Sebaran Sensitifitas Kulit Terhadap Alergen Ascaris suum pada Macaca fascicularis di Pusat Studi Satwa Primata IPB Dibedakan Atas Kelompok Umur

SEBARAN SENSITIFITAS KULIT
TERHADAP ALERGEN Ascaris suum PADA Macaca fascicularis
DI PUSAT STUDI SATWA PRIMATA IPB DIBEDAKAN
ATAS KELOMPOK UMUR

DINA LUCIANTI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008

ABSTRAK
DINA LUCIANTI. Sebaran Sensitifitas Kulit Terhadap Alergen Ascaris suum
pada Macaca fascicularis di Pusat Studi Satwa Primata IPB Dibedakan Atas
Kelompok Umur. Dibimbing oleh JOKO PAMUNGKAS dan YASMINA
PARAMASTRI
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai uji tapis untuk mengetahui
potensi Macaca fascicularis (M. fascicularis), yang dibedakan atas kelompok
umur (anakan dan dewasa), sebagai hewan model penyakit dan pengobatan asma
dengan melihat sensitifitas kulit terhadap rangsangan alergen Ascaris suum (A.

suum). Asma merupakan reaksi hipersensitifitas tipe I, karena efek reaksinya
dapat terlihat dengan cepat, reaksi hipersensitifitas tipe I dapat dideteksi dengan
cara uji kulit yang reaksi positifnya akan indurasi. Penelitian ini menggunakan
metode eksperimental, dengan total hewan yang digunakan sebanyak 147 hewan
(118 hewan dewasa dan 29 anakan) yang telah ditangkarkan di Pusat Studi Satwa
Primata IPB. Ekstrak A. suum disuntikan secara intradermal pada kulit daerah
abdomen pada 8 situs (2 baris, 4 kolom dari arah cranial ke caudal hewan).
dengan dosis bertingkat (1 x 10-2 sampai dengan 1 x 10-7 µg/ml). Dokumentasi
lingkaran injeksi dilakukan pada menit ke-0 dan menit ke-30. Reaksi positif
terjadi pada 65 ekor M. fascicularis dewasa (55.1%) dan 20 ekor M. fascicularis
anakan (67%). Prevalensi reaktifitas pada anakan yang lebih tinggi daripada
dewasa dapat disebabkan karena sistem imun anak yang belum matang. Selain
sistem imun yang berbeda pada anakan dan dewasa, aspek genetik, kemungkinan
alergi, saluran pernapasan yang mudah terangsang, jenis kelamin dan ras
merupakan beberapa faktor lain yang dapat menimbulkan kejadian asma
Kesimpulan dari penelitian ini adalah uji kulit dengan alergen A. suum
menginduksi reaksi hipersensitifitas tipe 1 dan M. fascicularis Indonesia, baik dari
kelompok anakan dan dewasa, berpotensi sebagai hewan coba penyakit dan
penemuan pengobatan asma berdasarkan umur.
Kata kunci : Ascaris suum, Macaca fascicularis, Anakan dan Dewasa, Uji kulit


ABSTRACT
DINA LUCIANTI. Skin Sensitivity toward Ascaris suum Allergen in Long Tail
Macaques (Macaca fascicularis) at IPB Primate Research grouped by age. Under
direction of JOKO PAMUNGKAS and YASMINA PARAMASTRI
The objective of this study is to undertake a screening for and observe the
potential use of Macaca fascicularis (grouped into adults and juveniles) as animal
model for asthma, by judging their sensitivity to Ascaris suum allergen . Asthma
is known as type 1 hypersensitivity reaction, where rapid effect of the reaction can
be detected by skin test that will appear as indurations of the skin. The study
utilized 147 Macaca fascicularis, consisting of 118 adults and 29 juveniles at IPB
Primate Research Center which were sensitized by Ascaris suum allergen. Serial
doses of A. suum allergen extract from 1 x 10-2 to 1 x 10-7 µg/ml were injected
intradermally into eight sites on the abdomen of each animal. The results showed
that 55.1% (60 animals) of the total 118 adult M. fascicularis and 67% (20
animals) of the total 29 juvenile M. fascicularis have natural sensitivity to A.
suum exposure. Immature immun system in the juveniles might contribute to a
higher prevalence of sensitivity to the allergen. The results concluded that skin
test by A. Suum allergen extract on both juvenile and adult M. fascicularis can
induce type I hipersensitivity reaction andthe test can be used as a screening

process to find animals that are suitable to be used as models of asthma related
studies.
Key words : Ascaris suum, Macaca fascicularis, Juvenile and Adult, Skin test

SEBARAN SENSITIFITAS KULIT
TERHADAP ALERGEN Ascaris suum PADA Macaca fascicularis
DI PUSAT STUDI SATWA PRIMATA IPB DIBEDAKAN ATAS
KELOMPOK UMUR

DINA LUCIANTI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2008

Lembar Pengesahan

Judul penelitian : Sebaran Sensitifitas Kulit Terhadap Alergen Ascaris suum
pada Macaca fascicularis di Pusat Studi Satwa Primata IPB
Dibedakan Atas Kelompok Umur
Nama lengkap

: Dina Lucianti

NRP

: B04104159

Disetujui

Dr.drh.Joko Pamungkas, MSc

drh.Yasmina Paramastri, Sp1


Pembimbing skripsi 1

Pembimbing skripsi 2

Diketahui
Wakil Dekan FKH IPB

Dr.Nastiti Kusumorini
NIP 131 669 942

Tanggal Lulus :

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas
rahmat dan hidayat-Nya serta ridho-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi
penulis dengan judul “Sebaran Sensitifitas Kulit Terhadap Alergen Ascaris suum
pada Macaca fascicularis di Pusat Studi Satwa Primata IPB Dibedakan Atas
Kelompok Umur” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor. Skripsi ini penulis dedikasikan kepada ibunda tercinta, Hartati Anwar dan
ayahanda tercinta Zaiduar Ratha, atas segala kasih sayang dan dukungan yang
selalu diberikan kepada penulis.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1 Dr.drh. Joko Pamungkas, M.Sc dan drh. Yasmina Paramastri, Sp1 selaku
dosen pembimbing atas segala bimbingan, kritik, dan saran yang telah
diberikan selama penelitian dan penulisan skripsi ini.
2 Dr. drh. Risa Tiuria T. Tampubolon, MS selaku dosen penguji dan penilai.
3 PT. Bimana Indomedical yang telah memberikan bantuan materil pada
penelitian ini.
4 Dr. drh. Deni Noviana selaku dosen pembimbing akademik yang senantiasa
membimbing penulis selama menjadi mahasiswa FKH IPB.
5 Ayah, Ibu, dan seluruh anggota keluarga di Depok atas dorongan, doa, kasih
sayang dan dukungannya selama penulis menyelesaikan studi di Bogor.
6 drh. Villiandra yang telah membantu penulis selama penelitian dan
pengolahan data.
7 Seluruh staf dan pegawai Laboratorium Hewan PSSP IPB atas segala
bantuannya selama penulis melakukan penelitian ini.

