Strategi Pengembangan Kelompok Tani Di Wilayah Banjir Daerah Sungai Bengawan Solo Kabupaten Bojonegoro
STRATEGI PENGEMBANGAN KELOMPOK TANI
DI WILAYAH BANJIR DAERAH ALIRAN
SUNGAI BENGAWAN SOLO KABUPATEN BOJONEGORO
NURUL ARIFIYANTI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
2
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Pengembangan
Kelompok Tani di Wilayah Banjir Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo
Kabupaten Bojonegoro adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2017
Nurul Arifiyanti
NIM H35114007
RINGKASAN
NURUL ARIFIYANTI. Strategi Pengembangan Kelompok Tani di Wilayah
Banjir Daerah Sungai Bengawan Solo Kabupaten Bojonegoro. Dibimbing oleh
LUKMAN M BAGA dan BURHANUDDIN.
Anomali iklim menjadi ancaman bagi sektor pertanian terutama bagi
tanaman pangan yakni padi. Terutama pada Daerah Aliran Sungai (DAS)
Bengawan Solo yang mempunyai potensi besar untuk bercocok tanam padi.
Penanganan dampak banjir dapat teratasi dengan peran kelembagaan yang efektif.
Kelembagaan terstruktur dari pusat hingga lokal menentukan keberhasilan
penanganan banjir di sektor pertanian. Keberadaan kelembagaan akan
memudahkan pemerintah dan pemangku kepentingan dalam memfasilitasi dan
memberi penguatan pada petani. Kelompok tani sebagai lembaga lokal terkecil
sebagai tempat petani-petani mudah untuk mengakses keperluan dalam
berusahatani.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat agribisnis padi di DAS Bengawan
Solo, menganalisis pendapatan usahatani, kinerja internal kelompok tani dan
merumuskan strategi pengembangan kelompok tani dengan adanya ancaman
banjir. Perumusan strategi menggunakan pendekatan arsitektur strategi. Penelitian
menggunakan analisis usahatani, Importance Performance Analysis, PESTEL,
Matriks SWOT dan arsitektur strategi.
Penelitian dilakukan pada bulan Maret-Mei 2016 di Desa kedungprimpen
Kanor Kabupaten Bojonegoro Provinsi Jawa Timur. Data utama merupakan data
sekunder yang diperoleh dari Pusat Studi Bencana IPB Bogor dengan 50
responden anggota. Kelompok tani berjumlah tiga kelompok yaitu Sido Beno,
Maju Mapan dan Tani Makmur dengan total jumlah anggota 521 petani. Total
luas tanam pada sampel petani yani 314 Ha.
Hasil penelitian menunjukkan petani di Desa Kedungprimpen telah
mengadaptasi sistem agribisnis padi yakni subsistem hulu, usahatani dan lembaga
penunjang. Pada subsistem hilir dan pemasaran masih dikuasai oleh tengkulak.
Produktivitas padi pada kondisi normal sebesar 8.2 ton/ha dan kondisi banjir
1 ton/ha. Terdapat perbedaan pendapatan yang diterima oleh Petani Desa
Kedungprimpen di musim tanam II tahun 2013 (banjir) dan musim tanam II 2015.
Pada kondisi banjir petani mendapatkan hasil rata-rata pendapatan biaya total
sebesar Rp -9 010 646/ha dan Rp 22 872 751.77/ha di kondisi normal.
Kelompok tani memiliki performa kinerja yang cukup efektif dengan
persentase 34.5 persen. Atribut dalam kelompok tani yang memiliki kinerja baik
antara lain struktur organisasi, administrasi, kas dan iuran anggota kelompok,
fasilitas sarana alat pertanian, pupuk organik dan kimia, pestisida dan kredit.
Atribut-atribut pada variabel kelompok tani telah sesuai dengan nilai sebesar 61
persen. Menandakan bahwa atribut tersebut telah sesuai untuk diterapkan di
kelompok tani namun belum efektif dalam penerapannya. Analisis eksternal
menunjukkan adanya faktor yang mempengaruhi kelompok tani dalam
penanganan banjir salah satunya perkembangan teknologi dan program perluasan
irigasi.
Matriks SWOT menghasilkan strategi yang dapat dilakukan oleh kelompok
tani untuk meningkatkan produktivitas, kesejahteraan dan pendapatan petani.
Strategi tersebut antara lain bekerja sama dalam pendampingan teknologi
terbarukan, mengakses kebijakan swasembada melalui program pemerintah,
menjalin kerjasama dengan lembaga pemerintah dan swasta dalam pemasaran,
pelatihan peningkatan produktivitas, pelatihan untuk meningkatkan pendapatan,
memperkuat kelembagaan internal, menjalin kerjasama antisipasi banjir dan
meningkatkan kekompakan anggota. Hasil strategi di petakan dalam arsitektur
strategi dipadukan dengan rencana program selama tiga tahun.
Kata kunci: DAS Bengawan Solo, Kelompok Tani, Padi
SUMMARY
NURUL ARIFIYANTI. Strategy Development of Farmer Group in Flood Area
Bengawan Solo Watershed Bojonogoro Regency. Supervised by LUKMAN M
BAGA and BURHANUDDIN.
Climate anomalies pose a threat to the agricultural sector, especially for the
food crops of rice. Especially on Watershed (DAS) Bengawan Solo, which has
great potential for rice cultivation. Handling the effects of flooding can be
overcome with effective institutional role. Institutional structured from central to
local levels determine the success of flood mitigation in the agricultural sector.
The existence of institutions will facilitate government and stakeholders to
facilitate and provide reinforcement to the farmers. Farmer groups as the smallest
local agencies as the farmers are easy to access in farming purposes.
This study aims to look at the rice agribusiness Bengawan Solo river basin,
analyzing farm income, internal and external performance farmer groups and
farmer groups to formulate development strategies with the threat of flooding.
Strategy formulation approach strategy architecture. Mapping the results of
strategies to plans that are conducted every three years. Research using analysis of
farming, Impotance Performance Analysis, PESTEL, SWOT Matrix and
architecture strategies.
The study was conducted in March-May 2016 in the village of
Kedungprimpen Kanor Bojonegoro Regency East Java Province. The main data is
secondary data obtained from the Centre for Disaster Studies IPB Bogor with 50
respondents member. Farmer groups of three groups: Sido Beno, Maju Mapan and
Tani Makmur with a total number of 521 member farmers. Total acreage on a
sample of 314 farmers ministered Ha.
The result research showed that farmer in Kedungprimpen village has
adapted rice agribusiness system are upstream subsystem, farming and supporting
institutions. On the downstream subsystems and marketing is still controlled by
middlemen. The productvity of paddy in normal condition in the amount of
8.2 ton/ha and in flood 1 ton/ha. There is a different of farmer income in
Kedungprimpen Village in planting season II 2013 (flood) and II (2015). On flood
conditions receive income of Rp -9 010 646/ ha and on normal condition
Rp 22 872 751.77/ ha (normal).
The farmer group has a fair performance by percentage 34.5 percent.
Attributes on farmer group that have a good performance such as structure of
organization, administration, cash and membership fees, facility farming tools,
organic fertilizers, chemicals, pesticides and credit. Attributes in farmers group
have variables corresponding to the value of 61 percent. Indicates that these
attributes have to applied in the farmer groups but has not been effective in its
application. External analysis shows the presence of factors that affect farmers'
groups in the handling of the flood one technological development and irrigation
expansion program.
SWOT matrix produced strategies that can be done by a group of farmers to
increase productivity, well-being and income of farmers. The strategy calls for
working together in mentoring renewable technologies, access policy of selfsufficiency through a government program, cooperation with government
agencies and the private sector in marketing, training, productivity improvement,
training to increase revenue, strengthen internal institutional, cooperation in
anticipation of flooding and improve compactness members. The results of the
strategy mapped in architecture strategy combined with plans for a three-year
program.
Keyword : Bengawan Solo Watershed, Farmer group, Rice
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STRATEGI PENGEMBANGAN KELOMPOK TANI
DI WILAYAH BANJIR DAERAH ALIRAN
SUNGAI BENGAWAN SOLO KABUPATEN BOJONEGORO
NURUL ARIFIYANTI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Suharno, MADev
Penguji Wakil Program Studi
: Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
Judul Tesis
: Strategi Pengembangan Kelompok Tani di Wilayah Banjir Daerah
Nama
: Nurul Ariiyanti
NIM
: H351140071
Aliran Sungai Bengawan Solo Kabupaten Bojonegoro
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Lukman M Baga, AEc
Dr Ir Burhanuddin, MM
Ketua
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Agribisnis
Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
Tanggal Ujian: 06 Desember 2016
Tanggal Lulus:
1 0 JAN 2017
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema dalam
penelitian ini yakni strategi pengembangan. Judul yang dipilih ialah strategi
pengembangan dengan judul Strategi Pengembangan Kelompok Tani di Wilayah
Banjir Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Lukman M Baga, MAEc
dan Bapak Dr Ir Burhanuddin, MM selaku pembimbing yang telah banyak
memberi saran.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada :
1. Bapak Dr Ir Dahrul Syah, M.Sc.Agr selaku Dekan Sekolah Pascasarjana dan
seluruh staf pengajar Program Studi Agribisnis IPB, yang telah membantu
penulis selama menempuh pendidikan.
2. Pusat Studi Bencana IPB yang telah memberikan kesempatan dalam
partisipasi penelitian kebencanaan.
3. Pemerintah Daerah Kabupaten Bojonegoro, khususnya Badan Penyuluh
Pertanian atas kerjasama dan dukungan data selama penelitian.
4. Pemerintah Daerah Kecamatan Kanor atas kerjasama dan dukungan selama
penelitian.
5. Pemerintah daerah dan seluruh masyarakat Desa Kedungprimpen atas
bantuan, perhatian dan kerjasama dalam penelitian.
6. Ibu Dr Ir Ratna Winandi, MS selaku dosen evaluator pada kolokium atas saran
yang diberikan.
7. Ibu Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku penguji Wakil Program Studi atas
saran yang diberikan.
8. Bapak Dr Ir Suharno, MADev selaku dosen penguji luar komisi atas saran yang
diberikan.
9. Keluarga besar Bani Sahid atas nasehat dan dukungannya.
10. Orang tua tercinta, Bapak Abdul Ro’uf dan Ibu Asri hayati, Kakak-kakak dan
ponakan tersayang atas doa, kasih sayang dan perhatian.
11. Rekan dan sahabat MSA angkatan V dan PMD atas kerjasama, perhatian dan
dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2017
Nurul Arifiyanti
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR GAMBAR
xiv
PENDAHULUAN
Latar belakang
Perumusan masalah
Tujuan penelitian
Manfaat penelitian
Ruang lingkup penelitian
1
1
4
5
5
5
TINJAUAN PUSTAKA
Daerah aliran sungai
6
6
Agribisnis padi
7
Tingkat pendapatan
8
Kelompok tani
9
Strategi pengembangan kelompok tani
KERANGKA PEMIKIRAN
Konsep agribisnis
14
16
16
Konsep pendapatan
18
Konsep organisasi
20
Konsep kinerja
21
Kerangka PESTEL
22
Strategi pengembangan
23
Kerangka Operasional
26
METODE PENELITIAN
Lokasi dan waktu penelitian
27
27
Jenis dan sumber data
27
Metode penentuan sampel
28
Metode analisis data
28
KERAGAAN AGRIBISNIS PADI
Keadaan geografis
Sosial ekonomi masyarakat
Karakteristik petani responden
Gambaran kelompok tani
Agribisnis padi
38
38
39
39
40
41
USAHA TANI KELOMPOK TANI
Penerimaan usahatani padi
Pengeluaran usahatani padi saat normal dan banjir
44
44
46
Pendapatan usahatani
48
KINERJA KELOMPOK TANI
Metode Importance Performance Analysis (IPA)
Analisis PESTEL
49
50
58
STRATEGI PENGEMBANGAN KELOMPOK TANI
Analisis internal
Analisis eksternal
Matriks SWOT
62
62
64
67
ARSITEKTUR STRATEGI
Visi misi kelompok tani
Industry Foresight
Sasaran kelompok tani
Tantangan kelompok tani
Rekomendasi program kegiatan
72
73
73
73
73
73
SIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
77
77
77
DAFTAR PUSTAKA
78
RIWAYAT HIDUP
84
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Rata-rata konsumsi di Indonesia tahun 2011-2016
Kerusakan lahan akibat banjir (Ha) di Indonesia tahun 2010-2016
Matriks penelitian di Desa Kedungprimpen tahun 2016
Analisis pendapatan usahatani padi
Skor nilai kepentingan dan kepuasan Importance Performance Analysis
Atribut kinerja kelompok tani Desa Kedungprimpen tahun 2016
Kerangka PESTEL kelompok tani Desa Kedungprimpen tahun 2016
Matriks SWOT kelompok tani di Desa Kedungprimpen
Mata pencaharian penduduk Desa Kedungprimpen tahun 2015
Identitas petani responden Desa Kedungprimpen tahun 2016
Rata-rata penerimaan usahatani padi Desa Kedungprimpen
tahun 2013 dan 2015
Rata-rata pengeluaran usahatani padi Desa Kedungprimpen
tahun 2013 dan 2015
Rata-rata pendapatan usahatani padi Desa Kedungprimpen
tahun 2013 dan 2015
Data tingkat kepentingan dan kepuasan responden di Desa Kedungprimpen
tahun 2016
Lingkungan Eksternal Kelompok Tani di Desa Kedungprimpen
tahun 2016
Matriks SWOT peningkatan kemampuan kelompok tani di Desa
Kedungprimpen tahun 2016
Rekomendasi program kegiatan kelompok tani di Desa Kedungprimpen
tahun 2016
1
3
27
30
32
34
36
37
39
40
45
47
48
51
58
68
74
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Lingkup sistem agribisnis
Proses evaluasi kinerja
Kerangka PESTEL
Alur manajemen strategis
Kerangka operasional
Kuadran Importance-Performance Analysis
Basis analisis dalam analisis SWOT
Pembagian kuadran IPA
Arsitektur strategi kelompok tani Desa Kedungprimpen tahun 2017-2019
18
21
22
24
26
31
37
50
76
1
PENDAHULUAN
Latar belakang
Sektor pertanian merupakan salah satu pilar utama pembangunan
perekonomian Indonesia. Hampir seluruh kegiatan perekonomian Indonesia
berpusat pada sektor ini. Kontribusi yang cukup signifikan dilihat dari sisi produk
domestik bruto. Pada tahun 2013 sektor pertanian berada pada urutan kedua
setelah industri pengolahan dengan nilai share sebesar 15.21 persen (BPS 2014).
