriovena.
f. EEG (Electroencephalography): mengidentifikasi penyakit didasarkan pada gelombang
otak dan mungkin memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
g. Sinar X: menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang berlawanan
dari massa yang meluas, kalsifikasi karotis interna terdapat pada thrombosis serebral.

H.

Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
Dari seluruh dampak masalah di atas, maka diperlukan suatu asuhan keperawatan yang

komprehensif. Dengan demikian pola asuhan keperawatan yang tepat adalah melalui proses
perawatan yang dimulai dari pengkajian yang diambil adalah merupakan respon klien, baik
respon biopsikososial maupun spiritual, kemudian ditetapkan suatu rencana tindakan
perawatan untuk menuntun tindakan perawatan. Dan untuk menilai keadaan klien, diperlukan
suatu evaluasi yang merujuk pada tujuan rencana perawatan klien dengan stroke non
hemoragik.

1.

Pengkajian
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar bagi seorang perawat dalam melakukan

pendekatan secara sistematis untuk mengumpulkan data dan menganalisa, sehingga dapat
diketahui kebutuhan klien tersebut. Pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan
membantu menentukan status kesehatan dan pola pertahanan klien serta memudahkan
menentukan status kesehatan dan pola pertahanan klien serta memudahkan dalam perumusan
diagnosa keperawatan (Doenges dkk, 1999).
Adapun pengkajian pada klien dengan stroke (Doenges dkk, 1999) adalah :
a.

Aktivitas/ Istirahat

Gejala: merasa kesulitan untuk melakukan aktivitas karena kelemahan, kehilangan sensasi
atau paralisis (hemiplegia), merasa mudah lelah, susah untuk beristirahat (nyeri/ kejang otot).
Tanda: gangguan tonus otot, paralitik (hemiplegia), dan terjadi kelemahan umum, gangguan
penglihatan, gangguan tingkat kesadaran.
b.

Sirkulasi

Gejala: adanya penyakit jantung, polisitemia, riwayat hipotensi postural.
Tanda:

hipertensi arterial sehubungan dengan adanya embolisme/ malformasi

vaskuler, frekuensi nadi bervariasi, dan disritmia.
c.

Integritas Ego

Gejala: perasaan tidak berdaya, perasaan putus asa
Tanda: emosi yang labil dan ketidaksiapan untuk marah, sedih, dan gembira, kesulitan untuk
mengekspresikan diri.
d.

Eliminasi

Gejala: perubahan pola berkemih
Tanda: distensi abdomen dan kandung kemih, bising usus negatif.
e.

Makanan/ Cairan

Gejala: nafsu makan hilang, mual muntah selama fase akut, kehilangan sensasi pada lidah, dan
tenggorokan, disfagia, adanya riwayat diabetes, peningkatan lemak dalam darah.

Tanda: kesulitan menelan, obesitas.
f.

Neurosensori

Gejala: sakit kepala, kelemahan/ kesemutan, hilangnya rangsang sensorik kontralateral pada
ekstremitas, penglihatan menurun, gangguan rasa pengecapan dan penciuman.
Tanda: status mental/ tingkat kesadaran biasanya terjadi koma pada tahap awal hemoragis,
gangguan fungsi kognitif, pada wajah terjadi paralisis, afasia, ukuran/ reaksi pupil tidak sama,
kekakuan, kejang.
g.

Kenyamanan / Nyeri

Gejala: sakit kepala dengan intensitas yang berbeda-beda
Tanda: tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan pada otot
h.

Pernapasan

Gejala: merokok
Tanda: ketidakmampuan menelan/ batuk/ hambatan jalan nafas, timbulnya pernafasan sulit,
suara nafas terdengar ronchi.
i.

Keamanan

Tanda: masalah dengan penglihatan, perubahan sensori persepsi terhadap orientasi tempat
tubuh, tidak mampu mengenal objek, gangguan berespons terhadap panas dan dingin,
kesulitan dalam menelan, gangguan dalam memutuskan.
j.

Interaksi Sosial

Tanda: masalah bicara, ketidakmampuan untuk berkomunikasi
k.

Penyuluhan/ Pembelajaran

Gejala: adanya riwayat hipertensi pada keluarga, stroke, pemakaian kontrasepsi oral,
kecanduan alkohol.
2.

