PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA ADANYA PENIPUAN OLEH PIHAK ISTRI (Studi Kasus Putusan Hakim Pengadilan Agama Wonosari Nomor 0230/Pdt.G/2007/PA.Wno)

(1)

PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA ADANYA PENIPUAN OLEH PIHAK ISTRI (Studi Kasus Putusan Hakim Pengadilan Agama

Wonosari Nomor 0230/Pdt.G/2007/PA.Wno) SKRIPSI

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh:

Nama : Novita Puspa Dwi Rahmawati

NIM : 20120610270

Program Studi : Ilmu Hukum Bagian : Perdata

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(2)

(3)

Katakanlah, “Hanya Allah yang aku sembah dengan penuh ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku”

(Qs. Az-Zumar: 14)

Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar

(Qs. Al-Baqarah: 153)

Dan janganlah kamu (merasa) lemah dan jangan (pula) bersedih hati sebab kamu paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang yang beriman

(Qs. Al-Imran: 139)

Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat kebesaran Allah


(4)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada:

1. Kedua orang tua tercinta dan tersayang

“Ya Allah ampunilah dosa-dosa kedua orang tuaku, dan sayangi mereka sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecil”

2. Kakakku tercinta dan tersayang 3. Kekasih yang saya sayangi

4. Keluarga yang senantiasa mendukung dalam hal apapun 5. Sahabat-sahabatku


(5)

(6)

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan... ... 9

2. Tujuan Perkawinan ... 10

3. Rukun dan Syarat Sahnya Perkawinan ... 10

4. Larangan Kawin ... 19

B. Tinjauan Umum Tentang Pembatalan Perkawinan 1. Pengertian Pembatalan Perkawinan... 25

2. Alasan-alasan Pembatalan Perkawinan ... 27


(7)

C. Tinjauan Umum Tentang Penipuan ... 37

BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian ... 38

B. Bahan Penelitian ... 38

C. Tempat Pengambilan Bahan Penelitian ... 39

D. Narasumber ... 40

E. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 40

F. Analisis Data ... 40

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kasus Posisi ... 41

B. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan Perkara Pembatalan Perkawinan ... 51

C. Akibat Hukum yang Ditimbulkan Terhadap Pembatalan Perkawinan Perkara Nomor: 0230/Pdt.G/2007/PA.WNO ... 62

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 72 DAFTAR PUSTAKA


(8)

(9)

(10)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dasar hukum bagi hakim Pengadilan Agama Wonosari dalam mengabulkan pembatalan perkawinan dan untuk mengetahui akibat hukum bagi suami istri terhadap pembatalan perkawinan dalam putusan perkara Nomor: 0230/Pdt.G/200/PA.WNO tentang penipuan oleh pihak istri.

Guna menyelesaikan kasus di atas, penulis menggunakan metode penelitian Hukum Normatif yang mendasarkan pada hasil studi kepustakaan dan hasil wawancara dengan narasumber. Bahan-bahan hukum yang diperoleh selama penelitian akan diolah melalui proses penalaran hukum yang logis dan kemudian dilakukan analisis. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode Preskriptif.

Dari penelitian tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa yang menjadi dasar hukum bagi hakim Pengadilan Agama Wonosari dalam mengabulkan pembatalan perkawinan tersebut terdapat di dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Perkawinan dan Pasal 72 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, yaitu salah sangka terhadap diri pasangan. Pembatalan perkawinan tersebut membawa akibat hukum terhadap suami istri, anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dibatalkan tersebut, dan harat bersama.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

Allah SWT menciptakan manusia terdiri dari dua jenis, pria dan wanita. dengan kodrat jasmani dan bobot kejiwaan yang relatif berbeda yang ditakdirkan untuk saling berpasangan dan saling membutuhkan (zoon politicon).1 Kemudian Allah SWT memerintahkan pria dan wanita untuk beribadah dan bertakwa kepada-Nya. Dalam ajaran Islam, salah satu perbuatan yang bernilai ibadah adalah perkawinan.

Sebuah perkawinan merupakan peristiwa sakral bagi manusia, karena melangsungkan perkawinan merupakan sunnatulloh dan sebagai penyempurna agama. Sesuai dengan Hadits Riwayat Al. Baihaqi dalam Syu‟abul Iman, disahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silisilah Ash Shahihah, dari Anas bin Malik RA, “Ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya.”

Karena perkawinan merupakan satu-satunya sarana yang sah untuk membangun sebuah rumah tangga dan melahirkan keturunan yang sah sejalan dengan fitrah manusia. Kehidupan dan peradaban manusia tidak akan berlanjut tanpa adanya kesinambungan perkawinan dari setiap


(12)

generasi umat manusia. Karena itulah Rasulullah SAW menganjurkan umatnya yang telah mampu untuk menikah.2

Anjuran menikah juga telah tertuang dalam firman Allah SWT, yaitu QS Ar-Ruum (21): “Dan di antara ayat-ayatNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa nyaman kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu mawadah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” Setali tiga uang dengan ayat diatas, menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya ditulis UUP) menyebutkan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam perkawinan itu tidak hanya cukup dengan adanya “ikatan lahir” atau “ikatan batin” saja, tapi harus kedua-duanya. Ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat, ikatan nyata yang mengungkapkan adanya suatu hubungan hukum antara seorang pria dan wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri, dengan kata lain dapat disebut “ikatan formil”. Sebaliknya, suatu “ikatan batin” adalah suatu ikatan yang tidak dapat dilihat, hanya dapat dirasakan oleh kedua pihak yang menikah, seperti rasa

2


(13)

saling cinta, sayang, percaya. Walaupun tidak nyata, tapi ikatan itu harus ada, karena tanpa adanya ikatan batin, ikatan lahir akan menjadi rapuh.3

Hak untuk melangsungkan perkawinan pun disebutkan dalam Pasal 28 B ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Sebuah perkawinan yang didasari ikatan lahir batin dapat dikatakan sah jika telah memenuhi unsur dalam Pasal 2 ayat (1) UUP yaitu perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Bagi seorang muslim sahnya suatu perkawinan harus dipenuhi segenap rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam.4

Selanjutnya, Pasal 2 ayat (2) UUP menyebutkan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, perkawinan dapat dikatakan sah apabila sesuai dengan aturan agama dan kepercayaan masing-masing pihak, serta harus dicatatkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika perkawinan tersebut tidak dicatatkan, maka hukum positif tidak mengakui sah perkawinan tersebut, walaupun perkawinan yang dilangsungkan telah sesuai dengan hukum agama dan kepercayaan.

Dapat dimengerti bahwa perkawinan merupakan suatu perbuatan keagamaan, oleh karena itu sah atau tidaknya suatu perkawinan ditentukan

3

Wantjik Saleh K, 1980, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalia

Indonesia, hlm. 14-15.

4


(14)

pada hukum masing-masing agama. Berarti bahwa suatu perkawinan yang dilaksanakan bertentangan dengan hukum agama dengan sendirinya menurut Undang-undang Perkawinan dianggap tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan. Selain harus sesuai dengan masing-masing hukum agama dan kepercayaan, perkawinan juga harus sah secara hukum positif di Indonesia.

Suatu perkawinan yang dilangsungkan tidak memenuhi syarat dan ketentuan yang diatur di dalam hukum agama dan undang-undang, maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah sehingga perkawinan tersebut dapat dibatalkan yang disertai dengan bukti-bukti yang yang dapat dipertanggung jawabkan, sesuai dalam Pasal 22 UUP yang menyebutkan perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Di dalam penjelasan kata “dapat” dalam pasal di atas ini bisa diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, selama ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain. Dengan demikian, perkawinan dapat dibatalkan berarti sebelumnya telah terjadi perkawinan lalu dibatalkan karena adanya pelanggaran terhadap aturan-aturan tertentu.5

Namun, tidak sembarang pihak diperbolehkan untuk mengajukan pembatalan perkawinan. Pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 23 UUP:

5

Martiman Prodjohamidjodjo, 2002, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta,


(15)

1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri;

2. Suami atau istri;

3. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;

4. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

Bagi pihak-pihak diatas dapat mengajukan pembatalan perkawinan ke Pengadilan, sesuai pernyataan Pasal 25 UUP yang menyebutkan permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri. Permohonan pembatalan perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi Non-Islam. Namun, pada umumnya Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri hanya menaungi bagi para penganut agama yang perkawinannya berasas monogami tertutup, seperti di kalangan umat Kristen/Katolik dan Budha di Indonesia, dan terlepas dari pengaruh hukum adat atau penganut agama Hindu Dharma (Bali) dan Islam yang berasas monogami terbuka atau poligami.6

6


(16)

Perkawinan sebagai ikatan suci antara seorang laki-laki dan perempuan mempunyai akibat hukum yang mengikat antara kedua belah pihak (suami dan istri), dan berpengaruh terhadap segala sesuatu yang dihasilkan dari perkawinan tersebut, hak dan kewajiban suami istri, anak, dan harta bersama. Jika kemudian sebuah perkawinan dibatalkan, karena diketahui sebelum menikah ternyata perempuan tersebut sudah mengandung janin dengan laki-laki lain (hamil di luar nikah). Inilah bentuk perkawinan yang dapat dibatalkan (relative nietig),7 karena adanya pelanggaran terhadap Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

Seperti kasus pembatalan yang terjadi di Pengadilan Agama Wonosari, pembatalan perkawinan yang diajukan oleh para pihak suami dengan alasan penipuan atau salah sangka terhadap identitas atau keadaan diri istri. Karena diketahui pihak istri ternyata sudah hamil dan mengandung anak dari laki-laki lain sebelum dilangsungkannya perkawinan, namun pihak istri tidak terbuka, jujur, dan dengan sengaja menutupi keadaan diri. Sejak diputuskannya pembatalan perkawinan secara hukum, perkawinan yang sempat dilangsungkan itu dianggap tidak

pernah ada atau tidak pernah terjadi.

