Andai Rumkit Sama Dengan Sekolah

Andai Rumkit Sama Dengan Sekolah
Berkaca pada kasus bayi Naila di Kabupaten Pinrang serta banyak kasus yang lainnya di republik
ini, mengenai “kealpaan” rumah sakit dalam memberikan layanan terhadap pasien. Mungkin
tak ada salahnya untuk kembali mengintrospeksi diri (stakeholder) terhadap terus berulangnya
kejadian yang sama. Ironis dan miris jika keadaan ini tak ada solusi yang dapat meyakinkan kita
sebagai user layanan kesehatan seperti rumah sakit bahwa kita tak akan mendapatkan hal yang
sama.
Ada dua mata anggaran dalam struktur APBN dan APBD dari banyak daerah yang berada di atas
mata anggaran lainnya. Pendidikan dan Kesehatan adalah unsur yang paling tinggi
penganggarannya bahkan mayoritas telah mematok kebijakan pendidikan dan kesehatan gratis.
Jika pendidikan terjewantahkan dengan sekolah gratis, dan itu telah dianggap berhasil, mengapa
realisasi kesehatan gratis tidak dicetuskan untuk rumah sakit (rumkit) gratis?
Jika di sekolah, khususnya Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) serta
sebagian Sekolah Menengah Atas (SMA) realisasi gratis telah dilaksanakan hampir sempurna.
Bahkan, SD dan sebagian SMP didorong untuk mendata dan memanggil anak yang putus
sekolah untuk kembali mengenyam pendidikan. Penerimaan siswa tanpa memandang tingkat
ekonomi karena semuanya telah gratis, nanti dalam perjalanan sekolah dapat saja mendapat
bantuan dari orangtua siswa yang mampu serta instansi yang peduli pendidikan. Layanan yang
diberikan sekolah sama sekali tak ada perbedaan dari sisi ekonomi siswa. Layanan lebih
diberikan kepada siswa yang kurang (remedy) dan siswa yang lebih (pengayaan). Intensitas
layanan sekolah yang lebih juga diberikan pada siswa akan menempuh ujian. Hal yang teramat

penting adalah guru. Guru harus professional, baik pada layanan belajar mengajar maupun
kedisiplinan. Jika guru terpaksa tidak hadir di sekolah harus memberikan amanah kepada teman
guru lainnya untuk menggantikannya.
Bagaimana aplikasi nyata dapat dilakukan sehingga rumkit dapat mengadopsi sekolah dalam hal
layanan gratis? Rumkit dalam menerima pasien harus mengutamakan layanan segera tanpa
harus disendat oleh semua persuratan. Semua pasien dipandang sama dalam hal ekonomi, tidak
boleh ada pengecualian terhadap si miskin. Layanan segera semakin diperlukan bagi pasien
yang gawat darurat, baik dokter maupun sarana prasana yang diperlukan. Kehadiran dokter
adalah mutlak sehingga tak ada yang terjadi pasien menunggu mendapat perawatan karena
dokter tidak berada di tempat atau terlambat. Pada saat pasien mendapat layanan kesehatan
semestinya, barulah ada tenaga administrasi yang mendata “profil” pasien sehingga dapat
ditentukan tindakan selanjutnya. Dokter termasuk paramedis lainnya tentu lebih diharapkan
menampilkan performa yang “sejuk” terhadap pasien, karena menyangkut kesembuhan pasien
dari sakitnya. Oleh karena itu, diperlukan kesabaran dalam melayani pasien sehingga pasien
merasa mendapat perhatian yang lebih.

Meski dari fungsi dan kekhasan rumkit dengan sekolah sangat berbeda, namun ada bagianbagian yang dapat dipersamakan. Jika di sekolah ada siswa yang mau dilayani, maka di rumkit
ada pasien yang butuh tindakan. Sekolah punya guru dan staf, rumkit tentu saja dokter dan
paramedic lainnya. Proses pembelajaran jika di sekolah, sedangkan di rumkit adalah tindakan
perawatan. Berhasil tidaknya sekolah sangat ditentukan oleh guru yang mengajar dan mendidik

siswa, sedangkan dokter di rumkit sebagai penentu terhadap baik tidaknya layanan terhadap
masyarakat yang membutuhkan. Hal yang mungkin dapat diidentikkan pula adalah bahwa
sekolah pada hakekatnya menuntun siswa menjadi baik dan pintar sehingga sekolah dikatakan
gagal jika siswa tak mampu merealisasikan itu, sedangkan rumkit sejatinya pasien yang masuk
dalam keadaan sakit, dapat keluar dengan kesembuhan
Jika akan dibandingkan antara rumkit dengan sekolah terhadap urgensitas layanan prima, maka
tentu saja kita akan menunjuk rumkit. Mengapa? Rumkit melayani orang sakit (pasien) yang
butuh pertolongan segera. Bahkan, di antara pasien tersebut ada yang darurat atau gawat
sehingga jika tidak mendapat layanan rumkit segera, maka dapat saja pasien tersebut
kehilangan nyawanya. Rumkit yang modern tak boleh berlindung terhadap kenyataan bahwa,
hidup matinya seseorang ditentukan oleh Tuhan. Jangan sampai kenyataan tersebut membuat
layanan di rumkit seadanya, bahkan sepertinya tak ada keprihatinan sama sekali jika terjadi hal
yang tidak diharap itu . Ingat, orang berobat ke rumkit tentu saja ingin kesembuhan, bukan
malah tambah parah atau malah meninggal.
Semoga kasus bayi Naila beberapa hari yang lalu menjadi pelajaran dan dijadikan sebagai
momen pembenahan terhadap hal-hal yang masih kurang dari layanan kesehatan terutama di
rumkit. Harapannya, tak ada lagi tolak menolak pasien apalagi hanya permasalahan
administrative belaka. Cukup sudah bayi Naila yang terakhir. Wacana rumkit diidentikkan
dengan sekolah dalam hal layanan gratis sebagaimana tulisan ini tentu tak lain tujuannya agar
ke depan “bayi Naila” dan pasien-pasien lainnya akan tersenyum mendapat layanan yang baik

dari rumkit. SEKIAN.