PENGARUH DZIKIR UNTUK MENGURANGI SKALA NYERI PADA IBU POST SECTIO CAESAREA (SC)

(1)

IBU POST SECTIO CAESAREA (SC) Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh

Derajat Sarjana Ilmu Keperawatan pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh

RIZKY PANYEKAR KUSWANDARI 20120320175

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(2)

i

IBU POST SECTIO CAESAREA (SC) Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh

Derajat Sarjana Ilmu Keperawatan pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh

RIZKY PANYEKAR KUSWANDARI 20120320175

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(3)

iii

yang tak pernah berhenti kepada hamba

Rasulullah Muhammad SAW yang senantiasa mencintai umatnya

Mama dan Bapak tercinta yang selalu mendukung dalam segala hal dan senantiasa menyemangati. Terimakasih untuk mu, semua hal yang kau beri takkan pernah

terbalaskan, hanya bakti yang bisa Saya berikan.

Gessi van Vaudra dan bunda, terimakasih banyak atas semangat dan doa nya. Mbak Septi Ayu terimakasih terimakasih atas ilmunya dan sudah membantu dalam belajar. Keluarga besar tercinta terimakasih atas semangatnya, dan selalu mengingatkan untuk

tidak mengeluh.

Sahabat-sahabat tersayang Tri Sabatini dan Latansta Fikri, terimakasih banyak atas waktunya, yang selalu hadir disaat senang, susah, dan momen-momen terpenting Saya.

Teman-teman satu bimbingan Kak Santi, Helen, Mentari, Sumardi dan Kiki terimakasih juga atas sharing ilmunya; Gugun, terimakasih ilmunya, dorongan untuk selalu jadi yang

lebih baik; Antok terimakasih sudah jadi teman curhat yang baik; Endah, Nindy, perempuan sholehah yang menginspirasi; serta teman-teman PSIK 2012 semuanya,

kalian luar biasa.

Semua yang tidak bisa Sekar sebutkan satu persatu, terima kasih. Jazzakumullah Khoiron Katsiron


(4)

iv

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang “Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Maha

Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qolam (pena). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”

(QS. Al ‘Alaq: 1-5)

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati

supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”

(QS. Al ‘Ashr: 1-3)

“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”

(QS. Al-Insyirah: 5-6)

It is hard to be a woman. You must think like a man. Act like a lady. Look like a young girl. And work like a horse.

Entah akan berkarir atau menjadi ibu rumah tangga, seorang wanita wajib berpendidikan tinggi karena ia akan menjadi ibu. Ibu-ibu cerdas akan menghasilkan

anak-anak cerdas ~ Dian Sastrowardoyo Beauty with a purpose ~Harfanti

Teruslah belajar, dan jangan bandingkan diri kita dengan orang lain. Akan tetapi bandingkanlah diri kita hanya dengan diri kita sebelumnya agar terus dan terus belajar, terus dan terus menjadi pribadi yang lebih baik, terus dan terus berkarya


(5)

v Nama : Rizky Panyekar Kuswandari NIM : 20120320175

Program Studi : Ilmu Keperawatan

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Karya Tulis Ilmiah yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Karya Tulis Ilmiah ini.

Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Karya Tulis Ilmiah ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Yogyakarta, 17 Juni 2016 Yang membuat pernyataan,


(6)

vi

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan karya tulis ilmiah ini. Sholawat dan salam tak lupa penulis curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.

Ucapan terima kasih ingin penulis haturkan kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan proposal karya tulis ini, khususnya kepada:

1. dr. H. Ardi Pramono, Sp.An.,M.Kes selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

2. Sri Sumaryani S.Kep.,Ns., M.Kep., Sp.Mat., HNC selaku Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

3. Yusi Riwayatul Afsah, S.Kep.,Ns.,MNS.,CWCS selaku dosen pembimbing yang telah membimbing Saya hingga menyelesaikan proposal ini.

4. Shanti Wardaningsih, M.Kep.,Ns.,Sp.KepJ.,PhD selaku dosen penguji yang telah menguji proposal ini.

5. Keluarga besar, sahabat, teman-teman yang selalu memberikan dukungan dalam menyelesaikan proposal ini.

Penulis sadar masih banyak kekurangan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan bimbingan, kritik dan saran demi kemajuan bersama. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih.


(7)

vii

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iii

MOTTO HIDUP ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR SKEMA DAN TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

INTISARI ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Penelitian Terkait ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

A. Landasan Teori ... 9

1. Nyeri ... 9

a. Definisi Nyeri ... 9

b. Klasifikasi Nyeri ... 9

c. Mekanisme Nyeri ... 10

d. Respon Fisiologi Nyeri ... 14

e. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nyeri ... 15

f. Manejemen Nyeri Non-Farmakologi ... 18

g. Manajemen Nyeri Farmakologi ... 21

h. Macam-Macam Pengukur Skala Nyeri ... 21

2. Sectio Caesarea (SC) ... 23

a. Definisi ... 23

b. Indikasi ... 24

c. Jenis-Jenis Persalinan SC ... 26

d. Tipe Pembedahan ... 28

e. Pengaruh Sistemik SC ... 30

f. Dampak Nyeri ... 31

g. Komplikasi ... 33

h. Jenis-Jenis Anestesi ... 37

3. Dzikir... 40

a. Definisi ... 40

b. Cara berdzikir ... 41

c. Manfaat dzikir ... 43


(8)

viii

D. Hipotesis ... 60

BAB III METODE PENELITIAN... 61

A. Desain Penelitian ... 61

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 63

C. Hubungan Antar Variabel ... 64

D. Definisi Operasional... 65

E. Instrumen Penelitian... 66

F. Cara Pengumpulan Data ... 67

G. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 70

H. Pengolahan dan Analisa Data... 71

I. Analisis Data ... 73

J. Etik Penelitian ... 74

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 76

A. Gambaran Wilayah Penelitian ... 76

B. Hasil Penelitian ... 77

1. Analisis Univariat... 77

2. Uji Normalitas Data ... 81

3. Analisa Bivariat ... 83

C. Pembahasan 1. Karakteristik Responden Penelitian ... 85

2. Perbedaan Intensitas Nyeri ... 92

D. Kekuatan dan Kelemahan Penelitian ... 96

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 98

A. Kesimpulan ... 98

B. Saran ... 98


(9)

ix

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden ... 77

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Nyeri Kelompok Kontrol ... 79

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Nyeri Kelompok Intervensi ... 80

Tabel 5. Hasil Uji Normalitas Data ... 81

Tabel 6. Hasil Uji Independent T-test ... 82

Tabel 7. Hasil Uji Paired T-test ... 83


(10)

x

Gambar 2. Perjalanan Implus Nyeri ... 14

Gambar 3. Skala Pengukur Nyeri VAS... 22

Gambar 4. Skala Pengukur Nyeri NRS ... 22


(11)

xi Lampiran 4. SOP Penelitian

Lampiran 5. Lembar Permohonan Menjadi Responden Lampiran 6. Lembar Persetujuan Menjadi Responden Lampiran 7. Panduan Dzikir

Lampiran 8. Instrumen Data Demografi dan Pengukur Nyeri NRS Lampiran 9. Hasil Pengkajian Nyeri


(12)

TBA POST SECTIO CAESAREA

Disusun Oleh :

RTZI(Y PAIYYEKAR KUSWANDARI 2012w20t75

Telah diseminarkan dan disetujui pada tanggal 24 JrrnLz0rc

Dosen Pembimbing

ry4

Yusi Riwayatul Afsalq S. Kep., Ns., MNS I.IIK: I 986 1203201 5 l0l7 3 165

Shanti Wardaningsih.,

Mengetahur

Kaprodi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Univ_ersitas,

iyah Yogyakarta

Sri Sumaryani, M.Kep., Ns., Sp. Mat., HNC

NIK: I 97703 I 320001 04173046 -/

/

Q.In-r,

-ffiru

* \)


(13)

INTISARI

Latar belakang: Sectio Caesarea (SC) merupakan tindakan bedah untuk melahirkan bayi yang dilakukan dengan cara insisi pada dinding abdomen. Data menunjukkan tingkat persalinan SC 15,3% dari 20.591 ibu yang melahirkan pada 33 provinsi di Indonesia. Ibu dengan persalinan SC mengalami nyeri skala tinggi pada 24 jam pertama. Manajemen nyeri yang buruk dapat mengakibatkan menurunnya kualitas hidup, memperpanjang waktu hospitalisasi dan terhambatnya mobilisasi dini pada 10 jam pertama post SC. Penanganan nyeri dilakukan secara farmakologi dan non-farmakologi. Upaya penanganan nyeri secara non-farmakologi salah satunya adalah dzikir. Metode dzikir memiliki banyak manfaat seperti memberikan ketenangan karena berdoa dan berserah diri. Tujuan: Untuk mengetahui pengaruh dzikir terhadap penurunan skala nyeri pada ibu post Sectio Caesarea.

Metode: Quasi-eksperimen with pre-test and post-test with control group design. Jumlah sampel sebesar 40 responden didapatkan dengan teknik Accidental Sampling kemudian dilakukan teknik Simple Random Sampling untuk memilih pasien masuk ke dalam kelompok kontrol dan intervensi. Data diuji dengan uji komparasi parametrik Paired T-test dan Independent T-test

Hasil: Terdapat pengaruh dzikir terhadap penurunan skala nyeri pada ibu post SC. Dengan hasil dari uji Independent T-test p=0,003 (p<0,05) (95% CI: 2,114 -0,486), mean difference sebesar -1,300. Sedangakan hasil dari uji Paired T-test didapatkan hasil mean difference sebesar 0,250 pada kelompok kontrol dan 1,850 pada kelompok intervensi dengan nilai Sig. p= 0,000 (p<0,05)

Kesimpulan: Terdapat pengaruh dzikir terhadap penurunan skala nyeri pada ibu post Sectio Caesarea (SC).


(14)

ABSTRACT

Background: Sectio Caesarea (SC) is a methode to deliver the baby by doing incision through the abdomen wall. Data from shows the SC rate was 15.3% from 20.591 labor in the 33 provinces of Indonesia. Mother who done the SC is suffering high scale of pain in the first 24 hours. The bad pain management can result in decreasing quality of life, longer hospitalization time, and hamper the early mobilization in the first 10 hours of post SC. The pain management must be done pharmacologically and pharmacologically. One of the non-pharmacological pain management is Dzikir. Dzikir methode is having some advantages, it is like giving peace because we pray and surrender to Allah.

Purpose: To examine the effect of dzikir to reduce pain scale of post Sectio Caesarean Mother

Methode: Quasi-eksperimen with pre-test and post-test control group design. The sample amount is 40 respondents, is taken by using Accidental Sampling. The Simple Random Sampling Technique is used to devide the group. The data is examined using parametric comparation Paired T-test and Independent T-test Result:

There is effect of dzikir to reduce pain scale of post Sectio Caesarean Mother. The result of Independent T-test is p value=0.003 (p<0,05) (95% CI: -2,114 - -0,486), mean difference =-1.300. The result of mean difference on Paired T-test is 0.250 in the control group, and 1,850 in the intervention group. The p value is p=0.000 (p<0.05).

Conclution: There is effect of dzikir to reduce pain scale of post Sectio Caesarean Mother.