8 Rekan sepenelitian Fhoci dan ArRan atas kebersamaannya pada penelitian ini.
9 Teman-teman FKH 41 khususnya cipo, nini, dimut, bibin, ceci, nina, eva dan
R Community serta penghuni Iscers (cecy, manda, sari dan perpus kecilnya,
rani, ratih dan tenny) atas kebersamaannya selama ini.
10 Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis sadar bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kesalahan.
Maka dari itu, dengan keikhlasan penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun sebagai evaluasi bagi penulis. Pada akhirnya penulis berharap
skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya dan, tentu saja,
bagi dunia kedokteran hewan Indonesia.
Akhir kata, semoga Allah SWT selalu meridhoi langkah kita semua dan
menjadikan skripsi ini bermanfaat semaksimal mungkin.

Bogor, Agustus 2008

Dina Lucianti

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Depok tanggal 17 November 1986 sebagai anak kedua dari

tiga bersaudara pasangan bapak Zaiduar Ratha dan ibu Hartati Anwar. Penulis
menyelesaikan sekolah dasar selama 6 tahun di SDN Beji Timur 2 Depok dan
lulus tahun 1998. Pendidikan SMP ditempuh di SLTP Negeri 2 Depok dan lulus
tahun 2001. Pada tahun 2004 penulis lulus dari SMU Negeri 38 Jakarta dan
diterima sebagai mahasiswa pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) pada tahun
yang sama.
Selama menjadi mahasiswa di Fakultas Kedokteran Hewan, penulis aktif
menjadi pengurus Himpunan Profesi (Himpro) Ornithologi dan Unggas masa
jabatan 2006/2007 sebagai sekertaris 1 Himpro. Selain itu penulis juga aktif
menjadi anggota di berbagai organisasi di Fakultas Kedokteran Hewan, antara lain
Komunitas Seni Steril dan Veterinary English Club (VEC).

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... xi
PENDAHULUAN ............................................................................................. 1

Latar belakang ............................................................................... 1
Perumusan Masalah ....................................................................... 3
Tujuan penelitian ............................................................................ 4
Manfaat penelitian .......................................................................... 4
TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................... 5
Asma ..................................................................................................... 5
Faktor pemicu kejadian asma ........................................................ 7
Mekanisme dan patogenesa ........................................................... 7
Satwa primata sebagai hewan model penyakit asma ...............................10
Macaca fascicularis ...............................................................................11
Pertumbuhan gigi pada Macaca fascicularis ..................................15
Ascaris suum sebagai bahan paparan asma .............................................16
Mekanisme uji kulit.................................................................................18
METODELOGI PENELITIAN..........................................................................19
Waktu dan Tempat .................................................................................19
Hewan ...................................................................................................19
Alat dan Bahan.......................................................................................20
Metode penelitian ..................................................................................21
Design dan penyiapan hewan uji....................................................21
Penyiapan ekstrasi Ascaris suum....................................................22

Aplikasi allergen, uji sensitifitas dan penentuan prevalensi ............22
Analisis data ..................................................................................23
HASIL DAN PEMBAHASAN .........................................................................26
Penentuan Umur pada Macaca fascicularis ............................................26
Reaktifitas kulit terhadap alergen Ascaris suum ......................................26
Pengaruh Usia Terhadap Reaktifitas Kulit dengan Alergen
Ascaris suum ..........................................................................................27

Pengaruh sistem perkandangan terhadap sensitifitas kulit .......................29
Keuntungan dan kerugian uji kulit sebagai uji deteksi asma....................29
Potensi Macaca fascicularis sebagai model penyakit asma .....................31
Studi lanjut .............................................................................................32
SIMPULAN DAN SARAN ..............................................................................34
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................35
LAMPIRAN ......................................................................................................39

DAFTAR TABEL

Halaman
1 Klasifikasi reaksi hipersensitifitas menurut Gell dan Combs............................... 8

2 Data biologi Macaca fascicularis ....................................................................... 13
3 Rumus 1 luas bidang suntikan ............................................................................ 24
4 Kriteria reaksi positif ......................................................................................... 25
5 Rumus 2 presentase hewan reaktif...................................................................... 25
6 Junlah hewan reaktif berdasarkan sebaran umur ................................................. 29
7 Prevalensi harian dewasa dan anakan reaktif ...................................................... 30

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1 Skema bronkhokontriksi pada penderita asma .................................................... 5
2 Mekanisme yang terjadi pada reaksi hipersensitifitas tipe 1................................ 9
3 Macaca fascicularis (monyet ekor panjang) ....................................................... 14
4 Daerah sebaran Macaca fascicularis .................................................................. 14
5 Susunan gigi tetap (A) dan gigi susu (B) pada Macaca fascicularis.................... 15
6 Diagram siklus hidup Ascaris suum pada babi.................................................... 17
7 Nematoda Ascaris suum dewasa......................................................................... 17
8 Calliper.............................................................................................................. 20
9 Syringe insulin ................................................................................................... 21
10 Protective personal equipment .......................................................................... 21
11 Bahan injeksi .................................................................................................... 22
12 Peta lokasi penyuntikan ekstrak Ascaris suum ................................................... 23
13 Kerangka kepala dan gigi primata ..................................................................... 26
14 Perubahan situs injeksi pada menit ke 0 dan menit ke 30 ................................... 28
15 Persentase reaktifitas pada kelompok umur dewasa ........................................... 31
16 Persentase reaktifitas pada kelompok umur anakan ........................................... 31

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Hasil uji kulit tanggal 17 Juli 2007 .................................................................40
2 Hasil uji kulit tanggal 23 Juli 2007 .................................................................43
3 Hasil uji kulit tanggal 24 Juli 2007 ................................................................46
4 Hasil uji kulit tanggal 25 Juli 2007 .................................................................49
5 Hasil uji kulit tanggal 26 Juli..........................................................................52
6 Hasil uji kulit tanggal 4 September 2007 .......................................................55
7 Hasil uji kulit tanggal 5 September 2007 ........................................................58
8 Hasil uji kulit tanggal 11 September 2007 ......................................................61
9 Hasil uji kulit tanggal 22 Januari 2008 ...........................................................64
10 Hasil uji kulit tanggal 23 Januari 2008 ..........................................................69

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Asma seringkali menjadi masalah yang kompleks yang dimanifestasikan
sebagai hasil pemaparan terhadap saluran pernafasan pada individu yang sensitif
secara genetik oleh bahan reaktif yang ada di lingkungan. Peningkatan jumlah
penderita dilaporkan sampai dengan 7.5% setiap tahunnya (Goldsby et al. 2000)
serta beberapa laporan ilmiah baik di dalam negeri atau luar negeri menyebutkan
bahwa angka kejadian alergi dan asma terus meningkat tajam (Judarwanto 2006).
Hal ini menunjukkan pengobatan yang ada saat ini belum memadai dan penelitian
lebih lanjut untuk menemukan pengobatan yang lebih ampuh masih perlu terus
dilakukan.
Asma merupakan peradangan saluran pernafasan kronis yang diderita oleh
orang dewasa dan anak-anak (Goldsby et al. 2000). Banyak faktor yang dapat
menyebabkan asma.