Diagnosa Keperawatan
Setelah data-data dikelompokkan, kemudian dilanjutkan dengan perumusan diagnosa.

Diagnosa keperawatan adalah cara mengidentifikasi, memfokuskan, dan mengatasi kebutuhan

spesifik pasien serta respons terhadap masalah aktual dan resiko tinggi (Doenges dkk, 1999).
Untuk membuat diagnosis keperawatan yang akurat, perawat harus mampu melakukan hal
berikut yaitu mengumpulkan data yang valid dan berkaitan, mengelompokkan data,
membedakan diagnosis keperawatan dari masalah kolaboratif, merumuskan diagnosis
keperawatan dengan tepat, dan memilih diagnosis prioritas (Carpenito & Moyet, 2007).
Diagnosa keperawatan pada klien dengan Stroke (Doenges dkk, 1999) meliputi :
a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan:
1.

Interupsi aliran darah

2.

Gangguan oklusif, hemoragi

3.

Vasospasme serebral

4.

Edema serebral

b. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan:
1.

Kerusakan neuromuskuler

2.

Kelemahan, parestesia

3.

Paralisis spastis

4.

Kerusakan perseptual/ kognitif

c. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan
1.

Kerusakan sirkulasi serebral

2.

Kerusakan neuromuskuler

3.

Kehilangan tonus otot/ kontrol otot fasial

4.

Kelemahan/ kelelahan

d. Perubahan sensori persepsi berhubungan dengan:
1.

Perubahan resepsi sensori, transmisi, integrasi (trauma neurologis atau defisit)

2.

Stress psikologis (penyempitan lapang perseptual yang disebabkan oleh ansietas)

e. Kurang perawatan diri berhubungan dengan:
1.

Kerusakan neuromuskuler, penurunan kekuatan dan ketahanan, kehilangan kontrol/
koordinasi otot

2.

Kerusakan perseptual/ kognitif

3.

Nyeri/ ketidaknyamanan

4.

Depresi

f.

Gangguan harga diri berhubungan dengan:
1.

Perubahan biofisik, psikososial, perseptual kognitif

g. Resiko tinggi kerusakan menelan berhubungan dengan:
1. Kerusakan neuromuskuler/ perceptual
h. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan pengobatan berhubungan dengan:
1.

Kurang pemajanan

2.

Keterbatasan kognitif, kesalahan interprestasi informasi, kurang mengingat

3.

Tidak mengenal sumber-sumber informasi
3.

Perencanaan

Perencanaan adalah kategori dari perilaku keperawatan dimana tujuan yang berpusat pada
klien dan hasil yang diperkirakan ditetapkan dan intervensi keperawatan dipilih untuk
mencapai tujuan tersebut (Potter & Perry, 2005). Perencanaan merupakan langkah awal dalam
menentukan apa yang dilakukan untuk membantu klien dalam memenuhi serta mengatasi
masalah keperawatan yang telah ditentukan. Tahap perencanaan keperawatan adalah
menentukan prioritas diagnosa keperawatan, penetapan kriteria evaluasi dan merumuskan
intervensi keperawatan.
Tujuan yang ditetapkan harus sesuai dengan SMART, yaitu spesific (khusus),
messeurable (dapat diukur), acceptable (dapat diterima), reality (nyata) dan time (terdapat
kriteria waktu). Kriteria hasil merupakan tujuan ke arah mana perawatan kesehatan diarahkan
dan merupakan dasar untuk memberikan asuhan keperawatan komponen pernyataan kriteria
hasil.
Rencana tindakan keperawatan yang disusun pada klien dengan Stroke ( Doenges dkk,
1999) adalah sebagai berikut :
A. Diagnosa keperawatan pertama: perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan
dengan oedema serebral.
1. Tujuan; kesadaran penuh, tidak gelisah
2. Kriteria hasil tingkat kesadaran membaik, tanda-tanda vital stabil tidak ada tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial.
3. Intervensi;
a) Pantau/catat status neurologis secara teratur dengan skala koma glascow

Rasional:

Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran.

b) Pantau tanda-tanda vital terutama tekanan darah.
Rasional:

autoregulasi mempertahankan aliran darah otak yang konstan.

c) Pertahankan keadaan tirah baring.
Rasional:

aktivitas/ stimulasi yang kontinu dapat meningkatkan Tekanan Intra
Kranial (TIK).

d) Letakkan kepala dengan posisi agak ditinggikkan dan dalam posisi anatomis (netral).
Rasional:

menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan drainase dan
meningkatkan sirkulasi/ perfusi serebral.

e) Berikan obat sesuai indikasi: contohnya antikoagulan (heparin)
Rasional:

meningkatkan/ memperbaiki aliran darah serebral dan selanjutnya dapat

mencegah pembekuan..