7

Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, 2004, Hukum Perdata Islam di

Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum islam Dari Fiqh, UU No 1 Tahun 1974 Sampai KHI, Jakarta, Prenada Media, hlm. 107.


(17)

Dengan demikian, masalah terkait dengan pertimbangan-pertimbangan hakim pengadilan agama dalam memutus perkara pembatalan perkawinan dan akibat hukum terhadap hubungan suami istri dalam pembatalan perkawinan menurut penyusun menarik untuk diteliti dan untuk lebih lanjut dibahas dalam sebuah skripsi dengan judul : “Pembatalan Perkawinan Karena Adanya Penipuan Oleh Pihak Istri (Studi Kasus Putusan Hakim Pengadilan Agama Wonosari Nomor 0230/Pdt.G/2007/PA.Wno)” di Pengadilan Agama Wonosari sebagai badan peradilan yang berwenang mengatasi masalah ini.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis mengambil permasalahan sebagai berikut:

1. Apa dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan atau tidak mengabulkan perkara pembatalan perkawinan, dalam Putusan Perkara Nomor: 0230/Pdt.G/PA.Wno di Pengadilan Agama Wonosari?

2. Apa akibat hukum dari pembatalan perkawinan karena adanya penipuan oleh pihak istri dalam Putusan Perkara Nomor: 0230/Pdt.G/PA.Wno di Pengadilan Agama Wonosari?

Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui dasar hukum pertimbangan hakim dalam mengabulkan atau tidak mengabulkan perkara pembatalan perkawinan, dalam Putusan Perkara Nomor: 0230/Pdt.G/2007/PA.Wno di Pengadilan Agama Wonosari.


(18)

b. Untuk mengetahui akibat hukum yang timbul dari pembatalan perkawinan dalam Putusan Perkara Nomor: 0230/Pdt.G/PA.Wno di Pengadilan Agama Wonosari.

2. Tujuan Subyektif

Untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

1. Pengertian Perkawinan

Dalam ajaran Islam sebuah perkawinan merupakan peristiwa sakral bagi manusia, karena melangsungkan perkawinan merupakan sunnatulloh dan sebagai penyempurna agama. Perkawinan juga merupakan jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia, serta untuk mendapatkan keturunan guna melanjutkan peradaban hidup manusia. Perkawinan menurut Pasal 1 UUP adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Di sini yang dimaksud dengan ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat dengan nyata adanya hubungan suami istri, contohnya yaitu buku nikah sebagai bukti adanya perkawinan, maka ikatan lahir juga disebut ikatan formal. Sedangkan ikatan batin adalah ikatan yang tidak nampak, ikatan yang hanya dapat dirasakan oleh pasangan suami istri tersebut, seperti rasa saling mencintai, menyayangi, menghormati, dan


(20)

Selanjutnya menurut Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya ditulis KHI) menyebutkan bahwa perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah.

2. Tujuan Perkawinan

Agar perkawinan dapat berhasil hingga akhir hayat, seseorang harus mengetahui terlebih dahulu tujuan perkawinan. Tujuan perkawinan jika dilihat dari bunyi Pasal 1 UUP yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Pasal 3 KHI menyebutkan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah.

3. Rukun dan Syarat Sahnya Perkawinan

Pasal 2 ayat (1) UUP menyebutkan perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Pasal 2 ayat (2) UUP menyebutkan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selanjutnya menurut Pasal 5 ayat (1) KHI menyebutkan bahwa agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatatkan. Pasal 5 ayat (2) menyebutkan pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh Pegawai Pencatatan Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954.


(21)

Maka sebuah perkawinan hendaknya harus dilaksanakan sesuai dengan prosedur dan syarat hukum agama, kepercayaan, memenuhi syarat perkawinan dan dicatatkan sesuai peraturan perundang-undangan. Ini untuk menghindari dari hal-hal yang tidak diinginkan pada saat perkawinan dilangsungkan.

Calon mempelai pria dan wanita yang hendak melangsungkan perkawinan, harus memenuhi syarat-syarat perkawinan, yaitu:

a. Telah baligh dan memiliki kecakapan yang sempurna Selain ditentukan oleh umur, standar kedewasaan juga dilihat dari kematangan jiwa seseorang.

b. Berakal sehat

c. Tidak karena paksaan

Artinya kedua calon mempelai yang hendak melangsungkan perkawinan memang atas dasar kesukarelaan diri.

d. Wanita-wanita yang hendak dinikahi/dikawini oleh seorang pria bukan termasuk salah satu macam wanita yang haram untuk dinikahi.8

Syarat-syarat melangsungkan perkawinan, yaitu: a. Menurut Pasal 6 UUP, yaitu:

1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai;

8


(22)

Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Artinya, kedua calon mempelai sepakat dengan ikhlas untuk melangsungkan perkawinan, tanpa ada paksaan, desakan, dan ancaman dari pihak manapun. Sehingga perkawinan dilangsungkan atas dasar rasa cinta dan kasih sayang.

2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua;

Hal ini dikarenakan, bahwa seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dianggap belum dewasa menurut hukum. Jadi, untuk melakukan perkawinan yang merupakan perbuatan hukum, orang tersebut harus meminta izin kepada kedua orang tua.

3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya;

4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang


(23)

memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya;

5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini;

6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

b. Menurut Pasal 7 ayat (1) UUP, yaitu perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Selanjutnya, Pasal 7 ayat (2) menyatakan dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau


(24)

Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.

Dalam Pasal 14 KHI menyebutkan untuk melaksanakan perkawinan harus ada rukun dan syarat perkawinan yang harus dipenuhi. yaitu:

a. Calon suami; b. Calon istri; c. Wali nikah;

d. Dua orang saksi dan; e. Ijab dan kabul.

Menurut Pasal 15 ayat (1) KHI untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) UUP yakni calon suami kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Selanjutnya Pasal 15 ayat (2) KHI, bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2) , (3) , (4) , dan (5) UUP.

Menurut Pasal 16 ayat (1) KHI, sebuah perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. Dan Pasal 16 ayat (2) menyatakan bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan,


(25)

atau isyarat (bagi tuna wicara atau tuna rungu), tapi dapat juga berupa diam dalam arti tidak ada penolakan yang tegas. Yang dimaksud pernyataan dalam pasal tersebut adalah persetujuan kedua calon mempelai dengan ikhlas dari masing-masing batin tanpa ada paksaan, atau desakan dari pihak manapun.

Selanjutnya disebutkan dalam Pasal 19 KHI bahwa wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkan. Dan dalam Pasal 20 ayat (1) KHI menyebutkan yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh dan menurut Pasal 20 ayat (2) menyatakan wali Nikah terdiri dari wali nasab dan wali hakim.

Menurut Pasal 21 ayat (1) KHI menyatakan wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susuan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.

1) Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah , kakek dari pihak ayah dan seterusnya; 2) Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung,

atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka;


(26)

3) Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka;

4) Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.

Menurut Pasal 21 ayat (2) KHI yang menyatakan apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita. Penjelasan lebih lanjut diterangkan dalam ayat (3) yang menyatakan apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.

Dalam ayat (4) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali. Namun, disebutkan dalam Pasal 22 KHI yaitu apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah, atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah


(27)

udzur, maka hak wali bergeser ke wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.

Disebutkan dalam Pasal 23 ayat (1) dan (2) KHI yang menyatakan: (1) wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan, dan (2) dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.

Selanjtnya menurut Pasal 24 ayat (1) KHI menyebutkan saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah, dan ayat (2) menyebutkan suatu perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi. Pasal 25 KHI menyebutkan yang dapat ditunujuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli. Syarat-syarat seorang saksi dalam perkawinan adalah:

1) Laki-laki dewasa (mukallaf); 2) Beragama Islam (muslim);

3) Saksi dapat mengerti dan mendengar; 4) Taat beragama (adi);


(28)

5) Hadir minimum 2 saksi.9

Selanjutnya, dalam Pasal 26 KHI menyebutkan saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan. Wajib hadirnya saksi dalam perkawinan bertujuannya untuk menjaga kedua belah pihak apabila ada kecurigaan dan tuduhan lain terhadap pergaulan hidupnya, maka dengan mudah keduanya dapat mengemukakan saksi tentang perkawinannya. Disamping itu, agar suami atau istri tidak mudah mengingkari pasangannya.