Yang

paling sering adalah faktor atopi atau alergi.

(Judarwanto 2006). Alergi adalah reaksi sistem imun yang terjadi akibat substansi
yang seharusnya tidak ada pada suatu jaringan, contohnya pada saluran pernafasan
dan bersifat mengganggu sistem pernafasan tersebut. Kebanyakan alergi pada
penyakit asma disebabkan karena airborne allergens (pollen), jamur/kapang dan
bulu binatang (Yayasan Asma Indonesia 2004). Selain karena alergi, asma juga
dapat terjadi akibat serangan dingin (cold), polutan, diet, aktivitas fisik dan stres
(Rand 1996).

Asma merupakan reaksi hipersensitifitas tipe I, karena

patogenesanya berjalan dengan cepat (dalam hitungan menit) (Abbas et al. 2003),
dan melibatkan Immunoglobulin E (IgE) yang akan berikatan dengan sel mast
yang terdapat di pembuluh darah. Kemudian terjadi degranulasi sel mast yang
akan melepaskan histamin sebagai respon terhadap alergen dalam jangka waktu
30 menit. Karena reaksinya dapat terlihat dengan cepat, reaksi hipersensitifitas
tipe I dapat dideteksi dengan cara uji kulit yaitu akan menimbulkan indurasi
(Goldsby et al. 2000).
Salah satu prinsip utama penelitian biomedis, termasuk pada asma, baik
dalam penelitian penyakit manusia dan penemuan pengobatannya, diperlukan
hewan model yang tepat, yang memiliki karakteristik mirip dengan atau minimal

mendekati penyakit yang diteliti. Penderita penyakit asma memiliki peningkatan
sensitifitas saluran pernafasan terhadap rangsangan yang beragam. Maka dalam
pemilihan

hewan

model

untuk

mempertimbangkan sensitifitas.

penyakit
Sensitifitas

asma

sangat

penting

untuk

terhadap rangsangan asma

dipengaruhi oleh faktor genetik dan rangsangan (alergen, nutrisi, stres, dan
kedinginan). Penelitian juga telah menunjukkan prevalensi, keparahan dan efek
yang ditimbulkan oleh penyakit asma pada orang dewasa dan anak-anak memiliki
beberapa perbedaan.

Sehingga pemilihan hewan berdasarkan umur menjadi

faktor yang penting untuk dipertimbangkan dalam menentukan validitas hasil
penelitian dalam menemukan pengobatan yang ampuh (Ran 1996).
Kebanyakan pengertian tentang mekanisme imunologi yang mendasari
penyakit asma diperoleh dari penelitian pada manusia dan tikus. Akan tetapi, ada
perbedaan pokok antara penyakit asma yang secara alami terjadi pada manusia
dan secara eksperimen pada tikus (Coffman dan Hessel 2005).

Untuk

mengeliminasi perbedaan tersebut, sebaiknya digunakan satwa primata yang
secara anatomi maupun fisiologi mempunyai kemiripan dengan manusia,
dibandingkan hewan coba lain. Sehingga untuk pengujian suatu obat atau bahan
biologis akan mendapatkan gambaran yang lebih mirip apabila digunakan untuk
manusia (Sajuthi et al. 1997). M. fascicularis memiliki potensi sebagai hewan
model penelitian suatu penyakit. M. fascicularis asal Indonesia, Filipina, Vietnam
dan Mauritius banyak digunakan di berbagai institusi yang melakukan penelitian
biomedis dan industri farmasi, terutama di luar negeri seperti Amerika Serikat,
atau Negara Eropa (Sajuthi dan Pamungkas 2000). Hal ini dibuktikan dengan
penelitian terdahulu menggunakan M. fascicularis yang menunjukkan reaktifitas
kulit terhadap alergen, memiliki sensitifitas 3 kali lipat terhadap paparan aerosol/
inhalasi alergen seperti methacolin (Mch). Pada manusia, paparan Mch inilah
yang digunakan sebagai uji diagnostik untuk penyakit asma. Hal ini pulalah yang
menjadi alasan perlunya dilakukan penelitian untuk mengetahui adanya
sensitifitas terhadap rangsangan alergen berupa A. suum dan melihat reaktifitas
kulit dengan uji tapis (screening test) pada monyet ekor panjang yang berasal dari
Indonesia yang ditangkarkan di Pusat Studi Satwa Primata – IPB, serta

prevalensinya berdasarkan umur untuk membuktikan potensi hewan ini sebagai
hewan model penyakit asma.

Perumusan Masalah
Berbagai metoda telah dilakukan untuk mendiagnosa sensitifitas terhadap
alergen dan penyakit asma dengan paparan langsung kesaluran pernafasan secara
inhalasi (aerosol). Bahan paparan alergen yang digunakan antara lain Mch,
histamin juga Ascaris suum. Pemaparan bahan alergen secara inhalasi pada
saluran pernafasan memiliki potensi untuk menimbulkan serangan asma. Bahan
alergen akan menyebabkan konstriksi saluran bronkus yang mengarah ke paruparu, yang dapat diikuti bersin sampai sesak nafas dengan tingkat ringan sampai
dengan parah, yang bahkan sampai memerlukan pertolongan medis. Selain itu,
pengujian dengan metoda inhalasi, memerlukan peralatan yang lebih rumit dan
berbiaya tinggi. Hal ini karena diperlukannya restrain chair untuk menempatkan
hewan, nebulizer untuk memaparkan alergen, dan ruang atau sistem udara khusus
agar personel yang melakukan penelitian tidak terpapar oleh bahan alergen.
Kekurangan lainnya adalah jumlah alergen yang digunakan dalam metoda inhalasi
relatif banyak dan untuk pengulangan diperlukan waktu minimal 30 hari periode
wash out. Pada reaktifitas kulit, proses yang terjadi adalah reaksi imunologi
hipersensitivitas tipe 1 (cepat / anafilaksis) yang memerlukan waktu reaksi 20-30
menit, dimana rasa nyeri yang ditimbulkan akan minimal, dan reaksi ini akan
hilang dalam waktu kurang dari 1 hari. Dan apabila reaksi yang tidak diinginkan
timbul (seperti kebengkakan, peradangan parah dan lebih lama), efeknya hanya
lokal pada kulit dan tidak berbahaya. Jika hal tersebut terjadi, penanganan hanya
memerlukan obat penahan sakit dan anti radang (analgesik).