B. Diagnosa keperawatan kedua: kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan
kelemahan.
1. Tujuan; dapat melakukan aktivitas secara minimum
2. Kriteria hasil mempertahankan posisi yang optimal, meningkatkan kekuatan dan fungsi
bagian tubuh yang terkena, mendemonstrasikan perilaku yang memungkinkan aktivitas.
3. Intervensi;
a)

Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktifitas

Rasional:

mengidentifikasi kelemahan/ kekuatan dan dapat memberikan informasi bagi

pemulihan
b)

Ubah posisi minimal setiap 2 jam (telentang, miring)

Rasional:
c)

menurunkan resiko terjadinya trauma/ iskemia jaringan.

Mulailah melakukan latihan rentang gerak aktif dan pasif pada semua ekstremitas

Rasional:
kontraktur.

meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi, membantu mencegah

d)

Anjurkan pasien untuk membantu pergerakan dan latihan dengan menggunakan

ekstremitas yang tidak sakit.
Rasional:

dapat berespons dengan baik jika daerah yang sakit tidak menjadi lebih

terganggu.
e)

Konsultasikan dengan ahli fisioterapi secara aktif, latihan resistif, dan ambulasi pasien.

Rasional:

program khusus dapat dikembangkan untuk menemukan kebutuhan yang

berarti/ menjaga kekurangan tersebut dalam keseimbangan, koordinasi, dan kekuatan.
c.

Diagnosa keperawatan ketiga: kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan

kerusakan neuromuskuler.
1)
2)

Tujuan; dapat berkomunikasi sesuai dengan keadaannya.
Kriteria hasil; Klien dapat mengemukakan bahasa isyarat dengan tepat, terjadi

kesapahaman bahasa antara klien, perawat dan keluarga
3)

Intervensi;
a) Kaji tingkat kemampuan klien dalam berkomunikasi
Rasional: Perubahan dalam isi kognitif dan bicara merupakan indikator dari derajat
gangguan serebral
b) Minta klien untuk mengikuti perintah sederhana
Rasional: melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan sensorik
c) Tunjukkan objek dan minta pasien menyebutkan nama benda tersebut
Rasional: Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan motorik
d) Ajarkan klien tekhnik berkomunikasi non verbal (bahasa isyarat)
Rasional: bahasa isyarat dapat membantu untuk menyampaikan isi pesan yang
dimaksud
e) Konsultasikan dengan/ rujuk kepada ahli terapi wicara.
Rasional: untuk mengidentifikasi kekurangan/ kebutuhan terapi.

D. Diagnosa keperawatan keempat: perubahan sensori persepsi berhubungan dengan stress
psikologis.
1) Tujuan; tidak ada perubahan perubahan persepsi.
2) Kriteria hasil mempertahankan tingkat kesadarann dan fungsi perseptual,

mengakui

perubahan dalam kemampuan.
3) Intervensi;
a) Kaji kesadaran sensorik seperti membedakan panas/ dingin, tajam/ tumpul, rasa
persendian.
Rasional: penurunan kesadaran terhadap sensorik dan kerusakan perasaan kinetic
berpengaruh buruk terhadap keseimbangan.
b) Catat terhadap tidak adanya perhatian pada bagian tubuh
Rasional: adanya agnosia (kehilangan pemahaman