Pertanian menjadi tumpuan sumber ketahanan pangan nasional dan sebagai
penghasil devisa bagi Indonesia. Peranan sektor pertanian sebagai sumber
penghasil bahan kebutuhan pokok, sandang dan papan, serta penopang kegiatan
ekonomi dengan penyediaan lapangan kerja bagi sebagian besar penduduk.
Berdasarkan data BPS, sektor pertanian masih menjadi primadona dalam nilai
angkatan kerja dengan sekitar 34.36 persen yang menggantungkan hidupnya pada
sektor pertanian, baik sebagai petani maupun buruh tani. Subsektor pertanian
yakni ketahanan pangan menjaga kestabilan ketersediaan pangan yang cukup dan
secara berkelanjutan. Secara langsung yang dipengaruhi oleh produksi tanaman
pangan.
Tingginya pertumbuhan penduduk Indonesia mencapai 248 juta orang pada
tahun 2013 dan diperkirakan menembus angka 271 juta orang pada tahun 2020
(BPS 2014). Laju pertumbuhan penduduk akan seiring dengan meningkatnya
kebutuhan konsumsi pangan nasional. Salah satu komoditas strategis yang
menjadi sumber pangan utama yakni padi. Pada tahun 2015, tingkat konsumsi
beras pada tingkat rumah tangga dan non rumah tangga mencapai
98.05 kg/kapita/tahun (Kementan 2015). Pada Tabel 1 dapat dilihat beras masih
menjadi bahan makanan utama bagi masyarakat Indonesia.
Tabel 1 Rata-rata konsumsi di Indonesia tahun 2011-2016
Produk
(kg/kap/thn)
Beras
Jagung
Kedelai
Ubi kayu
Tahun
2011
2012
2013
2014
2015
102.87
1.40
7.56
5.79
97.65
1.36
7.12
3.60
97.40
1.44
7.15
3.49
97.20
4.44
7.13
3.42
98.05
1.97
5.95
3.60
Rata-rata
pertumbuhan
(%)
-1.16
9.92
-5.54
-9.41
Sumber : Kementan 2015
Hal ini menjadi tantangan bagi Indonesia untuk memenuhi permintaan
konsumsi pangan yang semakin tinggi dengan sumber daya yang sangat
mendukung. Ketahanan pangan tercapai dengan kondisi terpenuhinya kebutuhan
pangan bagi masyarakat Indonesia dipandang dari ketersediaan yang cukup. Baik
dalam jumlah maupun mutu kualitasnya serta daya beli masyarakat yang
terjangkau. Ketahanan pangan selalu dikaitkan dengan ketersediaan beras. Produk
beras menjadi perhatian utama pemerintah dikarenakan tingkat ketergantungan
masyarakat Indonesia yang sangat tinggi. Kekurangan ketersediaan beras akan
berakibat pada stabilitas pangan nasional dan berdampak pula pada aspek sosial,
ekonomi dan politik.
2
Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan
produktivitas padi dengan mencanangkan program swasembada beras. Pemerintah
telah mengeluarkan pembiayaan untuk petani sebesar 32 Trilliun. Pembiayaan ini
lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 15 Trilliun (Machmud 2015).
Arah kebijakan pemerintah dalam pembangunan tanaman pangan mengarah pada
memperkuat kawasan komoditi utama dan strategis tanaman pangan
berkelanjutan, mendorong pengembangan komoditi lokal sebagai prioritas daerah
dan mengembangkan skala usaha tanaman pangan yang layak. Strategi yang
dilakukan pemerintah dengan penguatan kawasan tanaman pangan yang
terintegrasi dengan memperkuat adopsi serta inovasi teknologi dengan fokus
peningkatan produksi secara berkelanjutan dengan memperhatikan kapasitas
sumberdaya dan spesifik lokal (Dinas Pertanian Jawa Timur 2013).
Salah satu faktor ancaman pada sektor pertanian yakni anomali iklim.
Perubahan iklim, curah hujan dan pergeseran musim yang tidak menentu
merupakan dampak dari pemanasan global. Dampak negatif terbesar tidak dapat
dihindarkan yakni terjadinya banjir yang dapat menyebabkan kegagalan panen
dan ketidakstabilan pangan nasional. Anomali iklim mengubah siklus produksi
pertanian. Pergeseran musim tidak menentu membuat petani kesulitan dalam
mengawali masa tanam, pembenihan dan pemupukan. Produksi akan menurun dan
mengakibatkan pasokan tidak menentu sementara permintaan terus berjalan. Hal
tersebut dapat menyebabkan ketahanan pangan Indonesia mengalami guncangan.
Potensi terbesar dampak bencana yakni komoditas padi, kedelai, cabai, jagung,
tebu dan daging. Sektor yang paling merasakan dampak ini yakni petani,
masyarakat miskin, pedagang kecil, industri pertanian dan juga pemerintah
Indonesia.
Kesiapsiagaan kelembagaan up-down dalam menangani dampak banjir
terhadap sektor pertanian menjadi kunci utama. Berdasarkan orientasi pemerintah
Indonesia pada ketahanan pangan nasional, sistem agribisnis menjadi fokus untuk
lebih ditingkatkan. Sistem agribisnis yang efektif tidak terlepas dari peran
kelembagaan yang berperan aktif. Peran kelembagaan yang terstruktur dari pusat
hingga terkecil yakni petani menentukan keberhasilan pembangunan pertanian
yang salah satunya dapat dilihat dari ketahanan pangan. Kelembagaan petani di
pedesaan berkontribusi dalam aspek sosial-ekonomi, informasi dan adopsi
inovasi. Aksesibilitas pengembangan sosial-ekonomi, modal, infrastruktur dan
pasar.
Keberadaan adanya kelembagaan akan memudahkan pemerintah dan
pemangku kepentingan dalam memfasilitasi dan memberikan penguatan petani.
Kelompok tani merupakan lembaga lokal terkecil dari kelembagaan pertanian.
Kelompok tani dibentuk untuk memudahkan para petani dalam mengakses yang
diperlukan, memecahkan permasalahan yang dihadapi petani yang tidak dapat
diatasi oleh individu masing-masing. Kinerja kelompok tani sangat
mempengaruhi keberhasilan hasil pertanian. Sejalan dengan ancaman sektor
pertanian yakni banjir, kelompok tani dapat menjadi tempat bagi petani untuk
memecahkan masalah bersama dalam mengantisipasi dan mengurangi kerugian
dampak banjir.
Sivakumar (2011) menjelaskan dampak bencana terhadap pertanian terbagi
dua yakni langsung dan tidak langsung. Dampak langsung berupa kerusakan fisik
dari tanaman pangan, pohon, dan binatang ternak, sedangkan dampak tidak
3
langsung berupa penurunan kapasitas produksi pertanian dan peningkatan biaya
produksi. Dampak yang dimaksud juga dapat berupa tangible (lebih terukur) dan
intangible (lebih sulit terukur). Bencana yg terjadi berulang-ulang pada suatu
wilayah geografis yang sama dapat menyebabkan menurunnya investasi di
wilayah tersebut karena berisiko akan kehilangan asset.
Berdasarkan studi di berbagai daerah, sekitar 20 persen desa di Indonesia
mengalami banjir setiap tahunnya (periode 2003, 2005, 2011) (Kementan 2011).
Negara-negara Asia bahkan di Afrika dan Amerika Latin mengalami penurunan
produktivitas tanaman pertanian sebesar 20 persen (Edame et al. 2010).
Berdasarkan data FAO (2015), Dampak bencana alam paling tinggi di alami oleh
pertanian dengan nilai persentase kerusakan sebesar 14.2 persen, kehilangan
29.4 persen dan keduanya 21.8 persen. Berdasarkan subsektor yang menempati
urutan pertama mengenai kerusakan dan kehilangan yaitu sektor tanaman sebesar
42.4 persen kemudian peternakan 35.8 persen.
Bencana banjir telah menjadi aktivitas rutin di Indonesia dari tahun ke
tahun. Selama delapan belas tahun Indonesia menghadapi bencana alam dampak
dari la nina tersebut. Sekitar 28 juta penduduk Indonesia sangat berpotensi untuk
tertimpa krisis sebagai dampak bencana alam, khususnya bencana banjir dengan
data dari BNBP pada tahun 2010-2015 sebanyak 3 781 kejadian banjir
(BNBP 2015). Kurun waktu 2010-2016, kerusakan lahan yang dialami Indonesia
akibat banjir sebesar 405 715ha. Daerah dengan kerusakan tertinggi antara lain
Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Selatan
(BNPB 2016).
Tabel 2 Kerusakan lahan akibat banjir (Ha) di Indonesia tahun 2010-2016
No
Provinsi
1
2
3
4
5
Jawa Barat
Sulawesi Selatan
Jawa Tengah
Jawa Timur
Sumatera Selatan
2010
7 285
18 916
9 684
8 871
11 463
2011
1 215
1 187
5 038
4 894
1 005
2012
662
8 258
1 033
5 087
785
Tahun
2013
4 779
19 029
12 745
11 609
1 741
2014
84 784
4 485
11 735
3 457
4 819
2015
1 992
16 424
141
714
594
2016
4 999
7 260
735
4 749
3 129
Total
105 716
75 559
41 111
39 381
23 536
Sumber : BNPB 2016
Banjir terjadi disebabkan dari luapan sungai yang tidak terkontrol.
Penelitian ini berfokus pada sungai terpanjang di Jawa yakni Bengawan Solo
dengan panjang sekitar 548.53 km. Sungai Bengawan Solo mengaliri dua provinsi
yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan pembagian tiga wilayah admistratif
hulu, tengah dan hilir. Daerah sekitar aliran sungai Bengawan Solo menjadi area
yang produktif untuk berusahatani antara lain padi dan jagung.
Kabupaten Bojonegoro merupakan daerah hilir yang di aliri Sungai
Bengawan Solo. Bojonegoro merupakan salah satu daerah sentra padi dengan luas
lahan pertanian sebesar 56 persen dan potensi padi sekitar 847 ribu ton
(BPS 2015). Daerah potensi pertanian berada di bagian utara dan selatan dan
sebagian kecil di wilayah selatan dengan pertanian tadah hujan. Lokasi
Bojonegoro yang berada di hilir Bengawan Solo menyebabkan potensi dampak
yang terjadi lebih besar dengan adanya bencana banjir. Data terakhir lahan seluas
2 115.5 Ha terendam banjir (Dzikroh 2014). Tidak hanya mengalami puso
terdapat korban jiwa akibat bencana banjir di Bojonegoro pada tahun 2013
4
berjumlah 6 jiwa. Perkiraan kerugian akibar banjir Bengawan Solo sekitar
65 ribu juta pada tahun 2013 (BPS 2015). Pada musim penghujan tahun 2013
tercatat sekitar 5 000 Ha sawah terendam banjir di Kabupaten Bojonegoro dan
kerugian mencapai 4.9 miliar (Kominfo Jatim 2013).
Perumusan masalah
Daerah aliran sungai Bengawan Solo merupakan area rawan akan banjir.
Setiap tahun akan ada potensi untuk mengalami banjir. Pada tahun 2013
Kabupaten Bojonegoro mengalami puso sehingga produksi padi menurun sebesar
802 528 ton dan meningkat pada tahun 2014 sebesar 847 857 ton (BPS 2015).
Keragaman agribisnis padi di wilayah rentan banjir menjadi keunikan tersendiri
dilihat dari setiap aspek agribisnis hulu, usahatani, hilir, pemasaran dan lembaga
penunjang. Para petani di daerah aliran sungai memilih untuk tetap bertahan untuk
tetap berusahatani padi meskipun berpotensi untuk puso. Hal ini disebabkan
karena pekerjaan utama penduduk yakni petani. Petani dipaksa untuk dapat
melakukan adaptasi untuk mengurangi dampak negatif banjir. Salah satu adaptasi
yang dapat dilakukan antara lain seperti perluasan lahan, benih padi dan
perubahan pola tanam.
Seiring dengan usahatani yang rentan akan dampak banjir, hal ini
berhubungan dengan pendapatan yang dihasilkan oleh petani. Petani mengalami
kerugian besar pada kondisi banjir dibandingkan dengan kondisi normal. Hal ini
menyebabkan petani tidak dapat bergantung dengan hasil on-farm yang tidak pasti
di musim tanam ke-2. Hal tersebut mendorong untuk melakukan pekerjaan
sampingan. Petani pada daerah rawan banjir mendominasi pada usaha non-farm
sebagai sumber pendapatan, diantaranya dengan berdagang, menjadi buruh
panggul dan pabrik. Sekitar 20 persen pendapatan berasal dari on-farm, selain itu
berasal dari off-farm dan non-farm (Azzahra 2015).
Peran kelembagaan khususnya lembaga lokal dalam mengurangi dampak
banjir merupakan hal penting. Keberadaan kelompok tani diharapkan dapat
menjadi naungan petani desa untuk memperbaiki taraf hidup, harkat dan
martabatnya. Peningkatan kapasitas kelembagaan petani dilakukan sejalan dengan
kegiatan penyuluhan pertanian dengan memotivasi petani untuk berpartisipasi
dalam kelembagaan petani. Penyuluhan pertanian perlu dirancang dengan
memberikan muatan pada penguatan kapasitas individu petani sekaligus
penguatan kapasitas kelembagaan petani (Anantanyu 2011).
