Pengembangan Produk Makanan Ringan Dengan Proses Ekstrusi Dan Penggorengan

PENGEMBANGAN PRODUK MAKANAN RINGAN DENGAN
PROSES EKSTRUSI DAN PENGGORENGAN

PATRICIA RUTHYANTI THOMAS

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

ii

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Pengembangan Produk
Makanan Ringan dengan Proses Ekstrusi dan Penggorengan adalah karya saya
sendiri di bawah bimbingan Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.S., dan Dr. Ir. Slamet
Budijanto M Agr, dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.


Bogor, Juni 2007
Patricia Ruthyanti Thomas
NIM 252040085

iii

ABSTRACT
PATRICIA R THOMAS. Development of Snack with Extrusion and Frying
Process Under supervising of NURI ANDARWULAN and SLAMET BUDIJANTO
A typical Indonesian meal is based on rice cooked alone or prepared with
sambal, a hot chili condiment ; it is served with krupuk (crackers made of flour ,
vegetables and meat , shrimp or spices) .Some local dishes such as Soto and
Oxtail Soup are topped with fried shallot and crackers (something crispy and
crunchy). The purpose of this experiment is to develop crackers which can be
function as snacks alone or as seasoned fried toppings for eating with rice or
other basic meal. In soupy dish, this toppings can turned to a synthetic meat
which has a plastic or elastic and full body mouth feel.
Available equipment in the company which has high technical possibility
to produce this snacks are several extruders in the rice noodle (bihun) line and

snack extruder (third generation snacks or pellets). The best process design is
needed to produce a crispy snacks by using one prototype formula consists of
ground catfish (Clarias batrachus L) meat and tofu (function as protein source),
cassava flour (gaplek).
The best prototype from laboratory scale formulation process has protein
content 14 %, tasty and enough saltiness level and crispy texture. Raw material
cost estimation per kg product dough cost from Rp.5.895,- to Rp.6.765,-. The
combined process of rice noodle extruder with meat processor or meat chopper
extruder, produced the best crispiness product after frying process with
production capacity 500 kg/hour.
The study of comparing the effect of dough temperature prior to extrusion
process and the impact of meat processors or meat chopper extruder (MCE) in
producing a crispy product was made by using the same frying condition 150° C
~ 3 minutes in a continuous noodle fryer. Proof on the crispiest texture is based
on texture analysis on crispiness level. The higher the value of kgf for a product,
the crispier the texture is. Duncan statistical calculation differentiates the process
flow into 7 crispiness groups. The highest value of kgf is 93.2 and the lowest
value is 24.49. Minimum value which considered as crispy is 50-55 kgf. Extrusion
process begins with maximum 30 °C dough through strap extruder (bihun Line)
then followed by MCE produced the crispiest texture. Cool dough (maximum 30

°C) significantly produced crispier texture than hot dough (60-90 °C). Based on
Contrast Orthogonal Test, process followed with MCE and without MCE is
significantly different at significance level 200

> 100

ºC

110 – 180

55 – 145

20 - 65

Suhu Tabung Maksimum
Suhu Produk maksimum
Tekanan Tabung

ºC


149

79

52

kPa

4000-17000

2000-4000

550-6000

Maksimum
Kadar Air Produk

%

5-8


15-30

25-75

Densitas produk

kg/m³

32-160

160-500

320 -800

ªHauck (1993) dan Harper (1979) di dalam Fellows (2000)
*)Gesekan Tinggi
Kecepatan tinggi dan sayap screw dangkal menyebabkan tekan tinggi dan suhu yang
diperlukan untuk membuat makanan ringan yang memuai/mengembang.
**)Gesekan Medium

Untuk Teksturasi Protein Nabati (TVP) dan makanan hewan setengah basah
***)Gesekan Rendah
Sayap screw yang dalam d an kecepatan rendah menghasilkan tekanan rendah untuk
memproduksi pasta, produk daging dan gum.

Karena ekstrusi merupakan kombinasi dari beberapa proses seperti
pengadukan, pemasakan, dan pengulenan secara bersamaan, maka terjadi
beberapa perubahan fisik dan kimia pada bahan pangan seperti hidrasi pati dan
protein, homogenisasi, gelasi, gesekan, pelelehan lemak, denaturasi, atau reorientasi protein, plastifikasi, dan pengembangan dari struktur pangan. Beberapa
jenis makanan ringan bisa dihasilkan melalui beberapa teknologi ekstrusi seperti
makanan ringan direct expanded atau makanan ringan generasi kedua seperti
makanan ekstrudat, makanan ringan generasi ketiga berbentuk pellet kerupuk
mentah, produk ko-ekstrusi, makanan ringan berbasis masa dan crispbread.
Pengukuran mutu akhir ekstrudat adalah kadar air, tingkat pengembangan,
kelarutan, penyerapan, tekstur, warna dan citarasa (Huber, 2001 di dalam Lusas
dan Rooney, 2001). Kadar air menentukan umur simpan dan stabilitas produk.

