Andai SBY Ketum Demokrat

Andai SBY Ketum Demokrat
Iding R. Hasan*
(Suara Pembaruan, Rabu 27 Maret 2013)

Ada perkembangan yang cukup menarik dari rencana perhelatan Kongres Luar
Biasa (KLB) Partai Demokrat pada 30-31 Maret 2013 yang akan datang. Menurut Wakil
Ketua Umum Demokrat, Jhonny Allen Marbun, mayoritas pengurus Dewan Pimpinan
Daerah (DPD) dan hamper semua pengurus Dewan Pimpinan Cabang (DPC) telah
mengajukan usulan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi Ketua
Umum Demokrat.
Usulan tersebut tampaknya cukup mengejutkan karena selama ini sudah banyak
beredar beberapa nama yang akan maju sebagai calon ketua umum yang telah
ditinggalkan Anas Urbaningrum, baik dari kalangan internal maupun eksternal partai,
Dari kalangan internal terdapat nama-nama seperti Marzuki Alie, Saan Mustopa, Hadi
Utomom, Edhie Baskoro (Ibas) bahkan istri SBY, Ani Yudhoyono. Sementara dari
eksternal mencuat sejumlah nama seperti Pramono Edhie Wibowo, Kasad yang akan
segera memasuki masa pensiun, Menko Polhukam Joko Suyanto, dan Menteri

Perindustrian Gita Wiryawan, bahkan nama mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK)
Mahfudz MD juga sempat disebut-sebut.


Mengapa SBY?
Mengapa menjelang pelaksanaan KLB tiba-tiba SBY diusulkan menjadi ketum?
Bukankah dia sudah menjabat sebagai Ketua Majelis Tinggi, Ketua Dewan Pembina dan
Ketua Majelis Kehormatan Partai Demokrat? Apakah usulan ini benar-benar merupakan
usulan yang tulus dan serius dari para kader di daerah ataukah lebih merupakan setingan
dari kalangan elite tertentu?
Pertanyaan tersebut menjadi penting karena pemunculan nama SBY sebagai calon
ketua umum begitu tiba-tiba dan setelah banyak elite partai yang siap dicalonkan.
Menurut hemat penulis, apabila SBY benar-benar bersedia didaulat menjadi ketum, maka
pertimbangannya kira-kira sebagai berikut.
Pertama, konflik internal yang ada di tubuh partai berlambang mercy tersebut
sebenarnya masih ada meskipun selalu ditutup-tutupi oleh para elite Demokrat. Selepas
ditinggalkan Anas Urbaningrum pasca ditetapkannya sebagai tersangka oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus penerimaan gratifikasi pada pembangunan
sarana olahraga di Hambalang, partai ini menyisakan banyak persoalan internal termasuk
konflik antar elite (faksionalisme).
Pendukung Anas Urbaningrum yang selama masa kepemimpinannya rajin turun
ke bawah diyakini masih cukup kuat terutama di kalangan DPC dan DPD. Demikian pula
pendukung Marzuki Alie yang pada Kongres Bandung 2010 merupakan pesaing Anas
juga cukup banyak, karena hanya kalah tipis. Barangkali hanya pendukung Andi


Mallarangeng, elite Demokrat yang telah lebih dulu jadi tersangka oleh KPK, yang tidak
dianggap persoalan karena jelas merupakan pendukung Cikeas.
Dalam peta kekuatan seperti ini, tentu cukup riskan kalau pada saat KLB nanti
calon-calon yang muncul adalah elite-elite yang merepresentasikan faksionalisme
tersebut seperti Marzuki Alie atau Saan Mustopa. Bisa-bisa kasus seperti Kongres
Bandung akan terulang kembali. Sekarang pun situasi panas akibat rivalitas antar calon
sudah terasakan. Dalam konteks seperti ini SBY memang dibutuhkan sebagai tokoh yang
mampu mempersatukan semua faksi tersebut. Tampaknya tidak ada elite lain di
Demokrat yang dapat memainkan peran pemersatu selain SBY sendiri.
Kedua, waktu yang tersisa untuk menghadapi Pemilu 2014 kurang lebih tinggal
satu setengah tahun. Tentu saja waktu tersebut terlalu singkat bagi pengurus baru DPP
untuk melakukan konsolidasi, sosialiasi dan program pemenangan pemilu. Kalau ketua
umum terpilih pada KLB dari salah satu faksi, misalnya, bukan tidak mungkin akan
meninggalkan residu konflik yang dapat mengganggu persiapan program-program
pemenangan pemilu tersebut. Maka, kehadiran SBY sebagai ketum jelas akan
mengeliminasi residu tersebut karena praktis tidak ada yang menolaknya, sehingga semua
pengurus bisa segera fokus pada tugas.
Ketiga, jika benar-benar SBY yang terpilih menjadi ketum partai segi tiga biru ini
pada KLB nanti, maka hal tersebut juga bisa dibaca sebagai bukti bahwa kekuatan SBY

