Kedudukan agama dan negara: perspektif pemikir muslim abad pertengahan ibn taymiyyah

Kedudukan Agama dan Negara:
Perspektif Pemikir Muslim Abad Pertengahan Ibn Taymiyyah
Sirojudin Aly
Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
sirojudīn_ali@hotmail.com

Abstract: This article is trying to discover the political opinion—in terms of relations of religion and state—of an Islamic
thinker, Ibn Taymiyya, within the era of Middle Age in the history of Islam. The government experiment in accordance to
Islamic teaching had begun since the time of Muḥammad p.u.h. governed the society of Madīna. The leadership then was
continued by Khulafā’ al-Rāshidīn after the Prophet Muḥammad passed away. The system of al-khilāfa then no longer
existed and soon changed becoming the monarchy, beginning from the era of Umayyad. This situation could be easily seen
in the system of electing the head of the state or the leader of the government through direct pointing by the on going khalīfa
to the candidate who had been prepared as a prince long before the changing time. This system of changing the leader of
the goverment would be much different from the system in the era of Khulafā’ al-Rāshidīn, where a khalīfa should be
selected by a kind of committee consisting of outstanding persons of the society and the men around (sa āba) the Prophet
Muḥammad. In the modern era and contemporary world like nowadays, the goverment model and its system are varied.
Religions and politic in the perspective of Islam is integrating in the Classic and Middle Age, while in the modern era there
has been emerged the idea to separate the Islamic teaching from the political field.
Keywords: Integration, Absolute, Variative, Distortion
Abstrak: Artikel ini mencoba mengungkap kembali khazanah pemikiran politik—terkait relasi agama dan negara—
seorang pemikir Muslim Abad Pertengahan, Ibn Taymiyyah. Eksperimen pemerintahan dalam Islam secara de fakto sudah

dimulai sejak Nabi Muḥammad memimpin masyarakat Madīnah. Kepemimpinan kemudian dilanjutkan oleh para Khulafā’
al-Rāsyidīn setelah Nabi wafat. Sistem khilafah secara subtansial kemudian berubah menjadi monarkhi semenjak era
Dinasti Umayyah. Hal ini ditandai dengan pergantian khalifah (khalīfah, kepala negara) melalui pengangkatan langsung
oleh khalifah yang sedang berkuasa kepada calon penggantinya dengan penobatannya sebagai putra mahkota. Pola
pergantian kepemimpinan seperti ini tentu saja berbeda Dari era Khulafā’ al-Rāsyidīn, di mana pemlihan seorang khalifah
dipilih melalui pemilihan yang melibatkan elemen masyarakat, atau dipilih oleh para elit dan tokoh sahabat Nabi. Di era
modern dan kontemporer model pemerintahan di dunia Islam bervariasi. Agama dan politik dalam perspektif pemahaman
para pemikir Muslim Abad Klasik dan Pertengahan adalah terintegrasi. Di Abad modern dan kontemporer muncul
pemikiran untuk memisahkan agama dari urusan-urusan politik.
Katakunci: Integrasi, Absolut, Variatif, Distorsi

Mu ammad memimpin masyarakat Madīnah,1

Pendahuluan
Pemikiran politik Islam dalam bentuk

dan

setelah


wafat

Nabi,

kepemimpinan

karya akademik menurut para ahli baru muncul
kemudian pada periode Dinasti „Abbāsiyyah.
Meskipun
dalam

demikian,

Islam

sudah

praktik
dimulai


1

Apa yang dilakukan Nabi Mu ammad di
Makkah (sebelum hijrah ke Madīnah) bersama segelintir
orang-orang yang sudah masuk Islam adalah sebatas
melakukan
gerakan-gerakan
oposisi,
menentang
kekejaman yang dilakukan para penguasa qabilah,
terutama orang-orang Quraysy yang mendominasi
kepemimpinan, selain mengangkat harkat dan martabat
masyarakat kecil yang tertindas melalui dakwah dan
risalah kenabian. Kondisi seperti ini dapat ditegaskan
bahwa Nabi Mu ammad di Makkah belum memiliki

pemerintahan
sejak

Nabi


255

256

Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari - Juni 2015

diteruskan oleh para Khulafā‟ al-Rāsyidīn.

karakteristik politik Islam adalah bahwa politik

Islam agama universal, yaitu agama yang tidak

Islam tidak terlepas dari terma-terma tujuan

mengenal batas geografis, ruang dan waktu,

moral atau akhlak, yaitu sikap amanah, jujur,

etnik dan warna kulit. Selain itu juga, karena


benar dalam ucapan dan tindakan, adil dan

Islam mengandung ajaran yang komprehensif

sebagainya. Oleh karena itu, perpolitikan di

(syumul) meliputi berbagai aspek kehidupan,

dalam Islam berdasarkan pemahaman yang

termasuk menyangkut masalah sosial-politik.

benar

Piagam Madīnah yang menjadi konstitusi

Implikasinya bahwa agama dan politik tidak

pertama di dunia, lahir pada abad ke-6 M.,


dipersoalkan, karena kedua hal itu merupakan

digunakan

fenomena

untuk

mengelola

kehidupan

masyarakat Madīnah yang plural (majemuk.)
Para pemikir politik Islam pada Abad

dan

terintegrasi


yang

hidup

dengan

di

agama.

tengah-tengah

masyarakat dan juga karena politik merupakan
aktifitas tentang bagaimana mengatur dan

Pertengahan dalam hal pemerintahan yang ada

mengelola

kehidupan


umat

saat itu umumnya mengikuti apa yang sedang

kedamaian,

berjalan, tanpa memberikan masukan atau

(kemakmuran) dan sebagainya.

keamanan,

agar

tercipta

kesejahteraan

alternatif kepada penguasa tertinggi (khalīfah)


Abad Pertengahan bagi umat Islam

untuk melakukan perubahan-perubahan dalam

sangat menarik untuk dikaji, karena pada abad

rangka perbaikan. Hal ini karena para penguasa

ini umat Islam dan sekaligus perpolitikannya

pertengahan2

banyak

sedang mengalami kemunduran dibandingkan

Sebagai

dengan abad sebelumnya. Di sini juga dunia


di

abad-abad

memertahankan

status

lebih
quo.

Islam menyaksikan setidaknya kelahiran dua
kekuasaan yang dapat memaksa masyarakat untuk patuh
kepada aturan atau undang-undang. Berlainan dengan di
Makkah, di Madīnah Nabi Mu ammad sudah bisa
memaksa masyarakat untuk patuh kepada peraturan atau
undang-undang.
2
Secara periodisasi, Abad Pertengahan dalam

peradaban umat Islam meliputi lima setengah abad atau
lima ratus lima puluh tahun, yaitu mulai dari tahun
1250-1800 M. Pada Abad Pertengahan ini perpolitikan
umat Islam sebenarnya sedang mengalami kemunduran
dalam berbagai aspek kehidupan. Kondisi ini terjadi dari
tahun 1250-1500 M. meskipun dari tahun 1500-1800
dunia Islam telah menyaksikan berdiri tiga Kerajaan
besar, yaitu Kerajaan Turki „Ustmānī (Ottoman Turkey),
Kerajaan afawī di Persia, dan Kerajaan Mughal di India.
Lih. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya (Jakarta: UI-Press, 2001), Jld. 1, 50; Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT Raja
Grafindo, 2001), 111-29.

orang tokoh dan ilmuwan besar terkemuka,
yaitu Ibn Taymiyyah (1263-1329 M.) dan Ibn
Khaldūn (1332- 1406 M.), tetapi dalam konteks
ini pemikiran politik Ibn Taymiyyah yang akan
menjadi fokus pembahasan.