terhadap pendengaran,

penglihatan, atau sensasi yang lain)
c) Berikan stimulasi terhadap rasa sentuhan seperti berikan pasien suatu benda untuk
menyentuh dan meraba.
Rasional: membantu melatih kembali jaras sensorik untuk mengintegrasikan persepsi
dan interprestasi stimulasi.
d) Anjurkan pasien untuk mengamati kakinya bila perlu dan menyadari posisi bagian
tubuh tertentu.
Rasional: penggunaan stimulasi penglihatan dan sentuhan membantu dalam
mengintergrasikan kembali sisi yang sakit.
e) Bicara dengan tenang dan perlahan dengan menggunakan kalimat yang pendek.
Rasional: pasien mungkin mengalami keterbatasan dalam rentang perhatian atau
masalah pemahaman.
E. Diagnosa keperawatan kelima: kurang perawatan diri berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler, penurunan kekuatan dan ketahanan, kehilangan kontrol/ koordinasi
otot
1) Tujuan; kebutuhan perawatan diri klien terpenuhi
2) Kriteria hasil klien bersih dan klien dapat melakukan kegiatan personal hygiene secara
minimal

3) Intervensi;
a) Kaji kemampuan klien dan keluarga dalam perawatan diri.
Rasional: Jika klien tidak mampu perawatan diri perawat dan keluarga membantu
dalam perawatan diri
b) Bantu klien dalam personal hygiene.
Rasional: Klien terlihat bersih dan rapi dan memberi rasa nyaman pada klien
c) Rapikan klien jika klien terlihat berantakan dan ganti pakaian klien setiap hari
Rasional: Memberi kesan yang indah dan klien tetap terlihat rapi
d) Libatkan keluarga dalam melakukan personal hygiene
Rasional: ukungan keluarga sangat dibutuhkan dalam program peningkatan aktivitas
klien
e) Konsultasikan dengan ahli fisioterapi/ ahli terapi okupasi
Rasional:

memberikan bantuan yang mantap untuk mengembangkan rencana

terapi dan
F. Diagnosa keperawatan keenam: gangguan harga diri berhubungan dengan perubahan
biofisik, psikososial, perseptual kognitif.
1) Tujuan; tidak terjadi gangguan harga diri
2) Kriteria hasil mau berkomunikasi dengan orang terdekat tentang situasi dan perubahan
yang terjadi, mengungkapkan penerimaan pada diri sendiri dalam situasi.
3) Intervensi;
a) Kaji luasnya gangguan persepsi dan hubungkan dengan derajat ketidakmampuannya.
Rasional:

penentuan

faktor-faktor

secara

individu

membantu

dalam

mengembankan perencanaan asuhan/ pilihan intervensi.
b)

Bantu dan dorong kebiasaan berpakaian dan berdandan yang baik.
Rasional:

membantu peningkatan rasa harga diri dan kontrol atas salah satu

bagian kehidupan.
c)

Berikan dukungan terhadap perilaku/ usaha seperti peningkatan minat/ partisipasi
dalam kegiatan rehabilitasi.

Rasional: mengisyaratkan kemampuan adaptasi untuk mengubah dan memahami
tentang peran diri sendiri dalam kehidupan selanjutnya.
d)

Dorong orang terdekat agar member kesempatan pada melakukan sebanyak mungkin
untuk dirinya sendiri.
Rasional: membangun kembali rasa kemandirian dan menerima kebanggan diri dan
meningkatkan proses rehabilitasi.

e)

Rujuk pada evaluasi neuropsikologis dan/ atau konseling sesuai kebutuhan.
Rasional: dapat memudahkan adaptasi terhadap perubahan peran yang perlu untuk
perasaan/ merasa menjadi orang yang produktif.
G. Diagnosa keperawatan ketujuh: resiko tinggi kerusakan menelan berhubungan dengan
kerusakan neuromuskuler/ perseptual.

1) Tujuan; kerusakan dalam menelan tidak terjadi.
2) Kriteria hasil mendemonstrasikan metode makan tepat untuk situasi individual dengan
aspirasi tercegah, mempertahankan berat badan yang diinginkan.
3) Intervensi;
a) Tinjau ulang patologi/ kemampuan menelan pasien secara individual.
Rasional: intervensi nutrisi/ pilihan rute makan ditentukan oleh faktor-faktor ini.
b) Letakkan pasien pada posisi duduk/ tegak selama dan setelah makan
Rasional: menggunakan

gravitasi untuk memudahkan proses menelan dan

menurunkan resiko terjadinya aspirasi.
c) Anjurkan pasien menggunakan sedotan untuk meminum cairan.
Rasional: menguatkan otot fasiel dan otot menelan dan menurunkan resiko terjadinya
aspirasi.
d) Anjurkan untuk berpartisipasi dalam program latihan/ kegiatan.
Rasional: meningkatkan pelepasan endorphin dalam otak yang meningkatkan perasaan
senang dan meningkatkan nafsu makan.
e) Berikan cairan melalui intra vena dan/ atau makanan melalui selang.