(15)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Sectio Caesarea (SC) merupakan tindakan bedah untuk melahirkan

bayi yang dilakukan dengan cara insisi pada dinding abdomen ibu (WHO, 2010). Sebanyak 18.5 juta SC dilakukan setiap tahunnya di seluruh dunia dan sekitar 10 % dari negara-negara di dunia memiliki tingkat SC 10-15 % (WHO, 2010). Berdasarkan data RISKESDAS tahun 2010 menunjukkan tingkat persalinan sectio caesarea sebanyak 15,3% dari sampel 20.591 ibu yang melahirkan dalam 5 tahun terakhir pada 33 provinsi di Indonesia. Nyeri pada klien dengan SC diakibatkan dari rahim yang sering berkontraksi karena masih dalam proses kembali ke bentuk semula dan juga rasa nyeri yang muncul dari daerah insisi operasi.

Ibu dengan persalinan SC mengalami nyeri skala tinggi selama 24 jam pertama (Kalstrom, 2007). Berdasarkan penelitian tentang nyeri di Brazil, menggunakan Numeric Category Scale didapatkan hasil nyeri ringan pada ibu post SC dengan rata-rata skala 4 dirasakan ketika dalam keadaan istirahat, pada

saat berjalan merasakan nyeri rata-rata skala 6, duduk kemudian berdiri menunjukkan rata-rata skala nyeri tertinggi yaitu 7. Sebanyak 75% lokasi nyeri berada pada sekitar luka dan responden mengatakan mengalami kendala beraktivitas akibat nyeri (Sousa et al, 2009). Nyeri yang dapat ditolerir oleh pasien adalah rentang 1-3 atau nyeri ringan. Nyeri ringan dapat mudah ditoleransi setelah diberikan analgesik. Apabila nyeri yang dirasakan adalah


(16)

level 4 atau lebih dari 4, pasien masih merasakan nyeri setelah diberikan obat analgesik sehingga membutuhkan tindakan non-farmakologi yang efektif. Pasien dengan nyeri skala 4 atau lebih dari 4 akan mengalami perubahan suasana hati dan terhambatnya aktifitas fisik (Gerbershagen, Rothaug, Kalkman, & Meissner, 2011).

Manajemen nyeri yang buruk akan mengakibatkan menurunnya kualitas hidup dan memperpanjang waktu hospitalisasi, yaitu lebih dari 4 hari (Sariyem, 2013). Berdasarkan survei yang dilakukan di RSUP Dr. Karyadi, 80% dari ibu post SC takut terjadi sesuatu dengan jahitannya ditambah dengan nyeri pada area insisi yang masih terasa sehingga takut untuk melakukan mobilisasi dini 10 jam post SC (Dwijayanti, Sumarni dan Ariyanti, 2014). Nyeri juga berdampak pada menurunnya kualitas tidur, stres, ansietas, dan takut apabila dilakukan tindakan bedah kembali (Arora, Hurley, Murthy, Sharma, 2010). Nyeri post SC tentunya juga mengganggu berlangsungnya laktasi sehingga akan berakibat berkurangnya nutrisi pada bayi, dan berkurangnya bonding attachment antara ibu dan bayi (Alexander et al, 2010). Penanganan nyeri dilakukan secara farmakologi dan non-farmakologi dengan tujuan untuk mengobati nyeri tersebut dengan cara menghilangkan gejala yang muncul. Pasien masih merasa nyeri dan tidak mampu beradaptasi dengan nyeri yang dirasakan apabila efek dari analgetik hilang sehingga dibutuhkan terapi non-farmakologis (Sujatmiko, 2013). Teknik relaksasi nafas dalam, terapi musik, guided imagery dengan aromaterapi dan terapi Benson merupakan terapi non-farmakologi yang telah terbukti mampu menurunkan


(17)

skala nyeri pasien post SC karena klien menjadi relax dan dapat beradaptasi dengan nyerinya (Irmawati dan Ratilasari, 2013; Lestari, 2011; Lukman, 2014; Patasik, Tangka dan Rottie, 2013; Sujatmiko, 2013).

Penggunaan terapi farmakologis bersama dengan non-farmakologis akan membantu pasien dalam mengurangi nyerinya. Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan terapi farmakologi bersama dengan terapi non-farmakologi membantu pasien dalam beradaptasi dengan nyerinya sehingga dapat meningkatkan quality of life, berkurangnya penggunaan analgesic, pasien dapat segera kembali bekerja, dan memberikan pandangan yang berbeda tentang nyeri dan dampaknya dalam kehidupan pasien (Jorgensen, 2014). Berkurangnya nyeri juga berdampak secara ekonomi, yaitu pasien dapat menghemat pengeluaran untuk kunjungan ke tenaga medis dan pembelian obat-obatan anti nyeri (Courtenay dan Carey, 2008) .

Saat ini telah dikembangkan terapi non-farmakologi berdasarkan Islam. Beberapa terapi seperti murrotal telah diteliti mampu mengurangi nyeri haid, dan dzikir khafi telah diteliti mampu mengurangi nyeri kaki osteoartritis (Ihsan, Tafwidhah & Adiningsih, 2013 ; Hidayat, 2014). Selain itu terdapat penelitian lain tentang kombinasi edukasi nyeri dan meditasi dzikir, yang juga dapat mengurangi nyeri pada pasien pasca operasi fraktur (Nasriati, 2015). Dzikir adalah rangkaian kalimat yang diucapkan dalam rangka untuk mengingat Allah, serta usaha untuk selalu menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya (Winarko, 2014). Secara fisiologis, dzikir akan menghasilkan beberapa efek medis dan psikologis yaitu akan membuat


(18)

seimbang kadar serotonin dan norepineprin di dalam tubuh. Hal tersebut merupakan morfin alami yang bekerja di dalam otak yang dapat membuat hati dan pikiran merasa tenang setelah berdzikir (Hidayat, 2014). Dzikir akan membuat seseorang merasa tenang sehingga kemudian menekan kerja sistem saraf simpatis dan mengaktifkan kerja sistem saraf parasimpatis. Allah berfirman “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah SWT (dzikrullah). Ingatlah, hanya dengan mengingat

Allahlah hati menjadi tentram” (QS. Ar-Ra’du: 29)

Dari uraian di atas, nyeri memberikan dampak negatif sehingga harus ditangani. Metode dzikir memiliki banyak manfaat seperti memberikan ketenangan dengan berdoa, dan berserah diri, sehingga peneliti ingin meneliti apakah dzikir mampu menurunkan nyeri pada ibu post SC.

Rumah Sakit Umum PKU Muhammadiyah Bantul merupakan rumah sakit yang menjunjung nilai-nilai keislaman dalam melakukan perawatan kepada pasien. Falsafah RSU PKU Muhammadiyah Bantul merupakan perwujudan ilmu, iman dan amal shalih. Visinya adalah terwujudnya rumah sakit islami yang mempunyai keunggulan kompetitif global, dan menjadi kebanggaan umat. Misi dari RSU PKU Muhammadiyah Bantul adalah berdakwah melalui pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan mengutamakan peningkatan kepuasan pelanggan serta kepedulian pada kaum

dhu’afa. Penelitian ini sesuai dengan falsafah dan visi dari RSU PKU

Muhammadiyah Bantul, yaitu mewujudkan ilmu dalam melaksanakan


(19)

Berdasarkan studi pendahuluan, pada bulan Oktober 2015 terdapat 22 pasien post SC, pada bulan November 2015 terdapat 33 pasien post SC, sedangkan pada bulan Desember 2015 terdapat 27 pasien post SC dengan mayoritas pasien beragama muslim. Apabila dirata-rata, setiap bulannya terdapat kurang lebih 25 sampai 30 pasien SC dengan berbagai macam indikasi SC. Hasil pengkajian nyeri post SC pada 5 orang pasien didapatkan hasil sebanyak 4 orang mengatakan nyeri sedang pada hari pertama dengan rata-rata nyeri skala 5 hingga skala 7, kemudian nyeri sedikit berkurang satu angka pada hari kedua dengan rentang skala nyeri 4 hingga skala 6, dan hanya satu orang saja yang tidak mengeluh nyeri sejak hari pertama post SC. Penanganan nyeri non-farmakologi yaitu dengan diajarkan relaksasi nafas dalam. Oleh karena hal tersebut, maka peneliti ingin melakukan penelitian di RSU PKU Muhammadiyah Bantul Yogyakarta untuk mengetahui pengaruh dzikir dalam menurunkan skala nyeri ibu post SC.

B. Perumusan Masalah

Apakah terdapat penurunan skala nyeri pada ibu post-sectio caesarea (SC) setelah melakukan dzikir?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh dzikir terhadap penurunan skala nyeri pada ibu post sectio caesarea.


(20)

a. Untuk mengetahui skala nyeri pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi sebelum dilakukan intervensi.

b. Untuk mengetahui skala nyeri pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi setelah dilakukan intervensi.

c. Untuk mengetahui rentang skala nyeri berdasarkan data demografi (usia, pendidikan, riwayat SC atau frekuensi SC, kesiapan dan suku). D. Manfaat Penelitian

1. Praktek Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan di bidang keperawatan khususnya perawatan pasien post SC untuk mengurangi nyeri.

2. Bagi Rumah Sakit

Meningkatkan mutu dan kualitas pemberian pelayanan kepada pasien post SC dalam memberikan asuhan keperawatan nyeri pada ibu post SC.

3. Bagi peneliti lain

Sebagai bahan masukan, pertimbangan, dan acuan bagi penelitian lainnya dalam melakukan penelitian selanjutnya terkait dzikir terhadap penurunan nyeri ibu post SC.

4. Bagi Pasien dan Keluarga

Memberikan informasi kepada responden dan keluarga tentang salah satu cara mengurangi nyeri post SC. Diharapkan penelitian ini dapat meningkatkan spiritualitas responden, dengan senantiasa mengingat Allah dan berpasrah diri sehingga mampu beradaptasi dengan nyerinya.


(21)

E. Penelitian terkait

1. Nasriati, Ririn (2015) dengan judul penelitian “Kombinasi Edukasi Nyeri dan Meditasi Dzikir Meningkatkan Adaptasi Nyeri Pasien Pasca Operasi Fraktur”. Desain penelitian tersebut menggunakan desain quasy experiment dengan rancangan pre and post test control group design.

Sampel penelitian sebanyak 48 orang yang terbagi dalam 24 kelompok perlakuan dan 24 kelompok kontrol. Teknik pengambilan sampel menggunakan consecutive sampling. Analisis statistik menggunakan uji parametrik (Pairet T test dan T test independent) dan non parametrik (Wilcoxon signed Rank test dan Mann Whiney test). Hasil penelitian menunjukkan rata-rata penurunan intensitas nyeri dari skala 7 menjadi 4,1 dan tekanan darah dari 124/80,4 mmHg menjadi 120/75 mmHg pada kelompok perlakuan dengan p<0,05. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan p<0,05 yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan perubahan intensitas nyeri antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol secara signifikan. Dapat disimpulkan bahwa kombinasi edukasi nyeri dan meditasi dzikir menurunkan intensitas nyeri dan tidak mempengaruhi tekanan darah, nadi dan respirasi pada pasien pasca operasi fraktur. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini yang pertama terletak pada teknik sampling, responden dan tempat penelitian. Perbedaan yang kedua pada variabel bebas yaitu dzikir sedangkan pada penelitian tersebut adalah pendidikan kesehatan dan dzikir. .