Dengan alasan

diatas, pengujian awal sensitifitas terhadap alergen dengan melihat reaktifitas kulit
(skin test) merupakan cara yang relatif aman (untuk personel maupun
kesejahteraan hewan), cepat dan murah.
Penelitian penyakit asma menggunakan M. fascicularis dan Saimiri sp
(squirrel monkey) telah dlakukan di negara lain dengan cara diinduksi dengan
bahan alergen secara inhalasi.

Hal ini dilakukan dengan alasan keterbatasan

ketersediaan hewan ini, terutama hewan hasil tangkapan alam (wild-caught)

dengan sensitifitas alami,, di negara tersebut (Iwashita 2008). Penelitian asma
menggunakan monyet ekor panjang asal Indonesia dapat menggali potensi
pemanfaatan atas ketersediaan hewan untuk dijadikan model penelitian asma baik
di dalam negeri dan diluar negeri. Sesuai dengan syarat utama hewan model yaitu
menunjukkan aspek kemiripan penyakit tersebut pada manusia dan dapat tersedia
dalam jumlah yang memadai.

Tujuan Penelitian
1

Mengetahui sebaran sensitifitas kulit M. fascicularis Indonesia yang
menunjukkan reaktifitas atau uji positif terhadap rangsangan alergen A.
suum dari kelompok umur yang berbeda (yaitu : anakan dan dewasa).

2

Mengetahui potensi penggunaan M. fascicularis asal Indonesia sebagai
hewan penelitian penyakit dan pengobatan asma berdasarkan umur.

3

Sebagai uji tapis (screening test) pada M. fascicularis yang akan digunakan
untuk uji lanjutan dengan cara pemaparan alergen ke saluran pernapasan.

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini diharapkan untuk mengetahui potensi hewan
model asma yang handal dan pemanfaatan M. fascicularis asal Indonesia sebagai
hewan model asma dibedakan atas kelompok umur.

TINJAUAN PUSTAKA

Asma
Asma merupakan reaksi inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
hipersensitivitas dalam bentuk cepat yang berpengaruh terhadap tiga perubahan
klinis dan patologis berupa obstruksi saluran pernafasan, inflamasi bronkhus
kronis dengan kehadiran eosinofil dan hipertrofi otot halus bronchial yang
menyebabkan

hiperreaktivitas,

dan

terjadinya

bronkhokonstriksi

penyempitan saluran pernafasan (Abbas et al. 2003).

atau

Penderita asma dapat

dikategorikan kedalam tiga tipe, yaitu;
1

Extrinsic asma, yaitu penderita mengalami asma yang berhubungan
dengan faktor atopi, seperti predisposisi genetik atau penyimpangan
jumlah sintesis IgE pada pemaparan alergen dari luar

2

Nonatopic intrinsic asthmatics.

3

Occupational asthmatics, yaitu pemaparan oleh suatu protein spesifik atau
molekul kecil dari suatu bahan kimia berbahaya (Roitt 1997).

Gambar 1

Skema bronkhokonstriksi pada penderita asma (Anonimous 2008a)

Penderita asma biasanya memiliki gejala episodik berulang berupa mengi
atau bengek, batuk, sesak napas, dan rasa berat di dada terutama pada malam atau
dini hari. Hal ini disebabkan karena terjadinya penyempitan saluran pernafasan

akibat hipertrofi dari dinding saluran pernafasan seperti yang telihat pada gambar
1.
Asma dapat diderita baik oleh orang dewasa maupun pada anak-anak.
Prevalensi kejadiannya pun berbeda pada orang dewasa dan anak-anak. Dalam 30
tahun terakhir terjadi peningkatan prevalensi asma terutama di negara-negara
maju. Goldsby et al. (2000) menyebutkan asma diderita oleh sekitar 5% orang
dewasa.

Perbandingan kejadian asma diperkirakan sama pada daerah

industrialisasi lainnya diseluruh dunia, akan tetapi kemunkinan kejadian yang
lebih rendah dapat terjadi pada negara berkembang (Abbas et al. 2003). Di
Indonesia, penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan
metoda ISAAC (International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun
1995 menunjukkan, prevalensi asma masih 2.1%, yang meningkat tahun 2003
menjadi 5.2% (ISAAC 2000 dalam Habiby 2005). Di Indonesia sendiri, menurut
Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1996, penyakit-penyakit yang dapat
menyebabkan sesak napas seperti bronkhitis, emfisema, dan asma merupakan
penyebab kematian ketujuh di Indonesia (Judarwanto 2008).
Di Amerika Serikat, asma menyerang lebih dari sepuluh juta warga dan
frekuensinya terus meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun (Abbas et
al. 2003). Di negara yang sama menurut Yawn et al. (2006) pada anak-anak asma
diderita oleh lebih dari 4.8 juta anak dengan tingkat kejadian dan kematian yang
cukup tinggi.

Selain itu penelitian terbaru menyebutkan bahwa di Amerika

Serikat, asma diderita oleh 9 juta anak dibawah umur 18 tahun (Selgrade et al.
2008).

Pada anak-anak asma merupakan masalah kesehatan yang serius dan

beresiko menimbulkan penderitaan (Anonimous 2008a) serta berpotensi
mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak (Judarwanto 2006).
Setidaknya sekali, 60% anak-anak dibawah umur 3 tahun pernah mengalami
penyempitan pernafasan yang ditandai dengan bunyi mengi yang merupakan salah
satu tanda dari kejadian asma (de Bilderling et al. 2008). Angka kematian pada
anak-anak penderita asma lebih tinggi dibandingkan dengan penderita asma
dewasa (Goldsby et al. 2000).

Selain itu, pada anak-anak, asma yang tidak

ditangani dengan baik dapat mengganggu kualitas hidup anak berupa hambatan
aktivitas (Judarwanto 2006) dan asma yang sering kambuh, dapat menyebabkan

turunnya prestasi belajar yang merupakan dasar dari terjadinya lost generation
(Depkes RI 2008). Untuk itu, diperlukan pengetahuan yang cukup tentang faktor
pemicu kejadian asma, mekanisme serta patogenesa pada asma agar dapat
diberikan pengobatan yang tepat bagi penderitanya.

Faktor pemicu kejadian asma
Secara umum faktor pencetus asma dapat dibagi kedalam dua kelompok
faktor yaitu faktor endogen dan faktor eksogen. Faktor endogen meliputi aspek
genetik, kemungkinan alergi, saluran pernapasan yang mudah terangsang, jenis
kelamin, usia dan ras.