Rasional: memberikan cairan pengganti dan juga makanan jika pasien tidak mampu
untuk memasukkan segala sesuatu melalui mulut.
H. Diagnosa keperawatan ketujuh: kurang pengetahuan tentang kondisi dan pengobatan
berhubungan dengan Keterbatasan kognitif, kesalahan interprestasi informasi, kurang
mengingat
1) Tujuan; klien mengerti dan paham tentang penyakitnya
2) Kriteria hasil berpartisipasi dalam proses belajar
3) Intervensi;
a) Kaji tingkat pengetahuan keluarga klien
Rasional: untuk mengetahui tingkat pengetahuan klien
b) Berikan informasi terhadap pencegahan, faktor penyebab, serta perawatan.
Rasional: untuk mendorong kepatuhan terhadap program teraupetik dan meningkatkan
pengetahuan keluarga klien
c) Beri kesempatan kepada klien dan keluarga untuk menanyakan hal- hal yang belum
jelas.
Rasional: memberi kesempatan kepada orang tua dalam perawatan anaknya
d) Beri feed back/ umpan balik terhadap pertanyaan yang diajukan oleh keluarga atau
klien.
Rasional: mengetahui tingkat pengetahuan dan pemahaman klien atau keluarga
e) Sarankan pasien menurunkan/ membatasi stimulasi lingkungan terutama selama
kegiatan berfikir
Rasional: stimulasi yang beragam dapat memperbesar gangguan proses berfikir.

4.

Pelaksanaan
Tindakan keperawatan (implementasi) adalah kategori dari perilaku keperawatan dimana

tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan
keperawatan dilakukan dan diselesaikan. Implementasi mencakup melakukan, membantu,
atau mengarahkan kinerja aktivitas kehidupan sehari-hari, memberikan asuhan perawatan
untuk tujuan yang berpusat pada klien (Potter & Perry, 2005). Pelaksanaan keperawatan

merupakan tahapan pemberian tindakan keperawatan untuk mengatasi permasalahan
penderita secara terarah dan komprehensif, berdasarkan rencana tindakan yang telah
ditetapkan sebelumnya.
Pelaksanaan keperawatan pada Stroke dikembangkan untuk memantau tanda-tanda vital,
melakukan latihan rentang pergerakan sendi aktif dan pasif, meminta klien untuk mengikuti
perintah sederhana, memberikan stimulus terhadap sentuhan, membantu klien dalam personal
hygiene, dan menjelaskan tentang penyakit, perawatan dan pengobatan stroke.
5.

Evaluasi
Evaluasi adalah respons pasien terhadap terapi dan kemajuan mengarah pencapaian hasil

yang diharapkan. Aktivitas ini berfungsi sebagai umpan balik dan bagian kontrol proses
keperawatan, melalui mana status pernyataan diagnostik pasien secara individual dinilai untuk
diselesaikan, dilanjutkan, atau memerlukan perbaikan (Doenges dkk, 1999).
Evaluasi asuhan keperawatan sebagai tahap akhir dari proses keperawatan yang bertujuan
untuk menilai hasil akhir dan seluruh tindakan keperawatan yang telah dilakukan. Evaluasi ini
bersifat sumatif, yaitu evaluasi yang dilakukan sekaligus pada akhir dari semua tindakan
keperawatan yang telah dilakukan dan telah disebut juga evaluasi pencapaian jangka panjang.
Kriteria hasil dari tindakan keperawatan yang di harapkan pada pasien stroke adalah
mempertahankan tingkat kesadaran dan tanda-tanda vital stabil, kekuatan otot bertambah dan
dapat beraktivitas secara minimal, dapat berkomunikasi sesuai dengan kondisinya,
mempertahankan fungsi perseptual, dapat melakukan aktivitas perawatan diri secara mandiri,
klien dapat mengungkapakan penerimaaan atas kondisinya, dan klien dapat memahami
tentang kondisi dan cara pengobatannya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Carpenito, L.J & Moyet. (2007). Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 10. Jakarta:
EGC.