Sirojudin Aly, Kedudukan Agama dan Negara: Perspektif Pemikir Muslim Abad Pertengahan Ibn Taymiyyah

257

Pembentukan Kepemimpinan Umat Secara

dilakukan oleh para pemimpin Quraysy di

Politis

zaman Jahiliyah. Setelah Nabi Mu ammad,
Pemikiran tentang politik Islam baru

bersama komunitas yang sudah menyatakan diri

muncul pada periode Dinasti „Abbāsiyyah.3

Islam, berhijrah dan menetap di Madīnah

Karya-karya

sebelum

(Yatsrib), praktik dan eksperimen politik Nabi

muncul pemikiran politik Islam terfokus pada

semakin kuat, kemudian otoritas kekuasaan

adīts, tafsir, kalām,

berada di genggaman Nabi dan dilanjutkan oleh

intelektual

persoalan-persoalan ilmu

Muslim

4

fiqh. Hal ini terjadi dikarenakan kemunculan

para

kelompok-kelompok atau aliran-aliran dalam

Khulafā‟ al-Rāsyidīn: Abū Bakr iddīq, „Umar

Islam (al-firaq al-Islāmiyyah), di antaranya

ibn Kha āb, „Utsmān ibn „Affān dan „Alī ibn

seperti kelompok Khawārij, Syī„ah dan lain-

Abū ālib.

penggantinya

(khalīfah),

yaitu

para

lain, sebagai akibat dari pergolakan politik

Terabaikan disiplin ilmu politik pada

internal sesama umat Islam itu sendiri. Tetapi

periode-periode awal dari pembahasan secara

diskursus intelektual pada masa itu yang

intelektual setidaknya disebabkan oleh dua

mengemuka lebih awal adalah masalah-masalah

faktor.

teologi, kemudian diikuti masalah hukum yang

teologis

menjadi bahasan rinci ilmu fiqh, sementara

mengemuka waktu itu daripada persoalan-

masalah-masalah yang berkenaan dengan ilmu

persoalan politik. Kedua, hubungan intelektual

politik terabaikan. Meskipun demikian, praktik

dunia Islam dengan dunia luar, terutama

dan eksperimen kehidupan perpolitikan sudah

peradaban Yunani

dimulai sejak Nabi Mu ammad melakukan

intensif,

perjuangannya untuk membebaskan masyarakat

kemudian di era Dinasti „Abbāsiyyah.

Makkah dari keterpurukan dan penindasan yang
tidak

mengenal

prikemanusiaan,

yang

Pertama,
dan

kemunculan

masalah-masalah

kecuali

belum
setelah

persoalan
fiqh

lebih

berjalan secara
beberapa

abad

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa
diskursus mengenai konsep politik dari para
pemikir Muslim baru muncul pada periode

3

Ira M. Lapindus, Sejarah Sosial Ummat Islam,
terj. Ghufron A. Mas‟udi (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1999), 103.
4
Ilmu fiqh sebenarnya merupakan disiplin ilmu
yang membahas tentang berbagai aspek kehidupan sosial
yang bersifat amaliah (aktifitas), termasuk di dalamnya
pembahasan mengenai rukun Islam lima, zakat, pajak
dan tatacara penarikannya, pengaturan perang, pertanian,
termasuk masalah politik disampaikan secara umum,
tetapi kemudian masalah-masalah yang berkaitan dengan
politik ini terpisah pembahasannya sebagai disiplin ilmu
tersendiri.

Dinasti „Abbāsiyyah, tetapi ketegangan dan
benturan internal di kalangan umat Islam telah
terjadi setelah Rasulullah wafat. Ketegangan
tersebut

muncul

dalam

pertemuan

yang

berlangsung di balai Tsaqīfah Banū Sa„īdah,
yang melahirkan tiga opsi kepemimpinan

258

Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari - Juni 2015

politik, yaitu 1) Kepemimpinan harus kembali

setiap persoalan yang melibatkan kepentingan

ke sistem qabilah. Oleh karenanya setiap

orang banyak.7
Di majlis Tsaqīfah Banū Sa„īdah

qabilah dapat mengangkat pemimpin mereka
komunitas

terjadi dialog panas berkenaan siapa yang akan

An ār mengangkat pemimpinnya sendiri, dan

menggantikan (khalafa) Rasulullah sebagai

dari

Muhājirūn

pemimpin umat. Dialog ini pada awalnya

mengangkat pemimpinnya sendiri, kemudian

didominasi oleh komunitas An ār yang setuju

kepemimpinan bersifat presidium. Ide ini lahir

dengan rencana pengangkatan Sa„d ibn Ubādah

dari kalangan orang-orang Khazraj, dan salah

dari komunitas An ār sebagai pemimpin umat.

seorang tokoh dari komunitas ini adalah

Bahkan dari kalangan orang-orang An ār ada

ubbāb ibn Munẓir,5 2) Kepemimpinan harus

yang mengeluarkan ancaman bahwa jika ada

berdasarkan sistem hak waris seperti monarki.

orang-orang Muhājirūn tidak setuju dengan

Ide ini lahir dari kalangan Banū Hāsyim sesuai

rencana pengangkatan Sa„d ibn Ubādah ini, usir

dengan tradisi orang-orang Arab Selatan.

saja mereka keluar dari Madīnah. Tetapi

Tokoh terkemuka pendukung ide ini ialah al-

kemudian

„Abbās, „Alī ibn Abū

Ubādah menjadi batal setelah kedatangan Abū

masing-masing.

kalangan

Dari

kalangan

komunitas

ālib dan Zubayr ibn

rencana pengangkatan Sa„d ibn

„Umar ibn Kha āb bersama Abū

„Awwām,6 3) Kepemimpinan harus ditentukan

Bakr,

berdasarkan hasil musyawarah. Opsi ini sesuai

„Ubaydah ibn Jarrah ke majlis Tsaqīfah Banū

dengan perintah al-Qur‟ān agar umat Islam

Sa„īdah. Mereka bertiga kemudian bergabung

selalu bermusyawarah dalam menyelesaikan

untuk membicarakan kepimpinan umat. Dalam
musyawarah

Ibn Qutaybah al-Daynūrī, Al-Imāmah wa alSiyāsah (Kairo: Mu‟assasah al- alabī wa Syirkatuhu,
1967 M./1387 H.), 15.
6
Dalam peristiwa sepeninggal Nabi Mu ammad
telah terjadi kekosongan kepemimpinan. Paman „Alī ibn
Abū ālib, juga paman Nabi Mu ammad sendiri, al„Abbās, saat melihat kondisi seperti ini berupaya
mengangkat „Alī sebagai pengganti Nabi, tetapi setelah
berkomunikasi intensif dengan „Alī, „Alī ingin
mendapatkan konfirmasi tentang siapakah yang paling
berhak atas posisi ini selain dirinya, maka kemudian al„Abbās menemui Abū Bakr dan bertanya kepadanya,
“Wahai Abū Bakr, apakah Rasulullah berpesan tentang
kepemimpinan
kepada
siapa
yang
akan
menggantikannya?” Abū Bakr menjawab, “Tidak ada.”
Hal serupa juga ditanyakan kepada „Umar. „Umar
menjawab dengan jawaban yang sama dengan yang
diberikan Abū Bakr. Lih. Ibn Qutaybah al-Daynūrī, AlImāmah wa al-Siyāsah, 12.
5

ini,

„Umar

menyampaikan

pandangannya bahwa sebenarnya Abū Bakrlah
yang paling tepat untuk diangkat menjadi
pemimpin umat sebagai pengganti Rasulullah.
„Umar pun kemudian menyampaikan beberapa
alasan dan kelebihan-kelebihan Abū Bakr
selama

bersama

Rasulullah

dalam

memerjuangkan agama Islam, di antaranya
„Umar menyebutkan bahwa ketika Rasulullah

7

Said Agil Siraj, Islam Aspiratif Bukan
Inspiratif (Bandung: Mizan, 2007), 22.