Selanjutnya dalam Pasal 27 KHI menyebutkan ijab dan kabul antara wali dan calon calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu. Selanjutnya Pasal 28 KHI menyebutkan akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan atau wali nikah mewakilkan kepada orang lain.

Pasal 29 ayat (1) KHI menyebutkan yang berhak mengucapkan kabul adalah calon mempelai pria secara pribadi, ayat (2) menyebutkan dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk calon

9


(29)

mempelai pria. Dan ayat (3) menyebutksn dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.

Calon mempelai atau orang tuanya atau wakilnya memberitahukan akan melangsungkan perkawinan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan. Pemberitahuan ini dilaksanakan antara 10 hari sebelum hari jadi perkawinan atau akad nikah dilaksanakan, kemudian dicatat oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.

Selain hal-hal diatas, memenuhi tata cara perkawinan sesuai dengan hukum agama dan hukum nasional dari awal hingga akhir juga merupakan syarat perkawinan. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 2 hingga Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Peraturan Pelaksanaan UUP.

4. Larangan Kawin

Berikut larangan-larangan kawin: a. Menurut Pasal 8 UUUP, yaitu:

Disebutkan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang: 1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah


(30)

2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;

3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;

4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;

5) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang;

6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

b. Menurut Pasal 9 UUP, yaitu:

Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 UUP. Artinya kedua mempelai harus merupakan pihak yang bebas, bebas di sini maksudnya adalah tidak sedang terikat dengan perkawinan dengan pihak manapun. Pihak yang sedang terikat tali perkawinan (seorang laki-laki) dapat melangsungkan perkawinan kembali (poligami) apabila pihak tersebut telah memenuhi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 UUP.


(31)

c. Menurut Pasal 10 UUP, yaitu:

Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Pasal ini melarang suami istri yang bercerai untuk kedua kali dengan suami/istri yang akan dikawini, maksud Pasal 10 UUP yaitu agar suami istri dapat membentuk keluarga yang kekal. Perkawinan merupakan perbuatan yang terhitung ibadah dan menunjukkan ketakwaan kepada Allah SWT, tidak sepantasnya manusia mempermainkan peristiwa sakral yang disebut perkawinan. Hal ini diatur supaya manusia dapat benar-benar mempertimbangkan keputusannya terkait perkawinan.

d. Menurut Pasal 11 UUP, yaitu:

Pasal 11 ayat (1) menyatakan: “Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu (masa iddah).” Jangka waktu tunggu (masa iddah) bagi wanita dimaksud untuk mengetahui kekosongan rahim seorang wanita dari kehamilan, menentukan anak siapakah yang berada dalam kandungan, dan merupakan bentuk pelaksanaan nilai ketaatan seseorang terhadap perintah Allah SWT. Allah SWT telah memerintahkan para wanita untuk menunggu jangka waktu tunggu setelah perceraian, melalu


(32)

firman-Nya yaitu QS Al-Baqarah (228): “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.”Ketentuan jangka waktu tunggu diatur lebih lanjut dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UUP.

e. Menurut Kompilasi Hukum Islam

Larangan kawin diatur dalam Pasal 39 dan 40 KHI. Pasal 39 mengatur mengenai larangan kawin selamanya, jadi apapun yang terjadi pria dan wanita dalam golongan ini tidak diperbolehkan melangsungkan perkawinan sampai mati. Sedangkan, Pasal 40 mengatur mengenai larangan kawin sementara, sehingga apabila hal-hal yang menghalangi suatu perkawinan atau membuat perkawinan itu dilarang sudah tidak berlaku, maka perkawinan dapat dilangsungkan.

Berikut penjelasan mengenai larangan kawin selamanya dan sementara:

Pasal 39 KHI

(Larangan kawin selamanya)

Pasal 40 KHI (Larangan kawin

sementara) 1. Karena pertalian nasab:

a) dengan seorang wanita

yang melahirkan atau

Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;


(33)

menurunkannya atau keturunannya;

b) dengan seorang wanita

keturunan ayah atau ibu;

c) dengan seorang wanita

saudara yang

melahirkan.

2. Karena pertalian kerabat semenda:

a) dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya;

b) dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya;

c) dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan

Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;


(34)

perkawinan dengan bekas istrinya itu qabla ad dukhul;

d) dengan seorang wanita

bekas istri

keturunannya.

3. Karena pertalian sesusuan:

a) dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;

b) dengan seorang wanita

sesusuan dan

seterusnya menurut garis lurus ke bawah;

c) dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah;

d) dengan seorang wanita bibi sesusuan dan

Seorang wanita yang tidak beragama Islam.


(35)

nenek bibi sesusuan ke atas;

e) dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.

B. TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN

1. Pengertian Pembatalan Perkawinan

Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan berbagai arti kata “batal”. Diantaranya ialah bermakna tidak berlaku atau tidak sah. Seperti dalam kalimat: “perjanjian itu dinyatakan batal”. Membatalkan artinya menyatakan batal (tidak sah), seperti dalam kalimat: “mereka membatalkan perjanjian yang pernah disetujui bersama.” Oleh karena itu, pembatalan adalah proses, cara, perbuatan membatalkan.

Pasal 22 UUP menyebutkan pembatalan perkawinan dapat dilakukan, bila para pihak tidak memenuhi syarat melangsungkan perkawinan. Pengertian “dapat dibatalkan” pada pasal ini diartikan boleh batal atau tidak boleh batal, bilamana menurut ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing tidak menentukan lain. Syarat-syarat tersebut berjumlah 11 (sebelas), yaitu:

a. persetujuan kedua mempelai [Pasal 6 ayat (1) UUP]; b. izin orang tua [Pasal 6 ayat (2) UUP];


(36)

c. memenuhi batas minimal usia [Pasal 7 ayat (1) UUP]; d. tidak adanya larangan perkawinan (Pasal 8 UUP); e. tidak terikat dengan suatu perkawinan (Pasal 9 UUP); f. tidak telah bercerai untuk kedua kalinya (Pasal 10 UUP); g. tidak dalam masa tunggu (Pasal 11 UUP);

h. sesuai dengan tata cara yang diatur oleh peraturan perundang-undangan (Pasal 12 UUP);

i. perkawinan dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang berwenang, wali nikah yang sah, dilangsungkan dengan dihadiri oleh 2 (dua) saksi [Pasal 26 ayat (1) UUP];

j. tidak di bawah ancaman yang melanggar hukum [Pasal 27 ayat (1) UUP];

k. tidak terdapat salah sangka mengenai diri suami atau istri [Pasal 27 ayat (2) UUP].

Secara sederhana ada dua sebab terjadinya pembatalan perkawinan: Pertama, pelanggaran prosedural perkawinan. Contohnya, perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi (Pasal 26 ayat 1 UUP).

Kedua, pelanggaran terhadap materi perkawinan. Contohnya, perkawinan yang dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum (Pasal 27 ayat 1 UUP), pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri (Pasal 27 ayat 2 UUP). Setali tiga uang


(37)

dengan UUP, maka KHI pun mengkategori dan merinci batalnya perkawinan menjadi dua kategori. Pertama, perkawinan yang batal (Pasal 70 KHI). Kedua, perkawinan dapat dibatalkan (Pasal 71 dan Pasal 72 KHI).

Pembatalan perkawinan adalah tindakan putusan Pengadilan yang menyatakan bahwa ikatan perkawinan yang telah dilakukan itu tidak sah, akibatnya ialah bahwa perkawinan itu dianggap tidak pernah ada.10 Menurut Pasal 25 UUP bahwa Pengadilan yang berkuasa untuk membatalkan perkawinan yaitu Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau di tempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri. Pengadilan yang dimaksud adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Umum bagi yang lainnya (Pasal 63 ayat (1) UUP). Peradilan Agama adalah proses pemberian keadilan berdasarkan hukum Islam yang mencari keadilan di Pengadilan Agama dan Peradilan Tinggi Agama.11

Batalnya suatu perkawinan diatur pada Pasal 22 - Pasal 28 UUP. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kemungkinan disalahgunakannya pembatalan perkawinan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Pihak yang tidak bertanggung jawab adalah pihak yang tidak ada hubungannya dengan perkawinan tersebut, namun mempunyai maksud tertentu untuk melakukan pembatalan.

2. Alasan-alasan Pembatalan Perkawinan 10

Muchlis Marwan dan Thoyib Mangkupranoto, 1986, Hukum Islam II,


(38)

Menurut Pasal 24 UUP menyebutkan barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 26 ayat (1) UUP menyebutkan perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri,jaksa dan suami atau isteri.

Pasal 27 ayat (1) UUP menyebutkan seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum. Dan ayat (2) menyatakan seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.