(22)

2. Lestari, Riana (2011) dengan judul penelitian “Pengaruh Relaksasi Benson terhadap Nyeri pada Pasien Sectio caesarea di RS PKU Muhammadiyah Bantul Yogyakarta. Penelitian tersebut menggunakan desain penelitian quasi expermental dengan pendekatan pre-post test design with control group. Jumlah sampel adalah 54 responden, yang

terdiri dari 24 kelompok eksperiment dan 30 kelompok kontrol. Pengumpula data didapatkan melalui data primer dengan menggunakan skala nyeri Verbal Deskriptor Scale dan Wong Bakers Face Scale. Analisis data menggunakan uji statistik Wilcoxon dan mann-Whithney. Hasil penelitian menunjukkan penurunan nyeri post sectio caesarea pada kelompok eskperimen adalah nyeri sedang sebanyak 14 responden (58.4%) sebelum dilakukan teknik relaksasi Benson (pretest), dan nyeri ringan sebanyak 14 responden (58.4%) setelah dilakukan teknik relaksasi Benson (postest). Tingkat nyeri post sectio caesarea pada kelompok kontrol adalah nyeri sedang sebanyak 14 responden (46.7%) pada pengkajian awal (menit ke-1) dan setelah 75 menit, 16 responden (53.3%) mengalami nyeri sedang Hasil uji statistik menunjukkan nilai p=0.000 (p<0.05). Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini

yang pertama terletak pada variabel bebas yaitu dzikir sedangkan pada penelitian tersebut adalah Relaksasi Benson. Kemudian perbedaan yang kedua ada pada responden dan tempat penelitian.


(23)

9

1. Nyeri

a. Definis nyeri

Menurut American Medical Association (2013), nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual ataupun potensial. Nyeri merupakan alasan utama seseorang untuk mencari bantuan perawatan kesehatan dan yang paling banyak dikeluhkan.

b. Klasifikasi nyeri

Nyeri secara esensial dapat dibagi atas dua tipe yaitu nyeri adaptif dan nyeri maladaptif. Nyeri adaptif berperan dalam proses survival dengan melindungi organisme dari cedera atau sebagai petanda

adanya proses penyembuhan dari cedera. Nyeri maladaptif terjadi jika ada proses patologis pada sistem saraf atau akibat dari abnormalitas respon sistem saraf. Nyeri dikategorikan dengan durasi atau lamanya nyeri berlangsung (akut atau kronis) atau dengan kondisi patologis (contoh: kanker atau neuropatik)

Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi kurang dari 6 bulan. Nyeri akut terjadi karena adanya cidera atau trauma yang mengindikasikan adanya kerusakan dan akan menurun dengan sendirinya sejalan dengan proses penyembuhan dengan ataupun tanpa adanya pengobatan (Smeltzer


(24)

& Bare, 2002). Nyeri akut bersifat melindungi memiliki penyebab yang dapat diidentifikasi, berdurasi pendek, dan memiliki sedikit kerusakan jaringan serta respon emosional. Nyeri akut dapat berhubungan dengan kerusakan jaringan, inflamasi, proses penyakit atau karena tindakan bedah. Nyeri akut biasanya berlangsung singkat, dan tidak lebih dari 6 bulan (Paice, 2015). Proses penyembuhan nyeri secara menyeluruh tidak selalu dapat dicapai, tetapi mengurangi rasa nyeri sampai dengan tingkat yang dapat ditoleransi harus dilakukan (Potter & Perry, 2010).

Berdasarkan Australian and New Zealand College of Anaesthetist and Faculty of Pain Medicine (2010), nyeri akut yang tidak

tertangani dapat berkembang menjadi nyeri kronis dan bersifat menetap dalam waktu yang lama. Nyeri kronis dapat memberikan dampak negatif seperti bertambahnya waktu hospitalisasi, dapat terjadi komplikasi karena imobilisasi, status emosional yang tidak terkontrol akibat lamanya hospitalisasi dan tertundanya proses rehabilitasi.

c. Mekanisme nyeri

Secara garis besar, nyeri terjadi akibat dari sensitasi pada perifer yang akan dilanjutkan pada sensitasi sentral. Mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses multipel yaitu nosisepsi, sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas ektopik, reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Nyeri pada post SC diakibatkan dari robeknya lapisan kulit dan jaringan di bawahnya akibat pembedahan. Nosisepsi adalah mekanisme yang menimbulkan nyeri nosiseptif dan


(25)

terdiri dari proses transduksi, konduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi. Nyeri terjadi akibat dari sensitasi pada perifer yang akan dilanjutkan pada sensitasi sentral. Nyeri pada post SC sensitasi perifer berasal dari robeknya lapisan kulit dan jaringan di bawahnya akibat pembedahan (Vascopoulos & Lema, 2010). Nosiseptor adalah saraf-saraf yang menghantarkan stimulus nyeri ke otak (Potter & Perry, 2010). Transduksi terjadi ketika stimulus berupa suhu, kimia atau mekanik diubah menjadi energi listrik. Transduksi dimulai dari perifer, ketika stimulus mengirimkan impuls yang melewati serabut saraf nyeri perifer yang terdapat di panca indra, maka akan menimbulkan potensial aksi. Setelah proses transduksi selesai, kemudian terjadi proses transmisi impuls nyeri. Kerusakan sel mengakibatkan pelepasan neurotransmitter eksitatori seperti protaglandin, bradikinin, kalium, histamin dan substansi P (Kyranou & Puntillo, 2012). Substansi neurotransmitter yang peka terhadap nyeri yang terdapat di sekitar serabut nyeri yang terdapat di

cairan ekstraseluler, menyebarkan “pesan” adanya nyeri dan

menyebabkan inflamasi atau peradangan (Potter & Perry, 2010). Serabut nyeri memasuki medula spinalis melalui tulang belakang dan melewati beberapa rute hingga berakhir di gray matter (substansi abu-abu) medula spinalis.

Pada jurnal Australian and New Zealand College of Anaesthetists atau ANZCA (2010) dikatakan bahwa substansi P


(26)

sinapsis dari saraf perifer aferen (panca indra) ke sistem saraf spinotalami yang melewati sisi yang berlawanan. Terdapat 2 macam serabut saraf perifer yang mengontrol stimulus nyeri, yaitu yang tercepat, serabut A-Delta yang diselubungi myelin, sangat kecil dan lambat, dan serabut cepat, yaitu serabut C yang tidak diselubungi myelin. Serabut A mengirimkan sensasi yang tajam, terlokalisasi secara jelas, terbakar atau sangat panas, menetap (Potter & Perry, 2010).

Sepanjang sistem spinotalamik, impuls-impuls nyeri berjalan melintasi medula spinalis. Setelah impuls nyeri naik ke medula spinalis, talamus mentransmisikan informasi ke pusat yang lebih tinggi di otak, termasuk pembentukan jaringan; sistem limbic; korteks somatosensori; dan gabungan korteks (ANZCA, 2010). Ketika stimulus nyeri sampai ke korteks serebral, maka otak akan menginterpretasikan kualitas nyeri dan memproses informasi dari pengalaman yang telah lalu, pengetahuan, serta faktor budaya yang berhubungan dengan persepsi nyeri. Persepsi merupakan salah satu poin dimana seseorang sadar akan timbulnya nyeri (Potter & Perry, 2010).

Sesaat setelah otak menerima adanya stimulus nyeri, terjadi pelepasan neurotransmitter inhibitor seperti opioid endogenus (endorfin dan enkefalin), serotonin (5HT), norepinefrin, dan asam aminobutirik gamma (GABA) yang bekerja untuk menghambat transmisi nyeri. Terhambatnya transmisi impuls nyeri merupakan proses nosiseptif yang dikenal dengan modulasi (AMA, 2014).


(27)

Bersamaan dengan seseorang menyadari adanya nyeri, maka reaksi kompleks mulai terjadi. Faktor-faktor psikologis dan kognitif berinteraksi dengan neurofisiologi dalam mempersepsikan rasa nyeri. Persepsi memberikan seseorang perasaan sadar dan makna terhadap nyeri sehingga membuat orang tersebut kemudian bereaksi. Reaksi terhadap nyeri merupakan respon fisiologis dan respon perilaku yang terjadi setelah seseorang merasakan nyeri. Saat ini reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) mulai dikaitkan dengan persepsi nyeri (Potter & Perry, 2010)

Respon reflek yang bersifat protektif juga terjadi dengan adanya persepsi nyeri. Serabut delta A mengirimkan impuls-impuls sensorik ke medula spinalis, dimana impuls-impuls tersebut akan bersinapsis dengan neuron motorik spia (neuron yang merupakan bagian dari jalur urat saraf yang terletak di medula spinalis. Impuls-impuls tersebut akan bersinapsis dengan neuron motorik spiral yang mentransmisikan impuls-impuls dari otak menuju otot atau kelenjar) (ANZCA, 2010). Impuls-impuls motorik tersebut akan berjalan melalui refleks listrik di sepanjang serabut-serabut saraf eferen (motorik) kembali ke otot perifer yang dekat dengan area stimulasi, sehingga melewati otak. Kontraksi otot dapat menimbukan reaksi perlindungan terhadap sumber nyeri (Potter & Perry, 2010).


(28)

Gambar 1. Anatomi Otak

Gambar 2. Perjalanan Impuls Nyeri d. Respon fisiologis

Bersamaan dengan naiknya impuls-impuls nyeri ke medula spinalis hingga mencapai batang otak dan talamus, maka sistem saraf otonom


(29)

menjadi terstimulus sebagai bagian dari respon stres. Nyeri dengan intensitas rendah sampai nyeri superfisial menimbulkan reaksi fight or fligt terhadap sindrom adaptasi general. Stimulasi dari cabang simpatis

pada sistem saraf otonom mengakibatkan respon fisiologis. Apabila nyeri terus berlanjut, semakin berat dan dalam, biasanya melibatkan organ-organ viseral dan dapat menyebabkan perubahan tanda vital (Potter & Perry, 2010)

e. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri

Rasa nyeri merupakan suatu hal yang bersifat kompleks, mencakup pengaruh fisiologis, sosial, spiritual, psikologis dan budaya. Oleh karena itu pengalaman nyeri masing-masing individu berbeda-beda.

1) Faktor fisiologis

Faktor fisiologis terdiri dari usia, gen, dan fungsi neurologis. Pada usia 1-3 tahun (toddler) dan usia 4-5 tahun (prasekolah) belum mampu menggambarkan dan mengekspresikan nyeri secara verbal kepada orang tuanya. Sedangkan pada usia dewasa akhir, kemampuan dalam menafsirkan nyeri yang dirasakan sangat sukar karena terkadang menderita beberapa penyakit sehingga mempengarui anggota tubuh yang sama (Potter & Perry, 2010).