Kelompok tani perlu melakukan evaluasi organisasi untuk melihat kinerja
pengurus dan sejauh mana sumber daya yang dimiliki telah digunakan dengan
maksimal. Melalui sistem pengukuran dapat terlihat bagaimana kelompok tani
tersebut berjalan seperti peningkatan ataupun penurunan serta berorientasi pada
masa depan untuk lebih berkembang dan maju. Kinerja kelembagaan petani yang
kurang efektif menyebabkan rendahnya kerjasama dalam penyelesaian
permasalahan yang berkenaan dengan produksi padi. Pada kondisi daerah rawan
bencana, adanya kelompok tani sangat berperan penting, untuk melakukan
pengelolaan yang sesuai dengan kondisi yang ekstrim tersebut. Tidak hanya
berfokus pada produksi padi namun seluruh sistem usaha tani dari hulu hingga
hilir dan penunjangya. Perlu adanya strategi dalam pemberdayaan kelompok tani
dengan fungsi koordinasi dan kewewenangan yang terintegrasi.
5
Perumusan strategi pengembangan kapasitas kelompok tani yang efektif
membutuhkan kajian mendalam mengenai keadaan lingkungan agribisnis padi,
usahatani padi yang berhubungan dengan pendapatan petani serta kinerja
kelompok tani padi di wilayah rentan banjir. Berdasarkan latar belakang, rumusan
masalah dari penelitian ini yakni :
1. Bagaimana agribisnis padi di wilayah banjir Daerah Aliran Sungai Bengawan
Solo?
2. Bagaimana tingkat pendapatan petani padi di wilayah banjir Daerah Aliran
Sungai Bengawan Solo?
3. Bagaimana kinerja kelompok tani di wilayah banjir Daerah Aliran Sungai
Bengawan Solo?
4. Strategi apa yang dapat diterapkan untuk pengembangan kapasitas kinerja
kelompok tani dalam meningkatkan pendapatan petani di wilayah banjir
daerah aliran sungai Bengawan Solo?
Tujuan penelitian
Output dari penelitian merupakan hasil untuk memperoleh gambaran aktual
tentang kondisi lembaga petani di daerah aliran sungai Bengawan Solo.
Berdasarkan perumusan masalah di atas, secara spesifik tujuan penelitian ini
adalah
1. Mendeskripsikan agribisnis padi di wilayah banjir Daerah Aliran Sungai
Bengawan Solo.
2. Menganalisis pendapatan petani padi di wilayah banjir Daerah Aliran Sungai
Bengawan Solo.
3. Mengevaluasi kinerja kelompok tani di wilayah banjir Daerah Aliran Sungai
Bengawan Solo.
4. Merumuskan strategi yang dapat diterapkan untuk pengembangan kapasitas
kinerja kelompok tani dalam meningkatkan pendapatan petani di wilayah
banjir daerah aliran sungai Bengawan Solo.
Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan pembelajaran
untuk pengambilan kebijakan selanjutnya bagi pemangku kepentingan dan dapat
dijadikan dasar untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan cakupan yang
komprehensif dan representatif. Selain itu dapat dijadikan panduan dan acuan
untuk petani lain sebagai informasi strategi dalam meningkatkan kinerja
kelompok tani.
Ruang lingkup penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah Kelompok tani yang berada di Desa
Kedungprimpen Kecamatan Kanor Kabupaten Bojonegoro. Batasan sampel yaitu
anggota aktif kelompok tani yang mengalami dampak banjir. Pembahasan
agribisnis padi dan perumusan strategi pengembangan kelompok tani terbatas
pada aspek internal dan eksternal. Basis analisis strategi pada faktor internal yaitu
kelompok tani, pengurus dan anggota, sedangkan faktor eksternal yakni lembaga
6
diluar kelompok tani seperti Balai Penyuluhan Pertanian, Dinas Pertanian, Badan
Penanggulangan Bencana Daerah, Pemerintahan Desa, Badan Pengawas Desa,
Mitra Usaha dan Lembaga keuangan.
TINJAUAN PUSTAKA
Daerah aliran sungai
Daerah aliran sungai (DAS) memiliki berbagai pandangan dari aspek teknik
sipil dan ekologi. Mustiko (2014) mengungkapkan pada aspek keilmuan teknik
sipil pengertian DAS ialah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan
dengan sungai dan anak-anak sungai yang berfungsi untuk menampung,
menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan di wilayah tertentu
ke danau atau laut secara alami. Terdapat batasan darat dan laut yang diukur
dengan menghubungkan titik tertinggi diantara wilayah aliran sungai. DAS yang
menjadi bagian dari dAS yang lebih besar merupakan subDAS sebagai daerah
tangkapan anak sungai terintegrasi berbagai faktor yang mengarah pada
kelestarian atau degradasi.
Geometri DAS dengan topografi wilayah yang bergelombang, berbukit atau
bergunung dan kerapatan drainase yang relatif tinggi merupakan sumber air yang
masuk ke sungai utama dan sumber erosi yang sebagian terangkut menjadi
sedimen daerah hilir. Menurut fungsi DAS dibagi dalam tiga komponen yaitu
hulu, tengah dan hilir. Ekosistem bagian hulu merupakan daerah tangkapan air
utama dan pengatur aliran. Ekosistem tengah sebagai daerah distributor dan
pengatur air sedangkan ekosistem hilir merupakan pemakai air. Hubungan antara
ekosistem DAS menjadikan sebagai satu kesatuan hidrologis.
Suwardji et al. (2002) mengatakan Aspek ekologi untuk DAS merupakan
keseluruhan daerah kuasa (regime) sungai yang menjadi alur pengatus (drainage)
utama. Batas DAS merupakan garis bayangan sepanjang punggung pegunungan
atau tebing/bukit yang memisahkan sistim aliran yang satu dari yang lainnya.
Suatu DAS terdiri atas dua bagian utama daerah tadah (catchment area) yang
membentuk daerah hulu dan daerah penyaluran air yang berada di bawah daerah
tadah.
Dalam pengelolaannya, DAS dipandang sebagai suatu kesatuan sumberdaya
darat. Sehingga pengelolaan DAS yang bijak hendaklah didasarkan pada
hubungan antara kebutuhan manusia dan ketersediaan sumberdaya untuk
memenuhi kebutuhan manusia tersebut. Unsur-unsur DAS terdiri dari iklim hayati
(bioclimate), relief, geologi, atau sumberdaya mineral, tanah, air (air permukaan
dan air tanah), tetumbuhan (flora), hewan (fauna), manusia dan berbagai
sumberdaya budaya seperti sawah, ladang, kebun, hutan kemasyarakatan (HKm),
dan sebagainya. Beberapa unsur DAS tersebut sangat mempengaruhi berbagai
aspek dalam sistem DAS. Komponen yang menjamin dalam pengelolaan DAS
baik dari sudut pandang teknik sipil dan ekologi adalah seluruh pemangku
kepentingan termasuk, pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan,
7
lembaga swasta, balai konservasi, lembaga swadaya dan masyarakat di sekitar
daerah aliran sungai.
Agribisnis padi
Perubahan cuaca yang tidak menentu memberikan dampak yang besar bagi
produksi padi. Sama halnya dengan bencana banjir di Thailand pada tahun 2011
yang menyebabkan kerusakan yang signifikan untuk pertanian padi. Tercatat
hamparan tanaman padi pada peta wilayah yang terkena banjir menunjukkan
sekitar 16.8 persen dari areal budidaya padi dibandingkan dengan tahun 2008
yang hanya seluas 4.9 persen tersapu oleh banjir (Son et al. 2013).
Adaptasi petani pada daerah banjir membutuhkan penerapan sistem
agribisnis yang terpadu yang akan meningkatkan pendapatan usahatani. Agribisnis
yang terdiri dari subsistem sarana produksi, budidaya, pengolahan, pemasaran dan
lembaga penunjang. Kusnandar et al. (2013) mengungkapkan sistem agribisnis
padi organik terdiri dari beberapa pelaku yang terlibat yaitu petani padi organik,
agroindustri beras organik, kelompok tani, gapoktan, peternak sapi, asosiasi padi
organik, Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, serta
lembaga keuangan dan konsumen. Hastuti (2008) menganalisis penerapan sistem
agribisnis terhadap pendapatan petani asparagus, kucai dan sayuran. Penerapan
subsistem agribisnis hulu, subsistem usahatani, pengolahan hasil dan model
Usahatani, baik secara parsial maupun serempak berpengaruh nyata terhadap
Pendapatan pada tingkat petani. Subsistem pemasaran tidak berpengaruh nyata
terhadap pendapatan petani sayuran.
Sarangi et al. (2016) mengungkapkan bahwa pengembangan manajemen
bersama dengan perbaikan varietas merupakan hal penting untuk meningkatkan
produktivitas padi di daerah pesisir. Kombinasi dilakukan dengan berbagai
evaluasi dan didapatkan hasil terbaik yakni tingkat pupuk 50-20-10 kg
N-P2O5-K2O, 5 ton pupuk kandang per hektar, transplantasi bibit pada jarak
15 x 15 cm. Paket ini optimal untuk meningkatkan produktivitas dan keuntungan
padi. Kegiatan menggabungkan perbaikan manajemen dan berbagai toleran
mengakibatkan hasil gabah lebih tinggi dibandingkan dengan manajemen petani
dan varietas. Teknologi ini membantu dalam mempertahankan produktivitas yang
lebih tinggi dan profitabilitas sistem tanam berbasis padi di wilayah pesisir rawan
banjir yang stagnan.
Buddhaboon et al. (2011) meneliti tentang produksi padi pada area air
yang dalam (banjir) di Thailand menjelaskan hal yang mempengaruhi yaitu
tanggal tanam dan varietas. Awal musim hujan lahan dipengaruhi oleh varietas.
Hasil tertinggi diperoleh varietas Pitsanulok 2 (PSL 2). Namun tidak jauh berbeda
dengan varietas Pathum Thani 1 (PTT 1) hasil produksi mendekati PSL 2.
Borin et al. (2016) mengungkapkan bahwa ketersediaan air merupakan
faktor pembatas utama produksi beras global di irigasi banjir. Penekanan air
selama siklus menanam padi (irigasi berselang) muncul sebagai alternatif untuk
irigasi tradisional. Namun, irigasi berselang dapat mempengaruhi dinamika
larutan tanah, penggunaan air dan hasil padi. Namun, lebih banyak studi mengenai
metode pengelolaan irigasi banjir diperlukan kondisi edaphoclimatic (kesuburan
tanah, konservasi tanah dan air, agrohidrologi, pupuk dan pemupukan, ekologi
8
tanah, dan bioteknologi tanah) untuk memungkinkan bahwa irigasi berselang
menjadi kenyataan untuk petani padi dari Brasil Selatan.
Sistem irigasi menunjang penuh dalam budidaya padi. Pada area yang
intensitas banjir tinggi dibutuhkan sistem irigasi yang efektif untuk mengatur
ketersediaan air. Penelitian Massey et al. (2014) mengungkapkan bahwa petani
dapat beradaptasi dengan banjir berselang di Missisipi. Banjir berselang dapat
disesuaikan dengan produksi padi skala komersial dan irigasi 600 mm.
Penggunaan irigasi dapat berkurang sebagai dampak dari banjir berselang.
Keberhasilan ini dapat dikaitkan dengan lahan yang luas, manajemen penyakit,
kecakapan irigasi yang handal yang memungkinkan untuk pembentukan makanan
yang cepat.
Dampak dari bencana banjir menyebabkan petani melakukan adaptasi untuk
usahatani mereka. Petani melakukan perluasan lahan usahatani untuk menghindari
risiko kerugian. Adanya fakta peningkatan data luas lahan di Jawa Barat dan Jawa
Timur di tahun 2009, rata-rata luas lahan menjadi 3.01 Ha dan 1.08 Ha.
Penggunaan benih padi oleh petani didapat dari toko resmi sehingga benih yang
digunakan bersertifikat. Dalam melakukan usahatani perubahan yang dilakukan
dari segi pola penanaman. Petani Jawa Barat melakukan pola tanam padi-padibera sedangkan di Jawa Timur pola tanam padi-padi-palawija. Bulan tanam juga
mengalami perubahan. Pergeseran bulan penanaman dari November ke Januari,
Februari dan Maret kemudian di bulan Juli bergeser ke Juni
(Rasmikayati et al. 2015).
Tingkat pendapatan
Kerugian yang dialami usahatani petani merupakan salah satu dampak dari
banjir. Kerugian terhadap tingkat pendapatan dialami oleh petani. Pendapatan
yang diterima sebagai petani bisa dibilang sangat kecil dan tidak sebanding
dengan usaha keras mereka dalam bertani. Azzahra (2015) mengungkapkan
pendapatan petani daerah banjir lebih rendah dibandingkan dengan wilayah tidak
banjir. Rata-rata pendapatan petani di Desa Tambelang Bekasi yang terkena
dampak banjir sebesar 13 juta. Sedangkan pendapatan untuk petani yang tidak
terkena banjir sebesar 23 juta.
Wulandari (2015) mengungkapkan tekanan ekonomi yang dialami petani
puso menimbulkan kerugian fisik maupun non fisik. Aspek ekonomi pada petani
di Desa Kemujan dan Tegalsari Kabupaten Kebumen seperti pendapatan keluarga
sebesar Rp 1 227 000 dan pendapatan perkapita Rp 332 600. Tingkat keparahan
kerugian berada pada tingkat rendah dan untuk tingkat tekanan ekonomi berada
pada kategori sedang sebesar 46 persen.
Berbeda dari penelitian sebelumnya, Rasmikayati (2015) menjelaskan
pendapatan di daerah rawan banjir justru meningkat. Seiring dengan peningkatan
produktivitas, pendapatan bertambah. Besaran pendapatan sebanyak 1-2 juta per
bulan. Petani telah melakukan adaptasi usahatani namun hasil pendapatan ini
masih lebih kecil dibandingkan hasil petani di daerah tidak banjir. Pendapatan
petani di daerah tidak banjir lebih tinggi dibandingkan di daerah banjir meskipun
hal itu masih terbilang kecil dan tidak sesuai dengan jerih payah petani. Lain
halnya lagi dengan penelitian Oktavia (2014) mengenai kondisi kesejahteraan
petani padi sawah di Kecamatan Bayang Kabupaten pesisir Selatan. Kondisi
9
pendapatan petani padi sawah umumnya memiliki penghasilan lebih dari
Rp 3 000 000/Bulan dengan persentase 39.22 persen dikategorikan kurang.