Namun, dalam Pasal 27 ayat (3) menyebuttkan hak untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan menjadi gugur apabila ancaman telah berhenti atau yang bersalah sangka itu telah menyadari keadaannya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu mereka masih tetap hidup sebagai suami istri dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan.


(39)

Sedangkan, alasan-alasan pembatalan perkawinan menurut Pasal 70 KHI:

a. suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu diantaranya itu dalam iddah talak raj'i;

b. seseorang menikahi bekas istrinya yang telah di li'annya; c. seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga

kali talak olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba'da al dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya; d. perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai

hubungan darah semeda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8 UUP, yaitu:

1) berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke

bawah atau ke atas;

2) berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;

3) berhubungan semeda, yaitu mertua, anak tiri,


(40)

4) berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan,

anak sesusuan saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.

e. istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya.

Selanjutnya, alasan-alasan pembatalan perkawinan menurut Pasal 71 KHI:

a. seorang suami melakukan poligami tanpa izin dari Pengadilan Agama;

b. perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang mafqud;

c. perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain;

d. perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 UUP;

e. perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;

f. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

Dan yang terakhir, alasan-alasan pembatalan perkawinan menurut Pasal 72 KHI:

a. seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum;


(41)

b. seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri.

Pasal 70 KHI mengatur mengenai perkawinan yang batal demi hukum, artinya dengan sendirinya perkawinan ini batal tanpa harus menunggu ada pihak yang mengajukan pembatalan, namun tetap harus ada putusan Pengadilan yang menyatakan perkawinan tersebut batal demi hukum. Sedangkan, Pasal 71 dan Pasal 72 KHI mengatur mengenai perkawinan yang dapat dibatalkan. Artinya, meskipun para pihak mengetahui bahwa perkawinan tersebut dapat dibatalkan karena melanggar suatu syarat tertentu, namun apabila para pihak tidak merasa keberatan dengan perkawinan tersebut dan tetap berkeinginan melanjutkannya maka diperbolehkan

Perbandingan tentang alasan-alasan pembatalan perkawinan menurut UUP dan KHI :

UUP KHI

1. adanya larangan perkawinan (Pasal 8)

1. poligami dengan lebih dari empat orang wanita (Pasal 70 huruf a)

2. perkawinan tidak menurut tata cara yang diatur oleh

2. menikahi bekas istri yang telah di-lian (Pasal 70 huruf


(42)

Peraturan Perundang-undangan (Pasal 12)

b)

3. salah satu dari kedua belah pihak masih terikat perkawinan dengan pihak lain (Pasal 24)

3. menikahi bekas istri yang telah dijatuhi talak bain kubra dan tidak memenuhi syarat-syarat (Pasal 70 huruf c)

4. perkawinan dilakukan dihadapan pegawai pencatat nikah yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) saksi (Pasal 26 ayat 1)

4. adanya larangan perkawinan dengan merujuk pada Pasal 8 UUP (Pasal 70 huruf d)

5. perkawinan yang

dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum (Pasal 27 ayat 1)

5. istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya (Pasal 70 huruf e)

6. dalam perkawinan yang dilangsungkan terjadi salah sangka tentang diri suami atau istri (Pasal 27 ayat 2)

6. poligami liar yaitu poligami tanpa ijin (Pasal 71 huruf a)


(43)

7. istri ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain (Pasal 71 huruf b)

8. istri ternyata masih dalam iddah dari suami lain (Pasal 71 huruf c)

9. melanggar batas umur menurut ketentuan Pasal 7 UUP (Pasal 71 huruf d)

10. perkawinan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak (Pasal 71 huruf e)

11.perkawinan dilangsungkan dengan paksaan (Pasal 71 huruf f)

12.perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum (Pasal 72 ayat 1)


(44)

13.dalam perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka terhadap diri suami atau istri (Pasal 72 ayat 2)

3. Pihak Yang Dapat Mengajukan Pembatalan Perkawinan Pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan dengan adanya sebuah perkawinan dapat membatalkan perkawinan tersebut. Namun, tidak sembarang pihak dapat membatalkan sebuah perkawinan. Berikut para pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan menurut UUP dan KHI, yaitu:

Menurut Pasal 23 UUP Menurut Pasal 73 KHI a. Para keluarga dalam garis

keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri;

a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas;

b. Suami atau isteri; b. Suami atau istri;

c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;

c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang;


(45)

ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 67.

Pengertian dari pejabat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 23 huruf d tersebut adalah pejabat yang berwenang untuk melakukan pencegahan perkawinan karena tidak terpenuhinya ketentuan-ketentuan dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 12, dan Pasal 17 ayat (1) UUP.

Para pihak tersebut dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan, apabila perkawinan yang dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum atau apabila pada dalam perkawinan itu terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri. Dengan syarat bahwa dalam jangka waktu enam bulan setelah tidak adanya ancaman lagi atau yang bersalah sangka itu menyadari dirinya masih hidup sebagai suami istri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan, maka haknya gugur.

Bagi pihak-pihak diatas dapat mengajukan pembatalan perkawinan ke Pengadilan, sesuai pernyataan Pasal 25 UUP yang menyebutkan permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam


(46)

daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri. Dengan demikian, permohonan pembatalan perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi Non-Islam.

4. Tata Cara Pengajuan Pembatalan Perkawinan

Bagi pihak-pihak berwenang tersebut yang ingin mengajukan pembatalan perkawinan harus melalui tata cara pengajuan pembatalan perkawinan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan. Mengenai tata cara pembatalan perkawinan menurut Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menyebutkan:

a. Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihak-pihak yang berhak mengajukannya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan, atau di tempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri.

b. Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian.

c. Hal-hal yang berhubungan dengan pemeriksaan pembatalan

perkawinan dan putusan Pengadilan, dilakukan sesuai dengan tata cara tersebut dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah ini.

Berdasarkan Pasal 38 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tersebutkan, maka jelaslah bahwa tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tata cara


(47)

pengajuan gugatan perceraian. Tentang tata cara perceraian diatur dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 41 Undang-undang Perkawinan dan Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

C. TINJAUAN UMUM TENTANG PENIPUAN

Kata dasar penipuan yaitu tipu, definisi tipu adalah perbuatan atau perkataan yang tidak jujur (bohong, palsu, dan sebagainya), dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali, atau mencari untung. Sedangkan penipuan adalah proses, perbuatan, cara menipu.12 Di kalangan masyarakat pengertian penipuan adalah suatu tindakan kebohongan baik berupa perbuatan dan/atau perkataan yang dibuat demi mendapat keuntungan pribadi tetapi merugikan orang lain. Penipuan dapat diartikan juga sebagai suatu tindakan memberikan keterangan tidak sesuai keadaan asli (kenyataan) atau faktanya. Penipuan yang dimaksud dalam perkawinan adalah salah sangka terhadap keadaan asli pasangan.

Yang dimaksud dengan salah sangka adalah salah paham, salah mengerti terhadap suatu keadaan atau tidak mengetahui suatu keadaan dengan benar. Salah sangka terjadi karena tidak adanya kejujuran dan keterbukaan antara para pihak dalam membangun suatu hubungan. Salah sangka dalam perkawinan yang dimaksud adalah suatu kesalahpahaman dalam mengenali pasangan, dimana kesalahpahaman tersebut baru diketahui setelah dilangsungkannya perkawinan.

12


(48)

38 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif, yaitu dengan cara menelaah Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan Yurisprudensi yang ada hubungannya dengan suatu permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) sebagai dasar melakukan penelitian dan pendekatan kasus (case approach) untuk meneliti permasalahan yang timbul serta menganalisisnya.

B. Bahan Penelitian

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Bahan hukum primer adalah bahan pustaka berisikan peraturan yang terdiri dari:

a) Al Qur‟an dan Hadits

b) Undang-undang Dasar 1945

c) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

d) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

e) Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam f) Putusan Pengadilan Agama Wonosari Nomor 0230/Pdt.G/2007/PA.


(49)

2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang berkaitan dengan bahan hukum primer untuk membantu proses analisis, yaitu:13

a) Buku-buku ilmiah mengenai perkawinan dan pembatalan perkawinan b) Jurnal tentang perkawinan dan pembatalan perkawinan

c) Situs internet tentang perkawinan dan pembatalan perkawinan

3. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang dapat menjelaskan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berupa kamus, yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia.14 C. Tempat Pengambilan Bahan Penelitian

Bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang digunakan penulis diambil di tempat:

1. Pengadilan Agama Wonosari

2. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 3. Perpustakaan Pusat Kota Yogyakarta

4. Perpustakaan Pusat Universitas Negeri Yogyakarta 5. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 6. Perpustakaan Pusat Universitas Islam Indonesia

7. Situs internet

13

Mukti Fajar ND & Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,

Jakarta, Pustaka Pelajar, hlm. 157.