Pada orang tua atau elderly, kemampuan metabolisme tubuh telah menurun, dan sering terjadi penurunan kepekaan saraf sehingga elderly mempunyai presepsi nyeri yang kurang (Abdo, 2008). Penurunan neurologis juga dapat terjadi pada seseorang


(30)

dengan penyakit penyerta seperti Diabetes Mellitus. Faktor genetik juga dapat mempengaruhi persepsi seseorang. Seperti pada penelitian dikatakan bahwa seseorang yang memiliki keluarga dengan low back pain, migraine dan tension-type headache juga akan mengalami hal-hal tersebut sehingga akan mempresepsikan nyeri yang sama, namun presepsi nyeri tetap dipengaruhi oleh multi faktor seperti lingkungan (Fillingim, Wallace, Herbtsman, Dasilva & Tsaud, 2009).

2) Faktor sosial

Faktor sosial yang dapat mempengaruhi nyeri terdiri dari perhatian, pengalaman sebelumnya, dukungan keluarga dan sosial. Perhatian adalah tingkat dimana pasien memfokukan perhatian terhadap nyeri yang dirasakan (Potter & Perry, 2010). Frekuensi terjadinya nyeri di masa lampau tanpa adanya penanganan yang adekuat akan membuat seseorang salah menginterpretasikan nyeri sehingga menyebabkan ketakutan. Pasien yang tidak memiliki pengalaman terhadap kondisi yang menyakitkan (nyeri), persepsi pertama terhadap nyeri dapat merusak kemampuan seseorang untuk mengatasi masalah. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Linton dan Shaw (2011) bahwa dukungan dan perhatian dari keluarga dan orang terdekat pasien sangat mempengaruhi presepsi nyeri pasien.


(31)

Smith et al. (2014) mengatakan bahwa pendidikan formal mempengaruhi persepsi seseorang terhadap nyeri. Seseorang dengan level pendidikan formal yang rendah mengalami kesulitan dalam mengakses sumber belajar khususnya pengetahuan tentang nyeri. Pendidikan kesehatan juga berpengaruh terhadap presepsi nyeri pasien. Pendidikan kesehatan dapat membantu pasien untuk beradaptasi dengan nyerinya dan menjadi patuh terhadap pengobatan. Sehingga pendidikan kesehatan juga dapat mengurangi dampak dari pengalaman nyeri yang buruk karena pasien mempunyai coping yang baik.

3) Faktor spiritual

Spiritualitas dan agama merupakan kekuatan bagi seseorang. Apabila seseorang memiliki kekuatan spiritual dan agama yang lemah, maka akan menganggap nyeri sebagai suatu hukuman. Akan tetapi apabila seseorang memiliki kekuatan spiritual dan agama yang kuat, maka akan lebih tenang sehingga akan lebih cepat sembuh. Spiritual dan agama merupakan salah satu koping adaptif yang dimiliki seseorang sehingga akan meningkatkan ambang toleransi terhadap nyeri (Moore, 2012).

4) Faktor psikologis

Faktor psikologis dapat juga mempengaruhi tingkat nyeri. Faktor tersebut terdiri dari kecemasan dan teknik koping. Kecemasan dapat meningkatkan persepsi terhadap nyeri. Teknik


(32)

koping memengaruhi kemampuan untuk mengatasi nyeri. Seseorang yang belum pernah mendapatkan teknik koping yang baik tentu respon nyerinya buruk (Potter & Perry, 2010).

5) Faktor Budaya

Faktor budaya terdiri dari makna nyeri dan suku bangsa. Makna nyeri adalah sesuatu yang diartikan seseorang sebagai nyeri akan mempengaruhi pengalaman nyeri dan bagaimana seseorang beradaptasi terhadap kondisi tersebut. Seseorang merasakan sakit yang berbeda apabila terkait dengan ancaman, kehilangan, hukuman, atau tantangan. Suku bangsa berkaitan dengan budaya.

Budaya mempengaruhi ekspresi nyeri. Beberapa budaya percaya bahwa menunjukkan rasa sakit adalah suatu hal yang wajar. Sementara yang lain cenderung untuk lebih introvert (Potter & Perry, 2010). Budaya juga mempengaruhi cara pengobatan, seperti pemilihan pengobatan dan cara mengekspresikan nyeri sehingga dibutuhkan pengkajian lebih dalam terkait dengan budaya (Robbins, 2011).

f. Manajemen nyeri non-farmakologi 1) Relaksasi dan guided imagery

Relaksasi merupakan teknik yang dilakukan agar tercapai keadaan relaks. Teknik relaksasi lain mencakup meditasi, yoga, dan latihan relaksasi otot progresif. Guided imagery adalah teknik relaksasi cognitive-behavioral dimana pasien dibimbing untuk


(33)

membayangkan sesuatu yang indah atau pengalaman yang indah sehingga memberikan perasaan bebas secara mental dan fisik dari ketegangan atau stres yang membuat individu memiliki rasa kontrol terhadap nyerinya.

Yoga merupakan teknik relaksasi yang mengajarkan seperangkat teknik seperti pernafasan, meditasi, dan posisi tubuh untuk meningkatkan kekuatan dan keseimbangan. Yoga telah terbukti mengurangi nyeri, seperti nyeri pada saat menstruasi (dismenorhea) (Siahaan, Erminati & Maryati. 2014). Teknik relaksasi otot progresif adalah terapi relaksasi dengan gerakan mengencangkan dan melemaskan otot–otot pada satu bagian tubuh pada satu waktu untuk memberikan perasaan relaksasi secara fisik (Rochmawati, 2015).

2) Distraksi

Distraksi adalah mengarahkan perhatian klien kepada suatu hal lain selain nyeri, dengan demikian mengurangi kesadaranya terhadap nyeri. Distraksi dilakukan dengan cara melakukan aktivitas yang disukai oleh klien, tentunya aktivitas yang tidak berat agar tidak memperparah nyeri. Dengan stimulus sensorik yang cukup, seseorang dapat mengabaikan atau tidak menyadari akan adanya nyeri. Distraksi dapat dilakukan dengan cara mendengarkan musik yang disukai oleh pasien untuk mendapatkan efek terapeutik, atau pasien bernyanyi, bermain game ringan dan


(34)

memainkan alat musik. Penelitian telah membuktikan bahwa teknik distraksi mampu mengurangi ketidaknyamanan akibat dari nyeri (Potter & Perry, 2010; Jameson, Trevena & Swain, 2011). 3) Stimulasi kutaneus

Stimulasi kutaneus adalah stimulasi pada kulit yang dapat membantu mengurangi nyeri, karena menyebabkan pelepasan endorfin sehingga klien memiliki rasa kontrol terhadap nyerinya. Masase atau pijatan, pemberian sensasi hangat dan dingin dapat mengurangi nyeri dan memberikan kesembuhan. Contoh stimulasi kutaneus lainnya adalah transcutaneus electrical nerve stimuation (TENS) meliputi menstimulasi kulit dengan arus elektrik ringan berjalan melewati elektroda eksternal. TENS sangat efektif untuk mengontrol nyeri post pembedahan dan tindakan prosedural (Potter & Perry, 2010).

4) Herbal

Kebanyakan masyarakat Indonesia menggunakan herbal, namun penggunaannya belum sesuai dosis yang tepat sehingga pengobatan menggunakan herbal kurang dianjurkan. Apabila akan menggunakan herbal, harus dikonsultasikan terlebih dahulu dengan tenaga kesehatan ahli agar tidak mengganggu bekerjanya obat di dalam tubuh namun justru membantu kesembuhan (Potter &Perry, 2010). Salah satu herbal yang dapat digunakan adalah ekstrak chamomile. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di


(35)

Jerman, ekstrak chamomile yang mengandung flavonoid mampu menurunkan skala nyeri dan juga perdarahan (Sharafzadeh & Alizadeh, 2011).

g. Manajemen nyeri farmakologi

Strategi dalam penatalaksanaan nyeri mencakup baik pendekatan farmakologi dan non-farmakologi. Pendekatan ini diseleksi berdasarkan kebutuhan dan tujuan pasien secara individu. Analgesic merupakan metode penanganan nyeri yang paling umum dan sangat efektif. Ada tiga tipe analgesic, yaitu :

1) Non-opioid mencakup asetaminofen dan obat antiinflamatory drug/NSAID

2) Opioid : secara tradisional dikenal dengan narkotik 3) Tambahan / pelengkap / koanalgesik (adjuvants) :

Variasi dari pengobatan yang meningkatkan analgesik atau memiliki kandungan analgesik yang semula tidak diketahui (Potter & Perry, 2010).

h. Macam-macam pengukuran skala nyeri

Alat pengukur skala nyeri adalah alat yang digunakan untuk mengukur skala nyeri yang dirasakan seseorang dengan rentang 0 sampai 10. Terdapat tiga alat pengukur skala nyeri, yaitu :


(36)

Gambar 4. Skala Pengukur Nyeri NRS

Merupakan skala yang digunakan untuk pengukuran nyeri pada dewasa. Dimana 0 tidak ada nyeri, 1-3 nyeri ringan, 4-6 nyeri sedang, 7-9 nyeri berat, dan 10 sangat nyeri (National Precribing Service Limited, 2007).

2) Visual Analogue Scale (VAS)

Gambar 3. Skala Pengukur Nyeri VAS

Skala pengukur nyeri VAS merupakan skala berupa garis lurus dengan panjang biasanya 10 cm. Interpretasi nilai VAS 0-3 merupakan nyeri ringan, 4-6 merupakan nyeri sedang dan 7-9


(37)

adalah nyeri berat dan 10 adalah nyeri terberat (National Precribing Service Limited, 2007).

3) Face Rating Scale (FRS)

Gambar 5. Skala Pengukur Nyeri Face Ratting Scale Skala pengukur nyeri Wong Baker Face Scale banyak digunakan oleh tenaga kesehatan untuk mengukur nyeri pada pasien anak. Perawat terlebih dulu menjelaskan tentang perubahan mimik wajah sesuai rasa nyeri dan pasien memilih sesuai dengan rasa nyeri yang dirasakan. Interpretasinya adalah 0 tidak ada nyeri, 2 sedikit nyeri, 4 sedikit lebih nyeri, 6 semakin lebih nyeri, 8 nyeri sekali, 10 sangat sangat nyeri (National Precribing Service Limited, 2007). 2. Sectio Caesarea (SC)

a. Definisi sectio caesarea

Kelahiran janin melalui insisi di dinding abdomen (laparotomi) dan dinding uterus (histerotomi). Tindakan operasi SC dilakukan untuk mencegah kematian janin maupun ibu yang dikarenakan bahaya atau komplikasi yang akan terjadi apabila ibu melahirkan secara pervaginam (Cunningham, 2010; Sukowati et al, 2010)


(38)

b. Indikasi sectio caesarea

Indikasi dilakukannya tindakan SC dibagi menjadi 3, yaitu indikasi janin, indikasi ibu, dan indikasi kombinasi ibu dan janin. Sebanyak 85% indikasi dilakukannya SC yaitu riwayat SC sebelumnya, distosia persalinan, distres janin, dan presentasi bokong (Joy, 2014).

1) Indikasi janin, merupakan indikasi yang umum terjadi untuk dilakukan SC. Sekitar 60% SC dilakukan atas pertimbangan keselamatan janin. Indikasi janin antara lain: bayi terlalu besar (makrosomia), kelainan letak janin seperti letak sungsang atau letak lintang, presentasi bokong, kelainan tali pusat, bayi kembar (Sukowati et al, 2010).