7

Tingkat pengembangan diukur melalui densitas kamba, bentuk dan ukuran,

sedangkan tekstur diukur secara organoleptik berupa mouth feel dan struktur sel
yang menentukan kerenyahan.

Makanan ringan generasi kedua dan ketiga
Produk makanan ringan generasi kedua disebut juga direct expanded.
Jenis ini biasanya memiliki karakteristik produk dengan densitas kamba yang
rendah dan dilapisi dengan pemberi rasa dalam bentuk campuran dengan
minyak dan garam. Ekstrudat bisa diproses lebih lanjut dengan proses
penggorengan atau proses pemanggangan sebelum dilakukan pelapisan dengan
larutan minyak dan bumbu.
Produk makanan ringan generasi ketiga biasanya menunjuk pada produk
setengah jadi atau pellet kerupuk mentah; diproduksi dengan ekstruder dengan
pemasakan dan hasilnya dikeringkan sampai kadar air yang stabil (9-10%) untuk
menjaga stabilitas selama penyimpanan. Selanjutnya pellet mentah ini akan
dikembangkan melalui media minyak goreng panas maupun media udara panas.
Bahan baku yang dipakai kebanyakan dari pati dan tepung-tepungan. Klasifikasi
proses terbagi menjadi ekstrusi pembentukan dingin atau ekstrusi pemasakan.
Jika menggunakan ekstrusi pembentukan dingin, digunakan tepung kentang atau
pati lain yang sudah tergelatinisasi atau pregelatinisasi agar didapatkan
pengembangan yang optimal setelah pellet digoreng.

Pada ekstrusi pemasakan, bahan baku harus masak sempurna kecuali
dipakai pati yang sudah mengalami pregelatinisasi. Agar adonan masak
sempurna, maka kombinasi suhu, waktu tinggal adonan dalam daerah ekstruder
dan kadar air selama ekstrusi untuk membuat gelatinisasi sempurna harus
optimal. Suhu pada ekstruder tergantung dari bahan baku yang dipakai,
konfigurasi ekstruder dan kondisi proses. Suhu pemasakan harus dibuat di atas
suhu gelatinisasi dari pati yang digunakan (Tabel 2).
Ekstruder pemasakan memiliki 4 daerah dengan fungsi yang berbeda
dalam tabung ulir ekstruder yaitu daerah pengadukan adonan, pemasakan
adonan, daerah pembentukan di mana adonan mulai didinginkan (70-95°C) dan
adonan yang bersifat lentur mulai mengembang, daerah pencetakan dengan

8

lubang cetakan atau outlet die yang memiliki daerah yang cukup terbuka agar
ekspansi tidak terjadi (Gambar 2).
Tabel 2. Kandungan Rata-rata amilosa dan amilopektin dari beberapa Pati
Tipe Pati

Amilosa (%)


Amilopektin (%)

GTR (°C)ª

Tapioka /
Singkong
Gandum

17

83

52-61

25

75

58-63


Beras

19

81

68-78

Beras Ketan

99

68-77

ªGTR = Gelatinization Temperature Rate
Huang dan Rooney di dalam Lusas dan Rooney (2001)

Adonan yang akan dicetak ini memiliki kadar air 20-25%. Adonan yang
sudah tercetak akan dikeringkan pada oven 70-80°C selama 3 jam sampai

menjadi pellet berkadar air 9-10% (Huber 2001 di dalam Lusas dan Rooney,
2001).

Gambar 2. Bagian bagian dalam tabung ekstruder ulir tunggal untuk
produksi makanan ringan generasi ketiga.
Peralatan ekstrusi terdiri dari ulir yang berputar pada tabung silindris yang
berulir. Tabung ini terbuat dari baja keras atau stainless steel yang dimampatkan
agar tahan terhadap gesekan atau shear. Perbandingan panjang dengan
diameter tabung berkisar antara 2:1 dan 25:1 (Hauck, 1933). Gerak ulir