2. Harnawatiaj.

(2008).

Format

Dokumentasi

Keperawatan

(http://harnawatiaj.wordpress.com//) di akses 16 Juli 2010.
3. Nanda. (2005-2006). Panduan Diagnosa Keperawatan. Prima medika.
4. Potter & Perry. (2006). Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses dan Praktik
Edisi 4 vol 1. Jakarta: EGC
5. Price, S.A & Wilson. L.M. (2006). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Edisi 6 vol 2. Jakarta: EGC
6. Wanhari, M.A. (2008). Asuhan Keperawatan Stroke (http://askepsolok.blogspot.com/

2008/08/stroke.html) di akses 19 Juli 2010.
7. Winarni,

S.

(2008).

Karya

Tulis

Ilmiah

(http://etd.eprints.ums.ac.id/2926/1/J200050072.pdf, di akses 19 Juli 2010

Stroke

ASUHAN KEPERAWATAN KELOMPOK LANJUT USIA
DENGAN MASALAH RESIKO CIDERA
SEHUBUNGAN DENGAN KELEMAHAN OTOT
DI RUANG SANTO FRANCISCUS ASSISI
PANTI WERDHA PANGESTI LAWANG MALANG

A. DATA UMUM
Nama Panti

: Panti Werdha Pangesti Lawang Malang

Alamat Panti

: Jl. Sumber Mlaten 3 Lawang Malang

B. DATA INTI
a. Sejarah berdirinya Panti Werdha
Bermula dari Rumah Sakit Panti Waluya Sawahan di salah satu Paviliun dirawat
beberapa orang lanjut usia (St. Anna Paviliun). Dalam perjalanan waktu, para lansia semakin
banyak. Pada tahun 1972 Tarekat Misericordia mendapat tawaran dari keuskupan Malang
untuk menempati gedung seminari marianum yang bertempat di Jl. sumberwuni 14 Lawang.
Kami menerima tawaran tersebut dan mempersiapkan sebagai rumah khusus untuk para lanjut
usia. Tepatnya pada tanggal 21 februari 1972 kami mulai menempati gedung tersebut bersama
para lansia yang berada di St. Anna Paviliun yan kemudian disebut Panti Werdha Pangesti
Kami merawat para lanjut usia disana, sampai suatu waktu para suster mempunyai
keinginan untuk mempunyai gedung sendiri. Setelah berkeliling melihat-lihat dan
mempertimbangkan dengan pro dan kontra yang kami alami, akhirnya pada tahun 2007 kami
memutuskan untuk membeli tanah di Jl. sumber mlaten 3 Lawang.
Pembangunan segera dimulai, dan selesai kira-kira pertengahan tahun 2008 dan
diberkati oleh Bapak Uskup Malang Mgr. Herman Yoseph Pandoyoputro O.Carm dan
diresmikan oleh Bapak Bupati Malang pada tanggal 17 Nopember 2008. Oleh karena listrik
belum menyala dan air sumur belum juga selsesai dibor, maka baru pada tanggal 27
Desember 2008 kami pindah bersama opa / oma ke gedung baru di Jl. Sumber Mlaten 3
Lawang Malang.

b. Data Demografi
-

Jumlah anggota : 19 Orang

-

Distribusi Lansia menurut:

 Tabel 2.1 Distribusi Frekuensi Menurut Jenis Kelamin
NO

JENIS KELAMIN

JUMLAH PRESENTASE

1.

P

11

57,89 %

2.

L

8

42,11 %

19

100 %

.

Jumlah
Intepretasi data:

Berdasarkan tabel 2.1 diketahui bahwa dari 19 lansia terdapat 11 lansia
(57,89%) berjenis kelamin perempuan dan 8 lansia (42,11 %) berjenis kelamin
laki-laki.

 Tabel 2.2 Distribusi Menurut Umur
NO

RENTANG

.

UMUR

1.

45-59 tahun

2

10,52 %

2.

60-74 tahun

7

36,84 %

3.

75-90 tahun

9

47,36 %

4.