14


(50)

40 D. Narasumber

Narasumber yaitu ibu Dra. Endang Sri Hartatik, M.S.I. dan Dra. Ulil Uswah, M.H., sebagai Hakim di Pengadilan Agama Wonosari.

E. Teknik Pengumpulan Bahan Penelitian

Teknik pengumpulan bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara:

1. Wawancara yaitu cara memperoleh data dengan metode tanya jawab dengan cara lisan. Dalam hal ini penyusun mengadakan wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Wonosari.

2. Studi dokumen atau studi pustaka yaitu mempelajari peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen hukum, buku-buku, dan jurnal yang berhubungan dengan materi penelitian.

F. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan sifat preskriptif, yaitu penelitian dengan memberikan pendapat atas penelitian yang telah dilakukan. Memberikan pendapat ini bertujuan untuk memberi penilaian mengenai benar atau salah atau bagaimana yang seharusnya menurut hukum.


(51)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kasus Posisi

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan di Pengadilan Agama Wonosari terdapat sebuah kasus pembatalan perkawinan yang terjadi di tahun 2007, yaitu perkara Nomor : 0230/Pdt.G/2007/PA.Wno.

1. Identitas para pihak

Adapun para pihak dalam perkara tersebut adalah:

a. Pemohon : Pemohon, umur 35 tahun, agama Islam, pekerjaan Pegawai kontrak, tempat tinggal di Kabupaten Gunungkidul. b. Termohon : Termohon, umur 23 tahun, agama Islam, pekerjaan

Swasta, tempat tinggal di Kabupaten Gunungkidul. 2. Duduk perkara

Bahwa Pemohon dengan surat Permohonannya tertanggal 03 Mei 2007 yang telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Wonosari Nomor: 0230/Pdt.G/2007/PA.Wno telah mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

a. Bahwa pada tanggal 07 Maret 2007, Pemohon dengan Termohon melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Karangmojo Kabupaten Gunungkidul (Kutipan Akta Nikah


(52)

b. Bahwa setelah pernikahan tersebut Pemohon dengan Termohon bertempat tinggal di rumah kediaman bersama di rumah orang tua Termohon di Kabupaten Gunungkidul selama satu hari, selama pernikahan tersebut Pemohon dengan Termohon belum pernah hidup rukun sebagaimana layaknya suami istri (Qobla dukhul);

c. Bahwa pada saat pernikahan antara Pemohon dengan Termohon, Termohon tidak pernah menerangkan bahwa ia dalam keadaan hamil, sedang Pemohon dengan Termohon kenal baru satu bulan;

d. Bahwa setelah sehari pernikahan diketahui dari hasil pemeriksaan bidan, ternyata Termohon dalam keadaan hamil 2 bulan dan menurut pengakuan Termohon, kehamilan tersebut akibat hubungan dengan seorang laki-laki lain;

e. Bahwa dengan keadaan tersebut, Pemohon merasa tertipu karena Pemohon baru kenal dengan Termohon selama satu bulan sebelum pernikahan dan belum pernah melakukan hubungan seksual dengan Termohon;

f. Bahwa oleh karena itu, pernikahan antara Pemohon dengan Termohon telah melanggar ketentuan pasal 27 ayat (2) KHI, yaitu adanya unsur penipuan keadaan diri Termohon;

g. Bahwa Pemohon sanggup membayar seluruh biaya perkara yang timbul akibat perkara ini;


(53)

h. Bahwa berdasarkan alasan/ dalil-dalil diatas, Pemohon mohon agar Ketua Pengadilan Agama Wonosari segera memeriksa dan mengadili perkara ini, selanjutnya menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi: :

Primair:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon;

2. Menetapkan, membatalkan perkawinan antara Pemohon dengan Termohon yang dilangsungkan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Karangmojo pada tanggal 07 Maret 2007;

3. Menyatakan Akta Nikah dan Kutipan Akta Nikah Nomor:- tanggal 07 Maret 2007 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Karangmojo tidak berkekuatan hukum;

4. Menetapkan biaya perkara menurut hukum. Subsidair:

Atau menjatuhkan putusan lain yang seadil-adilnya. 3. Dasar pertimbangan

Menimbang, bahwa pada hari persidangan yang telah ditetapkan, Pemohon telah hadir sendiri, sedang Termohon tidak pernah hadir dan tidak pula menyuruh orang lain untuk hadir sebagai wakil atau kuasanya, meskipun menurut relaas panggilan nomor 0230/Pdt.G/2007/PA.Wno tanggal 9 Mei 2007, tanggal 22 Mei 2007


(54)

dan tanggal 5 Juni 2007 ia telah dipanggil secara resmi dan patut oleh Pengadilan Agama Wonosari, sedang tidak ternyata bahwa ketidakhadirannya itu disebabkan oleh suatu halangan yang sah, sehingga Termohon tidak dapat didengar keterangannya dan persidangan dilanjutkan dengan tanpa hadirnya Termohon;

Menimbang, bahwa atas Permohonan Pemohon tersebut Majelis Hakim telah berusaha mendamaikan pihak yang berperkara di persidangan dengan menasehati Pemohon agar tetap mempertahankan keutuhan rumah tangganya dengan Termohon, tetapi usaha tersebut tidak berhasil, kemudian Pemeriksaan dilanjutkan dengan membacakan Permohonan Pemohon yang isinya tetap dipertahankan oleh Pemohon;

Menimbang, bahwa untuk meneguhkan dalil Permohonannya, Pemohon telah mengajukan bukti surat berupa :

a. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Pemohon yang aslinya dikeluarkan oleh Camat Playen, Nomor: -tanggal 03 Mei 2007 yang telah dimaterai secukupnya dan dinazzegel, serta telah dilegalisir oleh Panitera, setelah dicocokkan dengan aslinya ternyata sesuai, lalu diberi tanda P.1 (Bukti P.1);

b. Fotokopi Kutipan Akta Nikah yang aslinya dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Karangmojo Kabupaten Gunungkidul Nomor : - Tanggal 07/03/2007yang telah dimeterai secukupnya dan dinazzegel, serta telah dilegalisir


(55)

oleh Panitera, setelah dicocokkan dengan aslinya ternyata sesuai, lalu diberi tandaP.2 (Bukti P.2);

Menimbang, bahwa disamping bukti surat, Pemohon telah menghadirkan saksi-saksi sebagai berikut :

1. Saksi 1, umur 59 tahun, agama Islam, pekerjaan PNS, tempat kediaman di Kabupaten Gunungkidul

Di hadapan persidangan saksi tersebut memberikan keterangan di bawah sumpahnya yang pada intinya sebagai berikut:

a. Bahwa saksi kenal dengan Pemohon dan Termohon karena saksi adalah tetangga Pemohon;

b. Bahwa benar Pemohon dan Termohon telah melangsungkan pernikahan dan pada saat pesta pernikahan saksi hadir;

c. Bahwa pada saat pesta pernikahan, Termohon secara mendadak jatuh pingsan dan setelah diperiksakan ke bidan, menurut informasi dari tetangga dan Pemohon ternyata Termohon dam keadaan hamil 2 bulan;

d. Bahwa menurut Informasi dari Pemohon yang menghamili Termohon adalah laki-laki lain;

e. Bahwa saksi tidak sanggup untuk mendamaikan kembali; 2. Saksi 2, umur 36 tahun, agama Islam, pekerjaan karyawan,tempat


(56)

Di hadapan persidangan saksi tersebut memberikan keterangan di bawah sumpahnya yang pada intinya sebagai berikut:

a. Bahwa saksi kenal dengan Pemohon dan Termohon karena saksi adalah tetangga Pemohon;

b. Bahwa benar Pemohon dan Termohon telah melangsungkan pernikahan dan pada saat pesta pernikahan saksi hadir; c. Bahwa pada saat pesta pernikahan, Termohon secara

mendadak jatuh pingsan, kemudian saksi ikut mengantar dan membawa Termohon untuk diperiksakan ke bidan, dan ternyata hasil dari pemeriksaan tersebut Termohon dinyatakan dalam keadaan hamil 2 bulan;

d. Bawa sejak peristiwa tersebut antara Pemohon dan Termohon pisah rumah, Termohon tinggal di rumah orang tuanya di Gunungkidul;

e. Bahwa saksi tidak sanggup untuk mendamaikan kembali; 3. Saksi 3, umur 43 tahun, agama Islam, pekerjaan PNS,tempat

kediaman di Kabupaten Gunungkidul

Di hadapan persidangan saksi tersebut memberikan keterangan di bawah sumpahnya yang pada intinya sebagai berikut:

a. Bahwa saksi kenal dengan Pemohon dan Termohon karena saksi adalah tetangga Pemohon;

b. Bahwa benar Pemohon dan Termohon telah melangsungkan pernikahan dan pada saat pesta pernikahan saksi hadir;