Sirojudin Aly, Kedudukan Agama dan Negara: Perspektif Pemikir Muslim Abad Pertengahan Ibn Taymiyyah

uzur,

meminta

beliau

menggantikannya

Abū

Bakr

(istakhlafahu)

259

untuk

kedudukan Nabi dalam hal kepemimpinan,

memimpin

bukan dalam hal jabatan kenabian atau rasul.

salat berjamaah sebagai imam. Alasan dan

Abū

kelebihan

8

Bakr

mendapatkan

legitimasi

Abū

Bakr

kepemimpinan dari masyarakat Madīnah, baik

menduduki

posisi

dari kalangan Muhājirūn ataupun orang-orang

pemimpin umat. Setelah mendengar penjelasan

An ār. Pemilihan Abū Bakr sebagai pemimpin

„Umar tersebut, orang-orang An ār pun setuju

dilakukan secara aklamasi setelah terjadi dialog

dengan kepemimpinan Abū Bakr, demikian

dan musyawarah yang sempat memanas di

pula orang-orang Muhājirūn. Maka setelah itu

majlis Tsaqīfah Sa„īdah, kemudian mendapat

dilakukan baiat9 kepada Abū Bakr sebagai

dukungan penuh dari masyarakat Madīnah,

pemimpin umat menggantikan Nabi.10

meskipun pada awalnya ada beberapa sahabat

yang

melayakkannya

dimiliki
untuk

Apa yang terjadi di Tsaqīfah Banū

Nabi tidak ikut serta dalam pembaitan secara

terbentuk

massal kepada Abū Bakr, salah satunya adalah

kepemimpinan umat dalam sejarah peradaban

„Alī ibn Abū ālib. Tetapi setelah tujuh puluh

Islam awal setelah Nabi Mu ammad wafat.

lima hari terhitung dari wafat Rasulullah dan

Pada akhirnya Abū Bakr al- iddīq benar-benar

wafat Fā imah (istri „Alī ), „Alī baru kemudian

terpilih sebagai pemimpin umat menggantikan

bersedia berbaiat kepada Abū Bakr.11

Sa„īdah

merupakan

proses

„Umar ibn Kha āb menyebut kelebihan atau
keutamaan Abū Bakr sehingga lebih berhak sebagai
pemimpin umat, di antaranya: 1) Abū Bakr sebagai
sahabat Nabi yang lebih dahulu masuk Islam dari
kalangan orang-orang dewasa (wa ‘aqdam minnā
ṣuḥbatan li Rasūlillāh), 2) Orang kaya (wa afḍal minnā fī
al-māl), 3) Orang yang lebih terhormat di kalangan
orang-orang Muhājirūn (wa anta afḍal Muhājirīn), 4)
Menggantikan Rasulullah sebagai imam dalam salat
berjamaah (wa khalīfatuhu ‘alā al-ṣalāh), sebab salat
adalah rukun Islam yang utama di dalam agama (wa alṣalāh afḍal arkān dīn al-Islām.) Jejak rekam yang baik
ini menurut „Umar ibn Kha āb melayakkan Abū Bakr
menggantikan posisi Rasulullah sebagai pemimpin umat.
Ibn Qutaybah, Al-Imāmah wa al-Siyāsah, 6.
9
Baiat adalah pernyataan taat setia dari
masyarakat kepada pemimpin terpilih. Hal ini dilakukan
dengan berjabatan tangan dengan pemimpin terpilih
seraya menyatakan, “Kami berbaiat kepada anda sebagai
khalifah.”
Baiat ini sebagai bukti dukungan dan
legitimasi bagi pemimpin terpilih dari masyarakat yang
mendukungnya.
10
Ibn Qutaybah, Al-Imāmah wa al-Siyāsah, 1215; Ibn Hisyām, Al-Sīrah al-Nabawiyyah (Kairo: Dār alFikr, t.t.), Juz 4, 1515-9.
8

Agama dan Ciri Umum Pemikiran Politik
Islam Abad Pertengahan
Islam adalah agama universal, yaitu
agama yang tidak mengenal batas ruang dan
waktu, etnik dan warna kulit. Oleh karenanya
Islam adalah agama lintas etnik, warna kulit
dan geografis, karena ajarannya menyeluruh,
komprehensif (syumul) dan meliputi berbagai
aspek kehidupan, bukan saja yang berkaitan
dengan

masalah-masalah

ibadah

maḥḍah,

seperti salat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya,
yaitu hal-hal
11

yang menyangkut urusan

Ibn Qutaybah, Al-Imāmah wa al-Siyāsah, 20.

260

Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari - Juni 2015

ukhrawi, tetapi juga masalah-masalah yang

warga Madīnah, baik Muslim ataupun non-

berkaitan dengan kehidupan duniawi, seperti

Muslim. Upaya ini dilakukan oleh Nabi sebagai

bagaimana mengatur kehidupan umat atau

langkah strategis bagi pembentukan masyarakat

masyarakat dengan berbagai macam latar

Madīnah yang majemuk. Peraturan ini menurut

belakang budaya dan karakternya,

perang,

Nurcholish Madjid mengandung kebijakan

perdagangan, pertanian, penegakan hukum,

politik Nabi untuk menciptakan kestabilan

penegakan keadilan, ekonomi, pendidikan, dan

bernegara.13
Peraturan yang lahir pada abad ke-6 M.

sebagainya. Islam juga agama yang membawa
misi raḥmatan li al-‘ālamīn. Dengan demikian,

ini

Islam telah meletakkan konsep mengenai

Indonesia dikenal dengan sebutan „Piagam

persoalan-persoalan yang bukan saja terkait

Madīnah.‟ Piagam ini dirangka (design) oleh

dengan

Nabi

yang

urusan ukhrawi, tetapi juga hal-hal
berkaitan

duniawi.

dengan

urusan-urusan

12

Fakta

dalam

literatur

sebagai

konstitusi

kajian

undang-undang

(al-dustur

politik

dasar

al-Madanī)

Islam

atau
yang

digunakan untuk mengatur hubungan timbal
bahwa

balik (interaksi) di internal umat Islam sendiri,

ketika Nabi bersama-sama umat Islam hijrah ke

dan antara Muslim dengan non-Muslim,14

Madīnah (Yatsrib waktu itu), beliau berhasil

dalam

menyatukan

dan

hukum, ekonomi, perdagangan dan sebagainya,

meletakkan dasar-dasar peraturan umum (al-

meskipun pada waktu itu penulis yakin aspek-

wastiqah atau al-‘ahd) untuk menjadi dasar

aspek tersebut belum terstruktur secara rapih,

kehidupan bagi seluruh warga Madīnah yang

sebagaimana pembentukan pemerintahan saat

berbeda latar belakang agama, ras, warna kulit,

ini dengan lembaga-lembaga kementerian atau

adat

departemen

istiadat

sejarah

menunjukkan

masyarakat

dan

Madīnah,

sebagainya.