Yusdja et al. (2004) menganalisis peluang kerjasama petani untuk meningkatkan
pendapatan petani. Hasilnya kerjasama antar petani layak untuk dilakukan karena
dapat meningkatkan keuntungan 18-30 persen dan kesempatan kerja meningkat
20-30 persen. Manajemen sistem usahatani bersama dapat dipertimbangkan oleh
petani, masyarakat dan pemerintah.
Besar kecilnya pendapatan usahatani padi sawah dapat dipengaruhi oleh
penerimaan dan biaya produksi. Sama halnya dengan penelitian Andrea (2012)
adanya bantuan benih, pupuk, dan pestisida dari PTPN III, pendapatan petani
meningkat sebesar Rp 15 803 118.31/Ha daripada sebelum mendapat bantuan
yaitu sebesar Rp 10 294 989.51/Ha. Rumintjap (2014) mengungkapkan bahwa
dari faktor-faktor yang diamati yakni luas lahan, benih, pupuk dan tenaga kerja
berpengaruh nyata terhadap produksi padi sawah. Secara parsial terdapat tiga
variabel yang berpengaruh nyata terhadap produksi padi sawah yaitu luas lahan,
benih dan pupuk. Pendapatan yang diperoleh petani padi sawah Desa Pandere
sebesar Rp 12 455 906/1.1Ha/MT. Program PUAP memberikan dampak yang
baik untuk petani, peningkatan rata-rata pendapatan rumah tangga penerima
sebesar 12.86 persen dan penurunan tingkat kemiskinan sebesar 7.67 persen
(Akbar 2012).
Kelompok tani
Kelembagaan sebagai hal yang berkenaan dengan norma, nilai, regulasi dan
pengetahuan yang menjadi pedoman untuk individu dan organisasi (Syahyuti
2011), dibentuk dengan sasaran mewujudkan tujuan pemangku kepentingan.
Peran kelembagaan yang mandiri dan tangguh menjadi orientasi dalam
pembangunan ketahanan pangan. Kelompok tani sebagai lembaga lokal yang
mana sebagai tempat berkumpul para petani. Kelembagaan petani di pedesaan
berkontribusi dalam pengembangan sosial ekonomi petani seperti aksesibilitas
pada informasi pertanian, modal, infrastruktur, dan pasar dan adopsi inovasi
pertanian. Di samping itu, keberadaan kelembagaan petani akan memudahkan
bagi pemerintah dan pemangku kepentingan yang lain dalam memfasilitasi dan
memberikan penguatan pada petani.
Orientasi pembangunan pertanian di peranan kelembagaan pada sistem
agribisnis. Kelembagaan yang solid pada daerah aliran sungai sangat diharapkan
dapat membantu para petani keluar dari persoalan akibat dari bencana banjir
Perlunya kelembagaan dilandasi bahwa pertanian membutuhkan sumberdaya
manusia tangguh yang didukung infrastruktur, peralatan, kredit, dan sebagainya,
serta pembangunan kelembagaan petani lebih rumit daripada manajemen
sumberdaya alam karena memerlukan faktor pendukung dan unit-unit produksi.
Kegiatan pertanian mencakup tiga rangkaian yakni penyiapan input, mengubah
input menjadi produk dengan usaha tenaga kerja dan manajemen, dan
menempatkan output menjadi berharga. Kegiatan pertanian juga memerlukan
dukungan dalam bentuk kebijakan dan kelembagaan dari pusat hingga lokal.
Pertanian yang kompleks meliputi unit usaha dan kelembagaan untuk mencapai
optimal.
10
Salah satu area yang memerlukan kelembagaan efektif yaitu daerah aliran
sungai yang rawan akan banjir. Daerah sekitar aliran sungai dari hulu-tengah-hilir
mempunyai keterkaitan hubungan. Pengelolaan yang buruk di hulu akan
berdampak ke bagian tengah dan hilir. Hal ini telah menjadi perhatian khusus di
setiap negara khususnya Indonesia. Peran pemerintah Indonesia dalam
pengelolaan daerah aliran sungai tertuang dalam kerangka kerja pengelolaan
daerah aliran sungai No. 05 tahun 2008. Pengelolaan melibatkan banyak pihak
mulai dari unsur pemerintahan, swasta dan masyarakat untuk mengindikasi
adanya kesadaran dan kemampuan para pihak dalam melestarikan ekosistem.
Menjaga kelestarian lingkungan dan resapan air yang mana masih banyak
dijumpai pada aliran sungai terdapat sampah dan limbah. Hal tersebut akan
menyebabkan pendangkalan, penyumbatan dan pencemaran air sungai dari hulu
ke hilir. Keterlibatan secara aktif para pihak akan membangun rasa memiliki,
memanfaatkan secara arif dan memelihara sumber daya secara bersama-sama
(Departemen Kehutanan 2008).
Pada kelembagaan pengelolaan banjir di daerah aliran sungai memerlukan
koordinasi efektif. Didukung dengan penelitian Hasibuan (2005) bahwa kebijakan
kelembagaan untuk pengelolaan daerah aliran sungai Citarum hulu terhadap
efektivitas waduk Saguling. Penelitian tersebut mendapatkan hasil bahwa
diperlukan pengembangan kebijakan dinamis yang diintegrasikan dalam satu
kesatuan pilar kebijakan yaitu kelembagaan, ekosistem dan sosial ekonomi.
Kegiatan bersama yang dilakukan para petani diyakini oleh Mosher (1991)
sebagai faktor yang mendukung pembangunan pertanian. Aktivitas bersama
sangat diperlukan apabila dengan kebersamaan tersebut akan lebih efektif dalam
mencapai tujuan yang diinginkan bersama. Dalam pengelolaan faktor-faktor
produksi, proses produksi, hingga pengolahan hasil inilah memerlukan adanya
kelembagaan petani. Kegiatan usaha pertanian akan berhasil jika petani
mempunyai kapasitas yang memadai. Untuk dapat mencapai produktivitas dan
efisiensi yang optimal petani harus menjalankan usaha bersama secara kolektif.
Untuk keperluan ini diperlukan pemahaman mengenai suatu kelembagaan di
tingkat petani. Di tingkat petani, lembaga diperlukan sebagai (a) Wahana untuk
pendidikan (b) Kegiatan komersial dan organisasi sumberdaya pertanian (c)
Pengelolaan properti umum dan (d) Membela kepentingan kolektif.
Effendi mengungkapkan sektor yang mempengaruhi pada pengelolaan
daerah aliran sungai tidak hanya satu atau dua faktor. Pada daerah aliran sungai
Ciliwung, Jratunseluna dan Batanghari terdapat tiga sektor pembangunan yang
mempengaruhi efektivitas. Bila pengembangan hanya berfokus pada satu sektor
maka kinerja daerah aliran sungai akan memperburuk sektor lainnya. Sehingga
produksi sektor lain akan menurun yang mana tergantung dari kinerja daerah
aliran sungai.
Rachman (1999) menjelaskan bahwa keberhasilan Pemberdayaan Petani
Pemakai Air (P3A) sebagai kelembagaan formal dalam pengelolaan air sangat
ditentukan oleh kekompakan anggota dan kondisi yang kondusif. Untuk mencapai
semua itu diperlukan pembinaan organisasi terus menerus sehingga tujuan
organisasi tercapai. Kurangnya pemahaman mengenai organisasi berdampak
negatif terhadap keberlangsungan P3A. Sistem kelembagaan tata air banyak
mengandung kelemahan diantaranya (1) Terlalu birokratis (2) Komunikasi dan
koordinasi antara institusi lokal dan panitia irigasi kurang lancar (3) Tidak
11
transparannya dalam pengelolaan organisasi. Untuk mewujudkan suatu institusi
yang dapat diterima masyarakat dan mampu membangun partisipasi anggota
tergantung pada kualitas pemimpin, keselarasan antar perangkat desa, insentif dari
hasil usaha tani dan transparansi dan demokratis dalam organisasi yang mana akan
menunjang kinerja organisasi.
Kelembagaan yang mengelola daerah aliran sungai menjalankan kebijakan
yang harmonis dan melibatkan pihak-pihak terkait. Perlu didukung adanya
partisipasi aktif dari para pemangku kepentingan. Salah satu yang dibutuhkan
dalam kekuatan kelembagaan yakni ketersediaan sumber daya manusia yang
handal, finansial yang kuat serta kemampuan manajerial sehingga akan terbentuk
keharmonisan pengelolaan DAS yang berkelanjutan.
Salah satu yang termasuk dalam kelembagaan petani yakni kelompok tani.
Kelompok Tani didefinisikan sebagai kumpulan dari petani, peternak, pekebun
yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan
sosial, ekonomi, sumber daya, kesamaan komoditas dan keakraban untuk
meningkatkan serta mengembangkan usaha anggota (UU 19/2013). Kelompok
tani merupakan gabungan dari para petani yang berfungsi sebagai wadah
komunikasi antar petani dan lembaga pendukung untuk mencapai tujuan pertanian
yang maju. Kelompok tani sangat efektif dan efisien untuk dikembangkan karena
para petani berkomunikasi dan belajar informasi terbaru. Dilihat dari peran
kelompok tani, lembaga pertanian khususnya Balai Penyuluh Pertanian menjadi
pendekatan utama. Sinergi yang tepat antar kedua belah pihak yakni kelompok
tani dan Balai penyuluh Pertanian akan menghasilkan petani berkualitas tinggi.
Dampak selanjutnya terhadap kelompok tani dipandang dari kinerja dan
pendapatan yang meningkat.
Kelompok tani yang mandiri dan tangguh diperlukan intensitas yang tinggi
dalam pertemuan untuk saling mengenal satu satu sama lain dan percaya,
dikarenakan adanya tujuan dan pandangan yang sama dalam berusaha tani.
Kelompok tani merupakan jalan di mana petani kecil dapat berhubungan dengan
pemerintah, sektor swasta dan mitra pembangunan untuk meningkatkan
produktivitas pertanian dan ketahanan pangan (Adong et al. 2012).
Keberadaan kelompok tani sangat dirasakan manfaatnya untuk anggota.
Kelompok tani dibentuk untuk memfasilitasi akses ke teknologi pertanian yang
lebih baik (Gibson et al. 2008), meningkatkan akses ke pasar produktif (Aliguma
et al. 2007), memfasilitasi produksi transportasi ke pasar (Mwaura et al. 2012),
keamanan keuangan dan investasi rumah tangga (Mutoro 1997) dan akses kredit
di mana kelompok-kelompok anggota bertindak sebagai jaminan atas satu sama
lain (Loevinsohn et al. 1994).
Teknologi dan pengetahuan terbarukan menjadi hal yang penting untuk
didapatkan di kelompok tani. Pada situasi daerah rawan banjir di sekitar aliran
sungai, pengelolaan sumber daya menjadi perhatian khusus oleh kelompok tani.
Indonesia telah banyak program yang dikeluarkan untuk mengatasi permasalahan
petani sesuai dengan potensi sumber daya alam. Program-program yang telah
dikeluarkan seperti SLPTT, SLPHT dan Upaya khusus padi. Kegiatan tersebut
didukung dengan pelatihan dan bimbingan tersebut akan meningkatkan
pengetahuan petani. Inovasi seperti penggunaan benih yang tahan banjir,
pergeseran masa tanam dan perluasan luas lahan.
12
Sama halnya di Bangladesh, untuk menghindari kerugian dari perubahan
iklim yang tinggi dicanangkan program baru. Pemerintahan Bangladesh
mengeluarkan program Sekolah Lapang Iklim (FAO 2014). Sekolah iklim bekerja
sama dengan kelompok-kelompok tani dalam memberikan pengetahuan mengenai
dampak bencana alam dan memberikan informasi dan inovasi terbaru untuk
mengendalikan kerugian. Hal ini semakin memperkuat kebersamaan kelompok
tani dalam mengembangkan kemampuan kelompok tani.
Kinerja kelompok tani sangat ditentukan oleh kerjasama yang solid antar
anggota dan pengurus. Akbar (2011) mengungkapkan bahwa kelompok tani yang
berada di Kabupaten Karawang yakni aspek tingkat kinerja dan kualitas Gapoktan
sebesar 34.78 persen dan hal tersebut merupakan hasil yang optimal. Anggriani
(2012) mengungkapkan bahwa aspek kinerja dan kualitas yang perlu dilakukan
dalam peningkatan kinerja ialah rencana gapoktan, penyelenggaraan rapat,
gapoktan belum memiliki badan hukum, pembinaan usaha anggota dan peran
penyuluh pendamping. Aspek kerjasama keuangan dengan lembaga keuangan,
sebagian petani tidak menganggap penting sehingga menunjukkan masih
rendahnya kesadarna petani tentang pengembangan modal usaha gapoktan.
Didukung dengan penelitian Firdausi (2014), analisis kinerja kelompok tani pada
7 desa yang berada di Rasanae Timur menunjukkan bahwa sebagian besar
kelompok tani tergolong dalam cukup baik degan presentase 54 persen. Terdapat
korelasi atau hubungan positif antara tingkat kinerja dengan kelompok tani
dengan tingkat ketahanan pangan rumah anggota kelompok tani.
Terdapat suatu struktur di dalam kelompok tani yang didalamnya terdapat
pemimpin dan anggota yang terbagi dalam sub-sub pembagian kerja.
Pembentukan pembagian kerja dari kelompok tani akan mempermudah jalannya
aktivitas dari para petani. Pengontrolan dan pengawasan kelompok tani akan lebih
intensif. Keberlangsungan dari kelompok tani bergantung pada kemampuan
mengatur anggota untuk terus aktif, positif dan terpadu dalam segala informasi.