90 tahun keatas

1

5,26 %

19

100%

Jumlah

JUMLAH PRESENTASE

Interpretasi data :
-

Berdasarkan tabel 2.2 diketahui bahwa dari 19 lansia, yang paling banyak
menghuni ruang Fransiscus ialah lansia dengan umur 75-90 adalah 9 lansia
(47,36%) dan yang paling sedikit adalah lansia yang berumur 90 ke atas yaitu 1
orang (5,26%).
 Tabel 2.3 Distribusi Menurut Status Perkawinan

NO

STATUS

.

PERKAWINAN

1.

Kawin

10

52,63%

2.

Belum kawin

5

26,31%

3.

Janda

2

10,52%

4.

Duda

2

10,52%

19

100%

Jumlah

JUMLAH PRESENTASE

Interpretasi data :
Berdasarkan tabel 2.3 diketahui dari 19 lansia di ruang fransiscus yang paling
banyak adalah kawin yaitu sebanyak 10 orang (52,63%) yang sudah menikah
dan yang paling sedikit lansia yang janda-duda rata-rata 2 orang ( 10,52%).

Tabel 2.4 Distribusi Menurut Agama
NO

AGAMA

JUMLAH PRESENTASE

1.

Islam

2

10,53%

2.

Kristen

6

31,58%

3.

Katolik

11

57,89%

19

100%

.

Jumlah
Interpretasi data :

Berdasarkan tabel 2.4 diketahui agama yang paling banyak dianut di ruang Fransiscus
adalah yang paling banyak beragama khatolik yaitu 11 orang (57,89%) dan yang
paling sedikit adalah beragama Islam yaitu 2 orang (10,53%).

Tabel 2.5 Distribusi Menurut Pendidikan Terakhir
NO

PENDIDIKAN

.

TERAKHIR

JUMLAH PRESENTASE

1.

SD

6

31,57%

2.

SMP

8

42,11%

3.

SMA/SMK

5

26,3%

4.

Perguruan Tinggi

-

-

5.

Tidak Sekolah

-

-

19

100%

Jumlah
Interpretasi data :

Berdasarkan tabel 2.5 diketahui bahwa pendidikan terakhir para lansia yang
paling banyak adalah SMP yaitu sebanyak 8 orang ( 42,11% ) dan yang paling
sedikit pendidikan lansia adalah SMA sebanyak 5 orang ( 26,3% ).

Tabel 2.6 Distribusi Menurut Hidup Bersama :
NO

HIDUP

JUMLAH PRESENTASE

.

BERSAMA

1.

Sendiri

4

21,05%

2.

Anak/Cucu

6

31,57%

3.

Keluarga

9

47,38%

19

100%

Jumlah
Interpretasi data :

Berdasarkan tabel 2.6 diketahui bahwa lansia yang tinggal dirumah paling
banyak tinggal bersama keluarga sebanyak 9 orang ( 47,38% ) dan lansia yang
paling sedikit tinggal sendiri sebanyak 4 orng ( 21,05% ).

c. Vital Statistik
Data Status Kesehatan Kelompok Usia Lanjut :
 Masalah Kesehatan Saat ini :
Berdasarkan pengkajian yang telah dilakukan oleh kelompok, masalah kesehatan yang
lebih banyak di derita di wisma fansiscus adalah Post Stroke, karena sebagian besar
lansia dalam wisma tersebut mengalami kelumpuhan pada sebagian dari tubuhnya.

 Tabel 3.1 Distribusi Masalah Kesehatan saat ini
NO

JENIS

.

PENYAKIT

1.

Hipertensi

5

26,31%

2.

Diabetes Melitus

0

0%

3.

Post Stroke

7

36,84%

4.

Dermatitis

2

10,52%

5.

Gout Arthritis

3

15,78%

6.

Rematoid Arthritis

1

5,27%

7.

Kontraktur

1

5,27%

19

100%

Jumlah

JUMLAH PRESENTASE

Interpretasi data :
Berdasarkan tabel 3.1 diketahui bahwa dari 19 lansia penyakit yang paling
banyak diderita oleh lansia di ruang Fransiscus adalah Post Stoke yaitu
sebanyak 7 orang (36,84%).

 Tabel 3.2 Distribusi Menurut Kegiatan hidup sehari-hari
NO
.