Peraturan

berbagai

yang

aspek

kehidupan:

memiliki

otoritas

sosial,

atau

didasarkan atas perjanjian (agreement) yang

wewenang untuk mengelola urusan-urusan

melibatkan semua elemen warga Madīnah dan

secara khusus sesuai dengan bidangnya.

diberlakukan secara umum kepada semua

Pemikiran politik Islam yang digagas

Amien Rais, “Pengantar Buku Pendidikan
Politik Ikhawanul Muslimin,” dalam Usman Abdul
Mu‟iz Ruslan (ed.), Pendidikan Politik Ikhwanul
Muslimin: Studi Analisis Evaluatif terhadap Pengantar
Buku Pendidikan Politik Ikhwan terhadap Proses
Pendidikan Ikhwan, untuk para Anggota Khususnya, dan
Seluruh Masyarakat Mesir Umumnya dari Tahun 1928
hinggga 1954, terj. Salahudin Abu Sayyid dan Hawin
Murtadho (Solo: Era Intermedia, 2000), 2.

oleh para pemikir di antaranya Ibn Taymiyyah

12

13

Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan
Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan (Jakarta:
Paramadina, 1992), 195.
14
Umat non-Muslim pada saat itu terdiri dari
komunitas Yahudi dengan berbagai rasnya, orang-orang
Kristiani, dan orang-orang penyembah berhala (paganis.)

Sirojudin Aly, Kedudukan Agama dan Negara: Perspektif Pemikir Muslim Abad Pertengahan Ibn Taymiyyah

261

iddīq adalah pengganti dan penerus

dan lainnya merupakan produk teori yang lahir

Bakr

sebagai respon terhadap situasi politik yang

Nabi, demikian juga „Umar ibn Kha āb,

berjalan dan umumnya banyak berbicara

„Utsmān ibn „Affān dan „Alī ibn Abū ālib, dan

mengenai model kepemimpinan umat. Hal ini

seterusnya.

sesuai dengan aliran-aliran politik umat Islam,

Pada masa kekuasaan pemerintahan

misalnya umat Islam Syī„ah mengajukan

Dinasti „Abbāsiyyah, dunia ilmu pengetahuan

pandangan tentang model pemerintahan Islam

mengalami masa keemasannya (golden age)

dengan teori imāmah. Salah satu sekte Syī„ah

terutama pada dua ratus tahun pertama dari

Imāmiyyah (Itsnā „Asyariyyah) memiliki versi

sekitar lima ratus tahun berdiri pemerintahan

kepemimpinan dari „Alī ibn Abū ālib,

asan,

dinasti ini. Kemunculan masa keemasan ini

usayn dan seterusnya sampai ke imam yang

paling tidak disebabkan oleh dua faktor utama.

ke-12,

yaitu

al-Mahdī

al-Muntaẓar.

Pertama,

dukungan

dari

para

penguasa

bagi

(khalifah) waktu itu. Kondisi ini berimplikasi

kaum Khawārij mengajukan ide untuk pertama

pada lahir semangat dan kreatifitas melalui

kalinya dalam sejarah perpolitikan Islam bahwa

berbagai aktifitas penelitian para ilmuwan dari

kepemimpinan umat Islam tidak harus dari

berbagai disiplin ilmu. Kedua, persentuhan para

kalangan keturunan Quraysy,15 oleh karenanya

ilmuwan Islam dengan alam pemikiran Yunani

siapa saja dari kalangan umat Islam yang

semakin

memliki

peradaban umat Islam ini terus berjalan dan

Kecenderungan

berpikir

kelayakan

dan

revolusioner

kredibilitas

bisa

meluas

mengedepankan teori kekhalifahan,16 yaitu

menimbulkan masalah secara rasional dan

siapa saja yang menjadi pemimpin umat pada

kemudian lahirlah sejumlah pemikir Islam

dasarnya

sekaligus

beserta gagasan politik mereka, baik yang

penerus pemimpin sebelumnya, seperti Abū

setuju dengan upaya kolaborasi pemikiran

dan

aspek

Dinamika

pada

pengganti

dalam

subur.

menjadi pemimpin. Sementara jamaah Sunnī

adalah

gilirannya

dan

kenegaraan

Yunani dengan Islam, seperti antaranya Ibn
15

Realitas perpolitikan umat Islam sejak Nabi
Mu ammad, Khulafā‟ al-Rāsyidīn, bahkan sampai
Dinasti Umayyah dan Dinasti „Abbāsiyyah pun,
kepemimpinan tertinggi umat Islam selalu dijabat oleh
orang-orang keturunan Quraysy. Oleh karenanya
kebanyakan para pemikir politik Islam Abad Pertengahan
mensyaratkan bahwa pemimpin tertinggi umat Islam
(khalifah) harus dari keturunan Quraysy.
16
Sjechul Hadi Permono, Islam dalam lintasan
Sejarah Perpolitikan: Teori dan Praktik (Surabaya:
Aulia, 2004), 196.

Khaldūn ataupun yang menolaknya, seperti Ibn
Taymiyyah yang hidup setelah setelah runtuh
kekuasaan „Abbāsiyyah di Baghdad. Mereka itu
dapat

dianggap

sebagai

eksponen

yang

mewakili pemikiran politik umat Islam pada

262

Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari - Juni 2015

Pertengahan.17

Abad

mereka

menutup diri (eksklusif) dari kemungkinan

khususnya dalam bidang politik sampai saat ini

menerima pengaruh pemikiran dan peradaban

pun

perpustakaan-

dari luar selama tidak bertentangan dengan

perpustakaan universitas, baik di dunia Islam

dasar-dasar atau aturan tetap (qaṭ‘ī), baik dari

ataupun di Barat.

al-Qur‟ān ataupun adīts Nabi.19 Hal ini karena

masih

Karya-karya

memenuhi

Pemikiran politik yang berkembang di

persoalan bagaimana mengatur atau mengelola

era Dinasti „Abbāsiyyah dikategorikan sebagai

kehidupan umat antara satu dengan yang

pemikiran politik Islam Abad Pertengahan, dan

lainnya adalah masalah-masalah yang sifatnya

jika diidentifikasi ciri-ciri umum yang ada pada

teknikel yang senantiasa berubah-ubah dari satu

pemikiran politik Islam saat itu paling tidak

tempat ke tempat lain, atau dari waktu ke waktu

terdapat

yang lain. Maka dalam konteks ini aturan yang

dua

diungkapkan

kategori,

Munawir

sebagaimana

Sjadzali.

Pertama,

diberlakukanya pun fleksibel (murūnah.)

pendapat para pemikir politik abad ini tampak

Selanjutnya

mengenai para pemikir

jelas ada pengaruh alam pemikiran Yunani

Islam terindikasi bahwa mereka terkesan

terutama pandangan Plato, meskipun kadar

menerima apa saja sistem perpolitikan atau

pengaruhnya tidak sama antara satu pemikir

kebijakan-kebijakan yang berlaku pada saat itu,

dengan pemikir yang lain. Kedua, mereka

tanpa memberikan koreksi atau evaluasi dan

mendasarkan

kemudian

pemikiran

mereka

atas

menyampaikan

masukan

atau

penerimaan sistem kekuasaan yang sedang

tawaran alternatif kepada para elit pengusa saat

berjalan seperti apa adanya, tanpa ada kritikan

itu, adalah sikap spesifik mereka sebagai

konstruktif atau evaluasi membangun.18

ilmuwan

Kedua

ciri

umum

ini

yang

banyak

mendasarkan

atas

sebenarnya

pertimbangan-pertimbangan kemaslahatan umat

mewarnai juga para pemikir politik Islam Abad

atau kemaslahatan diri mereka sendiri. Hal ini

Klasik. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa

karena

pemikiran Yunani memengaruhi para pemikir

kekuasaan yang dapat memaksa para penguasa

politik Islam pada masa lalu, itu merupakan

melakukan

fakta yang tidak dapat dibantah oleh siapa pun

restorasi.) Mereka sebatas para ilmuwan yang

dan ini memberikan indikasi bahwa Islam tidak

17

Sjechul Hadi Permono, Islam dalam lintasan
Sejarah Perpolitikan: Teori dan Praktik, 42.
18
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara:
Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, 19.

mereka

19

tidak

perubahan

memliki

(reformasi

otoritas

atau

Aturan tetap (qaṭ‘ī) adalah aturan-aturan
berdasarkan ayat-ayat al-Qur‟ān atau adīts Nabi yang
ṣarīḥ (jelas) yang tidak memerlukan penjelasan atau
tafsiran lanjut berdasarkan berbagai sumber secara
komparatif, apatahlagi ta’wil. Aturan qa „ī adalah seperti
perintah mendirikan salat fardu, zakat, puasa di bulan
Ramadan, haji, dan sebagainya.