2) Indikasi ibu dibedakan menjadi 2, yaitu indikasi sebelum persalinan dan pada saat persalinan. Indikasi sebelum persalinan seperti :

a) Cephalo Pelvic Disproportion (CPD) yaitu ketidaksesuaian atau disproporsi antara kepala bayi dengan panggul ibu. b) Adanya tumor uterus dan ovarium dalam kehamilan yang

akan menutup jalan lahir.

c) Karsinoma serviks: apabila tidak dilakukan persalinan SC akan memperburuk prognosa.

Indikasi kedaruratan persalinan meliputi : a) Adanya kecurigaan terjadinya ruptur uteri


(39)

b) Terjadinya perdarahan hebat yang membahayakan ibu dan janin

c) Ketuban pecah dini (KPD)

3) Kombinasi indikasi ibu dan janin antara lain:

a) Perdarahan pervaginam akut, dapat disebabkan karena plasenta previa atau solusio plasenta. Apabila perdarahan mengancam nyawa ibu maka harus segera dilakukan SC tanpa memperhatikan usia kehamilan atau keadaan janin. b) Riwayat SC sebelumnya terutama jika melalui insisi klasik.

Uterus pada ibu post SC mengalami pelemahan dan pembentukan jaringan parut sehingga apabila persalinan dilakukan secara normal ada kemungkinan terjadi ruptur uterus. Pelahiran per vaginam setelah SC (vaginal birth after prior caesarean, VBAC) belum banyak diterima oleh ahli. VBAC dapat dilakukan apabila riwayat satu atau dua kali SC transversal-rendah, panggul secara klinis memadai, tidak ada jaringan parut lain atau riwayat ruptur, sepanjang persalinan aktif terdapat dokter yang mampu memantau dan melakukan sesar darurat, tersedianya anestesi dan petugas untuk prosedur SC darurat (Sukowati et al, 2010).

c) Pada kehamilan letak lintang dapat menyebabkan retraksi progresif segmen bawah rahim sehingga membatasi aliran darah uteriplasenta yang membahayakan janin dan akan


(40)

membahayakan ibu dengan resiko terjadinya ruptur uteri. Janin dengan presentasi bokong juga beresiko lebih besar mengalami prolaps tali pusat dan terjepitnya kepala jika dilahirkan per vaginam dibandingkan janin dengan presentasi kepala. Indikasi SC kombinasi ibu dan bayi lainnya adalah distosia. Distosia adalah kesulitan dalam jalannya persalinan. Distosia karena kelainan tenaga (his) yang tidak normal, baik kekuatan maupun sifatnya, sehingga menghambat kelancaran persalinan. Distosia persalinan dapat dikarenakan kekuatan atau kelainan his yang cenderung kurang, passage : jalan lahir terhambat oleh tumor, panggul terlalu sempit dan passenger: Letak kepala dan letak bayi, besar janin seperti

yang disebutkan di atas (Sukowati et al, 2010). d) Ibu preeklampsi

Ibu dengan preeklamsi mengalami tekanan darah tinggi, proteinuria, dan dapat muncul gejala lebih berat lagi seperti kejang-kejang dan tidak sadarkan diri. Ibu hamil dengan preeklampsia akan mengalami pembengkakan terutama pada kaki.

e) Ibu meninggal (Winkjosastro & Hanifa, 2007). c. Jenis-jenis persalinan SC


(41)

Persalinan SC terencana merupakan jalan persalinan yang dipilih oleh ibu. Pada SC terencana, ibu yang akan menjalani SC tersebut lebih dapat mempersiapkan kondisi psikologis. Persalinan SC tersebut menimbulkan resiko yang lebih besar bagi ibu dan bayinya. SC terencana direkomendasikan apabila persalinan pervaginam dikontraindikasikan (misal pada kasus CPD), bila kelahiran harus dilakukan tetapi persalinan tidak dapat diinduksi (misalnya pada keadaan hipertensi yang mengancam keselamatan janin) atau bila ada suatu keputusan yang dibuat antara dokter dan ibu (misalnya kelahiran SC berulang) (Sukowati et al,2010). Hasil survei yang dilakukan oleh Hospital Episode Statistics Analysis (2013) selama 3 tahun, SC terencana lebih sedikit dilakukan dari pada SC darurat.

2) SC darurat (emergency)

Persalinan SC darurat dapat dilakukan atas pertimbangan medis seperti fetal distress akibat dari kegagalan persalinan pervaginam (Sukowati et al,2010). Ibu akan merasa cemas terhadap kondisinya dan bayinya. Seluruh prosedur pre operasi harus dilakukan dengan cepat dan kompeten. Kesempatan untuk menjelaskan prosedur operasi dilakukan secara singkat sehingga kecemasan ibu dan keluarganya sangat tinggi. Persalinan SC secara darurat dapat menyebabkan trauma post partum (Verdult, 2009). 3) SC ekstraperitoneal


(42)

SC ekstraperitoneal yaitu SC yang bertujuan untuk melindungi kavitas peritoneal dari infeksi. Tujuan operasi ini adalah membuka uterus secara ekstraperitoneum dengan melakukan diseksi melalui ruang Retszius dan disepanjang salah satu sisi dan di belakag kandung kemih untuk mencapai segmen bawah uterus. Prosedur ini berlangsung singkat, sebagian besar karena tersedianya berbagai obat antimikroba yang efektif (Cunningham et al, 2010). Selain itu jenis histerektomi sesaria yaitu bedah sesar yang diikuti dengan pengangkatan rahim. Hal ini dilakukan dalam kasus-kasus perdarahan yang sulit tertangani atau plasenta terimplantasi secara kuat pada rahim (Sukowati et al, 2010).

d. Tipe pembedahan SC

Tipe pembedahan SC dapat dibedakan berdasarkan tipe insisi bedah. Penentuan tipe insisi bedah tergantung pada presentasi janin dan kecepatan prosedur yang akan dilakukan. Ada dua jenis utama tipe insisi yaitu insisi pada segmen bawah rahim dan insisi segmen atas rahim. Berikut tipe-tipe insisi uterus :

1) Insisi segmen bawah rahim

Dapat digunakan insisi transversal dan vertikal. Insisi transversal lebih sering digunakan karena beberapa keuntungan seperti prosedur lebih mudah dilakukan, kehilangan darah relatif sedikit karena segmen bawah rahim mengandung sedikit pembuluh darah, mudah dalam proses menjahitnya, komplikasi gastrointestinal postpartum lebih


(43)

sedikit, infeksi post operasi lebih kecil karena segmen bawah terletak di luar kavum peritoneal (infeksi tidak mudah menyebar ke intraabdominal), kesembuhan luka umumnya cepat karena segmen bawah merupakan bagian uterus yang tidak begitu aktif, kejadian ruptur pada kehamilan berikutnya kecil, dan memungkinankan persalinan pervaginam pada kehamilan berikutnya (Cunningham, 2010). Tipe ini mempunyai kelemahan yaitu membutuhkan waktu yang lama untuk melakukannya sehingga tidak praktis pada SC emergensi dan keluhan kandung kemih setelah operasi lebih banyak (Wiknjosastro, 2007)

2) Insisi segmen atas rahim

Keuntungannya antara lain memberikan ruangan yang lebih besar untuk jalan lahir karena insisi vertikal (SC klasik) dilakukan pada korpus uteri sepanjang 10 cm, dapat diakukan bila diperlukan kelahiran yang cepat seperti pada kasus presentasi bahu dan plasenta previa, juga pada SC yang dikerjakan bersamaan dengan histerektomi, komplikasi kerusakan kandung kemih lebih kecil. Insisi ini sudah jarang dilakukan karena beberapa kelemahannya seperti beresiko tinggi untuk terjadinya komplikasi seperti menghindari terpotongnya plasenta, perdarahan umumnya lebih banyak, infeksi mudah menyebar intra abdominal, ruptur uterus pada kehamilan dan persalinan berikutnya lebih besar (Sukowati et al, 2010).


(44)

e. Pengaruh sistemik persalinan SC 1) Respon stres

SC dapat berdampak pada ketegangan fisik dan psikososial. Ketika tubuh mengalami ketegangan baik fisik atau psikososial, dapat berefek pada fungsi sistem tubuh. Respon stres muncul akibat lepasnya epineprin dan norepineprin dari kelenjar medulla adrenal. Epineprin menyebabkan peningkatan denyut jantung, dilatasi bronkial, dan peningkatan kadar glukosa darah. Norepineprine menimbulkan vasokonstriksi perifer dan meningkatkan tekanan darah (Verdult, 2009).

2) Penurunan pertahanan tubuh

Kulit merupakan pelindung utama dari serangan bakteri (Hanel, 2013). Ketika kulit diinsisi untuk prosedur operasi, batas pelindung (garis pertahanan utama) secara otomatis hilang, sehingga sangat penting untuk memperhatikan teknik aseptik selama pelaksanaan operasi. Resiko terjadinya infeksi pasca pembedahan sangatlah tinggi. Penelitian di sebuah rumah sakit di Inggris menyatakan bahwa sebanyak 9.6% (394/4107) mendapatkan infeksi post SC (Haniel, 2013).

3) Penurunan terhadap fungsi sirkulasi

Pemotongan pembuluh darah terjadi pada prosedur pembedahan, meskipun pembuluh darah dijepit dan diikat selama pembedahan, namun tetap menimbulkan perdarahan. Kehilangan darah yang banyak


(45)

menyebabkan hipovolemia dan penurunan tekanan darah. Hal ini dapat menyebabkan tidak efektifnya perfusi jaringan di seluruh tubuh jika tidak terlihat dan segera ditangani. Jumlah kehilangan darah pada prosedur operasi cukup banyak dibandingkan persalinan per vaginam, yaitu sekitar 500 ml sampai 1000 ml (Sukowati et al, 2010)

4) Penurunan terhadap fungsi organ

WHO (2012) menjelaskan bahwa selama proses SC, kontraksi uterus berkurang sehingga dapat menyebabkan terjadinya perdarahan post partum. Setelah tindakan SC selain fungsi uterus perlu pula dikaji

fungsi bladder, intestinal, dan fungsi sirkulasi. Penurunan fungsi organ terjadi akibat dari efek anastesi.

5) Penurunan terhadap harga diri dan gambaran diri

Pembedahan selalu meninggalkan jaringan parut pada area insisi di kemudian hari. Biasanya hal ini menyebabkan klien merasa malu.