Faktor eksogen meliputi bahan dalam ruangan (debu

rumah), bahan luar ruangan (alergen), makanan tertentu (bahan pengawet), obatobatan tertentu, iritan (bau-bauan merangsang), ekspresi emosi yang berlebihan,
asap rokok, polusi udara, infeksi saluran napas dan perubahan cuaca (Yayasan
Asma Indonesia 2004). Berkaitan dengan aspek genetik atau keturunan, asma
dapat diturunkan pada anak, dari salah satu atau kedua orang tua, atau dari kakek
dan nenek anak yang menderita asma (Judarwanto 2006).
Beberapa jenis makanan juga dapat menyebabkan alergi dan memicu
kejadian asma pada manusia, diantaranya susu sapi, ikan laut, buah-buahan dan
kacang-kacangan. Polusi lingkungan berupa peningkatan penetrasi ozon, sulfur
dioksida (SO2), nitrogen oksida (NOX), partikel buangan diesel, partikel asal
polusi (PM10) yang dihasilkan oleh industri dan kendaraan bermotor menjadi
salah satu penyebab asma. Selain itu, makanan produk industri dengan pewarna
buatan (misalnya tartazine), pengawet (metabisulfit), dan vetsin (monosodium
glutamat-MSG) juga dapat memicu asma (Judarwanto 2006).

Alergen yang

berikatan dengan IgE pada saluran pernafasan, mukosa hidung dan jaringan
konjunktiva melepaskan mediator anafilaksis dan menimbulkan manifestasi klinis
berupa asma atau allergi rhinitis dan conjunctivitis (hay fever) (Roitt 1997).

Mekanisme dan Patogenesa Asma
Coombs dan Gell membagi hipersensitifitas kedalam empat tipe (tabel 1).
Tipe I, II, dan III diperantarai oleh reaksi antigen dengan antibodi humoral.
Biasanya disebut sebagai tipe reaksi cepat. Tipe IV melibatkan sel – T dan

berlangsung dalam jangka waktu yang lebih lama sehingga disebut sebagai tipe
reaksi lambat (delayed type hypersensitivity)
Tabel 1 Klasifikasi reaksi hipersensitifitas menurut Gell dan Coombs (Gherardi
2006)
Tipe

Mekanisme

I

IgE

II

Cytotoxic Ab

III

Immune complexes

IV

Cell-mediated

Contoh

Anafilaksis, asma, hay fever, eczema,
alergi makanan
haemolytic transfusion reactions (HTR)
disebabkan oleh ABO incompatibility,
haemolytic disease of the newborn
(HDN) disebabkan oleh Rh
incompatibility
Arthus phenomenon, serum sickness,
rheumatoid arthritis
Koch's phenomenon, contact dermatitis

Reaksi hipersensitifitas tipe I dikenal juga dengan reaksi anafilaksis (Roit
1997). Asma digolongkan sebagai reaksi anafilaksis karena patogenesanya yang
berjalan dengan cepat (dalam hitungan menit).

Anafilaksis adalah reaksi

hipersensitifitas sistemik yang berlangsung cepat dicirikan dengan edema dan
penurunan tekanan darah akibat vasodilatasi pembuluh darah. Penurunan tekanan
darah dan penggenangan cairan plasma akan menyebabkan pelepasan mediator
yang akan berujung pada peristiwa shock yang disebut shock anafilaktik yang
berakibat fatal (Abbas et al. 2003). Anafilaksis diperantarai oleh reaksi antara
alergen dengan IgE yang berikatan kuat dengan permukaan sel mast (gambar 2).
Imunoglobulin E (IgE) merupakan antibodi yang terlibat dalam tanggap kebal
alergi cepat seperti asma. Antibodi ini bergabung dengan cara melekat pada
permukaan sel mast yang terdapat di pembuluh darah. Sel mast ini mengandung
granul-granul yang terdiri dari histamin yang akan dibebaskan dengan cepat
apabila partikel-partikel seperti debu atau bulu hewan bergabung dengan molekul
IgE yang melekat pada permukaan sel mast.

Pelepasan histamin ini akan

menyebabkan gejala-gejala yang dikaitkan dengan alergi (Roit 1997).

Degranulasi sel mast merupakan komponen utama dari semua reaksi
alergi. Manifestasi klinis dan patologis tergantung kepada jaringan karena sel
mast berperan sebagai mediator dan memiliki efek inflamasi pada jaringan
tersebut (Abbas et al. 2003). Sel mast dibentuk di tulang sumsum pada proses
hematopoiesis dan dilepaskan ke darah tanpa diferensiasi terlebih dahulu, ketika
memasuki jaringan barulah sel menjadi sel mast. Sel mast dapat ditemukan di
berbagai jenis jaringan, termasuk jaringan ikat (connective tissue) dari beberapa
organ dan mukosa epitel jaringan pernapasan, genitourinary, dan saluran
pencernaan.

Seperti juga basofil, sel mast juga memiliki jumlah granul

sitoplasmik yang besar dan mengandung histamin serta substansi farmakologi
aktif lainnya, oleh karena itu sel mast berperan besar pada kejadian alergi (Kind et
al. 2007)

Gambar 2

Mekanisme yang terjadi pada reaksi hipersensitifitas tipe 1 (Gherardi
2006)

Beberapa perubahan pada pembuluh darah terjadi pada komplemen
anafilaksis (C3a dan C5a) yang menginduksi degranulasi sel mast pada jaringan
dan pelepasan histamin.

Prostaglandin turut berperan pada vasodilatasi dan

peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang berasosiasi dengan respon
inflamasi akut (Kind et al. 2007). Pada gambar 1 dapat dilihat akibat dari proses

inflamasi ini adalah terjadinya bronkhokonstriksi dan obstruksi saluran pernafasan
yang dapat mengakibatkan penderita sulit bernafas sehingga menyebabkan
serangan asma (Goldsby et al. 2000).

Satwa primata sebagai hewan model penyakit asma
Satwa primata digunakan sebagai model penyakit asma dan hiperresponsif
saluran pernafasan berdasarkan dua paradigma, yaitu identifikasi melalui
pemaparan sensitifitas alergi alami hewan dan induksi sensitifitas melalui
pemaparan sistemik (systemic exposure). Lebih dari 25 tahun yang lalu, Petterson
et al telah melakukan studi menggunakan monyet rhesus (Macaca mulatta) yang
secara alamiah sensitif terhadap pemaparan antigen Ascaris suum. Pada tahun
1983, Rhicard et al juga mendemonstrasikan kemungkinan terjadinya reaksi
sensitifitas pada hewan yang tidak sensitif terhadap telur (ova) Ascaris suum.
Pada kedua penelitian ini diperoleh respon yang sama, yaitu timbulnya gejala
asma pada hewan yang dicoba.