Sirojudin Aly, Kedudukan Agama dan Negara: Perspektif Pemikir Muslim Abad Pertengahan Ibn Taymiyyah

263

memberikan masukan atau nasehat, itu pun

bagaimana bertindak tepat dan hidup bahagia.21

kalau diterima, meskipun di antara mereka ada

Dengan pemahaman seperti ini politik bernilai

yang

dalam

luhur, sakral dan tidak bertentangan dengan

pemerintahan sebagai perdana menteri atau

ajaran agama, dan oleh karenanya setiap

hakim agung (qāḍī al-quḍāt), umpamanya.

manusia yang beragama niscaya berpolitik,

memegang

jabatan

penting

makanya berpolitik merupakan sesuatu yang
inheren dengan kemanusiaan. Plato, seperti

Integrasi Agama dan Negara
Berdasarkan

realitas

juga Aristoteles, memandang bahwa politik

perpolitikan sebagaimana dijelaskan di atas,

berbicara terutama tentang terma-terma tujuan

maka

politik

fakta

itu

dan

dikonsepsikan

melalui

moral yang dicari oleh para pembuat kebijakan

mendeskripsikan

aktifitas

(decision makers.) Aristoteles melihat kebaikan

dengan

tertinggi sebagai tujuan yang dicari oleh para

kepentingan

ilmuwan politik.22 Kesempurnaan hidup dan

hidup yang berbeda-berbeda, karena manusia

kemaslahatan bersama melalui tindakan dan

terdiri dari berbagai golongan atau komunitas

kebijakan yang tepat sasaran adalah upaya

yang memiliki kecenderungan dan kepentingan

untuk menciptakan hidup bahagia dan sejahtera,

yang beraneka ragam, dan bahkan dalam kasus-

dan

kasus tertentu tidak jarang saling berbenturan

pembentukan sebuah pemerintahan atau negara

antara satu dengan yang lainnya. Maka tidak

yang baik.

pemikiran

yang

manusia

dalam

pengaturan

heran

jika

terhadap

terjadi

hubungannya
berbagai

saling

tarik

ini

menarik

merupakan

target

atau

tujuan

Sebagaimana ditegaskan di atas bahwa

kepentingan. Dalam kondisi seperti ini bisa saja

negara

terjadi tindakan pragmatisme sebagai solusi

memanaj urusan umat dan bertujuan agar

(jalan tengah) untuk meminimalisasi perbedaan

tercipta kehidupan yang baik, aman dan

dan pertentangan dalam rangka mewujudkan

sejahtera, oleh karenanya,

kebersamaan. Oleh karena itu menurut Ramlan

mencapai kehidupan yang baik, aman dan

Surbakti, politik dapat dimaknai sebagai upaya

sejahtera ini

manusia untuk meraih kesempurnaan atau

menjadikan al-Qur‟ān dan Sunnah Nabi sebagai

merupakan

masalah

bagaimana

dalam rangka

para pemikir politik

Islam

perjalanan menuju kemaslahatan,20 atau dalam
bahasa Aristoteles bahwa politik mengajarkan

20

Ramlan Surbakti, Memahami Islam Politik, 2.

21

J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato, Aristoteles,
Agustinus, Machiavelli (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002), 174.
22
Abdul Rashid Moten, Ilmu Politik Islam
(Political Science: An Islamic Perspective), terj. Munir
A. Mu‟in dan Widyawati (Bandung: Pustaka, 2001), 21.

264

Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari - Juni 2015

sumber dan dasar dalam menata kehidupan
23

menyampaikan

amanah

(terkandung

di

karena umat Islam yang komit

dalamnya sikap jujur para pemimpin) kepada

dengan ajaran Islam akan meyakini kebenaran

pihak yang berhak atasnya, dan bertindak adil

semua ajaran yang terkandung di dalam al-

dalam mengambil keputusan yang melibatkan

Qur‟ān dan

kepentingan orang banyak atau masyarakat.

perpolitikan,

adīts Nabi (yang sahih.) Dengan
Islam

Sementara ayat kedua, al-Nisā‟: 59, ditujukan

berdasarkan pemahaman yang benar, tidak

kepada rakyat. Mereka diperintahkan supaya

terlepas dan bahkan terintegrasi dengan agama.

taat (loyal), tidak saja kepada Allah dan

Pemahaman seperti ini yang dibangun kembali

RasulNya,

oleh Ibn Taymiyyah sebagaimana tercermin di

mereka, dan melakukan segala perintahnya

dalam karyanya Al-Siyāsah al-Syar‘iyyah fī

selama pemimpin tersebut tidak memerintahkan

Iṣlāḥ

berbuat maksiat atau perbuatan yang dilarang

demikian

perpolitikan

al-Rā‘ī

wa

di

dalam

al-Rā‘iyyah

(Politik

tetapi

juga

kepada

pemimpin

Berasaskan Syari„at dalam Rangka Perbaikan

agama.

Pemimpin dan Rakyat.) Oleh karena itu, di

pendapat yang tidak dapat diselesaikan di

dalam

Taymiyyah

antara mereka, maka hendaknya kembali

mendasarkan teori politiknya atas firman Allah

kepada Allah dan RasulNya.25 Dalam arti

Q.s. al-Nisā‟: 58 dan 59.24

bahwa umat Islam yang bersengketa tetap

karyanya

tersebut

Ibn

Kemudian

jika

terjadi

perbedaan

Menurut Ibn Taymiyyah ayat pertama,

menjadikan al-Qur‟ān dan Sunnah Nabi sebagai

al-Nisā‟: 58, ditujukan kepada para pemimpin

prioritas rujukan dalam menyelesaikan berbagai

negara. Demi tercipta kehidupan bernegara

permasalahan yang terjadi.

yang serasi dan baik, hendaknya mereka
Prioritas pada Substansi dan Tujuan
Tijānī „Abd Qadīr amīd, Pemikiran Politik
dalam Al-Qur’an, terj. Abdul Hayyie al-Kattani (Jakarta:
Gema Insani Press, 2001), vii.
24
Arti kedua ayat tersebut sebagai berikut,
“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan
amanah (titipan) kepada yang berhak menerimanya, dan
apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia agar
kalian menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepada
kalian. Sesungguhnya Allah adalah Mahamendengar dan
Mahamelihat. Wahai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah RasulNya, dan pemimpin kalian.
Kemudian jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu
masalah, maka kembalikan hal itu kepada Allah dan
Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan
Hari Akhir. Sikap yang demikian itu lebih utama dan
lebih baik kesudahannya.”
23

Secara teoritis urusan negara dalam
tradisi umat Islam yang ditekankan sebenarnya
bukanlah semata pada struktur negara secara
prosedural,

melainkan

substruktur

dan

tujuannya. Struktur negara termasuk ranah
ijtihadiyah, maka bisa saja berubah-ubah dari

Mu ammad b. āli al-„Utsaymin, Politik
Islam Ta`liq Siyasah Syar`iyyah Ibnu Taimiyah, terj.
Tim Griya Ilmu (Jakarta: Griya Ilmu, 2014), 25;
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, 82-3.
25