Ada pula klien yang kurang merasa dirinya sebagai seorang “wanita”

karena tidak pernah merasakan persalinan pervaginam (cultural awereness) (Sukowati et al, 2010).

f. Dampak nyeri post SC pada ibu

Terdapat beberapa dampak negatif yang ditimbulkan karena nyeri, yaitu mobilisasi fisik menjadi terbataas, terganggunya bonding attachment, terbatasnya activity daily living (ADL), Inisiasi Menyusu Dini (IMD) tidak terpenuhi dengan baik, berkurangnya nutrisi bayi karena ibu masih nyeri akibat SC, menurunnya kualitas tidur, menjadi


(46)

stres dan cemas atau ansietas, dan takut apabila dilakukan pembedahan kembali. Terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan tentang dampak negatif dari nyeri.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Orun (2010) mengenai IMD pada ibu post SC didapatkan hasil bahwa hanya terdapat 2.8% yang melakukan IMD pada 30 menit pertama setelah persalinan, dan 18.9% satu jam setelah persalinan. Dalam tiga jam pertama, frekuensi menyusui pada ibu melahirkan bayi secara normal lebih tinggi dari pada ibu dengan persalinan SC. Hal ini membuktikan bahwa IMD tidak dapat dilakukan secara maksimal pada ibu post SC. Seseorang yang memilih untuk melahirkan melalui SC mengalami stres dan ansietas lebih tinggi dibanding dengan ibu yang memilih melahirkan secara normal. Ibu yang menjalani elektif CS memiliki tingkat yang lebih tinggi dari postpartum ganguan depresi (32,68 %) dibandingkan mereka yang menjalani persalinan normal (17,8 %) (Kuo, Chen & Tzeng, 2014). Semakin tinggi angka nyeri, semakin tinggi stres yang dialami. Ibu dengan nyeri post SC juga mengalami penurunan kualitas tidur. Terdapat 139

responden pada suatu penelitian, dengan hasil ibu post SC tidur rata-rata hanya 4 jam, dan 34% diantaranya sering terjaga terutama dalam 1 minggu post SC (Kuo, Chen & Tzeng, 2014).

Sebuah penelitian oleh Sousa et al dari Brazil (2009) tentang hubungan antara nyeri post SC dengan terbatasnya aktifitas fisik didapatkan data sebanyak 75% partisipan menyatakan bahwa nyeri


(47)

berada di sekitar insisi, dan sebanyak 41.7% menyatakan berasal dari area insisi dan dari dalam perut, sebanyak 95% ketika berjalan, dan 55% ketika melakukan personal hygiene.. Ibu post SC juga mengalami nyeri ketika berkemih, menyusui, tidur, makan dan defekasi. Sebanyak 40% ibu mengalami kesulitan ketika menyusui karena nyeri. Dari uraian hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa nyeri mengganggu aktifitas fisik sehari-hari termasuk menyusui. Ketika menyusui terganggu, maka nutrisi untuk bayi akan berkurang dan akan menyebabkan terganggunya bonding attachment atau hubungan psikologis antara ibu dan bayi.

g. Komplikasi post SC

Persalinan dengan operasi memiliki komplikasi lima kali lebih besar daripada persalinan alami (Sukowati et al, 2010). Komplikasi yang sering terjadi setelah SC dapat berupa komplikasi fisik maupun psikologis. Komplikasi fisik antara lain terjadinya perdarahan yang dapat menimbulkan keadaan shock hipovolemik karena kehilangan darah saat pembedahan SC sekitar 500-1000 ml. Resiko transfusi lebih tinggi 4,2 kali pada ibu bersalin SC primer dibandingkan persalinan spontan per vaginam (Burroes, Meyn dan Weber, 2004). Komplikasi fisik lainnya

seperti distensi gas lambung, infeksi luka insisi, endometriosis, infeksi traktus urinarius dan distensi kandung kemih, tromboemboli (pembekuan pembuluh darah balik), emboli paru (penyumbatan pembuluh darah) dan resiko ruptur uteri pada persalinan berikutnya (Sukowati et al, 2010).


(48)

Komplikasi infeksi luka insisi SC dapat terjadi akibat infeksi yang didapat di rumah sakit (nosokomial) ataupun infeksi yang dialami klien setelah perawatan di rumah. Menurut hasil penelitian Burroes, Meyn dan Weber pada tahun 2004, sebanyak 523 ibu post SC (1,6%) mengalami komplikasi endometriosis. Pada persalinan SC primer dengan upaya persalinan pervaginam sebelumnya, resiko endometriosis meningkat sebesar 21,1 kali. Berbeda dengan janin dan pada ibu post SC primer tanpa upaya persalinan spontan sebelumnya beresiko endometriosisi 10,3 kali. Penelitian lain menunjukkan insidensi laserasi kandung kemih pada saat SC adalah 1,4 per 1000 prosedur dan cedera uretra adalah 0,3 per 1000. Cedera kandung kemih biasanya terdiagnosa dengan cepat, namun cedera ureter seringkali terlambat didiagnosis (Cunningham et al, 2010).

Komplikasi SC secara psikologis yang sering dialami ibu antara lain perasaan kecewa dan merasa bersalah terhadap pasangan dan anggota keluarga lainnya, takut, marah, frustasi karena kehilangan kontrol dan harga diri rendah akibat perubahan body image, serta perubahan dalam fungsi seksual (Potter & Perry, 2010).

Komplikasi pembedahan SC lainnya adalah komplikasi pada janin, berupa hipoksia janin akibat sindroma hipotensi telentang dan depresi pernapasan karena anestesi dan sindrom gawat pernapasan. Mortalitas perinatal bagi bayi baru lahir post SC sekitar 2-4% (Sukowati et al, 2010).


(49)

Komplikasi post SC dapat dibagi lagi menjadi komplikasi pada bayi post SC dan komplikasi pada ibu. Komplikasi pada bayi biasanya adalah gangguan pernafasan karena kelahiran yang terlalu cepat sehingga tidak mengalami adaptasi atau transisi antara dunia dalam rahim dan luar rahim ini menyebabkan nafas bayi terlalu cepat. Komplikasi pada Ibu Post SC yaitu :

1) Syok

Sebab-sebab syok aneka ragam : hemoragi, sepsis (infeksi), neurogik (ketidakcukupan aliran darah tubuh), dan kardiogenik (ketidakmampuan jantung memompa darah yang cukup) atau kombinasi antara berbagai sebab tersebut. Gejala-gejalanya adalah nadi dan pernafasan meningkat, tensi menurun, oliguri, penderita gelisah, ekstremitas dan muka dingin, serta warna kulit keabu-abuan. Sangat penting dalam hal ini untuk membuat diagnosis sedini mungkin, oleh karena jika terlambat, perubahan-perubahan sudah tidak dapat dipengaruhi lagi (Wiknjosastro, 2007).

2) Hemoragi

Hemoragi post operasi timbul biasanya karena jahitan terlepas atau oleh karena usaha penghentian darah kurang sempurna. Perdarahan yang mengalir keluar mudah diketahui, yang sulit diketahui adalah perdarahan dalam rongga perut. Diagnosis dapat dibuat dengan melihat tanda-tanda seperti nadi meningkat, tekanan darah menurun, penderita tampak pucat dan gelisah, kadang-kadang


(50)

mengeluh kesakitan di perut, dan pada periksa ketok pada perut ditemukan suara pekak di samping (Wiknjosastro, 2007).

3) Infeksi saluran kemih & pada luka

Pasien post partum beresiko mengalami masalah perkemihan. Masalah perkemihan atau kesulitan berkemih dapat dikarenakan trauma jaringan, pembengkakan, dan nyeri perineal. Walaupun mampu berkemih kemungkinan dalam jumlah yang sedikit namun dengan interval sering, ini menandakan retensi urin dengan aliran yang berlebih. Beberapa obat-obatan anestesi juga mempengaruhi perkemihann akibat dari depresi pada tractus urinarius. Ketika urin tidak dapat dikeluarkan oleh tubuh dapat berakibat timbulnya infeksi. Infeksi juga dapat timbul pada luka bekas operasi karena perawatan dan gaya hidup yang buruk.

4) Terbukanya luka operasi dan eviserasi

Sebab-sebab terbukanya luka operasi post pembedahan ialah luka tidak dijahit dengan sempurna, distensi perut, batuk atau muntah keras, infeksi dan debilitas pada pasien. Adanya disrupsi luka operasi dicurigai dengan adanya rasa nyeri setempat, menonjolnya luka operasi dan keluarnya cairan serosanguinolen. Pada pemeriksaan dapat dilihat usus halus dalam luka atau apabila jahitan kulit tidak terbuka dapat diraba masa yang lembek di bawah kulit (Wiknjosastro, 2007).


(51)

Tromboflebitis adalah inflamasi vena dengan pembentukan bekuan, yang sering terjadi pada vena femoralis. Insiden tromboflebitis setelah kehamilan relatif tinggi, terutama pada persalinan dengan SC dan infeksi post partum. Pada tromboflebitis dalam minggu kedua post operasi suhu naik, nadi mencepat, timbul nyeri spontan dan pada periksa raba pada jalannya vena yang bersangkutan dan tampak edema pada kaki, terutama jika vena femoralis yang terkena. Komplikasi ini jarang terjadi di Indonesia (Wiknjosastro, 2007).

h. Jenis – jenis anestesi

Nyeri dan ketidaknyamanan selama melahirkan dapat ditangani dengan beberapa metode seperti obat-obatan dengan efek sistemik (general anesthesia), regional nerve block (epidural, spinal dan kombinasi epidural-spinal) biasanya lebih banyak digunakan dari pada general anesthesia karena efek sampingnya lebih sedikit, dan anestesi

lokal (pudenda dan lokal anestesi pada perineum) digunakan pada persalinan normal sebelum dilakukan episiotomi atau untuk nyeri persalinan (Cunningham, 2005).

1) General Anesthesia/ anestesi umum

Anestesi umum adalah suatu kondisi yang dikarakteristikkan

dengan adanya ketidaksadaran, analgesia (hilangnya kemampuan merasakan nyeri), relaksasi otot, dan ditekannya refleks-refleks tubuh (berefek sistemik). Anestesi umum dilakukan jika terdapat


(52)

kontraindikasi terhadap anestesi regional, adanya kegawat-daruratan, antisipasi kehilangan darah yang banyak, dan diperlukan uterus yang relaksasi saat pembedahan (Abdo, 2008). Contoh dari agen anestesi umum adalah Sodium Thiopental yang menghasilkan efek narkosis dalam 30 detik setelah injeksi intravena.

Anestesi umum dapat menimbulkan bahaya primer seperti depresi pada fetus (fetal depression). Kebanyakan anestesi umum dapat segera mencapai fetus dalam 2 menit, menyebabkan relaksasi pada uterus, menyebabkan vomitus dan juga aspirasi. Sebelum mendapatkan anestesi umum, seseorang harus diberikan preoksigenasi selama 3 sampai 5 menit dari 100% oksigen. Seseorang dengan anestesi umum dapat pulih dalam 1 sampai 2 jam sesuai dengan keadaan pasien (Cunningham, 2005).

2) Anestesi regional

Merupakan hilangnya sensasi secara sementara dan reversible akibat dari injeksi agen anestesi pada area pembedahan yang dipersarafi. Anestesi regional biasanya terdiri dari epidural, spinal dan kombinasi epidural dan spinal. Agen anestesi yang biasa digunakan untuk anestesi regional adalah larutan hiperbarik bupivacaine. Selain bupivacaine, agen anestesi yang sering digunakan adalah lidocaine atau tetracaine. Bupivacaine memiliki waktu paruh tiga setengah jam, sedangkan lidocaine memiliki waktu paruh kira-kira hanya setengahnya saja (1.6 jam). Sehingga,


(53)

bupivacaine lebih banyak digunakan untuk mendapatkan efek anestesi yang lebih panjang. Cara kerjanya adalah dengan memblok saluran kalsium yang berada di ujung membran presinaptik (Abdo, 2008). Ketika potensial aksi mendepolarisasi membran presinaptik dan saluran kalsium terhambat, maka tidak ada substansi transmiter yang dilepaskan dari terminal presinaptik ke synaptic cleft sehingga tidak ada impuls yang disampaikan. Untuk mendapatkan efek anestesi perioperatif, biasanya ditambahkan zat-zat adjuvant pada agen-agen anestesi tersebut. Penambahan zat tersebut membantu pasien merasa lebih nyaman setelah tindakan operasi (Cunningham, 2005).