Sehingga cara ini telah terbukti efektif dan

digunakan oleh industri farmasi untuk menemukan obat asma, meskipun secara
alamiah alergen ini tidak memiliki korelasi dengan asma pada manusia. Pada
1997, Masayaki Yasue mengujikan secara berkala alergen dust mite (tungau debu)
dengan injeksi subkutan pada monyet rhesus dan menunjukkan peningkatan
jumlah serum dari allergen-specific immunoglobulins, dan induksi secara
kutaneous dan konjunctival juga menunjukkan reaksi alergi akan tetapi tidak
secara aerosol (Van scott et al. 2003). Selain itu penelitian tentang asma juga
pernah dilakukan dengan metode uji sensitifitas menggunakan Ascaris suum pada
usus halus untuk mempelajari respon asma yang ditimbulkan pada saluran
pernapasan dengan monyet rhesus sebagai hewan modelnya.

Respon yang

dihasilkan berupa reaksi asma yang terjadi secara cepat dan lambat yang diikuti
dengan eosinofilia dan hiperrenposif saluran pernafasan (Coffman dan Hessel
2005).

Menurut Selgrade et al. (2008) alasan satwa primata banyak digunakan pada
penelitian penyakit asma adalah:
1

Morfologi dan komponen selular dari tracheobronchial pada saluran
pernafasan satwa primata lebih mirip dengan saluran pernafasan pada
manusia.

2

Pertumbuhan dan perkembangan saluran tracheobronchial pada periode
postnatal pada satwa primata sama seperti pada manusia.

3

Percobaan yang telah dilakukan pada satwa primata terhadap alergen
intranasal menunjukkan reaksi asma yang serupa pada manusia.
Selain satwa primata, hewan lain yang dijadikan sebagai model penyakit

asma adalah tikus. Dalam beberapa dekade penggunaan tikus sebagai model
penyakit asma meningkat. Akan tetapi ada perbedaan pokok antara penyakit asma
yang secara alami terjadi pada manusia dengan kejadian secara eksperimen pada
tikus. Salah satu penyebabnya adalah perbedaan sistem imunologi pada tikus
yaitu lemahnya respon pengaturan Th2 terhadap beberapa airborne alergen pada
kejadian asma.

Hewan model lain yang pernah digunakan dalam penelitian

penyakit asma adalah anjing dan domba. Anjing dan domba digunakan dalam
mempelajari farmakologi, fisiologi dan penggunaan obat-obatan yang dapat
mengurangi gejala asma. Akan tetapi satwa primatalah yang paling sesuai untuk
mempelajari pengaturan imunitas pada kejadian asma dan sebagai tolak ukur pada
terapi imunomodulator. Ada dua alasan mendasar yang menjadi alasan pada
pernyataan ini. Pertama, komponen untuk menganalisa respon imun pada primata
jauh lebih lengkap dibandingkan pada anjing dan domba. Kedua, therapeutics
agen, terutama antibodi, cytokine dan asam nukleat yang dimiliki oleh manusia
dan pada primata bersifat lebih aktif dibandingkan dengan hewan model lain yang
secara genetik jauh berbeda dari manusia (Coffman dan Hessel 2005).

Macaca fascicularis
Macaca fascicularis merupakan hewan yang berasal dari Asia tenggara.
M. fascicularis termasuk Old World Monkey dikenal juga dengan sebutan
Cynomolgus Monkey atau Long-tailed Macaque (monyet ekor panjang). Menurut
Cawthon tahun 2006 M. fascicularis termasuk kedalam kingdom animalia, filum

chordata, kelas mamalia, ordo primata, suborder haplorrhini, infraorder
simiiformes, superfamily cercopithecoidea, famili cercopithecidae, subfamily
cercopithecinae, genus Macaca, species M. fascicularis dan terdapat beberapa
subspecies seperti M. f. atriceps, M. f. aurea, M. f. condorensis, M. f. fascicularis,
M. f. fusca, M. f. karimondjawae, M. f. lasiae, M. f. philippinensis, M. f. tua, M. f.
Umbrosa.
Status konservasi yang dikeluarkan oleh Convention on International
Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) menunjukkan M.
fascicularis termasuk kedalam spesies yang digolongkan dalam kelompok
Appendix 2, yaitu jenis yang akan terancam keberadaannya bila perdagangannya
tidak dibatasi dan dipantau (Bennet et al. 1995).

Terdapat tiga macam

Appendencies yang dikeluarkan oleh Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), yaitu Appendix 1, 2 dan
3. Spesies yang terdaftar pada Appendix 1 yaitu spesies yang paling terancam
keselamatannya dialam, Appendix 2 yaitu spesies yang akan terancam
keberadaannya bila perdagangannya tidak dibatasi dan dipantau, sedangkan
Appendix 3 yaitu spesies yang diperdagangkan oleh suatu negara dan melalui
suatu peraturan yang digunakan untuk mencegah penderitaan dari suatu spesies
atau penggunaan secara ilegal oleh suatu kelompok (CITES 2008).

M.

fascicularis yang digunakan sebagai hewan model penelitian tidak boleh hewan
yang langsung diambil dari alam, akan tetapi keturunan pertamanya yang boleh
digunakan sebagai hewan model suatu penelitian, yang tentunya dengan
memperhatikan konsep 3R (Reduce, Refine dan Replace) serta mengutamakan
kesejahteraan hewan (animal welfare).
M. fascicularis memiliki variasi warna mulai dari coklat keabuan sampai
dengan warna coklat pada seluruh tubuhnya, mulai dari penggung, kaki dan
tangan kecuali pada bagian telapak tangan dan kaki yang berwarna lebih terang
(gambar 3). Bagian wajah berwarna merah muda-coklat dan bulu yang memiliki
alur kebelakang menuju dahi, biasanya juga terdapat rambut pada bagian atas
kepala. (Rowe 1996; Groves 2001 dalam Cawthon 2006). Hewan ini merupakan
jenis hewan omnivora dengan makanan yang bervariasi (Ankel dan Simons 2000).

Beberapa karakteristik yang mencirikan primata antara lain orbit (mata)
yang dikelilingi oleh tulang; gigi terdiri dari 3 jenis pada minimal satu masa
selama hidupnya, otak yang posterior, minimal satu pasang digit yang dapat
digerakkan kedua arah (opposable thumb), testikel terletak pada skrotum, serta
memiliki dua mamari (kelenjar susu) yang berterletak

pada area pectoral.