Sirojudin Aly, Kedudukan Agama dan Negara: Perspektif Pemikir Muslim Abad Pertengahan Ibn Taymiyyah

265

waktu ke waktu, sesuai dengan keperluan dan

Islam untuk mencapai keridaan Allah dan

kesepakatan-kesepakatan bersama antara warga

kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat.

masyarakat. Oleh karenanya di era modern dan

Para

pemikir

Islam

tidak

sedikit

kontemporer, dalam hal pemerintahan dunia

mengadopsi pemikiran Plato dan Aristoteles

Islam tidak menganut satu sistem, tetapi

dalam berbagai hal, terutama salah satunya

bervariasi, ada sebagian yang menerapkan

mengenai konsep dan proses pembentukan

model monarki, demokrasi republik, demokrasi

negara. Mereka berangkat dari asumsi dasar

sosialis, perpaduan antara demokrasi dan

bahwa manusia adalah makhluk sosial.27 Hal ini

monarki, dan sebagainya. Sementara sub-

sebagaimana

struktur

manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang

dan

tujuan

tetaplah

berdasarkan

ditegaskan

al-Fārābī

bahwa

prinsip-prinsip bernegara secara Islami. Hal ini

memiliki

karena al-Qur‟ān mengandung nilai-nilai dan

bermasyarakat (berkomunitas.) Hal ini karena

ajaran yang bersifat etis mengenai aktifitas

manusia tidak akan mampu memenuhi semua

sosial

membangun

kebutuhan hidupnya secara sendiri-sendiri, tapi

berbagai aspek kehidupan yang baik. Nilai-nilai

ada bantuan atau kerjasama dengan pihak

dan ajaran ini meliputi prinsip-prinsip tentang

lain.28 Demikian juga al-Ghazālī menegaskan

musyawarah

atau

bahwa manusia itu tidak dapat hidup sendirian

kemerdekaan (al-ḥurriyyah), persamaan (al-

disebabkan sekurang-kuranya oleh dua hal,

musāwah), dan ketaatan kepada undang-undang

yaitu: 1) Ada kebutuhan terhadap keturunan

dan pemerintah. Prinsip-prinsip ini dalam

demi kelangsungan hidup. Hal ini hanya

pemikiran Islam kontemporer disebut al-

mungkin terjadi jika melalui pergaulan antara

mabādi’ al-khamsah (prinsip-prinsip lima atau

laki-laki dan perempuan sebagai layaknya

lima prinsip.)26 Oleh karena itu, sepanjang

hidup suami istri, 2) Ada saling bantu

berdasarkan pada prinsip-prinsip tersebut di

membantu dalam menyediakan bahan makanan,

umat

Muslim

(al-syūrā),

dalam

kebebasan

kecenderungan

alami

untuk

atas, maka pembentukan negara Islam dalam
pengertian yang formal dan ideologis tidaklah
mendesak karena yang urgen itu adalah
substansi dan tujuan, yaitu terlaksana ajaran
Mu ammad Salīm al-Awwa, Fī al-Niẓām alSiyāsī li al-Dawlah al-Islāmiyyah (Kairo: Dār al-Syurūq,
t.t.), 179-237; Abdul Aziz Sachedina, Beda tapi Setara
Pandangan Islam tentang non-Islam, terj. Satrio
Wahono, (Jakarta: Serambi, 2004), 70.
26

27

Sjechul Hadi Permono, Islam dalam Lintasan
Sejarah, 42.
28
Mu ammad Jalāl Syaraf dan „Alī „Abd alMu„ ī Mu ammad, Al-Fikr al-Siyāsī fī al-Islām:
Syakhsyiyyāt wa Madzāhib (Iskandariyyah: Dār alMa„rifah al-Jami„iyyah, t.t.), 255; Munawir Sjadzali,
Islam dan Tata Negara, 50.

266

Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari - Juni 2015

pakaian, kesehatan, pendidikan anak-anak, dan
sebagainya.

29

amanah (titipan), dalam arti amanah itu tidak
dapat disampaikan kepada yang berhak jika

Secara teoritis, para pemikir politik

tidak memiliki sikap jujur (benar atau ṣiddīq),

kebutuhan

berbuat adil kepada sesama rakyat.30 Jika kedua

terhadap kerjasama (ta‘āwun) untuk pengadaan

prinsip dasar ini dapat direalisasikan dalam

semua materi yang diperlukan secara otomatik

kehidupan perpolitikan, maka negara akan

akan berimplikasi pada kelahiran interaksi dan

mencapai

pembagian tugas di antara sesama anggota

keamanan, kedamaian, dan bahkan kesejahteran

masyarakat.

akan lahir.

Islam

berargumentasi

Dari

bahwa

sinilah

lahir

berbagai

stabilitas

politik

yang

kuat,

komunitas, baik yang didasarkan pada aktifitas
dan pekerjaan ataupun yang didasarkan pada

Agama dan Kekuasaan

ideologi: kaum petani, kaum buruh, kaum

Integrasi agama dan politik di dalam

pekerja, para pemilik perusahaan atau industri,

Islam merupakan fakta yang tidak harus

qabilah, ‘aṣabiyyah, partai politik (di era

dipersoalkan,

modern dan kontemporer) dan sebagainya.

merupakan dua fenomena yang senantiasa

Semuanya secara alami (fitrah) memerlukan

hidup di tengah-tengah masyarakat. Pada Abad

kerjasama yang baik antara sesama mereka

Pertengahan bahkan Klasik keberadaan agama

dalam

pada

dan politik di dunia Islam tidak pernah

gilirannya, masyarakat memerlukan semacam

dipersoalkan,31 karena politik pada dasarnya

suatu badan (institusi) yang berfungsi sebagai

berkaitan dengan aktifitas bagaimana mengatur

kordinator yang mengatur berbagai kepentingan

atau mengelola kehidupan orang banyak agar

yang berbeda-beda agar tidak terjadi benturan

tercipta kehidupan damai, tentram, sejahtera,

interest yang mungkin akan berakibat fatal.

dan sebagainya. Intinya bahwa politik adalah

kehidupan

masyarakat,

dan

Melalui proses inilah dari satu tahap ke tahap
berikutnya berdirilah sebuah negara. Oleh
karena itu, dalam konteks ini Ibn Taymiyyah
tidak memersoalkan bagaimana bentuk negara,
yang penting negara dapat menyampaikan

Mu ammad Jalāl Syaraf dan „Alī „Abd alMu„ ī Mu ammad, Al-Fikr al-Siyāsī fī al-Islām:
Syakhsyiyyāt wa Madzāhib, 379-80; Munawir Sjadzali,
Islam dan Tata Negara, 74.
29

karena

agama

dan

politik

Mu ammad Jalāl Syaraf dan „Alī „Abd alMu„ ī Mu ammad, Al-Fikr al-Siyāsī fī al-Islām, 429
31
Agama (terutama agama Islam) dan politik
dipersoalkan pada abad modern dan kontemporer,
terutama di dunia Barat, sebagai dua entitas yang
berbeda. Agama diposisikan sebagai seperangkat aturan
yang berkaitan dengan hal-hal privat, sementara politik
berhubungan dengan hal-hal yang berkaitan dengan
urusan publik, karenanya agama dan politik tidak bisa
dicampuradukkan. Kondisi ini terjadi setelah dunia Islam
mengalami kemunduran dalam berbagai aspek
kehidupan, dan dunia Barat muncul sebagai kekuatan
yang mendominasi dunia, dan dunia Islam menerima
pengaruh pemikiran sekuler.
30

Sirojudin Aly, Kedudukan Agama dan Negara: Perspektif Pemikir Muslim Abad Pertengahan Ibn Taymiyyah