(57)

c. Bahwa pada saat pesta pernikahan, Termohon secara mendadak jatuh pingsan, kemudian Termohon di bawa ke bidan untuk diperiksakan, dan ternyata hasil dari pemeriksaan tersebut Termohon dinyatakan dalam keadaan hamil 2 bulan;

d. Bawa sejak peristiwa tersebut antara Pemohon dan Termohon pisah rumah, Termohon tinggal di rumah orang tuanya di Gunungkidul;

e. Bahwa saksi tidak sanggup untuk mendamaikan kembali. Menimbang, bahwa terhadap keterangan ketiga orang saksi tersebut di atas, Pemohon menyatakan tidak keberatan dan dapat menerima, Kemudian Pemohon menyatakan tidak lagi mengajukan sesuatu tanggapan apapun dan mohon putusan;

Menimbang, bahwa Pemohon telah menghadirkan tiga orang saksi di depan persidangan dan ternyata keterangan ketiga orang saksi tersebut di atas, secara materiil saling bersesuaian antara yang satu dengan yang lain, serta mendukung dalil Permohonan Pemohon, sehingga telah memenuhi syarat formil dan materiil sebagai saksi, oleh karena itu Majelis Hakim menilai kesaksian tersebut dapat diterima dan dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah serta menguatkan dalil Permohonan Pemohon;

Menimbang, Majelis Hakim telah berusaha dengan sungguh-sungguh mendamaikan dengan menasehati Pemohon di setiap


(58)

persidangan agar mengurungkan niatnya untuk membatalkan pernikahannya sebagaimana diamanatkan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 82 UU Nomor 7 Tahun 1989, akan tetapi usaha tersebut tidak berhasil sampai putusan ini dijatuhkan;

Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P.2 ternyata antara Pemohon dan Termohon telah melangsungkan penikahan sebagaimana tercatat di Kantor Urusan Agama Kecamatan Karangmojo sebagaimana kutipan Akta Nikah Nomor : - tanggal 07/03/2007;

Menimbang, bahwa terhadap Permohonan Pemohon tersebut di atas, ternyata Termohon tidak pernah hadir, dan tidak pula menyuruh orang lain untuk menghadap di persidangan sebagai wakil atau kuasanya yang sah, serta ketidakhadirannya tersebut bukan disebabkan oleh suatu halangan yang sah, meskipun telah dipanggil dengan resmi dan patut, oleh karena itu Termohon harus dinyatakan tidak pernah hadir di muka persidangan dan Permohonan Pemohon diputus dengan verstek sesuai dengan ketentuan Pasal 125 HIR;

Menimbang, bahwa oleh karena Termohon tidak hadir dipersidangan serta tidak mengajukan bantahan, maka hal tersebut dianggap sebagai telah membenarkan dalil-dalil Permohonan Pemohon, namun demikian Majelis Hakim masih perlu memeriksa


(59)

bukti-bukti lain untuk mendapatkan kebenaran yang lebih meyakinkan;

Menimbang, bahwa berdasarkan semua hal yang telah dipertimbangkan tersebut di atas, Majelis Hakim dapat menemukan dan menyimpulkan fakta di persidangan yang pada intinya sebagai berikut:

a. Bahwa Pemohon dan Termohon telah melangsungkan pernikahan pada tanggal 7 Maret 2007 di Karangmojo sebagai mana Kutipan Akta Nikah Nomor : - Tanggal 07/03/2007; b. Bahwa sejak kenal Termohon sampai dengan saat ini (setelah

nikah),Pemohon belum pernah melakukan hubungan sex dengan Termohon;

c. Bahwa pada saat pernikahan ternyata Termohon sudah dalam keadaan hamil 2 bulan dan hal tersebut berusaha ditutupi oleh Termohon agar Pemohon tidak mengetahui keadaan Termohon sebenarnya;

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, maka majelis berpendapat telah terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa Termohon telah dengan sengaja menutupi keadaan diri Termohon yang sedang hamil pada saat pernikahan, sehingga pernikahan tersebut mengandung unsur penipuan terhadap keadaan diri Termohon;


(60)

Menimbang, bahwa berdasarkan apa yang telah terbukti sebagaimana tersebut di atas, ternyata Pemohon merasa tertipu dan tidak dapat melanjutkan rumah tangganya dengan Termohon, karena hal tersebut sangat mengganggu batin Pemohon,oleh karena itu majelis menilai jika rumah tangga Pemohon dan Termohon tetap diteruskan maka kemudharatan yang akan menimpa keduanya, oleh karena itu menyelamatkan mereka dari keadaan tersebut melalui pembatalan pernikahan merupakan tindakan yang lebih baik dan maslahat bagi keduanya daripada tetap mempertahankan perkawinan mereka;

4. Putusan

Berdasarkan pemeriksaan di persidangan terhadap Pemohon, Termohon serta saksi-saksi, maka Pengadilan Agama Wonosari memutuskan:

a. Menyatakan Termohon yang telah dipanggil secara patut untuk menghadap di persidangan, tidak hadir;

b. Mengabulkan permohonan Pemohon dengan verstek;

c. Menetapkan membatalkan pernikahan Pemohon dengan Termohon yang dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 7 Maret 2007 tercatat di Kantor Urusan Agama Kecamatan Karangmojo dengan Akta Nikah Nomor : - Tanggal 07/03/2007;

d. Memerintahkan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Karangmojo untuk mencoret Akta Nikah tersebut;


(61)

e. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar seluruh biaya perkara ini Rp.336.000 ,- ( Tiga ratus tiga puluh enam ribu rupiah).

Demikian putusan ini dijatuhkan dalam permusyawaratan Majelis Hakim pada hari Senin tanggal 18 Juni 2007 M bertepatan dengan tanggal 3 Jumadil Akhir 1428 H.

B. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Mengabulkan Perkara Pembatalan Perkawinan di Pengadilan Agama Wonosari

Berdasarkan hasil penelitian terhadap kasus Putusan Pengadilan Agama Wonosari sebagaimana telah diuraikan di atas, berikut disajikan dasar pertimbangan hakim dalam menerima dan memutus perkara pembatalan perkawinan sebagai berikut:

Adapun menurut Pasal 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyebutkan bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragam Islam mengenai perkara-perkara sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini. Perkara-perkara yang disebutkan dalam Pasal 2 diatur dalam Pasal 49 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, yaitu bidang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, Infaq, Shaddaqqah, dan Ekonomi Syari‟ah.

Artinya bahwa kompetensi Peradilan Agama adalah kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili dan memutus, serta menyelesaikan


(62)

perkara-perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan. Yang dimaksud dengan kekuasaan negara adalah kekuasaan kehakiman. Kekuasaan pengadilan pada masing-masing lingkungan terdiri dari:

1. Kompetensi absolut (absolute competentie) adalah wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan dalam lingkungan pengadilan lain.15 Dengan kata lain yang dimaksud dengan kompetensi absolut adalah kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan, misalnya: Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam, bagi yang beragama selain Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum.

2. Kompetensi relatif (relative competentie) adalah berhubungan dengan daerah hukum suatu pengadilan, baik pengadilan tingkat pertama maupun pengadilan tingkat banding. Artinya, cakupan dan batasan kompetensi relatif pengadilan ialah meliputi daerah hukumnya berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.16 Dengan kata lain kompetensi relatif diartikan sebagai kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan, misalnya: antara Pengadilan Agama Bandung dengan Pengadilan Agama Cimahi, kompetesni relatif ini dasarnya berkaitan dengan wilayah hukum suatu pengadilan.

15

Soedikno Mertokusumo, 2008, Kompetensi Peradilan Agama relatif dan

Absolut Dalam Kapita Selekta Hukum Perdata Agama, Bogor, Pusdiklat Teknis Bailtbang Diklat Kumdil MARI, hlm. 127.

16

Cik Hasan Bisri, 2000, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo


(63)

Salah satu kewenangan atau kompetensi absolute yang dimiliki Pengadilan Agama adalah mengenai masalah perkawinan dan pembatalan perkawinan merupakan perkara yang masuk dalam lingkup perkawinan.

Dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UUP menyebutkan bahwa batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan. Artinya, perkawinan yang tidak memenuhi syarat perkawinan tidak dengan sendirinya menjadi batal melainkan harus diputuskan oleh Pengadilan.

Agar supaya perkawinan tidak dinyatakan batal demi hukum atau dapat dibatalkan, maka sebuah perkawinan harus memenuhi segala syarat dan rukun perkawinan. Salah satunya yang tidak kalah penting dalam perkawinan ialah menyelesaikan urusan administrasi. Memberikan informasi yang sebenar-benarnya mengenai identitas, keadaan diri, atau status calon suami atau istri merupakan syarat yang termasuk dalam urusan administrasi perkawinan. Perkawinan dapat dibatalkan apabila dalam pelaksanaannya terdapat unsur penipuan atau salah sangka mengenai identitas, keadaan diri, atau status sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27 ayat (2) UUP dan Pasal 72 ayat (2) KHI.