Sedangkan Old world monkey dicirikan antara lain oleh cheek pouch, nostril
hidung yang mengarah ke depan dan dibatasi septum yang tipis, jumlah total gigi
32 (2 insisor, 1 taring, 2 premolar dan 3 molar, pada masing-masing atas/ bawah,
serta kedua sisi) (Bennet et al. 1995). Selain itu beberapa data biologis dari M.
fascisularis berupa umur dewasa kelamin, berat badan hewan dewasa, panjang
tubuh, panjang ekor dan lama hidup dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2 Data biologis M. fascicularis
Panjang tubuh

40-47 cm

Panjang ekor

50-60cm

Lama hidup

15-25 tahun

Umur dewasa kelamin

Jantan 4-5 tahun, Betina 3-5 tahun

Berat badan dewasa

Jantan 3.5-8.3 kg, Betina 2.5-5.7 kg

Temperatur rectal

37-40°C

Denyut jantung

240 beat/ menit

(Lapin et al. 1972 dalam Poole 1989)
M. fascicularis telah digunakan secara luas sebagai model penelitian
ilmiah. Dengan berbagai macam ekologi, M. fascicularis ditemukan di berbagai
macam habitat. Yang paling banyak dijumpai adalah di hutan hujan di dataran
rendah, sungai dan pesisir hutan, serta di daerah mangrove (hutan bakau). Seperti
terlihat pada gambar 4, M. fascicularis dapat ditemukan di wilayah Filipina,
Malaysia, Burma, India (Nicobar Islands), Vietnam, Kamboja, Laos dan
Thailand. Di Indonesia, M. fascicularis tersebar di Sumatra, Jawa, Timor dan
Kalimantan (Cawthon 2006).

Gambar 3 Macaca fascicularis (Cawthon 2006 ; Haney 2005)

M. fascicularis asal Indonesia, Filipina, Vietnam dan Mauritius adalah
yang paling banyak digunakan di berbagai institusi yang melakukan penelitian
biomedis dan industri farmasi, terutama di luar negeri seperti Amerika Serikat dan
negara-negara Eropa. Penelitian telah menunjukkan sensitifitas terhadap induksi
penyakit dari hewan yang berasal dari wilayah geografis yang berbeda adalah
berbeda pula. Hal ini diyakini karena adanya perbedaan faktor genetik yang
mengarah pada perbedaan sub-spesies.

Gambar 4 Daerah sebaran Macaca fascicularis (Cawthon 2006)

Pertumbuhan gigi pada Macaca fascicularis
Penentuan umur pada M. fascicularis dapat dilihat dari pertumbuhan gigi.
Pertumbuhan gigi pada primata dapat disamakan dengan pertumbuhan gigi pada
mamalia. Mamalia digolongkan sebagai heterodont, yaitu memiliki jenis gigi
yang berbeda-beda. Gigi pada mamalia dibagi dalam empat jenis dengan fungsi
yang berbeda satu sama lain, yaitu:
1. Gigi seri (incisors) : berfungsi untuk memotong makanan
2. Gigi taring (canines) : berfungsi untuk mencabik atau merobek
makanan
3. Gigi premolar : berfungsi untuk mengunyah
4. Gigi graham (molar) : berfungsi untuk mengunyah
Gigi seri dan gigi taring dikenal sebagai gigi bagian depan (anterior teeth),
sedangkan premolar dan molar sebagai gigi bagian belakang (posterior teeth).
Formula gigi tetap pada mamalia adalah I3-C1-P4-M3/ I3-C1-P4-M3 x 2 = 44
(Swindler 2001).
Primata memiliki dua set gigi, yaitu gigi susu (deciduous) dan gigi tetap.
Formula gigi susu dan gigi tetap pada primata dapat dituliskan sebagai berikut:
di2-dc1-dp2 / di2-dc1-dp2 x 2 = 20
I2-C1-P2-M3/ I2-C1-P2-M3 x 2 = 32 (Swindler 2001)

Gambar 5 Susunan gigi tetap (A) dan gigi susu (B) pada Macaca fascicularis
(Bennet et al. 1995)

Seluruh primata memiliki jumlah gigi yang lebih sedikit bila dibandingkan
dengan mamalia pada umumnya. Hal ini dapat membingungkan pada penentuan
premolar (P) yang tidak terlihat dengan pasti yang menandakan bahwa pada
primata hanya terdapat 2 premolar yaitu P3 dan P4, sedangkan P1 dan P2 telah
hilang (Mayhall 2000 dalam Anonimous 2008c).
Seperti terlihat pada gambar 5, pada gambar A terlihat susunan gigi tetap
dan gambar B merupakan susunan gigi susu pada primata. Pada gigi tetap terlihat
telah terjadinya pertumbuhan dari Molar 1 (M1), Molar 2 (M2) dan Molar 3 (M3).
Sedangkan pada gigi susu hanya terlihat pertumbuhan dari Molar 1 (M1).

Ascaris suum sebagai bahan paparan asma
Cacing merupakan penyebab infeksi yang berpotensi sebagai aktivator
Th2. Karakteristik utamanya adalah peningkatan jumlah sel mast, eosinofil dan
sel goblet yang merupakan sekresi dari Th2 dan IgE (McConchie et al. 2006).
Nematoda Ascaris merupakan parasit cacing yang berada pada saluran pencernaan
(intestin) dari berbagai hewan diseluruh dunia, terutama herbivora (gambar 7).
Ascaris memiliki ukuran tubuh yang besar dengan karakteristik mulut dikelilingi
oleh tiga buah bibir. Ascaris lumbricoides merupakan parasit yang paling dikenal
pada manusia.

Hampir sama dengan Ascaris lumbricoides, Ascaris suum

merupakan parasit cacing yang ditemukan pada babi. Menurut Juniper (1978) A.
lumbricoides dapat menginfeksi beruang dan primata (Stuart et al. 1990), dan
secara eksperimental A. suum dapat menginfeksi sapi dan domba (Loreille et al.
2003). Pada babi yang terinfeksi A. suum akan ditemukan telur cacing pada
fesesnya. Telur A. suum memiliki perbedaan dari jenis telur cacing lainnya, yaitu
memiliki lapisan tebal yang menyelubungi permukaan telur. Telur cacing A.
suum ini tidak menetas dilingkungan luar, namun akan menjadi telur berembrio
pada lingkungan yang cukup oksigen dan kemudian memasuki tahapan
selanjutnya yaitu stadium infektif. Penetasan telur hanya akan terjadi apabila telur
termakan oleh hewan lain (Smyth 1976) yang bermigrasi ke beberapa organ pada
tubuh inangnya seperti terlihat pada gambar 6.
Ascaris suum sebagai bahan paparan pada satwa primata telah digunakan
pada beberapa penelitian dan menunjukkan beberapa karakteristik asma pada

manusia, seperti bronkhokonstristik akut, inflamasi pulmonary dengan infiltrasi
eosinophil, dan hiperresponsif saluran pernafasan. Yang terbaru diketahui bahwa
pada model ini beberapa didapatkan senyawa antihistamin dan antialergi sesuai
dengan yang didapatkan pada manusia (Black et al. 2000)

Gambar 6

Diagram siklus hidup Ascaris suum pada babi (Jungersen 1998 dalam
Loreille et al. 2003)

Keterangan ; 1: telur infektif termakan; 2: larva bermigrasi ke paru-paru; 3: larva
menuju usus halus dan menetap selama 6-8 minggu; 4: penetrasi larva ke dinding
usus besar dan migrasi melalui hati ke paru-paru; 5: telur tak berembrio
ditemukan dalam feses; 6: telur infektif dengan larva L2