Anestesia epidural dihasilkan dengan menyuntikkan obat anestesi lokal kedalam ruang epidural. Blok saraf terjadi pada akar nervus spinalis yang berasal dari medula spinalis yang melintasi ruang epidural. Anestetik local melewati duramater memasuki cairan cerebro spinal sehingga menimbulkan efek anestesinya. Efek anesthesia yang dihasilkan lebih lambat dari anesthesia spinal dan terbentuk secara segmental. Pada anestesi ini dapat ditambah agen narkotik seperti Stadol, yang mempunyai efek 3 sampai 4 jam dengan dosis pemberian 1 sampai 2 mg melalui intravena dan intramuskular. Agen narkotik lainnya seperti Nubain dengan dan Narcan efek 3 sampai 6 jam. Untuk mendapatkan efek analgetik selama 24 jam setelah melahirkan, opioid seperti Duramorph 5mg


(54)

dapat diinjeksikan pada ruang epidural segera setelah melahirkan (Cunningham, 2005).

Anestesi spinal adalah teknik anestesi yang dilakukan dengan cara menyuntikkan agen anestesi lokal pada cairan serebro-spinal di daerah lumbar. Anestesi serebro-spinal merupakan teknik anestesi regional yang menjadi pilihan di saat darurat karena teknik ini memiliki waktu mula yang cepat, mudah dilakukan, dan menghasilkan keadaan anestesi yang memuaskan. Namun kelemahannya adalah teknik ini memiliki tingkat hipotensi pada ibu yang lebih tinggi dibandingkan teknik anestesi epidural (Datta, 2010) Anestesi spinal dilakukan melalui beberapa tahap. Tahap awal yang dilakukan adalah persiapan pasien. Persiapan dilakukan antara lain dengan memberikan antasida pada pasien untuk mencegah terjadinya aspirasi pulmonal. Secara umum, pasien diposisikan pada posisi dekubitus lateral. Namun terkadang pasien diposisikan duduk jika pasien tersebut termasuk dalam kategori obesitas. Selanjutnya, ahli anestesi akan menentukan letak dimana jarum dimasukkan. Biasanya dipilih antara lain daerah antara L2-3, L3-4 atau L4-5 (Grant, 2015; Paez & Naparro, 2012).

3. Dzikir

a. Definisi dzikir

Dzikir secara etimologis berasal dari bahasa Arab dzakara- yadzkuru- dzikran yang berarti mengingat atau menyebut. Sedangkan


(55)

dzikir menurut istilah adalah segala proses komunikasi seorang hamba dengan Allah untuk senantiasa ingat dan tunduk kepada-Nya dengan

cara mengumandangkan takbir, tahmid, tasbih, memanjatkan do’a yang

dapat dilakukan kapan saja, dimana saja, dengan aturan-aturan yang telah ditentukan (Mahfani, 2006).

Kata dzikir biasanya disambung dengan asma Allah sehingga menjadi dzikrullah yang artinya mengingat Allah (As’ad & Brata, 2011). Dengan kata lain, dzikir adalah menyebut nama Allah dengan membaca tasbih (subhanaullah), tahlil (laa ilaaha illallaah), tahmid (alhamdulillah), taqdis (quddusun), takbir (allahu akbar), hauqalah (laa haula walaa quwwata illaa billaah), hasbalah (hasbiyallah), membaca

basmalah (bismillahirrahmaanirrahiim), membaca Al-Qur’an, dan

berdo’a (Mahfani, 2006)

b. Cara berdzikir

Menurut Basri (2014) cara berdzikir dibagi menjadi 3, yaitu : 1) Dzikir qalby fikri

Adalah berdzikir dengan hati dan pikiran. Akal merenungkan makna dari apa yang telah diucapkan oleh hati. Sebagai contohnya, ketika hati mengucapkan Allahuakbar, hati juga menghadirkan kebesaran Allah, benar-benar memaknai nama dan kebesaran Allah dan pikiran benar-benar meyakini kebesaran Allah di atas seluruh mahluknya.


(56)

2) Dzikir lisani

Dzikir lisani adalah dzikir dengan mengucapkan sanjungan, pujian kepada Allah, kalimat tauhid, istighfar, shalawat bersamaan dengan ucapan hati dan pikiran.

3) Dzikir fi’ly

Dzikir fi’ly adalah dzikir dengan perbuatan, yaitu dengan melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya dalam rangka taat kepada-Nya.

Dzikir yang efektif adalah dzikir yang memadukan hati, pikiran, lisan, maupun panca indra, sedangkan dzikir yang paling minimal adalah dzikir dengan hati. Adapun dzikir dengan lisan tapi tidak menghadirkan hati adalah sesuatu yang kosong, sebab Allah melarang orang mabuk melaksanakan shalat sampai sadar dan paham apa yang diucapkan (Basri, 2014). Terdapat beberapa penelitian mengenai langkah-langkah berdzikir yang efektif untuk mengurangi nyeri post operasi. Dzikir dimulai dengan melakukan niat terlebih dahulu dan memfokuskan pikiran kepada Allah SWT. Langkah-langkah selanjutnya yaitu :

a) Mengatur posisi rileks dan menutup mata dan lakukan nafas dalam agar tercapai relaksasi selama 5 menit.

b) Berdzikir dengan mengucapkan bismillah terlebih dahulu kemudian dimulai dengan mengucapkan subhanallah, lalu alhamdulillah, Allahuakbar, dan Laa ilaha illallah. Masing-masing diucapkan 33 kali dalam waktu 25 menit. Pada saat mengucapkan dzikir diikuri


(57)

dengan menghitung tasbih, atau bisa juga menggunakan sela-sela jari.

c) Tahap relaksasi dilakukan dengan perlahan-lahan membuka mata. (Soliman & Mohamed, 2013; Sitepu, 2009; Ririn, 2015)

c. Manfaat dzikir

Dzikir mempunyai beberapa manfaat, diantaranya:

1) Dzikir merupakan amalan yang paling disukai Allah. Dengan berdzikir mengingat Allah, maka secara tidak langsung telah bersandar kepada Allah dalam menyelesaikan masalah, dan meminta bantuan kepada Allah agar sakit yang dideritanya berkurang atau sembuh. Apabila seseorang tidak memiliki tempat bersandar yang tepat, bisa jadi seseorang dapat mengalami stres dan depresi (Basri, 2014 ; Mahfani, 2006)

2) Dzikir juga akan membuat seseorang merasa selalu di dalam lindungan dan bimbingan Allah dalam menjalani hidup, sehingga membuat seseorang tetap bersemangat dalam menjalani hidup tanoa takut akan rintangan yang akan dihadapinya karena Allah senantiasa bersamanya (Mahfani, 2006).

3) Dzikir merupakan sumber kekuatan bagi manusia.

"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka

(jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan

permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka


(58)

mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam

kebenaran." (QS Al-Baqarah [2] : 186).

Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan niat berdo’a, berdzikir

kepada Allah dengan sungguh-sungguh maka Allah akan mengabulkan

do’a hamba-Nya, yaitu dengan diberikan kesembuhan.

4) Do’a dan dzikir merupakan ibadah, karena merupakan salah satu bentuk

pengabdiannya kepada Allah. Ketika seseorang berdo’a maka ia hanya

menggantungkan harapannya kepada Allah dan memalingkan dirinya

menyembah, berdo’a dan berhadap kepada selain Allah. Seperti sabda

Rosululloh: “Doa adalah ibadah” (HR. Tirmidzi dan Ahmad)

5) Berdzikir kepada Allah merupakan amalan yang paling utama di sisi Allah. Dengan berdzikir Allah akan ingat kepada hamba-Nya yang selalu mengingat-Nya. Seperti sabda Rosululloh:

Maukah kalian aku beritahu tentang amalan yang paling baik, paling suci di sisi Tuhanmu, paling dapat mengangkat derajatmu, yang paling

suci di sisi Tuhanmu, paling dapat mengangkat derajatmu, yang lebih baik

bagimu dari pad ainfak emas dan perak, dan leboh baik bagimu dari pada

jika kalian menjumpai musuh lalu kalian tebas leher-leher mereka atau

mereka memenggal leher-leher kalian? Para sahabat

menjawab:”Baiklah”, rasulullah bersabda : “Berdzikirlah kepada Allah.”

(HR. Tirmidzi dari Abu Darda’)

6) Dzikir merupakan obat hati paling mujarab. Allah berfirman “


(1)

operasi seperti nyeri. Berbeda dengan operasi elektif, pasien sudah dipersiapkan sejak lama sesuai jadwal sehingga pasien dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi nyeri setelah selesai operasi. Akan tetapi pada penelitian ini, tidak terdapat korelasi antara kesiapan dengan skala nyeri. Pasien yang melakukan operasi SC dengan kemauannya sendiri juga merasakan nyeri dalam skala yang tinggi.

Montgomery et al. (2011) mengatakan bahwa stres pra-operasi sangat berkontribusi pada peningkatan nyeri pasien post operasi. Respon psikologi tidak hanya mempengaruhi tingkat

kecemasan namun akan

mempengaruhi komplikasi selanjutnya pada pasien dengan sectio caesarea yaitu nyeri.

Penelitian lain juga menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecemasan pre operasi dengan derajat nyeri post sectio caesarea (Apriansyah, Romadoni & Andrianovita, 2015). Selain itu, responden yang memilih SC elective pada penelitian ini, sebelumnya juga

pernah mengalami SC pada kelahiran anak pertama, persalinan normal pada anak kedua, dan anak terakhir dilahiran dengan SC. Selisih persalinan SC yang pertama dan kedua terdapat jeda dapat mengurangi kesiapan ibu untuk melahirkan SC. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat korelasi antara indikasi SC dengan tingkat skala nyeri.

Persepsi nyeri setiap pasien berbeda-beda sehingga perlu dilakukan eksplorasi untuk menentukan nilai nyeri tersebut. Menurut Syahriyani (2010) perbedaan tingkat nyeri yang dipersepsikan oleh responden disebabkan oleh kemampuan sikap individu dalam merespon dan mempersepsikan nyeri yang dialami. Kemampuan mempersepsikan nyeri dipengaruhi oleh beberapa faktor dan berbeda diantara individu. Meskipun seseorang terpajan terhadap stimulus yang sama, seseorang dapat mengalami intensitas nyeri yang berbeda. Dengan kata lain, meskipun seluruh responden mengalami operasi yang sama yaitu operasi SC, nyeri yang


(2)

dirasakan berbeda-beda karena terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi skala nyeri. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi skala nyeri dalam penelitian ini adalah usia, pendidikan, frekuensi SC, suku dan indikasi SC. Semua faktor-faktor tersebut dapat berkombinasi untuk mempengaruhi skala nyeri seseorang.