Seluruh lingkup manajemen kelompok tani diarahkan agar kader-kader yang
terbentuk akan menja
DI WILAYAH BANJIR DAERAH ALIRAN
SUNGAI BENGAWAN SOLO KABUPATEN BOJONEGORO
NURUL ARIFIYANTI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
2
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Pengembangan
Kelompok Tani di Wilayah Banjir Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo
Kabupaten Bojonegoro adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2017
Nurul Arifiyanti
NIM H35114007
RINGKASAN
NURUL ARIFIYANTI. Strategi Pengembangan Kelompok Tani di Wilayah
Banjir Daerah Sungai Bengawan Solo Kabupaten Bojonegoro. Dibimbing oleh
LUKMAN M BAGA dan BURHANUDDIN.
Anomali iklim menjadi ancaman bagi sektor pertanian terutama bagi
tanaman pangan yakni padi. Terutama pada Daerah Aliran Sungai (DAS)
Bengawan Solo yang mempunyai potensi besar untuk bercocok tanam padi.
Penanganan dampak banjir dapat teratasi dengan peran kelembagaan yang efektif.
Kelembagaan terstruktur dari pusat hingga lokal menentukan keberhasilan
penanganan banjir di sektor pertanian. Keberadaan kelembagaan akan
memudahkan pemerintah dan pemangku kepentingan dalam memfasilitasi dan
memberi penguatan pada petani. Kelompok tani sebagai lembaga lokal terkecil
sebagai tempat petani-petani mudah untuk mengakses keperluan dalam
berusahatani.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat agribisnis padi di DAS Bengawan
Solo, menganalisis pendapatan usahatani, kinerja internal kelompok tani dan
merumuskan strategi pengembangan kelompok tani dengan adanya ancaman
banjir. Perumusan strategi menggunakan pendekatan arsitektur strategi. Penelitian
menggunakan analisis usahatani, Importance Performance Analysis, PESTEL,
Matriks SWOT dan arsitektur strategi.
Penelitian dilakukan pada bulan Maret-Mei 2016 di Desa kedungprimpen
Kanor Kabupaten Bojonegoro Provinsi Jawa Timur. Data utama merupakan data
sekunder yang diperoleh dari Pusat Studi Bencana IPB Bogor dengan 50
responden anggota. Kelompok tani berjumlah tiga kelompok yaitu Sido Beno,
Maju Mapan dan Tani Makmur dengan total jumlah anggota 521 petani. Total
luas tanam pada sampel petani yani 314 Ha.
Hasil penelitian menunjukkan petani di Desa Kedungprimpen telah
mengadaptasi sistem agribisnis padi yakni subsistem hulu, usahatani dan lembaga
penunjang. Pada subsistem hilir dan pemasaran masih dikuasai oleh tengkulak.
Produktivitas padi pada kondisi normal sebesar 8.2 ton/ha dan kondisi banjir
1 ton/ha. Terdapat perbedaan pendapatan yang diterima oleh Petani Desa
Kedungprimpen di musim tanam II tahun 2013 (banjir) dan musim tanam II 2015.
Pada kondisi banjir petani mendapatkan hasil rata-rata pendapatan biaya total
sebesar Rp -9 010 646/ha dan Rp 22 872 751.77/ha di kondisi normal.
Kelompok tani memiliki performa kinerja yang cukup efektif dengan
persentase 34.5 persen. Atribut dalam kelompok tani yang memiliki kinerja baik
antara lain struktur organisasi, administrasi, kas dan iuran anggota kelompok,
fasilitas sarana alat pertanian, pupuk organik dan kimia, pestisida dan kredit.
Atribut-atribut pada variabel kelompok tani telah sesuai dengan nilai sebesar 61
persen. Menandakan bahwa atribut tersebut telah sesuai untuk diterapkan di
kelompok tani namun belum efektif dalam penerapannya. Analisis eksternal
menunjukkan adanya faktor yang mempengaruhi kelompok tani dalam
penanganan banjir salah satunya perkembangan teknologi dan program perluasan
irigasi.
Matriks SWOT menghasilkan strategi yang dapat dilakukan oleh kelompok
tani untuk meningkatkan produktivitas, kesejahteraan dan pendapatan petani.
Strategi tersebut antara lain bekerja sama dalam pendampingan teknologi
terbarukan, mengakses kebijakan swasembada melalui program pemerintah,
menjalin kerjasama dengan lembaga pemerintah dan swasta dalam pemasaran,
pelatihan peningkatan produktivitas, pelatihan untuk meningkatkan pendapatan,
memperkuat kelembagaan internal, menjalin kerjasama antisipasi banjir dan
meningkatkan kekompakan anggota. Hasil strategi di petakan dalam arsitektur
strategi dipadukan dengan rencana program selama tiga tahun.
Kata kunci: DAS Bengawan Solo, Kelompok Tani, Padi
SUMMARY
NURUL ARIFIYANTI. Strategy Development of Farmer Group in Flood Area
Bengawan Solo Watershed Bojonogoro Regency. Supervised by LUKMAN M
BAGA and BURHANUDDIN.
Climate anomalies pose a threat to the agricultural sector, especially for the
food crops of rice. Especially on Watershed (DAS) Bengawan Solo, which has
great potential for rice cultivation. Handling the effects of flooding can be
overcome with effective institutional role. Institutional structured from central to
local levels determine the success of flood mitigation in the agricultural sector.
The existence of institutions will facilitate government and stakeholders to
facilitate and provide reinforcement to the farmers. Farmer groups as the smallest
local agencies as the farmers are easy to access in farming purposes.
This study aims to look at the rice agribusiness Bengawan Solo river basin,
analyzing farm income, internal and external performance farmer groups and
farmer groups to formulate development strategies with the threat of flooding.
Strategy formulation approach strategy architecture. Mapping the results of
strategies to plans that are conducted every three years. Research using analysis of
farming, Impotance Performance Analysis, PESTEL, SWOT Matrix and
architecture strategies.
The study was conducted in March-May 2016 in the village of
Kedungprimpen Kanor Bojonegoro Regency East Java Province. The main data is
secondary data obtained from the Centre for Disaster Studies IPB Bogor with 50
respondents member. Farmer groups of three groups: Sido Beno, Maju Mapan and
Tani Makmur with a total number of 521 member farmers. Total acreage on a
sample of 314 farmers ministered Ha.
The result research showed that farmer in Kedungprimpen village has
adapted rice agribusiness system are upstream subsystem, farming and supporting
institutions. On the downstream subsystems and marketing is still controlled by
middlemen. The productvity of paddy in normal condition in the amount of
8.2 ton/ha and in flood 1 ton/ha. There is a different of farmer income in
Kedungprimpen Village in planting season II 2013 (flood) and II (2015). On flood
conditions receive income of Rp -9 010 646/ ha and on normal condition
Rp 22 872 751.77/ ha (normal).
The farmer group has a fair performance by percentage 34.5 percent.
Attributes on farmer group that have a good performance such as structure of
organization, administration, cash and membership fees, facility farming tools,
organic fertilizers, chemicals, pesticides and credit. Attributes in farmers group
have variables corresponding to the value of 61 percent. Indicates that these
attributes have to applied in the farmer groups but has not been effective in its
application. External analysis shows the presence of factors that affect farmers'
groups in the handling of the flood one technological development and irrigation
expansion program.
SWOT matrix produced strategies that can be done by a group of farmers to
increase productivity, well-being and income of farmers. The strategy calls for
working together in mentoring renewable technologies, access policy of selfsufficiency through a government program, cooperation with government
agencies and the private sector in marketing, training, productivity improvement,
training to increase revenue, strengthen internal institutional, cooperation in
anticipation of flooding and improve compactness members. The results of the
strategy mapped in architecture strategy combined with plans for a three-year
program.
Keyword : Bengawan Solo Watershed, Farmer group, Rice
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STRATEGI PENGEMBANGAN KELOMPOK TANI
DI WILAYAH BANJIR DAERAH ALIRAN
SUNGAI BENGAWAN SOLO KABUPATEN BOJONEGORO
NURUL ARIFIYANTI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Suharno, MADev
Penguji Wakil Program Studi
: Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
Judul Tesis
: Strategi Pengembangan Kelompok Tani di Wilayah Banjir Daerah
Nama
: Nurul Ariiyanti
NIM
: H351140071
Aliran Sungai Bengawan Solo Kabupaten Bojonegoro
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Lukman M Baga, AEc
Dr Ir Burhanuddin, MM
Ketua
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Agribisnis
Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
Tanggal Ujian: 06 Desember 2016
Tanggal Lulus:
1 0 JAN 2017
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema dalam
penelitian ini yakni strategi pengembangan. Judul yang dipilih ialah strategi
pengembangan dengan judul Strategi Pengembangan Kelompok Tani di Wilayah
Banjir Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Lukman M Baga, MAEc
dan Bapak Dr Ir Burhanuddin, MM selaku pembimbing yang telah banyak
memberi saran.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada :
1. Bapak Dr Ir Dahrul Syah, M.Sc.Agr selaku Dekan Sekolah Pascasarjana dan
seluruh staf pengajar Program Studi Agribisnis IPB, yang telah membantu
penulis selama menempuh pendidikan.
2. Pusat Studi Bencana IPB yang telah memberikan kesempatan dalam
partisipasi penelitian kebencanaan.
3. Pemerintah Daerah Kabupaten Bojonegoro, khususnya Badan Penyuluh
Pertanian atas kerjasama dan dukungan data selama penelitian.
4. Pemerintah Daerah Kecamatan Kanor atas kerjasama dan dukungan selama
penelitian.
5. Pemerintah daerah dan seluruh masyarakat Desa Kedungprimpen atas
bantuan, perhatian dan kerjasama dalam penelitian.
6. Ibu Dr Ir Ratna Winandi, MS selaku dosen evaluator pada kolokium atas saran
yang diberikan.
7. Ibu Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku penguji Wakil Program Studi atas
saran yang diberikan.
8. Bapak Dr Ir Suharno, MADev selaku dosen penguji luar komisi atas saran yang
diberikan.
9. Keluarga besar Bani Sahid atas nasehat dan dukungannya.
10. Orang tua tercinta, Bapak Abdul Ro’uf dan Ibu Asri hayati, Kakak-kakak dan
ponakan tersayang atas doa, kasih sayang dan perhatian.
11. Rekan dan sahabat MSA angkatan V dan PMD atas kerjasama, perhatian dan
dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2017
Nurul Arifiyanti
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR GAMBAR
xiv
PENDAHULUAN
Latar belakang
Perumusan masalah
Tujuan penelitian
Manfaat penelitian
Ruang lingkup penelitian
1
1
4
5
5
5
TINJAUAN PUSTAKA
Daerah aliran sungai
6
6
Agribisnis padi
7
Tingkat pendapatan
8
Kelompok tani
9
Strategi pengembangan kelompok tani
KERANGKA PEMIKIRAN
Konsep agribisnis
14
16
16
Konsep pendapatan
18
Konsep organisasi
20
Konsep kinerja
21
Kerangka PESTEL
22
Strategi pengembangan
23
Kerangka Operasional
26
METODE PENELITIAN
Lokasi dan waktu penelitian
27
27
Jenis dan sumber data
27
Metode penentuan sampel
28
Metode analisis data
28
KERAGAAN AGRIBISNIS PADI
Keadaan geografis
Sosial ekonomi masyarakat
Karakteristik petani responden
Gambaran kelompok tani
Agribisnis padi
38
38
39
39
40
41
USAHA TANI KELOMPOK TANI
Penerimaan usahatani padi
Pengeluaran usahatani padi saat normal dan banjir
44
44
46
Pendapatan usahatani
48
KINERJA KELOMPOK TANI
Metode Importance Performance Analysis (IPA)
Analisis PESTEL
49
50
58
STRATEGI PENGEMBANGAN KELOMPOK TANI
Analisis internal
Analisis eksternal
Matriks SWOT
62
62
64
67
ARSITEKTUR STRATEGI
Visi misi kelompok tani
Industry Foresight
Sasaran kelompok tani
Tantangan kelompok tani
Rekomendasi program kegiatan
72
73
73
73
73
73
SIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
77
77
77
DAFTAR PUSTAKA
78
RIWAYAT HIDUP
84
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Rata-rata konsumsi di Indonesia tahun 2011-2016
Kerusakan lahan akibat banjir (Ha) di Indonesia tahun 2010-2016
Matriks penelitian di Desa Kedungprimpen tahun 2016
Analisis pendapatan usahatani padi
Skor nilai kepentingan dan kepuasan Importance Performance Analysis
Atribut kinerja kelompok tani Desa Kedungprimpen tahun 2016
Kerangka PESTEL kelompok tani Desa Kedungprimpen tahun 2016
Matriks SWOT kelompok tani di Desa Kedungprimpen
Mata pencaharian penduduk Desa Kedungprimpen tahun 2015
Identitas petani responden Desa Kedungprimpen tahun 2016
Rata-rata penerimaan usahatani padi Desa Kedungprimpen
tahun 2013 dan 2015
Rata-rata pengeluaran usahatani padi Desa Kedungprimpen
tahun 2013 dan 2015
Rata-rata pendapatan usahatani padi Desa Kedungprimpen
tahun 2013 dan 2015
Data tingkat kepentingan dan kepuasan responden di Desa Kedungprimpen
tahun 2016
Lingkungan Eksternal Kelompok Tani di Desa Kedungprimpen
tahun 2016
Matriks SWOT peningkatan kemampuan kelompok tani di Desa
Kedungprimpen tahun 2016
Rekomendasi program kegiatan kelompok tani di Desa Kedungprimpen
tahun 2016
1
3
27
30
32
34
36
37
39
40
45
47
48
51
58
68
74
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Lingkup sistem agribisnis
Proses evaluasi kinerja
Kerangka PESTEL
Alur manajemen strategis
Kerangka operasional
Kuadran Importance-Performance Analysis
Basis analisis dalam analisis SWOT
Pembagian kuadran IPA
Arsitektur strategi kelompok tani Desa Kedungprimpen tahun 2017-2019
18
21
22
24
26
31
37
50
76
1
PENDAHULUAN
Latar belakang
Sektor pertanian merupakan salah satu pilar utama pembangunan
perekonomian Indonesia. Hampir seluruh kegiatan perekonomian Indonesia
berpusat pada sektor ini. Kontribusi yang cukup signifikan dilihat dari sisi produk
domestik bruto. Pada tahun 2013 sektor pertanian berada pada urutan kedua
setelah industri pengolahan dengan nilai share sebesar 15.21 persen (BPS 2014).