Gambar 7 Nematoda Ascaris suum dewasa (NEMBASE 2008)

Mekanisme uji kulit
Penyakit asma dapat dideteksi dengan cara uji kulit (skin test). Sejumlah
kecil alergen disuntikkan pada suatu individu, baik melalui injeksi intradermal
maupun secara superfisial. Injeksi dapat dilakukan di lengan atas, punggung
maupun perut. Jika individu tersebut alergi terhadap alergen, sel mast lokal akan
mengalami degranulasi sehingga melepaskan histamin dan mediator peradangan
lain sehingga menyebabkan kulit menjadi merah dan terbatas selama 30 menit.
Keuntungan dari uji kulit pada penyakit asma ini adalah peralatan yang relatif
tidak mahal dan dapat diaplikasikan pada banyak individu dalam waktu singkat
(Goldsby et al. 2000).
Dasar uji yang terjadi pada skin test dengan Ascaris suum adalah
terjadinya reaksi imunologi hipersensitifitas tipe 1 atau dikenal juga dengan
anaphylactic hypersensitivity (anafilaksis). Pada reaksi anafilaksis terjadi reaksi
antara alergen dengan IgE yang berikatan kuat dengan permukaan sel mast.
Pertukaran antara IgE dengan sel B diatur oleh interleukin-4 (IL-4) yang bereaksi
apabila terdapat rangsangan berupa sinyal dari sel T (Roitt 1997). Sel mast
melepaskan mediator dan memiliki efek inflamasi pada jaringan tersebut (Abbas
et al. 2003). Histamin merupakan mediator pada proses inflamasi ini. (Goldsby et
al. 2000). Kejadian inflamasi ditandai dengan gejala panca radang yaitu bengkak
(tumor), merah (rubor), panas (kalor), nyeri (dolor) dan perubahan fungsi pada
daerah yang mengalami inflamasi. Beberapa saat setelah suatu jaringan terpapar,
terjadi peningkatan diameter pembuluh darah (vasodilatasi), menyebabkan
peningkatan volume darah pada area dan berkurangnya aliran darah pada
sirkulasi.

Peningkatan volume darah pada jaringan mengakibatkan jaringan

menjadi panas dan kemerahan. Selain itu peningkatan permeabilitas pembuluh
darah juga menyebabkan kebocoran cairan dari pembuluh darah, dan sebagian
dari postcapillary venules. Akibatnya adalah terjadi penimbunan cairan (edema)
pada jaringan dan beberapa contoh, pada pengeluaran leukosit, mengakibatkan
pembengkakan dan kemerahan pada area (Kind et al. 2007).

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan di fasilitas hewan Pusat Studi Satwa Primata
(PSSP), Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) - Institut
Pertanian Bogor (IPB) di Bogor. Penelitian ini dilakukan dari bulan Juli 2007
sampai dengan Januari 2008.

Hewan
Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Macaca fascicularis
(monyet ekor panjang) Indonesia yang ditangkarkan khusus dan sudah
dikondisikan sehingga siap digunakan untuk tujuan penelitian/pengujian (sebagai
hewan laboratorium). Hewan ini berasal dari penangkaran PSSP-IPB. Hewan
yang digunakan dibagi atas dua kelompok umur yaitu anakan dan dewasa.
Hewan yang digunakan telah dipelihara dan dikondisikan sebagai hewan
laboratorium.

Pakan komersial khusus untuk hewan primata laboratorium

(Monkey Chow, Charoen Phokphan, Thailand) diberikan 2 kali sehari sesuai
dengan jumlah yang direkomendasikan berdasarkan umur dan berat hewan.
Pakan tambahan berupa buah (pisang, jambu batu, dan buah musiman lainnya)
diberikan secara berkala minimal 2 kali seminggu. Hewan dikandangkan di luar
ruangan secara berkelompok, sehingga masih dapat mengekspresikan tingkah laku
sosial alaminya (grooming, dan lain-lain).

Kandang berlantai keramik dan

berdinding kawat stainless steel pada 4 sisi dan atasnya. Pada bagian atas juga
terdapat pelidung tertutup secara penuh, namun sinar matahari dapat menembus
sekitar 30% atap. Siklus cahaya 12: 12 jam terang dan gelap diperoleh dari
cahaya alami. Karena hewan berasal Indonesia, maka sistem pengandangan luar
ruangan (outdoor) sesuai dengan kondisi di habitat aslinya, maka suhu dan
kelembababan udara tidak dikontrol.

Selain aspek pemeliharaan (pakan dan

pengandangan), aspek kesehatan yang berupa program pemeliharaan kesehatan
hewan (Veterinary Care) dan program penapisan dan pencegahan penyakit secara
berkala (Health Surveillance) juga diberlakukan. Hewan yang digunakan dalam
penelitian ini minimal bebas tuberculosis (berdasarkan uji tuberculin). Semua

aspek pemeliharaan, kesehatan dan kegiatan penelitian dilakukan sesuai Standard
Operating Prosedur (SOP) PSSP-IPB, dan mengikuti Guide for the Care and Use
of Laboratory Animals (NRC 1996).

Alat dan Bahan
Pada penelitian ini semua penyediaan bahan dan alat disediakan oleh Pusat
Studi Satwa Primata IPB. Bahan yang digunakan terdiri dari bahan alergen dan
obat bius. Alergen yang digunakan merupakan sediaan komersial ekstrak Ascaris
suum dari Greer Laboratories Inc., Lenoir, N.C, Lot # XPB33-X7-1231.50. PBS
untuk kontrol dan pengenceran, pewarna makanan, tabung darah steril (tanpa anti
koagulan, 4-9 ml), termos dan pak es. Untuk obat bius digunakan Ketamine HCl
dengan dosis 10-15 mg/kg berat badan.
Alat pencukur yang digunakan adalah alat pencukur dengan baterai.
Selain itu untuk perlakuan injeksi dibutuhkan kapas beralkohol dan syringe
insulin 1 ml dengan ukuran jarum 26 gauge (Gambar 9). Dokumentasi dilakukan
dengan kamera digital. Caliper (Gambar 8) digunakan sebagai alat pengukur
besarnya lingkaran akibat reaksi injeksi dan pencatatan dilakukan dengan alat tulis
(pena dan kertas terformat), timer digunakan sebagai pengukur waktu.

Gambar 8 Calliper

Gambar 9 syringe insulin

Gambar 10 Protective Personal Equipment

Seluruh peneliti menggunakan Protective Personal Equipment (PPE) yang
terdiri dari scrub, pakaian kandang, sepatu boot, masker wajah, sarung tangan,
tutup kepala dan kaca mata (Gambar 10)

Metoda Penelitian
Design dan penyiap