2. Perbedaan Intensitas Nyeri Sebelum dan Sesudah Dilakukan Intervensi pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol

Berdasarkan hasil perhitungan uji Paired T-test didapatkan hasil tidak signifikan terjadi pengurangan nyeri pada kelompok kontrol. Hasil penelitian pada kelompok intervensi menunjukkan terdapat pengaruh dzikir terhadap intensitas nyeri pada kelompok intervensi secara signifikan.

Penelitian yang dilakukan oleh Rudyana & Bangun (2013) di bangsal bedah RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, mengenai Dzikir (Asmaul Husna). Hasil dari penelitian tersebut setelah dilakukan uji dengan Mann-Whitney pada

kelompok intervensi didapatkan p=0,001 (p<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat penurunan nyeri setelah dilakukan Dzikir pada pasien post Laparotomi yang mengalami nyeri.

Jurnal selanjutnya yang mendukung penelitian ini adalah jurnal mengenai pengaruh dari agama dan spiritualitas terhadap nyeri post SC. Pada jurnal tersebut, usia rata-rata responden adalah 27 hingga 28 tahun. Intervensi yang diberikan adalah dengan mendengarkan syahadat melalui telpon. Didapatkan hasil terdapat penurunan skala nyeri yang dikaji dengan VAS. Terjadi penurunan skala nyeri yang signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol, dengan nilai p=0,003 (Beiranvand et al, 2014).

Penelitian ini juga didukung oleh penelitian dari Soliman & Muhamed (2013) mengenai dzikir untuk mengurangi nyeri post pembedahan abdmen. Karakteristik responden pada penelitian tersebut berusia 20 hingga lebih dari 45 tahun, dan pengukuran skala nyeri menggunakan Pain Rating Scale


(3)

(PRS). Setelah dilakukan pre-test, kemudian diberikan intervensi, didapatkan hasil terdapat penurunan skala nyeri pada kelompok intervensi dengan nilai p=0,004 (p<0,05) (Solimah & Muhamed, 2013).

Penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Mardiyono, Songwathana & Wongchan (2011) mengenai pengaruh intervensi spiritual sebagai pelaksanaan keperawatan holistik. Keperawatan holistik adalah pemberian intervensi keperawatan secara utuh atau keseluruhan sebagai mahluk hidup yang memiliki keterkaitan antara body, mind, social, cultural dan spiritual aspect (American Holistic Nurses Association, 2009). Jurnal tersebut mengkaji jurnal-jurnal dan buku-buku yang diterbitkan sejak tahun 1994 hingga 2010. Hasil dari jurnal tersebut adalah Islamic Spirituality Intervention atau intervensi berdasarkan spiritualitas Islami memberikan efek terhadap keberhasilan nursing outcome atau hasil dari intervensi keperawatan yang telah diberikan. Penelitian ini juga mengangkat nilai Islami dalam

intervensi keperawatan untuk mengurangi nyeri post SC. Selain itu penelitian ini juga telah memfasilitasi pasien dalam kebutuhan spiritualnya. Terpenuhinya seluruh kebutuhan pasien merupakan praktik keperawatan holistik.

Dzikir akan membuat seseorang merasa tenang sehingga kemudian menekan kerja sistem saraf simpatis dan mengaktifkan kerja sistem saraf parasimpatis. Allah berfirman “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah SWT (dzikrullah). Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati

menjadi tentram” (QS. Ar-Ra’du:

29). Relaksasi dan doa (prayer) menggunakan keterpaduan dan hubungan (interconnectedness) tubuh dan jiwa (mind and body) untuk perbaikan kesehatan, dalam arti lain pikiran dapat dilatih untuk menginisiasi saraf parasimpatik memulai perbaikan secara natural untuk menurunkan metabolisme tubuh yang terlalu tinggi, denyut nadi, kecepatan perfasan, tekanan darah, dan ketegangan otot sehingga kembali normal sehingga memicu


(4)

relaksasi dan kesembuhan (Lloyd & Dunn 2007).

Efek lain yang dipengaruhi oleh terapi dzikir adalah pacuan sinyal molekul dan neurotransmitter. Otak akan memacu keluarnya neurotransmiter di otak, mengeluarkan opiat endogen yaitu endorfin dan enkefalin yang akan menimbulkan rasa senang, bahagia, euforia dan enak, sehingga dapat memperbaiki kondisi tubuh dengan respon relaksasinya (Potter & Perry, 2010).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dzikir memiliki efek terapi yaitu dapat mengurangi skala nyeri post SC. Dzikir dapat dijadikan sebagai terapi non-farmakologi untuk dikombinasikan dengan terapi farmakologi sehingga skala nyeri seseorang dapat semakin dikendalikan. Dengan dapat dikendalikannya skala nyeri seseorang, maka dampak negatif dari nyeri dapat tertangani. Selain itu dzikir memberikan kekuatan sehingga dapat membantu ibu untuk melakukan mobilisasi dini post SC, dan membantu ibu post SC untuk

memiliki pengalaman yang baik tentang nyeri.

REFERENSI

Alexander, L.L., LaRosa, J.H., Bader, H., Garfield, S., Alexander, W.J. (2010). New Dimensionsin Women’s Health,(Fifth edition), Jones and Barlett Publishers, ISBN: 978-0-7637-6592-7. USA: Sudbury.

Apriansyah, Romadhoni & Andrianovita. (2015). Hubungan Antara Tingkat Kecemasan Pre-Operasi Dengan Derajat Nyeri Pada Pasien Post Sectio Caesarea Di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang Tahun 2014. Diakses

dari:http://ejournal.unsri.ac.id/i ndex.php/jk_sriwijaya/article/d ownload/2324/1187. Pada tanggal: 9 Juni 2016

Arora, Hurley, Murthy & Sharma. (2010). Clinical Aspect of Acute Post-Operative Pain Management and its Management. Diakses dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/p mc/articles/PMC3255434/?repo rt=reader. Pada tanggal: 2 September 2015.

Boggero, Geiger, Segerstrom & Carlson. 2015. Pain Intensity Moderates the Relationship Between Age and Pain Interference in Chronic Orofacial Pain Patients.

Diakses dari:

http://lib.ui.ac.id/file?file=digit


(5)

TESIS0605%20Har%20N09f-Faktor-faktor-Analisis.pdf. Pada tanggal 10 Juni 2016 Courtenay dan Carey. (2008). The

Impact and Effectiveness of Nurse-Led Care in the Management of Acute and Chronic Pain: a Review of the Literature.Diaksesdari:http://w ww.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ 18705780.Pada tanggal 14 September 2015.

Dahlan, S. M. (2013). Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba

Dwijayanti, Sumarni dan Ariyanti. (2014). Efek Aromaterapi Lavender Inhalasi terhadap Intensitas Nyeri Pasca Sectio Caesarea. Diakses dari: http://www.google.co.id/url?q= http://medicahospitalia.rskariad i.co.id/index. Pada tanggal: 14 September 2015.

Gerbershagen, H. J., Rothaug, J., Kalkman, C. J., & Meissner, W. (2011). Determination of moderate-to-severe

postoperative pain on the numeric rating scale: a cut-off point analysis applying four different methods. British Journal of Anaesthesia .

Hidayat, S. (2014). Dzikir Khafi Untuk Menurunkan Skala Nyeri Osteoartritis Pada Lansia.

Jorgensen. (2014). Change in Illness Perception to Improve Quality of Life for Chronic Pain Patients. Diakses dari: http://commons.pacificu.edu/cg i/viewcontent.cgi. Pada tanggal: 6 September 2015. Karabulut, Ozkan, Bozkurt, Karahan,

Kayan. (2013). Perinatal Outcomes and Risk Factors in

Adolescent and Advance Age Pregnancies: Comparison with Normal Reproductive Age.

Diakses dari:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/p ubmed/23654312. Tanggal 31 Mei 2016

Kalstrom, Olofsson, Morbergh, Sjoling, Hildingsson. (2007). Postoperative Pain After Cesarean Birth Affects Breast Feeding and Infant Care.

Diakses dari:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/p ubmed/17880313. Pada tanggal 16 September 2015.

Lestari, R. (2011). Pengaruh Relaksasi Benson terhadap nyeri pada pasien post sectio caesarea di RSU PKU Muhammadiyah Bantul.

Montgomery, G. H., Schnur, J. B.,Erblich, J., Diefenbach, M. A., &Bovbjerg, D. H. (2011). Pre-Surgery Psychological Factors Predict Pain,Nausea and Fatigue One Week Following Breast Cancer Surgery. Department of Oncological Sciences, Mount Sinai School of Medicine, Madison Avenue, New York, USA.

Potter & Perry. (2010). Fundamental on Nursing 3th edition. Jakarta: Salemba Medika.

Robbins Whitworth. (2011). The Influence of Culture, Socioeconomic Status and Genetic on the Perception of Pain and Efficacy of Pain Treatment. Diakses dari: http://commons.emich.edu/cgi/ viewcontent.cgi?article=1280& context=honors. Pada tanggal: 1 Desember 2015.


(6)

Sariyem. (2013). Ketepatan Waktu Pelayanan Sectio Caesarea dan Lama Rawat Inap di RSU Santa Maria Pemalang. Thesis.

Diakses dari:

http://etd.repository.ugm.ac.id/i ndex.php?mod=penelitian_deta il&sub=PenelitianDetail&act= view&typ=html&buku_id=619 31. Pada tanggal: 22 September 2015.

Sujatmiko. (2013). Pemberian Metode Relaksasi Napas Dalam terhadap Penurunan Nyeri pada Pasien Post Operasi. Jurnal Kesehatan vol 1.

Diaksesdari:http://www.google .co.id/url?q=https://adysetiadi.f iles.wordpress.com/2012/03/jur naljadi-word-september-2013wordpress.doc.Pada tanggal 30 November 2015. Sousa, Pitangui, Gomez, Nakano,

Ferreira. (2009). Measurement and Characteristics of Post Cesarean Section Pain and the Relationship to Limitation of Physical Activities. Diakses dari:

http://www.scielo.br/pdf/ape/v 22n6/en_a03v22n6.pdf. Pada tanggal 22 September 2015 Smith, Sullivan, Chen, Burnett &

Briggs. 2014. Low Back Pain Beliefs Are Associated To Age, Location Of Work, Education And Pain-Related Disability In Chinese Healthcare Professionals Working In China: A Cross Sectional Survey.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/p mc/articles/PMC4118206/. Diakses pada tanggal 5 Juni 2016

Soliman, H., & Mohamed, S. (2013). Effects of Zikr Meditation and Jaw Relaxation on Postoperative Pain, Anxiety and Physiologic Response of Patients Undergoing Abdominal Surgery . Journal of Biology, Agriculture and Healthcare.

Thomten, Soares & Sumdin. 2012. Pain among women: Associations with socio-economic factors over time and the mediating role of depressive symptoms Volume 3.

http://www.scandinavianjourna lpain.com/article/S18778860% 2812%2900002-X/abstract. Diakses tanggal: 5 Juni 2016. Winarko, S. A. (2014). Dzikir-Dzikir

Peredam Stres. Depok: Mutiara Allamah Utama.