267

aktifitas sosial masyarakat, dan untuk mencapai

Dalam konteks hubungan agama dan

keberhasilan menata kehidupan umat atau

negara pada Abad Pertengahan, dunia Islam

masyarakat tersebut secara efektif diperlukan

saat itu tidak mengenal kategorisasi agama dan

otoritas kekuasaan. Dengan kekuasaan dan

politik, karena agama menjadi sumber aturan

kewenangan yang ada, seorang penguasa dapat

dan etika. Sementara politik sebagai ekspresi

memaksa warga masyarakatnya untuk patuh

aktifitas kehidupan umat, di mana agama

pada peraturan atau undang-undang.

menjadi referensi dalam menuangkan kebijakan

Ibn Taymiyyah salah seorang ulama dan

politik. Tetapi di era modern dan kontemporer

pemikir Islam ternama (selain ahli dalam

muncul pandangan mengenai hubungan antara

bidang hukum), membangun pemikiran sosial

agama

politiknya berdasarkan agama (waḍa‘a fīhi

mengarah pada terjadi kategorisasi agama dan

kulla afkārihi al-siyāsiyyah al-murtakizah ‘alā

negara sebagai dua entitas yang berbeda posisi;

al-dīn.) Ia berpendapat bahwa agama dan

agama

negara saling memerlukan, dan ada hubungan

(individu) sementara negara (politik) berada

simbiosis mutualis antara kedua hal tersebut.

pada ranah publik.

dan

negara,

diposisikan

sehingga

sebagi

kemudian

urusan

privat

Tanpa kekuasaan, agama berada dalam bahaya,

Dalam pandangan para pemikir politik

tanpa agama yang dihayati dan diamalkan,

Islam, sebenarnya masalah pengelolaan negara

negara

organisasi

termasuk urusan duniawi, sementara aturan-

Khaldūn

aturan yang ada di dalam al-Qur‟ān bersifat

(seorang pemikir Muslim dan pembangun

umum. Oleh karenanya, permasalahan negara

sosiologi

termasuk

akan

masyarakat

menjadi

Ibn

tiranik.32

yang

Abad

memerkuat

sebuah

Tengah)

wilayah

ijtihadiah.

Tugas

para

cendekiawan Muslim adalah berusaha secara

bahwa organisasi kemasyarakatan (‘aṣabiyyah)

terus menerus memberikan pemahaman bahwa

secara alami adalah suatu kemestian bagi

al-Qur‟ān, demikian juga Sunnah Nabi sebagai

manusia,

landasan bagi sebuah aturan yang dapat

tanpa

organisasi

mereka

sebagaimana

negara

konteks

berpendapat

eksistensi

kestabilan

dalam

yang

tidak

kemasyarakatan
akan

dikehendaki

sempurna

direalisasikan

dalam

pemerintahan

pada

Allah

sepanjang zaman, sehingga Islam relevan

menjadikan mereka sebagai khalifahNya di

dengan situasi dan kondisi yang senantiasa

muka bumi ini.

berubah dari waktu ke waktu. Inilah sebenarnya
yang dilakukan oleh empat Khulafā‟ al-

Mu ammad Jalāl Syaraf dan „Alī „Abd alMu„ ī Mu ammad, Al-Fikr al-Siyāsī fī al-Islām, 429-30.
32

Rāsyidīn (Abū Bakr, „Umar, „Utsmān dan „Alī

268

Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari - Juni 2015

b. Abū

ālib) sepeninggal Nabi, sehingga

walaupun

mereka

berada

dalam

rangka

Al-Qur‟ān

maupun

Sunnah

Nabi

tidak

menetapkan sistem politik dalam bentuk legal

pengamalan ajaran Islam secara menyeluruh

formal

(syumul), tetapi pengorganisasian pemerintahan

berdasarkan al-Qur‟ān dan Sunnah Nabi yang

mereka berbeda antara satu dari yang lainnya.

sahih hanya menyediakan seperangkat nilai etis

Hal

yang

ini

karena

pengorganisasian

dan

negara

dapat

yang

ideal.

dijadikan

Islam

rujukan

yang

dalam

pengelolaan pemerintahan termasuk hal-hal

penyelenggaraan negara. Seperangkat nilai etis

yang sifatnya teknikal yang berbeda antara satu

ini secara umum (tidak secara rinci dan khusus)

dari lainnya sesuai dengan kebijakan para

yang barangkali sejalan dengan prinsip-prinsip

pemimpin umat tersebut.

demokrasi di era modern dan kontemporer.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat

Persoalan negara

lebih merupakan urusan

ditegaskan bahwa negara dalam Islam yang

kreatifitas

ditekankan bukanlah struktur negara saja yang

pemikiran kreatif dan mendalam sehingga

melahirkan hal-hal prosedural dalam mengelola

melahirkan kebijakan-kebijakan positif untuk

kehidupan perpolitikan, melainkan juga yang

tercipta kehidupan umat yang aman, makmur

terpenting adalah sub-struktur dan tujuannya

dan sejahtera di dunia dan akhirat. Sebagai

sebagaimana disebutkan di atas. Struktur negara

wilayah ijtihad, maka setiap rumusan dan

akan berubah dari waktu ke waktu dan dari satu

interpretasi yang dihasilkannya pun tentu

tempat ke tempat lainnya. Sementara sub-

berbeda pula, karena latarbelakang pemikiran

struktur dan tujuannya menyangkut prinsip-

orang berbeda, meskipun sumber dasarnya

prisip bernegara berasaskan ajaran agama, dan

sama, yaitu al-Qur‟ān dan Sunnah Nabi.

ini tetap, tidak mengalami perubahan. Namun

Demikian juga yang dilakukan Ibn Taymiyyah,

demikian

dan

meskipun dalam beberapa hal berbeda dari para

sebagaimana disebutkan di atas bahawa al-

pemikir lain, tretapi dasar pemikirannya tetrap

Qur‟ān mengandung nilai-nilai dan ajaran yang

mengacu kepada al-Qur‟ān dan Sunnah Nabi.

penting

untuk

dicatat

manusia

melalui

ijtihad

atau

bersifat etis mengenai aktifitas sosial umat
Islam. Ajaran al-Qur‟ān
prinsip

(mabādi’):

meliputi prinsip-

keadilan,

persamaan,

persaudaraan, musyawarah dan sebagainya.33

Pemerintahan Khilafah Syura dan Monarki
Pembicaraan
(kepemimpinan
bahasan

umat)

khilāfah

imāmah

mengenai
merupakan

nubuwwah

topik

(pemimpin

33

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, 88; Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara,
4-7.

pengganti Nabi) dalam rangka menjaga dan

Sirojudin Aly, Kedudukan Agama dan Negara: Perspektif Pemikir Muslim Abad Pertengahan Ibn Taymiyyah

269

memelihara agama dan mengelola dunia atau

banyak

politik (al-imāmah mawḍū‘ah li khilāfah al-

kekhalifahan yang berkembang sesudah era

nubuwwah fī ḥirātsah al-dīn wa al-siyāsah al-

Khulafā‟

dunyā.)34 Berdasarkan pernyataan ini dapat

Pertengahan calon kepala negara (khalifah)

ditegaskan bahwa kepemimpin umat berposisi

diangkat langsung oleh kepala negara yang

sebagai pengganti Nabi (khilāfah nubuwwah)

sedang berkuasa, dan kemudian calon kepala

dan bertugas menjaga dan memelihara agama

negara dinobatkan sebagai putra mahkota

dan mengatur serta mengelola dunia (politik.)