PEMENUHAN
KEBUTUHAN

JUMLAH PRESENTASE

NUTRISI MAKAN

1.

3 kali sehari

18

94,73%

2

Tidak mau makan

1

5,27%

19

100%

Jumlah
Interpretasi data :

Berdasarkan tabel 3.2 diketahui bahwa dari 19 lansia dalam pemenuhan
kebutuhan nutrisi makan yang paling banyak di ruang Fransiscus adalah 3 kali
sehari sebanyak 18 orang(94,73%) dan yang paling sedikit adalah tidak mau
makan sebanyak 1 orang (5,27%). Menu makanan dipanti : (makan pagi dan
siang : nasi, lauk, sayur, buah [pepaya/pisang], minum teh/air putih), Snack
(singkong, ketela, lumpia, donat, susu, teh)

 Tabel 3.3 Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi Minum
NO
.

PEMENUHAN
KEBUTUHAN

JUMLAH PRESENTASE

NUTRISI MINUM

1.

5-8 gelas sehari

3

15,8%

2.

3-4gelas sehari

10

52,63%

3.

1-2 gelas sehari

6

31,57%

19

100%

Jumlah
Interpretasi data :

Berdasarkan tabel 3.3 diketahui bahwa dari 19 lansia dalam pemenuhan
kebutuhan nutrisi minum yang paling banyak di ruang Fransiscus adalah 3-4
gelas sehari sebanyak 10 orang (52,63%),dan yang paling sediki adalah 5-8
gelas sebanyak 3 orang (15,8%). Minuman yang diberikan pada lansia berupa
teh, susu, dan air putih. Namun untuk gula agak dikurangi.

 Tabel 3.4 Pola Istirahat Tidur
NO

POLA

.

ISTIRAHAT

JUMLAH PRESENTASE

TIDUR
1.

8-9 jam

4

21,06 %

2.

6-7 jam

15

78,94%

19

100%

Jumlah
Interpretasi data :

Berdasarkan tabel 3.4 diketahui bahwa dari 19 lansia dalam Pola istirahat tidur
yang paling banyak di ruang Fransiscus adalah 6-7 jam sebanyak 15 orang
(78,94%) dan yang paling sedikit adalah 8-9 jam 4 orang (21,06%). Para lansia
tidur pada siang hari pada pukul 11.00-13.00 WIB dan pada malam hari pada
pukul 18.00-03.00 WIB.

 Tabel 3.5 Pola Eliminasi Uri
NO

POLA

.

ELIMINASI URI

1.

1-3 kali sehari

6

31,57%

2.

Inkontinensia uri

13

68,43%

19

100%

Jumlah

JUMLAH PRESENTASE

Interpretasi data :
Berdasarkan tabel 3.5 diketahui bahwa dari19 lansia dalam pola eliminasi uri
yang paling banyak di ruang Fransiscus adalah mengalami inkontinensia uri
(menggunakan popok dan pampers jadi untuk melihat berapa kali eliminasi uri
tidah bisa di hitung) sebanyak 13 orang (68,43%) dan untuk eliminasi uri
sebanyak 1-3 kali sehari adalah 6 orang (31,57%)

 Tabel 3.6 Pola Eliminasi Alvi
NO

POLA

.

ELIMINASI ALVI

1.

1 kali sehari

2

10,52%

2.

2 kali sehari

2

10,52%

3.

3 kali seminggu

2

10,52%

4.

Inkontinensia alvi

13

68,44%

19

100%

Jumlah
Interpretasi data :

JUMLAH PRESENTASE

Berdasarkan tabel 3.6 diketahui bahwa dari 19 lansia dalam eliminasi alvi yang
paling banyak adalah inkontinensia alvi (menggunakan popok dan pampers
jadi untuk melihat berapa kali eliminasi alvi tidah bisa di hitung) sebanyak 13
orang (68,44%) dan rata-rata sama sekitar 10,52% normal dalam eliminasi alvi.

 Tabel 3.7 Mandi
NO. MANDI
1.
1 kali sehari
2.
2 kali sehari
3.
Seka
Jumlah

JUMLAH
15
4
19

PRESENTASE
78,94 %
21,06 %
100%

Interpretasi data :
Berdasarka