Perkawinan dengan penipuan atau salah sangka terhadap identitas, keadaan diri atau status dapat merugikan salah satu pihak baik suami atau istri karena akan menimbulkan perasaan bahwa dirinya telah tertipu atau ditipu, ini akan mengakibatkan terjadinya perselisihan, pertengkaran, dan perpecahan dalam rumah tangga yang menimbulkan hubungan suami istri


(64)

menjadi tidak harmonis. Perkawinan dengan penipuan atau salah sangka terhadap identitas, keadaan diri, atau status jelas akan membawa kemudharatan dan merugikan para pihak terkait.

Dalam Pasal 27 UUP menentukan bahwa seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila:

a. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum;

b. Pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri.

Namun, hak untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan menjadi gugur apabila ancaman telah berhenti atau yang bersalah sangka itu telah menyadari keadaannya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu mereka masih tetap hidup sebagai suami istri dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan.

Tidak semua orang dapat mengajukan pembatalan perkawinan, para pihak yang berwenang mengajukan pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 23 UUP dan Pasal 73 KHI. Dalam proses persidangan para pihak yang mengajukan pembatalan perkawinan diwajibkan melakukan pembuktian. Pembuktian adalah upaya yang dilakukan para pihak dalam berperkara untuk menguatkan dan membuktikan dalil-dalil yang diajukan


(65)

agar dapat meyakinkan hakim yang memeriksa perkara.17 Dalam Pasal 1866 KUHPerdata alat bukti yang sah dapat dipergunakan untuk pembuktian adalah sebagai berikut:18

a. Bukti surat; b. Bukti saksi; c. Persangkaan; d. Pengakuan; e. Sumpah.

Berdasarkan pemahaman masyarakat luas yang belum terlalu mengerti mengenai hukum perkawinan, akan menganggap bahwa pembatalan perkawinan dan perceraian adalah sama. Keduanya memang merupakan alasan putusnya perkawinan, namun Hakim Pengadilan Agama Wonosari menyebutkan bahwa meskipun pembatalan perkawinan dan perceraian merupakan salah satu alasan putusnya perkawinan, akan tetapi keduanya memiliki perbedaan.

Berikut perbedaannya antara pembatalan perkawinan dan perceraian menurut Hakim Pengadilan Agama Wonosari adalah:

Perbedaan Perceraian Pembatalan Perkawinan

Pihak yang berwenang

Dalam perceraian, permohonan hanya dapat diajukan atau

Dalam pembatalan, selain dapat dilakukan oleh suami atau istri,

17

Roihan A. Rasyid, Op. Cit hlm. 138.

18


(66)

mengajukan dilakukan oleh salah satu pihak, yaitu suami atau istri.

juga bisa diajukan oleh pihak lain, seperti garis keturunan ke atas suami atau istri, contohnya orang tua pasangan.

Akibat hukum

Sangat mungkin terjadi sengketa mengenai harta gono-gini (harta bersama yang diperoleh setelah perkawinan) karena memang pernikahan sebelumnya tetap diakui.

Perkawinan yang telah berlangsung dianggap tidak pernah terjadi atau tidak pernah ada sejak awal. Sehingga sulit bagi salah satu pihak menuntut harta gono-gini.

Alasan-alasan mengajukannya

Diatur dalam

Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Perkawinan dan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam.

Diatur dalam Pasal 26 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2) Undang-undang

Perkawinan dan Pasal 70, Pasal 71, Pasal 72 Kompilasi Hukum Islam.


(67)

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Hakim Dra. Endang Sri Hartatik, M.S.I. dan Dra. Ulil Uswah, M.H., dasar hukum Pengadilan Agama Wonosari menerima, memeriksa, dan memutus perkara pembatalan perkawinan Nomor: 0230/Pdt.G/2007/PA. WNO adalah: 1. Pengadilan Agama Wonosari mempunyai kewenangan absolut

Sesuai kewenangan atau kompetensi absolutnya yang berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 49 undang Nomor 3 Tahun 2006 Jo. Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Dalam Pasal 2 ini Pengadilan Agama Wonosari terikat dengan asas Personalitas keislaman dalam memeriksa, mengadili dan memutus, serta menyelesaikan perkara orang-orang yang beragama Islam, seperti Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infak, Shaddaqah, dan Ekonomi Syari‟ah. Sudah diketahui bahwa dalam putusan ini para pihak yang berperkara beragama Islam dan perkara yang diajukan adalah mengenai pembatalan perkawinan. Di mana perkara pembatalan perkawinan merupakan salah satu perkara dalam lingkup perkawinan. 2. Pengadilan Agama Wonosari mempunyai kewenangan relatif

Dalam perkara tersebut bahwa Pemohon berkediaman di Kabupaten Gunungkidul dan telah melangsungkan perkawinan dengan Termohon pada tanggal 07 Maret 2007 di Kantor Urusan Agama Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul.


(68)

Berdasarkan bukti surat dan bukti saksi yang telah diajukan oleh Pemohon, bahwa benar perkawinan Pemohon dan Termohon dilaksanakan di wilayah Hukum Pengadilan Agama Wonosari serta Pemohon bertempat tinggal di Wilayah Hukum Pengadilan Agama Wonosari. Sesuai dengan ketentuan Pasal 25 UUP menyebutkan bahwa permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri.

Dalam Pasal 74 KHI yang juga menyebutkan bahwa permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau istri atau tempat perkawinan dilangsungkan. Maka sudah seyogyanya bahwa perkara pembatalan perkawinan ini termasuk wewenang Pengadilan Agama Wonosari (kompetensi relatif).

Selanjutnya menurut Hakim Dra. Endang Sri Hartatik, M.S.I. dan Dra. Ulil Uswah, M.H. dasar hukum Pengadilan Agama Wonosari dalam mengabulkan perkara pembatalan Nomor 0230/Pdt.G/2007/PA.Wno adalah karena perkawinan yang dilangsungkan mengandung unsur salah sangka atau penipuan atas keadaan diri istri. Sudah sangat jelas diterangkan dalam Pasal 27 ayat (2) UUP menyebutkan bahwa seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri. Setali tiga uang, dalam Pasal 72 ayat (2) KHI


(69)

yang juga menyebutkan bahwa seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri.

Majelis Hakim telah berusaha dengan sungguh-sungguh memberikan nasihat untuk mendamaikan Pemohon dan Termohon untuk tetap mempertahankan rumah tangga yang telah dibangun akan tetapi tidak berhasil. Pemohon tetap pada pendiriannya yang bersikeras ingin membatalkan perkawinan dengan Termohon, karena Pemohon sudah salah sangka terhadap keadaan diri Termohon, dimana Termohon tidak pernah berkata jujur dan terbuka kepada Pemohon bahwa Termohon sudah hamil 2 bulan (di luar nikah) dan mengandung anak dari laki-laki lain sebelum melangsungkan perkawinan dengan Pemohon. Pemohon telah tertipu dan atau ditipu oleh keadaan diri Termohon, serta Pemohon dirugikan karena terganggu batinnya dan harus menanggung malu dengan sanak saudara dan tetangga.

Penulis setuju atau sependapat dengan putusan Hakim Pengadilan Agama Wonosari yang mengabulkan permohonan Pemohon untuk membatalkan perkawinan dengan Termohon, karena:

1. Pembatalan perkawinan memang diperbolehkan di Indonesia dan diatur dalam Bab IV UUP mulai Pasal 22 sampai dengan Pasal 28 jo. Bab XI KHI.


(70)

2. Pembatalan perkawinan masuk dalam lingkup perkawinan yang merupakan kewenangan Pengadilan Agama.

3. Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Tidak memenuhi syarat-syarat formil, seperti perkawinan dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat nikah yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah, perkawinan tanpa dihadiri 2 orang saksi. Selain itu, suami atau istri dapat membatalkan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman, pemaksaan, atau salah sangka terhadap keadaan diri atau status suami atau istri.

Di sini Pemohon telah salah sangka terhadap keadaan diri Termohon yang telah hamil dengan pria lain. Pemohon telah merasa tertipu, karena Termohon tidak berusaha jujur dan terbuka bahkan dengan sengaja menutup-nutupi keadaan diri Termohon yang sudah hamil sebelum melangsungkan perkawinan dengan Pemohon.

Pemohon mengajukan permohonan pembatalan perkawinan karena Termohon telah melakukan penipuan mengenai keadaan diri, maka Pemohon perlu memperkuat alat bukti tentang penipuan keadaan diri itu. Menurut Kompilasi Hukum Islam, penipuan menjadi salah satu dasar yang sah untuk mengajukan pembatalan perkawinan. Menurut H. Abdul Manan, biasanya penipuan itu dilakukan dalam bentuk pemalsuan identitas,


(71)

misalnya mengaku jejaka padahal sudah pernah menikah, sudah hamil dengan pria lain sebelum melangsungkan perkawinan.

Pemohon merasa ada penipuan yang dilakukan Termohon, maka UUP dan KHI memberikan hak kepada Pemohon untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan. Masalah Pemohon telah salah sangka atau tertipu dengan keadaan diri Termohon tentunya harus berdasarkan bukti, keterangan saksi, pernyataan lisan. Mengenai salah sangka, Pemohon dapat mempergunakan bukti surat keterangan dari Bidan yang menyatakan bahwa Termohon sudah hamil 2 bulan dan pernyataan lisan pengakuan dari Termohon.