masih sangat kuat dan tidak tertandingi oleh semua elite Demokrat lainnya. Jika Anas
selama ini diduga didukung mayoritas DPC dan DPD, maka hal tersebut bisa
terbantahkan. Apalagi jika SBY dipilih secara bulat (aklamasi) atau musyawarah mufakat
seperti yang disuarakan para elite Demokrat pendukung Cikeas.

Persepsi Negatif
Namun demikian, usulan agar SBY menjadi Ketua Umum Demokrat pada sisi
lain juga bisa menimbulkan persepsi negatif di mata publik. Ada beberapa hal yang dapat
dijadikan pertimbangan. Pertama, posisi ketua umum partai bagi SBY sebenarnya dapat
mengerdilkan perannya. Bagaimanapun saat SBY menjadi ketum, berarti dia telah masuk
ke dalam pusaran konflik elite partai. Padahal selama ini keberadaan SBY melampaui
semua elite partai penguasa (the ruling party) tersebut termasuk ketua umum, sehingga
dia bisa menyelesaikan semua persoalan internal, termasuk menyangkut konflik
faksional.
SBY sebenarnya tipikal pemimpin politik yang lebih menyukai peran-peran
simbolik ketimbang berperan secara langsung. Dengan posisinya tersebut dia bisa
menjadi tokoh penyelamat atau pemersatu ketika terjadi kekisruhan internal partainya
tanpa menjadi bagian dari pihak yang berkonflik. Hal ini terlihat dalam kasus-kasus
kekisruhan yang selama ini mendera Demokrat. Beberapa kali SBY diminta para elite
Demokrat untuk “turun gunung” menyelamatkan partai. Tentu saja hal tersebut akan lebih

sulit dilakukan jika SBY beralih peran menjadi ketua umum.
Kedua, SBY akan semakin disibukkan oleh urusan-urusan partai yang boleh jadi
menyita banyak perhatiannya, sehingga waktu untuk urusan negara akan terkurangi.
Betul bahwa SBY akan lebih memainkan peran administratif seperti penandatangan
daftar calon sementara (DCS) anggota legislatif dari Demokrat, sebagaimana ditegaskan
salah seorang elite Demokrat, namun dalam praktiknya tugas ketua umum jelas bukan

hanya seperti itu. Pasti aka nada banyak pekerjaan partai yang mau tidak mau harus dia
tangani sebagai ketua umum.
Ketiga, bukan tidak mungkin pula akan timbul persepsi negatif di kalangan publik
bahwa SBY seolah haus kekuasaan. Semua jabatan penting di Demokrat di atas ketua
umum telah dipimpin oleh SBY, seperti majelis tinggi, majelis kehormatan dan dewan
pembina, dan kini jabatan ketua umum. Dengan demikian, semua posisi kunci partai
sekarang berada di tangan SBY.
Keempat, didaulatnya SBY sebagai ketua umum yang baru dapat juga dibaca
sebagai cermin dari kegagalan kaderisasi di tubuh partai bentukan SBY tersebut. Partai
ini seolah-olah tidak memiliki kader-kader lain yang berkualitas setingkat Anas atau
bahkan yang lebih baik.
Tentu saja semua ini berpulang kepada SBY sendiri, apakah dia benar-benar
bersedia didaulat menjadi Ketua Umum Demokrat dengan segala konsekwensinya

ataukah tetap merasa nyaman dengan posisinya sekarang.

Penulis adalah Deputi Direktur The Political Literacy Institute, Dosen Komunikasi
Politik FISIP UIN Jakarta