9

disebabkan oleh motor listrik dengan kecepatan putar yang berbeda-beda dan
cukup kuat untuk mendorong bahan pangan terhadap hambatan tekanan yang
terbentuk di dalam tabung. Kecepatan ulir merupakan faktor utama yang
mempengaruhi kinerja ekstruder dalam hal waktu tumpuk bahan pangan di
dalam tabung, jumlah panas yang ditimbulkan oleh gesekan, laju transfer panas,
dan kekuatan gesekan dari produk. Kisaran kecepatan ulir adalah 150-600 rpm
tergantung pada aplikasinya.
Teknologi ekstrusi pada proses produksi bihun
Proses pembuatan bihun berbeda dengan pembuatan mi atau pasta karena
beras yang digunakan harus dijadikan bubur beras lebih dahulu dengan cara
penggilingan basah. Bubur beras disaring dan dibuat adonan kukus sebelum
diekstrusi menjadi untaian halus diameter 1 sampai 1,2 mm. Pengukusan
diperlukan untuk proses gelatinisasi sempurna dari beras. Ada 2 proses ekstrusi
yang terdapat pada rangkaian proses produksi bihun, yaitu 1) ekstruder strap
yang berfungsi untuk mengaduk adonan hasil kukusan dan membentuk menjadi
untaian tambang dengan diameter 100 mm, 2) ekstruder vermicelli yang akan
mengaduk untaian tambang dan membentuk menjadi untaian halus diameter 1
sampai 1,2 mm. Kedua ekstruder merupakan ekstruder tanpa panas dan tidak
berfungsi sebagai ekstruder pemasakan. Spesifikasi kedua jenis ekstruder dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Spesifikasi ekstruder strap dan ekstruder vermicelli pada
rangkaian proses produksi bihun
Ekstruder Strap
7.5 kw 50 Hz
2 buah
Panjang 56 cm
Jumlah putaran 10
Diameter 12.5 cm
Ulir 2
Panjang 26 cm
Jumlah putaran 6
Diameter 9 cm
Bahan Screw Conveyor Besi hitam
Power motor
Jumlah ulir
Ulir 1

Ekstruder Vermicelli
18.5 kw 50 Hz
2 buah
Panjang 90 cm
Jumlah putaran 13
Diameter 14.5 cm
Panjang 90 cm
Jumlah putaran 13
Diameter 14.5 cm
Besi hitam

10

Gelatinisasi dan Retrogradasi Pati
Gelatinisasi adalah kerusakan urutan molekul dalam butiran pati yang 1)
tergantung pada suhu dan kandungan air, 2) bersifat tidak dapat berubah ,3)
berawal dari pembesaran ukuran granulasi pati, 4) menyebabkan kenaikan
kekentalan larutan atau suspensi 5) bervariasi tergantung pada kondisi
pemasakan, 6) bervariasi tergantung kepada tipe butiran dari sumber tanaman.
Kisaran suhu gelatinisasi pati dari umbi-umbian atau akar biasanya lebih rendah
daripada pati serealia (Tabel 2).
Butir pati terdiri dari bagian yang tidak berbentuk atau amorphous dan
bagian yang terlihat seperti kristal. Pati dalam air yang dipanaskan menyebabkan
gangguan ikatan Hidrogen di antara rantai polimer sehingga melemahkan
butiran. Pembesaran awal terjadi pada daerah amorphous di mana ikatan
hidrogen kurang banyak dan polimer bersifat rentan terhadap pemutusan ikatan.
Pada saat struktur menjadi melemah, butiran mengikat air dan membesar.
Karena tidak semua butiran serentak gelatinisasi, maka terjadi perbedaan tingkat
kekacauan dan pembesaran butiran.
Bagian yang tidak berbentuk pada butir pati lebih mudah terdegradasi oleh
asam dan enzim jika dibandingkan daerah kristal. Butiran pati dianggap sebagai
polimer seperti kaca. Bentuk seperti kaca akan bertahan sampai tercapai suhu
transisi gelas (Tg= glass transition temperature) di mana molekul mulai terlepas
dan polimer bersifat kenyal seperti karet.

Akhirnya suhu titik leleh Tm akan

dicapai di mana butir pati akan meleleh dan kehilangan ikatan secara
menyeluruh. Air menjadi penyebab keliatan atau kekenyalan yang secara nyata
mempengaruhi suhu Tm dan Tg dari butir pati. Pada saat pembesaran butir pati
dan pelelehan terjadi, butir pati mengalami gelatinisasi, pembentukan pasta atau
pasting, dispersi dan akhirnya retrogradasi pada saat bahan mengalami
pendinginan. Perubahan ini pada Gambar 3 dipengaruhi oleh suhu, kadar air,
energi mekanis dan faktor lainnya. Tekstur keripik atau hasil pemanggangan
akan renyah pada kadar air