Pertanian menjadi tumpuan sumber ketahanan pangan nasional dan sebagai
penghasil devisa bagi Indonesia. Peranan sektor pertanian sebagai sumber
penghasil bahan kebutuhan pokok, sandang dan papan, serta penopang kegiatan
ekonomi dengan penyediaan lapangan kerja bagi sebagian besar penduduk.
Berdasarkan data BPS, sektor pertanian masih menjadi primadona dalam nilai
angkatan kerja dengan sekitar 34.36 persen yang menggantungkan hidupnya pada
sektor pertanian, baik sebagai petani maupun buruh tani. Subsektor pertanian
yakni ketahanan pangan menjaga kestabilan ketersediaan pangan yang cukup dan
secara berkelanjutan. Secara langsung yang dipengaruhi oleh produksi tanaman
pangan.
Tingginya pertumbuhan penduduk Indonesia mencapai 248 juta orang pada
tahun 2013 dan diperkirakan menembus angka 271 juta orang pada tahun 2020
(BPS 2014). Laju pertumbuhan penduduk akan seiring dengan meningkatnya
kebutuhan konsumsi pangan nasional. Salah satu komoditas strategis yang
menjadi sumber pangan utama yakni padi. Pada tahun 2015, tingkat konsumsi
beras pada tingkat rumah tangga dan non rumah tangga mencapai
98.05 kg/kapita/tahun (Kementan 2015). Pada Tabel 1 dapat dilihat beras masih
menjadi bahan makanan utama bagi masyarakat Indonesia.
Tabel 1 Rata-rata konsumsi di Indonesia tahun 2011-2016
Produk
(kg/kap/thn)
Beras
Jagung
Kedelai
Ubi kayu
Tahun
2011
2012
2013
2014
2015
102.87
1.40
7.56
5.79
97.65
1.36
7.12
3.60
97.40
1.44
7.15
3.49
97.20
4.44
7.13
3.42
98.05
1.97
5.95
3.60
Rata-rata
pertumbuhan
(%)
-1.16
9.92
-5.54
-9.41
Sumber : Kementan 2015
Hal ini menjadi tantangan bagi Indonesia untuk memenuhi permintaan
konsumsi pangan yang semakin tinggi dengan sumber daya yang sangat
mendukung. Ketahanan pangan tercapai dengan kondisi terpenuhinya kebutuhan
pangan bagi masyarakat Indonesia dipandang dari ketersediaan yang cukup. Baik
dalam jumlah maupun mutu kualitasnya serta daya beli masyarakat yang
terjangkau. Ketahanan pangan selalu dikaitkan dengan ketersediaan beras. Produk
beras menjadi perhatian utama pemerintah dikarenakan tingkat ketergantungan
masyarakat Indonesia yang sangat tinggi. Kekurangan ketersediaan beras akan
berakibat pada stabilitas pangan nasional dan berdampak pula pada aspek sosial,
ekonomi dan politik.
2
Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan
produktivitas padi dengan mencanangkan program swasembada beras. Pemerintah
telah mengeluarkan pembiayaan untuk petani sebesar 32 Trilliun. Pembiayaan ini
lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 15 Trilliun (Machmud 2015).
Arah kebijakan pemerintah dalam pembangunan tanaman pangan mengarah pada
memperkuat kawasan komoditi utama dan strategis tanaman pangan
berkelanjutan, mendorong pengembangan komoditi lokal sebagai prioritas daerah
dan mengembangkan skala usaha tanaman pangan yang layak. Strategi yang
dilakukan pemerintah dengan penguatan kawasan tanaman pangan yang
terintegrasi dengan memperkuat adopsi serta inovasi teknologi dengan fokus
peningkatan produksi secara berkelanjutan dengan memperhatikan kapasitas
sumberdaya dan spesifik lokal (Dinas Pertanian Jawa Timur 2013).
Salah satu faktor ancaman pada sektor pertanian yakni anomali iklim.
Perubahan iklim, curah hujan dan pergeseran musim yang tidak menentu
merupakan dampak dari pemanasan global. Dampak negatif terbesar tidak dapat
dihindarkan yakni terjadinya banjir yang dapat menyebabkan kegagalan panen
dan ketidakstabilan pangan nasional. Anomali iklim mengubah siklus produksi
pertanian. Pergeseran musim tidak menentu membuat petani kesulitan dalam
mengawali masa tanam, pembenihan dan pemupukan. Produksi akan menurun dan
mengakibatkan pasokan tidak menentu sementara permintaan terus berjalan. Hal
tersebut dapat menyebabkan ketahanan pangan Indonesia mengalami guncangan.
Potensi terbesar dampak bencana yakni komoditas padi, kedelai, cabai, jagung,
tebu dan daging. Sektor yang paling merasakan dampak ini yakni petani,
masyarakat miskin, pedagang kecil, industri pertanian dan juga pemerintah
Indonesia.
Kesiapsiagaan kelembagaan up-down dalam menangani dampak banjir
terhadap sektor pertanian menjadi kunci utama. Berdasarkan orientasi pemerintah
Indonesia pada ketahanan pangan nasional, sistem agribisnis menjadi fokus untuk
lebih ditingkatkan. Sistem agribisnis yang efektif tidak terlepas dari peran
kelembagaan yang berperan aktif. Peran kelembagaan yang terstruktur dari pusat
hingga terkecil yakni petani menentukan keberhasilan pembangunan pertanian
yang salah satunya dapat dilihat dari ketahanan pangan. Kelembagaan petani di
pedesaan berkontribusi dalam aspek sosial-ekonomi, informasi dan adopsi
inovasi. Aksesibilitas pengembangan sosial-ekonomi, modal, infrastruktur dan
pasar.
Keberadaan adanya kelembagaan akan memudahkan pemerintah dan
pemangku kepentingan dalam memfasilitasi dan memberikan penguatan petani.
Kelompok tani merupakan lembaga lokal terkecil dari kelembagaan pertanian.
Kelompok tani dibentuk untuk memudahkan para petani dalam mengakses yang
diperlukan, memecahkan permasalahan yang dihadapi petani yang tidak dapat
diatasi oleh individu masing-masing. Kinerja kelompok tani sangat
mempengaruhi keberhasilan hasil pertanian. Sejalan dengan ancaman sektor
pertanian yakni banjir, kelompok tani dapat menjadi tempat bagi petani untuk
memecahkan masalah bersama dalam mengantisipasi dan mengurangi kerugian
dampak banjir.
Sivakumar (2011) menjelaskan dampak bencana terhadap pertanian terbagi
dua yakni langsung dan tidak langsung. Dampak langsung berupa kerusakan fisik
dari tanaman pangan, pohon, dan binatang ternak, sedangkan dampak tidak
3
langsung berupa penurunan kapasitas produksi pertanian dan peningkatan biaya
produksi. Dampak yang dimaksud juga dapat berupa tangible (lebih terukur) dan
intangible (lebih sulit terukur). Bencana yg terjadi berulang-ulang pada suatu
wilayah geografis yang sama dapat menyebabkan menurunnya investasi di
wilayah tersebut karena berisiko akan kehilangan asset.
Berdasarkan studi di berbagai daerah, sekitar 20 persen desa di Indonesia
mengalami banjir setiap tahunnya (periode 2003, 2005, 2011) (Kementan 2011).
Negara-negara Asia bahkan di Afrika dan Amerika Latin mengalami penurunan
produktivitas tanaman pertanian sebesar 20 persen (Edame et al. 2010).
Berdasarkan data FAO (2015), Dampak bencana alam paling tinggi di alami oleh
pertanian dengan nilai persentase kerusakan sebesar 14.2 persen, kehilangan
29.4 persen dan keduanya 21.8 persen. Berdasarkan subsektor yang menempati
urutan pertama mengenai kerusakan dan kehilangan yaitu sektor tanaman sebesar
42.4 persen kemudian peternakan 35.8 persen.
Bencana banjir telah menjadi aktivitas rutin di Indonesia dari tahun ke
tahun. Selama delapan belas tahun Indonesia menghadapi bencana alam dampak
dari la nina tersebut. Sekitar 28 juta penduduk Indonesia sangat berpotensi untuk
tertimpa krisis sebagai dampak bencana alam, khususnya bencana banjir dengan
data dari BNBP pada tahun 2010-2015 sebanyak 3 781 kejadian banjir
(BNBP 2015). Kurun waktu 2010-2016, kerusakan lahan yang dialami Indonesia
akibat banjir sebesar 405 715ha. Daerah dengan kerusakan tertinggi antara lain
Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Selatan
(BNPB 2016).
Tabel 2 Kerusakan lahan akibat banjir (Ha) di Indonesia tahun 2010-2016
No
Provinsi
1
2
3
4
5
Jawa Barat
Sulawesi Selatan
Jawa Tengah
Jawa Timur
Sumatera Selatan
2010
7 285
18 916
9 684
8 871
11 463
2011
1 215
1 187
5 038
4 894
1 005
2012
662
8 258
1 033
5 087
785
Tahun
2013
4 779
19 029
12 745
11 609
1 741
2014
84 784
4 485
11 735
3 457
4 819
2015
1 992
16 424
141
714
594
2016
4 999
7 260
735
4 749
3 129
Total
105 716
75 559
41 111
39 381
23 536
Sumber : BNPB 2016
Banjir terjadi disebabkan dari luapan sungai yang tidak terkontrol.
Penelitian ini berfokus pada sungai terpanjang di Jawa yakni Bengawan Solo
dengan panjang sekitar 548.53 km. Sungai Bengawan Solo mengaliri dua provinsi
yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan pembagian tiga wilayah admistratif
hulu, tengah dan hilir. Daerah sekitar aliran sungai Bengawan Solo menjadi area
yang produktif untuk berusahatani antara lain padi dan jagung.
Kabupaten Bojonegoro merupakan daerah hilir yang di aliri Sungai
Bengawan Solo. Bojonegoro merupakan salah satu daerah sentra padi dengan luas
lahan pertanian sebesar 56 persen dan potensi padi sekitar 847 ribu ton
(BPS 2015). Daerah potensi pertanian berada di bagian utara dan selatan dan
sebagian kecil di wilayah selatan dengan pertanian tadah hujan. Lokasi
Bojonegoro yang berada di hilir Bengawan Solo menyebabkan potensi dampak
yang terjadi lebih besar dengan adanya bencana banjir. Data terakhir lahan seluas
2 115.5 Ha terendam banjir (Dzikroh 2014). Tidak hanya mengalami puso
terdapat korban jiwa akibat bencana banjir di Bojonegoro pada tahun 2013
4
berjumlah 6 jiwa. Perkiraan kerugian akibar banjir Bengawan Solo sekitar
65 ribu juta pada tahun 2013 (BPS 2015). Pada musim penghujan tahun 2013
tercatat sekitar 5 000 Ha sawah terendam banjir di Kabupaten Bojonegoro dan
kerugian mencapai 4.9 miliar (Kominfo Jatim 2013).
Perumusan masalah
Daerah aliran sungai Bengawan Solo merupakan area rawan akan banjir.
Setiap tahun akan ada potensi untuk mengalami banjir. Pada tahun 2013
Kabupaten Bojonegoro mengalami puso sehingga produksi padi menurun sebesar
802 528 ton dan meningkat pada tahun 2014 sebesar 847 857 ton (BPS 2015).
Keragaman agribisnis padi di wilayah rentan banjir menjadi keunikan tersendiri
dilihat dari setiap aspek agribisnis hulu, usahatani, hilir, pemasaran dan lembaga
penunjang. Para petani di daerah aliran sungai memilih untuk tetap bertahan untuk
tetap berusahatani padi meskipun berpotensi untuk puso. Hal ini disebabkan
karena pekerjaan utama penduduk yakni petani. Petani dipaksa untuk dapat
melakukan adaptasi untuk mengurangi dampak negatif banjir. Salah satu adaptasi
yang dapat dilakukan antara lain seperti perluasan lahan, benih padi dan
perubahan pola tanam.
Seiring dengan usahatani yang rentan akan dampak banjir, hal ini
berhubungan dengan pendapatan yang dihasilkan oleh petani. Petani mengalami
kerugian besar pada kondisi banjir dibandingkan dengan kondisi normal. Hal ini
menyebabkan petani tidak dapat bergantung dengan hasil on-farm yang tidak pasti
di musim tanam ke-2. Hal tersebut mendorong untuk melakukan pekerjaan
sampingan. Petani pada daerah rawan banjir mendominasi pada usaha non-farm
sebagai sumber pendapatan, diantaranya dengan berdagang, menjadi buruh
panggul dan pabrik. Sekitar 20 persen pendapatan berasal dari on-farm, selain itu
berasal dari off-farm dan non-farm (Azzahra 2015).
Peran kelembagaan khususnya lembaga lokal dalam mengurangi dampak
banjir merupakan hal penting. Keberadaan kelompok tani diharapkan dapat
menjadi naungan petani desa untuk memperbaiki taraf hidup, harkat dan
martabatnya. Peningkatan kapasitas kelembagaan petani dilakukan sejalan dengan
kegiatan penyuluhan pertanian dengan memotivasi petani untuk berpartisipasi
dalam kelembagaan petani. Penyuluhan pertanian perlu dirancang dengan
memberikan muatan pada penguatan kapasitas individu petani sekaligus
penguatan kapasitas kelembagaan petani (Anantanyu 2011).