(waliyy al-‘ahd.) Setelah kepala negara yang

Tetapi kemudian dalam sejarah pemerintahan

sedang berkuasa wafat, maka secara otomatis

umat Islam terjadi perbedaan dalam mekanisme

putra

pemilihan imam (pemimpin.) Dalam konteks

Berdasarkan relevansi sistem kekhalifahan al-

ini, perbedaan terjadi antara era Khulafā‟ al-

Khulafā‟ al-Rāsyidīn dengan saat ini dari aspek

Rāsyidīn

sesudahnya.

moral, keadilan, dan egalitarian, masih cukup

Kekhalifahan yang berkembang setelah era al-

ideal dan patut dicontoh untuk sepanjang

Khulafā‟ al-Rasyidun (632-661 M.) hanyalah

zaman, sehingga Ibn Taymiyyah menyebutnya

berbeda sedikit dari sistem kerajaan (monarki)

sebagai

Romawi dan Persia.35 Perbedaan ini terutama

kenabian.)36 Hal ini karena sistem khilafah di

pada aspek ketika dilakukan pergantian kepala

era al-Khulafā‟ al-Rāsyidīn compatible dengan

negara (khalifah.) Di era Khulafā‟ al-Rāsyidīn,

sistem

seorang

walaupun tidak seluruhannya persis.

dan

calon

kekhalifahan

khalifah

dipilih

melalui

negara

di

al-Rāsyidīn,

mahkota

khilāfah

dunia.

Sementara

terutama

menjadi

di

kepala

al-nubuwwah

pemerintahan

Abad

negara.

(khilafah

demokrasi

saat

ini,

pemilihan yang melibatkan semua elemen

Tidak diketahui secara pasti siapa

masyarakat berdasarkan kesepakatan bersama,

pertama kali mengusulkan penggunaan istilah

atau melalui pemilihan yang dilakukan oleh

khalifah sehingga menjadi konsep politik dalam

para elit atau para tokoh sahabat Nabi, setelah

Islam.

itu dilakukan baiat, dan jika ini yang terjadi,

penulusuran karya-karya sejarah dan politik

maka kekhalifahan era Khulafā‟ al-Rāsyidīn

para pemikir Muslim, „Umar b. Kha āb untuk

sesuai

yang

pertama kali menyebut dua kali kata khalifah

berkembang di era modern dan kontemporer di

kepada Abū Bakr. Pertama, saat menentukan

dengan

34

sistem

demokrasi

Al-Mawardī, Al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah wa alWilāyah al-Dīniyyah (Kairo: Mu afā al-Bābī al- alabī,
1966), 5.
35
Athar Abbas Rizvi, Shah Wali-Allah and His
Times (Canberra: Ma‟rifa Publishing House, 1980), 290.

Tetapi

yang

jelas

berdasarkan

pilihan kepada Abū Bakr sebagai pemimpin
36

Qomaruddin Khan, The Political Thought of
Ibnu Taimiyah (Islamabad: Islamic Research Institut,
1973), 81.

270

Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari - Juni 2015

umat setelah Nabi wafat. Dalam upayanya

khalifah Rasūlillāh”38 (khalifah Rasulullah,

meyakinkan masyarakat Madīnah (bukan upaya

Abū Bakr, mengundang anda, „Alī) untuk

pencitraan), terutama orang-orang yang sedang

membicarakan

berada di balai sidang Tsaqīfah Banū Sa„īdah,

kepadanya.

„Umar

menyatakan

dalam

salah

satu

kesediaan

Berdasarkan

fakta

anda

berbaiat

dua

peristiwa

pernyataannya, “Wa khalīfatuhu ‘alā al-ṣalāh”

sebagaimana disebutkan di atas, maka dapat

(Abū Bakr menggantikan Rasulullah sebagai

ditegaskan bahwa „Umarlah pertama kali

imam

ini

menggunakan istilah khalifah, tetapi dikaitkan

menunjuk pada keadaan saat Nabi dalam

dengan Rasulullah sehingga menjadi khalīfah

keadaan uzur sakit sehingga beliau tidak dapat

Rasūlillāh.

menjadi imam shalat berjamaah di Masjid,

penggunaan istilah khalifah pada dua peristiwa

kemudian Rasulullah meminta Abū Bakr untuk

tersebut,

menggantikannya (yakhlufuhu.) Kedua, pesan

khalifah memiliki dua tugas: pertama sebagai

Abū

pemimpin agama;

dalam

Bakr

salat

kepada

berjamaah.)

„Umar

Hal

yang

disampaikannya kepada „Alī b. Abī

harus

Dari

dapat

aspek

dipahami

lain,

kemunculan

bahwa

seorang

kedua sebagai pemimpin

ālib

politik. Maka benarlah apa yang ditegaskan

terkait masalah baiat37 „Alī kepada Abū Bakr

para pemikir politik Islam dahulu bahwa

yang belum dilakukannya sampai beberapa

seorang khalifah adalah pemimpin agama dan

bulan,

dan

dunia (politik) sekaligus. Dengan demikian,

masyarakat Madīnah sudah menyatakan baiat

secara politis kekhalifahan sebagai sistem

kepada Abū Bakr. Yang disampakan „Umar

politik baru muncul setelah Rasulullah wafat,

kepada Ali tersebut sebagai berikut. “Yad‘ūka

dan ini dimulai sejak Abū Bakr dibaiat

padahal

para

sahabat

Nabi

(dilantik) sebagai khalifah, maka dimulailah
37

Baiat adalah pernyataan taat setia dari warga
masyarakat kepada pemimpin umat yang baru. Hal ini
menjadi sesuatu yang amat penting dalam politik Islam,
karena baiat sebagai pengakuan dan legitimasi dari warga
masyarakat pemilih kepada pemimpin terpilih. Baiat ini
juga merupakan sesuatu yang penting karena sebagai
kontrak sosial yang melahirkan hak dan kewajiban antara
pemimpin terpilih dengan warga masyarakat pemilih. Di
era modern dan kontemporer ada istilah pelantikan
kepada
pemimpin
terpilih
sebagai
peresmian
kepemimpinannya dimulai, biasanya dimulai dengan
pidato perdana kenegaraan, sumpah jabatan dan
kemudian diikuti dengan berjabatan tangan dengan
pemimpin terpilih. Di era klasik agenda ini sudah
dilaksanakan, hanya formatnya saja yang berbeda, tapi
intinya sama.

sistem ini untuk pertama kalinya dalam sejarah
politik Islam, walaupun pembaiatan Abū Bakr
ada sedikit masalah, yaitu masalah yang
menyebabkan „Alī b. Abī

ālib mengundur-

undur baiatnya kepada Abū Bakr. Masalah
tersebut disebabkan setidaknya oleh dua faktor.
Pertama, pihak keluarga Nabi merasa bahwa

Ibn Qutaybah al-Daynūrī, Al-Imāmah wa alSiyāsah, 16-9.
38

Sirojudin Aly, Kedudukan Agama dan Negara: Perspektif Pemikir Muslim Abad Pertengahan Ibn Taymiyyah

hari

wafat

Nabi

harusnya

menjadi

hari

271

ini karena sistem kekuasaan manapun jika tidak

berkabung bagi seluruh umat Muslim, tetapi

dikontrol oleh nilai-nilai kebenaran

Abū Bakr, „Umar dan lain-lainnya termasuk

bersumber

orang-orang Muhājirūn justru sibuk terlibat

menimbulkan

pembicaraan

pergantian

penguasanya mengaku beragama Islam. Sistem

kepemimpinan Nabi, bukan menyelesaikan

kekhilafahan juga tidak lepas dari berbagai

jenazah Nabi yang sudah membujur. Kedua,

permasalahan, terutama setelah era Khulafā‟ al-

dari

pihak

sebenarnya

intensif

paman

mengenai

„Alī,

yaitu

menginginkan

menggantikan

kepemimpinan

al-„Abbās

pada ajaran agama tidak jar