Rasa kecewa Pemohon terhadap ketidakjujuran Termohon pasti akan menimbulkan pertengkaran, pertikaian, dan perselisihan yang tentunya membawa kemudharatan yaitu tidak harmonisnya rumah tangga antara Pemohon dan Termohon. Pemohon sebagai pihak yang berwenang mengajukan pembatalan perkawinan dan memiliki bukti serta dasar hukum yang kuat, maka sudah sepantasnya Pengadilan Agama Wonosari mengabulkan permohonan Pemohon untuk membatalkan perkawinan Pemohon dengan Termohon.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas dan permohonan pembatalan perkawinan Pemohon adalah beralasan (mempunyai dasar hukum) dan tidak melawan hukum, maka sudah sepantasnya Pengadilan Agama Wonosari menerima, memeriksa,


(72)

memutus, dan mengadili perkara pembatalan perkawinan yang diajukan oleh Pemohon.

C. Akibat Hukum yang Ditimbulkan Terhadap Pembatalan Perkawinan Perkara Nomor: 0230/Pdt.G/2007/PA.WNO

Akibat hukum pembatalan perkawinan

Suami istri Anak hasil

perkawinan

Harta bersama

PERKAWINAN

 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

Syarat dan rukun perkawinan terpenuhi

Perkawinan sah

Syarat dan rukun perkawinan tidak terpenuhi

Perkawinan tidak sah

Pembatalan Perkawinan

Dapat dibatalkan (salah sangka terhadap keadaan pasangan


(1)

persidangan agar mengurungkan niatnya untuk membatalkan pernikahanya sebagaimana diamanatkan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 82 UU Nomor 7 Tahun 1989, akan tetapi usaha tersebut tidak berhasil sampai putusan ini

dijatuhkan;---Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P.2 ternyata antara Pemohon dan Termohon telah melangsungkan penikahan sebagaimana tercatat di Kantor Urusan Agama Kecamatan Karangmojo sebagaimana kutipan Akta Nikah Nomor : - tanggal

07/03/2007;---Menimbang, bahwa dari posita yang telah dikemukakan oleh Pemohon dapat disimpulkan bahwa Pemohon dalam mengajukan Permohonan pembatalan nikah telah mendalilkan alasan yang pada intinya sebagai berikut:

- Bahwa Pemohon dan Termohon telah melangsungkan pernikahan pada tanggal 7 Maret 2007 di Karangmojo sebagai mana Kutipan Akta Nikah Nomor : - tanggal 07/03/2007;--- Bahwa sejak kenal Termohon sampai dengan saat ini

(setelah nikah),Pemohon belum pernah melakukan hubungan sex dengan Termohon;--- Bahwa pada saat pesta penikahan Termohon pingsan dan dari

hasil pemeriksaan bidan ternyata Termohon sudah dalam keadaan hamil 2 bulan, oleh karenanya Pemohon merasa tertipu dengan keadaan Termohon tersebut, karena Termohon tidak menjelaskan sebelumnya dan berusaha menutup-nutupi keadaan tersebut, sehingga telah memenuhi unsur penipuan yang tercantup dalam pasal 27 (2) UU


(2)

Nomor 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 72 (2) Kompilasi Hukum Islam;---

Menimbang, bahwa terhadap Permohonan Pemohon tersebut di atas, ternyata Termohon tidak pernah hadir, dan tidak pula menyuruh orang lain untuk menghadap di persidangan sebagai wakil atau kuasanya yang sah, serta ketidakhadirannya tersebut bukan disebabkan oleh suatu halangan yang sah, meskipun telah dipanggil dengan resmi dan patut, oleh karena itu Termohon harus dinyatakan tidak pernah hadir di muka persidangan dan Permohonan Pemohon diputus dengan verstek sesuai dengan ketentuan Pasal 125 Menimbang, bahwa oleh karena Termohon tidak hadir dipersidangan serta tidak mengajukan bantahan, maka hal tersebut dianggap sebagai telah membenarkan dalil-dalil Permohonan Pemohon, namun demikian Majelis Hakim masih perlu memeriksa bukti-bukti lain untuk mendapatkan kebenaran yang lebih

meyakinkan;---Menimbang, bahwa Pemohon telah menghadirkan tiga orang saksi di depan persidangan dan ternyata keterangan ketiga orang saksi tersebut di atas, secara materiil saling bersesuaian antara yang satu dengan yang lain, serta mendukung dalil Permohonan Pemohon, sehingga telah memenuhi syarat formil dan materiil sebagai saksi, oleh karena itu Majelis Hakim menilai kesaksian tersebut dapat diterima dan dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah serta


(3)

menguatkan dalil Permohonan Pemohon;--- Menimbang, bahwa berdasarkan semua hal yang telah dipertimbangkan tersebut di atas, Majelis Hakim dapat menemukan dan menyimpulkan fakta di persidangan yang pada intinya sebagai berikut:

a. Bahwa Pemohon dan Termohon telah melangsungkan pernikahan pada tanggal 7 Maret 2007 di Karangmojo sebagai mana Kutipan Akta Nikah Nomor : - Tanggal 07/03/2007;---b. Bahwa sejak kenal Termohon sampai dengan saat ini

(setelah nikah),Pemohon belum pernah melakukan hubungan sex dengan Termohon;---c. Bahwa pada saat pernikahan ternyata Termohon sudah dalam

keadaan hamil 2 bulan dan hal tersebut berusaha ditutupi oleh Termohon agar Pemohon tidak mengetahui keadaan Termohon

sebenarnya;---Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, maka majelis berpendapat telah terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa Termohon telah dengan sengaja menutup-nutupi keadaan diri Termohon yang sedang hamil pada saat pernikahan, sehingga pernikahan tersebut mengandung unsur penipuan terhadap keadaan diri

Termohon;---Menimbang, bahwa berdasarkan apa yang telah terbukti sebagaimana tersebut di atas, ternyata Pemohon merasa tertipu dan tidak dapat melanjutkan rumah tangganya dengan Termohon, karena hal tersebut sangat mengganggu batin


(4)

Pemohon,oleh karena itu majelis menilai jika rumah tangga Pemohon dan Termohon tetap diteruskan maka kemadlaratan yang akan menimpa keduanya, oleh karena itu menyelamatkan mereka dari keadaan tersebut melalui pembatalan pernikahan merupakan tindakan yang lebih baik dan maslahat bagi keduanya daripada tetap mempertahankan perkawinan

mereka;-Menimbang, bahwa berdasarkan pertibangan-pertimbangan tersebut di atas, maka majelis berkesimpulan bahwa permohonan pemohon telah cukup alasan untuk melakukan pembatalan nikah sesuai dengan pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo pasal 72 ayat (2) Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, oleh karena itu permohonan Pemohon patut untuk

dikabulkan;---Menimbang, bahwa berdasarkan pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, maka biaya perkara dibebankan kepada

Pemohon;---Mengingat segala peraturan perundang-undangan yang berlaku serta hukum syara' yang berkaitan dengan perkara

ini;---MENGADILI

1. Menyatakan Termohon yang telah dipanggil secara patut untuk menghadap di persidangan, tidak hadir;---2. Mengabulkan permohonan Pemohon dengan verstek;---3.Menetapkan membatalkan pernikahan Pemohon dengan Termohon

yang dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 7 Maret 2007 tercatat di Kantor Urusan Agama Kecamatan Karangmojo


(5)

dengan Akta Nikah Nomor : - Tanggal 07/03/2007;---4. Memerintahkan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama

Kecamatan Karangmojo untuk mencoret Akta Nikah tersebut;--- 5. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar seluruh biaya

perkara ini Rp.336.000 ,- ( Tiga ratus tiga puluh enam ribu

Demikian putusan ini dijatuhkan dalam permusyawaratan Majelis Hakim pada hari Senin tanggal 18 Juni 2007 M bertepatan dengan tanggal 3 Jumadil Akhir 1428 H, oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Wonosari yang terdiri dari Drs.WILDAN TOJIBI sebagai Ketua Majelis serta Drs. ACHMAD ARIFIN dan TUKIMIN, SH. sebagai hakim-hakim Anggota serta diucapkan oleh Ketua Majelis pada hari itu juga dalam sidang terbuka untuk umum dengan dihadiri oleh para hakim Anggota serta NGADIYO,BA. sebagai panitera pengganti dan dihadiri oleh pihak Pemohon tanpa hadirnya Termohon;

Ketua Majelis; ttd

Drs.WILDAN TOJIBI

Hakim Anggota I Hakim Anggota II

ttd ttd


(6)

Panitera Pengganti ttd

NGADIYO,BA.

Perincian Biaya Perkara :

1. Biaya Proses : Rp 332. Materai : Rp Jumlah Rp (tiga ratus tiga puluh enam ribu )