Kelompok tani perlu melakukan evaluasi organisasi untuk melihat kinerja
pengurus dan sejauh mana sumber daya yang dimiliki telah digunakan dengan
maksimal. Melalui sistem pengukuran dapat terlihat bagaimana kelompok tani
tersebut berjalan seperti peningkatan ataupun penurunan serta berorientasi pada
masa depan untuk lebih berkembang dan maju. Kinerja kelembagaan petani yang
kurang efektif menyebabkan rendahnya kerjasama dalam penyelesaian
permasalahan yang berkenaan dengan produksi padi. Pada kondisi daerah rawan
bencana, adanya kelompok tani sangat berperan penting, untuk melakukan
pengelolaan yang sesuai dengan kondisi yang ekstrim tersebut. Tidak hanya
berfokus pada produksi padi namun seluruh sistem usaha tani dari hulu hingga
hilir dan penunjangya. Perlu adanya strategi dalam pemberdayaan kelompok tani
dengan fungsi koordinasi dan kewewenangan yang terintegrasi.
5
Perumusan strategi pengembangan kapasitas kelompok tani yang efektif
membutuhkan kajian mendalam mengenai keadaan lingkungan agribisnis padi,
usahatani padi yang berhubungan dengan pendapatan petani serta kinerja
kelompok tani padi di wilayah rentan banjir. Berdasarkan latar belakang, rumusan
masalah dari penelitian ini yakni :
1. Bagaimana agribisnis padi di wilayah banjir Daerah Aliran Sungai Bengawan
Solo?
2. Bagaimana tingkat pendapatan petani padi di wilayah banjir Daerah Aliran
Sungai Bengawan Solo?
3. Bagaimana kinerja kelompok tani di wilayah banjir Daerah Aliran Sungai
Bengawan Solo?
4. Strategi apa yang dapat diterapkan untuk pengembangan kapasitas kinerja
kelompok tani dalam meningkatkan pendapatan petani di wilayah banjir
daerah aliran sungai Bengawan Solo?
Tujuan penelitian
Output dari penelitian merupakan hasil untuk memperoleh gambaran aktual
tentang kondisi lembaga petani di daerah aliran sungai Bengawan Solo.
Berdasarkan perumusan masalah di atas, secara spesifik tujuan penelitian ini
adalah
1. Mendeskripsikan agribisnis padi di wilayah banjir Daerah Aliran Sungai
Bengawan Solo.
2. Menganalisis pendapatan petani padi di wilayah banjir Daerah Aliran Sungai
Bengawan Solo.
3. Mengevaluasi kinerja kelompok tani di wilayah banjir Daerah Aliran Sungai
Bengawan Solo.
4. Merumuskan strategi yang dapat diterapkan untuk pengembangan kapasitas
kinerja kelompok tani dalam meningkatkan pendapatan petani di wilayah
banjir daerah aliran sungai Bengawan Solo.
Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan pembelajaran
untuk pengambilan kebijakan selanjutnya bagi pemangku kepentingan dan dapat
dijadikan dasar untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan cakupan yang
komprehensif dan representatif. Selain itu dapat dijadikan panduan dan acuan
untuk petani lain sebagai informasi strategi dalam meningkatkan kinerja
kelompok tani.
Ruang lingkup penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah Kelompok tani yang berada di Desa
Kedungprimpen Kecamatan Kanor Kabupaten Bojonegoro. Batasan sampel yaitu
anggota aktif kelompok tani yang mengalami dampak banjir. Pembahasan
agribisnis padi dan perumusan strategi pengembangan kelompok tani terbatas
pada aspek internal dan eksternal. Basis analisis strategi pada faktor internal yaitu
kelompok tani, pengurus dan anggota, sedangkan faktor eksternal yakni lembaga
6
diluar kelompok tani seperti Balai Penyuluhan Pertanian, Dinas Pertanian, Badan
Penanggulangan Bencana Daerah, Pemerintahan Desa, Badan Pengawas Desa,
Mitra Usaha dan Lembaga keuangan.
TINJAUAN PUSTAKA
Daerah aliran sungai
Daerah aliran sungai (DAS) memiliki berbagai pandangan dari aspek teknik
sipil dan ekologi. Mustiko (2014) mengungkapkan pada aspek keilmuan teknik
sipil pengertian DAS ialah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan
dengan sungai dan anak-anak sungai yang berfungsi untuk menampung,
menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan di wilayah tertentu
ke danau atau laut secara alami. Terdapat batasan darat dan laut yang diukur
dengan menghubungkan titik tertinggi diantara wilayah aliran sungai. DAS yang
menjadi bagian dari dAS yang lebih besar merupakan subDAS sebagai daerah
tangkapan anak sungai terintegrasi berbagai faktor yang mengarah pada
kelestarian atau degradasi.
Geometri DAS dengan topografi wilayah yang bergelombang, berbukit atau
bergunung dan kerapatan drainase yang relatif tinggi merupakan sumber air yang
masuk ke sungai utama dan sumber erosi yang sebagian terangkut menjadi
sedimen daerah hilir. Menurut fungsi DAS dibagi dalam tiga komponen yaitu
hulu, tengah dan hilir. Ekosistem bagian hulu merupakan daerah tangkapan air
utama dan pengatur aliran. Ekosistem tengah sebagai daerah distributor dan
pengatur air sedangkan ekosistem hilir merupakan pemakai air. Hubungan antara
ekosistem DAS menjadikan sebagai satu kesatuan hidrologis.
Suwardji et al. (2002) mengatakan Aspek ekologi untuk DAS merupakan
keseluruhan daerah kuasa (regime) sungai yang menjadi alur pengatus (drainage)
utama. Batas DAS merupakan garis bayangan sepanjang punggung pegunungan
atau tebing/bukit yang memisahkan sistim aliran yang satu dari yang lainnya.
Suatu DAS terdiri atas dua bagian utama daerah tadah (catchment area) yang
membentuk daerah hulu dan daerah penyaluran air yang berada di bawah daerah
tadah.
Dalam pengelolaannya, DAS dipandang sebagai suatu kesatuan sumberdaya
darat. Sehingga pengelolaan DAS yang bijak hendaklah didasarkan pada
hubungan antara kebutuhan manusia dan ketersediaan sumberdaya untuk
memenuhi kebutuhan manusia tersebut. Unsur-unsur DAS terdiri dari iklim hayati
(bioclimate), relief, geologi, atau sumberdaya mineral, tanah, air (air permukaan
dan air tanah), tetumbuhan (flora), hewan (fauna), manusia dan berbagai
sumberdaya budaya seperti sawah, ladang, kebun, hutan kemasyarakatan (HKm),
dan sebagainya. Beberapa unsur DAS tersebut sangat mempengaruhi berbagai
aspek dalam sistem DAS. Komponen yang menjamin dalam pengelolaan DAS
baik dari sudut pandang teknik sipil dan ekologi adalah seluruh pemangku
kepentingan termasuk, pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan,
7
lembaga swasta, balai konservasi, lembaga swadaya dan masyarakat di sekitar
daerah aliran sungai.
Agribisnis padi
Perubahan cuaca yang tidak menentu memberikan dampak yang besar bagi
produksi padi. Sama halnya dengan bencana banjir di Thailand pada tahun 2011
yang menyebabkan kerusakan yang signifikan untuk pertanian padi. Tercatat
hamparan tanaman padi pada peta wilayah yang terkena banjir menunjukkan
sekitar 16.8 persen dari areal budidaya padi dibandingkan dengan tahun 2008
yang hanya seluas 4.9 persen tersapu oleh banjir (Son et al. 2013).
Adaptasi petani pada daerah banjir membutuhkan penerapan sistem
agribisnis yang terpadu yang akan meningkatkan pendapatan usahatani. Agribisnis
yang terdiri dari subsistem sarana produksi, budidaya, pengolahan, pemasaran dan
lembaga penunjang. Kusnandar et al. (2013) mengungkapkan sistem agribisnis
padi organik terdiri dari beberapa pelaku yang terlibat yaitu petani padi organik,
agroindustri beras organik, kelompok tani, gapoktan, peternak sapi, asosiasi padi
organik, Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, serta
lembaga keuangan dan konsumen. Hastuti (2008) menganalisis penerapan sistem
agribisnis terhadap pendapatan petani asparagus, kucai dan sayuran. Penerapan
subsistem agribisnis hulu, subsistem usahatani, pengolahan hasil dan model
Usahatani, baik secara parsial maupun serempak berpengaruh nyata terhadap
Pendapatan pada tingkat petani. Subsistem pemasaran tidak berpengaruh nyata
terhadap pendapatan petani sayuran.
Sarangi et al. (2016) mengungkapkan bahwa pengembangan manajemen
bersama dengan perbaikan varietas merupakan hal penting untuk meningkatkan
produktivitas padi di daerah pesisir. Kombinasi dilakukan dengan berbagai
evaluasi dan didapatkan hasil terbaik yakni tingkat pupuk 50-20-10 kg
N-P2O5-K2O, 5 ton pupuk kandang per hektar, transplantasi bibit pada jarak
15 x 15 cm. Paket ini optimal untuk meningkatkan produktivitas dan keuntungan
padi. Kegiatan menggabungkan perbaikan manajemen dan berbagai toleran
mengakibatkan hasil gabah lebih tinggi dibandingkan dengan manajemen petani
dan varietas. Teknologi ini membantu dalam mempertahankan produktivitas yang
lebih tinggi dan profitabilitas sistem tanam berbasis padi di wilayah pesisir rawan
banjir yang stagnan.
Buddhaboon et al. (2011) meneliti tentang produksi padi pada area air
yang dalam (banjir) di Thailand menjelaskan hal yang mempengaruhi yaitu
tanggal tanam dan varietas. Awal musim hujan lahan dipengaruhi oleh varietas.
Hasil tertinggi diperoleh varietas Pitsanulok 2 (PSL 2). Namun tidak jauh berbeda
dengan varietas Pathum Thani 1 (PTT 1) hasil produksi mendekati PSL 2.
Borin et al. (2016) mengungkapkan bahwa ketersediaan air merupakan
faktor pembatas utama produksi beras global di irigasi banjir. Penekanan air
selama siklus menanam padi (irigasi berselang) muncul sebagai alternatif untuk
irigasi tradisional. Namun, irigasi berselang dapat mempengaruhi dinamika
larutan tanah, penggunaan air dan hasil padi. Namun, lebih banyak studi mengenai
metode pengelolaan irigasi banjir diperlukan kondisi edaphoclimatic (kesuburan
tanah, konservasi tanah dan air, agrohidrologi, pupuk dan pemupukan, ekologi
8
tanah, dan bioteknologi tanah) untuk memungkinkan bahwa irigasi berselang
menjadi kenyataan untuk petani padi dari Brasil Selatan.
Sistem irigasi menunjang penuh dalam budidaya padi. Pada area yang
intensitas banjir tinggi dibutuhkan sistem irigasi yang efektif untuk mengatur
ketersediaan air. Penelitian Massey et al. (2014) mengungkapkan bahwa petani
dapat beradaptasi dengan banjir berselang di Missisipi. Banjir berselang dapat
disesuaikan dengan produksi padi skala komersial dan irigasi 600 mm.
Penggunaan irigasi dapat berkurang sebagai dampak dari banjir berselang.
Keberhasilan ini dapat dikaitkan dengan lahan yang luas, manajemen penyakit,
kecakapan irigasi yang handal yang memungkinkan untuk pembentukan makanan
yang cepat.
Dampak dari bencana banjir menyebabkan petani melakukan adaptasi untuk
usahatani mereka. Petani melakukan perluasan lahan usahatani untuk menghindari
risiko kerugian. Adanya fakta peningkatan data luas lahan di Jawa Barat dan Jawa
Timur di tahun 2009, rata-rata luas lahan menjadi 3.01 Ha dan 1.08 Ha.
Penggunaan benih padi oleh petani didapat dari toko resmi sehingga benih yang
digunakan bersertifikat. Dalam melakukan usahatani perubahan yang dilakukan
dari segi pola penanaman. Petani Jawa Barat melakukan pola tanam padi-padibera sedangkan di Jawa Timur pola tanam padi-padi-palawija. Bulan tanam juga
mengalami perubahan. Pergeseran bulan penanaman dari November ke Januari,
Februari dan Maret kemudian di bulan Juli bergeser ke Juni
(Rasmikayati et al. 2015).
Tingkat pendapatan
Kerugian yang dialami usahatani petani merupakan salah satu dampak dari
banjir. Kerugian terhadap tingkat pendapatan dialami oleh petani. Pendapatan
yang diterima sebagai petani bisa dibilang sangat kecil dan tidak sebanding
dengan usaha keras mereka dalam bertani. Azzahra (2015) mengungkapkan
pendapatan petani daerah banjir lebih rendah dibandingkan dengan wilayah tidak
banjir. Rata-rata pendapatan petani di Desa Tambelang Bekasi yang terkena
dampak banjir sebesar 13 juta. Sedangkan pendapatan untuk petani yang tidak
terkena banjir sebesar 23 juta.
Wulandari (2015) mengungkapkan tekanan ekonomi yang dialami petani
puso menimbulkan kerugian fisik maupun non fisik. Aspek ekonomi pada petani
di Desa Kemujan dan Tegalsari Kabupaten Kebumen seperti pendapatan keluarga
sebesar Rp 1 227 000 dan pendapatan perkapita Rp 332 600. Tingkat keparahan
kerugian berada pada tingkat rendah dan untuk tingkat tekanan ekonomi berada
pada kategori sedang sebesar 46 persen.
Berbeda dari penelitian sebelumnya, Rasmikayati (2015) menjelaskan
pendapatan di daerah rawan banjir justru meningkat. Seiring dengan peningkatan
produktivitas, pendapatan bertambah. Besaran pendapatan sebanyak 1-2 juta per
bulan. Petani telah melakukan adaptasi usahatani namun hasil pendapatan ini
masih lebih kecil dibandingkan hasil petani di daerah tidak banjir. Pendapatan
petani di daerah tidak banjir lebih tinggi dibandingkan di daerah banjir meskipun
hal itu masih terbilang kecil dan tidak sesuai dengan jerih payah petani. Lain
halnya lagi dengan penelitian Oktavia (2014) mengenai kondisi kesejahteraan
petani padi sawah di Kecamatan Bayang Kabupaten pesisir Selatan. Kondisi
9
pendapatan petani padi sawah umumnya memiliki penghasilan lebih dari
Rp 3 000 000/Bulan dengan persentase 39.22 persen dikategorikan kurang.
Yusdja et al. (2004) menganalisis peluang kerjasama petani untuk meningkatkan
pendapatan petani. Hasilnya kerjasama antar petani layak untuk dilakukan karena
dapat meningkatkan keuntungan 18-30 persen dan kesempatan kerja meningkat
20-30 persen. Manajemen sistem usahatani bersama dapat dipertimbangkan oleh
petani, masyarakat dan pemerintah.
Besar kecilnya pendapatan usahatani padi sawah dapat dipengaruhi oleh
penerimaan dan biaya produksi. Sama halnya dengan penelitian Andrea (2012)
adanya bantuan benih, pupuk, dan pestisida dari PTPN III, pendapatan petani
meningkat sebesar Rp 15 803 118.31/Ha daripada sebelum mendapat bantuan
yaitu sebesar Rp 10 294 989.51/Ha. Rumintjap (2014) mengungkapkan bahwa
dari faktor-faktor yang diamati yakni luas lahan, benih, pupuk dan tenaga kerja
berpengaruh nyata terhadap produksi padi sawah. Secara parsial terdapat tiga
variabel yang berpengaruh nyata terhadap produksi padi sawah yaitu luas lahan,
benih dan pupuk. Pendapatan yang diperoleh petani padi sawah Desa Pandere
sebesar Rp 12 455 906/1.1Ha/MT. Program PUAP memberikan dampak yang
baik untuk petani, peningkatan rata-rata pendapatan rumah tangga penerima
sebesar 12.86 persen dan penurunan tingkat kemiskinan sebesar 7.67 persen
(Akbar 2012).
Kelompok tani
Kelembagaan sebagai hal yang berkenaan dengan norma, nilai, regulasi dan
pengetahuan yang menjadi pedoman untuk individu dan organisasi (Syahyuti
2011), dibentuk dengan sasaran mewujudkan tujuan pemangku kepentingan.
Peran kelembagaan yang mandiri dan tangguh menjadi orientasi dalam
pembangunan ketahanan pangan. Kelompok tani sebagai lembaga lokal yang
mana sebagai tempat berkumpul para petani. Kelembagaan petani di pedesaan
berkontribusi dalam pengembangan sosial ekonomi petani seperti aksesibilitas
pada informasi pertanian, modal, infrastruktur, dan pasar dan adopsi inovasi
pertanian. Di samping itu, keberadaan kelembagaan petani akan memudahkan
bagi pemerintah dan pemangku kepentingan yang lain dalam memfasilitasi dan
memberikan penguatan pada petani.
Orientasi pembangunan pertanian di peranan kelembagaan pada sistem
agribisnis. Kelembagaan yang solid pada daerah aliran sungai sangat diharapkan
dapat membantu para petani keluar dari persoalan akibat dari bencana banjir
Perlunya kelembagaan dilandasi bahwa pertanian membutuhkan sumberdaya
manusia tangguh yang didukung infrastruktur, peralatan, kredit, dan sebagainya,
serta pembangunan kelembagaan petani lebih rumit daripada manajemen
sumberdaya alam karena memerlukan faktor pendukung dan unit-unit produksi.
Kegiatan pertanian mencakup tiga rangkaian yakni penyiapan input, mengubah
input menjadi produk dengan usaha tenaga kerja dan manajemen, dan
menempatkan output menjadi berharga. Kegiatan pertanian juga memerlukan
dukungan dalam bentuk kebijakan dan kelembagaan dari pusat hingga lokal.
Pertanian yang kompleks meliputi unit usaha dan kelembagaan untuk mencapai
optimal.
10
Salah satu area yang memerlukan kelembagaan efektif yaitu daerah aliran
sungai yang rawan akan banjir. Daerah sekitar aliran sungai dari hulu-tengah-hilir
mempunyai keterkaitan hubungan. Pengelolaan yang buruk di hulu akan
berdampak ke bagian tengah dan hilir. Hal ini telah menjadi perhatian khusus di
setiap negara khususnya Indonesia. Peran pemerintah Indonesia dalam
pengelolaan daerah aliran sungai tertuang dalam kerangka kerja pengelolaan
daerah aliran sungai No. 05 tahun 2008. Pengelolaan melibatkan banyak pihak
mulai dari unsur pemerintahan, swasta dan masyarakat untuk mengindikasi
adanya kesadaran dan kemampuan para pihak dalam melestarikan ekosistem.
Menjaga kelestarian lingkungan dan resapan air yang mana masih banyak
dijumpai pada aliran sungai terdapat sampah dan limbah. Hal tersebut akan
menyebabkan pendangkalan, penyumbatan dan pencemaran air sungai dari hulu
ke hilir. Keterlibatan secara aktif para pihak akan membangun rasa memiliki,
memanfaatkan secara arif dan memelihara sumber daya secara bersama-sama
(Departemen Kehutanan 2008).
Pada kelembagaan pengelolaan banjir di daerah aliran sungai memerlukan
koordinasi efektif. Didukung dengan penelitian Hasibuan (2005) bahwa kebijakan
kelembagaan untuk pengelolaan daerah aliran sungai Citarum hulu terhadap
efektivitas waduk Saguling. Penelitian tersebut mendapatkan hasil bahwa
diperlukan pengembangan kebijakan dinamis yang diintegrasikan dalam satu
kesatuan pilar kebijakan yaitu kelembagaan, ekosistem dan sosial ekonomi.
Kegiatan bersama yang dilakukan para petani diyakini oleh Mosher (1991)
sebagai faktor yang mendukung pembangunan pertanian. Aktivitas bersama
sangat diperlukan apabila dengan kebersamaan tersebut akan lebih efektif dalam
mencapai tujuan yang diinginkan bersama. Dalam pengelolaan faktor-faktor
produksi, proses produksi, hingga pengolahan hasil inilah memerlukan adanya
kelembagaan petani. Kegiatan usaha pertanian akan berhasil jika petani
mempunyai kapasitas yang memadai. Untuk dapat mencapai produktivitas dan
efisiensi yang optimal petani harus menjalankan usaha bersama secara kolektif.
Untuk keperluan ini diperlukan pemahaman mengenai suatu kelembagaan di
tingkat petani. Di tingkat petani, lembaga diperlukan sebagai (a) Wahana untuk
pendidikan (b) Kegiatan komersial dan organisasi sumberdaya pertanian (c)
Pengelolaan properti umum dan (d) Membela kepentingan kolektif.
Effendi mengungkapkan sektor yang mempengaruhi pada pengelolaan
daerah aliran sungai tidak hanya satu atau dua faktor. Pada daerah aliran sungai
Ciliwung, Jratunseluna dan Batanghari terdapat tiga sektor pembangunan yang
mempengaruhi efektivitas. Bila pengembangan hanya berfokus pada satu sektor
maka kinerja daerah aliran sungai akan memperburuk sektor lainnya. Sehingga
produksi sektor lain akan menurun yang mana tergantung dari kinerja daerah
aliran sungai.
Rachman (1999) menjelaskan bahwa keberhasilan Pemberdayaan Petani
Pemakai Air (P3A) sebagai kelembagaan formal dalam pengelolaan air sangat
ditentukan oleh kekompakan anggota dan kondisi yang kondusif. Untuk mencapai
semua itu diperlukan pembinaan organisasi terus menerus sehingga tujuan
organisasi tercapai. Kurangnya pemahaman mengenai organisasi berdampak
negatif terhadap keberlangsungan P3A. Sistem kelembagaan tata air banyak
mengandung kelemahan diantaranya (1) Terlalu birokratis (2) Komunikasi dan
koordinasi antara institusi lokal dan panitia irigasi kurang lancar (3) Tidak
11
transparannya dalam pengelolaan organisasi. Untuk mewujudkan suatu institusi
yang dapat diterima masyarakat dan mampu membangun partisipasi anggota
tergantung pada kualitas pemimpin, keselarasan antar perangkat desa, insentif dari
hasil usaha tani dan transparansi dan demokratis dalam organisasi yang mana akan
menunjang kinerja organisasi.
Kelembagaan yang mengelola daerah aliran sungai menjalankan kebijakan
yang harmonis dan melibatkan pihak-pihak terkait. Perlu didukung adanya
partisipasi aktif dari para pemangku kepentingan. Salah satu yang dibutuhkan
dalam kekuatan kelembagaan yakni ketersediaan sumber daya manusia yang
handal, finansial yang kuat serta kemampuan manajerial sehingga akan terbentuk
keharmonisan pengelolaan DAS yang berkelanjutan.
Salah satu yang termasuk dalam kelembagaan petani yakni kelompok tani.
Kelompok Tani didefinisikan sebagai kumpulan dari petani, peternak, pekebun
yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan
sosial, ekonomi, sumber daya, kesamaan komoditas dan keakraban untuk
meningkatkan serta mengembangkan usaha anggota (UU 19/2013). Kelompok
tani merupakan gabungan dari para petani yang berfungsi sebagai wadah
komunikasi antar petani dan lembaga pendukung untuk mencapai tujuan pertanian
yang maju. Kelompok tani sangat efektif dan efisien untuk dikembangkan karena
para petani berkomunikasi dan belajar informasi terbaru. Dilihat dari peran
kelompok tani, lembaga pertanian khususnya Balai Penyuluh Pertanian menjadi
pendekatan utama. Sinergi yang tepat antar kedua belah pihak yakni kelompok
tani dan Balai penyuluh Pertanian akan menghasilkan petani berkualitas tinggi.
Dampak selanjutnya terhadap kelompok tani dipandang dari kinerja dan
pendapatan yang meningkat.
Kelompok tani yang mandiri dan tangguh diperlukan intensitas yang tinggi
dalam pertemuan untuk saling mengenal satu satu sama lain dan percaya,
dikarenakan adanya tujuan dan pandangan yang sama dalam berusaha tani.
Kelompok tani merupakan jalan di mana petani kecil dapat berhubungan dengan
pemerintah, sektor swasta dan mitra pembangunan untuk meningkatkan
produktivitas pertanian dan ketahanan pangan (Adong et al. 2012).
Keberadaan kelompok tani sangat dirasakan manfaatnya untuk anggota.
Kelompok tani dibentuk untuk memfasilitasi akses ke teknologi pertanian yang
lebih baik (Gibson et al. 2008), meningkatkan akses ke pasar produktif (Aliguma
et al. 2007), memfasilitasi produksi transportasi ke pasar (Mwaura et al. 2012),
keamanan keuangan dan investasi rumah tangga (Mutoro 1997) dan akses kredit
di mana kelompok-kelompok anggota bertindak sebagai jaminan atas satu sama
lain (Loevinsohn et al. 1994).
Teknologi dan pengetahuan terbarukan menjadi hal yang penting untuk
didapatkan di kelompok tani. Pada situasi daerah rawan banjir di sekitar aliran
sungai, pengelolaan sumber daya menjadi perhatian khusus oleh kelompok tani.
Indonesia telah banyak program yang dikeluarkan untuk mengatasi permasalahan
petani sesuai dengan potensi sumber daya alam. Program-program yang telah
dikeluarkan seperti SLPTT, SLPHT dan Upaya khusus padi. Kegiatan tersebut
didukung dengan pelatihan dan bimbingan tersebut akan meningkatkan
pengetahuan petani. Inovasi seperti penggunaan benih yang tahan banjir,
pergeseran masa tanam dan perluasan luas lahan.
12
Sama halnya di Bangladesh, untuk menghindari kerugian dari perubahan
iklim yang tinggi dicanangkan program baru. Pemerintahan Bangladesh
mengeluarkan program Sekolah Lapang Iklim (FAO 2014). Sekolah iklim bekerja
sama dengan kelompok-kelompok tani dalam memberikan pengetahuan mengenai
dampak bencana alam dan memberikan informasi dan inovasi terbaru untuk
mengendalikan kerugian. Hal ini semakin memperkuat kebersamaan kelompok
tani dalam mengembangkan kemampuan kelompok tani.
Kinerja kelompok tani sangat ditentukan oleh kerjasama yang solid antar
anggota dan pengurus. Akbar (2011) mengungkapkan bahwa kelompok tani yang
berada di Kabupaten Karawang yakni aspek tingkat kinerja dan kualitas Gapoktan
sebesar 34.78 persen dan hal tersebut merupakan hasil yang optimal. Anggriani
(2012) mengungkapkan bahwa aspek kinerja dan kualitas yang perlu dilakukan
dalam peningkatan kinerja ialah rencana gapoktan, penyelenggaraan rapat,
gapoktan belum memiliki badan hukum, pembinaan usaha anggota dan peran
penyuluh pendamping. Aspek kerjasama keuangan dengan lembaga keuangan,
sebagian petani tidak menganggap penting sehingga menunjukkan masih
rendahnya kesadarna petani tentang pengembangan modal usaha gapoktan.
Didukung dengan penelitian Firdausi (2014), analisis kinerja kelompok tani pada
7 desa yang berada di Rasanae Timur menunjukkan bahwa sebagian besar
kelompok tani tergolong dalam cukup baik degan presentase 54 persen. Terdapat
korelasi atau hubungan positif antara tingkat kinerja dengan kelompok tani
dengan tingkat ketahanan pangan rumah anggota kelompok tani.
Terdapat suatu struktur di dalam kelompok tani yang didalamnya terdapat
pemimpin dan anggota yang terbagi dalam sub-sub pembagian kerja.
Pembentukan pembagian kerja dari kelompok tani akan mempermudah jalannya
aktivitas dari para petani. Pengontrolan dan pengawasan kelompok tani akan lebih
intensif. Keberlangsungan dari kelompok tani bergantung pada kemampuan
mengatur anggota untuk terus aktif, positif dan terpadu dalam segala informasi.
Seluruh lingkup manajemen kelompok tani diarahkan agar kader-kader yang
terbentuk akan menja